PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut International Continence Society, inkontinensia urin didefinisikan
sebagai keluhan berkemih secara involunter (di luar kesadaran).
2.2 Epidemiologi
Menurut penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2008 didapatkan bahwa
inkontinensia urin paling banyak terdapat di usia >80 tahun dengan persentase 32%
dan 23% pada usia 60-79 tahun.1 Sedangkan hasil penelitian di India terhadap 3000
wanita berbagai umur menunjukkan bahwa prevalensi inkontinensia urin sebesar
21,8% dan 42,8% nya memiliki usia 61-70 tahun. Perempuan lebih sering
mengalami inkontinensia urin daripada laki-laki dengan perbandingan 1,5:1 . Survei
yang dilakukan oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo di Poliklinik Geriatri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (2003)
terhadap 179 pasien geriatri mendapatkan angka kejadian inkontinensia urin tipe stres
pada laki-laki sebesar 20,5% dan perempuan sebesar 32,5%. 2,3
2.3 Etiologi
Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi beberapa perubahan pada anatomi
dan fungsi organ untuk berkemih, antara lain melemahnya otot dasar panggul akibat
multigravida, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi abnormal dari
dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah
menimbulkan rasa ingin berkemih.
Penyebab inkontinensia urin antara lain perubahan pada anatomi dan fungsi
organ untuk berkemih, antara lain melemahnya otot dasar panggul akibat
multigravida atau menopause, kelemahan dari spingter urethra, aktivitas yang
berlebihan dari detrusor yang berhubungan dengan kerusakan di sistem saraf pusat
dan masalah pada daerah lokal genitourinari seperti tumor, batu, penyumbatan
2
saluran keluar, serta terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek
obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan
ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi
infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila
vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen topical.
Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi.
Inkontinensia urin juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai
sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus
dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan
mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.
Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke
toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk
mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan
substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus
disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien
lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya
yang menjadi faktor pencetus inkontinensia urin. Jika kondisi ini yang terjadi, maka
penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau
modifikasi jadwal pemberian obat.
Golongan obat yang berkontribusi pada inkontinensia urin, antara lain,
diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic
adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti
antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam
inkontinensia urin. Kafein dan alkohol juga berperan dalam terjadinya inkontinensia
urin. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urin juga terjadi akibat
kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan
(obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan
berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar
panggul karena tertekan selama masa mengandung.
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat
regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat
meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urin. Dengan menurunnya kadar
hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi
3
penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga
menyebabkan terjadinya inkontinensia urin. Faktor risiko yang lain adalah obesitas
atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko
mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan
mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan
otot dasar panggul.
4
Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan
rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi
2 fase yaitu, fase pengisisan, dengan kandung kemih berfungsi sebagai reservoar
urine yang masuk secara berangsur-angsur dari ureter, dan fase miksi dengan
kandung kemih befungsi sebagai pompa serta menuangkan urin melalui uretra dalam
waktu relatif singkat. Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi
kebocoran urin, walaupun kandung kemih penuh atau tekanan intraabdomen
meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing. Peningkatan isi
kandung kemih memperbesar keinginan ini dan pada keadaan normal tidak terjadi
kebocoran di luar kesadaran. Pada fase pengosongan, isi seluruh kandung kemih
dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat mempercepat atau memperlambat
miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin
kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung kemih
tetap relaksasi sehingga meskipun volume kandung kemih meningkat, tekanan di
dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang merupakan
mekanisme penutupan selalu dalam keadaan kontraksi untuk menutup aliran ke
uretra. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih meningkat karena kontraksi
aktif otot-ototnya, sementara terjadi relaksasi mekanisme penutup di dalam uretra.
Uretra membuka dan urin memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-otot
kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase
pengeluaran. Pada kedua fase itu urin tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter
(refluks).
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme volunter dan involunter.
Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah kontrol volunter dan
disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan m. detrusor kandung kemih dan sfingter
uretra internal berada di bawah kontrol sistem safar otonom, yang mungkin
dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan
serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisan mukosa.
5
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme volunter dan involunter.
Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah kontrol volunter dan
disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan m. detrusor kandung kemih dan sfingter
uretra internal berada di bawah kontrol sistem safar otonom, yang mungkin
dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan
serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisan mukosa.
Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot
kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih
berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan
kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medula
spinalis dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang
mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medula
spinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal
dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi
tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian
kandung kemih berlanjut, rasa penggebungan kandung kemih disadari, dan pusat
kortikal (pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada
6
pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi
kemampuan menunda pengeluaran urin. Komponen penting dalam mekanisme
sfingter adalah hubungan urethra dengan kandung kemih dan rongga perut.
Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi yang tepat antara urethra dan
kandung kemih. Fungsi sfingter urethra normal juga tergantung pada posisi yang
tepat dari urethra sehiingga dapat meningkatkan tekanna intraabdomen secara efektif
ditrasmisikan ke ureter. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar
pada saat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intraabdomen. Mekanisme
dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat di medula spinalis
segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian kandung
kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan
penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta
penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inversi somatik pada otot
dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun,
sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan
pembukaan leher kandung kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf
yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum.
Pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis dan kandungan kolagen,
sehingga mneyebabkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi, dan mudah terbentuk
trabekulasi sampai divertikel. Selain itu juga terjadi atrofi mukosa, perubahan
vaskularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot uretra, sehingga terjadi
penurunan tekanan penutupan uretra .
7
patologis (trauma, operasi). Perbahan fisiologis dasar panggul tercantum pada tabel
di bawah ini
8
Pada usia lanjut biasanya ada beberapa jenis inkontinensia urin yaitu ada
inkontinensia urin tipe stress, inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe
overflow. Patofisiologi yang akan dibahas adalah inkontinensia urin tipe stress
dimana inkontinensia urin tipe stres merupakan inkontinensia urin yang paling
banyak dijumai pada perempuan. Ada sebuah penelitian yang melaporkan bahwa
inkontinensia urin stres ternyata tidak hanya disebabkan oleh kegagalan penyokong
ureter tetapi juga karena penutupan leher vesika yang tidak adekuat dan gangguan
pada sestem kendali kontinensia urin (neuromuskular). Pemahaman itu memicu
kesimpulan bahwa tatalaksana yang diberikan pada perempuan dengan inkontinensia
urin harus disesuaikan dengan jenis inkontinensia urin dan penyebab kerusakan;
sebaiknya tatalaksana ini tidak disamaratakan untuk semua kasus inkontinensia urin.
Untuk lebih memahami patofisiologinya, inkontinensia urin akan dibahas dengan
pendekatan anatomi dan fisiologi.
10
Gambar 2. A. tekanan abdominal medesak uretra terhadap penyokong uretra. B. Pada
gambar ini, jaringan penyokong tidak stabil sehingga tidak membentuk jaringan yang
kokoh saat uretra ditekan. C. Sistouretrokel terbentuk saat uretra terletak lebih rendah
dari normal tetapi memiliki lapisan penyokong kuat yang memungkinkan kompresi
uretra.
2.5 Diagnosis
2.5.1. Anamnesis
Pada inkontinensia urin, pasien datang dengan keluhan sering tidak dapat
menahan kencing sehingga sering kencing dicelana sebelum sampai ke kamar
mandi. Passien juga mengatakan kadang saat tertawa terbahak atau batuk,
tanpa sadar terkencing-kencing. Sedangkan penyakit jantung, darah tinggi,
kencing manis sebelumnya tidak ada.
2.5.2. Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin dan
membantu menetapkan patofisiologinya. Selain pemeriksaan fisik umum yang
selalu harus dilakukan, pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum,
fungsi neurologis, dan pelvis (pada wanita) sangat diperlukan.
Pemeriksaan abdomen harus mengenali adanya kandung kemih yang penuh,
rasa nyeri, massa, atau riwayat pembedahan.
Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis harus diidentifikasi ketika
memeriksa genitalia.
11
Pemeriksaan rectum terutama dilakukan untuk medapatkan adanya obstipasi
atau skibala, dan evaluasi tonus sfingter, sensasi perineal, dan refleks
bulbokavernosus. Nodul prostat dapat dikenali pada saat pemeriksaan rectum.
Pemeriksaan pelvis mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi,
massa, tonus otot, prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel.
Evaluasi neurologis sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika
pemeriksan sensasi perineum, tonus anus, dan refles bulbokavernosus.
Pemeriksaan neurologis juga perlu mengevaluasi penyakit-penyakit yang
dapat diobati seperti kompresi medula spinalis dan penyakit parkinson.
Pemeriksaan fisik seyogyanya juga meliputi pengkajian tehadap status
fungsional dan kognitif, memperhatikan apakah pasien menyadari keinginan
untuk berkemih dan mengunakan toilet.
2.5.3. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia,
mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia.
Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara setelah buang air
kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau
menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti
pengosongan kandung kemih tidak adekuat.
2.5.3.1. Urinalisis
Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi
adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin
seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes
diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis
belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah:
2.5.3.2. Laboratorium tambahan
Kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi.
2.5.3.3. Tes urodinamik
Untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah.
2.5.3.4. Tes tekanan urethra
Mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis.
2.5.3.5. Radiologi
Imaging --> tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.
12
2.6 Klasifikasi Inkontinensia Urin
Inkontinensia Transien
Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet
sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin
umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat
memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia
persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya.
13
S : Stool impaction
14
overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena
dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat.
2.7 Komplikasi
2.8 Penatalaksanaan
Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi
pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot
dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-
obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis.
15
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia
urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan
lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah:
Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian
pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10
kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali.
Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ±
10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup
dengan baik.
Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik
seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.
Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine
untuk meningkatkan retensi urethra.
16
Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau
alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi
diberikan secara singkat.
Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi
ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic
(pada wanita).
Modalitas lain
Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan
sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan pampers juga
dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung
pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat
menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.
Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat
menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain
kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin
digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada
pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga
beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.
17
Alat bantu toilet
Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang
tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan
menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian
pada lansia dalam menggunakan toilet.
2.9 Prognosis
Inkontinensia urin tipe sterss biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar
panggul, prognesia cukup baik.
Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive blader umumnya dapat diperbaiki
dengan obat – obat golongan antimuskarinik, prognosis cukup baik.
Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya (misalnya dengan
mengatasi sumbatan / retensi urin).
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
2. Setiati S dan Pramantara IDP. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam .Sudoyo AW et al.
editor. Jakarta : Interna Pulishing ;2009 : 865-875
3. Urol IJ. Prevalence and risk factors of urinary incontinence in Indian women: A
hospital-based survey. Indian Journal of Urology. 2013; 29(1): 31–36
4. Santoso BI. Inkontinensia urin pada perempuan. MKI. 2008 Juli; vol 58(no.7):
258-64
5. Setiati S, Pramantara IDP. Buka ajar ilmu penyakit dalam. Inkontinensia urin dan
kandung kemih hiperaktif. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta: InternaPublishing; 2009: hal
865—75.
6. O’callaghan CA. The renal system at a glance. 2nd ed. Jakarta: erlangga; 2006.
7. Baradero M, Dayrit MW, Siswadi Y. Klien gangguan ginjal: seri asuhan
keperawatan. Jakarta: EGC; 2005.
20
10. Abrams P, Cardozo L, Fall M, et al: The standardization of terminology of lower
urinary tract infection: Report from the Standardization Sub-committee of the
International Continence Society. Neurourol Urodyn 2002; 21:167-178.
21