1
BAB I
PENDAHULUAN
Konsep mengenai anemia aplastik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988 oleh Paul
Ehrlich. Ia melaporkan seorang wanita muda yang pucat dan panas dengan ulserasi gusi,
menorrhagia, anemia berat dan leukopenia. Sewaktu dilakukan autopsi ditemukan tidak ada
sumsum tulang yang aktif, dan Ehrlich kemudian menghubungkannya dengan adanya penekanan
pada fungsi sumsum tulang. Pada tahun 1904, Chauffard memperkenalkan istilah anemia
aplastik.1,2,4
Insidensi anemia aplastik bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus
persejuta penduduk pertahun.2 Insidensi anemia aplastik diperkirakan lebih sering terjadi
dinegara Timur dibanding negara Barat. Peningkatan insiden mungkin berhubungan dengan
faktor lingkungan seperti peningkatan paparan terhadap bahan kimia toksik dibandingkan faktor
genetik. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya peningkatan insiden pada penduduk Asia yang
tinggal di Amerika. Penelitian yang dilakukan di Thailand menunjukkan peningkatan paparan
dengan pestisida sebagai etiologi yang tersering.3,5
Ketersediaan obat-obat yang dapat diperjualbelikan dengan bebas merupakan salah satu
faktor resiko peningkatan insiden. Obat-obat seperti kloramfenikol terbukti dapat mensupresi
sumsum tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum tulang dan mengakibatkan aplasia sumsum
tulang sehingga diperkirakan menjadi penyebab tingginya insiden.6
Diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan berdasarkan gejala subjektif, gejala objektif,
pemeriksaan darah serta pemeriksaan sumsum tulang. Gejala subjektif dan objektif merupakan
manifestasi pansitopenia yang terjadi. Namun, gejala dapat bervariasi dan tergantung dari sel
2
mana yang mengalami depresi paling berat. Diagnosa pasti anemia aplastik adalah berdasarkan
pemeriksaan darah dan pemeriksaan sumsum tulang. Penegakkan diagnosa secara dini sangatlah
penting sebab semakin dini penyakit ini didiagnosis kemungkinan sembuh secara spontan atau
parsial semakin besar.6,7
Hampir semua kasus anemia aplastik berkembang ke kematian bila tidak dilakukan
pengobatan. Angka kelangsungan hidup tergantung seberapa berat penyakit saat didiagnosis, dan
bagaimana respon tubuh terhadap pengobatan.8 Semakin berat hipoplasia yang terjadi maka
prognosis akan semakin jelek. Dengan transplantasi tulang kelangsungan hidup 15 tahun dapat
mencapai 69% sedangkan dengan pengobatan imunosupresif mencapai 38%.9
Mengingat kasus anemia aplastik ini memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang
cukup tinggi dan pentingnya diagnosis lebih dini diharapkan tinjauan pustaka ini dapat menjadi
salah satu sumber referensi.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis tanggal 06 April 2018.
Keluhan utama
Badan Lemas 6 hari SMRS
Keluhan tambahan
Sesak, pusing, berdebar, mimisan , gusi berdarah, memar dan demam.
4
sedikit sedikit terutama saat menggosok gigi. OS pun sering demam panas sejak 1 bulan
terakhir. Demam timbul sepanjang hari namun panas tidak terlalu tinggi. Demam biasanya
berlaku tidak lebih dari satu hari tetapi sering terjadi. Menurut os, demam dapat terjadi 2 atau
3 kali dalam satu minggu dan sejak 1 hari SMRS demam timbul lagi.
Riwayat merokok disangkal. Riwayat muntah hitam maupun darah segar disangkal.
BAK dan BAB os normal. Os pernah sebelumnya dengan keluhan yang sama yaitu lemas
dan sesak napas 1 bulan lalu disertai demam hilang timbul dan gusi sering berdarah namun
belum begitu parah dan Os tidak berobat karena masih bisa aktivitas dan berharap sembuh
sendiri. Os mengaku sejak 1 bulan itu sering memar memar walau hanya tebentur ringan dan
hanya diolesi minyak kelapa saja.
Riwayat pengobatan
OS tidak konsumsi obat-obatan apapun.
Riwayat lingkungan
Os tidak pernah terkena radiasi , tidak kontak dengan bahan-bahan kimia lama.
5
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4 M6 V5
Keadaan sakit : Sakit sedang
Tanda vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 114x /menit, reguler, kuat, ekual
Pernapasan : 30 x/menit, reguler, tipe abdominotorakal
SpO2 : 98%
Suhu : 37,9oC
Tinggi badan : 160 cm
Berat badan : 45 kg
BMI : 17.6 kg/m2
Status gizi : Underweight sedang
Status generalis
Kepala : Normocephali, simetris, warna rambut hitam, rambut tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor, RCL (+/+),
RCTL (+/+), pergerakan mata ke segala arah baik.
Hidung : Sekret (-), pernapasan cuping hidung (-),epistaksis (+).
Telinga : Liang telinga lapang (+), dan nyeri tekan (-)
Mulut : Bibir pucat (+), pursed lips breathing (-), oral hygiene baik, faring dan tonsil
hiperemis (-), lidah dan bibir kering(-), mukosa mulut pucat (+), perdarahan
gusi(+).
Leher : KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak teraba membesar,
JVP 5+2 cm H2O
Thoraks
Inspeksi : Bentuk normal, simetris, warna kulit sawo matang, ikterik (-), pucat (-),
sianosis (-), tidak tampak retraksi sela iga, gerakan pernapasan simetris kiri
dan kanan, tidak ada bagian hemithoraks yang tertinggal
Palpasi : Pergerakan dinding dada kiri dan kanan simetris, tidak ada bagian yang
tertinggal, vocal fremitus simetris kiri dan kanan baik di bagian dada
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru, batas paru dan jantung kanan setinggi ICS 3
hingga ICS 5 linea sternalis kanan dengan suara redup, batas paru dan
6
jantung kiri setinggi ICS 5 ± 1 cm medial linea midclavikularis kiri dengan
suara redup, batas atas jantung setinggi ICS 3 linea parasternalis kiri
Auskultasi : Paru : Suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : BJ I dan BJ II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Bentuk normal, mendatar, simetris, tidak buncit, warna kulit sawo matang,
ikterik (-), pucat (-), tidak terdapat efloresensi yang bermakna, gerak dinding
perut simetris, tidak ada yang tertinggal
Auskultasi : Bising usus 4x/menit
Perkusi : Pada ke 4 kuadran didapatkan suara timpani, shifting dullness (-)
Palpasi : Dinding abdomen supel, tidak ada retraksi maupun defense muskular, nyeri
tekan epigastrium (+), nyeri lepas (-), pembesaran hepar (-), pembesaran lien (-),
murphy sign (-), ballotement (-), undulasi (-)
Ekstremitas
Atas :Akral teraba hangat, pucat (+),ptechie (-/-),purpura (-/-), ekimosis (+/+), CRT
3”
Bawah :Akral teraba hangat, pucat (+),ptechie (-/-),purpura (-/-), ekimosis (+/+), CRT
3”
7
SGOT 13 U/L 5 - 40
SGPT 10 U/L < 45
Ureum 43 mg/dl 10-50
Creatinin 0,68 mg/dl 0,6-1,5
Elektrolit Serum
Natrium (Na) 134 mmol /L 135-145
Kalium 4,2 mmol/L 3,5 -5,1
Chlorida 106 mmol/L 95-110
Golongan Darah O
Interpretasi EKG :
Irama sinus rythm, QRS rate 100 x/menit, Regularitas reguler, Axis Normoaksis, Interval PR
0,16s, Gelombang P normal, Komples QRS <0,12s , tidak ada T inversi, tidak ada ST depresi
maupun elevasi, tidak ada Q patologis.
Kesan : Sinus Rythem
8
Eritrosit 1.6 jt/ μL 4.5 – 5.9
Hemoglobin 4.6 g/ dL 14 – 18
Hematokrit 12.9 % 40 – 54
Trombosit 16 ribu / μL 150 – 450
MCV 83.2 fL 80 – 100
MCH 29.6 pg 28– 33
MCHC 35.6 g/dL 33 – 36
Basofil 0.0 % 0.0 - 1.0
Eosinofil 1.0 % 1.0 - 6.0
Neutrofil batang 1.0 % 2.0 - 6.0
Neutrofil segmen 30.0 % 50.0 - 70.0
Limfosit 45 % 20.0 - 40.0
Monosit 2% 2.0 - 9.0
Bleeding Time 7’ 1-3
Clotting time 16’ 2-6
HbsAg Negatif Negatif
9
MCHC 35.7 g/dL 33 – 36
2.5 Resume
Pasien ny M, usia 51 tahun. Datang ke IGD RSUD 45 dengan keluhan lemas badan
selalu merasa letih disertai sesak sejak 6 hari SMRS. Sesak dirasakan semakin berat 1 hari
SMRS dan sesak berkurang apabila os istirahat. Menurut os, sesak bersifat terus menerus dan
tidak dipengaruhi oleh posisi tubuh pasien sama ada ketika tidur, duduk atau berdiri. Riwayat
tidur os tidur dengan satu bantal. Os menyangkal sesak disertai nyeri di dada. Keluhan sesak
timbul selepas batuk yang kuat disangkal. Keluhan batuk lebih dari 2 minggu disangkal oleh os.
Keluhan keringat malam juga disangkal oleh os. Selain itu, os merasakan pusing hampir mau
pingsan, lesu dan lunglai. Os juga mengeluh sering berdebar tanpa sebab yang jelas. Os kadang
mengalami mimisan tapi os menyangkal adanya trauma di bagian hidung, sejak 2 hari SMRS
mimisan 3x perhari banyaknya 1/4 gelas namun berhenti sendiri. Selain itu gusi berdarah masih
ada sedikit sedikit terutama saat menggosok gigi. OS pun sering demam panas sejak 1 bulan
terakhir. Demam timbul sepanjang hari namun panas tidak terlalu tinggi. Demam biasanya
berlaku tidak lebih dari satu hari tetapi sering terjadi. Menurut os, demam dapat terjadi 2 atau 3
kali dalam satu minggu dan sejak 1 hari SMRS demam timbul lagi.
PF: KU/KS: TSS/CM. TD: 110/80 mmHg, N: 114x/m, RR: 30x/mnt, T: 37,9 ̊C. Konjungtiva
anemis (+), bibir pucat (+), gusi kemerahan bercak darah (+), hidung tampak clot darah (+),
Ekstremitas: akral hangat, pucat (+) dan CRT 3 detik. Lab: Leu: 2.37 rb/uL, Trombosit: 3 rb/uL,
Hb: 2.3 g/dL, Ht: 6 %, Erit : 0.77 jt/ μL. SADT : Pansitopeni suspek anemia aplastic, EKG : dbn.
10
2.7 Rencana pemeriksaan lanjutan
- Biopsi sumsum tulang
- Radionuclide Bone Marrow Imaging
2.8 Penatalaksanaan
Non Medikamentosa
Komunikasi- Informasi- Edukasi
O2 3-5 L/menit
Diet TKTP
Observasi tanda-tanda perdarahan
H2TL ulang dalam 24 jam
Medikamentosa
IVFD Nacl 0.9%/12 jam
Inj Asam Tranexamat 3x500 mg (IV)
Inj Vit K 3x1 (IV)
Inj Omeprazole 1x40 mg (IV)
Inj Metil Prednisolon 2x625 mg (IV)
Paracetamol tablet 3x500 mg (PO)
Transfusi Packed Red Cell 500cc/hari hingga Hb 8
Transfusi Trombosit Concentrat Apheresis 10 kantong.
2.9 Prognosis
Ad vitam : Dubia Ad Bonam
Ad functionam : Dubia Ad Bonam
Ad sanasionam : Dubia Ad Malam
2.10 Follow up
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Plan
7 April lemas, sesak TD ; 110/80, N:80, S: Anemia IVFD Nacl 0,9 % /12 jam
2018 berkurang, 36,8 RR:24x/m Aplastik Inj Kalnex 3x500 mg IV
mimisan sudah Konjungtiva anemis +/ inj Vit K 3x1 IV
berhenti dan gusi +, bibir pucat +, hidun Inj MP 2x625 IV
berdarah masih g sudah tidak tampak Transfusi PRC 500cc per
sedikit, gatal perdarahan, perdaraha hari
setelah transfusi n gusi masih sedikit, e Cetirizine 1x10 mg PO
TC Apheresis 10 kimosis di ektrekitas + Diet TKTP
kantong /+, CRT 3” cek ulang Darah Rutin
11
8 April lemas, sesak TD ; 120/80, N:80, S: Anemia iVFD Nacl 0,9%/12jam
2018 tidak ada, 36,8 RR:22/m Aplastik Inj MP 2x625 IV
mimisan dan Konjungtiva anemis +/ Transfusi PRC 500cc per
gusi berdarah +, bibir pucat -, hidun hari
sudah berhenti g sudah tidak tampak Diet TKTP
perdarahan, perdaraha cek ulang Darah Rutin
n gusi tidak ada , ekim
osics di ektrekitas +/+,
CRT 2”
9 April tidak ada TD ; 110/80, N:80, S: Anemia iVFD Nacl 0,9%/12jam
2018 keluhan 36,8 RR:22/m Aplastik Inj MP 2x625 IV
Konjungtiva anemis -/ Transfusi PRC 500cc per
- bibir pucat -, hidung hari
sudah tidak tampak pe Diet TKTP
rdarahan, perdarahan g cek ulang Darah Rutin bila
usi tidak ada , ekimosi Hb 8 rencana Acc Pulang
cs di ektrekitas +/+,
CRT 2”
10 Apri tidak ada TD ; 11/80, N:80, S: 3 Anemia Acc rawat jalan saran rujuk
l 2018 keluhan 6,8 RR:22/m Aplastik RUmah Sakit Hassan Sadik
Konjungtiva anemis -/ in untuk pemeriksaan selan
- bibir pucat -, hidung jutnya dan tatalaksana
sudah tidak tampak pe Obat pulang Metilprednisol
rdarahan, perdarahan g on 3x16 mg PO diturunkan
usi tidak ada , ekimosi bertahap
s di ektrekitas +/+, OMZ 1x20 mg PO
CRT 2” Asam folat 1x1 PO
B12 2x1 PO
Vit K 3x1 PO
Plasminex 2x500mg PO
12
BAB III
ANALISIS KASUS
Berdasarkan anamnesis pada pasien ini didapatkan adanya gejala seperti pucat, mudah
lelah, sesak, gusi berdarah spontan, hidung berdarah, demam dan lebam pada ekstremitas.
Menurut pengakuan pasien sering mengalami gejala yang sama sejak 1 bulan terakhir. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan conjungtiva anemis, mukosa bibir pucat, terdapat pendarahan pada
nasal, tampak perdarahan pada gusi, thorax tidak terdapat kelainan, dan abdomen tidak terdapat
hepatomegali maupun spleenomegali. Pada inspeksi kulit didapatkan ekimosis pada lengan dan
tungkai. Pada pemeriksaan penunjang dilakukan pemeriksaan hematologi darah perifer lengkap
dengan hasil didapatkan penurunan kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, hematokrit,, dan
eritrosit. Hasil yang didapatkan berturut-turut adalah hemoglobin :2,3g/dl, Hematokrit: 6 %,
Eritrosit : 0,77 x103 g/ul, Leukosit: 2,37 x 103/uL, Trombosit: 3x103/uL. Menurut Menurut
International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study Group (IAASG) ketiga kriteria
diagnosis anemia aplastik sudah terpenuhi yaitu hemoglobin kurang dari 10 g/dl atau hematokrit
kurang dari 30%, trombosit kurang dari 50 109 /L, dan leukosit kurang dari 3.5 109 /L.
Setelah diagnosis ditegakkan maka perlu ditentukan derajat penyakit anemia aplastik. Hal
ini sangat penting dilakukan mengingat hubungan dengan strategi terapi yang akan diberikan.
Kriteria yang dipakai pada umumnya adalah kriteria Camitra et al yang membagi derajat anemia
aplastik menjadi nonserve aplastic anemia (tidak berat), severe aplastic anemia (berat), dan
sangat berat. Tergolong anemia aplastik berat bila memenuhi kriteria berikut, paling sedikit dua
dari tiga:(a) granulosit < 0.5 x 109/L; b) trombosit < 20 x 109/L c) corrected retikulosit < 1%,
selularitas sumsum tulang < 25% atau selularitas < 50% dengan < 30% sel-sel hematopoetik.
Tergolong anemia aplastik sangat berat bila neutrofil < 0.2x109/L. Anemia aplastik yang lebih
ringan dari anemia aplastik berat disebut anemia aplastik tidak berat (nonserve aplastic anemia).
Pasien ini belum dapat diklasifikasikan menjadi anemia aplastik tidak berat, berat, maupun
sangat berat. Hal ini dikarenakan kriteria untuk penentuan klasifikasi anemia aplastik belum
terpenuhi karena pemeriksaan bone marrow belum dilakukan.
Anemia aplastik memiliki tingkat kematian yang lebih besar dari 70% dengan perawatan
suportif saja. Penyakit ini termasuk darurat hematologi dan penatalaksanaan harus dilakukan
13
secepat mungkin. Obat- obatan tertentu diberikan berdasarkan pada pilihan terapi dan melihat
kebutuhan pasien. Rawat inap untuk pasien dengan anemia aplastik mungkin diperlukan selama
periode infeksi dan untuk terapi yang spesifik, seperti globulin antithymocyte (ATG). Secara
garis besar terapi untuk anemia apalstik dapat dibagi menjadi 4 yaitu terapi kausal, terapi
suportif, terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang serta terapi definitif yang terdiri atas
pemakaian anti-lymphocyte globuline dan transplantasi sumsum tulang.
pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui seperti benzene dan insektisida,
tetapi hal ini sulit dilakukan mengingat etiologi anemia aplastik yang tidak jelas. Terapi
selanjutnya adalah terapi suportif yang diberikan untuk mengatasi akibat pansitopenia seperti
mengatasi infeksi. Untuk mengatasi infeksi antara lain adalah menjaga higienitas perorangan,
identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat. Selama dilakukan
kultur bakteri dan hasil belum keluar berikan antibiotika berspektrum luas yang dapat mengatasi
kuman gram positif dan negatif. Antibiotik yang diberikan dipilih yang tidak menyebabkan
depresi sumsum tulang, berupa derivat penicillin semisintetik (ampisilin) dan gentamisin. Namun
sefalosporin generasi ketiga lebih sering diberikan belakangan ini. Jika dalam 5-7 hari demam
tidak turun maka pikirkan adanya infeksi sekunder seperti infeksi jamur. Jika terjadi infeksi
jamur, disarankan untuk memberikan ampotericin-B atau flukonasol parenteral.
Tranfusi packed red cell atau (PRC) jika hemoglobin <7 g/dl atau terdapat tanda payah
jantung atau anemia yang sangat simtomatik. Koreksi sampai Hb 7-8% tidak perlu mencapai
kadar hb normal atau mempertahankan kadar hb yang tinggi karena dengan transfuse darah yang
terlampau sering akan timbul depresi terhadap sumsum tulang atau timbul reaksi transfuse akibat
dibentuknya antibody terhadap sel darah merah, leukosit, dan trombosit. Transfusi suspensi
trombosit diberikan bila terdapat pendaran masif atau trombosit kurang dari 20.000/mm3 namum
pemberian trombosit berulang dapat menurunkan efektifitas trombosit karena timbulnya antibodi
anti-trombosit.
Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang diantaranya adalah anabolik steroid dan
kortikosteroid. Anabolik steroid dapat diberikan oksimetolon atau stanozol. Oksimetolon
diberikan dalam dosis 2-3mg/kg BB/hari. Efek terapi tampak setelah 6-12 minggu dengan efek
14
samping berupa firilisasi dan gangguan fungsi hati. Kortikosteroid dosis rendah-menengah
fungsinya masih belum jelas tetapi pemberian kortikosteroid dapat mengurangi pendarahan pada
kulit yang disebabkan trombositopenia berat. Steroid yang diberikan adalah prednisone 60-
100mg/hari, jika dalam 4 minggu tidak ada respon sebaiknya dihentikan karena menimbulkan
efek samping seperti osteoporosis, sindroma cushing, dan obesitas. Granulocyte Macrophage -
Colony Stimulating Factor (GM-CSF) atau Granulocyte - Colony Stimulating Factor G-CSF
dapat diberikan untuk meningkatkan jumlah netrofil, tetapi harus diberikan secara terus menerus.
Eritropoetin juga dapat diberikan untuk mengurangi kebutuhan transfusi sel darah merah.
Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka panjang.
Terapi definitif untuk anemia apalstik terdiri dari 2 jenis pilihan yaitu terapi imunosupresif dan
transplantasi sumsum tulang. Terapi imunosupresif merupakan lini pertama dalam pilihan terapi
definitif pada pasien berusia diatas 40 tahun dan pasien muda yang tidak menemukan donor yang
cocok. Terapi ini terdiri dari pemberian anti lymphocyte globulin seperti Anti lymphocyte
globulin (ALG) atau anti tymphocyte globulin (ATG) dan pemberian metilprednisolon. ALG
dapat menekan proses imunologi dan bekerja melalui peningkatan pelepasan haemopoetic
growth factor. Sekitar 40%-70% kasus memberi respon pada ALG, meskipun sebagian respon
bersifat tidak komplit (ada defek kualitatif atau kuantitatif). Terapi yang lain adalah pemberian
metilprednisolon dosis tinggi dengan siklosforin-A dilaporkan memberikan hasil yang baik pada
beberapa kasus tetapi efektifitasnya masih belum pasti sampai saat ini.
Pada pasien ini diberikan terapi IVFD Nacl/12 jam, Pemberian normal saline 0,9% (NS 0,
9%) ditujukan untuk memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh dan asupan nut
15
risi tambahan. NS 0,9% merupakan cairan kristaloid yang memiliki berat jenis rendah (<8000 dal
ton) tanpa kandungan glukosa sebagai tambahan, Cairan jenis ini memiliki tekanan onkotik yang
rendah sehingga cepat terdistribusi ke seluruh ruang ekstra seluler. Lalu transfusi Packed Red Ce
lls (PRC) 500cc perhari karena didapatkan kadar hemoglobin 2.3 g/dl yang merupakan indikasi tr
ansfusi, Transfusi Trombosit Consentrat Apheresis 10 kolf, Tranfusi terutama adalah packed red
cell agar tercapai hemokonsentrasi, juga mencegah terjadinya alloimunisasi, serta transmisi berba
gai penyakit terutama yang disebabkan oleh CMV. Hal ini ditujukan pula untuk menghambat terj
adinya GVHD ( graft versus host disease ) serta memperbaiki prognosa apabila pasien mendapat
kan terapi transplantasi sum – sum tulang. Transfusi ini perlu untuk terus dilakukan hingga diagn
osis dapat ditegakkan atau pasien mendapatkan terapi yang lebih spesifik seperti transplantasi
sum-sum tulang atau imunosupresan. Transfusi Trombosit Concentrat di berikan karena pada pas
ien trombosit 3 ribu disertai adanya perdarahan spontan hidung dan gusi merupakan indikasi pem
berian transfusi trombosit, dosis 1 unit/10 kgbb, 1 unit bisa menambahkan 9000-11000 platelet
dalam trombositopenia berat dibutuhkan 8-10 unit kantong.Biasanya menimbulkan efek samping
berupa gatal-gatal seperti pada pasien dan cukup diberikan cetirizin 1x10 mg PO
Pemberian kortikosteroid yaitu Metilprednisolon 2x625mg untuk mengurangi pendarahan
pada kulit yang disebabkan trombositopenia. Metilprednisolone adalah kortikosteroid dengan ker
ja intermediate yang termasuk kategori adrenokortikoid, antiinflamasi dan imunosupresan. dosis
tinggi (pulse terapi): intravena, 30 mg (base) per kg berat badan Kemudian dosis diturunkan tiap
3 hari sampai 1 mg/kg sekali sehari , pasien BB 45 kg sehingga dosis 1350 per hari (2x625 IV) \u
ntuk rawat jalan diberi MP 3x16 mg dan di turunkan bertahap. Pada pasien ini juga diberikan par
acetamol 3x500 mg untuk demamnya.
Prognosis penyakit anemia aplastik sangat bervariasi, tetapi tanpa pengobatan pada
umumnya memberikan prognosis yang buruk. Prognosis bergantung pada gambaran sumsum
tulang hiposeluler atau aseluler, kadar HbF >200mg% memperlihatkan prognosis baik, jumlah
granulosit >200/mm3 menunjukan prognosis yang lebih baik, dan pencegahan infeksi sekunder.
Gambaran umum sumsum tulang merupakan parameter yang terbaik untuk menentukan
prognosis.1 Selain itu prognosis anemia aplastik juga bergantung pada:
(a) kasus berat dan progresif, rata-rata kematian dalam 3 bulan (merupakan 10%-15%
kasus);
16
(b) penderita dengan perjalanan penyakit kronik dengan remisi dan kambuh, rata-rata
kematian dalam 1 tahun, merupakan 50% kasus
(c) penderita yang mengalami remisi sempurna atau parsial, hanya merupakan sebagian kecil
penderita.
Prognosis ad vitam, ad fungsionam, adalah dubia ad bonam dan ad sanationam pada pasien
ini adalah dubia ad malam. Hal ini disebabkan oleh karena pasien belum pengobatan sama
sekali, remisi pada ane,ia aplastik dapat dilihat menggunakan pemeriksaan hematologi dan
biopsi sumsum tulang satu tahun sekali sebagai indikator terbaik. Pada pasien belum
dilakukan biopsi sumsum tulang. Hal lain yang mempengaruhi adalah seringnya pasien
terkena infeksi, dimana infeksi merupakan salah satu penyebab kematian penderita.
17
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan
pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang.4 Pada anemia aplastik terjadi penurunan
produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia,
granulositopenia, monositopenia dan trombositopenia.9 Istilah anemia aplastik sering juga
digunakan untuk menjelaskan anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun.
Sinonim lain yang sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif,
aleukia hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik.1
4.2 Epidemiologi
Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2
sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun.2 Analisis retrospektif di Amerika Serikat
memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk
pertahun.9 The Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study
memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun.2,9 Frekuensi tertinggi anemia aplastik
terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69
tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus
persejuta penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta
penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara
Barat belum jelas.9 Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan
seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik.
Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di
Amerika.5
18
1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus.
2. Sekunder : bila kausanya diketahui.
3. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya anemia Fanconi
B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (lihat tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi anemia aplastik berdasarkan tingkat keparahan.3,9,10
Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan tetapi,
kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti penyebabnya tidak diketahui.4,11
Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi virus dan dengan penyakit lain (Tabel 2).
19
Tabel 2. Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik.6,12
Radiasi
Efek regular
Bahan-bahan sitotoksik
Benzene
Reaksi Idiosinkratik
Kloramfenikol
NSAID
Anti epileptik
Emas
Virus
Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis
20
Hipoimunoglobulinemia
Kehamilan
Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
4.4.1 Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi dimana stem sel
dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringan-jaringan dengan mitosis
yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat sensitif.4,12 Bila stem sel hematopoiesis yang
terkena maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum
tulang dan menyebabkan fibrosis.2
21
Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan luasnya
paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat digunakan sebagai terapi
dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum tulang asalkan lapangan penyinaran
tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang. Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh
efek radiasi tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada
dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X). Jumlah sel darah
dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads).
Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien
dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali
pasien menerima transplantasi sumsum tulang. Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi
eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik.13
Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan anemia aplastik
dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang lain seperti insektisida dan
logam berat juga berhubungan dengan anemia yang berhubungan dengan kerusakan sumsum
tulang dan pansitopenia.13
4.4.3 Obat-obatan
Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat berlebihan.
Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang dengan predisposisi
genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah kloramfenikol. Obat-obatan lain yang
juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-
obatan sitotoksik misalnya mieleran atau nitrosourea.2
22
Anti aritmia Kuinidin, tokainid
Anti mikroba
Alkylating Busulfan,
agen cyclophosphamide,
melphalan, nitrogen
mustard
23
methotrexate
Antibiotik Daunorubisin,
Sitotoksik doxorubisin,
mitoxantrone
Hipoglikemik Klorpropamide,
tolbutamide
Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang disebut resiko
tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia aplastik merupakan resiko
menengah dan selainnya yang lebih jarang merupakan resiko rendah.
24
4.4.4 Infeksi
Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis, virus Epstein-
Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling sering. Pansitopenia
berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi hepatitis. Walaupun anemia aplastik
jarang diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan
dengan anemia aplastik.. Parvovirus B19 dapat menyebabkan krisis aplasia sementara pada
penderita anemia hemolitik kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter, dan lain-lain).
Pada pasien yang imunokompromise dimana gagal memproduksi neutralizing antibodi terhadap
Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia dapat terjadi.8,12,13
Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum tulang,
biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus dapat menyebabkan
kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan infeksi dan sitolisis sel hematopoiesis
atau secara tidak langsung melalui induksi imun sekunder, inisiasi proses autoimun yang
menyebabkan pengurangan stem sel dan progenitor sel atau destruksi jaringan stroma
penunjang.4
Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian dari
padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia Fanconi. Anemia Fanconi
merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh hipoplasia sumsung tulang disertai
pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan
seksual, kelainan ginjal dan limpa.2
Penyakit ini dapat bermanifestasi berupa anemia aplastik. Hemolisis disertai pansitopenia
mengkin termasuk kelainan PNH.2
25
3. Kehamilan
Kasus kehamilan dengan anemia aplastik telah pernah dilaporkan, tetapi hubungan antara dua
kondisi ini tidak jelas. Pada beberapa pasien, kehamilan mengeksaserbasi anemia aplastik
yang telah ada dimana kondisi tersebut akan membaik lagi setelah melahirkan. Pada kasus
yang lain, aplasia terjadi selama kehamilan dengan kejadian yang berulang pada kehamilan-
kehamilan berikutnya.9
4.5 Patogenesis11
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang
diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan oleh
ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic
anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis
dari kebanyakan anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel.
Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling
sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada
penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-obat
tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia,
myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga
mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini
menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya
dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana
berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan kerusakan
DNA masih belum diketahui dengan pasti.
Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh
paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai
DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA.
Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin merupakan
mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui
benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan
26
mencetuskan kematian stem sel. “Pembunuhan” langsung terhadap stem sel telah dihipotesa
terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada
pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).
Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang timbul
adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia
dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe d’effort, palpitasi cordis,
takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia
yang akan menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan
keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu
dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ.7 Pada
kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau
pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan.1
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin Keluhan
yang dapat ditemukan sangat bervariasi (Tabel 4). Pada tabel 4 terlihat bahwa pendarahan, lemah
badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan.
Jenis Keluhan %
Pendarahan 83
Lemah badan 80
Pusing 69
Jantung berdebar 36
Demam 33
27
Pucat 26
Sesak nafas 23
Penglihatan kabur 19
Telinga berdengung 13
Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada tabel 5 terlihat
bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan pendarahan ditemukan pada
lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya bermacam-macam ditemukan
pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun.
Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis.2
Pucat 100
Pendarahan 63
Kulit 34
Gusi 26
Retina 20
Hidung 7
Saluran cerna 6
Vagina 3
Demam 16
Hepatomegali 7
28
Splenomegali 0
a. Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia yang terjadi
bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda regenerasi. Adanya eritrosit
muda ( retikulosit ) atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik.
Kadang-kadang pula dapat ditemukan makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis.2
29
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih
menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat pada lebih
dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm3 dan trombosit kurang dari 20.000/mm3
menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang dari 200/mm3 menandakan anemia
aplastik sangat berat.2,9
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal. Perubahan
kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit bukan merupakan
gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic anemia). Pada beberapa
keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga diagnosisnya
menjadi red sel aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini
produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu
sehingga diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan.9
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya memanjang dan
begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin F meningkat
pada anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional.2
30
b. Pemeriksaan sumsum tulang
Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan daerah yang
kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit, sel plasma, makrofag dan
sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-sel yang lain
daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini. Pada kebanyakan kasus gambaran
partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa
spikula dapat ditemukan normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit
rendah.9
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara kualitatif maupun
kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran hiposelular. Aspirasi dapat
memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis (misalnya terdilusi dengan darah perifer),
atau dapat terlihat hiperseluler karena area fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi
sumsum tulang ulangan dan biopsi dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis.9,12
Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari 30% sel pada
individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada individu yang berumur
lebih dari 60 tahun.8
31
International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila selularitas
sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari 30% sel
hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang.9
4.8 Diagnosa3,9,10
Diagnosa berdasarkan gejala klinis berupa panas, pucat, perdarahan- tanpa adanya organomegali
(hepato splenomegali). Gambaran darah tepi menunjukan pansitopenia dan limfositosis relative.
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan darah dan dan pemeriksaan sumsum tulang.
Pada anemia aplastik ditemukan pansitopenia disertai sumsum tulang yang miskin selularitas dan
kaya akan sel lemak sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Pansitopenia dan
hiposelularitas sumsum tulang tersebut dapat bervariasi sehingga membuat derajat anemia
aplastik.
Kriteria menurut International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study Group (IAASG)
adalah :
32
1. satu dari tiga sebagai berikut :
Hb < 10 g/dl atau Ht < 30%
Trombosit < 50x109/L
Leukosit < 3,5x109/L atau neutrofil < 1,5x109/L
2. Retikulosit < 30x109/L (<1%)
3. Gambaran sumsum tulang :
penurunan selularitas dg hilangnya atau menurunnya semua sel hemopoetik atau
selularitas normal oleh hiperplasia eritroid fokal dg deplesi seri granulosit dan
megakariosit
tidak ada fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik
4. Pansitopenia karena obat sitostatiska atau radiasi terapeutik harus dieklusi
Tabel Derajat Anemia Aplastik :
Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai dengan
pansitopenia perifer. Beberapa penyebab pansitopenia terlihat pada tabel 6.
33
Myelodisplasia
Leukemia akut
Myelofibrosis
Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell leukemia
Anemia megaloblastik
Kelainan bukan sumsum tulang
Hipersplenisme
Sistemik lupus eritematosus
Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis
Kelainan yang paling sering mirip dengan anemia aplastik berat yaitu sindrom
myelodisplastik dimana kurang lebih 5 sampai 10 persen kasus sindroma myelodisplasia tampak
hipoplasia sumsum tulang. Beberapa ciri dapat membedakan anemia aplastik dengan sindrom
myelodisplastik yaitu pada myelodisplasia terdapat morfologi film darah yang abnormal
(misalnya poikilositosis, granulosit dengan anomali pseudo-Pelger- Hüet), prekursor eritroid
sumsum tulang pada myelodisplasia menunjukkan gambaran disformik serta sideroblast yang
patologis lebih sering ditemukan pada myelodisplasia daripada anemia aplastik. Selain itu,
prekursor granulosit dapat berkurang atau terlihat granulasi abnormal dan megakariosit dapat
menunjukkan lobulasi nukleus abnormal (misalnya mikromegakariosit unilobuler).9
Kelainan seperti leukemia akut dapat dibedakan dengan anemia aplastik yaitu dengan
adanya morfologi abnormal atau peningkatan dari sel blast atau dengan adanya sitogenetik
abnormal pada sel sumsum tulang. Leukemia akut juga biasanya disertai limfadenopati,
hepatosplenomegali, dan hipertrofi gusi.7,14
Hairy cell leukemia sering salah diagnosa dengan anemia aplastik. Hairy cell leukemia
dapat dibedakan dengan anemia aplastik dengan adanya splenomegali dan sel limfoid abnormal
pada biopsi sumsum tulang.14
34
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh sistemik
lupus eritematosus (SLE), infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum tulang yang
normoselular jelas membedakannya dengan anemia aplastik.
4.10 Penatalaksanaan
Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia dan
monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan kondisi yang potensial
mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien (lihat tabel 7).9
Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga menjadi penyebab
anemia aplastik.
Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.
Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang dibutuhkan.
Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.
Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak dapat
diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang dan infeksi ada
(misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi granulosit dari
donor yang belum mendapat terapi G-CSF.
Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan histocompatibilitas pasien,
orang tua dan saudara kandung pasien.
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu transplantasi
stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin dan metilprednisolon) atau
pemberian dosis tinggi siklofosfamid.9 Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi
imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor
saudara yang cocok (matched sibling donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban
transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi
imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi
transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host
35
Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi
imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia
aplastik.15
a. Pengobatan Suportif15
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells
sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit
kardiovaskular.
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan
karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang
ditransfusikan sangat pendek.
36
b. Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin (ATG)
atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG diindikasikan
pada15 :
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan
sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.15 Siklosporin juga
diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit
sitotoksik.15 Sebuah protokol pemberian ATG dapat dlihat pada tabel 8.11
ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan
dengan saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada lengan sebelahnya.
Bila tidak ada reaksi anafilaksis, ATG dapat diberikan.
Terapi ATG :
37
ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari
Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG
dan dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum
sickness, tapering dosis setiap 2 minggu.
38
Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap siklus
imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang refrakter ATG kuda tercapai
dengan siklus kedua ATG kelinci.15
Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin dan sel-sel
induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastk ringan dan pada
anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen digunakan sebagai terapi
penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif.9,15
39
Gambar 2. Kelangsungan hidup pada pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang dari
donor saudara dengan HLA yang cocok hubungannya dengan umur.10
Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival yang lebih baik
daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif.10 Pasien dengan umur kurang dari 50
tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi sumsum
tulang dapat dipertimbangkan.15 Akan tetapi survival pasien yang menerima transplanasi
sumsum tulang namun telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang
belum mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.9,10
Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan transfusi selama
beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat mungkin diambil dari donor yang
bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini diperlukan untuk mencegah reaksi
penolakan cangkokan (graft rejection) karena antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.15
40
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm 3 dan trombosit
dibawah 100.000/mm3.
4.11 Prognosis9
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah absolut
netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang dari 500/l
(0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah netrofil kurang dari
200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang
jelek bila transplantasi sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang
lebih baik daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon sementara terhadap
androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi
sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang berusia
kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan sekitar 50% pada
pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien yang bertahan karena
mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan menderita gangguan akibat GVHD kronik dan
resiko mendapatkan kanker sekitar 11% pada pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi
siklosporin sebelum transplantasi stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang
belum mendapatkan terapi imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan belum
tersensitisasi dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi dalam hal conditioning
untuk transplantasi.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi kombinasi
imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien setelah terapi memiliki
jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian mendapatkan anemia sedang atau
trombositopenia. Penyakit ini juga akan berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal
nokturnal hemoglobinuria, sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40%
pasien yang pada mulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang
mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan selama 15 tahun
dan pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38% yang bertahan dalam
41
15 tahun. Pengobatan dengan dosis tinggi siklofosfamid menghasilkan hasil awal yang sama
dengan kombinasi ATG dan siklosporin. Namun, siklofosfamid memiliki toksisitas yang lebih
besar dan perbaikan hematologis yang lebih lambat walaupun memiliki remisi yang lebih
bertahan lama.
Remisi biasanya terjadi beberapa bulan setelah pengobatan (dengan oksimetolon setelah
2-3 bulan), mula-mula terlihat perbaikan pada sistem eritropoetik, kemudian sistem
granulopoetik dan terakhir sistem trombopoetik. Kadang-kadang remisi terlihat pada sistem
granulopoetik lebih dahulu, disusul oleh sistem. eritropoetik dan trombopoetik. Untuk melihat
adanya remisi hendaknya diperhatikan jumlah retikulosit, granulosit/leukosit dengan hitung
jenisnya dan jumlah trombosit. Pemeriksaan sumsum tulang sebulan sekali merupakan indicator
terbaik untuk menilai keadaan remisi ini. Bila remisi parsial telah tercapai, yaitu timbuInva
aktifitas eritropoetik dan granulopoetik, bahaya perdarahan yang fatal masih tetap ada karena
perbaikan sistem trombopoetik terjadi paling akhir. Sebaiknya pasien dibolehkan pulang dari
rumah sakit setelah hitung trombosit mencapai 50.000-100.000/mm3.
42
DAFTAR PUSTAKA
1. William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: Lee GR, Foerster
J, et al (eds). Wintrobe’s Clinical Hematology 9th ed. Philadelpia-London: Lee& Febiger,
1993;911-43.
2. Salonder H. Anemia aplastik. In: Suyono S, Waspadji S, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2001;501-8.
3. Bakshi S. Aplastic Anemia. Available in URL: HYPERLINK
http://www.emedicine.com/med/ topic162.htm
4. Young NS, Maciejewski J. Aplastic anemia. In: Hoffman. Hematology : Basic Principles and
Practice 3rd ed. Churcil Livingstone, 2000;153-68.
5. Niazzi M, Rafiq F. The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia. Available in
URL: HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp
6. Supandiman I. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi Medik 2003. Jakarta.
Q-communication, 1997;6.
7. Supandiman I. Hematologi Klinik Edisi kedua. Jakarta: PT Alumni, 1997;95-101
8. Young NS, Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. Available in
URL: HYPERLINK http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/
9. Shadduck RK. Aplastic anemia. In: Lichtman MA, Beutler E, et al (eds). William
Hematology 7th ed. New York : McGraw Hill Medical; 2007.
10. Smith EC, Marsh JC. Acquired aplastic anaemia, other acquired bone marrow failure
disorders and dyserythropoiesis. In: Hoffbrand AV, Catovsky D, et al (eds). Post Graduate
Haematology 5th edition. USA: Blackwell Publishing, 2005;190-206.
11. Paquette R, Munker R. Aplastic Anemias. In: Munker R, Hiller E, et al (eds). Modern
Hematology Biology and Clinical Management 2nd ed. New Jersey: Humana Press, 2007
;207-16.
12. Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure syndromes. In:
Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrison’s Principle of Internal Medicine. 16th ed. New
York: McGraw Hill, 2007:617-25.
13. Hillman RS, Ault KA, Rinder HM. Hematology in Clinical Practice 4th ed. New York: Lange
McGraw Hill, 2005.
43
14. Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds). Current Medical
Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill, 2007;510-11.
15. Solander H. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK UI, 2006;637-43.
44