Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Keadaan koma merupakan suatu keadaan dimana seorang pasien terlihat


seperti tertidur dan pasien tidak dapat dibangunkan baik oleh stimulus dari luar
maupun dari dalam diri pasien tersebut.2 Berdasarkan klasifikasinya, koma dapat
dibagi menjadi koma hepatikum primer atau endogen dan koma hepatikum sekunder
atau eksogen. Koma hepatikum biasanya diawali dengan adanya ensefalopati
hepatikum. Ensefalopati hepatikum merupakan gangguan otak yang terjadi secara
global yang menyebabkan adanya gangguan neurologis. Ensefalopati hepatikum
terjadi pada 30 persen sampai 45 persen penderita sirosis hepatis dan dapat
disebabkan oleh gangguan hati akut. Pada perjalanan penyakitnya, ensefalopati
hepatikum dapat menyebabkan koma hepatikum. 1,5,7
Pada dasarnya, ensefalopati hepatikum merupakan keadaan yang bersifat
reversibel. Umumnya, terjadinya ensefalopati hepatikum disebabkan oleh faktor-
faktor lain yang memperburuk dan mempercepat perjalan dari penyakit hati kronis
maupun akut. Eliminasi dari faktor tersebut dapat menyebabkan resolusi pada 85%
penderitanya. Selain itu, deteksi dan terapi dini sangat penting dalam memperbaiki
kualitas hidup dan menurunkan angka kematian dari penderita ensefalopati
hepatikum.3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Koma
Koma didefinisikan sebagai keadaan tidak sadarkan diri yang
penderitanya tidak dapat dibangunkan, bahkan dengan rangsang yang sangat
kuat. Gejala klinis yang ditemukan dalam keadaan koma dapat bervariasi
berdasarkan tingkat kedalaman koma. Pada tingkat yang lebih ringan, refleks
biasanya dapat dibangkitkan dengan berbagai tingkat, seperti refleks pupil,
refleks gerakan bola mata, refleks kornea, dan berbagai refleks batang otak.
Selain itu, tonus otot biasanya meningkat dan respirasi dapat menjadi lambat
atau cepat, periodik, dan mengikuti pola tertentu. Pada tingkat terdalam dari
koma, tidak ada reaksi dalam bentuk apapun yang dapat dibangkitkan. Hal ini
terlihat dari hilangnya berbagai refleks, seperti refleks kornea, pupil, faring,
dan tendon, serta hilangnya tonus otot anggota gerak.2,7
Koma terjadi akibat adanya gangguan pada sistem reticular activating
system (RAS) yang mengatur kesadaran manusia. Menurut penyebabnnya
koma dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu koma yang disebabkan karena
adanya lesi pada RAS dan koma yang disebabkan oleh gangguan metabolik
sehingga menekan aktivitas neuron. Lesi yang menyebabkan gangguan
kesadaran dapat disebabkan karena tiga jenis lesi. 3
Jenis lesi yang pertama adalah lesi dengan masa yang cukup bermakna.
Lesi ini biasanya hanya mengenai sebagian dari korteks dan substansia alba
sedangkan bagian cerebrum lainnya berada dalam keadaan intak. Akan tetapi,
lesi ini dapat mengganggu fungsi otak bagian lainnya melalui pergeseran
struktur yang lebih dalam ke arah lateral. Kadang-kadang, lesi dapat disertai
oleh herniasi dari lobus temporal melalui celah di tentorium sehingga menekan
otak tengah dan RAS pada regio subtalamik. Jenis lesi yang kedua adalah lesi
yang secara anatomi berada pada RAS, yaitu talamus dan otak tengah. Lesi ini
mengganggu fungsi neuron pada RAS secara langsung. Lesi yang ketiga
merupakan lesi yang bersifat difus dan luas pada kedua bagian korteks dan
substansia alba. Koma terjadi karena adanya interupsi dari impuls
talamokortikal atau dikarenakan adanya destruksi luas pada akson korteks.3

2
II.2. Koma Hepatikum
DEFINISI
Hati merupakan organ yang memegang peran detoksifikasi yang sangat
penting dalam tubuh. Hati memiliki peranan dalam menetralisasi zat-zat kimia
yang berbahaya bagi tubuh, baik yang diserap dari sistem pencernaan maupun
yang dihasilkan oleh metabolisme dalam tubuh. Sebagian besar dari zat-zat
tersebut mencapai hati melalui sistem vena porta. Kemudian,hepatosit yang
berada di sinusoid hepatik akan menyerap dan mendetoksifikasi zat-zat
tersebut menjadi zat-zat yang aman bagi tubuh.1
Pada perburukan dari proses fibrosis hati dan perjalanan penyakit sirosis,
peningkatan tekanan hepatik mendesak darah untuk mengalir melalui
portosystemic shunt. Portosystemic shunt merupakan suatu keadaan dimana
darah yang berasal dari organ abdomen langsung dialirkan langsung ke aliran
sistemik tanpa melalui sinusoid hepatik. Hal ini menyebabkan terjadinya
penumpukan zat-zat racun di dalam aliran darah sistemik yang sebagian
mencapai otak dan organ-organ tubuh lainnya. Selain itu, terdapat pula
pengurangan jumlah sel hepatosit yang dapat berfungsi dengan baik secara
signifikan sehingga perburukan dapat dengan mudah terjadi pada penumpukan
sedikit zat toksin dalam keadaan sirosis.1
Otak yang normal membutuhkan struktur anatomi yang intak, produksi
energi yang cukup, dan neurotransmisi yang efisien antar sinaps. Ketiga hal ini
terganggu pada keadaan ensefalopati hepatikum. Ensefalopati hepatikum atau
ensefalopati portal-sistemik merupakan suatu keadaan yang biasanya terjadi
akibat penyakit hati lanjut, tetapi juga ditemukan dalam perjalanan setiap
penyakit berat atau pada pasien dengan pirau portokaval. Keadaan ini ditandai
dengan gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma dalam (koma
hepatik), berbagai taraf perubahan psikiatrik, flapping tremmor, dan fetor
hepatikus.2
Jadi dapat disimpulkan bahwa, Ensefalopati Hepatikum dapat
didefinisikan sebagai perubahan status mental dan fungsi kognitif yang
dijumpai pada pasien dengan kondisi gagal hati akut maupun kronis.

3
KLASIFIKASI
Koma hepatikum dapat dibagi atas 2 kategori, yaitu:
1. Koma hepatikum primer (endogen).
2. Koma hepatikum sekunder (eksogen).

1. Koma Hepatikum Primer (Endogen)


Disebabkan langsung oleh kerusakan sel hati yang difus, atau nekrosis
sel hati yang meluas, atau yang sudah lanjut dari faal hati yang vital. Pada
hepatitis fulminan ada kerusakan sel hati yang difus dan cepat, sehingga
kesadaran si penderita terganggu, gelisah, timbul disorientasi, berteriak-teriak,
kemudian dengan cepat jatuh dalam keadaan koma. Sedang pada sirosis hati
yang di bawa nekrose sel hati yang meluas, dan biasanya sudah ada sistema
kolateral, asites. Di sini gangguan terhadap adanya zat racun yang melalui
sistem portal satu atap saraf pusat. Karena sel hati seluruhnya sudah rusak dan
fungsi vital juga terganggu seluruhnya, maka metabolisme tidak bisa berjalan
dengan sempurna termasuk tidak bisa mengubah amoniak menjadi urea,
akibatnya kadar amoniak di dalam darah otak makin meninggi.4

2. Koma Hepatikum Sekunder (Eksogen)


Timbulnya koma hepatikum bawaan bukan karena kerusakan hati
secara langsung, oleh sebab lain atau adanya faktor presipitasi, misalnya:
a. Karena Perdarahan
Perdarahan di sini disebabkan karena perforasi varises esofagus. Sebagai
akibat dari perdarahan terjadi penurunan tensi yang mendadak atau
jatuhnya dalam syok, kapasitas oksigen dalam darah makin banyak
berkurang sehingga menimbulkan hepatik hipoksia. Selain itu juga
disebabkan karena adanya darah dalam traktus gastrointestinalis yang
oleh mikroorganisme diubah menjadi amoniak. Dan amoniak yang
terbentuk, oleh sel hati yang rusak tidak dapat diubah menjadi urea.
Penambahan amoniak dalam sirkulasi berarti juga menambah kadar
amoniak dalam otak bisa terjadi koma hepatikum. Tipe koma hepatikum
ini biasanya dengan cepat memberi tranfusi darah atau plasma untuk
mengembalikan tekanan darah tinggi darah. 4

b. Akibat Terapi terhadap Asites


Hal ini bisa terjadi bila pada penderita sirosis dengan asites cairan yang
dilakukan secara mekanis (misalnya pungsi asites) terlalu cepat dan

4
terlalu banyak. Kehilangan elektrolit dan udara terlalu cepat, dapat
menyebabkan koma. Pengeluaran cairan asites disertai diuretika,
Misalnya klorotiazide bisa merupakan faktor presipitasi oleh karena
timbulnya hipokalemia. 4
c. Karena obat-obatan
Beberapa obat-obatan yang hepatotoksik misalnya barbiturat morfin,
klorpromazin, dan lain-lain, dapat juga menyebabkan koma hepatikum
pada penderita dengan kerusakan sel hati yang hebat. Oleh karena itu
obat-obatan tersebut janganlah sekali diberikan kepada penderita penyakit
hati. 4
d. Ensefalopatik Sistemik Portal
Setelah mengalami shunt portakaval, pada penderita dapat timbul
berbagai macam gejala neropsikiatrik dan bisa sampai jatuh koma
hepatikum ini yang disebabkan oleh amoniak dalam darah tidak dapat
diubah jadi urea karena tidak melalui hati. Begitu juga penderita dengan
fungsi hepatoseluler yang sedikit sekali, terutama pada penyakit sirosis
hati atau penyakit penyakit hati yang kronis dan lama di mana timbul
sistem kolateral, sehingga memberi gambaran sebagai portakavalosis
akibatnya akan menimbulkan gangguan neropsikiatrik yaitu timbul
ensefalopati. 4
e. Pengaruh Substansia Nitrogen
Permberian garam yang mengandung amonium dan pemberian protein
pada penyakit penyakit yang berat, amoniak tidak dapat diubah menjadi
urea. Ini akan menaikkan kadar amoniak dalam peredaran sehingga
timbul koma hepatikum. 4

Kriteria West Haven membagi EH berdasarkan derajat gejalanya (Tabel


1). 4

PATOFISIOLOGI

5
Beberapa hipotesis yang telah dikemukakan pada patogenesis koma
hepatik antara lain adalah :
Hipotesis Amoniak. Amonia berasal dari mukosa usus sebagai hasil dari
degradasi protein sebagian lumen usus dan dari bakteri yang mengandung
urease. Dalam hati ammonia diubah menjadi urea pada sel hati periportal dan
menjadi glutamin pada sel hati perivenus, sehingga jumlah ammonia yang
masuk dapat dikontrol dengan baik. Glutamin juga diproduksi oleh otot (50%),
hati,ginjal dan otak (70%). Pada penyakit hati hati kronis akan terjadi
gangguan metabolisme ammonia sehingga terjadi peningkatan konsentrasi
ammonia sebesar 5-10 kali lipat. 9
Beberapa peneliti melaporkan bahwa amnia secara invitro akan merubah
loncatan (fluk) klorida melalui membrane neural dan akan mengganggu
keseimbangan potensial aksi sel saraf. Di samping itu, ammonia dlam proses
detoksikasi akan menekan eksitasi transmitter asam amino, aspartat, dan
glutamat. 9

Hipotesis toksisitas sinergik.Neurotoksin lain yang yang mempunyai efek


sinergis dengan ammonia seperti merkaptan, asam lemak rantai pendek
(oktanoid), fenol, dn lain-lain. 9
Merkaptan yang dihasilkan dari metionin oleh usus akan berperan menghambat
NaK-ATP-ase. 9
Asam lemak rantai pendek terutama oktanoid mempunyai efek metabolik
seperti gangguan oksidasi, fosforilasi dan penghambatan konsumsi oksigen
serta penekanan aktivitas NaK-ATP-ase sehingga dapat mengakibatkan koma
hepatik reversible. 9
Fenol sebagai hasil metabolisme tirosin dan fenialanin dapat menekan
aktivitas otak dan enzim hati monoaminoksidase, laktat dehydrogenase, prolin
oksidase yang berpotensi dengan zat lain seperti ammonia yang mengakibatkan
koma hepatikum. Senyawa-senyawa tersebut akan memperkuat sifat
neurotoksisitas dari ammonia.9

Hipotesis neurotransmitter palsu.Pada keadaan normal pada otak terdapat


neurotrnsmiter dopamin dan noradrenalin, sedangkan pada keadaaan gangguan
fungsi hati, neurotransmitter otak diganti oleh neurotransmitter palsu seperti

6
oktapamin dan feniletanolamin, yang lebih lemah dibanding dopamine atau
nor-adrenain. 9
Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah : a). Pengaruh bakteri usus
terhadap protein sehingga terjadi peningkatan produksi oktapamin yang
melalui aliran pintas (shunt) masuk ke sirkulasi otak.; b). Pada gagal hati
seperti pada sirosis hati akan terjadi penurunan asam amino rantai cabang
(BCAA) yang terdiri dari valin, leusin dan isoleusin, yang mengakibatkan
terjadinya peningkatan asam amino aromatic (AAA) seperti tirosin, fenilalanin,
dan triptopan karena penurunan ambilan hati (hepatic uptake). 9
Rasio antara BCAA dan AAA (Fisischer ratio) normal antara 3-3,5 akan
menjadi lebih kecil dari 1,0. 9
Keseimbangan kedua kelompok asam amino tersebut penting
dipertahankan karena akan menggambarkan konsentrasi neurotransmitter pada
susunan saraf. 9

Hipotesis GABA dan Benzodiazepin. Ketidakseimbangan antara asam amino


neurotransmitter yang merangsang dan yang menghambat fungsi otak
merupakan faktor yang berperan pada terjadinya koma hepatik. Terjadi
penurunan transmitter yang memiliki efek merangsang seperti glutamat,
aspartat dan dopamine sebagai akibat meningkatnya ammonia dan gamma
barbiturate (GABA) yang menghambat transmisi impuls. 9
Efek GABA yang meningkat bukan karena influx yang meningkat ke
dalam otak tapi akibat perubahan reseptor GABA dalam otak akibat suatu
substansi yang mirip benzodiazepine (benzodiazepine-like substance. 9

GAMBARAN KLINIS
Pada umumnya gambaran klinis berupa: kelainan mental, kelainan
neurologis, terdapatnya kelainan parenkim hati serta kelainan laboratorium. 9
Koma hepatik dibedakan atas :
1. Koma hepatik akut (fulminant hepatic failure)
Ditemukan pada pasien hepatitis virus, hepatitis toksik obat (halotan,
asetaminofen), perlemakan hati akut pada kehamilan, kerusakan parenkim hati
fulminan tanpa prespitasi. 9
Perjalanan penyakit eksplosif, ditandai dengan delirium, kejang disertai dengan
edema otak. Kematian terutama disebabkan edema serebral, kemungkinan

7
disebabkan perubahan permeabilitas sawar otak dan inhibiosi neuronal (Na +
dan K+) ATP-ase serta perubahan osmolar karena metabolism ammonia. 9
2. Penyakit hati kronik dengan koma portosistemik
Perjalanan tidak progresif sehingga gejala neuropsikiatri terjadi pelan-pelan
dan dicetuskan beberapa faktor pencetus. Azotemia, sedatif, analgetik,
pendarahan gastrointestinal, alkalosis metabolic, kelebihan protein, infeksi,
obstipasi, gangguan keseimbangan cairan, dan pemakaian diuretic akan dapat
mencetuskan koma hepatik. 9
Pada permulaan perjalan koma hepatikum, gambaran gangguan mental
mungkin berupa perubahan dalam mengambil keputusan dan gangguan
konsentrasi. 9

Tabel II.2. Tingkat derajat koma hepatik9


Tingkat Gejala-gejala Tanda-tanda EEG
Prodormal Afektif hilang, Asteriksis, (+)
eufori, depresi, kesulitan bicara,
apati, kelakuan tak kesulitan menulis
wajar, perubahan
kebiasaan tidur
Koma Kebingungan, Asteriksis, fetor (++)
mengancam disorientasi, hepatik
mengantuk
Koma ringan Kebingungan Asteriksis, fetor (+++)
nyata, dapat hepatik, lengan
bangun dari tidur, kaku, hipereflek,
bereaksi terhadap klonus, reflek
rangsangan menggenggam,
menghisap
Koma dalam Tidak sadar, hilang Fetor hepatik, (++++)
reaksi rangsangan tonus otot hilang

DIAGNOSIS
Diagnosis koma hepatik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan
dibantu dengan beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang
antara lain adalah:

8
Elektroesefalografi (EEG). Dengan pemeriksaan EEG terlihat peninggian
amplitude dan menurunnya jumlah siklus gelombang perdetik. Terjadi
penurunan frekuensi dari gelombang normal alfa (8-12Hz). 9

Tabel II.3. Tingkat Kuantitas dari Elektroensefalografi (EEG) 9


Tingkat Ensefalopati Frekuensi Gelombang EEG
Tingkat 0 Frekuensi Alfa (8,5-12 siklus/detik)
Tingkat I 7-8 siklus/detik
Tingkat II 5-7 siklus/detik
Tingkat III 3-5 siklus/detik
Tingkat IV 3 siklus/detik atau negative

Tes psikometri. Cara ini dapat membantu menilai tingkat kemampuan


intelektual pasien yang mengalami koma hepatic subklinis. Ensefalopati
hepatikum ditandai dengan perlambantan fungsi psikomotorik. Untuk itu, tes
hubung angka (THA) dapat digunakan untuk mengevaluasi kemampuan
kognitif dan motorik. THA sempat digunakan sebagai salah satu pemeriksaan
yang paling sensitif untuk mendeteksi ensefalopati hepatikum. Namun
beberapa penelitian menunjukkan banyaknya faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil dari THA, seperti usia pasien, gangguan visual, serta
gangguan konsentrasi pada penderita ensefalopati hepatikum. 6,9

Dengan UHA tingkat ensefalopati dibagi atas 4 kategori :

Tabel II.4. Tingkat Uji Hubung Angka (UHA) 9


Tingkat Ensefalopati Hasil Uji Hubung Angka (UHA)
dalam detik
Normal 15-30
Tingkat I 31-50
Tingkat II 51-80
Tingkat III 81-120
Tingkat IV >120

Pemeriksaan Amonia Darah. Amonia merupakan hasil akhir dari


metabolisme asam amino baik yang berasal dari dekarboksilasi protein maupun
hasil deaminasi glutamine pada usus dari hasil katabolisme protein otot. Dalam
keadaan normal ammonia dikeluarkan oleh hati dengan pembentukan urea.
Pada kerusakan sel hati seperti sirosis hati, terjadi peningkatan konsentrasi

9
ammonia darah karena gangguan fungsi hati dalam mendetoksifikasi ammonia
serta adanya pintas (shunt). 9

Tabel II.5.. Hubungan Ensefalopati Hepatik dengan Amonia9


Tingkat Ensefalopati Kadar ammonia darah dalam µg/dl
Tingkat 0 <150
Tingkat 1 151-200
Tingkat 2 201-250
Tingkat 3 251-300
Tingkat 4 >300

Pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan, namun tidak


memberikan gambaran khusus dalam mendiagnosis ensefalopati hepatikum.
Pemeriksaan Computed Tomography scanning (CT scan) dapat menunjukkan
adanya edema serebri, namun hal tersebut tidak signifikan dalam penegakkan
diagnosis ensefalopati hepatikum. Pemeriksaan CT scan perlu dilakukan untuk
mengeksklusikan kemungkinan lain yang dapat menyebabkan gangguan
neurologis, seperti perdarahan subdural atau epidural. 8
Pemeriksaan MRI menunjukkan gambaran abnormal pada pasien dengan
sirosis hepatikum. Hasil MRI T1-weighted menunjukkan adanya
hiperintensitas yang simetris pada pallidum, substansia nigra, dan nukleus
dentata. Namun, hasil pemeriksaan dengan MRI tidak menunjukkan tingkat
keparahan dari ensefalopati hepatikum, melainkan lebih menunjukkan
keparahan dari portosystemic shunts. 8

DIAGNOSIS BANDING
1. Koma akibat intoksikasi obat-obatan dan alkohol
2. Trauma kepala seperti komosio serebri, kontusio serebri, pendarahan
subdural, dan pendarahan epidural
3. Tumor otak
4. Koma akibat gangguan metabolism seperti uremia, koma hipoglikemia,
koma hiperglikemia.
5. Epilepsy 9

PENATALAKSAAN
Upaya yang dilakukan pada penatalaksanaan koma hepatic adalah :
1. Mengobati pengakit dasar hati
2. Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor-faktor pencetus

10
3. Mengurangi/mencegah pembentukan influx toksi-toksin nitrogen ke
jaringan otak antara lain dengan cara :
a. Menurunkan atau mengurangi asupan makanan yang mengandung
protein.
b. Menggunakan laktulosa.
c. Menggunakan antibiotik.
d. Membersihkan saluran cerna bagian bawah.
4. Upaya supportif dengan memberikan kalori yang cukup serta mengatasi
komplikasi yang mungkin ditemui seperti hipoglikemia, pendarahan
saluran cerna, dan keseimbangan elektrolit.9

Secara umum tatalaksana pasien dengan koma hepatik adalah


memperbaiki oksigenasi jaringan, pemberian vitamin terutama golongan
vitamin B, memperbaiki keseimbangan elektrolit dan cairan, serta menjaga
agar jangan terjadi dehidrasi. Pemberian makanan berasal dari protein
dikurangi atau dihentikan sementara, dan dapat diberikan kembali setelah
perbaikan. Protein dapat ditingakatkan secara bertahap, misalnya dari 10
gram menjadi 20 gram sehari selama 3-5 hari disesuaikan dengan respon
klinis, dan bila keadaan stabil dapat diberikan protein 40-60 gram sehari. 9
Pemberian asam amino rantai cabang diharapkan akan menormalkan
keseimbangan asam amino sehingga neurotransmitter asli dan palsu akan
berimbang dan kemungkinan dapat meningkatkan metabolism ammonia di
otot. 9
Tujuan pemberian asam amino rantai cabang adalah :
a. Untuk mendapatkan energi tanpa memperberat fungsi hati
b. Pemberian asam amino rantai cabang akan mengurangi asam amino
aromatic dalam darah
c. Asam amino rantai cabang akan memperbaiki sintesis katekolamin
pada jaringan perifer
d. Pemberian asam amino rantai cabang dengan dekstrosa hipertonik
akan mengurangi hiperaminosidemia9

Laktulosa merupakan suatu disakarida sintesis yang tidak diabsorbsi oleh


usus halus tetapi dihidrolisis oleh bakteri usus besar sehingga pH menjadi
asam yang akan menghambat penyerapa amoniak. Selain itu frekuensi
defekasi bertambah sehingga memperpendek waktu transit protein di usus.
Dapat diberikan secara oral dengan dosis 60-120 perhari. 9

11
Neomisin dapat diberikan 2-4 gram sehari baik secara oral maupun enema
(jika terdapat tanda ileus). Metronidazol 4 x 250 mg perhari merupakan
alternatif. 9
Upaya membersihkan saluran cerna bagian bawah dilakukan apabila
terjadi pendarahan saluran cerna agar darah sebagai sumber toksin nitrogen
segera dikeluarkan. 9
Tindakan operatif dapat dilakukan untuk mengurangi portosystemic
shunts. Tindakan ini memiliki resiko perdarahan akibat peningkatan tekanan
portal setelah tindakan operatif ini dilakukan. Tindakan invasif lain yang bisa
dilakukan adalah embolisasi terhadap arteri splenikus dan kolektomi total.
Tindakan tersebut hanya dilakukan pada ensefalopati hepatikum kronik yang
resistant dengan tindakan lain. Tindakan invasif yang paling radikal adalah
transplantasi hati. Pada tindakan ini, evaluasi terhadap periode dan jenis
ensefalopati perlu dilakukan secara kritis. Transplantasi hati pada pasien
dengan perjalanan penyakit yang kronis dapat hanya memberikan sedikit
perbaikan dan bahkan tidak memberikan perbaikan sama sekali.8

II.6. Prognosis
Pada koma hepatik portosistemik sekunder, bila faktor-faktor pencetus
teratasi, maka dengan pengobatan standar hamper 80% pasien akan kembali
sadar. Pada pasien dengan koma hepatik primer dan penyakit berat prognosis
akan lebih buruk bila disertai hipoalbuminemia, ikterus, serta asites. Sementara
koma hepatic akibat gagal hati fulminan kemungkinan hanya 20% yang dapat
sadar kembali setelah dirawat pada pusat-pusat kesehatan yang maju. 9

12
BAB III

KESIMPULAN

III.1. KESIMPULAN
Koma hepatikum merupakan suatu komplikasi yang ditimbulkan oleh
ensefalopati hepatikum. Ensefalopati hepatikum sendiri dapat disebabkan oleh
hiperamonemia akibat penyakit hati,baik yang bersifat akut maupun kronis.
Keduanya memberikan gambaran klinis yang bervariasi dan luas. Pada gagal
hati akut, biasanya gejala yang ditimbulkan merupakan dampak dari edema
serebri akibat hiperamonemia. Sedangkan gejala yang ditimbulkan pada
gangguan hati kronis biasanya disebabkan karena adanya faktor-faktor
pencetus. Diagnosis dan tatalaksana sedini mungkin dapat memperbaiki
prognosis dari ensefalopati hepatikum. Untuk itu, anamnesis dan pemeriksaan

13
fisik secara komprehensif merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.
2,9

Tatalaksana dari ensefalopati hepatikum, baik pada penyakit hati kronis


maupun akut, memiliki tujuan sebagai berikut : (1)mengobati penyakit dasar
hati, (2) mengidentifikasikan dan menghilangkan faktor-faktor pencetus, (3)
mengurangi pembentukan influks toksin nitrogen ke jaringan otak, serta (4)
mengatasi komplikasi yang mungkin ditemui.9

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Bleibel W, Al-Osaimi A. Hepatic enchepalopathy. Saudi J


Gastroenterol 2012;18:301-9. =
2. Dorland WAN. Kamus kedokteran Dorland. 29th ed.
Jakarta:EGC;2002 .=
3. Forsberg S, Hojer J, Ludwigs U, Nyström H. Metabolic vs structural
coma in the ED-an observational study. Am J Emerg Med
2012;30:1986-90. =
4. Hadi, Sujono. Gastroenterologi. Penerbit Alumni. 2002;450-452
5. Hassanein T, Hilsabeck P, Perry W. Introduction to the hepatic
enchepalopathy scoring algorithm (HESA). Dig Dis Sci
2008;53:529-38. =
6. Mas, Antoni. Hepatic encephalopathy: from pathophysiology to
treatment. Digestion 2006;73:86-93
7. Ropper AH, Brown RH. Adam and Victor’s principle neurology.
United States of America: McGraw-Hill;2005. =
8. Shawcross D, Jalan R. The pathophysiologic basis of hepatic
encephalopathy: central role for amonia and inflamation. Life Sci
2006;62:2295-304.
9. Zubir, Nasrul. Koma hepatik. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.V.Jakarta : InternaPublishing;2009:677-680

15

Anda mungkin juga menyukai