Refarat Koma Hepatikum
Refarat Koma Hepatikum
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Koma
Koma didefinisikan sebagai keadaan tidak sadarkan diri yang
penderitanya tidak dapat dibangunkan, bahkan dengan rangsang yang sangat
kuat. Gejala klinis yang ditemukan dalam keadaan koma dapat bervariasi
berdasarkan tingkat kedalaman koma. Pada tingkat yang lebih ringan, refleks
biasanya dapat dibangkitkan dengan berbagai tingkat, seperti refleks pupil,
refleks gerakan bola mata, refleks kornea, dan berbagai refleks batang otak.
Selain itu, tonus otot biasanya meningkat dan respirasi dapat menjadi lambat
atau cepat, periodik, dan mengikuti pola tertentu. Pada tingkat terdalam dari
koma, tidak ada reaksi dalam bentuk apapun yang dapat dibangkitkan. Hal ini
terlihat dari hilangnya berbagai refleks, seperti refleks kornea, pupil, faring,
dan tendon, serta hilangnya tonus otot anggota gerak.2,7
Koma terjadi akibat adanya gangguan pada sistem reticular activating
system (RAS) yang mengatur kesadaran manusia. Menurut penyebabnnya
koma dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu koma yang disebabkan karena
adanya lesi pada RAS dan koma yang disebabkan oleh gangguan metabolik
sehingga menekan aktivitas neuron. Lesi yang menyebabkan gangguan
kesadaran dapat disebabkan karena tiga jenis lesi. 3
Jenis lesi yang pertama adalah lesi dengan masa yang cukup bermakna.
Lesi ini biasanya hanya mengenai sebagian dari korteks dan substansia alba
sedangkan bagian cerebrum lainnya berada dalam keadaan intak. Akan tetapi,
lesi ini dapat mengganggu fungsi otak bagian lainnya melalui pergeseran
struktur yang lebih dalam ke arah lateral. Kadang-kadang, lesi dapat disertai
oleh herniasi dari lobus temporal melalui celah di tentorium sehingga menekan
otak tengah dan RAS pada regio subtalamik. Jenis lesi yang kedua adalah lesi
yang secara anatomi berada pada RAS, yaitu talamus dan otak tengah. Lesi ini
mengganggu fungsi neuron pada RAS secara langsung. Lesi yang ketiga
merupakan lesi yang bersifat difus dan luas pada kedua bagian korteks dan
substansia alba. Koma terjadi karena adanya interupsi dari impuls
talamokortikal atau dikarenakan adanya destruksi luas pada akson korteks.3
2
II.2. Koma Hepatikum
DEFINISI
Hati merupakan organ yang memegang peran detoksifikasi yang sangat
penting dalam tubuh. Hati memiliki peranan dalam menetralisasi zat-zat kimia
yang berbahaya bagi tubuh, baik yang diserap dari sistem pencernaan maupun
yang dihasilkan oleh metabolisme dalam tubuh. Sebagian besar dari zat-zat
tersebut mencapai hati melalui sistem vena porta. Kemudian,hepatosit yang
berada di sinusoid hepatik akan menyerap dan mendetoksifikasi zat-zat
tersebut menjadi zat-zat yang aman bagi tubuh.1
Pada perburukan dari proses fibrosis hati dan perjalanan penyakit sirosis,
peningkatan tekanan hepatik mendesak darah untuk mengalir melalui
portosystemic shunt. Portosystemic shunt merupakan suatu keadaan dimana
darah yang berasal dari organ abdomen langsung dialirkan langsung ke aliran
sistemik tanpa melalui sinusoid hepatik. Hal ini menyebabkan terjadinya
penumpukan zat-zat racun di dalam aliran darah sistemik yang sebagian
mencapai otak dan organ-organ tubuh lainnya. Selain itu, terdapat pula
pengurangan jumlah sel hepatosit yang dapat berfungsi dengan baik secara
signifikan sehingga perburukan dapat dengan mudah terjadi pada penumpukan
sedikit zat toksin dalam keadaan sirosis.1
Otak yang normal membutuhkan struktur anatomi yang intak, produksi
energi yang cukup, dan neurotransmisi yang efisien antar sinaps. Ketiga hal ini
terganggu pada keadaan ensefalopati hepatikum. Ensefalopati hepatikum atau
ensefalopati portal-sistemik merupakan suatu keadaan yang biasanya terjadi
akibat penyakit hati lanjut, tetapi juga ditemukan dalam perjalanan setiap
penyakit berat atau pada pasien dengan pirau portokaval. Keadaan ini ditandai
dengan gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma dalam (koma
hepatik), berbagai taraf perubahan psikiatrik, flapping tremmor, dan fetor
hepatikus.2
Jadi dapat disimpulkan bahwa, Ensefalopati Hepatikum dapat
didefinisikan sebagai perubahan status mental dan fungsi kognitif yang
dijumpai pada pasien dengan kondisi gagal hati akut maupun kronis.
3
KLASIFIKASI
Koma hepatikum dapat dibagi atas 2 kategori, yaitu:
1. Koma hepatikum primer (endogen).
2. Koma hepatikum sekunder (eksogen).
4
terlalu banyak. Kehilangan elektrolit dan udara terlalu cepat, dapat
menyebabkan koma. Pengeluaran cairan asites disertai diuretika,
Misalnya klorotiazide bisa merupakan faktor presipitasi oleh karena
timbulnya hipokalemia. 4
c. Karena obat-obatan
Beberapa obat-obatan yang hepatotoksik misalnya barbiturat morfin,
klorpromazin, dan lain-lain, dapat juga menyebabkan koma hepatikum
pada penderita dengan kerusakan sel hati yang hebat. Oleh karena itu
obat-obatan tersebut janganlah sekali diberikan kepada penderita penyakit
hati. 4
d. Ensefalopatik Sistemik Portal
Setelah mengalami shunt portakaval, pada penderita dapat timbul
berbagai macam gejala neropsikiatrik dan bisa sampai jatuh koma
hepatikum ini yang disebabkan oleh amoniak dalam darah tidak dapat
diubah jadi urea karena tidak melalui hati. Begitu juga penderita dengan
fungsi hepatoseluler yang sedikit sekali, terutama pada penyakit sirosis
hati atau penyakit penyakit hati yang kronis dan lama di mana timbul
sistem kolateral, sehingga memberi gambaran sebagai portakavalosis
akibatnya akan menimbulkan gangguan neropsikiatrik yaitu timbul
ensefalopati. 4
e. Pengaruh Substansia Nitrogen
Permberian garam yang mengandung amonium dan pemberian protein
pada penyakit penyakit yang berat, amoniak tidak dapat diubah menjadi
urea. Ini akan menaikkan kadar amoniak dalam peredaran sehingga
timbul koma hepatikum. 4
PATOFISIOLOGI
5
Beberapa hipotesis yang telah dikemukakan pada patogenesis koma
hepatik antara lain adalah :
Hipotesis Amoniak. Amonia berasal dari mukosa usus sebagai hasil dari
degradasi protein sebagian lumen usus dan dari bakteri yang mengandung
urease. Dalam hati ammonia diubah menjadi urea pada sel hati periportal dan
menjadi glutamin pada sel hati perivenus, sehingga jumlah ammonia yang
masuk dapat dikontrol dengan baik. Glutamin juga diproduksi oleh otot (50%),
hati,ginjal dan otak (70%). Pada penyakit hati hati kronis akan terjadi
gangguan metabolisme ammonia sehingga terjadi peningkatan konsentrasi
ammonia sebesar 5-10 kali lipat. 9
Beberapa peneliti melaporkan bahwa amnia secara invitro akan merubah
loncatan (fluk) klorida melalui membrane neural dan akan mengganggu
keseimbangan potensial aksi sel saraf. Di samping itu, ammonia dlam proses
detoksikasi akan menekan eksitasi transmitter asam amino, aspartat, dan
glutamat. 9
6
oktapamin dan feniletanolamin, yang lebih lemah dibanding dopamine atau
nor-adrenain. 9
Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah : a). Pengaruh bakteri usus
terhadap protein sehingga terjadi peningkatan produksi oktapamin yang
melalui aliran pintas (shunt) masuk ke sirkulasi otak.; b). Pada gagal hati
seperti pada sirosis hati akan terjadi penurunan asam amino rantai cabang
(BCAA) yang terdiri dari valin, leusin dan isoleusin, yang mengakibatkan
terjadinya peningkatan asam amino aromatic (AAA) seperti tirosin, fenilalanin,
dan triptopan karena penurunan ambilan hati (hepatic uptake). 9
Rasio antara BCAA dan AAA (Fisischer ratio) normal antara 3-3,5 akan
menjadi lebih kecil dari 1,0. 9
Keseimbangan kedua kelompok asam amino tersebut penting
dipertahankan karena akan menggambarkan konsentrasi neurotransmitter pada
susunan saraf. 9
GAMBARAN KLINIS
Pada umumnya gambaran klinis berupa: kelainan mental, kelainan
neurologis, terdapatnya kelainan parenkim hati serta kelainan laboratorium. 9
Koma hepatik dibedakan atas :
1. Koma hepatik akut (fulminant hepatic failure)
Ditemukan pada pasien hepatitis virus, hepatitis toksik obat (halotan,
asetaminofen), perlemakan hati akut pada kehamilan, kerusakan parenkim hati
fulminan tanpa prespitasi. 9
Perjalanan penyakit eksplosif, ditandai dengan delirium, kejang disertai dengan
edema otak. Kematian terutama disebabkan edema serebral, kemungkinan
7
disebabkan perubahan permeabilitas sawar otak dan inhibiosi neuronal (Na +
dan K+) ATP-ase serta perubahan osmolar karena metabolism ammonia. 9
2. Penyakit hati kronik dengan koma portosistemik
Perjalanan tidak progresif sehingga gejala neuropsikiatri terjadi pelan-pelan
dan dicetuskan beberapa faktor pencetus. Azotemia, sedatif, analgetik,
pendarahan gastrointestinal, alkalosis metabolic, kelebihan protein, infeksi,
obstipasi, gangguan keseimbangan cairan, dan pemakaian diuretic akan dapat
mencetuskan koma hepatik. 9
Pada permulaan perjalan koma hepatikum, gambaran gangguan mental
mungkin berupa perubahan dalam mengambil keputusan dan gangguan
konsentrasi. 9
DIAGNOSIS
Diagnosis koma hepatik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan
dibantu dengan beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang
antara lain adalah:
8
Elektroesefalografi (EEG). Dengan pemeriksaan EEG terlihat peninggian
amplitude dan menurunnya jumlah siklus gelombang perdetik. Terjadi
penurunan frekuensi dari gelombang normal alfa (8-12Hz). 9
9
ammonia darah karena gangguan fungsi hati dalam mendetoksifikasi ammonia
serta adanya pintas (shunt). 9
DIAGNOSIS BANDING
1. Koma akibat intoksikasi obat-obatan dan alkohol
2. Trauma kepala seperti komosio serebri, kontusio serebri, pendarahan
subdural, dan pendarahan epidural
3. Tumor otak
4. Koma akibat gangguan metabolism seperti uremia, koma hipoglikemia,
koma hiperglikemia.
5. Epilepsy 9
PENATALAKSAAN
Upaya yang dilakukan pada penatalaksanaan koma hepatic adalah :
1. Mengobati pengakit dasar hati
2. Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor-faktor pencetus
10
3. Mengurangi/mencegah pembentukan influx toksi-toksin nitrogen ke
jaringan otak antara lain dengan cara :
a. Menurunkan atau mengurangi asupan makanan yang mengandung
protein.
b. Menggunakan laktulosa.
c. Menggunakan antibiotik.
d. Membersihkan saluran cerna bagian bawah.
4. Upaya supportif dengan memberikan kalori yang cukup serta mengatasi
komplikasi yang mungkin ditemui seperti hipoglikemia, pendarahan
saluran cerna, dan keseimbangan elektrolit.9
11
Neomisin dapat diberikan 2-4 gram sehari baik secara oral maupun enema
(jika terdapat tanda ileus). Metronidazol 4 x 250 mg perhari merupakan
alternatif. 9
Upaya membersihkan saluran cerna bagian bawah dilakukan apabila
terjadi pendarahan saluran cerna agar darah sebagai sumber toksin nitrogen
segera dikeluarkan. 9
Tindakan operatif dapat dilakukan untuk mengurangi portosystemic
shunts. Tindakan ini memiliki resiko perdarahan akibat peningkatan tekanan
portal setelah tindakan operatif ini dilakukan. Tindakan invasif lain yang bisa
dilakukan adalah embolisasi terhadap arteri splenikus dan kolektomi total.
Tindakan tersebut hanya dilakukan pada ensefalopati hepatikum kronik yang
resistant dengan tindakan lain. Tindakan invasif yang paling radikal adalah
transplantasi hati. Pada tindakan ini, evaluasi terhadap periode dan jenis
ensefalopati perlu dilakukan secara kritis. Transplantasi hati pada pasien
dengan perjalanan penyakit yang kronis dapat hanya memberikan sedikit
perbaikan dan bahkan tidak memberikan perbaikan sama sekali.8
II.6. Prognosis
Pada koma hepatik portosistemik sekunder, bila faktor-faktor pencetus
teratasi, maka dengan pengobatan standar hamper 80% pasien akan kembali
sadar. Pada pasien dengan koma hepatik primer dan penyakit berat prognosis
akan lebih buruk bila disertai hipoalbuminemia, ikterus, serta asites. Sementara
koma hepatic akibat gagal hati fulminan kemungkinan hanya 20% yang dapat
sadar kembali setelah dirawat pada pusat-pusat kesehatan yang maju. 9
12
BAB III
KESIMPULAN
III.1. KESIMPULAN
Koma hepatikum merupakan suatu komplikasi yang ditimbulkan oleh
ensefalopati hepatikum. Ensefalopati hepatikum sendiri dapat disebabkan oleh
hiperamonemia akibat penyakit hati,baik yang bersifat akut maupun kronis.
Keduanya memberikan gambaran klinis yang bervariasi dan luas. Pada gagal
hati akut, biasanya gejala yang ditimbulkan merupakan dampak dari edema
serebri akibat hiperamonemia. Sedangkan gejala yang ditimbulkan pada
gangguan hati kronis biasanya disebabkan karena adanya faktor-faktor
pencetus. Diagnosis dan tatalaksana sedini mungkin dapat memperbaiki
prognosis dari ensefalopati hepatikum. Untuk itu, anamnesis dan pemeriksaan
13
fisik secara komprehensif merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.
2,9
14
DAFTAR PUSTAKA
15