Anda di halaman 1dari 34

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA

Nama Mahasiswa : Togana Junisar Paniro Sinaga TandaTangan


NIM : 11-2017-006

Dokter Pembimbing : dr. Waluyo Eko Sutarto, Sp.U

I. IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Tn. R Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 71 tahun Suku bangsa : Jawa
Status perkawinan : Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Guru Pendidikan : S1
Alamat : Jl. Sungai Bambu RT04/04

II. ANAMNESIS
Diambil dari: Autoanamnesa, tanggal:16-04-2018, Jam: 19:00 WIB di Ruangan 505

Keluhan Utama : Sulit BAK 2 minggu SMRS

Keluhan Tambahan : Nyeri saat BAK karena mengedan

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang dengan keluhan sulit BAK sejak 2 tahun yang lalu. Untuk memulai
BAK pasien membutuhkan waktu sekitar 3-5 menit. Pasien juga harus mengedan agar air

1
kencing pasien keluar. Pasien mengatakan ± 6 bulan yang lalu pancaran air kencing pasien
mulai melemah, terputus-putus dan lalu menetes. Pada saat merubah posisi, keluhan tersebut
tetap timbul. Pasien juga mengeluhkan buang air kecil merasa tidak lampias dan merasa
masih ada sisa air kencing di kandung kencing pasien. Karena keluhan tersebut pasien
berobat ke dokter spesialis urologi dan diperiksa menggunakan USG. Pasien kemudian
dianjurkan untuk operasi tetapi menolak. Pasien juga diberi resep obat yang diminum pada
malam hari selama 10 hari. Setelah meminum obat tersebut pasien merasa ada perbaikan
tetapi keluhan muncul kembali saat obat habis.
Sekitar ± 4 bulan yang lalu pasien mengeluhkan rasa ingin kencing yang tidak
tertahan. Pada malam hari pasien BAK ± 10 kali. Pasien menyatakan ± 3 bulan yang lalu juga
mengeluhkan nyeri pada saat BAK, nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk pada daerah perut
bagian bawah. Nyeri yang dirasakan tersebut tidak menjalar dan menghilang setelah BAK.
Sejak saat itu pasien beberapa kali tidak bisa BAK sama sekali dan harus dipasang selang
kencing agar air kencing pasien keluar. Setelah selang kencing dicabut, pasien bisa BAK
seperti sebelumnya selama ± 3-4 minggu kemudian pasien tidak bisa kencing lagi dan
dipasang selang kembali 2 minggu SMRS.
Riwayat kencing berdarah disangkal, kencing berpasir atau batu disangkal, kencing
bernanah disangkal, riwayat trauma pada saluran kencing disangkal, nyeri pinggang
disangkal, demam disangkal, penurunan berat badan yang drastis disangkal. Susah buang air
besar (BAB) dan BAB berdarah juga disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnya
Riwayat trauma (-), Hipertensi (-), Diabetes (-), Penyakit Lainnya (-).

Riwayat Hidup
Riwayat kelahiran :
( ) Di Rumah ( ) Rumah Sakit (+) Rumah Bersalin
Ditolong oleh ( ) Dokter (+) Bidan ( ) Dukun ( ) Lainnya

Kehidupan Berkeluarga dan Perkawinan:


Adanya kesulitan :-
Pekerjaan : Guru

2
Keuangan :-
Keluarga :-

Riwayat Makanan
Frekuensi/hari : normal
Variasi/hari : nasi, sayur, laukpauk, buah
Jumlah/hari :3x
Nafsu makan : baik

Riwayat Imunisasi
Pasien tidak mengetahui tentang riwayat imunisasinya

Penyakit Dahulu (Tahun)


( -) Wasir/Hemorrhoid ( -) Appendisitis ( - ) Hepatitis
( -) Batu Ginjal / Saluran Kemih ( - ) Tumor ( - ) Fistel
( -) Batu ginjal/saluran kemih ( -) Penyakit Prostat ( - ) Struma tiroid
(-) Hernia ( -) Diare Kronis ( - ) Penyakit jantung
bawaan
( -) Typhoid ( -) DM ( - ) Perdarahan otak
( -) Batu empedu ( -) Kelainan kongenital ( - ) Gastritis
( -) Tifus abdominalis ( -) Colitis ( +) Hipertensi
( -) Ulkus ventrikuli ( -) Tetanus (-) Penyakit pembuluh
darah
(-) ISK ( -) Volvulus ( -) Abses hati
( -) Patah tulang ( -) Luka bakar

Lain-lain: (-) Kecelakaan


Riwayat Keluarga
Hubungan Umur Jenis Keadaan Kesehatan Penyebab Meninggal
(tahun) Kelamin
Kakek - - - -
Nenek - - - -

3
Ayah - - - -
Ibu - - - -
Saudara - - - -
Anak-anak - - - -

Adakah Keluarga /Kerabat Yang Menderita:


Penyakit Ya Tidak Hubungan
Alergi - - -
Asma - - -
Tuberkulosis - - -
Arthritis - - -
Rematisme - - -
Hipertensi + - istri
Jantung - - -
Ginjal - - -
Lambung - - -

ANAMNESIS SISTEM
Kulit
( -) Bisul ( - ) Rambut ( -) Keringat malam
( -) Kuku ( -) Kuning / Ikterus ( -) Sianosis

Kepala
( -) Trauma ( - ) Sakit kepala
( -) Sinkop ( -) Nyeri pada sinus

Mata
( -) Nyeri (- ) Radang
( -) Sekret ( -) Gangguan penglihatan
( -) Kuning / Ikterus ( -) Ketajaman penglihatan

4
Telinga
( -) Nyeri ( -) Gangguan pendengaran
( -) Sekret ( -) Kehilangan pendengaran
( -) Tinitus

Hidung
( -) Rhinnorhea ( -) Gejala penyumbatan
( -) Nyeri ( -) Gangguan penciuman
( -) Sekret ( -) Epistaksis
( -) Trauma ( - ) Benda asing (foreign body)

Mulut
( -) Bibir ( -) Lidah
( -) Gusi ( -) Mukosa

Tenggorokan
( -) Nyeri tenggorokan ( -) Perubahan suara

Leher
( -) Benjolan ( -) Nyeri leher

Dada (Jantung / Paru)


( -) Sesak napas ( - ) Mengi
( -) Batuk ( -) Batuk darah
( -) Nyeri dada ( - ) Berdebar-debar

Abdomen (Lambung / Usus)


( -) Mual (-) Muntah
( -) Diare ( -) Konstipasi
( -) Nyeri epigastrium ( -) Nyeri kolik
( -) Tinja berdarah ( - ) Tinja berwarna dempul
( -) Benjolan ( - ) Nyeri tekan
5
Saluran Kemih / Alat kelamin
( -) Disuria
( +) Hesistancy
( -) Kencing batu
( -) Hematuria
( -) Nokturia
( +) Urgency
( -) Kolik
( + ) Retensio urin

Saraf dan Otot


( - ) Riwayat trauma ( - ) Nyeri ( - ) Bengkak

Ekstremitas
( -) Bengkak ( -) Deformitas
( -) Nyeri ( -) Sianosis

BERAT BADAN
Berat badan rata-rata (Kg) : 68 Kg
Berat tertinggi (Kg) :-
Berat badan sekarang (Kg) : 68 Kg
Tetap ( +)
Turun (-)
Naik (-)

III. STATUS GENERALIS


Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Tanda-tanda vital : TD : 127/78 N : 78x/mnt RR :20x/mnt S : 36,2oC
Kepala : Normocephali, rambut hitam beberapa uban, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, pupil isokor, reflex cahaya+
Telinga : Normotia, sekret -/-, abses -/-, fistula -/-
Hidung : Deviasi septum(-), Normosepta,sekret (-), perdarahan (-)
Tenggorokan : Hiperemis (-), Tonsil T1-T1
6
Leher : KGB leher dan kelenjar tiroid tidak teraba membesar, trakea
ditengah
Thorax :Kedua hemithorax simetris dalam keadaan statis dandinamis
Paru-paru:
Inspeksi : Kedua hemi thorax simetris dalam keadaan statis dan dinamis,
luka (-), benjolan (-), hematoma (-), retraksi sela iga (-),
massa (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), vocal fremitus paru kiri dan kanan simetris
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : SNV +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung:
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi :Ictus cordis terabapada intercostal 5 linea midclavicular
sinistra, diameter 2 cm.
Perkusi : Bunyi pekak
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen:
Inspeksi : warna kulit sawo matang, lesi (-), benjolan (-), simetris
Palpasi : nyeri tekan (-),benjolan (-).
Perkusi : bunyi timpani di seluruh abdomen, BU Normal, CVA -/-
Auskultasi : bising usus (+)
Hati : tidak ada pembesaran hati
Limpa : tidak ada pembesaran limpa
Ginjal : Nyeri ketok CVA -/-, Balotement -/-, Bimanual -/-
Urogenitalis
Nyeri Ketok CVA -/-, Massa -/-
Regio Supra Symphisis : Nyeri tekan (-)
Regio Genitalis : OUE dalam batas normal, pus (-), edema (-)
Regio Abdomen :nyeri tekan (+) di regio suprapubik.
Anus
Tonus sfingter ani : kuat
Mukosa rectum : licin
Ampula recti : tidak kolaps

7
Teraba massa : pada arah jam 11 sampai 1, permukaan licin,
konsistensi kenyal, lobus kanan dan kiri simetris, pole atas
teraba, nodul (-), darah (-), feses (+)
Ekstremitas atas:
Kanan Kiri
Tonus: normal normal
Massa: tidak ada tidak ada
Sendi: normal normal
Gerakan: terbatas normal
Kekuatan: normal normal
Edema : tidak ada tidak ada

Ekstremitas bawah:
Kanan Kiri
Tonus : normal normal
Massa : tidak ada tidak ada
Sendi : normal normal
Gerakan: normal normal
Kekuatan: normal normal
Edema : tidak ada tidak ada
Refleks
Kanan Kiri
Refleks tendon Baik Baik
Bisep Baik Baik
Trisep Baik Baik
Patella Baik Baik
Archiles Baik Baik
Kremaster - -
Refleks patologis - -

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


15-04-2018

8
Hematologi

Hemoglobin 13.8 g/dL 13.5 – 18.0 g/dL


Leukosit 8.730 /uL 4.000 – 10.500 /uL
Hematokrit 41.6 % 42.0 – 52.0 %
Trombosit 291.000 /uL 163.0 – 337..000 /uL

Hemostasis
PT 10.0 detik 9.9-11.8 detik
APTT 28.5 detik 31-47 detik

Kimia klinik
Ureum 23.9 mg/dL 16.6-48.5
Kreatinin 0.92 mg/dL 0.67-1.17
GDS 116 mg/dL 70-200
SGOT 18 U/L <40

SGPT 11 U/L <41

Natrium 140 mEq/L 135-147


Kalium 5.02 mEq/L 3.5-5.0
Klorida 99 mEq/L 96-108

Serologi
Anti HIV Non reaktif Non reaktif

Hepatitis Marker
HbsAg Non reaktif Non reaktif
Anti HCV Non reaktif Non reaktif

V. PEMERIKSAAN ANJURAN
 Pemeriksaan PSA
 Biopsi prostat

9
VI. RESUME
Anamnesis:
Pasien datang dengan keluhan sulit BAK sejak 2 tahun yang lalu. Untuk memulai
BAK pasien membutuhkan waktu sekitar 3-5 menit. Pasien juga harus mengedan agar air
kencing pasien keluar. Pasien mengatakan ± 6 bulan yang lalu pancaran air kencing pasien
mulai melemah, terputus-putus dan lalu menetes. Pada saat merubah posisi, keluhan tersebut
tetap timbul. Pasien juga mengeluhkan buang air kecil merasa tidak lampias dan merasa
masih ada sisa air kencing di kandung kencing pasien. Pasien juga diberi resep obat yang
diminum pada malam hari selama 10 hari dari Poli Bedah Urologi. Setelah meminum obat
tersebut pasien merasa ada perbaikan tetapi keluhan muncul kembali saat obat habis.
Sekitar ± 4 bulan yang lalu pasien mengeluhkan rasa ingin kencing yang tidak
tertahan. Pada malam hari pasien BAK ± 10 kali. Pasien menyatakan ± 3 bulan yang lalu juga
mengeluhkan nyeri pada saat BAK, nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk pada daerah perut
bagian bawah. Nyeri yang dirasakan tersebut tidak menjalar dan menghilang setelah BAK.
Sejak saat itu pasien beberapa kali tidak bisa BAK sama sekali dan harus dipasang selang
kencing agar air kencing pasien keluar. Setelah selang kencing dicabut, pasien bisa BAK
seperti sebelumnya selama ± 3-4 minggu kemudian pasien tidak bisa kencing lagi dan
dipasang selang kembali 2 minggu SMRS.

Pemeriksaan fisik :
Urogenitalis
Nyeri Ketok CVA -/-, Massa -/-
Regio Supra Symphisis : Nyeri tekan (-)
Regio Genitalis : tampak terpasang DC 16Fr dengan hasil urin jernih.
Regio Abdomen :nyeri tekan (+) di regio suprapubik.

Pemeriksaan penunjang:
PSA : 1 ng/mL
USG traktus urinarius+prostat: Hypertrophy prostat (volume 33.7ml)

VII. DIAGNOSA KERJA


 Benign Prostat Hiperplasia

10
VIII. DIAGNOSA BANDING
 Ca Prostat
 Prostatitis

IX. PENATALAKSANAN
 Medikamentosa
o Tamsulosin tab 0.4mg 1x1
o Cefixime tab 100mg 2x1
o Asam mefenamat tab 500mg 3x1
 Tindakan
o Transurethral resection of the prostate (TURP)

X. PROGNOSIS
 Vitam : dubia ad bonam
 Fungsionam : dubia ad bonam
 Sanationam : dubia ad bonam

XI. FOLLOW UP
17 April 2018
S Pasien mengeluh menggigil
O Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 126/73 mmHg, Nadi : 113x/menitFrekuensi Napas : 20x/menit, Suhu :
36,8oC
Pemeriksaan fisik :
Jantung :Bunyi jantung I & II murni reguler
Pulmo :SNV +/+
Abdomen : Nyeri Tekan regio suprapubik (-), Ketok CVA (-/-) Bising Usus (+)
GE on fc : produksi kuning jernih 500cc
A Benign Prostat Hiperplasia + Retensi Urin post TURP H+1
P  NaCl 0.9% 500 cc/12 jam
 Vicilin 3x1,5mg
 Paracetamol 3x500mg

11
18 April 2018
S OS tidak ada keluhan
O Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg, Nadi : 95x/menit, Frekuensi Napas : 22x/menit, Suhu :
37.0oC
Pemeriksaan fisik:
Jantung :Bunyi jantung I & II murni reguler
Pulmo :SNV +/+
Abdomen : Nyeri Tekan Regio suprapubik (-/-), Ketok CVA (-/-) Bising Usus (+).
GE on fc : produksi kuning jernih 1500cc
A Benign Prostat Hiperplasia + Retensi Urin post TURP H+2
P  Terapi lanjut

19 April 2018

S Tidak ada keluhan

O Keadaan umum : tampak sakit ringan


Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 115/75 mmHg, Nadi : 80x/menit, Frekuensi Napas : 20x/menit, Suhu :
36.0oC
Pemeriksaan fisik:
Jantung :Bunyi jantung I & II murni reguler
Pulmo :SNV +/+
Abdomen : Nyeri Tekan Regio suprapubik (-/-), Ketok CVA (-/-) Bising Usus (+).
GE on fc : produksi kuning jernih
A Benign Prostat Hiperplasia + Retensi Urin post TURP H+3

P  Rawat jalan
 Co-Amoxiclave 2x500mg
 Paracetamol 3x500mg
 Aff fc

12
Tinjauan Pustaka
Anatomi Prostat
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul
fibromuskuler, yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian proksimal
uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rectum. Bentuknya sebesar buah
kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 18 gram, dengan jarak basis ke
apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal 2 cm. Kelenjar prostat
terbagi menjadi 5 lobus, yaitu, lobus medius, lobus lateralis (2 lobus), lobus anterior, dan
lobus posterior.Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan
menjadi satu dan disebut lobus medius saja.

Gambar 1. Anatomi Prostat.


Prostat didapatkan membentuk 70% dari unsur kelenjar dan 30% dari stroma
fibromuskular. Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain
adalah: zona perifer, zona sentral, dan zona transisional. Zona perifer membentuk 70% dari
jaringan kelenjar prostat dan mencakupi bagian posterior dan lateral kelenjar tersebut. Zona
transisional mencakupi 5% hingga 10% daripada jaringan kelenjar prostat. Sebagian besar
hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang letaknya proximal dari spincter
externus di kedua sisi dari verumontanum. Zona sentral mencakupi 25% dari jaringan
kelenjar prostat dan membentuk konus sekitar duktus ejakulatorius sehingga ke basis
kandung kemih.1

13
Gambar 2. Anatomi dari zona kelenjar prostat.
Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari
verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Disebelah depan didapatkan
ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ligamentum triangulare inferior dan disebelah
belakang didapatkan fascia denonvilliers. Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar
depan melekat erat dengan prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat
secara longgar dengan fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia
endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi
pleksus prostatovesikal. BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena
mengandung banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian
posterior daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya
perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami
hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar.1

Fisiologi Prostat
Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang bersama-sama sekret dari
vesikula seminalis merupakan komponen utama dari cairan semen. Semen berisi sejumlah
asam sitrat sehingga pH nya agak asam (6,5). Selain itu dapat ditemukan enzim yang bekerja
sebagai fibrinolisin yang kuat, fosfatase asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat
dikeluarkan selama ejakulasi melalui kontraksi otot polos. kelenjar prostat juga menghasilkan
cairan dan plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32 % dan cairan
vesikula seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi. Kalenjar prostat dibawag pengaruh
Androgen Bodies dan dapat dihentikan dengan pemberian Stibestrol.2

14
Definisi
Istilah BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu adanya hyperplasia sel
stroma dan epitel kelenjar prostat. Banyak faktor yang diduga berperan dalam proliferasi atau
pertumbuhan jinak kelenjar prostat. Pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak
usia usia tua dan memiliki testis yang masih menghasilkan testosterone. Disamping itu,
pengaruh hormone lain (esterogen, prolaktin), pola diet mikrotrauma, inflamasi, obesitas dan
aktivitas fisik diduga berhubungan dengan proliferasi sel kelenjar prostat secara tidak
lansung. Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi sel prostat untuk menyintesis growth
factor, yang selanjutnya berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel kelenjar prostat.
Sementara itu, istilah benign prostatic enlargement (BPE) merupakan istilah klinis yang
menggambarkan bertambahnya volume prostat akibat adanya perubahan histopatologis yang
jinak pada prostat (BPH). Diperkirakan hanya 50% dari kasus BPH yang berkembang
menjadi BPE. Pada kondisi lebih lanjut, BPE dapat menimbulkan obstruksi pada saluran
kemih, disebut dengan istilah benign prostatic obstruction (BPO). BPO sendiri merupakan
bagian dari suatu entitas penyakit yang mengakibatkan obstruksi pada leher kandung kemih
dan uretra, dinamakan bladder outlet obstruction (BOO). Adanya obstruksi pada BPO
ataupun BOO harus dipastikan menggunakan pemeriksaan urodinamik.4

Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia
prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua).
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat jinak adalah:
a. Teori Dihidrotestosteron (DHT)
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel- sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat
oleh enzim 5 α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah
terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA
pada inti dan sel selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada
BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH,
aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH.
Hal ini menyebabkan pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel
lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal
15
b. Ketidakseimbangan estrogen dan testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun, sedangkan kadar estrogen
relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testosterone relatif meningkat.
Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi
sel- sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel- sel prostat terhadap
rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel- sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua
keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel- sel baru akibat
rangsangan testosterone menurun, tetapi sel – sel prostat yang telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.
c. Interaksi stroma epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat
secara tidak langsung dikontrol oleh sel- sel stroma melalui suatu mediator (growth
factor) tertentu. Setelah sel- sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan
estradiol, sel- sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel- sel stroma itu sendiri secara intrakin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel- sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya
proliferasi sel- sel epitel maupun stroma.
d. Berkurangnya kematian sel prostat (Apoptosis)
Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik homeostatis kelenjar
prostat. Pada jaringan nomal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis menyebabkan
jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga mengakibatkan
pertambahan massa prostat. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat
proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas
kematian sel kelenjar prostat
e. Teori stem cell
Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa pada kelenjar
prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada hubungan antara
jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel akan berkembang
menjadi sel aplifying, yang keduanya tidak tergantung pada androgen. Sel aplifying
akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara mutlak pada androgen,
sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi dan menghasilkan
pertumbuhan prostat yang normal. 5
16
Patofisiologi
Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional, sedangkan
pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer. Pertumbuhan kelenjar ini sangat
bergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel- sel kelenjar prostat hormon akan
dirubah menjadi metabolit aktif dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5α
reduktase. Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel- sel
kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar
prostat.
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan
menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk
dapat mengeluarkan urine, buli- buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli- buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli- buli.
Perubahan struktur pada buli- buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal
dengan gejala prostatimus.
Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli- buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan
aliran balik urine dari buli- buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika
berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat
jatuh ke dalam gagal ginjal.5

Lower Urinary Tract Symptom (LUTS)

Gejala saluran kemih bawah dapat dibagi menjadi dua yaitu: gejala berkemih dan
gejala penyimpanan, dan laki-laki mungkin hadir dengan kombinasi dua kelompok gejala
tersebut. Gejala berkemih mencakup aliran urin yang lemah, keraguan, dan tidak lengkap
mengosongkan atau mengejan dan biasanya karena pembesaran kelenjar prostat. Gejala
penyimpanan meliputi frekuensi, urgensi dan nokturia dan mungkin karena aktivitas yang
berlebihan otot detrusor. Pada pria lansia yang hadir dengan gejala saluran kemih bawah,
indikasi untuk rujukan awal untuk ahli urologi termasuk hematuria infeksi berulang, batu
kandung kemih, retensi urin dan gangguan ginjal. Dalam kasus tanpa komplikasi, medis
terapi dapat dilembagakan dalam pengaturan perawatan pertama. Pilihan untuk terapi medis
termasuk alpha blocker untuk mengendurkan otot polos prostat, inhibitor 5 alfa reduktase

17
untuk mengecilkan prostat, dan antimuscarinik untuk mengendurkan kandung kemih.
International Prostate Score Symptom (IPSS) adalah bermanfaat dalam menilai gejala dan
respon terhadap pengobatan. Jika gejala kemajuan meskipun dengan terapi medis atau pasien
tidak dapat mentoleransi terapi medis, rujukan urologi dibenarkan Penurunan keadaan umum
termasuk menurunnya fungsi persarafan pada usia tua proses ini akan merangsang timbulnya
LUTS. Timbulnya LUTS didasari oleh 2 keadaan :

1. Perubahan fungsi buli-buli yang menyebabkan instabilitas otot detrusor atau


penurunan pemenuhan buli-buli sehingga terjadi gangguan pada proses pengisian.
Secara klinis menunjukkan gejala : frekuensi, urgensi dan nokturia.

2. Pada tahap lanjut menyebabkan gangguan kontraktilitas otot detrusor sehingga


terjadi gangguan pada proses pengosongan. Secara klinis menunjukkan gejala:
penurunan kekuatan pancaran miksi, hesitensi, intermitensi dan bertambahnya residu
urin. Dari uraian di atas diasumsikan terdapat hubungan yang jelas antara LUTS
dengan pembesaran prostat dan BOO, namun bukti statistik menyatakan LUTS
dengan kedua komponen BPH lainnya mempunyai hubungan yang lemah atau
bahkan tidak ada hubungan yang signifikan, sehingga masih ada ahli yang
berpendapat proses BPH masih belum banyak diketahui.

Benign prostate hyperthrophy dapat menyebabkanterjadinya hipertrofi dinding


detrusor. Kebanyakan pasien hanya akan mengalami simptom saluran kemih bagian bawah
(LUTS) namun sejumlah besar juga akan mengalami komplikasi BPH lainnya. Ini termasuk
retensi urin (akut dan kronis), hematuria, infeksi saluran kemih, batu kandung kemih,
kerusakan dinding kandung kemih, disfungsi ginjal, inkontinensia dan disfungsi ereksi.6

Retensi urin

Retensi urin adalah ketidakmampuan untuk mengosongkan kadung kemih dan dapat
didefinisikan sebagai akut, kronik atau kronis akut. Retensi urin akut (AUR) adalah onset
mendadak dan nyeri karena peregangan kandung kemih akibat overfilling; Nyeri bisa sangat
parah sehingga disamakan dengan kolik ginjal atau persalinan. Pasien biasanya hadir sebagai
keadaan darurat urologis dengan volume kandung kemih antara 500 ml dan 1 iter. Pada
pasien retensi urin kronis (CUR) cenderung menderita pengosongan kandung kemih tidak
lengkap dengan volume urin sisa yang signifikan (berkisar antara 300 ml dan 1000 mls dan
hadir dengan retensi kronis akut. Retensi urin kronis biasanya tidak menimbulkan rasa sakit

18
karena onsetnya yang lambat dan datang dengan volume penyimpanan yang lebih tinggi,
antara 450 ml dan 4,5 L atau lebih. 6

Retensi urin akut


Retensi urin akut dapat dibagi menjadi diendapkan di mana ada peristiwa pemicu atau
spontan, diduga karena jalur alami BPH, yang menyumbang sebagian besar. Peristiwa
pemicu dapat dilakukan operasi (efek anestesi umum, nyeri, imobilisasi berkepanjangan,
analgesia opiat atau periode anestesi, paling sering lebih dari 60 menit), asupan cairan yang
berlebihan (terutama alkohol yang merupakan stimulator simpatis), infeksi saluran kemih
(ISK) atau obat-obatan dengan sympathomimetic atau antikolinergik efek. 5,6
Penilaian retensi urin akut melibatkan pemeriksaan abdomen pasien untuk massa
suprapubik teraba yang redup saat perkusi. Pemeriksaan USG kandung kemih sangat
membantu untuk memastikan diagnosis dan pemeriksaan rektall harus dilakukan untuk
menilai ukuran dan tekstur prostat dan ada tidaknya konstipasi. Penatalaksanaan awal untuk
retensi urin akut adalah kateterisasi urgensi (uretra atau suprapubik) dan volume yang
dikeluarkan dalam 10-15 menit pertama (volume residu) harus dicatat secara akurat untuk
membantu diagnosis retensi urin akut atau akut pada retensi kronis. 6

Retensi urin kronis


Retensi urin kronis dapat dibagi menjadi retensi kronis tekanan tinggi (HPCR) dan
retensi kronis tekanan rendah (LPCR). Istilah tekanan tinggi atau rendah mengacu pada
tekanan otot detrusor yang pada akhir berkemih.,Pada HPCR, biasanya ada penyumbatan
aliran keluar kandung kemih (bladder outflow obstruction/BOO) dan oleh karena itu tekanan
otot detrusor yang tinggi dengan laju alir yang buruk menyebabkan tekanan tinggi yang terus-
menerus di dalam kandung kemih menyebabkan tekanan retrograde dan hidronefrosis
bilateral. Pada akhirnya dapat menyebabkan berbagai tingkat disfungsi ginjal. Pada LPCR,
kandung kemih cenderung menjadi anjal, berlaku penyesuaian dan oleh karena itu tekanan
tidak meningkat pada saluran bagian atas. Kedua jenis CUR dapat menyebabkan enuresis
nokturnal dimana tekanan kandung kemih mengatasi resistensi uretra.
Pasien dengan CUR tidak dapat mengosongkan kandung kemih; hal ini dapat terjadi
asimtomatik atau mengeluhkan frekuensi yang meningkat, aliran yang buruk, ayangan, dan
inkontinensia nokturnal. Penilaian awal CUR serupa dengan AUR. Urinalisis harus dilakukan
untuk menyingkirkan infeksi dan pengukuran fungsi ginjal, seperti kreatinin dan eGFR. Pada
pasien dengan retensi volume tinggi dan fungsi ginjal berbahaya, diperlukan pemeriksaan
19
ultrasound ginjal. Kecuali ada tanda-tanda disfungsi ginjal - kateterisasi biasanya kurang
urgen. Pada pasein sehat, manajemen jangka panjang untuk CUR adalah melakukan
prostatektomi, namun jika tidak, maka kateter jangka panjang (LTC) atau intermittent self-
catheterization (ISC) cocok dilakukan.
Terjadi beberapa gangguan buang air kecil yaitu harus mengedan bila miksi, rasa
tidak puas sehabis miksi, !rekuensi miksi bertambah, nokturia, atau pancaran kurang kuat.
akibat retensio urin kronis dapat terjadi trabekulasi (serat-serat otot detrusor
menebal), sacculae (tekanan intravesika meningkat, selaput lendir di antara otot-otot
membesar), divertikel,infeksi, fistula, pembentukan batu, atauoverflow incontinence.6

Gejala Klinis
Gejala hiperplasia prostat dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala
obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh
prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau
cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Beberapa gejala obstruktif adalah: a. Harus
menunggu pada permulaan miksi (Hesistency) b. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream) c.
Miksi terputus (Intermittency) d. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling) e. Rasa
belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying). Manifestasi klinis
berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga faktor yaitu, volume
kelenjar periuretral, elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat dan kekuatan
kontraksi otot detrusor.Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala
obstruksi,sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher
vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi
dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.
Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal ginjal
karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis (Presti et al, 2013). Gejala iritatif
disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna pada saat miksi
atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat
menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum
penuh, gejalanya ialah: a. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency) b. Nokturia c. Miksi
sulit ditahan (Urgency) d. Disuria (Nyeri pada waktu miksi) Derajat berat gejala klinik prostat
hiperplasia ini dipakai untuk menentukan derajat berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak
selalu sesuai dengan besarnya volume prostat. Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah
bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan pada malam hari. Sering miksi
20
pada malam hari disebut nocturia, hal ini disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal
selama tidur dan juga menurunnya tonus spingter dan uretra . Simptom obstruksi biasanya
lebih disebabkan oleh karena prostat dengan volume besar. Apabila vesica menjadi
dekompensasi maka akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa
urin didalam vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini
berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi
miksi. Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat vesica tidak mampu
lagi menampung urin sehingga tekanan intravesica akan naik terus dan apabila tekanan vesica
menjadi lebih tinggi daripada tekanan spingter akan terjadi inkontinensia paradoks (overflow
incontinence). Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluk vesico uretradan
meyebabkan dilatasi ureter dan sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical
yang diteruskam ke ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dapat dipercepat bila ada infeksi. Disamping kerusakan tractus urinarius
bagian atas akibat dari obstruksi kronik penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi,
maka tekanan intra abdomen dapat menjadi meningkat dan lama kelamaan akan
menyebabkan terjadinya hernia, hemoroid. Oleh karena selalu terdapat sisa urin dalam vesica
maka dapat terbentuk batu endapan didalam vesica dan batu ini dapat menambah keluhan
iritasi dan menimbulkan hematuri. Disamping pembentukan batu, retensi kronik dapat pula
menyebabkan terjadinya infeksi sehingga terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat
terjadi juga pielonefritis.7

Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk gejala LUTS pada BPH dapat ditentukan dengan sistem
skoring International Prostate Symptoms Score (IPSS) yang termasuk di dalamnya rasa
kencing yang tidak puas, frekuensi, intermitensi, urgensi, pancaran urin lemah, hesitansi
dan nokturia. Menurut IPSS keparahan LUTS dibagi dalam derajat ringan, sedang dan
berat. Nilai IPSS diantara 0 – 7 termasuk ringan, diantara 8 – 19 derajat sedang,
sedangkan nilai 20 – 35 termasuk derajat berat.4

21
Tabel 1. International Prostate Symptom Score (IPSS)

Pemeriksan Fisik
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani,
reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam
rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan:
a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
b. Adakah asimetris
c. Adakah nodul pada prostate
d. Apakah batas atas dapat diraba
e. Sulcus medianus prostate
f. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti
meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan
pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus
prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.

22
Gambar 3. Pemeriksaan colok dubur.

Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-
kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit
pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi
retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia.
Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain
yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra
anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus.Pada pemeriksaan
abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba masa kistus di daerah
supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis.4

Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis dapat menentukan adanya leukosituria dan hematuria. Apabila
ditemukan hematuria, maka perlu dicari penyebabnya. Bila dicurigai adanya infeksi
saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine.
2. Pemeriksaan Fungsi ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan gangguan pada saluran kemih
bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30 % dengan rata-rata 13,6%.
Pemeriksaan faal ginjal berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan
pencitraan pada saluran kemih bagian atas.
3. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)

23
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer
specific. Kadar PSA dalam serum dapat mengalami peningkatan pada keradangan, setelah
manipulasi pada prostat (biopsy prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi,
keganasan prostat dan usia yang makin tua. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan
perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti :
- Pertumbuhan volume prostat lebih cepat
- Keluhan akibat BPH / laju pancaran urine lebih jelek
- Lebih mudah terjadi retensi urine akut.
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA.
Semakin tinggi kadar PSA, maka semakin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju
pertumbuhan prostat rata-rata tiap tahun pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl adalah 0,7
mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dL adalah 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA
3,3-9,9 ng/dL adalah 3,3, mL/tahun. Serum PSA dapat meningkat pada saat terjadi retensi
urin akut dan kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam dilakukan
kateterisasi. Pemeriksaan PSA bersama colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan
colok dubur saja dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu, pada usia
diatas 50 tahun atau diatas 40 tahun (pada kelompok dengan risiko tinggi) pemeriksaan
PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat.
Apabila kadar PSA >4 ng/mL, biopsy dipertimbangkan.
4. Uroflowmetry
Uroflowmetry adalah pemeriksaan pancaran urine selama proses berkemih. Pemeriksaan
non--‐invasif ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian
bawah. Dari uroflowmetry dapat diperoleh informasi mengenai volume berkemih, laju
pancaran maksimum (Qmax), laju pancaran rata--‐rata (Qave), waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai laju pancaran maksimum, dan lama pancaran. Pemeriksaan ini dipakai
untuk mengevaluasi gejala obstruksi infravesika, baik sebelum maupun setelah terapi.
Hasil uroflowmetry tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan pancaran
urine. Pancaran urine yang lemah dapat disebabkan obstruksi saluran kemih bagian
bawah atau kelemahan otot detrusor. Terdapat hubungan antara nilai Qmax dengan
kemungkinan obstruksi saluran kemih bagian bawah (BOO). Pada batas nilai Qmax
sebesar 10 mL/detik memiliki spesifisitas sebesar 70%, positive predictive value (PPV)
sebesar 70%, dan sensitivitas sebesar 47% untuk mendiagnosis BOO. Sementara itu,
dengan batas nilai Qmax sebesar 15 mL/detik memiliki spesifisitas sebesar 38%, PPV
sebesar 67%, dan sensitivitas sebesar 82% untuk mendiagnosis BOO.
24
Sebaiknya, penilaian ada tidaknya obstruksi saluran kemih bagian bawah tidak hanya
dinilai dari hasil Qmax saja, tetapi juga digabungkan dengan pemeriksaan lain.
Kombinasi pemeriksaan skor IPSS, volume prostat, dan Qmax cukup akurat dalam
menentukan adanya obstruksi saluran kemih bagian bawah. Pemeriksaan uroflowmetry
bermakna jika volume urine >150 mL.
5. Residu urine
Residu urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine di kandung kemih
setelah berkemih. Jumlah residu urine pada pria normal rata-rata 12 mL. Pemeriksaan
residu urine dapat dilakukan dengan cara USG, bladder scan atau dengan kateter uretra.
Pengukuran dengan kateter ini lebih akurat dibandingkan USG, tetapi tidak nyaman bagi
pasien, dapat menimbulkan cedera uretra, infeksi saluran kemih, Hingga bakteremia.
Peningkatan volume residu urine dapat disebabkan oleh obstruksi saluran kemih bagian
bawah atau kelemahan kontraksi otot detrusor. Volume residu urine yang banyak pada
pemeriksaan awal berkaitan dengan peningkatan risiko perburukan gejala. Peningkatan
volume residu urine pada pemantauan berkala berkaitan dengan risiko terjadinya retensi
urine.4

Pencitraan
1. Saluran kemih bagian atas
Pencitraan saluran kemih bagian atas hanya dikerjakan apabila terdapat hematuria, infeksi
saluran kemih, insufisiensi renal, residu urine yang banyak, riwayat urolitiasis, dan
riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia. Pemeriksaan USG
direkomendasikan sebagai pemeriksaan awal pada keadaan-keadaan tersebut.
2. Uretrosistoskopi
Uretrosistoskopi dikerjakan pada pasien dengan riwayat hematuria, striktur uretra,
uretritis, trauma uretra, instrumentasi uretra, riwayat operasi uretra, atau kecurigaan
kanker kandung kemih.
3. Urodinamik
Pemeriksaan urodinamik merupakan pemeriksaan opsional pada evaluasi pasien BPH.
Indikasi pemeriksaan urodinamik pada BPH adalah : pasien berusia kurang dari 50 tahun
atau lebih dari 80 tahun, volume residu urine >300 mL, Qmax >10 ml/detik, setelah
menjalani pembedahan radikal pada daerah pelvis, setelah gagal dengan terapi invasif,
atau kecurigaan adanya kelainan buli--‐buli neurogenik. Urodinamik saat ini merupakan
pemeriksaan yang paling baik dalam menentukan derajat obstruksi saluran kemih bawah
25
dan mampu memprediksi hasil tindakan invasif. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas
87%, spesifisitas 93%, dan nilai prediksi positif sebesar 95%.4

Terapi
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki kualitas hidup pasien. Terapi
yang didiskusikan dengan pasien tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, serta
ketersediaan fasilitas setempat. Pilihannya adalah : (1) konservatif (watchful waiting), (2)
medikamentosa, (3) pembedahan (Tabel 1), dan (4) lain‐lain (kondisi khusus).4

Tabel 2. Pilihan Terapi pada LUTS-BPH

1. Konservatif
Terapi konservatif pada BPH dapat berupa watchful waiting yaitu pasien tidak
mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap diawasi oleh dokter.
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu
keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pada watchful waiting ini,
pasien diberi penjelasan mengenai segala sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk
keluhannya, misalnya:
 jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alcohol setelah makan malam
 kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada kandung
kemih (kopi atau cokelat)
 batasi penggunaan obat‐obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin
 jangan menahan kencing terlalu lama.

26
 Penanganan konstipasi
Pasien diminta untuk datang control berkala (3‐6 bulan) untuk menilai perubahan keluhan
Yang dirasakan, IPSS, uroflowmetry, maupun volume residu urine. Jika keluhan
berkemih bertambah buruk, perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.4
2. Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan pada pasien dengan skor IPSS >7. Jenis obat yang
digunakan adalah :
 α1 – bloker
Pengobatan dengan α‐blocker bertujuan menghambat kontraksi otot polos prostat
sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung kemih dan uretra. Beberapa obat
α1‐ blocker yang tersedia, yaitu terazosin, doksazosin, alfuzosin, dan tamsulosin yang
cukup diberikan sekali sehari. Obat golongan ini dapat mengurangi keluhan storage
symptom dan voiding symptom dan mampu memperbaiki skor gejala berkemih hingga
30-45% atau penurunan 4‐6 skor IPSS dan Qmax hingga 15‐30%. Tetapi obat α1‐
blocker tidak mengurangi volume prostat maupun risiko retensi urine dalam jangka
panjang. Masing‐masing α‐blocker mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap system
kardiovaskuler yang berbeda (hipotensi postural, dizzines, dan asthenia) yang
seringkali menyebabkan pasien menghentikan pengobatan. Penyulit lain yang dapat
terjadi adalah ejakulasi retrograd. Salah satu komplikasi yang harus diperhatikan
adalah intraoperative floppy iris syndrome (IFIS) pada operasi katarak dan hal ini
harus diinformasikan kepada pasien.
 5 α reduktase – inhibitor
5α-‐reductase inhibitor bekerja dengan menginduksi proses apoptosis sel epitel
prostat yang kemudian mengecilkan volume prostat hingga 2–30%. 5a-­‐reductase
inhibitor juga dapat menurunkan kadar PSA sampai 50% dari nilai yang semestinya
sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini kanker prostat. Saat ini, terdapat 2
jenis obat 5α‐reductase inhibitor yang dipakai untuk mengobati BPH, yaitu
finasteride dan dutasteride. Efek klinis finasteride atau dutasteride baru dapat terlihat
setelah 6 bulan. Finasteride digunakan bila volume prostat >40 ml dan dutasteride
digunakan bila volume prostat >30 ml. Efek samping yang terjadi pada pemberian
finasteride atau dutasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi disfungsi ereksi,
penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak‐bercak kemerahan dikulit.
 Antagonis reseptor muskarinik

27
Pengobatan dengan menggunakan obat‐obatan antagonis reseptor muskarinik
bertujuan Untuk menghambat atau mengurangi stimulasi reseptor muskarinik
sehingga akan mengurangi kontraksi sel otot polos kandung kemih. Beberapa obat
antagonis reseptor muskarinik yang terdapat di Indonesia adalah fesoterodine
fumarate, propiverine HCL, solifenacin succinate, dan tolterodine l‐tartrate5,
Penggunaan antimuskarinik terutama untuk memperbaiki gejala storage LUTS.
Analisis pada kelompok pasien dengan nilai PSA <1,3 ng/ml (≈volume prostat kecil)
menunjukkan pemberian antimuskarinik bermanfaat. Sampai saat ini, penggunaan
antimuskarinik pada pasien dengan BOO masih terdapat kontroversi, khususnya yang
berhubungan dengan risiko terjadinya retensi urine akut. Oleh karena itu, perlu
dilakukan evaluasi rutin keluhan dengan IPSS dan sisa urine pasca berkemih.
Sebaiknya, penggunaan antimuskarinik dipertimbangkan jika penggunaan α-‐blocker
tidak mengurangi gejala storage. Penggunaan antimuskarinik dapat menimbulkan
efek samping, seperti mulut kering (sampai dengan 16%), konstipasi (sampai dengan
4%), kesulitan berkemih (sampai dengan 2%), nasopharyngitis (sampai dengan 3%),
dan pusing (sampai dengan 5%).
 Phospodiesterase 5 inhibitor
Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE 5 inhibitor) meningkatkan konsentrasi dan
memperpanjang aktivitas dari cyclic guanosine monophosphate (cGMP) intraseluler,
sehingga dapat mengurangi tonus otot polos detrusor, prostat, dan uretra. Di
Indonesia, saat ini ada 3 jenis PDE5 Inhibitor yang tersedia, yaitu sildenafil,
vardenafil, dan tadalafil. Sampai saat ini, hanya tadalafil dengan dosis 5 mg per hari
yang direkomendasikan untuk pengobatan LUTS. Tadalafil 5 mg per hari dapat
menurunkan nilai IPSS sebesar 22--‐37%. Penurunan yang bermakna ini dirasakan
Rsetelah pemakaian 1 minggu.3 Pada penelitian uji klinis acak tanpa meta--‐analisis,
peningkatan Qmax dibandingkan placebo adalah 2,4 ml/s dan tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna pada residu urine. Data meta‐analisis menunjukkan PDE 5
inhibitor memberikan efek lebih baik pada pria usia lebih muda dengan indeks massa
tubuh yang rendah dengan keluhan LUTS berat.
3. Terapi kombinasi
 α1-blocker + 5α-reductase
Terapi kombinasi α1-blocker (alfuzosin, doksazosin, tamsulosin) dan 5α­reductase
inhibitor (dutasteride atau finasteride) bertujuan untuk mendapatkan efeksinergis

28
dengan menggabungkan manfaat yang berbeda dari kedua golongan obat tersebut,
sehingga meningkatkan efektivitas dalam memperbaiki gejala dan mencegah
perkembangan penyakit. Waktu yang diperlukan oleh α1-‐blocker untuk memberikan
efek klinis adalah beberapa hari, sedangkan 5α­reductase inhibitor membutuhkan
beberapa bulan untuk menunjukkan perubahan klinis yang signifikan. Data saat ini
menunjukkan terapi kombinasi memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
monoterapi dalam risiko terjadinya retensi urine akut dan kemungkinan diperlukan
terapi bedah. Akan tetapi, terapi kombinasi juga dapat meningkatkan risiko terjadinya
efek samping. Terapi kombinasi ini diberikan kepada orang dengan keluhan LUTS
sedang-berat dan mempunyai risiko progresi (volume prostat besar, PSA yang tinggi
(>1,3 ng/dL), dan usia lanjut). Kombinasi ini hanya direkomendasikan apabila
direncanakan pengobatan jangka panjang (>1 tahun).
 α1-blocker + antagonis reseptor muskarinik
Terapi kombinasi α1-blocker dengan antagonis reseptor muskarinik bertujuan untuk
memblok α1-­‐adrenoceptor dan cholinoreceptors muskarinik (M2 dan M3) pada
saluran kemih bawah. Terapi kombinasi ini dapat mengurangi frekuensi berkemih,
nokturia, urgensi, Episode inkontinensia, skor IPSS dan memperbaiki kualitas hidup
dibandingkan dengan α1-blocker atau placebo saja. Pada pasien yang tetap mengalami
LUTS setelah pemberian monoterapi α1‐blocker akan mengalami penurunan keluhan
LUTS secara bermakna dengan pemberian anti muskarinik, terutama bila ditemui
overaktivitas detrusor (detrusor overactivity). Efek samping dari kedua golongan obat
kombinasi, yaitu α1‐blocker dan antagonis reseptor muskarinik telah dilaporkan lebih
tinggi dibandingkan monoterapi. Pemeriksaan residu urine harus dilakukan selama
pemberian terapi ini.4

Pembedahan
Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi,
seperti:
 retensi urine akut
 gagal Trial Without Catheter (TwoC);
 infeksi saluran kemih berulang;
 hematuria makroskopik berulang;
 batu kandung kemih;

29
 penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH;
 perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih bagian atas.
Indikasi relative lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang hingga berat, tidak
menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang menolak
pemberian terapi medikamentosa.4

1. TURP (Transurethral Resection of the Prostate)


TURP merupakan tindakan baku emas pembedahan pada pasien BPH dengan volume
prostat 30--‐80 ml. Akan tetapi, tidak ada batas maksimal volume prostat untuk tindakan
ini di kepustakaan, hal ini tergantung dari pengalaman spesialis urologi, kecepatan
reseksi, dan alat yang digunakan. Secara umum, TURP dapat memperbaiki gejala BPH
hingga 90% dan meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%. Penyulit dini yang
dapat terjadi pada saat TURP bisa berupa perdarahan yang memerlukan transfuse (0-9%),
sindrom TUR (0-5%), AUR (0-13,3%), retensi bekuan darah (0-39%), dan infeksi saluran
kemih (0-22%) Sementara itu, angka mortalitas perioperatif (30 hari pertama) adalah 0,1.
Selain itu, komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi meliputi inkontinensia urin
(2,2%), stenosis leher kandung kemih (4,7%), striktur urethra (3,8%), ejakulasi retrograde
(65,4%), disfungsi ereksi (6,5‐14%), dan retensi urin dan UTI.4

2. Lain-lain
Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) atau insisi leher kandung kemih (bladder
neck insicion) direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil (kurang dari 30 ml)
dan tidak terdapat pembesaran lobus medius prostat. TUIP mampu memperbaiki keluhan
akibat BPH dan meningkatkan Qmax meskipun tidak sebaik TURP. Thermoterapi
kelenjar prostat adalah pemanasan >45oC sehingga menimbulkan nekrosis koagulasi
jaringan prostat.Gelombang panas dihasilkan dari berbagai cara, antara lain adalah
Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT), Transurethral Needle Ablation
(TUNA), dan High Intensity Focused Ultrasound (HIFU). Semakin tinggi suhu di dalam
jaringan prostat, semakin baik hasil klinik yang didapatkan, tetapi semakin banyak juga
efek samping yang ditimbulkan. Teknik thermoterapi ini seringkali tidak memerlukan
perawatan di rumah sakit, tetapi masih harus memakai kateter dalam jangka waktu lama.
Angka terapi ulang TUMT (84,4% dalam 5 tahun) dan TUNA (20-50% dalam 20 bulan).
Stent dipasang intraluminal di antara leher kandung kemih dan di proksimal

30
verumontanum, sehingga urine dapat melewati lumen uretra prostatika. Stent dapat
dipasang secara temporer atau permanen. Stent yang telah terpasang bisa mengalami
enkrustasi, obstruksi, menyebabkan nyeri perineal, dan disuria.4

3. Operasi terbuka
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal (Hryntschack atau Freyer) dan
retropubik (Millin). Pembedahan terbuka dianjurkan pada prostat yang volumenya lebih
dari 80 ml. Prostatektomi terbuka adalah cara operasi yang paling invasive dengan
morbiditas yang lebih besar. Penyulit dini yang terjadi pada saat operasi dilaporkan
sebanyak 7‐14% berupa perdarahan yang memerlukan transfusi. Sementara itu, angka
mortalitas perioperatif (30 hari pertama) adalah di bawah 0,25%. Komplikasi jangka
panjang dapat berupa kontraktur leher kandung kemih dan striktur uretra (6%) dan
inkontinensia urine (10%).4

31
Daftar Pustaka

1. John T. Hansen. Netter’s Clinical Anatomy. 2nd Ed. Phildephia : Saunders Elsevier;
2010. P. 188- 234
2. National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse. Prostate
Enlargement: Benign Prostatic Hyperplasia. P 1-20. BPH: surgical management.
Urology Care Foundation website. www.urologyhealth.org/urology/
index.cfm?article=31. Updated July 2013.
3. Purnomo, Basuki B. 2011. Dasar-dasar Urologi. Edisi ketiga. Jakarta : CV Sagung
Seto.
4. Mochtar CA. Umbas R. Soebadi DM, Rasyid N. Noegroho BS. Poernomo BB. Dkk.
Panduan penatalaksanaan klinis pembesaran prostat jinak. Ikatan ahli urologi
Indonesia. 2015.
5. Rahardjo, J. 1996. Prostat Hipertropi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah. Binarupa
aksara, Jakarta ; 161-703.
6. Mark J Speakman, Xi Cheng. Management of the complications of BPH/BOO. Indian
J Urol. 2014 Apr-Jun; 30(2): 208–213. doi: 10.4103/0970-1591.127856
7. Tanagho & Jack. 2008. Smith’s General Urology 17th edition. California: McGraw
Hill Medical

32
1. Tumor Buli
Gejala pada kanker buli-buli tidaklah spesifik. Gejala pertama yang paling umum adalah
adanya darah dalam urin (hematuria). Hematuria dapat terlihat dengan mata telanjang,
ataupun berada dalam level mikroskopik. Gejala seperti adanya iritasi pada urinasi juga
dapat dihubungkan dengan kanker kantung kemih, seperti rasa sakit dan terbakar ketika
urinasi, rasa tidak tuntas ketika selesai urinasi, sering urinasi dalam jangka waktu yang
pendek.
2. Ca Prostat
Kanker prostat adalah penyakit kanker yang berkembang di prostat, sebuah kelenjar
dalam sistem reproduksi lelaki.
Kanker prostat dapat menimbulkan rasa sakit, kesulitan buang air kecil, disfungsi erektil
dan gejala lainnya.
3. Striktur Uretra
Striktur uretra merupakan penyempitan atau penyumbatan lumen uretra karena
pembentukan jaringan fibrotik (parut) pada uretra dan/atau daerah peri uretra, yang pada
tingkat lanjut dapat menyebabkan fibrosis pada korpus spongiosum.
Gejala penyakit ini mirip seperti gejala penyebab retensi urine tipe obstruktif lainnya.
Diawali dengan sulit kencing atau pasien harus mengejan untuk memulai kencing namun
urine hanya keluar sedikit-sedikit. Gejala tersebut harus dibedakan dengan inkontinensia
overflow, yaitu keluarnya urine secara menetes, tanpa disadari, atau tidak mampu ditahan
pasien. Gejala-gejala lain yang harus ditanyakan ke pasien adalah adanya disuria,
frekuensi kencing meningkat, hematuria, dan perasaan sangat ingin kencing yang terasa
sakit. Jika curiga penyebabnya adalah infeksi, perlu ditanyakan adanya tanda-tanda
radang seperti demam atau keluar nanah. Selain itu, bisa juga disertai
pembengkakan/abses di daerah perineum dan skrotum, serta bila terjadi infeksi sistematik
juga timbul panas badan, menggigil, dan kencing berwarna keruh.
4. Neurogenic Bladder
Neurogenic bladder adalah suatu disfungsi kandung kemih akibat kerusakan sistem saraf
pusat atau saraf tepi yang terlibat dalam pengendalian berkemih. Keadaan ini bisa berupa
kandung kemih tidak mampu berkontraksi dengan baik untuk miksi (underactive bladder)
maupun kandung kemih terlalu aktif dan melakukan pengosongan kandung kemih
berdasar refleks yang tak terkendali (overactive bladder).
Gejala-gejala disfungsi Neurogenik bladder terdiri dari urgensi, frekuensi, retensi dan
inkontinens.
33
5. Infeksi saluran kemih
Infeksi saluran kemih adalah keadaan adanya infeksi (ada pertumbuhan dan
perkembangbiakan bakteri, jamur, virus) dalam saluran kemih mulai dari uretra, buli-buli,
ureter, sampai jaringan ginjal dengan jumlah bakteri dalam urin yang bermakna.
Gejala demam,

34

Anda mungkin juga menyukai