Anda di halaman 1dari 37

SYÛRA DAN DEMOKRASI DALAM AL-QUR’AN

PERSPEKTIF AL-DAKHÎL FI AL-TAFSIR

Ilyas
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep
Ilyas65@gmail.com

Ahmad Faidlal
Pondok Pesantren Nurul Islam Karang Cempaka
ahmad.faidlal87@gmail.com

Abstrak
Dalam memahami ayat-ayat demokrasi tentu diperlukan
sebuah teori tertentu untuk memastikan apakah ayat
tersebut sebagai landasan absahnya demokrasi atau ayat
tersebut memiliki maksud lain. Oleh karena itu, fakta
empiris dan historis antara demokrasi dengan syura
menjadi titik tekan tersendri dalam memahami ayat yang
dianggap sebagai dalil demokrasi tersebut. Teori
munasabah kami jadikan sebagai pisau analisis, hal itu
karena antara potongan ayat (Demokrasi) yang satu dengan
yang lainnya memiliki interkoneksi yang tidak terputus.
Berdasarkan hasil analisis penulis dalam penelitian ini
terhadap ayat yang dijadikan landasan diterimanya
demokrasi ternyata terkesan janggal jika memaksakan
demokrasi sebagai kata yang menjadi tafsir dari Ayat Al
Qur’an surat Asy Syûra (42): 37, Ali Imran (03): 159,
maupun Al Baqarah (02): 233, hal demikian karena
realitanya demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang
muncul dari landasan berfikir pemisahan agama dari
kehidupan menjadi hal mendasar bertolak belakangnya
dengan spirit Al Qur’an, Syariah dalam demokrasi hanya
sebatas option (pilihan) bukan obligation (kewajiban).
Menjadikan demokrasi sebagai produk tafsir dari ayat Al
Qur’an tidak dapat lagi disebut sebagai pengembangan
khazanah islam, namun hal tersebut hanya akan
merongrong sakraralitas Al Qur’an dan menjadi produk
tafsir yang gagal dan menyimpang, atau dengan sebutan Al
Dakhîl fi al tafsir (sesuatu yang menyusup ke dalam tafsir).

Kata kunci: syura, demokrasi, al-Qur’an, al-dakhil fi al-tafsir


40 | JPIK Vol.1 No. 1, Maret 2018: 39-75

Pendahuluan
Berinteraksi dengan Al Qur’an mulai dari proses
membaca, memahami, hingga mewujudkannya di dunia nyata
merupakan aktivitas yang tidak akan pernah lenyap dalam
setiap hembusan nafas umat islam.1 Al Qur’an sebagai Hudan
(Petunjuk) benar-benar memberikan jalan terang menghadapi
berbagai dinamika persoalan, baik dalam ranah keagamaan,
sosial, politik budaya, dll. Hal ini tentu bukan hanya klaim yang
hanya bersifat dogmatis, namun sudah menjadi rahasia umum
bahwa sumber kebangkitan dan kejayaan Islam tempo dulu
dilatarbelakangi oleh sumber ajaran Islam yang memuat
peraturan hidup ini.
Sebagai kitab suci yang sakral dengan muatan petunjuk
yang mampu menjawab tantangan zaman, Al Qur’an senantiasa
menjadi ladang basah para cendikiawan dalam rangka menggali
petunjuk untuk menjawab berbagai problematika yang terus
menerus bermunculan di dunia kontemporer. disamping itu,
usaha-usaha untuk memahami kandungan Al Qur’an meski
tidak berangkat dari sebuah problematika yang kompleks juga
tidak sedikit dilakukan oleh kalangan cendikiawan muslim
(Mufassir).
Sebagai kitab petunjuk pula, Al Qur’an menjadi objek
kajian yang sagat unik. berjajarnya kitab-kitab tafsir (mulai dari

1
Fathurrasyid, Semiotika Kisah Al Qur‟an, (Surabaya: Pustaka Radja, 2014),
hlm. 1.
Ilyas dan Ahmad Faidlal, Syura dan Demokrasi| 41

karya tafsir Ibnu Abbas, Al Thabari (w. 311/923), Ibn Katsir


(w. 774/1372), Al Tsa’labi (w. 875/1470), Al Razi (w.
604/1207), Al Alusi (w. 1270/1854), dan masih banyak yang
lainnya) serta kitab kitab (Fiqih, Hadits, Tauhid, Sejarah,
Medis, Sosial, Bahkan Ekonomi Dan Tata Negara) dari yang
paling tipis hingga berjilid-jilid menjadi salah bukti kongkrit
betapa Al Qur’an menjadi sentral kajian para cendikiawan
khususnya cendikiawan muslim2, yaitu dalam rangka
menyingkap kandungan makna yang dikehendaki Al Qur’an dan
menggali petunjuk yang dapat menghantarkan rahmat bagi
alam semesta.
Di balik keberadaannya sebagai sumber kerahmatan bagi
alam semesta, Al Qur’an memiliki konsepsi yang komprehensif.
Komprehensifitas konsepsi kehidupan yang dapat digali dalam
Al Qur’an ini ditangkap dari instruksi positif Al Qur’an, seperti
halnya dalam QS. Al maidah: 03, “Pada hari ini telah aku
sempurnakan untuk kamu agamamu”, Disamping itu masih
banyak ayat-ayat yang lain sebagai taukid (pengokoh) terhadap
keberadaan konsepsi yang lengkap tersebut, meski perlu diakui
terkadang Al Qur’an membicarakannya dalam konteks global

2
Tokoh tokoh terkenal dengan berbagai karya mulai dari bidang tafsir, fiqih,
tauhid, filsafat, ekonomi, sosial, dll yang digali dari kitab Al Qur’an sudah
tidak lagi asing di lingkungan kita, bahkan tidak sedikit ilmuan ilmuan
muslim yang sukses dalam bidang kedokteran, pesawat terbang, matematika,
tekhnik industri pertanian adalah mereka yang mendapatkan pencerahan dari
Al Qur’an. lihat selengkapnya buku karya; Muhammad Said Mursi, Tokoh
Tokoh Besar Sepanjang Sejarah, Terj. Khairul Amru Harahap (Jakarta
Timur: Pustaka Al Kautsar, 2003)
42 | JPIK Vol.1 No. 1, Maret 2018: 39-75

(tidak spesifik) dan dibalik keglobalan Al Qur’an tersebut peran


Hadits sebagai Bayan At Tafsir, Bayan At Taqrir, Dan Bayan
Nasahk menjadi sesuatu yang tidak bisa dihilangkan.3
Salah satu konsepi dari berbagai macam konsepsi yang
termuat dalam ayat-ayat Al Qur’an adalah perintah kepada
manusia untuk melakukan musyawarah dalam berbagai urusan,4
anjuran ini secara redaksional diambil dari indikasi ayat Al
Qur’an yang menganjurkan untuk melakukan musyawarah.5
Dalam beberapa Hadits, aktivitas ini juga aktivitas yang biasa
dipraktekkan oleh Nabi dan para sahabatnya, baik dalam ranah
kekeluargaan, kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara.6
Dalam perkembangannya, pentingnya musyawarah ini
menempati posisi yang cukup urgen dalam kepemerintahan,
yang kemudian dihimpun dalam sebuah institusi tersendiri
dalam ranah kepemerintahan, baik dalam sebutan Ahlul Halli
Wal Aqdi, Majlis Ummah, ataupun dengan sebutan MPR/DPR,
secara umum lembaga lembaga tersebut memiliki tugas untuk
memusyawarahkan kepentingan umat (rakyat).

3
Agus Solahuddin, Agus Suyadi, Ulumul Hadits, cet. Ke-1, (Bandung:
Pustaka Setia, 2009), hlm. 79-84
4
Abd. Rahman Dahlan, Kaidah Kaidah Penafsiran Al Qur‟an, cet. ke-1
(Bandung: Mizan, 1997), hlm. 121
5
Ayat ayat manganjurkan untuk melakukan musyawarah dapat dilihat dalam
QS.Ali Imran [3]: 159, QS. Asy Syûra [42]: 38 dan QS. Al Baqarah [2]: 233
6
Artani Hasbi, Musyawarah Dan Demokrasi, Analisa Konseptual Dalam
Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam, cet. Ke-1, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), hlm. 2-13.
Ilyas dan Ahmad Faidlal, Syura dan Demokrasi| 43

Dalam lintasan sejarah, salah satu contoh musyawarah


yang pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat adalah
keputusan Nabi untuk berperang melawan orang orang kafir di
luar Madinah pada peristiwa perang Uhud, Nabi mengambil
suara terbanyak dari kalangan sahabat tentang titik menghadapi
musuh, apakah diluar kota Madinah atau didalam kota
Madinah.7 Peristiwa yang lain adalah masalah tawanan perang
Badar yang oleh Nabi dimintai pendapat kepada Abu Bakar dan
kepada Umar, Abu Bakar mengusulkan dilepaskan dengan
membayar tebusan, sedangkan menurut Umar dibunuh saja, dari
kedua pendapat tersebut Nabi memilih pendapat Abu Bakar,
meski pada akhirnya turun wahyu QS. Al anfal: 63 sebagai
tegoran terhadap keputusan Nabi.8
Secara redaksional ayat yang berbicara tentang
musyawarah ini dapat kita temukan dalam QS. Asy Syûra [42]:
38, dan QS.Ali Imran [3]: 159,

    .  

Kata “Amr” di dalam kedua ayat tersebut berbentuk


mufrad (tunggal) dan ber-idhafah (bersandar, dihubungkan)
pada dhamir (kata ganti) yang menunjukkan arti kaum mukmin,

7
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam
Madinah Ditiinjau Dari Pandangan Al Qur‟an, cet ke-2 (Jakarta: Raja
Grafindo Persada), hlm. 211.
8
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah Dan
Pemikiran, cet ke-5 (jakarta: UI press, 1993), hlm. 19.
44 | JPIK Vol.1 No. 1, Maret 2018: 39-75

sementara pada ayat kedua menggunakan huruf Alif-Lam, Kata


tersebut menunjukan pengertian umum dan mencakup semua
makna yang terkandung di dalamnya.9 oleh karena itu munculya
ide demokrasi sebagai turunan dari sekularisme dianggap
memiliki ruang tertentu untuk menyamakan dirinya setara
dengan istilah yang legal dalam Islam berdasarkan ayat tersebut
(musyawarah), sehingga tak jarang jika ada orang yang
kemudian mengatakan bahwa demokrasi adalah musyawarah
dan musyawarah adalah demokrasi itu sendiri.
Legalitas keabsahan demokrasi bagi pengembannya
digali dari ayat yang menganjurkan musyawarah tersebut,
namun sayangnya ayat yang dijadikan landasan sebatas
potongan ayat tertentu yang yang perlu diteliti universal
maknanya, huruf ataf “Wau” dalam kalimat Wa amruhum
Syûra Bainahum atau lafadz Wa syawirhum Fil Amr menjadi
bukti kongkrit bahwa landasan qur’ani yang dijadikan landasan
dari kedua istilah tersebut dipotong, oleh karena itu perlu
adanya penelitian secara utuh terkait apa sebenarnya topik
utama dari ayat yang dipenggal tersebut. Bisakan demokrasi
menjadi tafsir dari ayat yang menganjurkan musyawarah
dimanadibalik ide tersebut ada sebagian orang mengklaim
sebagai sesuatu yang integral dengan ajaran Islam, sedangkan
sebagian yang lain menganggap bertentangan dengan nilai nilai

9
Abd. Rahman Dahlan, Kaidah Kaidah Penafsiran Al Qur‟an, cet. ke-1
(Bandung: Mizan, 1997), hlm. 121.
Ilyas dan Ahmad Faidlal, Syura dan Demokrasi| 45

Al Qur’an, oleh karena itu penulis akan meneliti secara komplit


ayat tersebut melalui teori Munasabah10 untuk mengetahui
secara jelas terhadap adanya al dakhil fi al tafsir jika ayat
tersebut dimaknai sebagai landasan diterimanya demokrasi
ataupun sebaliknya.
Hal ini tentu sangat urgen untuk diteliti karena
integralitas sebuah pemikiran tidak bisa diterima sebagai
sesuatu yang memiliki interkonneksi dengan islam kecuali
memiliki landasan normatif yang kuat, bukan hanya sebatas
justifikasi dari potongan ayat ayat tertentu kemudian disinyalir
sebagai ajaran islam. Problem ini penting diangkat ke
permukaan sebagai wujud dari semangat mengkaji hal-hal yang
masih masih menimbulkan tanda tanya didalam benak untuk
mencari jalan keluar dengan cara meneliti secara serius
terhadap objek yang menjadi fokus pesoalan.
Hasil dari kajian ini diharapkan bisa menjadi sumbangan
pemikiran dalam khazanah pemikiran Islam. Penafsiran
terhadap teks suci memang akan selalu memiliki perbedaan
sudut pandang, seperti yang sering disampaikan oleh para
cendikiawan “ Al Qur’an itu bagaikan permata yang dari tiap
sudutnya sama sama memancarkan cahaya”, namun perlu juga

10
Munasabah secara etimologi memiliki arti persesuaian atau relevansi,
Munasabah secara terminologi dapat diartikan sebagai keterkaitan ayat ayat
Al Qur’an antara sebagian yang yang satu dengan sebagian yang lain,
sehingga ia terlihat sabagai suatu ungkapan yang rapi dan sitematis.
Jalaluddin As Suyuti, Al Itqan Fi Ulumi Al Qur’an, (Mesir: Maktabah Al
Tajariyah, tt) II:108.
46 | JPIK Vol.1 No. 1, Maret 2018: 39-75

di ingat bahwa stetemen ini tidak dapat dijadikan sebagai


justifikasi untuk menafsirkan Al Qur’an secara sewenang
wenang, dalam hal ini Nabi Muhammad SAW sudah pernah
mengingatkan “Barang siapa yang menafsirkan Al Qur’an
dengan ra’y-nya, maka bersiap siaplah untuk menempati
neraka”. Kata (ra’y) dalam Hadits tersebut tidak diartikan
dengan “akal”, sebab kata “akal” mengandung arti berfikir
secara positif sebagaimana tertera dalam beberapa ayat Al
Qur’an, dalam Hadits yang lain dengan redaksi yang sedikit
berbeda “Man Fassara L-Qur’ana Bi-Ghairi Ilm (Barangsiapa
yang menafsirkan Al Qur’an tanpa ilmu pengetahuan)”.

Historisitas Munculnya Demokrasi dan Syura


1. Demokrasi
Istilah demokrasi merupakan topik yang hangat
dibicarakan di era kontemporer ini. lebih-lebih jika demokrasi
ditinjau dari kacamata Islam, sebagian dari mereka menerima
demokrasi karena memahaminya sebagai aktivitas musyawarah,
ada pula yang menolak karena dianggap produk barat, ada pula
yang mengambil jalan tengah. Dengan demikian, istilah
demokrasi merupakan objek pembahasan yang sangat menarik
diperbincangkan, khususnya di negeri komunitas muslim
terbesar ini.
Sebagai istilah yang memiliki muatan magis, tidak
sedikit dari kalangan intelektual muslim yang berupaya mencari
Ilyas dan Ahmad Faidlal, Syura dan Demokrasi| 47

titik temu antara demokrasi dengan ajaran-ajaran yang termuat


dalam Islam.11 Di sisi yang berbeda, ada juga yang menyanjung-
nyanjung demokrasi agar tidak mendapatkan stigma beracun
dari kalangan Islamphobia yang akan mengklaim mereka
sebagai muslim yang radikal, fundamental, literal yang terkesan
buruk, kejam dan bengis jika melawan arus madzhab demokrasi.
Maka tidak sedikit dari mereka yang kemudian ikut-ikutan
berteriak “Demokrasi”. Hal ini bisa dibilang naluriah, sesuai
dengan ungkapan terkenal dari Ibn Khaldun, “ada
kecenderungan manusia untuk mengikuti tradisi pihak yang
menang”. Karena peradaban Barat adalah peradaban yang
sedang menang, maka tidak sedikit yang kemudian
menjadikan barat sebagai kiblat dalam pemikirannya.12
Terlepas dari sakralitas demokrasi yang mengundang
pro kontra, langkah yang mungkin bisa dilakukan sebelum kita
mengklaim sebagai pejuang atau bahkan penentang demokrasi
adalah mengetahui secara komprehensif terhadap demokrasi,
baik secara konsep, historis maupun aplikatif. Dengan demikian
diharapkan agar sikap menerima atau menentang terhadap
demokrasi bisa dipertanggung jawabkan secara akademis tanpa
ada unsur kebencian yang bersifat fanatis – idiologis.

11
Farid wadjdi & Shiddiq al – jawi, et. al, Ilusi Negara Demokrasi, (Bogor:
Al-Azhar Press, 2009), hlm. 54.
12
Adian Husaini, DEMOKRASI Sejarah, Makna, dan Respon Muslim,
Makalah Disampaikan Dalam Seminar Dengan Tema Islam Dan
Demokrasi, Diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta, 28
Februari 2009, hlm. 2.
48 | JPIK Vol.1 No. 1, Maret 2018: 39-75

Secara etimologi sebagaimana dikatakan oleh Miriam


Budiarjo bahwa istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani
yang terbentuk dari kata “ Demos “ yang berarti Rakyat, dan
“Kratos / Kratein “ yang berarti Kekuasaan.13 Setelah bahasa
tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia maka kedua kata
tersebut menjadi demokrasi yang diartikan sebagai bentuk
pemerintahan atau kekuasaan yang berada ditangan rakyat.
Secara epistemologis makna demokrasi sebagaimana
disampaikan oleh berbagai tokoh memiliki makna yang
beragam, namun dari sekian definisi yang ada, Urofsky
mengemukakan pidato Abraham Lincoln14 dalam peresmian
makam pahlawan di Gettyburg Juli 1863 bahwa Demokrasi
adalah goverment of the people, by the people and for people,
atau dengan sebutan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat.15
Secara teoritik dapat dipahami bahwa sumber
kedaulatan hukum bagi negara yang menganut sistem
demokrasi adalah rakyat, atau sederhananya kita kenal dengan
istilah “Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan”. Meski secara fakta

13
Mirian budiarjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia pustaka
utama, 1996) hlm. 50.
14
Presiden amerika serikat yang berhasil menghapus sistem perbudakan yang
terdapat di Amerika serikat, ia dlahirkan di hardin county, kentucky pada 12
februari 1809. Najamuddin muhammad, Para pejuang kemanusiaan dunia,
(Jogjakarta: Ircisod, 2004) hlm. 161.
15
Bactiar efendi, “Islam dan Demokrasi: mencari sebuah sintesa yang
memungkinkan “dalam M. Natsir Tamara dan Elza Peldi Taher (ed) Agama
Dan Dialog Antar Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 86.
Ilyas dan Ahmad Faidlal, Syura dan Demokrasi| 49

penerapan demokrasi memiliki varian-varian sesuai dengan


situasi dan kondisi suatu negara, namun dibalik varian-varian
demokrasi, sejak dari klasik hingga kontemporer ini, demokrasi
tetap dikonotasikan kepada semboyan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat (rakyat sebagai sumber kedaulatan).
Secara historis kemunculan demokrasi terinspirasi dari
kota (polis) di kota Anthena Yunani sekitar tahun 450 SM yang
mempraktekkan pelibatan seluruh warga kota dalam proses
pengambilan keputusan.16 Konsep Yunani kuno tersebut digali
lagi pada zaman pencerahan yang dikenal dengan istilah
“Renaissance”. yaitu era perlawanan terhadap kekuasaan Gereja
dan Kaisar (pada zaman pertengahan) yang sarat dengan
penyimpangan dan penindasan terhadap rakyat dengan
mengatasnamakan agama.17 Oleh karena itu, muncullah gerakan
reformasi gereja yang menentang dominasi gereja, dan
menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan
menuntut kebebasan. Puncaknya adalah revolusi prancis tahun
1789 yang berujung pada sekularisasi, yakni upaya

16
Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek
Demokrasi Secara Singkat, terj. A. Rahman zainuddin (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2001), hlm. 15-17.
17
Robert Held, dalam bukunya, “Inquisition” sabagaimana dikutip oleh
Ahsanul Mujahid memuat foto foto dan lukisan lukisan dari bentuk
penyiksaan yang dilakukan, seperti pembakaran hidup hidup, pencungkilan
mata, pemotongan lidah, alat penghancur kepala, pengeboran vagina dan
berbagai penyiksaan lainnya yang oleh kalangan gerejawan dengan
mengatasnamakan agama. Ahsanul Mujahid, Cogito Ergo Sum,
(Banjarmasin: Trigger__o, 2013), hlm. 86.
50 | JPIK Vol.1 No. 1, Maret 2018: 39-75

kompromistik untuk memisahkan gereja dari masyarakat,


negara dan politik.18
Pada masa itu, orang mencari model agar kekuasaan
tidak dimonopoli oleh satu orang, keluarga kerajaan, kaum
bangsawan atau penguasa gereja. Ironinnya, satu-satunya bahan
yang tersedia bagi para pemikir abad pertengahan adalah dari
sejarah Yunani kuno. Dari sejarah itulah mereka mereka belajar
bahwa di kota Athena tempo dulu diterapkan satu sistem, yaitu
seluruh warga kota turut serta dalam proses pengambilan
keputusan. Sistem tersebut dianggap sistem yang baik oleh para
pemikir waktu itu, mereka yang sedang tertekan oleh
kediktatoran para raja dan kaum bangsawan serta penguasa
gereja, kemudian diadopsilah sistem Athena tersebut dan
dipopulerkan dengan nama “Demokrasi”.19
Jika kita amati dari latarbelakang munculnya Demokrasi
sebagai sebuah sistem ketatanegaraan saat ini menjadi jelas
bahwa; demokrasi dilahirkan dari rahim sekularisme yang
menolak campur tangan manusia untuk mengatur seluruh aspek
kehidupan, termasuk di dalamnya negara.20 Selain itu

18
Farid wadjdi & Shiddiq al – jawi, et. al, Ilusi Negara Demokrasi, (Bogor:
Al-Azhar Press, 2009), hlm. 298.
19
Ibid., hlm. 298.
20
Tentang sekularisme, Yusuf Al Qardhawi memberikan diskripsi secara
global bahwa sekularisme adalah paham yang mengisolasi agama dari negara
dan kehidupan masyarakat. Agama hanya dipendam dalam jiwa setiap
individu, dan jangkauannya tidak melebihi batas hubungan antara dirinya dan
tuhannya. Kalaupun ia diizinkan untuk mengekspresikan agama dari dalam
Ilyas dan Ahmad Faidlal, Syura dan Demokrasi| 51

demokrasi juga murni berasal dari rekacipta dan hawa nafsu


manusia, bukan berasal dari produk agama samawi manapun.

2. Syûra
Syûra atau yang dikenal dengan istilah musyawarah
dianggap sebagai istilah lain dari demokrasi, artinya
musyawarah yang dilakukan oleh rakyat yang diwakili oleh
wakil-wakilnya di bangku parlemen merupakan ruh dari apa
yang oleh mereka disebut dengan demokrasi, pendapat tersebut
dipahami dari realitademokrasi dari satu sudut pandang cabang,
sehingga demokrasi hanya dimaknai dengan musyawarah,
padahal seperti yang telah dibahas di atas, demokrasi
merupakan sistem kepemerintahan yang memuat konsepsi
kehidupan yang menjadikan rakyat sebagai sumber kedaulatan
dengan berasaskan sekularisme.
Secara bahasa kata Syûra (musyawarah) memiliki
banyak makna. Menurut Al razi dalam Tafsir Mafatihul ghaib,
Syûra secara bahasa dimaknai “Mengeluarkan madu dari
sarang lilin (lebah)”.21 Makna ini kemudian berkembang
sehingga mencakup segala sesuatu yang yang dapat diambil

jiwanya, ekspresi itu hanya berlaku dalam urusan ibadah, dan seremoni
seremoni yang berkaitan dengan pernikahan, kematian dan sebagainya.
21
Dhihauddin Rais menggutip pendapat Al razi juga menggunakan redaksi
yang agak sama, Al musyawarat berasal dari perkataan syartu - al-„asala –
asyuurahu, yang berarti “saya mengambil madu lebah dari tempatnya dan
meneluarkannya”. Dhihauddin Rais, Teori Politik Islam, Terj. Abdul Hayyie
Al – Kattani (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 273.
52 | JPIK Vol.1 No. 1, Maret 2018: 39-75

atau dikeluarkan (termasuk pendapat). Abu Husayn


mengungkapkan bahwa akar kata Syûra bermakna pokok
“Menampakkan atau menawarka sesuatu” dari makna tersebut
muncul ungkapan Syawartu Fi Amri (aku mengambil pendapat
si fulan mengenai urusanku).22
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musyawarah
diartikan sebagai: Pembahasan bersama dengan maksud
mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama. Selain
itu dipakai juga kata musyawarah yang berarti berunding dan
berembuk.23
Secara historis musyawarah merupakan aktivitas yang
sudah ada sebelum Islam dikenal di dunia Arab, Aktivitas ini
sudah biasa dilakuakan oleh masyarakat Arab Pra-Islam yang
masyarakatnya relatif egaliter.24 Kemudian Al Qur’an
mengadopsi (mengamini) terhadap aktivitas tersebut, sehingga
aktivitas musyawarah terislamisasikan dan menjadi aktivitas
terpuji sebagaimana terindikasi dalam nas Al Qur’an maupun
Al hadis.25 Hal ini bisa jadi karena musyawarah dipandang

22
Dikutip Sohrah, Syûra Vs Demokrasi, “Al Risalah” Volume 11 No 2 Mei
2011, hlm. 34, selengkapnya;
Abu Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyya, Mu‟jam Maqayis al-
Lughah, Juz III (Mesir: Mustafa Al ab al-Halabi, 1972), h. 226.
23
KBBI Offline 1.5.1
24
Artani Hasbi, Musyawarah Dan Demokrasi, Analisa Konseptual Dalam
Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam, Cet. Ke-1 (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), hlm. 1
25
Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik Dan Spritual, (Jakarta: Wadi
Press, 2002), hlm. 5.
Ilyas dan Ahmad Faidlal, Syura dan Demokrasi| 53

dapat menempatkan manusia pada posisi yang setaraf untuk


memecahkan masalah-masalah bersama dalam kehidupan
keluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Terdapat tiga ayat yang menjadi landasan dogmatis
dalam al qur’an terhadap pelaksanaan musyawarah. ayat yang
dimaksud adalah QS. As syûra (42): 37, Ali Imran (03): 159,
dan Al – Baqarah(2): 233. secara redaksional ayat tersebut
ditujukan kepada Nabi Muhammad dan para sahabatnya agar
memusyawarahkan persoalan persoalan tertentu. namun
disamping itu juga, ayat tersebut merupakan petunjuk kepada
setiap muslim, khususnya kepada setiap pemimpin agar
bermusyawarah dengan anggota yang dipimpinnya.26
Namun jika merujuk kepada apa yang telah banyak
dipraktikkan oleh Rasulullah dan para sahabat, maka Syûra
lebih terfokus pada startegi politik pemerintahan suatu negara.
Sehingga sangat pas jika banyak kalangan berusaha mencari
titik temu antara demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang
berasal dari idiologi sekuler barat dengan Syûra yang
berlandaskan kepada aqidah Islam.
Berbeda dengan demokrasi yang menjungjung tinggi
suara rakyat (rakyat sebagai sumber kedaulatan, Syûra
setidaknya memiliki tiga metode pengambilan pendapat.

26
Quraish Shihab, Wawasan Al Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i Atas Berbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 470.
54 | JPIK Vol.1 No. 1, Maret 2018: 39-75

1. Pendapat dan keputusan yang berkaitan hukum syariah.27


Dalam hal ini, pendapat dan keputusan yang harus
diambil adalah yang paling benar, karena dalilnya paling
kuat. Misalnya, judi, pelacuaran, dan kumpul kebo. Meski
suara mayoritas hukumnya tidak apa-apa, namun suara
mayoritas tersebut tetap tidak bisa digunakan.28
2. Pendapat dan keputusan yang berkaitan dengan fakta
keilmuan dan akademik serta strategi. Dalam hal ini,
pendapat dan keputusan yang harus diambil adalah yang

27
Fakhriddin Al Razi , Mafatihul Ghaib (Bairut, Dar Al fikr, 1994), IX: 69
‫اتفقوا على ان كل ما نزل فٌه وحً من عند هللا لم ٌجز للرسول أن ٌشاور فٌه األمة ألنه إذا جاء‬
‫النص بطل الرأي والقٌاس‬
Menjadi kesepakatan ulama bahwa tidak boleh bagi rasul dan ummatnya
untuk melakukan musyawarah terhadap sesuatu yang telah datang
ketentuannya dari Allah, karena apabila terdapat suatu nas maka ra‟yu
dan qiyas menjadibatal .
28
Ini didasarkan pada tindakan Nabi dalam kasus Shulh Al Hudaibiyyah,
ketika pendapat Nabi yang didasarkan pada wahyu itu mendapatkan
penentangan dari Umar. Umar melihat, bahwa perjanjian ini merugikan
ummat Islam, ketika mereka datang ke Mekkah, tetapi tidak boleh kembali ke
Madinah, sementara kaum kafir Quraisy yang datang ke Madinah, boleh
kembali ke Mekkah. Padahal, dibalik semua itu ada rahasia yang
disembunyikan oleh Nabi, agar cahaya Islam yang terpancar di Madinah itu
bisa dilihat langsung oleh kaum kafir Quraisy. Dan mereka bisa menceritakan
pengalaman mereka kepada kaumnya langsung melalui mulut mulut mereka
sendiri.b adapun kaum muslim yang ke Mekkah, tidak boleh kembali
keMadinah, tidak lain agar mereka bisa menyampaikan dakwak ke penduduk
Mekkah. Dengan begitu dakwah di Mekkah bisa dilakukan melalui dua pihak
secara simultan, yaitu kaum muslimin sendiri, dan mel;alui penuturan
langsung orang kafir yang datang ke Madinahi itu. Inilah yang pada akhirnya
mengubah persepsi kafir Quraisy terhadap Islam dan ummatnya. Sehingga
tak lama dari perjanjian hudaybiyah ini, makkah jatuh ketangan Nabi tanpa
harus ada p[ertumpahan darah sedikitpun. Sikap teguh Nabi berpegang pada
pendapat dan keputusannya adalah karena pendapat dan keputusan itu
merupakan ketentuan hukum yang diwahyukan oleh Allah. Dalam hal ini
sikap Umar maupun sahabat yang laian tidak bisa mengubah pendapat
maupun keputusan Nabi.
Ilyas dan Ahmad Faidlal, Syura dan Demokrasi| 55

paling benar, yaitu dari pakar di bidangnya. Jadi,


pendapat mayoritas tidak bisa digunakan untuk
menggugurkan pendapat pakar, apalagi jika kelompok
mayoritas tersebut bukanlah pakar dibidangnya.29
3. Pendapat dan keputusan yang berkaitan dengan
melaksanakan tindakan, seperti memilih wakil umat,
kepala negara, ketua partai dan sebagainya. Dalam hal ini,
pendapat dan keputusan yang harus diambil adalah
pendapat mayoritas. Dalam konteks ini tidak ada istilah
benar dan salah, karena semua pilihan sudah diketahui
kriteria dan konsekuensinya.30

Al-Dakhîl Fi Al-Tafsir dalam Wacana Tafsir Al-


Qur’an
Dalam memahami kandungan Al Qur’an tidak dapat
dipungkiri akan adanya perbedaan produk penafasiran di
kalangan mufassir. Heterogenitas pemahaman penafsiran
seperti yang telah banyak kita temukan dalam kitab kitab tafsir,

29
Ini didasarkan pada tindakan Nabi dalam kasus perang badar, ketika
pendapat Nabi dan para sahabat dalam kasus penempatan posisi pasukan
dimentahkan oleh mundzir al jamuh, yang merupakan ahli strategi dan
paling menguasai medan perang di kawasan badar itu. Nabi pun mengubah
keputusannya dan mengikuti pandangan mundzir al jamuh. Hal yang sama
bisa berlaku dalam konteks keilmuan dan akademik.
30
Ini didasarkan pada tindakan Nabi dalam kasus perang uhud, ketika
mayoritas sahabat junior menyatakan, bahwa pasukan kaum muslimin harus
menyongsong musuh diluar Madinah, bukan di dalam kota Madinah. ketika
mereka melihat para sahabat senior berpendapat sebaliknya, mereka pun
berusaha untuk mengubah keputusannya, tetapi keputusan sudah diambil oleh
Nabi berdasarkan suara mayoritas, dan Nabi pun menolak.
56 | JPIK Vol.1 No. 1, Maret 2018: 39-75

baik dengan corak Falsafi, Fiqhi, Sufi, Ilmi dan lain sebagainya
merupakan salah satu bukti tersebut. Oleh karena itu tidak
salah jika kemudian ada sebagian kalangan mengatakan bahwa
produk penafsiran tidak bisa lepas dari subjektifitas
mufassirnya.31
Produk penafsiran yang tidak bisa lepas dari
subjektifitas mufassirnya seperti yang telah disinggung di atas
tentu memiliki kemungkinan besar terhadap adanya
penyimpangan-penyimpangan tafsir dengan indikasi membuat
kekaburan nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah ayat
tertentu atau bahkan bertolak belakang dengan spirit yang
dalam Al Qur’an, dari latarbelakang subyektifitas itulah
kemudian lahir istilah Al Dakhîl Fi Al Tafsir, yang pertama kali
diperkenalkan oleh Ibrahim Abdur Rahman khalifah melalui
karyanya yang berjudul Al Dakhîl Fil Al Tafsir.32
Ditinjau dari segi redaksi, kata Al Dakhîl Fi Al Tafsir
memuat dua term. Pertama, Al Dakhîl. kata ini berasal dari kata
Dakhala yang memiliki makna Masuk, Memasuki, Aib,
Penyakit dan berbagai makna yang lain dari turunan lafad
Dakhala tersebut,33 sedangkan istilah Dâkhil dengan sighat isim

31
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika Dan Pengembangan Ulumul Qur‟an,
cet. Ke-1 (Yogyakarta: Pesantren Nawsea Press, 2009), hlm. 45.
32
Dikutip oleh Ibrahim Syuaib Z, Dakhil Al Naqli Dalam Al Qur‟an Dan
Tafsirnya Departemen Agama Republik Indonesia 2004, (Bandung: Lembaga
Penelitian UIN Sunan Gunung Jati Bandung, 2009), hlm. 3.
33
Adib Bisri, Kamus Al Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hlm.
717.
Ilyas dan Ahmad Faidlal, Syura dan Demokrasi| 57

fail berararti sesuatu yang masuk (Sesuatu yang Asing masuk),


penyusup dll. Kedua, Tafsir, Menurut Abu Hayyan
sebagaimana dikutip oleh Manna al Qaththan, mendefinisikan
tafsir sebagai ilmu yang membahas cara pengucapan lafadz Al
Qur’an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika
berdiri maupun tersusun dan makna yang dimungkinkan
baginya ketika tersusun serta hal-lain yang melengkapinya.34

Jadi dari dua istilah diatas dapat ditarik kesimpulan


bahwa istilah Al Dakhîl Fi Al Tafsir dalam konteks penafsiran
Al Qur’an adalah kejanggalan yang ditemukan dalam
penafsiran seorang mufassir terhadap Al Qur’an karena
keluar dari muatan nilai atau bahkan bertolak belakang dengan
pemahaman teks yang terkandung di dalamnya.
Atau sebagaimana dikatakan oleh Ibrahim Khalifah
bahwa ditinjau dari aspek bahasanya, Al Dakhîl Fi Al Tafsir
dapat diartikan suatu kecacatan dan kesalahan baik sengaja
atau tidak sengaja dalam sebuah penafsiran.35

34
Yang dimaksud “petunjuk petunjuknya” merupakan pengertian yang
ditunjukkan oleh lafadz lafadz. Kemudian “Hukum yang berdiri sendiri atau
yang tersusun”, meliputi ilmu sharraf, i’rab, balangah, maani, badi’. “Makna
yang memungkinkan baginya ketika tersusun” meliputu pengertian hakiki
dan majazi. Sedangkan yang dimaksud “hal hal yang melengkapinya” adalah
pengetahuan tentang nasikh mansukh, asbabun nuzul, kisah kisah dan lain
sebagainya yang mejadi lingkup kajian ulumul qur’an. (lengkapnya di Manna
Khallil Al Qaththan, Studi Ulumul Qur‟an, Terj. Muzakris AS (Bogor: Litera
Antar Nusa, 1992), hlm. 452.
35
Ibrahim Abdu Rahman Khalifah, Al Dakhil Fi Al Tafsir, (Mesir: Dar Al
Banat, TT), hlm. 22.
58 | JPIK Vol.1 No. 1, Maret 2018: 39-75

Terkait dengan penyimpangan penyimpangan dalam


sebuah penafsiran, Quraish Shihab menyebutkan beberapa
faktor yang memungkinkan menjadi penyebab lahirnya
penyimpangan dalam penafsiran yaitu: Subjektifitas mufassir,
Kekeliruan dalam penerapan metode atau kaidah, Kedangkalan
dalam ilmu-ilmu alat, Konteks Ayat, Asbabun Nuzul,
Munasabah antar ayat, maupun kurang memahami kondisi
sosial dan khitab yang dituju Al Qur’an.36

Teori Munasabah dalam Tafsir


Munasabah secara bahasa memiliki makna berdekatan,
mirip, menyerupai,37 relevansi dll. secara leksikal lafad tersebut
adalah turunan dari lafadz ‫نسب‬ oleh karena itu Imam Az
Zarkasyi mengartikan ungkapan ‫فالن ٌناسب فالنا‬ dengan dua
orang yang memiliki kemiripan atau kedekatan38
Sedangkan munasabah secara istilah adalah hubungan
atau keterkaitan atau keserasian antara ayat-ayat Al Qur’an,
apakah hubungan itu berupa ikatan antara yang Am (umum)
dan khusus, atau antara abstrak dan kongkrit, atau antara sebab

36
Quraish Shihab, Membumikan Al Qur‟an: Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan Pustaka, 1996), hlm. 76.
37
Kadar M. Yusuf, Studi Al Qur‟an, Cet. ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2010), hlm. 101
38
Badruddin Muhammad Bin Abdullah Az Zarkasyi, Al Burhan Fi Ulumu Al
Qur‟an, ed. Muhammad Abu Al Fadl Ibrahim, (Beirut: Darut Turats, TT),
hlm. 35.
Ilyas dan Ahmad Faidlal, Syura dan Demokrasi| 59

dan akibat, atau antara illat dan ma’lulnya, atau antara rasionil
dan irrasionil, atau bahkan anatara dua hal yang kontradiksi.39
Para ulama Ulumul Qur’an menyebut beberapa bentuk
munasabah dalam Al Qur’an. Akan tetapi, secara garis besar
dapat penulis klasifikasikan kepada dua bentuk, yaitu: Dzahir
(jelas) dan Mudzmar (tersembunyi).40
Pertama, Munasabah dzahir. Munasabah ini terdiri dari
beberapa bentuk, salah satunya yang ada kaitannya dengan
pembahasan kali ini adalah: Interkonneksi universal yaitu suatu
ayat menyempurnakan penjelasan ayat sebelumnya. Artinya,
penjelasan suatu ayat mengenai suatu persoalan kadang-kadang
belum sempurna atau lengkap, kemudian ayat berikutnya
menyempurnakan penjelasan itu, hal tersebut, misalnya dapat
dilihat dalam surat Al Baqarah (2) ayat 3-5:

      

          

          

  

39
As Sayuti, Al Itqan Fi Ulum Al Qur‟an, Jilid II,( Beirut: Maktabah As
Saqafiyyah, TT), hlm. 108.
40
Kadar M. Yusuf, Studi Al Qur‟an, Cet. ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2010), hlm. 102
60 | JPIK Vol.1 No. 1, Maret 2018: 39-75

Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang


mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang
kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman
kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan
kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelummu, serta mereka
yakin akan adanya (kehidupan) akhirat, Mereka Itulah yang
tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah
orang-orang yang beruntung.41
Ayat ketiga menjelaskan karakteristik orang-orang yang
bertakwa, yaitu beriman dengan hal-hal yang ghaib, mendirikan
shalat, dan membantu jalan Allah dengan harta yang
dimilikinya. Karakteristik orang bertakwa ini belum tuntas
dijelaskan dalam ayat tiga diatas, oleh kerana itu ayat
selanjutnya (4-5) menjelaskan lebih lanjut. Dimana orang-orang
bertakwa – selain beriman kepada yang ghaib, shalat dan
bersedekah – juga ditandai dengan keyakinan terhadap Al
Qur’an dan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya sebagai
wahyu yang datang dari Allah serta meyakini akan adanya hari
kebangkitan, ketakwaan dengan karakteristik semacam ini
berefek positif terhadap orang yang bertakwa itu sendiri, yaitu
memperoleh hidayah dan kemenangan dari Allah. Jadi, ayat
empat sampai lima menyempurnakan penjelasan ayat tiga.42
Kedua, Munasabah Mudzmar (Tersembunyi). Adalah
keterkaitan atau keserasian yang tidak jelas; pada lahiriahnya
seolah-olah suatu ayat terasing dari ayat yang lain atau alur

41
Al – Baqarah (2): 3-5
42
Kadar M. Yusuf, Studi Al Qur‟an, Cet. ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2010), hlm. 102
Ilyas dan Ahmad Faidlal, Syura dan Demokrasi| 61

pemicaraannya tidak ada ketersinambungan. Tetapi apabila


dianalisis secara dalam akan terlihat keterkaitannya.
Munasabah semacam ini terbagi kedalam beberapa bagian,
diantaranya adalah hubungan ayat yang satu dengan ayat yang
lai dihubungkan oleh huruf Athaf, seperti yang terlihat dalam
surah Saba’ (34) ayat 2:

          

        

Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi, apa


yang ke luar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa
yang naik kepadanya. dan Dia-lah yang Maha Penyayang lagi
Maha Pengampun.43

Ungkapan ‫ ما ٌلج فى االرض وما ٌخرج منها‬seolah-olah tidak


berhubungan dengan ‫ وما ٌنزل من السماء وما ٌعرج فٌها‬sebab yang
pertama berbicara tentang sesuatu yang masuk dan keluar dari
bumi sedangkan yang terakhir berbicara tentang sesuatu yang
turun dan naik ke langit. Akan tetapi, kedua ungkapan itu
masih berhubungan dan saling terkait antara satu dengan yang
lainnya. Sebab fokus pembicaraannya masalah ilmu tuhan. Dia
mengetahuai apa saja yang terjadi di langit dan yang terjadi di
bumi, rahmat dan azab serta targhib dan tarhib.

43
As saba’ (34): 2
62 | JPIK Vol.1 No. 1, Maret 2018: 39-75

Teori munasabah seperti yang telah diklasifikasi oleh


para ulama ulumul qur’an diatas sangat pas jika kemudian
dijadikan pisau analisis untuk memestikan hubungan antara
ayat yang satu dengan ayat yang lain yang terdapat dalam
potongan ayat yang dianggap sebagai landasan teologis
diterimanya demokrasi, karena sebagaimana disampaikan
quraish shihab bahwa penyimpangan sebuah penafsiran salah
satunya dilatarbelakangi oleh pengabaian teori munasabah ini.

Analisis Kedakhilan Demokrasi Ditinjau dari Teori


Munasabah
Dari sekian ayat yang dipandang sebagai landasan
keabsahan demokrasi, penulis akan mengambil dua redaksi
lafadz saja, hal tersebut karena keabsahan demokrasi dianggap
berangkat dari redaksi lafadz ‫ وامرهم شوررى بٌنهم‬yang terdapat
dalam As syûra (42): 36 ataupun lafadz ‫ وشاورهم فى االمر‬yang
terdapat dalam Ali Imran (03): 159.
Surat As syûra (42): 36- 38

           

         

         
Ilyas dan Ahmad Faidlal, Syura dan Demokrasi| 63

        



Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah


kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih
baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan Hanya
kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-
orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan
keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. 38. Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada
mereka.44

Secara Redaksional lafadz ‫ وامرهم شوررى بٌنهم‬adalah


salah satu penggalan ayat dari sebelumnya yang menberikan
perincian terhadap sifat-sifat orang yang dijanjikan akan
mendapatkan kenikmatan yang lebih baik di akhirat kelak.
Sifat-sifat yang dimaksud secara berurutan adalah beriman,
bertawakkal, menjauhi dosa besar, menjauhi perbuatan
perbuatan keji, apabila marah maka kemudian memberi maaf,
patuh terhadap seruan Allah, mendirikan shalat, memutuskan
sesuatu melalui jalan musyawarah, menafkahkan sebagian
rezeki di jalan Allah.

44
Departemen Agama, Al qur’an dan terjemahannya, (Bandung: SYGMA,
2009), hlm. 487.
64 | JPIK Vol.1 No. 1, Maret 2018: 39-75

Ayat diatas memiliki satu topik inti yang kemudian


dijabarkan dengan beberapa subtopik yang memiliki
keterkaitan secara fundamental. Subtopik beriman sampai
dengan menafkahkan sebagian rezeki di jalan Allah adalah
bagian integral dari sifat-sifat orang yang dijanjikan
mendapatkan kenikmatan diakhirat kelak, semua sifat-sifat
tersebut adalah sifat-sifat orang yang taat terhadap syariah.
oleh karena itu, ketika orang dipuji karena melakukan
musyawarah dalam urusan mereka tentu musyawarah yang
dimaksud adalah musyawarah yang berdasarkan ketentuan
syariah, bukan malah menjadikan syariah sebagai option
(pilihan) seperti yang terdapat dalam demokrasi. Fakta bahwa
demokrasi menjadikan syariah sebagai option (pilihan) bukan
obligation (kewajiban) memberikan gambaran yang sangat jelas
bahwa demorasi bukan berangkat dari landasan aqidah islam.
ditinjau dari teori munasabah maka demokrasi menjadi sesuatu
yang kurang pas menjadi tafsir dari ayat yang menganjurkan
untuk melakukan musyawarah, oleh karena itu produk tafsir
tersebut mengandung Al Dakhîl fi tafsir (penyimpangan dalam
tafsir) jika memaksakan demokrasi sebagai tafsir tersebut
ditinjau dari aspek munasabahnya.
Disamping ayat diatas masih terdapat anjuran untuk
melakukan musyawarah seperti yang terdapat dalam surat Ali
Imran (3): 159:
Ilyas dan Ahmad Faidlal, Syura dan Demokrasi| 65

           

           

          

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku


lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras
lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan
tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.45

Ayat diatas berisi perintah Allah kepada rasululah


pasca kekalahan pasukan muslim dalam perang Uhud. Perintah
perintah tersebut berupa perintah untuk memaafkankesalahan
kaumnya, mohonkanlah ampun kaumnya, dan bermusyawarah
dengan kaumnya. Dan merupakan salah satu bentuk
ketakwaan kepada Allah adalah Menjalankan perintahnya,
salah satu perintah dari tiga perintah dalam ayat ini adalah
melakukan musyawarah. Perintah tersebut akan memiliki
makna yang sangat bertolak belakang jika kata musyawarah
dimaknai demokrasi, karena pada hakikatnya demokrasi

45
Departemen Agama, Al qur’an dan terjemahannya, (Bandung: SYGMA,
2009), hlm. 71.
66 | JPIK Vol.1 No. 1, Maret 2018: 39-75

merupakan ajaran yang menabrak ketentuan Allah, hal


mendasar yang menjadi titik tolak antara pemaknaan
demokrasi dengan Syûra adalah konsep kedaulatan, syariat
Islam dalam demokrasi adalah sebagai Option (pilihan),
sedangkan syariat Islam dalam syura adalah sebagai
46
Obligation (kewajiban). kedaulatan dalam demokrasi berada
ditangan rakyat, sedangkan dalam Islam sendiri ada di tangan
Allah SWT. Oleh karena itu, jika pemaknaan lafadz ‫وشاورهم فى‬
‫ االمر‬tersebut dipaksakan kepada demokrasi maka yang terjadi
adalah kesimpang siuran. oleh karena itu pemaknaan ayat
terhadap istilah demokrasi dalam ayat tersebut ditinjau dari
teori munasabah merupakan pemaknaan yang menyimpang
(Al Dakhîl fi al tafsir).
Sejuta fakta permusyawaratan dalam demokrasi tanpa
mengenal batas, segala hal sah-sah saja dimusyawarahkan,
dengan jargon “Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan”. memang
bisa saja di negeri muslim tidak secara langsung akan
memusyawarahkan hal-hal yang menyangkut masalah yang
berada dalam wilayah agama, namun disisi yang lain pada
kenyataannya urusan yang mestinya diserahkan kepada Allah
diserahkan kepada manusia dengan alasan demokrasi.47

46
Ismail Yusanto, “Siapa Diskriminatif? ” Al-Wa’ie, No.184, 1-31 Desember
2012, hlm. 40.
47
Tentang hak legislasi hukum Al qur’an telah memberikan penjelasan
tentang pemegang otoritas hukum seperti yang terdapat dalam QS. Al an’am :
57, Al maidah 44, 45, 47
Ilyas dan Ahmad Faidlal, Syura dan Demokrasi| 67

Penerapan model pemerintahan mulai dari: Aristokrasi,


Otokrasi, Meritokrasi, Plutokrasi, Oligarki, Monarki, sampai
Demokrasi baik berbau klasik ataupun sedikit modern,48 jika
demokrasi dianggap sebagai sistem pemerintahan yang pas
untuk konteks kekinian (meskipun pada realitanya hanya
utopis dalam mensejahterakan rakyat)49 menurut penulis
adalah perkara lain yang mungkin lebih jelasnya jika
diletakkan dalam bidang studi tertentu yang fokus
membicarakan perbandingan sistem pemerintahan, bukan
malah mencari celah untuk melegitimasi sistem
kepemerintahan yang dimaksud kemudian dimasukkan
kedalam produk tafsir. Karena tidak bisa dipungkiri, Islam
memiliki sistem pemerintahan yang khas yang memang
bersumber dari Al Qur’an dan As sunnah yang dikenal dengan
Daulah Islamiah ataupun Khilafah Islamiah.
Sudah menjadi jelas bahwa ditinjau dari teori
munasabah akan terasa janggal ketika memasukkan demokrasi
dalam subtopik perincian surat As syûra ayat 36 ataupun Ali
Imran 159 diatas, hal tersebut karena demokrasi itu sendiri
secara konseptual bersebrangan dengan nilai-nilai mendasar
dalam Al qur’an. oleh karena itu, menafsirkan anjuran untuk
melakukan musyawarah (berdasarkan ketentuan yang terdapat

48
M. Afif Hasan, Ideologi Transnasional, (Mojokerto: Insan Global, 2014),
hlm. 174.
49
Bisa dibaca di Farid wadjdi & Shiddiq al – jawi, et. al, Ilusi Negara
Demokrasi, (Bogor: Al-Azhar Press, 2009)
68 | JPIK Vol.1 No. 1, Maret 2018: 39-75

dalam Islam) ditafsiri dengan demokrasi yang menyalahi Al


qur’an tentu bukan hanya sebatas perbedaan pemahaman tafsir
yang bisa dianggap sebagai pengembangan khazanah keilmuan
tafsir, namun menurut penulis hal tersebut sebagai produk
tafsir yang menyimpang. konteks dunia barat yang saat ini
menyanjung-nyanjung ide demokrasi agar diterapkan di dunia
timur tidak bisa dijadikan patokan terhadap legalitas
demokrasi yang diklaim berangkat dari surat As syûra ayat 36
ataupun Ali Imran 159 ini. Secara sederhana rentetan
keterkaitan antara topik inti dengan beberapa subtopik serta
keterkaitannya dengan standart diterimanya sebuah produk
tafsir dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 01. Konten surat Ali Imran (3): 159


HUBUNGANNYA
DENGAN SYARIAT ISLAM

TOPI
NONKO
K SUB TOPIK
MPATIB
INTI KOMPATIBEL
EL
(Tafsir)
(Al
Dakhîl)

Perinta
Memberi maaf 
h Alah
Ilyas dan Ahmad Faidlal, Syura dan Demokrasi| 69

setelah Memohonkan
kekala 
ampun
han
umat Syûra 

islam Musyawa
dalam rah Demo

perang krasi
Uhud

Tabel 02. Konten surat Asy Syûra (42): 36-38


HUBUNGANNYA
DENGAN
SYARIAT ISLAM

NON
TOPIK KO
SUB TOPIK
INTI MPA
KOMPATI
TIB
BEL
EL
(Tafsir)
(Al
Dakh
îl)
70 | JPIK Vol.1 No. 1, Maret 2018: 39-75

Beriman 
Bertawakkal 
Menjauhi Dosa Besar 
Menjauhi Perbuatan

Sifat Sifat Orang Yang Dijanjikan Akan Mendapatkan

Perbuatan Keji
Kenikmatan Yang Lebih Baik Di Hari Akhir Nanti

Apabila Marah Maka



Kemudian Memeri Maaf
Patuh Terhadap Seruan

Allah
Mendirikan Shalat 

Syûra 
Memutuskan
Sesuatu
Melalui Jalan
Musyawarah Demokras

i

Menafkahkan Sebagian

Rezeki Di Jalan Allah
Ilyas dan Ahmad Faidlal, Syura dan Demokrasi| 71

Simpulan
Untuk mendapatkan dan menemukan pemaknaan yang
pas terhadap sebuah teks al qur’an diperlukan kehati-hatian
dan kepribadian qur’ani dengan cara menggunakan kaidah
kaidah dasar tafsir yang telah disepakati oleh para cendikia.
justifikasi terhadap realitas dengan cara mencaplok ayat ayat
yang terkesan mendukung terhadap realitas atau ide yang
muncul di era kekinian merupakan kebiasaan yang segera
mungkin dihindari, terlepas dari banyak sedikitnya pendukung
perlu adanya sikap kritis untuk tetap menjaga sakralitas al
qur’an agar tidak mudah dijadikan payung kepentingan oleh
pihak pihak tertentu yang diuntungkan dengan ide yang
diembannya.
Keberadaan sistem demokrasi yang diemban oleh
banyak negara di dunia khususnya negeri islam, tidak
kemudian memberikan kesimpulan bahwa demokrasi
merupakan ajaran islam yang memiliki landasan normatif yang
kuat dalam Al qur’an. oleh karena itu, aktivitas mengkaji serta
terus menerus berinteraksi dengan Al qur’an tidak boleh
sedetikpun lepas dalam benak orang islam, agar cahaya islam
sebagai ajaran yang rahmatan lil alamin benar benar dapat
dirasakan oleh umat sedunia.
72 | JPIK Vol.1 No. 1, Maret 2018: 39-75

Daftar Pustaka
Abdu Rahman Khalifah Ibrahim, Al Dakhîl Fi Al Tafsir, Mesir:
Dar Al Banat, TT.

Abdurrahman Hafidz, Diskursus Islam Politik Dan


Spritual,Jakarta: Wadi Press, 2002.

Al Qaththan Manna Khallil, Studi Ulumul Qur‟an, Terj.


Muzakris AS, Bogor: Litera Antar Nusa, 1992.

Al Razi Fakhriddin, Mafatihul Ghaib, Bairut, Dar Al fikr, 1994.

As Sayuti, Al Itqan Fi Ulum Al Qur‟an, Beirut: Maktabah As


Saqafiyyah, TT.

Az Zarkasyi Badruddin Muhammad Bin Abdullah, Al Burhan Fi


Ulumu Al Qur‟an, ed. Muhammad Abu Al Fadl Ibrahim,
Beirut: Darut Turats, TT.

Bactiar Efendi, “Islam dan demokrasi: mencari sebuah sintesa


yang memungkinkan” dalam M. Natsir Tamara dan Elza
Peldi Taher (ed) agama dan dialog antar peradaban,
Jakarta: Paramadina, 1996.

Bisri Adib, Kamus Al Bisri, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.

Budiarjo Mirian, Dasar Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT.


Gramedia pustaka utama, 1996.
Ilyas dan Ahmad Faidlal, Syura dan Demokrasi| 73

Dahl Robert A., Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan


Praktek Demokrasi Secara Singkat, terj. A. Rahman
zainuddin, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.

Dahlan Abd. Rahman, Kaidah Kaidah Penafsiran Al Qur‟an,


Bandung: Mizan, 1997.

Departemen Agama, Al qur’an dan terjemahannya, Bandung:


SYGMA, 2009.

Fathurrasyid, Semiotika Kisah Al Qur‟an, Surabaya: Pustaka


Radja, 2014.

Hasan M. Afif, Ideologi Transnasional, Mojokerto: Insan


Global, 2014.

Hasbi Artani, Musyawarah Dan Demokrasi, Analisa Konseptual


Dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

Husaini Adian, DEMOKRASI Sejarah, Makna, dan Respon


Muslim, Makalah Disampaikan Dalam Seminar
Dengan Tema Islam Dan Demokrasi, Diselenggarakan
oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta, 28 Februari
2009.

Muhammad Najamuddin, Para Pejuang Kemanusiaan Dunia,


Jogjakarta: Ircisod, 2004.

Mujahid Ahsanul, Cogito Ergo Sum, Banjarmasin: Trigger__o,


2013.
74 | JPIK Vol.1 No. 1, Maret 2018: 39-75

Mursi Muhammad Said, Tokoh Tokoh Besar Sepanjang Sejarah,


Terj. Khairul Amru Harahap, Jakarta Timur: Pustaka Al
Kautsar, 2003.

Pulungan J. Suyuthi, Prinsip Prinsip Pemerintahan Dalam


Piagam Madinah Ditiinjau Dari Pandangan Al Qur‟an,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Rais Dhihauddin, Teori Politik Islam, Terj. Abdul Hayyie Al –


Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Shihab Quraish, Membumikan Al Qur‟an: Fungsi Dan Peran


Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan
Pustaka, 1996.

Sjadzali Munawir, Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah


Dan Pemikiran, Jakarta: UI press, 1993.

Sohrah, Syûra Vs Demokrasi, “Al Risalah” Volume 11 No 2


Mei 2011, hlm. 34,

Solahuddin Agus, Suyadi Agus, Ulumul Hadits, Bandung:


Pustaka Setia, 2009.

Syamsuddin Sahiron, Hermeneutika Dan Pengembangan


Ulumul Qur‟an, Yogyakarta: Pesantren Nawsea Press,
2009.

Wadjdi Farid & al – jawi Shiddiq, et. al, Ilusi Negara


Demokrasi, Bogor: Al-Azhar Press, 2009.
Ilyas dan Ahmad Faidlal, Syura dan Demokrasi| 75

Yusanto Ismail, “Siapa Diskriminatif? ” Al-Wa’ie, No.184, 1-31


Desember 2012.

Yusuf Kadar M., Studi Al Qur‟an, Jakarta: Sinar Grafika Offset,


2010.

Zakariyya,Abu Husayn Ahmad bin Faris bin, Mu‟jam Maqay


is al-Lughah, Juz III, Mesir: Mustafa Al ab al-Halabi, 1972.

Anda mungkin juga menyukai