Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dahulu Indonesia dikenal sebagai negara yang ramah, berpenduduk penuh etika
dan sopan santun.Masyarakat masih menjunjung tinggi tata krama dalam pergaulan
sebagaimana anak bersikap kepada orang yang lebih tua maupun hubungan antar teman.
Namun seiring laju perkembangan zaman dan perubahan cepat dalam teknologi
informasi telah merubah sebagian besar masyarakat dunia terutama remaja.Sebagaimana
telah diketahui dengan adanya kemajuan informasi di satu sisi remaja merasa
diuntungkan dengan adanya media yang membahas seputar masalah dan kebutuhan
mereka. Dengan adanya hal tersebut, media telah menyumbang peran besar dalam
pembentukan budaya dan gaya hidup yang akan mempengaruhi moral remaja. Namun
sebagian besar media ini membawa dampak negatif khususnya bagi remaja yang
notabenenya lebih banyak menggunakan.Berbagai masalah yang muncul tak terkendali,
generasi muda terpelajar baik pelajar maupun mahasiswa harapan bangsa tawuran antara
sesama bagaikan lawan yang abadi.Oleh karena itu generasi muda memerlukan
perbaikan yang lebih melalui membangun pendidikan karakter.
Hilangnya moral para remaja adalah suatu hal yang telah banyak disaksikan di
seluruh pelosok bumi nusantara, termasuk di Indonesia.Moral remaja yang telah hilang
termasuk dalam kenakalan remaja.Yaitu masalah yang telah mengancam bangsa ini.
Remaja yang seharusnya menjadi tumpuhan masa depan bangsa tidak lagi dapat
diharapkan. Walaupun tidak sedikit juga para remaja yang telah banyak menulis tinta
emas dalam sejarah bangsa di dunia Internasional.Namun tidak sedikit juga para remaja
ini yang salah jalan. Mereka bahkan tidak sadar akan keberadaannya dan siapa dirinya
sendiri.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini, antara lain:
1. Apakah yang dimaksud krisis moral yang terjadi di Indonesia?
2. Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya krisis moral?
3. Apa saja solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi krisis moral?
C. Tujuan Penulisan
Adalah untuk mengetahui sejauh mana krisis moral yang dialami para remaja dan
solusi untuk mengatasinya.

D. Pembatasan Masalah
1. Krisis
Dalam kamus umum bahasa Indonesia karangan Poerwadaminta, Krisis diartikan sebagai
kemelut atau keadaan yang genting. Dengan adanya suatu krisias maka perlu adanya
solusi sebagai jalan keluar agar krisis tersebut dapat diatasi.
2. Moral
Moral menurut bahasa berarti baik atau buruknya perbuatan.Sedangkan dari segi istilah
moral adalah ajaran tentang tindakan seseorang.Dalam hal sifat, kehendak, pendapat
atau perbuatan yang layak dilakuka.
Menurut Drs Sidi Ghozalba, moral adalah kesesuian dengan ide-ide yang umum diterima
tentang tindakan manusia man yang baik dan yang wajar.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Moral dan Krisis Moral


1. Moral (Akhlak)
Apabila membicarakan krisis moral (akhlak), yang perlu dipahami adalah
pengertian dari moral (akhlak) itu sendiri agar tidak terjadi kesalahan semantik.Bertens
memandang moral (akhlak) sebagai keseluruhan asas dari nilai yang berkenaan dengan
baik dan buruk. Semua bangsa mempunyai pengalaman terhadap baik dan buruk, tetapi
tidak selalu ada pendapat yang sama tentang apa yang harus dianggap baik atau buruk
itu. Pengertian tentang baik dan buruk merupakan sesuatu yang umum yang terdapat di
mana-mana dan di segala zaman. Dengan kata lain akhlak atau moralitas merupakan
fenomena manusiawi (kemanusiaan) yang universal.
Moral atau "ethos" seseorang atau sekelompok orang adalah bukan hanya apa
yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang itu, melainkan juga apa yang menjadi
pemikiran dan pendirian mereka mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik,
mengenai apa yang patut dan tidak patut untuk dilakukan. Perbuatan-perbuatan atau
perilaku orang pada umumnya, tidak selalu adalah tanda, adalah manifestasi keyakinan
atau pandangan hidup orang.
Dalam penggunaannya sebagai kata sifat, moral dapat dimaknakan sebagai
1. Sesuatu yang menyangkut penilaian atau pengajaran tentang kebaikan atau keburukan
watak atau kelakuan;
2. Sesuatu yang bersetujuan dengan ukuran-ukuran maupun kelakuan yang baik;
3. Sesuatu yang timbul dari hati nurani;
4. Hal yang punya dampak kejiwaan bukan keragaan;
5. Hal yang didasarkan atas kelayakan daripada bukti;
6. Prinsip yang diajarkan (atau disimpulkan) lewat sebuah cerita atau kejadian;
7. Aturan-aturan kebiasaan tingkah laku (khususnya tingkah laku seksual).
Beberapa pengertian tentang baik atau buruk, baik dari sudut rasionalitas akal,-
maupun dari sudut pandang agama di atas, dapat mengarahkan bahwa moral (akhlak)
bukan merupakan sesuatu yang inheren dalam diri manusia sewaktu dilahirkan, melainkan
akhlak terus muncul melalui proses pendidikan (pembinaan) dan proses sosialisasi. Jadi
moral seseorang akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh proses pendidikan
(pembinaan) berlangsung pada individu. Pendidikan tersebut tentu saja melibatkan
banyak unsur. Lingkungan sesama individu, mulai dari keluarga, lingkungan
pendidikan (sekolah), dan lingkungan masyarakat luas sampai pada negara atau
pemerintah.

2. Krisis Moral Bangsa


Krisis moral seseorang yang kemudian juga akan memberikan sumbangsih pada
krisis moral suatu bangsa terjadi ketika seseorang berbuat, berbudi, dan berperangai tidak
lagi didasarkan kepada tuntutan ideal yang seharusnya (dass soleri) dijadikan pegangan,
yaitu nilai agama dan nilai budaya.
Mengapa Indonesia begitu lama bangkit dari "keterpurukan nasional" semenjak
terjadinya perubahan kontelasi politik dan ekonomi global, sementara negara-negara lain
di Asia Tenggara, sudah mampu melewatinya meskipun sumber daya alamnya tidak
sekaya indonesia? Krisis moral adalah jawabannya.Krisis moral dalam hal ini dapat
ditempatkan dalam titik sentral dan merupakan causa prima dari krisis lainnya.
Krisis adalah suatu proses perubahan yang terjadi pada sesuatu sehingga tidak
bisa berjalan sebagaimana yang seharusnya atau tidak normal, atau menurut Durkheim-
natural order of the things yang ada mengalami gangguan. Krisis dengan pengertian inilah
yang terjadi di bangsa Indonesia. Bangsa yang mengalami anomie, mengalami keadaan
dimana norma-norma dan nilai-nilai budaya yang dimiliki seseorang atau suatu kelompok
masyarakat tidak mampu memberi makna terhadap perubahan dan perkembangan yang
berlangsung di berbagai bidang kehidupan.
Empat indikator terjadinya krisis moral:
a) Unsur-unsur moralitas mengalami erosi
Erosi dalam hal ini berarti berkurangnya nilai-nilai, norma-norma dan keyakinan yang
merupakan bagian dari moralitas yang dimiliki secara oleh setiap anggota suatu
masyarakat.Reduksi terjadi dari yang semula adalah bagian dari moralitas hidup suatu
kelompok menjadi hanya sekedar kebiasaan yang boleh diikuti boleh juga tidak.Norma-
norma dan nilai-nilai lama (tradisi) runtuh sementara norma-norma dan nilai-nilai bam
belum ada yang disepakati untuk menjadi bagian dari moralitas hidup.
b) Masyarakat tidak lagi terikat pada aturan moral
Transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern melemahkan daya
kohesi(fitas) sosial yang ada. Sebagian masyarakat tidak lagi merasa terikat dengan
aturan-aturan moral yang telah menjadi kesepakatan bersama.Aturan-aturan moral
semakin tidak jelas, sehingga menimbulkan anomie dan indivisualisme yang berlebihan
menggejala dalam masyarakat, terutama masyarakat perkotaan.
c) Moralitas mengalami pelemahan intensitas
Intensitas menunjukkan sejauh mana moralitas atau kesadaran kolektif memiliki
kekuatan untuk mengarahkan pikiran, sikap, dan tindakan seseorang.Moralitas
menghendaki orang untuk mematuhi dari dalam.Karena, "sementara moralitas berada di
atas kita, ia juga berada dalam diri kita dan hanya bisa menjadi ada oleh dan melalui
kita".Oleh karena itu, bila telah ditinggalkan dan tidak lagi dipatuhi, maka dengan
sendirinya moralitas tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengendalikan sikap dan tindakan
anggota masyarakat.
d) Tidak terjadi kemarahan moral atau moral outrage
Kemarahan moral berupa reaksi keras dari sebagian besar anggota masyarakat
terhadap seseorang yang dianggap melanggar aturan moral tertentu merupakan
mekanisme yang penting dan diperlukan untuk menjaga moralitas hidup.Membiarkan
pelanggaran aturan moral terjadi tanpa ada reaksi dan protes dapat menimbulkan
anggapan pada si pelanggar bahwa sikap atau tingkah Iaku yang diperlihatkannya tidak
bertentangan dengan moralitas. Norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan yang tadinya
merupakan bagian dari moralitas hidup akan tereduksi menjadi sekedar moral
custom atau kebiasaan moral yang tidak menuntut kepatuhan seseorang. Akhirnya
terserah pada kemauan setiap individu untuk mengikuti atau tidak, tidak ada mekanisme
yang dapat memaksanya dan tidak ada sanksi sosial apabila ia tidak menyesuaikan sikap
dan tindakan dengan aturan-aturan moral yang ada.
Krisis moral dapat berperan penting dalam segala kondisi krisis lainnya yang muncul.
Krisis moral ini tidak dapat dipisahkan dari praktek-praktek kekuasaan pada masa lalu
yang mengabaikan pentingnya pembangunan moralitas hidup bangsa {character
building)secara keseluruhan.

B. Pendidikan Moral dan Pendidikan Karakter


1. Pendidikan Moral
Pendidikan Agama telah diwajibkan di sekolah, lantas mengapa kemerosotan moral,
atau setidaknya tingkah laku siswa yang "amoral" masih saja terjadi?Apakah pendidikan
agama harus dihapuskan? Nampaknya mempertahankan pelaksanaan pendidikan agama
di sekolah-sekolah akan jauh lebih baik daripada menghapuskannya. Pendidikan agama
akan dapat ikut menanggulangi serta memberi prevensi terhadap masalah moralitas
bangsa.
Pendidikan moral adalah pendidikan keteladanan. Tanpa keteladanan dan panutan,
moral akan semakin pudar. Akhir-akhir ini kalangan birokrat, pendidik, orangtua, dan
generasi muda Indonesia resah, khawatir, dan kecewa karena adanya krisis keteladanan.
Beragam respons muncul: ada yang bersikap counter-agresif, pasif, dan ada juga
yang memutuskan untuk hanya mengikuti arus. Berbeda dengan mereka yang memilih
respons kedua dan ketiga, bagi mereka yang memilih sikap pertama, ada kecenderungan
untuk menggunakan tindak kekerasan dan radikal.Semakin banyaknya tindakan abuse of
power, seperti korupsi dan tindakan semacamnya, menjadi humus bagi munculnya
tindakan kekerasan, agresif, dan radikal tersebut.
Para elite politik, pejabat pemerintah, dan intelektual saat ini memiliki tingkat
pendidikan serta prestasi yang relatif sejajar sehingga tak ada lagi satu sosok bintang
yang paling menonjol.Jadi, tiadanya figur idola generasi muda saat ini bisa dimaknai positif
karena hal tersebut menunjukkan terjadinya mobilitas intelektual secara masif dan
berlangsung demokratisasi dalam berbagai bidang secara mengesankan.Dalam konteks
ini yang diperlukan adalah kepemimpinan kolektif dan penguatan sistem.
Namun, tiadanya sosok menonjol sebagai idola dan panutan mengindikasikan krisis
kepemimpinan dan keteladanan pada era transisi ini.Krisis moral telah menggerogoti
prestasi kinerja pemerintah yang sedikit demi sedikit mengikis kepercayaan masyarakat,
khususnya generasi muda.Ada indikasi sikap seperti itu telah ikut menyemai tindakan
kekerasan, termasuk radikalisme, dalam masyarakat.
Remaja saat ini tumbuh tanpa pemahaman yang dalam tentang ideologi berbangsa
yang menjadi jati diri dan acuan visi ke depan di tengah pergaulan dunia yang kian
mengglobal. Generasi muda mendatang tidak saja dituntut memahami dan menjaga
multikulturalisme dan pluralisme yang menjadi realitas sosial bangsa Indonesia.Mereka
juga mesti siap masuk dalam pergaulan dan persaingan lintas bangsa dan negara.
Yang dimaksud ideologi di sini adalah satu set nilai, cita-cita mulia, yang menjadi acuan
dan pegangan hidup yang diperjuangkan secara militan secara individu dan kolektif
sebagai warga bangsa. Bagi warga Indonesia, ideologi yang dimaksud adalah Pancasila
yang secara intrinsik disarikan dari nilai-nilai agama dan tradisi yang hidup di tengah
masyarakat. Pendidikan moral merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan
dalam pendidikan, baik di keluarga,ataupun lingkungan masyarakat. Tiga hal yang
berkaitan dengan pendidikan moral adalah:
Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang bersentuhan langsung
dengan perkembangan moral anak. Pendidikan karakter adalah proses mengajari anak
dengan pengetahuan moral dasar untuk mencegah mereka melakukan tindakan-tindakan
yang tidak bermoral yang membahayakan orang lain dan membahayakan dirinya sendiri
seperti perilaku berbohong, menipu dan mencuri. Dengan adanya proses pendidikan ini
peserta didik dapat memahami bahwa perilaku tersebut merupakan perilaku yang keliru.
Menurut pendidikan karakter setiap sekolah harus memiliki aturan moral yang kemudian
dikomunikasikan dengan jelas kepada seluruh siswa.Setiap pelanggaran terhadap aturan
harus dikenai sanksi sesuai dengan kesepakatan.
Klarifikasi nilai adalah proses memberikan bantuan kepada setiap anak untuk
memahami dan menyadari untuk apa hidup serta mengklarifikasi bentuk-bentuk perilaku
apa yang layak dikerjakan. Dalam pendekatan ini, anak didorong untuk mendefinisikan
nilai dari mereka sendiri dan memahami nilai diri orang lain.
Pendidikan moral kognitif adalah pendekatan yang didasarkan pada keyakinan
bahwa murid harus mempelajari hal-hal seperti demokrasi dan keadilan saat moral
mereka sedang berkembang (santrock, 2007). Teori Kohlberg banyak mendasari
pendidikan moral kognitif yakni menyadari bahwa atmosfer moral di sekolah sangat
berpengaruh terhadap perkembang moral anak. Dengan kata lain, iklim sekolah dalam
pendidikan moral akan menentukan keberhasilan pendidikan moral.

2. Pendidikan Karakter
Karakter (watak) anak bangsa, dilihat dari fenomena-fenomena sosial remaja dan anak
muda saat ini, sungguh sudah sangat lemah. Hal ini terjadi pada anak bangsa yang juga
adalah generasi penerus, anak-anak muda masa depan. Mungkin karena itu pula, para
pendidik bahkan juga pemerintah melalui Kementerian Diknas dan Kementerian Agama
mendengungkan pendidikan watak atau karakter.Pendidikan watak intinya rangkaian
latihan-Iatihan untuk mengendalikan diri.
Ada dua hal yang harus diketahui. Pertama, pengendalian diri untuk
melaksanakan apa yang menurut hati nurani harus dilakukan. Kedua, pengendalian diri
untuk tak melakukan segala sesuatu yang menurut hati nurani tak boleh dilakukan. Dalam
istilah agama, pengertian ini rasanya sejalan dengan takwa; menjalankan apa yang
diperintahkan dan menjauhkan diri dari apa yang dilarang Tuhan. Jadi, pendidikan watak
seharusnya merupakan Iatihan takwa. Dalam pendidikan watak secara luas, referensi-
referensi untuk melakukan yang baik dan diperintahkan dan menjauhi larangan tentu tak
hanya berasal dari perintah agama, tetapi juga dari sumber etik lain.
Orang yang telah mendapatkan pendidikan watak secara baik akan tampil sebagai
manusia yang konsisten dalam perilaku. Pendidikan watak mengasumsikan dua hal:
pengetahuan tentang etika dan pengetahuan tentang diri sendiri. Anak yang berwatak
pasti mengenai siapa dirinya sendiri. Dengan pengetahuan tersebut, ia akan tahu apa
yang harus dipelajari dan apa yang tak perlu dipelajari. Dia tahu betul apa yang diinginkan
dan yang tidak dibutuhkannya.
Menghubungkan dua ini pengetahuan etika dan pengetahuan tentang diri sendiri
tampak mudah bagi orang dewasa.Tetapi, bagi anak yang sedang tumbuh sering kali
bukan perkara sederhana.Dalam kasus yang menimbulkan keraguan inilah, guru atau
pendidik memegang peranan penting. Segala hal yang diterangkan tak boleh
menggoyahkan keyakinan anak mengenai siapa dirinya, apa yang baik dan utama, juga
apa yang nista.
Pendidikan Karakter akan efektif jika diselenggarakan dengan mengintegrasikan
tiga basis desain sebagai berikut:
a) Desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai
pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter
adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-
pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas
terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan
pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam
konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah
noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan Iain-lain, yang
membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman.
b) b)Desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun
kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata
sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa.
Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan
moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur
kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap
setiap perilaku ketidakjujuran.
c) Desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah
tidak berjuang sendirian.Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga,
masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk
mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika
lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak
pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk
menjadi manusia yang .tidak menghargai makna tatanan sosial bersama.
Karakter dapat dibentuk jika setiap individu memiliki teladan yang mampu
menggiring mereka dalam ranah yang jelas, tegas, dan benar.Maka, sebaiknya pendidikan
karakter dilakukan kepada para siswa di tingkat dasar dan menengah.Para siswa ini
disiapkan untuk mampu menyikapi pilihan hidup dengan bijak.Namun, sekolah tentu
bukan tempat satu-satunya untuk mendidik setiap pribadi.berkarakter, tempat lain yang
utama adalah keluarga dan masyarakat. Rumah adalah istana, tetapi rumah juga mampu
menjadi penjara jika tanpa komunikasi.Masyarakat mampu menjadi sahabat, tapi dapat
pula menjadi penyekat apabila tidak ada empati yang dirasakan.Semua individu adalah
pelaku pendidikan karakter.
Lebih fokus di sekolah, pendidikan karakter harus dimulai dari guru. Guru bukan
hanya mengajarkan pelajaran karakter, tetapi guru harus mampu menempa dirinya agar
berkarakter. Siswa bukan barang mati yang dapat diperdaya dengan berbagai contoh
baik, tetapi guru tidak melakukan hal itu.Pendidikan karakter mengedepankan contoh dan
perilaku dari pada ilustrasi angka yang mere'duksi hakikat karakter sendiri.Materi
pendidikan karakter dipahamkan melalui kegiatan belajar mengajar dalam metode, dan
bukan ditagihkan melalui tes.
Pendidikan karakter dapat diimplementasikan dalam setiap ranah pelajaran atau
diberikan secara tersendiri. Guru harus benar-benar memiliki sikap yang jelas dalam
menjalani kesehariannya karena itulah hakikat karakter. Sikap dan perilaku yang tegas
dan jelas didasarkan pada kebenaran moral tentu menjadi acuan siswa dalam berpikir.
Guru tidak Iagi harus duduk di meja sambil membaca buku atau menikmati tontonan
presentasi siswa. Guru harus mampu menjadi inspirator setiap siswa dalam belajar.
Mata pelajaran adalah sarana yang menjembatani antara guru dan siswa dalam
berelasi. Guru tidak mungkin lepas dari materi pelajaran. Guru juga harus mampu
mengembangkan materinya sehingga mampu melahirkan kebiasaan diskusi dan
eksplorasi akademis.Wajar jika dalam pendidikan kewarganegaraan, siswa mampu diajak
berpikir mendasar mengenai fungsi disiplin diri dalam bermasyarakat. Hal ini akan
menumbuhkan semangat saling menghargai tanpa harus memaksa atau dipaksa untuk
memahami orang Iain. Dalam pelajaran Materaatika, guru harus mengutamakan proses
penyelesaian soal walaupun ada cara singkat. Hal ini melatih siswa untuk berpikir
struktural dan setia pada proses (tekun). Jika latihan model tersebut diberikan secara
teratur, karakter akan terbentuk tanpa disadari siswa sendiri.

3. Pendidikan Moral (Karakter)


Kementerian Agama (Kemenag) dan Kemendiknas; Perbandingan Rencana
Strategis (Renstra) 2010-2014 Renstra Kemenag menyebutkan bahwa salah satu arah
kebijakan dan rencana strategi nasional 2010-2014 adalah peningkatan kualitas
pemahaman dan pengamalan agama melaui penguatan peran agama dalam
pembentukan karakter dan peradaban bangsa.
Renstra Kemenag memiliki sembilan prioritas yang untuk mencapainya, salah
satunya adalah dengan cara peningkatan karakter bangsa peserta didik termasuk
internalisasi nilai-nilai budaya ke dalam proses pembelajaran, kurikulum, dan kegiatan
ekstrakurikuler, serta peningkatan mutu bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu
pengetahuan teknologi dan seni serta bahasa perhubungan luas antara bangsa.
Cita-cita nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dilandasi keinginan
menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang maju, unggul, mandiri, bermartabat, beradab
dan sejahtera. Untuk mewujudkan hal itu, pemerintah perlu mengusahakan dan
menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang dapat membentuk manusia
Indonesia yang memiliki penguasaan dan keterampilan yang tinggi dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja dan daya saing, serta memiliki karkater
dan jati diri bangsa yang kuat, dengan bertumpu pada keimanan dan ketakwaan serta
akhlak yang mulia.
Di dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 3 dan 4 dinyatakan: "Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang," dan "Pemerintah memajukan
ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan
bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia."
Upaya pembentukan karakter dan jati diri bangsa, di samping peningkatan
penguasaan dan ketrampilan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta peningkatan
etos kerja dan daya saing, dilaksanakan melalui pembangunan agama dalam bentuk
penyelenggaraan pendidikan Raudhatul Athfal (RA), madrasah, perguruan
tinggi agama, pendidikan agama dan
pendidikan keagamaan, guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju,
berakhlak mulia, bermartabat, dan beradab.
Jika dibandingkan dengan Renstra Kemendiknas, Renstra Kemenag terlihat lebih
umum, tidak spesifik dan kurang detail. Hal ini disebabkan karena pendidikan karakter
lebih dinisbatkan kepada pendidikan akhlak dan pendidikan agama yang memang sudah
menjadi ciri khas satuan-satuan pendidikan di lingkungan Kementerian Agama.
Pada Renstra Kemendiknas, salah satu arah kebijakannya adalah penerapan
metodologi pendidikan akhlak mulia dan karakter bangsa. Pendidikan karakter hams telah
dimulai pada Pendidikan Usia Dini (PAUD) dengan menerapkan pembelajaran yang
membangun karakter (kejujuran, kepedulian, tanggung jawab dan toleransi) dan
menyenangkan bagi anak.
Penerapan pendidikan karakter pada satuan pendidikan tingkat dasar dan
menengah dengan- target persentase pada awal 2009 adalah 0% diperkirakan tahun 2010
kemarin telah mencapai 10%, kemudian 2011 ini 30%, 2012 50%, 2013 75% dan Tahun
2014 diharapkan mencapai 100%.
Sistem pembelajaran saat ini dipandang belum secara efektif membangun peserta didik
memiliki akhlak mulia dan karakter bangsa.Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya degradasi
moral seperti penyalahgunaan narkoba, radikalisme pelajar, pornografi dan pornoaksi,
plagiarisme, dan menurunnya nilai kebanggaan berbangsa dan bernegara. Kebijakan
untuk menanggulangi masalah ini antara lain adalah sebagai berikut:
 Menanamkan pendidikan moral yang mengintegrasikan muatan agama, budi pekerti,
kebanggaan warga negara, peduli kebersihan, peduli lingkungan, dan peduli ketertiban
dalam penyelenggaraan pendidikan;
 Mengembangkan kurikulum pendidikan yang memberikan muatan soft skills yang
hieningkatkan akhlak mulia dan menumbuhkan karakter berbangsa dan bernegara;
 Rencana Strategis Kementerian Agama Tahun 2010-2014. Lihat Keputusan
Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian AgamaTahun
2010-2014.
 Menutnbuhkan budaya peduli kebersihan, peduli lingkungan, dan peduli ketertiban
melalui pembelajaran aktif di lapangan;
 Penilaian prestasi keteladanan peserta didik yang mempertimbangkan aspek akhlak
mulia dan karakter berbangsa dan bernegara.

4. Penyelenggaraan Pendidikan Moral (Karakter)


a) Perubahan Mindset Pendidikan (Islam);
Proses dan Output Orientasi pendidikan Islam harus didasari oleh bagaimana mempelajari
Islam untuk kepentingan mengetahui bagaimana beragama yang benar dan mempelajari
Islam sebagai sebuah pengetahuan.
Marujuk kepada taksonomi tujuan belajar Benjamin S Bloom, bahwa tingkat keberhasilan
belajar dapat diukur dalam tiga domain, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.Sedangkan
dalam Islam ada konsep ilm, amal, akhlak, dan Iman.Perbedaannya adalah term-term
dalam Islam tersebut sifatnya integratif, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Dalam prosesnya, pendidikan seringkali berhenti pada ranah kognitif.Standar evaluasinya
pun atau kelulusan diukur dari seberapa tinggi daya kognitif siswa.Selama ini kurang
terevaluasi bagaimana pendidikan akhlak, pendidikan karakter yang merupakan ranah
afektif. Outputnya pun kemudian tidak akan berbanding lurus, siswa yang tingkat
kognitifnya tinggi tidak selalu baik moralnya.

b)Peran Orang Tua/Wali Murid


Dari usia balita hingga remaja, anak adalah imitator ulung. Mereka akan mencari
tokoh yang akan diidolakan dan akan ditiru dalam setiap langkahnya. Yang pertama kali
adalah ayah dan ibunya. Orang tua yang berhasil meneladankan sikapnya kepada
anaknya, maka anaknya adaiah seperti apa yang diteladankan, namun sebaliknya jika
tingkah laku orang tua tidak patut untuk ditiru, sang anak akan tetap diam-diam
menirunya.
Di rumah dan di lingkungan, orang tua juga harus mengawasi anaknya, denga'n
siapa bergaul, kegiatan apa yang dikutinya dan seterusnya. Anak yang bergabung dengan
klub olahraga, remaja masjid, kelompok bakti sosial akan lebih positif kegiatan-
kegiatannya daripada kelompok-kelompok yang sukar untuk diawasi.
Di lingkungan lembaga pendidikan (sekolah) juga, orang tua seharusnya tidak serta
merta menyerahkan anaknya kepada sekolah (guru), tetapi orang tua juga berperan
sebagai mediator antara anaknya dan sekolah (guru), sehingga orang tua juga tau
perkembangan keilmuan, sikap dan perilaku anaknya.

c) Pengembangan Kurikulum Pendidikan Moral (Karakter)


Hal-hal apa yang harus dikembangkan dalam kurikulum Pendidikan moral? Disiplih
diriadalah kunci pertama untuk mengatur mekanisme pribadi. Apabila setiap pribadi
mampu mengolah dan mengatur dirinya, ia akan membentuk manajemen diri sehingga
siswa mampu menghargai waktu.
Hal kedua yang dapat dilakukan adalah melatih kejujuran. Kejujuran sering
diucapkan tetapi sulit dilakukan.Kejujuran tidak muncul dan tumbuh secara alamiah
mengingat salah satu sifat manusia adalah egois.Berlaku jujur harus dilatih dan diawasi
secara ketat.Hal ini memberikan keuntuugan ganda, yaitu pembentukan pribadi yang jujur
dan melatih siswa melakukan kontrol sosial.
Hal ketiga adalah memberikan ruang ekspresi yang cukup. Siswa harus diberikan
kesempatan sebanyak mungkin untuk mengekspresikan dirinya.Hal ini penting untuk
penyaluran emosional.Aktivitas belajar di kelas dengan jadwal yang ketat membuat siswa
menjadi lemah kreasi.Kebiasaan nongkrong di luar sekolah terjadi karena tidak ada ruang
ekspresi bagi siswa di sekolah.Anggapan yang muncul bahwa sekolah favorit adalah
sekolah dengan kemampuan kognitif tinggi tidak sepenuhnya benar. Kognitif tinggi tanpa
disertai karakter yang baik akan menghasilkan siswa dalam "cangkang-cangkang
akademis" yang minus nurani. Saluran emosional sangat penting dalam ranah pendidikan
karakter.Jika sekolah sebagai lembaga pendidikan mampu menyeimbangkan hal tersebut,
fenomena remaja nongkrong mungkin dapat berkurang, karena sekolah telah memberikan
ruang bagi mereka. Keuntungan lain dari ekspresi adalah mampu menghargai perbedaan
orang lain atau kultur lain tanpa hams mengerutkan dahi.
Melatih siswa berpikir kritis adalah bagian sangat penting selanjutnya. Berpikir kritis
akan menghasilkan sikap keberpihakan. Hal ini dapat dilakukan dengan berdiskusi atau
berdebat di kelas. Berpikir kritis dengan model debat untuk melatih siswa mampu
mendengarkan argumen atau opini orang lain. Debat bukan melatih siswa asal
berpendapat, tetapi memberi kesempatan saling mencermati. Ranah terakhir adalah ranah
empati. Karakter harus mampu mencerminkan sikap empati. Sikap inilah yang akan
mewarnai kehidupan setiap siswa. Siswa harus dilatih untuk mengerti keadaan orang lain
secara utuh. Jika hal ini dapat dilatihkan kepada setiap individu siswa, sikap tolong-
menolong, ramah, sopan, dan tata krama akan terwujud.

Jika diamati secara umum, maka ada tujuh masalah utama moral bangsa
diantaranya.
1. Hilangnya Kejujuran
Berdasarkan laporan hasil investigasi sebuah lembaga survei dinyatakan bahwa
korupsi menyebar merata di wilayah negara ini, dari Aceh hingga Papua.Karena itu dari
tahun ke tahun posisi Indonesia sebagai negara terkorup selalu menduduki peringkat 10
besar dunia dalam indeks persepsi korupsi (CPI) menurut data dari Transperenscy
International.
2. Hilangnya Rasa Tanggung Jawab
Sebelum bendungan Situ Gintung jebol, Kompas 28 Juli 2008 memberitakan bahwa
sebanyak 50 bendungan dari total 106 dinyatakan rusak. Rusaknya infrastruktur pengairan
ini menurut penelitian disebabkan perawatan operasional bangunan yang kurang
memadai. Masalah seperti ini terjadi juga pada infrastruktur lainnya seperti banyaknya
gedung yang hampir roboh. Kasus lain adalah rusaknya beberapa ruas rel kereta api yang
diakibatkan besi baja rel kereta diambil oleh oknum. Berita-berita tersebut merupakan
cermin bahwa telah terjadi penurunan moral tanggung jawab di masyarakat yang dapat
berakibat fatal bagi keselamatan masyarakat.
3. Tidak Berpikir Jauh ke Depan (Visioner)
Eksploitasi alam adalah salah satu bentuk dari produk berpikir jangka pendek.
Sebagai contoh, pembalakan hutan mencapai 0,6-1,3 juta ha/tahun (Abdoellah, 1999),
bahkan angka tersebut diperkirakan telah melonjak menjadi 1,3–2 juta ha/tahun
(KMNLH, 2002). Akibat dari berbagai eksploitasi alam telah menimbulkan berbagai
bencana.Dalam kurun waktu 2006-2007 bencana ekologis (banjir, longsor, gagal panen,
gagal tanam, kebakaran hutan) tercatat 840 kejadian bencana.
4. Rendahnya Disiplin
Pada Sabtu, 9 Februari 2008 Suara Karya memberitakan bahwa ribuan pegawai
negeri sipil (PNS) di DKI Jakarta dan berbagai daerah nekat tidak masuk kerja alias
mangkir pada hari pascalibur Imlek 2559 (8/2). Kasus mangkir, selalu terjadi setiap hari
kejepit atau pascalibur (cuti) nasional. Disebutkan bahwa meski ada aturan PP
No.30/1980 yang menyatakan bahwa ada tiga tingkatan pemberian sanksi kepada PNS
dari mulai hukuman disiplin ringan, sedang, dan berat, namun budaya mangkir ini masih
kental di kalangan pegawai negeri. Hal ini merupakan cermin karakter bangsa yang
mengabaikan budaya disiplin.
5. Kriris Kerjasama
Terjadinya perpecahan dan benturan di antara komponen masyarakat
menunjukkan bahwa bangsa ini sedang mengalami krisis persatuan dan melunturnya
budaya kerjasama.Demikian juga dengan jumlah kasus tawuran di antara mahasiswa dan
pelajar yang cenderung meningkat.
6. Krisis Keadilan
Partnership for Governance Reform pada 2002 menempatkan lembaga peradilan
di Indonesia menempati peringkat lembaga terkorup menurut persepsi masyarakat. Hal
tersebut diperkuat dengan laporan Komisi Ombudsman Nasional (KON) tahun 2002,
bahwa berdasarkan pengaduan masyarakat menyebutkan penyimpangan di lembaga
peradilan menempati urutan tertinggi.

7. Krisis Kepedulian
Media masa beberapa waktu yang lalu melaporkan adanya beberapa warga
masyarakat yang meninggal akibat kelaparan.Berita ini menunjukan bahwa kepedulian
juga telah menipis dalam kehidupan masyarakat.
Jika kita melihat potret kehidupan bangsa saat ini, maka jelas terlihat bahwa
masalah moral sesungguhnya merupakan hal yang tidak kalah penting dibanding masalah
ekonomi. Jika hal itu dibiarkan, akan mengancam masa depan bangsa. Namun sayang,
masalah moral ini kerap terpinggirkan dari agenda dan rencana para calon pemimpin
bangsa.

C. Solusi untuk mengatasi Krisis Moral


Apabila melihat uraian diatas seolah-olah krisis moral sudah menjadi sebuah
wabah penyakit yang sangat meresahkan karena telah menjalar disetiap aspek kehidupan
bangsa dan harus segera dibasmi supaya tidak menjadi sebuah virus yang bisa
mematikan mental dari setiap generasi muda yang ada di negeri ini.
Sebenarnya sudah banyak solusi yang dilakukan baik oleh Pemerintah, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dan juga Lembaga akademik maupun non akademik.
Beberapa solusi yang dilakukan antara lain.

Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter kini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi
bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter ini pun
diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025.
Di lingkungan Kemendiknas sendiri, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di
seluruh jenjang pendidikan yang dibinannya.Tidak kecuali di pendidikan tinggi, pendidikan
karakter pun mendapatkan perhatian yang cukup besar.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum
memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan
pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif
tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga,
pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa
berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik.
Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan
karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal
lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah.Dalam hal ini, waktu belajar
peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat
dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik.
Menurut seorang pencetus Pendidikan Karakter dari Jerman Foerster ada empat
ciri dasar dalam pendidikan karakter antara laing.
1. Keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi
pedoman normatif setiap tindakan.
2. Koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak
mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar
yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan
kredibilitas seseorang.
3. Otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-
nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa
terpengaruh atau desakan pihak lain.
4. Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini
apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas
komitmen yang dipilih.
Pendidikan Karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata
pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap
mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran
kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan
peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan
salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu
akademik peserta didik.Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar
mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan,
potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan
oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di
sekolah.Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan
dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau
pengelolaan sekolah.Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter
direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di
sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu
ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga
kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah
merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kesimpulan dari pembahasan makalah ini adalah:


1. Krisis moral telah melanda sebagian besar remaja Indonesia yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor.
2. Krisis moral remaja Indonesia masih dapat diperbaiki dengan beberapa solusi yang
melibatkan individu remaja sendiri dan lingkungan.

B. SARAN
1. Remaja hendaknya dapat membatasi diri dari hal-hal negatif yang termasuk dalam
kenakalan remaja.
2. Lingkungan hendaknya mendukung secara moral agar para remaja tidak terjerumus ke
dalam kenakalan remaja.
3. Pemerintah, guru, dan orang tua hendaknya memberikan pengarahan bagi para remaja
dan membimbing para remaja ke dalam kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat


Indonesia, (Jakarta: Kanisius Yogyakarta dan BPK Gunung Mulia, 1997)
Abdur Rahman Assegaf, dkk, Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Suka Press,
2007)
Abd. Rahman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Hadhari
Berbasis Integratif-Interkonektif, (Jakarta: PT. Raja Grafmdo Persada, 2011)
Achmad Mubarok, "Pribadi yang Kuat", dalam Hasan M. Noer (Ed), Masyarakat
Qur'ani, (Jakarta: Penamadani, 2010), Cet. VI
Doni Koesuma A, Pendidikan Karakter Integral, Pendidikan.Karakter.Integral.
K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997)
Komaruddin Hidayat, Generasi Miskin Keteladanan, Harian Kompas, Edisi02 Mei2011
Mochtar Buchori, Pendidikan Watak, Harian Kompas, Edisi 03 Mei 2011
Nur Kholis Madjid, "Konsep dan Pengertian Akhlak Bangsa", dalam Tim Kahmi Jaya
(Ed.), Indonesia di Simpang Jalan, (Bandung: Mizan Pustaka, 1998)
Rusdi Syahra, Krisis Moral: Determinan, Implikasi, dan Strategi Pemecahan
Masalahnya, Makalah pada Seminar Sehari, "Kepemimpinan dan Moralitas Bangsa dalam
Era Reformasi", yang diadakan oleh Yayasan Perempuan Peduli Bangsa bekerjasama
dengan Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI, 13 Juni 2002.
Rencana Strategis Kementerian Agama Tahun 2010-2014. Lihat Keputusan Menteri
Agama Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Agama Tahun
2010-2014

Rencana Strategis Kemendiknas Tahun 2010-2014.Lihat Permendiknas Nomor 2 Tahun


2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014.

Anda mungkin juga menyukai