PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dahulu Indonesia dikenal sebagai negara yang ramah, berpenduduk penuh etika
dan sopan santun.Masyarakat masih menjunjung tinggi tata krama dalam pergaulan
sebagaimana anak bersikap kepada orang yang lebih tua maupun hubungan antar teman.
Namun seiring laju perkembangan zaman dan perubahan cepat dalam teknologi
informasi telah merubah sebagian besar masyarakat dunia terutama remaja.Sebagaimana
telah diketahui dengan adanya kemajuan informasi di satu sisi remaja merasa
diuntungkan dengan adanya media yang membahas seputar masalah dan kebutuhan
mereka. Dengan adanya hal tersebut, media telah menyumbang peran besar dalam
pembentukan budaya dan gaya hidup yang akan mempengaruhi moral remaja. Namun
sebagian besar media ini membawa dampak negatif khususnya bagi remaja yang
notabenenya lebih banyak menggunakan.Berbagai masalah yang muncul tak terkendali,
generasi muda terpelajar baik pelajar maupun mahasiswa harapan bangsa tawuran antara
sesama bagaikan lawan yang abadi.Oleh karena itu generasi muda memerlukan
perbaikan yang lebih melalui membangun pendidikan karakter.
Hilangnya moral para remaja adalah suatu hal yang telah banyak disaksikan di
seluruh pelosok bumi nusantara, termasuk di Indonesia.Moral remaja yang telah hilang
termasuk dalam kenakalan remaja.Yaitu masalah yang telah mengancam bangsa ini.
Remaja yang seharusnya menjadi tumpuhan masa depan bangsa tidak lagi dapat
diharapkan. Walaupun tidak sedikit juga para remaja yang telah banyak menulis tinta
emas dalam sejarah bangsa di dunia Internasional.Namun tidak sedikit juga para remaja
ini yang salah jalan. Mereka bahkan tidak sadar akan keberadaannya dan siapa dirinya
sendiri.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini, antara lain:
1. Apakah yang dimaksud krisis moral yang terjadi di Indonesia?
2. Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya krisis moral?
3. Apa saja solusi yang dapat dilakukan untuk mengatasi krisis moral?
C. Tujuan Penulisan
Adalah untuk mengetahui sejauh mana krisis moral yang dialami para remaja dan
solusi untuk mengatasinya.
D. Pembatasan Masalah
1. Krisis
Dalam kamus umum bahasa Indonesia karangan Poerwadaminta, Krisis diartikan sebagai
kemelut atau keadaan yang genting. Dengan adanya suatu krisias maka perlu adanya
solusi sebagai jalan keluar agar krisis tersebut dapat diatasi.
2. Moral
Moral menurut bahasa berarti baik atau buruknya perbuatan.Sedangkan dari segi istilah
moral adalah ajaran tentang tindakan seseorang.Dalam hal sifat, kehendak, pendapat
atau perbuatan yang layak dilakuka.
Menurut Drs Sidi Ghozalba, moral adalah kesesuian dengan ide-ide yang umum diterima
tentang tindakan manusia man yang baik dan yang wajar.
BAB II
PEMBAHASAN
2. Pendidikan Karakter
Karakter (watak) anak bangsa, dilihat dari fenomena-fenomena sosial remaja dan anak
muda saat ini, sungguh sudah sangat lemah. Hal ini terjadi pada anak bangsa yang juga
adalah generasi penerus, anak-anak muda masa depan. Mungkin karena itu pula, para
pendidik bahkan juga pemerintah melalui Kementerian Diknas dan Kementerian Agama
mendengungkan pendidikan watak atau karakter.Pendidikan watak intinya rangkaian
latihan-Iatihan untuk mengendalikan diri.
Ada dua hal yang harus diketahui. Pertama, pengendalian diri untuk
melaksanakan apa yang menurut hati nurani harus dilakukan. Kedua, pengendalian diri
untuk tak melakukan segala sesuatu yang menurut hati nurani tak boleh dilakukan. Dalam
istilah agama, pengertian ini rasanya sejalan dengan takwa; menjalankan apa yang
diperintahkan dan menjauhkan diri dari apa yang dilarang Tuhan. Jadi, pendidikan watak
seharusnya merupakan Iatihan takwa. Dalam pendidikan watak secara luas, referensi-
referensi untuk melakukan yang baik dan diperintahkan dan menjauhi larangan tentu tak
hanya berasal dari perintah agama, tetapi juga dari sumber etik lain.
Orang yang telah mendapatkan pendidikan watak secara baik akan tampil sebagai
manusia yang konsisten dalam perilaku. Pendidikan watak mengasumsikan dua hal:
pengetahuan tentang etika dan pengetahuan tentang diri sendiri. Anak yang berwatak
pasti mengenai siapa dirinya sendiri. Dengan pengetahuan tersebut, ia akan tahu apa
yang harus dipelajari dan apa yang tak perlu dipelajari. Dia tahu betul apa yang diinginkan
dan yang tidak dibutuhkannya.
Menghubungkan dua ini pengetahuan etika dan pengetahuan tentang diri sendiri
tampak mudah bagi orang dewasa.Tetapi, bagi anak yang sedang tumbuh sering kali
bukan perkara sederhana.Dalam kasus yang menimbulkan keraguan inilah, guru atau
pendidik memegang peranan penting. Segala hal yang diterangkan tak boleh
menggoyahkan keyakinan anak mengenai siapa dirinya, apa yang baik dan utama, juga
apa yang nista.
Pendidikan Karakter akan efektif jika diselenggarakan dengan mengintegrasikan
tiga basis desain sebagai berikut:
a) Desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai
pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter
adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-
pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas
terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan
pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam
konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah
noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan Iain-lain, yang
membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman.
b) b)Desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun
kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata
sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa.
Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan
moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur
kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap
setiap perilaku ketidakjujuran.
c) Desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah
tidak berjuang sendirian.Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga,
masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk
mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika
lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak
pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk
menjadi manusia yang .tidak menghargai makna tatanan sosial bersama.
Karakter dapat dibentuk jika setiap individu memiliki teladan yang mampu
menggiring mereka dalam ranah yang jelas, tegas, dan benar.Maka, sebaiknya pendidikan
karakter dilakukan kepada para siswa di tingkat dasar dan menengah.Para siswa ini
disiapkan untuk mampu menyikapi pilihan hidup dengan bijak.Namun, sekolah tentu
bukan tempat satu-satunya untuk mendidik setiap pribadi.berkarakter, tempat lain yang
utama adalah keluarga dan masyarakat. Rumah adalah istana, tetapi rumah juga mampu
menjadi penjara jika tanpa komunikasi.Masyarakat mampu menjadi sahabat, tapi dapat
pula menjadi penyekat apabila tidak ada empati yang dirasakan.Semua individu adalah
pelaku pendidikan karakter.
Lebih fokus di sekolah, pendidikan karakter harus dimulai dari guru. Guru bukan
hanya mengajarkan pelajaran karakter, tetapi guru harus mampu menempa dirinya agar
berkarakter. Siswa bukan barang mati yang dapat diperdaya dengan berbagai contoh
baik, tetapi guru tidak melakukan hal itu.Pendidikan karakter mengedepankan contoh dan
perilaku dari pada ilustrasi angka yang mere'duksi hakikat karakter sendiri.Materi
pendidikan karakter dipahamkan melalui kegiatan belajar mengajar dalam metode, dan
bukan ditagihkan melalui tes.
Pendidikan karakter dapat diimplementasikan dalam setiap ranah pelajaran atau
diberikan secara tersendiri. Guru harus benar-benar memiliki sikap yang jelas dalam
menjalani kesehariannya karena itulah hakikat karakter. Sikap dan perilaku yang tegas
dan jelas didasarkan pada kebenaran moral tentu menjadi acuan siswa dalam berpikir.
Guru tidak Iagi harus duduk di meja sambil membaca buku atau menikmati tontonan
presentasi siswa. Guru harus mampu menjadi inspirator setiap siswa dalam belajar.
Mata pelajaran adalah sarana yang menjembatani antara guru dan siswa dalam
berelasi. Guru tidak mungkin lepas dari materi pelajaran. Guru juga harus mampu
mengembangkan materinya sehingga mampu melahirkan kebiasaan diskusi dan
eksplorasi akademis.Wajar jika dalam pendidikan kewarganegaraan, siswa mampu diajak
berpikir mendasar mengenai fungsi disiplin diri dalam bermasyarakat. Hal ini akan
menumbuhkan semangat saling menghargai tanpa harus memaksa atau dipaksa untuk
memahami orang Iain. Dalam pelajaran Materaatika, guru harus mengutamakan proses
penyelesaian soal walaupun ada cara singkat. Hal ini melatih siswa untuk berpikir
struktural dan setia pada proses (tekun). Jika latihan model tersebut diberikan secara
teratur, karakter akan terbentuk tanpa disadari siswa sendiri.
Jika diamati secara umum, maka ada tujuh masalah utama moral bangsa
diantaranya.
1. Hilangnya Kejujuran
Berdasarkan laporan hasil investigasi sebuah lembaga survei dinyatakan bahwa
korupsi menyebar merata di wilayah negara ini, dari Aceh hingga Papua.Karena itu dari
tahun ke tahun posisi Indonesia sebagai negara terkorup selalu menduduki peringkat 10
besar dunia dalam indeks persepsi korupsi (CPI) menurut data dari Transperenscy
International.
2. Hilangnya Rasa Tanggung Jawab
Sebelum bendungan Situ Gintung jebol, Kompas 28 Juli 2008 memberitakan bahwa
sebanyak 50 bendungan dari total 106 dinyatakan rusak. Rusaknya infrastruktur pengairan
ini menurut penelitian disebabkan perawatan operasional bangunan yang kurang
memadai. Masalah seperti ini terjadi juga pada infrastruktur lainnya seperti banyaknya
gedung yang hampir roboh. Kasus lain adalah rusaknya beberapa ruas rel kereta api yang
diakibatkan besi baja rel kereta diambil oleh oknum. Berita-berita tersebut merupakan
cermin bahwa telah terjadi penurunan moral tanggung jawab di masyarakat yang dapat
berakibat fatal bagi keselamatan masyarakat.
3. Tidak Berpikir Jauh ke Depan (Visioner)
Eksploitasi alam adalah salah satu bentuk dari produk berpikir jangka pendek.
Sebagai contoh, pembalakan hutan mencapai 0,6-1,3 juta ha/tahun (Abdoellah, 1999),
bahkan angka tersebut diperkirakan telah melonjak menjadi 1,3–2 juta ha/tahun
(KMNLH, 2002). Akibat dari berbagai eksploitasi alam telah menimbulkan berbagai
bencana.Dalam kurun waktu 2006-2007 bencana ekologis (banjir, longsor, gagal panen,
gagal tanam, kebakaran hutan) tercatat 840 kejadian bencana.
4. Rendahnya Disiplin
Pada Sabtu, 9 Februari 2008 Suara Karya memberitakan bahwa ribuan pegawai
negeri sipil (PNS) di DKI Jakarta dan berbagai daerah nekat tidak masuk kerja alias
mangkir pada hari pascalibur Imlek 2559 (8/2). Kasus mangkir, selalu terjadi setiap hari
kejepit atau pascalibur (cuti) nasional. Disebutkan bahwa meski ada aturan PP
No.30/1980 yang menyatakan bahwa ada tiga tingkatan pemberian sanksi kepada PNS
dari mulai hukuman disiplin ringan, sedang, dan berat, namun budaya mangkir ini masih
kental di kalangan pegawai negeri. Hal ini merupakan cermin karakter bangsa yang
mengabaikan budaya disiplin.
5. Kriris Kerjasama
Terjadinya perpecahan dan benturan di antara komponen masyarakat
menunjukkan bahwa bangsa ini sedang mengalami krisis persatuan dan melunturnya
budaya kerjasama.Demikian juga dengan jumlah kasus tawuran di antara mahasiswa dan
pelajar yang cenderung meningkat.
6. Krisis Keadilan
Partnership for Governance Reform pada 2002 menempatkan lembaga peradilan
di Indonesia menempati peringkat lembaga terkorup menurut persepsi masyarakat. Hal
tersebut diperkuat dengan laporan Komisi Ombudsman Nasional (KON) tahun 2002,
bahwa berdasarkan pengaduan masyarakat menyebutkan penyimpangan di lembaga
peradilan menempati urutan tertinggi.
7. Krisis Kepedulian
Media masa beberapa waktu yang lalu melaporkan adanya beberapa warga
masyarakat yang meninggal akibat kelaparan.Berita ini menunjukan bahwa kepedulian
juga telah menipis dalam kehidupan masyarakat.
Jika kita melihat potret kehidupan bangsa saat ini, maka jelas terlihat bahwa
masalah moral sesungguhnya merupakan hal yang tidak kalah penting dibanding masalah
ekonomi. Jika hal itu dibiarkan, akan mengancam masa depan bangsa. Namun sayang,
masalah moral ini kerap terpinggirkan dari agenda dan rencana para calon pemimpin
bangsa.
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter kini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi
bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter ini pun
diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas 2025.
Di lingkungan Kemendiknas sendiri, pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di
seluruh jenjang pendidikan yang dibinannya.Tidak kecuali di pendidikan tinggi, pendidikan
karakter pun mendapatkan perhatian yang cukup besar.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum
memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan
pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif
tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga,
pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa
berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik.
Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan
karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal
lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah.Dalam hal ini, waktu belajar
peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat
dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik.
Menurut seorang pencetus Pendidikan Karakter dari Jerman Foerster ada empat
ciri dasar dalam pendidikan karakter antara laing.
1. Keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi
pedoman normatif setiap tindakan.
2. Koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak
mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar
yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan
kredibilitas seseorang.
3. Otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-
nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa
terpengaruh atau desakan pihak lain.
4. Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini
apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas
komitmen yang dipilih.
Pendidikan Karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata
pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap
mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran
kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan
peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan
salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu
akademik peserta didik.Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar
mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan,
potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan
oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di
sekolah.Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan
dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau
pengelolaan sekolah.Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter
direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di
sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu
ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga
kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah
merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
1. Remaja hendaknya dapat membatasi diri dari hal-hal negatif yang termasuk dalam
kenakalan remaja.
2. Lingkungan hendaknya mendukung secara moral agar para remaja tidak terjerumus ke
dalam kenakalan remaja.
3. Pemerintah, guru, dan orang tua hendaknya memberikan pengarahan bagi para remaja
dan membimbing para remaja ke dalam kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA