KHITTAH – Tidak banyak warga muhammadiyah yang mengetahui sejarah awal perkembangan Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Padahal, keberadaannya dan kebesarannya sebagaimana disaksikan sekarang tidak dapat dipisahkan dari tiang pancang yang telah ditancapkan pada masa lalu. Kelahiran Muhammadiyah di Sulsel diawali dengan berdirinya Muhammadiyah Group Makassar tanggal 21 Zulhijjah 1344 H, bertepatan dengan 2 Juli 1926. Peresmian dilakukan dalam suatu pertemuan umum terbuka bertempat di salah satu gedung Bioskop G. Wienland di Jalan Komedian (sekarang Jalan Bontolempangan) Kota Makassar. Sejarawan Universitas Negeri Makassar Dr Mustari Bosra menjelaskan bahwa kegiatan pertama yang dilakukan Muhammadiyah Cabang Makassar adalah menyelenggarakan rapat umum mengenai pengembangan organisasi, dan penyebaran dakwah agama Islam, yang dikenal dengan istilah tablig, orang Makassar menyebutnya tabale’. Gerakan Tablig (Tabale’) “Dahulu, ulama-ulama Muhammadiyah sering mendapat tantangan debat dari para ulama tradisional yang menentang Muhammadiyah. Masalah yang diperdebatkan biasanya berkisar pada masalah-masalah keagamaan yang dinilai bidah, seperti salat tarwih dua puluh rakaat, qunut subuh terus-menerus, baca talkin di kuburan, dan lain-lain,” ulas Mustari, yang juga Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sulsel. Pertentangan lainnya, lanjut Mustari, terjadi antara Muhammadiyah dengan pejabat parewa sara’, ketika Muhammadiyah mendirikan masjid dan hendak melaksanakan salat Jumat. Menurut adat, dalam satu kampung hanya boleh ada satu masjid tempat pelaksanaan salat Jumat. Penyelenggara ibadah di dalam masjid pun harus pejabat parewa sara’, dan khutbah harus disampaikan dalam bahasa Arab. “Bagi Muhammadiyah, siapa saja dapat menjadi imam, khatib, dan memimpin penyelengaraan ibadah lainnya. Khutbah dapat disampaikan dalam bahasa Melayu atau bahasa daerah yang dimengerti oleh jamaah. Salah satu penentang Khutbah dalam bahasa selain Arab, yaitu K.H. Muhammadi As’ad pendiri As’Adiyah Sengkang,” jelas Mustari. Tantangan lain, yaitu salat Id di lapangan terbuka. Malah H. Abdullah, mantan Ketua Muhammadiyah Celebes Selatan pertama, pernah dipolisikan karena menggelar salat Id di lapangan terbuka. Tapi setelah menjalani pemeriksaan, ia mampu membuktikan bahwa praktik ibadah yang ia lakukan memiliki dasar yang kuat. “Di sejumlah daerah, tantangan bagi para ulama Muhammadiyah untuk berdebat datang dari para ulama-ulama tradisional ataupun para parewa sara’,” urai Wakil Ketua PWM yang membidangi MPI dan Lazismu ini. Gerakan Pendidikan (Sikola) Pada tahun 1928, ungkap Mustari Bosra, Muhammadiyah Cabang Makassar membuka sebuah sekolah setingkat sekolah dasar, yaitu Honlandsche Inlandsche School med de Al-Quran (HIS). Sekolah tersebut dipimpin oleh Yahya bin Abdul Rahman Bayasut, seorang keturunan Arab yang pernah mengajar lama di sekolah Pemerintah Hindia Belanda. Dalam melakasanakan tugas sebagai guru, ia dibantu oleh dua orang guru, yaitu Raden Hilman dan Sangadi Kusumo. Keduanya merupakan utusan Hoofdbestuur Muhammadiyah Yogyakarta. Mustari melanjutkan, masih pada tahun 1928, Muhammadiyah Cabang Makassar yang ketika itu masih dipimpin Yusuf Dg Mattiro, membuka satu sekolah lagi, yaitu Munir School semacam madrasah ibtidaiyah sekarang. “Berbeda dari HIS, yang pengajarannya dititikberatkan pada ilmu pengetahuan umum dan Bahasa Belanda dengan sedikit tambahan pelajaran agama, Munir School menekankan pada pelajaran agama dengan sedikit tambahan pengetahuan umum,” tambah Mustari. Program lain yang digalakkan generasi awal Muhammadiyah di Sulsel ini adalah pemberantasan buta huruf di kalangan anggota Muhammadiyah, baik laki-laki, maupun perempuan. Program tersebut diistilahkan dengan “Menyesal School”, urai Mustari. Ketika Muhammadiyah Grup Makassar dipimpin Kiai Haji Abdullah, status organisasi telah ditingkatkan menjadi cabang yang mengoordinir grup-grup yang telah ada di Celebes Selatan. “Ada dua persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh suatu grup untuk ditingkatkan statusnya menjadi cabang. Pertama, telah membentuk dan membina sekurang-kurangnya tiga grup. Kedua, telah memiliki amal usaha nyata berupa sekolah, masjid, dan panti asuhan,” jelas Kiai Mustari. Itulah alasan Amal Usaha Muhammadiyah terus bertambah, seiring dengan peningkatan jumlah cabang dan grup. Amal-amal usaha Muhammadiyah tersebut dalam bentuk sekolah, masjid, dan panti asuhan. “Jadi Muhammadiyah di Sulsel turut mewarnai jalannya pendidikan di Sulawesi Selatan, sebagai salah satu alternatif di luar sekolah pemerintah dan sekolah Kristen maupun Katolik,” simpul Sejarawan UNM ini. Menurut Mustari, strategi pendidikan ini pulalah yang digunakan Muhammadiyah dalam mengatasi pelapisan sosial di masyarakat Sulawesi Selatan. “Di masyarakat Makassar dikenal tiga lapisan sosial, yaitu Karaeng, Tusamara, dan Ata. Muhammadiyah tidak menentang pelapisan sosial ini secara terbuka. Tapi berupaya menghadapinya secara transformatif, melalui jalur pendidikan,” pungkasnya. Muhammadiyah membuka sekolah yang bisa diakses oleh semua kalangan, bukan hanya oleh kalangan bangsawan, sebagaimana sekolah miliki pemerintah kolonial. Perlahan, sambung Mustari, kalangan ata yang telah ditempa proses pendidikan akhirnya mampu meningkatkan status sosialnya di tengah masyarakat. Gerakan Tabale dan Sikola dilakukan secara beriringan. Mustari mencontohkan, Muhammadiyah Cabang Makassar mendatangkan ulama-ulama muda dari Jawa dan Sumatera. Mereka diharapkan menjadi juru dakwah, sekaligus menjadi guru madrasah atau sekolah yang didirikan Muhammadiyah. Salah seorang ulama muda yang datang dari Sumatra Barat, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). “Dia dikirim oleh Hoofdbestuur Muhammadiyah pada tahun 1931, atas permintaan Muhammadiyah Cabang Makassar. Selain sebagai guru dan mubalig, Hamka juga mempersiapkan penyelenggaraan Kongres Muhammadiyah ke- 21 pada pada bulan Juni 1932, di Makassar,” jelas Mustari. Tantangan Ke depan Kini, hampir semua ajaran Muhammadiyah yang ditentang oleh masyarakat, telah diamalkan secara meluas. Mustari mengutip pernyataan Gus Dur, bahwa salah satu bukti kuatnya pengaruh Muhammadiyah di Indonesia, karena kini hampir semua masjid di Indonesia sudah membolehkan khutbah Jumat dengan bahasa Indonesia, atau bahasa daerah setempat. Selain itu, kini salat Id di Indonesia sebagian besar dilaksanakan di lapangan, kecuali jika terjadi hujan. Pelaksanaan salat Jumat pun kini bisa berlangsung di banyak masjid, bahkan tempat-tempat keramaian, seperti hotel dan mal. Namun tantangan dakwah Muhammadiyah sudah berbeda dengan abad sebelumnya. Jika pada abad dahulu Muhammadiyah di Sulsel telah sukses dengan gerakan tablig (tabale’) dan pendidikan (sikola), kini sejarah menanti inovasi Muhammadiyah Sulsel di abad kedua. Milad Muhammadiyah ke 108 H/ 105 M, adalah momentum tepat untuk merefleksikannya. Selamat Milad!