Anda di halaman 1dari 14

TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI EXTRAORDINARY CRIME

Oleh:
Yusrianto Kadir

ABSTRAK
Korupsi adalah penyakit kronis hampir tanpa obat, menyelusup di segala segi kehidupan dan
tampak sebagai pencitraan budaya buruk bangsa Indonesia. Secara sinis orang bisa
menyebut jati diri Indonesia adalah perilaku korupsi. Pencitraan tersebut tidak sepenuhnya
salah, sebab dalam realitanya kompleksitas korupsi dirasakan bukan masalah hukum
semata, akan tetapi sesungguhnya merupakan pelanggaraan atas hak-hak ekonomi dan
sosial masyarakat. Korupsi telah menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan sosial yang
besar. Pemberantasan korupsi bukanlah sekedar aspirasi masyarakat luas melainkan
merupakan kebutuhan mendesak (urgent needs) bangsa Indonesia untuk mencegah dan
menghilangkan sedapatnya dari bumi pertiwi ini karena dengan demikian penegakan hukum
pemberantasan korupsi diharapkan dapat mengurangi dan seluas-luasnya menghapuskan
kemiskinan.
Beberapa faktor yang menyebabkan korupsi sulit buntu diberantas adalah: (1)
Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia selalu dikaitkan dengan politik. (2)
Adanya kinerja yang bersifat diskriminatif dan tebang pilih dari para penegak hukum. (3)
Terjadinya tumpang tindih kekuasaan dalam hal melakukan penyelidikan, penuntutan antara
lembaga Kejaksaan dan lembaga KPK. (4) Kurangnya peran serta masyarakat dalam
memerangi tindak pidana korupsi. (5) Kurangnya penanaman nilai-nilai moral dan
pendidikan anti korupsi sejak dini

A. PENDAHULUAN
Di era reformasi sekarang ini, Indonesia mengalami banyak perubahan. Perubahan
sistem politik, reformasi ekonomi, sampai reformasi birokrasi menjadi agenda utama di
negeri ini. Yang paling sering dikumandangkan adalah masalah reformasi birokrasi yang
menyangkut masalah-masalah pegawai pemerintah yang dinilai korup dan sarat dengan
nepotisme. Reformasi birokrasi dilaksanakan dengan harapan dapat menghilangkan budaya-
budaya buruk birokrasi seperti praktik korupsi yang paling sering terjadi di dalam instansi
pemerintah. Reformasi birokrasi ini pada umumnya diterjemahkan oleh instansi-instansi
pemerintah sebagai perbaikan kembali sistem remunerasi pegawai. Anggapan umum yang
sering muncul adalah dengan perbaikan sistem penggajian atau remunerasi, maka aparatur
pemerintah tidak akan lagi melakukan korupsi karena dianggap penghasilannya sudah
mencukupi untuk kehidupan sehari-hari dan untuk masa depannya. Namun pada
kenyataannya, tindakan korupsi masih terus terjadi walaupun secara logika gaji para pegawai
pemerintah dapat dinilai tinggi.
Korupsi dari yang bernilai jutaan hingga miliaran rupiah yang dilakukan para pejabat
pemerintah terus terjadi sehingga dapat disinyalir negara mengalami kerugian hingga
triliunan rupiah. Tentunya ini bukan angka yang sedikit, melihat kebutuhan kenegaraan yang
semakin lama semakin meningkat. Jika uang yang dikorupsi tersebut benar-benar dipakai
untuk kepentingan masyarakat demi mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kualitas
pendidikan, mungkin cita-cita tersebut bisa saja terwujud. Dana-dana sosial akan sampai ke
tangan yang berhak dan tentunya kesejahteraan masyarakat akan meningkat.
Boleh dikatakan korupsi telah menjadi akar dari semua permasalahan (the root of all
evils) yang bergolak di Indonesia, terutama faktor yang berasal dari dalam negeri. Salah satu
penyebab marak terjadinya tindak pidana korupsi adalah rendahnya akuntabilitas birokrasi
publik.1 Melihat fenomena yang berkembang di Indonesia, birokrasi dan korupsi bisa
diibaratkan seperti sekeping uang logam, keduanya tidak terpisahkan, dimana ada birokrasi
disitu ada korupsi. Ini tentu mengkhawatirkan, korupsi telah memiliki struktur dan menjadi
kultur dalam proses birokrasi.
Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada
hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan atau administrasinya. Balas jasa yang
diberikan oleh pejabat, disadari atau tidak, adalah kelonggaran aturan yang semestinya
diterapkan secara ketat. Kompromi dalam pelaksanaan kegiatan yang berkaitann dengan
jabatan tertentu dalam jajaran birokrasi di Indonesia inilah yang dirasakan sudah sangat
mengkhawatirkan.
Korupsi seringkali dipandang oleh masyarakat sebagai perbuatan yang ditentang dan
dikutuk, dicaci dan dimaki, serta digambarkan sebagai perbuatan yang tidak bermoral dan
berkaitan dengan keserakan, dan ketamakan sekelompok masyarakat dengan menggunakan
harta negara serta melawan hukum, penyalahgunaan jabatan serta perbuatan lain yang
dipandang sebagai hambatan dan gangguan dalam membangun negara.
Berdasarkan hasil penelitian Transparency International (TI) selama enam tahun
berturut-turut dari tahun 1995-2000, Indonesia selalu menduduki posisi sepuluh besar
sebagai negara paling korup didunia. Selanjutnya, berdasarkan penelitian political and
economic risk consultancy (PERC) tahun 1997, Indonesia menempati posisi negara terkorup
di Asia. Pada tahun 2001, posisi Indonesia menjadi negara terkorup nomaor dua setelah
Vietnam.
1
Wahyudi Kumorotomo, Akuntabilitas Birokrasi Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. V
Tingkat korupsi Indonesia pada lima tahun berikutnya, dari tahun 2001 samapai
2005, tidak menunjukkan penurunan berarti. Masih menurut hasil penelitian Teransparency
International, pada tahun terakhir, Indonesia betah bertahan disepuluh besar negara paling
korup didunia. Pada tahun 2004, misalnya, Indonesia menjadi negara paling korup nomor
lima didunia dengan corruption perception index (CPI), serta menjadi negara paling korup
nomor satu di Asia tenggara.
Menyimak laporan hasil survei korupsi yang dirilis oleh Transparency Internasional
(TI) tahun 2006, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia menempati urutan ke-130 dari 163
negara. Angka ini lebih baik di banding tahun 2005, dimana Indonesia menempati urutan
137 dari 159 negara yang di survei, selain itu skor Indonesia tahun 2006 sedikit lebih baik.
Dibanding tahun 2005, Indonesia menempati urutan ketujuh negara paling korup diantara
163 negara.2
Secara Internasional, korupsi diakui sebagai masalah yang sangat kompleks, bersifat
sistemik, dan meluas. Centre for Crime Prevention (CICP) sebagai salah satu organ PBB secara
luas mendefinisikan korupsi sebagai “missus of (public) power for private gain”. Menurut
CICP korupsi mempunyai dimensi perbuatan yang luas meliputi tindak pidana suap (bribery),
penggelapan (emblezzlement), penipuan (fraud), pemerasan yang berkaitan dengan jabatan
(exortion), penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), pemanfaatan kedudukan seseorang
dalam aktivitas bisnis untuk kepentingan perorangan yang bersifat illegal (exploiting a
conflict interest, insider trading), nepotisme, komisi illegal yang diterima oleh pejabat publik
(illegal commission) dan kontribusi uang secara illegal untuk partai politik. Sebagai masalah
dunia, korupsi sudah bersifat kejahatan lintas negara (trans national border crime), dan
mengingat kompleksitas serta efek negatifnya, maka korupsi yang dikategorikan sebagai
kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) memerlukan upaya pemberantasan dengan
cara-cara yang luar biasa (extra ordinary measure).
Bagi Indonesia, korupsi adalah penyakit kronis hampir tanpa obat, menyelusup di
segala segi kehidupan dan tampak sebagai pencitraan budaya buruk bangsa Indonesia.
Secara sinis orang bisa menyebut jati diri Indonesia adalah perilaku korupsi 3. Pencitraan
tersebut tidak sepenuhnya salah, sebab dalam realitanya kompleksitas korupsi dirasakan
bukan masalah hukum semata, akan tetapi sesungguhnya merupakan pelanggaraan atas
2
Korupsi Sebagai Salah Satu Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime) pada
http://syarifblackdolphin.wordpress.com
3
Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2007), halaman 124.
hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat. Korupsi telah menimbulkan kemiskinan dan
kesenjangan sosial yang besar. Masyarakat tidak dapat menikmati pemerataan hasil
pembangunan dan tidak menikmati hak yang seharusnya diperoleh. Dan secara keseluruhan,
korupsi telah memperlemah ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
Korupsi di Indonesia yang sudah diyakini meluas dan mendalam (widespread and
deep-rooted) akhirnya akan menggerogoti habis dan menghancurkan masyarakatnya sendiri
(self destruction). Korupsi sebagai parasit yang mengisap pohon akan menyebabkan pohon
itu mati dan di saat pohon itu mati maka para koruptor pun akan ikut mati karena tidak ada
lagi yang bisa di hisap.4
Pemberantasan korupsi bukanlah sekedar aspirasi masyarakat luas melainkan
merupakan kebutuhan mendesak (urgent needs) bangsa Indonesia untuk mencegah dan
menghilangkan sedapatnya dari bumi pertiwi ini karena dengan demikian penegakan hukum
pemberantasan korupsi diharapkan dapat mengurangi dan seluas-luasnya menghapuskan
kemiskinan. Pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut tidak lain adalah untuk
mewujudkan kesejahteraan dari masyarakat Indonesia yang sudah sangat menderita karena
korupsi yang semakin merajarela.
Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi ini merupakan
keharusan untuk membahas lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang menyebabkan korupsi
sebagai kejahatan luar biasa. Dan oleh sebab itu, mengenai korupsi sebagai kejahatan luar
biasa akan dibahas pada bagian berikutnya.

B. TEORI KORUPSI
Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah
perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat,
dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi.
Menurut Dr. Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan
wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum.
Selanjutnya, dengan merujuk definisi Huntington diatas, Heddy Shri Ahimsha-Putra (2002)
menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah persoalan politik pemaknaan.

4
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2006), halaman 136.
Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan
Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus.
Seorang sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit menyebutkan tiga
bentuk korupsi yaitu sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme. Alatas
mendefinisikan nepotisme sebagai pengangkatan kerabat, teman, atau sekutu politik untuk
menduduki jabatan-jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang dimilikinya dan
dampaknya bagi kemaslahatan umum (Alatas 1999:6).
Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini adalah subordinasi kepentingan
umum dibawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran-pelanggaran norma-
norma, tugas, dan kesejahteraan umum, yang dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan,
penipuan, dan sikap masa bodoh terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap
masyarakat.
Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan
pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi
menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang
memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor
(domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau
kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan
tindak korupsi.
Mengutip Robert Redfield, korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat budaya dibagi
menjadi dua, yakni budaya kraton (great culture) dan budaya wong cilik (little culture).
Dikotomi budaya selalu ada, dan dikotomi tersebut lebih banyak dengan subyektifitas pada
budaya besar yang berpusat di kraton. Kraton dianggap sebagai pusat budaya. Bila terdapat
pusat budaya lain di luar kraton, tentu dianggap lebih rendah dari pada budaya kraton.
Meski pada hakikatnya dua budaya tersebut berdiri sendiri-sendiri namun tetap ada bocoran
budaya.
Korupsi sudah membentuk jaringan sistemik yang sangat kuat dalam lingkaran
birokrasi Indonesia. Untuk itu perlu kiranya, mengkaji birokrasi guna mencari formulasi
dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurut Weber, tingkah laku
manusia diarahkan kepada seperangkat aturan, sedangkan aturan tersebut merupakan
usaha untuk mengatur tingkah laku yang berbeda, disinilah hakikat dari suatu organisasi,
yaitu adanya aturan-aturan yang berbeda untuk mengarahkan pada suatu tingkah laku yang
organisasional. Weber menyebut aturan-aturan tersebut sebagai tatanan administrasi. Di
dalamnya kemudian ada staf administrasi (pejabat), pada satu sisi staf administrasi tersebut
memiliki kewajiban untuk menaati aturan yang ada, namun di sisi lain dia juga harus
melakukan pengawasan, apakah anggota yang lain juga mentaatinya.

C. PEMBAHASAN
Setiap masyarakat yang teratur, yang dapat menemukan pola-pola hubungan yang
bersifat tetap antara para anggotanya adalah masyarakat yang mempunyai tujuan yang jelas.
Sedangkan politik adalah bidang dalam masyarakat yang berhubungan dengan tujuan
masyarakat tersebut. Mempunyai tujuan didahului oleh proses memilih tujuan di antara
berbagai tujuan yang mungkin. Oleh karena itu politik adalah juga aktivitas memilih suatu
tujuan tertentu. Hal ini sesuai dengan pemikiran Satjipto Rahardjo 5 yang memberikan
pengertian bahwa politik hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai
tujuan dan cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.
Berbicara mengenai tujuan yang hendak dipilih, L. J. Van Apeldorn mengartikan politik
hukum sebagai politik perundang-undangan, yang maksudnya adalah bahwa Politik Hukum
berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang-undangan. Pengertian politik
hukum seperti ini lebih terbatas hanya pada hukum tertulis saja.
Korupsi dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-usaha pembangunan yang
diinginkan, sedangkan proses birokrasi relaif lambat, sehingga setiap orang atau badan
menginginkan jalan pintas yang cepat dengan memberikan imbalan-imbalan dengan cara
memberikan uang pelicin (uang sogok). Praktek ini akan berlangsung terus menerus
sepanjang tidak adanya kontrol dari pemerintah dan masyarakat, sehingga timbul golongan
pegawai yang termasuk OKB-OKB (orang kaya baru) yang memperkaya diri sendiri (ambisi
material). Agar tercapai tujuan pembangunan nasional, maka mau tidak mau korupsi harus
diberantas. Ada beberapa cara penanggulangan korupsi, dimulai yang sifatnya preventif
maupun yang represif. Upaya penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :
a. Preventif.
1. Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah
maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik
perusahaan atau milik negara.
2. Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai
dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling

5
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), halaman 34.
menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan
kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
3. Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan
dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan
melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada
masyarakat dan negara.
4. Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan
pandangan, penilaian dan kebijakan.
5. menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol,
koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung
disalahgunakan.
6. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of
belongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa perusahaan
tersebut adalah milik sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang
terbaik.
b. Represif.
1. Perlu penayangan wajah koruptor di televisi.
2. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan pejabat.

1. Sebab-Sebab Korupsi
Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut
berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-
pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi
seseorang untuk melakukan korupsi. Berikut ini adalah aspek-aspek penyebab seseorang
berbuat Korupsi.
Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono, tidak ada jawaban yang persis, tetapi ada dua hal
yang jelas, yakni :
a) Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya),
b) Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol
dan sebagainya.
Dr. Andi Hamzah dalam disertasinya menginventarisasikan beberapa penyebab
korupsi, yakni :
a) Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin
meningkat;
b) Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau
sebab meluasnya korupsi;
c) Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang
memberikan peluang orang untuk korupsi;
d) Modernisasi pengembangbiakan korupsi
Analisa yang lebih detil lagi tentang penyebab korupsi diutarakan oleh Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul “Strategi
Pemberantasan Korupsi,” antara lain :
a. Aspek Individu Pelaku
a) Sifat tamak manusia
Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau
penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi
masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada
pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.
b) Moral yang kurang kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan
korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau
pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
c) Penghasilan yang kurang mencukupi
Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi
kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan
berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan
ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar
untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti
semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.
d) Kebutuhan hidup yang mendesak
Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak
dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk
mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
e) Gaya hidup yang konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar seringkali mendorong gaya hidup seseong konsumtif.
Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang
memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan
untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan
korupsi.
f) Malas atau tidak mau kerja
Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar
keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan
apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan korupsi.
g) Ajaran agama yang kurang diterapkan
Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi
dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi masih
berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa
ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.
b. Aspek Organisasi
a) Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai
pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi
keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka
kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan
atasannya.
b) Tidak adanya kultur organisasi yang benar
Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila
kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi
tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan
negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
c) Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai
Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan
misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran
yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut.
Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi
tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah
kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki.
Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
d) Kelemahan sistim pengendalian manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran
korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian
manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi
anggota atau pegawai di dalamnya.
e) Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan
oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran
korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
c. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada
a) Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan
oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena
kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis
pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.
b) Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat masih
kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu masyarakat.
Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal bila
negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran
pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.
c) Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti
melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri.
Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-
hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
d) Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila
masyarakat ikut aktif Pada umumnya masyarakat berpandangan masalah korupsi
itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu
bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.
e) Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya
kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup
adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa,
kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan,
sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang
bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.

2. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Sulitnya Tindak Pidana Korupsi Diberantas


Adapun beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya tindak pidana korupsi
diberantas adalah:
1) Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia selalu dikaitkan dengan politik.
Keterkaitan korupsi dengan bidang politik atau jabatan atau kekuasaan
menyebabkan Dionysius Spinellis memasukkan korupsi dalam salah satu kategori
“crimes of politicians in office” atau yang beliau sebut juga dengan sebutan “Top hat
crimes”, yang di dalamnya mengandung “twin phenomena” yang dapat menyulitkan
dalam penegakan hukum.6

6
Ibid, halaman 94.
Contoh kasus yang dapat diperhatikan dalam hal ini adalah; Kasus dugaan
korupsi yang dilakukan oleh Akbar Tandjung semasa menjabat menjadi menteri
sekretaris negara, kasus ini tidak bisa ditilik hanya dari sudut hukum semata karena
kasus itu sendiri sarat muatan politis sebagai kosenkuensi logis posisi Akbar Tandjung
sebagai ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar. Sehingga terlepas dari kebenaran
materi perkaranya, kasus ini terlanjur bernuansa politik.
Serta langkah berani KPK selalu di hadang oleh berbagai tekanan maupun
intimidasi dari mereka yang dirugikan kepentingannya, sehingga secara politis
keberadaan KPK tidak didukung oleh kekuasaan yang sedang memerintah. Jikapun
ada dukungan, semata-mata artificial karena secara kasat mata sudah terjadi
berbagai langkah KPK yang masih “ewuh pakewuh” dan tampak diskriminatif dalam
menghadapi berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara dan mereka
yang dekat dengan kekuasaan. Dari berbagai peristiwa dan langkah tegas KPK masih
tampak juga bahwa keadilan dan penegakkan hukum masih jauh di awang-awang
serta belum membumi, masih ada sebagian koruptor yang segera dapat ditahan dan
di masukkan kedalam penjara akan tetapi masih banyak lagi mereka yang tidak
ditahan dan dimasukkan kedalam penjara dengan berbagai alasan teknis hukum yang
sumir sama sekali.
2) Adanya kinerja yang bersifat diskriminatif dan tebang pilih dari para penegak hukum.
Berkaitan dengan politik menyebabkan aparat penegak hukum keterkaitan
dengan politik menyebabkan aparat penegak hukum sering dituduh menerapkan
prinsip “tebang pilih” dalam menetapkan tersangka/terdakwa/ terpidana. Contoh
kasus adalah; Kasus paling aktual tentu mengenai korupsi di KPU (Komisi Pemilihan
Umum) yang melibatkan ketua dan seluruh anggota KPU, kecuali 3 (tiga) orang
“untouchable” atau “kebal hukum” yang ikut menerima uang tetapi entah mengapa
sama sekali tidak diperkarakan. Contoh kasus lain tindak pidan korupsi “tebang pilh”
yaitu; Kasus perkara tindak pidana korupsi atas nama Sudjiono Timan, merupakn
salah satu direktur pada perusahaan milik Prajogo Pangestu. Bersama-sama dengan
Hadi Rusli, Hario Suprobo, Witjaksono Abadiman dianggap melakukan tindak pidan
korupsi. Ternyata hanya Sudjiono Timan yang perkaranya sampai ke pengadilan dan
kemudian dipuatus bersalah, sementara yang lain-lain menguap begitu saja. Padahal
dalam dakwaan jelas JPU menyatakan bahwa keempat orang tersebut melakukan
bersama-sama dan berkas perkaranya diajukan secara terpisah. Memang
berdasarkan KUHAP, JPU diberi hak untuk memecah maupun menggabungkan
perkara beberapa orang terdakwa. Tetapi karena “satu atap” tidak ada yang dapat
mengawasi bagaimana pelaksanaan wewenang tersebut. Tidak ada sanksi atau
tuntutan bagi JPU yang tidak mengajukan perkara ke Pengadilan.
Kenyataan dalam banyak kasus, wewenang penggabungan maupun
pemisahan suatu perkara menjadi lahan KKN yang subur. Dengan adanya
penanganan perkara tindak pidana korupsi secara “tebang pilih”, maka suatu perkara
korupsi tidak pernah terungkap secara tuntas.
3) Terjadinya tumpang tindih kekuasaan dalam hal melakukan penyelidikan, penuntutan
antara lembaga Kejaksaan dan lembaga KPK.
Tidak adanya sinkroniasasi peraturan perundang-undangan, antara pidana
materil dengan undang-undang yang mengatur kelembagaan penegak hukum
khususnya antara kinerja Kejaksaan dan KPK dalam melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan. Akibatnya terjadi tumpang tindih persaingan antar
lembaga dan semangat membela korps yang sangat kental satu dengan yang lain.
Penulis berpendapat, saat ini kita telah memiliki suatu hukum substantif atau hukum
materil yang mengatur tentang tindak pidana korupsi yang cukup baik, tegas, dan
dengan ancaman yang menakutkan. Tetapi yang menjadi masalah adalah tidak
dibarengi dengan integrasidengan hukum lainnya, misalnya UU Kejaksaan, UU
Kepolisian, dan UU Kehakiman. Kita juga belum memiliki suatu sistem prosedural
yang baik.
Tanpa merubah tatanan sistem secara keseluruhan, mustahil memberantas
korupsi sampai keakar-akarnya. Sebetulnya berdasarkan ketentuan UU No 30 tahun
2002 “Tentang KPK” (yang disahkan pada tanggal 27 Desember 2002, LN
RI.tahun.2002 Nomor 17) KPK diberi kewenangan untuk menetapkan “Grand Design”
bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Tetapi terjadi adalah KPK lebih tertarik
untuk “bersaing” merebut simpati politik dalam penanganan perkara korupsi. Serta
terjadinya persaingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan antara lembaga
Kejaksaan dengan lembaga KPK.
4) Kurangnya peran serta masyarakat dalam memerangi tindak pidana korupsi.
Dari beberapa faktor diatas, penulis juga beranggapan bahwa faktor sulitnya
tindak pidana korupsi diberantas adalah; kurang efektifnya peran masyarakat dalam
memerangi pemberantasan tindak pidana korupsi. Walaupun di dalam UU No 31
tahun 1999 atau UU No 20 tahun 2001 “Tentang TPK” telah mengatur tentang
peranan serta dalam mengambil andil dalam memberantas korupsi, namun pada
kenyataannya peran serta masyarakat tersebut belum efektif dilaksanakan. Langkah
ini mungkin kalah populer dibandingkan dengan tindakan seperti menangkap atau
menahan tersangka koruptor, membongkar dan menyita hasil tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh para koruptor, akan tetapi dengan membangkitkan “awarenes”
masyarakat akan memberikan hasil yang lebih pasti.
5) Kurangnya penanaman nilai-nilai moral dan pendidikan anti korupsi sejak dini
Upaya pencegahan budaya korupsi di masyarakat terlebih dahulu dapat dilakukan
dengan mencegah berkembangnya mental korupsi pada anak bangsa Indonesia
melalui pendidikan. Semangat antikorupsi yang patut menjadi kajian adalah
penanaman pola pikir, sikap, dan perilaku antikorupsi melalui sekolah dan perguruan
tinggi, karena sekolah dan perguruan tinggi adalah proses pembudayaan. Sektor
pendidikan formal di Indonesia dapat berperan dalam memenuhi kebutuhan
pencegahan korupsi. Langkah preventif (pencegahan) tersebut secara tidak langsung
bisa melalui dua pendekatan (approach), pertama: menjadikan peserta didik sebagai
target, dan kedua: menggunakan pemberdayaan peserta didik untuk menekan
lingkungan agar tidak permissive to corruption. Pendidikan untuk mengurangi korupsi
berupa pendidikan nilai, yaitu pendidikan untuk mendorong setiap generasi
menyusun kembali sistem nilai yang diwarisi.

D. PENUTUP
Secara “Harfiah” korupsi adalah kebusukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata bernuansa menghina atau mefitnah, penyuapan, niet
ambtelijk corruptie; dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk, seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya
Faktor-faktor yang menyebabkan sulitnya tindak pidana korupsi diberantas, antara
lain;
1. Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia selalu dikaitkan dengan politik.
2. Adanya kinerja yang bersifat diskriminatif dan tebang pilih dari para penegak hukum.
3. Tejadinya tumpang tindih kekuasaan dalam hal melakukan penyelidikan, penuntutan
antara lembaga Kejaksaan dan lembaga KPK.
4. Kurangnya peran serta masyarakat dalam memerangi tindak pidana korupsi.
5. Kurangnya penanaman nilai-nilai moral dan pendidikan anti korupsi sejak dini

E. BAHAN BACAAN
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan
Nasional, (Bandung: Bina Cipta , 1976)
Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System),
(Semarang: Program Magister Ilmu Hukum, 2008)
__________, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, (Semarang: Badan
Penerbit UNDIP, 2005)
Puteri Hikmawati, Politik Hukum Pidana dalam UU Nomor 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan korupsi, dalam sekretariat Jenderal DPR RI Pusat Pengkajian
dan Pelayanan Informasi, Reformasi Hukum Nasional.
Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2007)
Ramelan, “Penerapan Hukum dan Studi Kasus Korupsi”, makalah, disampaikan sebagai
materi penyuluhan hukum di lingkungan PT (persero) PLN, Distribusi Unit Bisnis
Sulawesi selatan, Makassar, 27 Juni 2002, hlm 1.
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2006)
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986)
Wiyono, R, Pembahasan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta:
sinar grafika, 2006.

Anda mungkin juga menyukai