Anda di halaman 1dari 25

Ruang Politik Hubungan

Aktivisme
Civil Society
d
an
Pemerintah
d
alam
Mengembangkan Tata Pemerintahan Demokratis
Oleh
Dr. Sahya Anggara, Drs., M.Si
Pendahuluan
Partisipasi masyarakat begitu kuat pasca diletupkannya era reformasi. Hak
-
hak
sipil berupa kebebasan berpendapat dan bersikap ter
ekpresikan seiring dengan
munculnya liberalisasi politik. Tak heran bila kini banyak partai politik, organisasi, dan
komunitas
-
komunitas politik bermunculan memenuhi panggung politik Indonesia.
Singkatnya, hak
-
hak sipil dan politik warga negara disalurkan
dan dijamin
keberadaannya.
Sungguhpun demikian, hak sipil dan hak politik bukan berarti dengan sendirinya
dapat langsung dimanfaatkan dengan optimal oleh masyarakat. Kendala utamanya
antara lain masih minimnya tingkat pengetahuan dan ketrampilan masyar
akat dalam
melakukan agregasi dan artikulasi aspirasi politik. Selain itu, kegaduhan suasana
reformasi dewasa ini tak jarang memberi andil bagi munculnya aksi
-
aksi anarkis dan
melawan hukum di kalangan masyarakat.
Namun hal itu haruslah dipahami sebagai pr
oses awal dari demokratisasi.
Berbicara tentang demokrasi, maka kita tidak dapat melepaskan dari pembicaraan
keterlibatan civil society. Terlebih karena sebuah demokrasi akan sulit terwujud bila
tiadanya kesadaran dari masyarakat yang merupakan pelaku demo
krasi. Ketidaksadaran
masyarakat akan membuat mereka mudah untuk dipolitisasi oleh kalangan elit politik
yang kebetulan memiliki kemampuan memanfaat kondisi demikian.
Ide
civil society
adalah
ide sebagian masyarakat yang memiliki kehidupan
sendiri yang ja
uh berbeda dengan negara
1
, dan yang sebagian besar memili
ki otonomi
sendiri.
Civil Society
ter
letak di luar batas keluarga, c
lan dan kewilayahan.
Ide tentang
civil society
memiliki tiga komponen.
Pertama
;
adalah bagian masyarakat yang terdiri
dari bermacam
institusi otonom

seperti
ekonomi,
agama, intelektual dan politik
.
Kedua
;
adalah bagian masy
a
rakat yang memiliki bermacam hubungan ant
ar dirinya
sendiri dan negara serta
sejumlah institusi berbeda yang melindungi pemisahan negara
dan
civil society
yang d
apat
menjaga ikatan yang efektif antara keduanya.
Ketiga
;
adalah pola perilaku madani atau berbudi.
Civil society
adalah masyarakat dengan
kesopanan dalam perilaku anggota masyarakat terhadap satu sama lain.
Kesopanan
menjadi perilaku antar individu dan an
tara individu dengan masyarakat. Begitu juga ia
mengatur hubungan kolektivitas terhadap satu sama lain, hubungan a
ntar kolektivitas
dan negara serta
hubungan individu dengan negara.
Dipandang dari sudut peristilahan, kata
civil society
mempunyai
kedekatan
makna dengan istilah
masyarakat madani
. Hal ini merupakan suatu kenyataan yang
menarik, mengingat sebelumnya istilah
civil society
diterjemahkan sebagai ‘masyarakat
warga’,
ada
juga yang
menterjemahkan atau memahaminya sebagai ‘masyarakat sipil’.
Memang, d
ari sudut kata
-
kata ini merupakan terjemahan
leterlijk
atau
verbatim
yang
dapat dibenarkan. Akan tetapi,
penerjemahan
ini
dianggap salah kaprah karena
penerjemahan tersebut
dianggap m
uncul dari pemahaman yang dikembangkan oleh
sementara orang bahwa
civil s
ociety
atau masyarakat sipil itu lawan dari segala sesuatu
1
Tentang pemisahan negar
a dari
civil soviety
, bagian masyarakat yang dimaksud terdiri dari individu dan aktivitas
kolektif yang tidak diarahkan oleh aturan kolektivitas primordial dan yang juga tidak diarahkan oleh
negara. Aktivitas
ini memiliki aturan tersendiri, baik formal dan
nonformal. Negara menerapkan hukum yang menentukan batasan aksi
individu dan kolektivitas tetapi dalam batasan tersebut, yang dalam satu masyarakat madani biasanya
luas, aksi
individu dan kolektivitas bebas dipilih atau dilakukan sesuai dengan kesepakatan
eksplisit antar peserta atau
didasarkan pada penghitungan kepentingan individu atau kolektif atau berdasarkan aturan konstituen k
olektif. Dalam
artian ini
civil society
terpisah dari negara.
yang berbau tentara atau militer. Ada kemungkinan,
kesalahkaprahan itu juga didukung
oleh pandangan
bipolar
yang selama ini muncul
yaitu penghadapan yang tidak pas
antara ‘sipil’ dan militer’.
Berd
asarkan alasan
itulah evolusi perkembangan konsep
civil
society
baik dari isi maupun peristilahan yang kemudian dicarikan padanan
dalam
penerjemahannya
dengan masyarakat madani merupakan sesuatu yang sangat menarik.
Sebab dengan itu, apa yang disebut masya
rakat madani mendekati konsep asal dari apa
yang disebut
civil society.
Istilah peradaban dengan segala variasinya merupakan salah
satu komponen penting dari seluruh bangunan konsep
civil society
yang tidak hanya
merujuk pada hal
-
hal yang secara khusus ber
sifat politik, tetapi kehidupan
kemasyarakatan secara lebih luas
-
di situ terdapat dimensi sosial, budaya, ekonomi,
hukum dan lain sebagainya.
2
Akhir
-
akhir ini kaitan
civil society
dan demokratisasi menjadi sesuatu yang tidak
mungkin dapat dilepaskan dala
m wahana
civil society
. Seperti yang dikemukakan oleh
Pridham (2000) bahwa keberadaan
civil society
kerap dipandang sebagai prasyarat
penting bagi bekerjanya sistem demokrasi liberal.
Civi
l
society
yang mandiri merupakan
suatu entitas yang keberadaannya ma
mpu menerobos batas
-
batas kelas serta memiliki
kapasitas politik yang cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan pengimbang dari
kecenderungan
-
kecenderungan invesionis negara. Namun keberadaan
civil society
yang
mandiri tidak secara otomatis menjamin dan
bisa menjelaskan terjadinya proses
demokratisasi di suatu negara. Schmitter melihat bahwa
civil society
yang kuat namun
tersegmentasi secara eksklusif berdasarkan perbedaan budaya, etnik dan bahasa
justru
bisa menghambat konsolidasi demokrasi (Pridham, 20
00).
2
Baso, Ahmad. 1999.
Civil society versus Masyarakat Madani; Ar
keologi Pemikiran Civil Society dalam Islam
Indonesia
. Penerbit Pustaka Hidayah. Bandung
. hal. 249
Tornquist (2002) dalam kajiannya mengenai peran kelompok
-
kelompok
civil
society
dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia pasca
-
Orde Baru menyimpulkan
bahwa terdapat kaitan yang lepas antara kerja
-
kerja pemberdayaan warga di tingkat akar
rumput (yang
gagal membangun keterhubungan dengan struktur politik di tingkat yang
lebih makro), dengan kerja
-
kerja kelompok Ornop/NGO yang membangun jejaring
kerja bagi demokrasi di antara beragam kelompok
civil society
(namun gagal
membangun ikatan dengan warga di ak
ar rumput). Terputusnya mata rantai aktivisme
serta terisolirnya
civil society
dari ruang politik menyebabkan mereka tidak mampu
melepaskan diri dari warisan ”politik massa mengambang” serta tidak kuasa membuka
jalan bagi politik demokrasi baru yang lebih
strategis ketimbang sekedar menjadi
kelompok lobby maupun kelompok penekan (Demos, 2005).
Aktivisme
civil society
di negara
-
negara berkembang termasuk di Indonesia
secara mendasar telah menempatkan bekerjanya sistem serta struktur politik dan
pemerintahan
yang demokratis sebagai tujuan utama yang harus diwujudkan. Salah satu
bentuk aktivisme
civil society
adalah gerakan sosial. Gerakan sosial merupakan salah
satu bentuk aktivisme
civil society
yang khas, yang memiliki definisi sebagai bentuk
aksi kolektif
dengan orientasi konfliktual yang jelas terhadap lawan sosial dan politk
tertentu, dilakukan dalam konteks jejaring lintas kelembagaan yang erat oleh aktor
-
aktor
yang diikat rasa solidaritas dan identitas kolektif yang kuat melebihi bentuk
-
bentuk
ikatan da
lam koalisi dan kampanye bersama
3
. Ikatan
-
ikatan dan jejaring sosial yang luas
tersebut pada gilirannya akan membantu proses mobilisasi sumber daya, tidak hanya di
tingkat sektor namun juga di tingkat makro pada organisasi gerakan sosial. Ornop dan
NGO seb
agai bentuk organisasi gerakan sosial memiliki peran besar dalam melakukan
3
Triwibowo, Darmawan. 2006.
Gerakan Sosial; Wahana Civil Society bagi Demokratisasi
.
Penerbit Pustaka LP3ES.
Jakarta.
hal 5
mobilisasi sumber daya tersebut. Berbagai macam gerakan sosial tidak akan mungkin
berjalan tanpa wadah formal Ornop atau NGO.
Begitu luas dan besarnya cakupan aktivisme
civil socie
ty
terutama melalui
bentuk gerakan sosial, maka pembahasan dalam makalah ini akan difokuskan pada
bagaimana ruang politik hubungan aktivisme civil society (Ornop/NGO) dan
pemerintah dalam mengembangkan tata pemerintahan yang demokratis?
isu ini
menjadi pen
ting ketika wacana pembangunan dan kebijakan pembangunan
menempatkan komunitas NGO sebagai agen pembangunan dan agen demokrasi.
Seperti
kita ketahui bahwa NGO dan Pemerintah memiliki keunggulan komparatif dalam
aktivitas pembangunan. Kolaborasi keduanya at
as dasar keunggulan komparatif sering
dirumuskan melalui perspektif fungsional, yakni dengan asumsi bahwa keduanya saling
melengkapi kekuatan fungsional masing
-
masing. Akan tetapi dalam praktiknya,
pendekatan seperti ini tidak selalu berjalan sesuai harapa
n. Dalam banyak kasus
keduanya tidak selalu berkolaborasi. Bahkan ketika pemerintah dan pihak donor
meminta NGO untuk berpartisipasi bersama agen
-
agen pemerintah dalam program
pembangunan tertentu, NGO biasanya justru mengambil sikap kritis. Oleh karena it
u
ketika kedua pihak harus berinteraksi, problem kekuasaan akan selalu muncul dan
mempengaruhi sifat dan dinamika hubungan mereka.
Memahami Konsep
Civil Society
Sebelum sampai kepada bahasan utama dalam makalah ini mengenai ruang
politik hubungan aktivis
me
civil society
(NGO)
-
pemerintah dalam mengembangkan tata
pemerintahan yang demokratis, akan diuraikan terlebih dahulu konsep
civil society
dan
perkembangan pemahamannya. Konsep
ci
vil society
muncul relatif tiba
-
tiba pada
aktivitas intelektual.
Namun
sesu
ngguhnya konsep
civil society
masih tidak jelas dalam
banyak varian
,
terkadang ia masuk secara sentral. Keberadaannya berfluktuasi dalam
filosofi politik abad pertengahan dimana ia di
bedakan dari institusi gereja. Pada abad 17
civil society
d
ibedakan denga
n kondisi alami;
civil society
adalah satu kondisi dimana
orang hidup di bawah naungan pemerintah. Pa
da abad 17,
civil society
juga menjadi
sesuatu yang seperti sekarang,
yaitu
sebagai satu jenis masyarakat yang lebih besar
dibanding dan berbeda dengan suk
u. Adam Ferguson, ketika menulis
The History of
Civil Society
, mengatakannya sebagai satu masyarakat dengan perilaku yang tidak lagi
barbar, satu masyarakat yang melakukan peradaban pikiran dengan seni dan sastra.
Civil
society
dianggap sebagai masyarakat
dimana kehidupan perkotaan dan a
ktivitas
komersial berkembang.
Dalam pandangan
abad 18,
civil society
bersifat pluralistik; minimalnya ia
adalah masyarakat dengan banyak aktivitas pribadi, di luar keluarga dan tidak
berasimilasi dengan negara. Garis besar
civil society
dipertajam oleh romantis Jerman
pada ide “folk”, yang dianggap sebagai antitesis sempurna dari pasar. “Folk society”
yaitu
satu komunitas lokal kecil, didominasi oleh tradisi dan sejarah; ia adalah satu
masyarakat dalam satu kondisi dimana “s
tatus” mengatur tindakan; individu tidak
memiliki posisi berdasarkan kualitas dan pencapaian individu. Ia adalah masyarakat
pertanian dan berkeahilan dalam komunitas kecil yang sebagian besar mandiri.
Pandangan ini dikembangkan untuk membedakan dengan indi
vidualisme, pemikiran
rasional dan aktivitas komersial dari masyarakat yang secara teritorial besar. Pada
1887,
Ferdinand Tonnies menyimpulkan perbedaan itu dalam istilah
Gemeinschaft
dan
Gesellschaft
.
Pada abad 19 anggapan
civil society
paling lengkap dib
ahas oleh Hegel dalam
bukunya
Philosophy of Right
(
Philosophie des Rechts
); Seperti halnya p
enggunaan kata
“civil society
” dalam masa modern, Hegel mengartikulasikan hak pada kepemilikan
pribadi sebagai karakteristik sentral dan tak terpisahkan dari
civil
society
. Hegel
menggunakan istilah
bügerliche Gesellschaft
, yang diartikan sebagai “masyarakat
borjuis” dan “
civil society
”.
Dari Hegel, ide
civil society
masuk dal
am pemikiran Marx. Bagi Marx,
civil
society
merupakan
sesuatu yang berbeda dari pemikiran Ad
am Ferguson ketika menulis
the History of Civil Society
. Konsepsi Marx tentang
civil society
, menyamakan
civil
society
dengan “masyarakat kapitalistik” borjuis. Bagi Marx,
civil society
tentunya
bukanlah satu masyarakat dengan perilaku yang lebih halus; ba
hkan bukan satu
masyarakat yang dipersatukan oleh ketergantungan satu sama lain dalam satu
hubungan
dagang. Ia adalah satu masyarakat dimana massa populasi tanpa
property
diikat secara
koersif dalam kepatuhan oleh pemilik instrumen produksi. Hubungan produ
ksi dan
pemisahan masyarakat menjadi kelas berproperti dan kelas tanpa
property
adalah
karakteristik penentu
civil society
.
Dalam sem
u
a
variasi dan perubahan makna ini, dari abad
18 hingga seterusnya,
istilah
civil society
memiliki beberapa karakteristik
penting.
Pertama
, ia adalah bagian
dari masyarakat yang berbeda dari dan independen dari negara.
Kedua,
ia memberikan
hak individu dan terutama hak kepemilikan.
Ketiga,
civil society
adalah konstelasi dari
banyak unit ekonomi atau firma bisnis yang otonom,
berfungsi secara independen dari
negara dan bersaing satu sama lain.
Satu karakteristik tambahan, tidak banyak ditekankan pada abad 19 adalah ide
satu komunitas politik.
Civil society
membawa ide kewarganegaraan,
warga dengan hak
untuk menjabat satu posis
i publik dan berpartisipasi dalam pembahasan dan keputusan
tentang masalah publik. Ini adalah warisan dari filosofi politik dan hukum dari periode
klasik hingga masa modern.

C
ivil” berbeda dengan “natural”.
Civil
adalah kondisi
kehidupan orang dalam masy
arakat, hidup sesuai aturan.
Civi
l
Society
adalah
wilayah kehidupan sosial terorganisir yang terbuka,
sukarela, menghasilkan diri sendiri, mandiri (sekurang
-
kurangnya setengah mandiri),
otonom dari negara, dan terikat oleh tatanan hukum atau seperangkat at
uran bersama
.
Hal ini berbeda dari “masyarakat” pada umumnya dalam hal melibatkan warga negara
untuk bertindak secara kolektif dalam ruang publik guna mengekspresikan kepentingan,
hasrat, preferensi, dan ide mereka untuk bertukar informasi, untuk mencapai
tujuan
-
tujuan kolektif, untuk mengajukan tuntutan
-
tuntutan pada negara, untuk meningkatkan
struktur dan fungsi negara, dan untuk me
megang para pejabat negara agar bertanggung
jawab.
Civil society
adalah sebuah fenomena perantara yang berdiri di antara wila
yah
pribadi dan negara.
Untuk melihat secara luas mengenai konsep civil society, berikut ini adalah
beberapa definisi yang diungkapkan para ilmuwan, Yakni:
Konsep dan Pemikiran Tentang
Civil Society
Nama
Pemikiran
Cicero
Civilis
societs
merupakan masyar
akat politik yang
memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hukum.
Pengertian ini erat kaitannya dengan konsep warga
Romawi yang hidup di kota
-
kota yang memiliki kode
hukum (
ius civile
), sebagai ciri masyarakat beradab
dibanding dengan warga di luar Rom
awi yang dianggap
belum beradab.
Jhon Locke
Mendefinisikan
civil society
sebagai masyarakat politik. Ia
dihadapkan dengan otoritas paternal atau keadaan alami
(
state of nature
) masyarakat yang damai, penuh
kebajikan, saling melindungi, penuh kebebasan, ti
dak ada
rasa takut dan penuh kesetaraan. Keadaan itu berubah
setelah manusia menemukan system moneter dan uang.
Jean
-
Jaques
Rousseau
Sumbangnya atas konsep
civil society
, adalah karena
pendapatnya tentang kontrak sosial (
social contract
)
-
masyarkat terwuj
ud akibat kontrak sosial. Ia juga punya
konsep keadaan alamiah
-
manusia didorong untuk cinta
pada diri sendiri yang membuatnya selalu berusaha
menjaga keselamatan dirinya dan naluri untuk
memuaskan keinginan
-
keinginan manusiawinya.
Manusia pada dasarnya mem
iliki kebaikan
-
kebaikan
alamiah (
natural goodness
), maka bila terjadi perang, itu
bukan fenomena alamiah, melainkan fenomena sosial.
Hegel
Civil society
adalah bagian dari tatanan politik secara
keseluruhan. Bagian dari tatanan politik lain adalah
negara
(
state
).
Civil society
yang dimaksud adalah
perkumpulan merdeka antara seseorang yang membentuk
burgerlische gesellchaft
(
bourgeois society
). Bagi Hegel,
negara adalah perwujudan “jiwa mutlak” (
absolute idea
)
yang bersifat unik karena memiliki logika, syst
em
berpikir dan berperilaku tersendiri yang berbeda dengan
lembaga politik lain (
civil society
).
Antonio
Gramsci
Memisahkan
civil society
di satu sisi dan Negara di sisi
lain.
Civil society
melawan hegemoni Negara. Ia
mendefinisikan
civil society
sebagai
kumpulan organisme
yang disebut “
privat
” dengan masyarkat politik yang
disebut Negara. Wilayah
-
wilayah institusi privat itu,
antara lain gereja, serikat
-
serikat pekerja dan dagang,
serta lembaga pendidikan.
Alexis
de”Tocqueville
Civil society
dapat didefi
nisikan sebagai wilayah
-
wilayah
kehidupan social yang terorganisasi dan bercirikan,
antara lain, kesukarelaan (
voluntary
), keswasembadaan
(
self
-
generating
), dan keswadayaan (
self supporting
),
kemandirian yang tinggi berhadapan dengan Negara, dan
keterikata
n dengan norma
-
norma atau nilai
-
nilai hukum
yang diikuti oleh warganya.
Adam Ferguson
Civil society
dipandang sebagai negara, digambarkan
sebagai bentuk tatanan politik yang melindungi dan
mengadabkan pekerjaan
-
pekerjaan manusia, seperti seni,
budaya dan
spirit publiknya, peraturan
-
peraturan
pemerintah,
rule of law
, dan kekuatan militer.
Thomas Paine
Civil society
dimulai dari merebaknya tradisi
individualisme di Amerika Serikat, di mana saat itu
muncul pemikiran bahwa negara merupakan lembaga
impersonal.
Ernest Gellner
Civil society adalah “.....masyarakat yang terdiri atas
institusi non
-
pemerintah yang otonom dan cukup kuat
untuk mengimbangi negara”.
Sumber:
Raharjo (1999); Suhelmi (1999); Hikam (1996), Culla (1999),
M Alfan Alfian
M (2005).
Makna
substansial Civil Society
Apa yang dimaksud dengan
civil society
? bagaimana hubungannya dengan
negara
(state)
? Menjawab pertanyaan seperti itu tidaklah mudah. Karena, ilmu sosial
banyak memiliki perspektif untuk memahami sesuatu. Ada yang menekankan kepad
a
ruang
(space),
di mana individu dan kelompok dalam masyarakat dapat saling
berinteraksi dengan semangat toleransi.
Di dalam ruang tersebut, masyarakat dapat
melakukan partisipasi dalam pembentukan kebijakan publik dalam suatu negara.
4
Dengan demikian d
apat dikatakan, bahwa
civil society
merupakan suatu
space
atau ruang yang terletak antara negara di satu pihak, dan masyarakat di pihak lain,
seperti yang dikemukakan oleh Michael Walker (1995), dan dalam ruang tersebut
terdapat asosiasi warga masyarakat y
ang bersifat sukarela dan terbangun sebuah
jaringan hubungan diantara asosiasi tersebut.
Apakah asosiasi tersebut berdasarkan
ikatan keluarga, keyakinan, kepentingan, atau ideologi
.
Asosiasi tersebut bisa dalam
bentuk bermacam
-
macam, ikatan pengajian, pers
ekutuan gereja, koperasi, kalangan
bisnis, rukun tetangga dan rukun warga, ikatan profesi, LSM, dan lain sebagainya.,
hubungannya dikembangkan atas dasar toleransi dan saling menghargai satu sama
lainnya.
Oleh karena itu,
civil society
merupakan suatu ben
tuk hubungan antara negara
dengan sejumlah kelompok sosial, misalnya keluarga, kalangan bisnis, asosiasi
masyarakat, dan gerakan
-
gerakan sosial yang ada dalam negara, namun sifatnya
independen terhadap negara.
Itulah yang disebut dengan
civil society
. (Eis
enstadt dalam
Lipset, 1995: 240). Jadi,
Civil society
adalah sebuah masyarakat, baik secara individual
4
Gaffar, Affan. 1999.
Polit
ik Indonesia; Transisi menuju Demokrasi.
Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta
. hal 177
maupun secara kelompok dalam negara yang mampu berinteraksi dengan negara
secara
independen.
Tentu saja, menurut Eisenstadt, masyarakat tersebut bukanlah
masyarakat yang
secara mudah kita artikan.
Tetapi masyarakat yang memiliki komponen tertentu sebagai
syarat adanya
civil society
itu.
Komponen tersebut meliputi empat hal:
1.
Otonomi
:
Dengan otonomi dimaksudkan bahwa sebuah
civil society
haruslah
sebuah mas
yarakat yang terlepas sama sekali dari pengaruh negara, apakah itu
dalam bidang ekonomi, politik, ataupun bidang sosial. Dalam masyarakat seperti
itu, segala bentuk kegiatannya sepenuhnya bersumber dari masyarakat itu
sendiri, tanpa ada campur tangan dari
negara. Negara hanya merupakan
fasilitator, misalnya melakukan regulasi yang diperlukan dalam mengatur
kompetisi dan melindungi kepentingan publik.
2.
Akses masyarakat terhadap lembaga negara:
Komponen yang kedua dari
civil
society
adalah akses masyarakat te
rhadap lembaga negara.
Dalam konteks
hubungan antara negara dan masyarakat, setiap warga negara, baik secara
sendiri
-
sendiri maupun kelompok
, harus mempunyai akses terhadap
agencies of
the state
. Artinya, individu dapat melakukan partisipasi politik dengan
berbagai
bentuknya.
3.
Arena publik yang otonom
:
Komponen yang ketiga dari
civil society
terletak
pada tumbuh dan berkembangnya arena publik yang bersifat otonom, dimana
berbagai macam organisasi sosial dan politik mengatur diri mereka sendiri.
Arena publik
adalah suatu ruang tempat warga negara mengembangkan dirinya
secara maksimal dalam segala aspek kehidupan, bidang ekonomi atau bidang
lainnya. Arena publik ini pada prinsipnya terlepas dari campur tangan negara,
apalagi elemen yang bersifat koersif. Sekal
ipun demikian, kalangan masyarakat
yang bersifat independen ini harus mampu membuka kesempatan kepada negara
agar bisa memiliki akses terhadap mereka.
Artinya antara negara dan masyarakat
harus saling memberikan pengakuan atas otoritas masing
-
masing.
4.
Aren
a Publik yang terbuka:
Komponen yang keempat dari
civil society
adalah
yang menyangut arena publik tersebut, yaitu arena publik yang terbuka bagi
semua lapisan masyarakat, tidak dijalankan dengan cara yang bersifat rahasia,
eksklusif, dan setting yang bers
ifat korporatif.
Masyarakat dapat mengetahui apa
saja yang terjadi di sekitar lingkungan kehidupannya, bahkan ikut terlibat
didalamnya. Diskusi yang bersifat terbuka, yang menyangkut masalah publik,
merupakan suatu keharusan. Sehingga, kebijakan publik tid
ak hanya melibatkan
sekelompok kecil orang saja.
5
5
Suharko 2005.
Merajut Demokrasi; Hubungan NGO
-
Pemerintah dan Pengembangan Tata Pemerintahan
Demokratis.
Penerbit Tiara wacana. Yoyakarta
Ruang Politik
Civil Society
bagi Demokratisasi
Civil society
mempersyaratkan adanya orga
n
isasi sosial dan politik yang
memiliki tingkat kemandirian yang tinggi.
Organisasi sosial politik tersebut harus
m
emiliki kemandirian menyangkut derajat rekruitmen yang mereka miliki ataukah
derajat aktivitas yang memungkinkan mereka mengisi
space
yang tersedia diantara
negara dan rakyat.
Barangkali, diantara organisasi sosial dan politik yang patut dicatat
yang memil
iki kemandirian yang cukup tinggi adalah organisasi yang ter
m
asuk
dalam
k
elompok
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
atau
Non
-
Governmental
Organizations
(NGOs), yang di Indonesia jumlahnya mencapai ratusan. Organisasi
seperti Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (
YLBHI), dengan sejumlah organisasi
afiliasi yang tersebar diberbagai kota besar di Indonesia, merupakan sesuatu yang
patut
dicatat. Demikian juga halnya dengan Walhi, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI), Komnas HAM, dan kelompok
-
kelompok advokasi lai
n yang berkecimpung
dalam pemberdayaan masyarakat. Begitu pula dengan
organisasi sosial
-
kemasyarakatan, baik yang memiliki orientasi politik maupun tidak
,
seperti kelompok
kepentingan yang mewakili kelompo
k profesi tertentu (Federasi Se
r
ikat Pekerja Seluru
h
Indonesia [
F
S
P
SI], HKTI, HNSI, dan PGRI), ataupun kelompok kepentingan yang
merupakan representasi kepentingan tertentu (Kadin, Gapensi, IDI, DII). Juga, dari
kelompok konvesional,/keagamaan, apakah itu, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah,
Majelis Wali Gereja
Indonesia, Dewan Gereja Indonesia, Walubi dan sebagainya
6
.
Kelompok sosial lain yang dapat dikatakan memiliki tingkat kemandirian yang
tinggi adalah media massa, terutama media cetak (koran dan majalah) serta televisi.
6
Seiring dengan
isu penge
mbangan good governance, terbentuk pula sejumlah NGO seperti Masyarakat Transparansi
iandonesia (MTI). Government Watch (GOWA), Parliament Watcg (Parwi), Police Watch, Indonesian Corru
ption
Watch (ICW) dan sebagainya. NGO
-
Ngo tersebut secara aktif menjala
nkan kerja advokasi dengan mengungkap
tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme mulai dari tingkat kabupaten, provinsi sampai penyelewengan d
itingkat pusat.
Sekalipun mereka menghadapi sejumlah
kendala tertentu, mereka memiliki keleluasaan
bergerak yang cukup lumayan. Koran dan majalah di Indonesia memiliki tingkat
kebebasan dan kemandirian di tengah kendala
-
kendala politik dan sosial yang mereka
hadapi.
Lebih jauh lagi, selain organisasi sosia
l dan politik yang mandiri, dalam
civil
sosiety
dipersyaratkan adanya
public sphere
atau ruang yang cukup yang di ruang
tersebut warga masyarakat dapat dengan leluasa melakukan aktivitas sosial, politik dan
ekonominya, tanpa didominasi oleh sekelompok keci
l orang. Didalam
public sphere
ini,
warga masyarakat akan memiliki akses yang luas kepada lembaga
-
lembaga, baik
lembaga negara seperti birokrasi, lembaga perwakilan dan peradilan, maupun lembaga
non
-
negara seperti partai politik dan kelompok kepentingan. D
i dalam
public sphere
ini
pula terjadi diskursus yang intensif tentang segala hal yang terjadi dalam negara,
sehingga pemerintah dan lembaga
-
lembaga negara memiliki tingkat akuntabilitas yang
cukup tinggi. Di samping itu, kebijakan publik juga melibatkan m
asyarakat yang luas,
melalui diskusi
-
diskusi publik yang intensif dilakukan.
Hadirnya
public sphere
yang bebas ini, pada gilirannya, bisa memberikan
dorongan positif ke arah demokrasi. Gambaran kehadiran elemen ini dalam interaksi
negara
(state)
dan
civil
society
adalah sebagaimana terlihat dalam skema
7
berikut ini:
7
Ibid. 194
State
Civil Society
free public sphere
Ruang Politik hubungan NGO
-
Pemerintah dalam mengembangkan Tata
Pemerintahan Demokratis
Seper
ti telah diuraikan sebelumnya bahwa
civil society
mensyaratkan adanya
organisasi sosial politik
yang memiliki kemandirian, bentuk organisasi tersebut biasa
kita kenal dengan nama NGO/Ornop/LSM. Organisasi tersebutlah yang potensial
mengisi ruang publik ant
ara negara dan
civil society
.
Kegiatan
-
kegiatan NGO tidak berlangsung di ruang hampa, tetapi berada di
dalam konteks atau ruang yang tidak ditentukan oleh diri mereka sendiri, tetapi oleh
interaksi antara pemerintah dan NGO. Secara konseptual, ruang politi
k mengacu pada
arena di mana aktor
-
aktor non
-
pemerintah bisa melaksanakan inisiatifnya secara
independen
vis
-
a
-
vis
pemerintah.
Ruang politik merupakan keseimbangan dinamis
yang terus berubah di antara dua atau lebih aktor.
Di dalam ruang politik tersebut
prinsip
-
prinsip otonomi dan kontrol yang saling bertentangan akan menentukan
hubungan NGO
-
Pemerintah. Batasan ruang politik mungkin akan menjadi mengecil
atau melebar apabila salah satu aktor merasa bahwa legitimasi yang dimilikinya
dipengaruhi oleh aktivi
tas dari aktor lainnya. NGO dan kelompok
civil society
lainnya
berusaha memperluas ruang politik agar mereka dapat berorganisasi, beroperasi
secara
bebas, dan meningkatkan partisipasi politik mereka. NGO dapat mempengaruhi ruang
politik tersebut dengan mem
bawa isu
-
isu penting kepada publik, mendukung kebijakan
atau prioritas pelaksanaan pembangunan tertentu, dan lain
-
lain. Di pihak lain, pihak
pemerintah berusaha untuk memperkecil ruang politik para aktor non
-
pemerintah
melalui pembatasan dan kooptasi terha
dap aktivitas yang berlangsung di luar kontrol
pemerintah. Akan tetapi perlu pula diingat bahwa dalam hubungan NGO dan
pemerintah, fihak donor pun memiliki pengaruh yang signifikan. Dalam hal pengaruh
fihak donor, sekiranya dapat dijelaskan melalui argumen
perspektif
Neo
Tocquevillian
tentang kaitan
civil society
dan demokrasi bahwa para donor dan seluruh agen ikutannya
menawarkan agenda dan dukungan bagi upaya kebijakan dan program aksi untuk
mewujudkan ide dan pelembagaan tata pemerintahan yang demokratis
. Secara umum
faktor
-
faktor utama yang mempengaruhi hubungan NGO
-
pemerintah adalah:
1.
Faktor Struktural dan Kebijakan
: Rezim politik yang demokratis biasanya
lebih mendukung kegiatan NGO ketimbang rezim politik otoriter.
Selain itu
seperti dikatakan Fisher (
1997:54
-
5), negara yang demokratis akan
menghindari kebijakan represif terhadap NGO. Kebebasan berserikat dan
kebebasan pers memperkuat peran NGO da
lam mengurangi potensi represi.
2.
Faktor Pemerintah:
Seperti dinyatakan Bratton (1989), sikap pemerintah
terha
dap NGO didasarkan pada pertimbangan politik.
Oleh karena itu,
Bratton menyimpulkan, ”di setiap negara, besarnya ruang yang disediakan
untuk NGO terutama didasarkan atas pertimbangan politik, bukan atas
kalkulasi kontribusi NGO bagi pembangunan sosial dan
ekonomi.”
3.
Faktor NGO:
Seperti ditunjukkan oleh Ferrington dan Bebbington (1993),
asal
-
usul kelembagaan dari NGO dan motivasi di balik pembentukan
awalnya juga berpengaruh besar terhadap identitas NGO.
NGO dapat
muncul di dalam konteks ekonomi dan politik y
ang berbeda
-
beda, dan
individu bisa bergabung atau membentuknya dengan motivasi yang berbeda
pula. Hal itu menimbulkan sikap yang berbeda
-
beda terhadap pemerintah.
4.
Strategi Aktor
: Sifat hubungan NGO
-
Pemerintah bukan sekedar produk dari
dinamika institusio
nal tetapi juga hasil dari strategi aktor kedua sektor
tersebut.
Dibalik kebijakan resmi pemerintah dan strategi
-
strategi NGO, ada
pula aktor
-
aktor yang berusaha mengembangkan pandangan dan strategi
untuk mempengaruhi hubungan NGO
-
Pemerintah. Seperti dinya
takan
Ferrington dan Bebbington (1993:56), dalam praktiknya, suatu hubungan
kolaboratif NGO
-
Pemerintah dapat berasal dari kontak individu atau kontak
informal di tingkat lapangan dan profesional.
5.
Faktor Donor:
Seiring dengan usaha mempromosikan
good gover
nance
yang tengah berlangsung di negara berkembang, para agen donor
internasional merupakan kekuatan yang penting dan kuat dalam menentukan
dinamika hubungan NGO
-
Pemerintah. Hal ini sebagian dikarenakan adanya
persyaratan dari pihak donor.
8
Semua faktor t
ersebut sangat terkait dengan upaya perwujudan tata
pemerintahan demokratis. Belakangan ini Istilah
democratis governance
9
(tata
pemerintahan yang demokratis) banyak digunakan dalam komunitas pembangunan dan
8
op.cit. hal.37
-
43
9
Istilah
democratic government
pertama kali diajukan oleh
Inter
-
Amer
ican Development Bank
(IDB) sebagai
new
cure
(obat baru) bagi pembangunan negara
-
negara transisional dan bagi inefesiensi bantuan pembangunan
.

Anda mungkin juga menyukai