LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. IM
No. Rekam Medis : 153224
Jenis kelamin : Perempuan.
Usia : 59 tahun.
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status Marital : Menikah
Agama : Islam.
Alamat : Kp. Solear, Tangerang
Tanggal Masuk RS : 22 April 2018.
Tanggal Pemeriksaan : 22 April 2018
ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis kepada pasien dan alloanamnesis kepada anak pasien di
IGD RSUD Balaraja pada hari Kamis, 22 April 2018 jam 23.30 WIB.
1. Keluhan utama : mimisan sejak jam ± 30 menit sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
6. Riwayat Pengobatan:
Sehari-hari pasien kontrol kesehatan di puskesmas namun tidak teratur minum obat.
Pasien langsung dibawa ke IGD RSUD Balaraja saat keluhan muncul.
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan di ruang IGD RSUD Balaraja ( 10.00 WIB).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Radiologi (18/3/2018)
Saran pemeriksaan tambahan:
- EKG
- Hematologi (Hb, Ht, Eritrosit, Leukosit, Trombosit) dan kimia darah (Ureum,
Kreatinin)
DAFTAR MASALAH
o Dispnoe.
o Takipnoe (32 x/m)
o Hipertensi (190/120 mmHg)
o Ronki +/+, Wheezing +/+.
o Rontgen : cardiomegali.
DIAGNOSIS
- Asma eksaserbasi akut derajat sedang.
- Hipertensi urgency.
DIAGNOSIS BANDING
o Hipertensi emergency dengan target organ jantung-paru suspect Acute Lung
Oedema (ALO)
o Acute Kidney Injury (AKI) dd/ Chronic Kidney Disease (CKD)
o Community Acquired Pneumonia (CAP)
TERAPI
O2 nasal kanul 4 lpm → SpO2 naik menjadi 98%.
Nebulasi combivent® (Ipratropium bromida dan salbutamol sulfat) 1 + flixotide
nebule (fluticasone propionate) 1. → dilakukan 2x nebulasi, hasil : sesak (-), ronki
(↓), wheezing (-).
PO Amlodipin 10 mg (1x) → TD 12.20 : 140/90 mmHg.
Rawat jalan, kontrol poli paru dan IPD
Obat pulang : PO Salbutamol 3 x 2 mg
PO Methylprednisolon 3 x 4 mg
PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri-ciri klinis
yang dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang sering disertai
batuk. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama
fisiologis adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara
pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan adalah inflamasi saluran napas
yang kadang disertai dengan perubahan struktur saluran napas.(1,2)
Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, mengingat
patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit inflamasi
kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai
rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk, sesak napas, mengi dan rasa
berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari, yang umumnya bersifat reversibel
baik dengan atau tanpa pengobatan. (1)
II. PATOSIFIOLOGI
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen,
virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui
2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi
IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase
lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah
antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi,
antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang
berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen,
terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan
dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi
mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah
histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan
efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran
napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit
setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator
sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase
lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam,
bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T,
sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis
asma. (1)
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast
dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen
masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi
tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi,inhalasi udara dingin, asap, kabut
dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen
vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi
lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.(1)
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus
tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya
hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus
tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin,inhalasi antigen,
maupun inhalasi zat nonspesifik.(1)
Gambar 1. Inflamasi dan remodeling pada asma.(3)
Gambar 2. Mekanisme inflamasi akut dan kronik pada asma dan proses remodeling.(3)
Gambar 3. Hubungan antara inflamasi akut, inflamasi kronik dan airway remodeling dengan
gejala klinis.(3)
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor)
dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang
mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi),
hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu
dengan kecenderungan / predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan
terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam
faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara,
infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi faktor
genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan pajanan lingkungan
hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik asma, baik lingkungan
maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit asma.(3)
Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa derajat berat
asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derajat gejala eksaserbasi atau serangan
asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya.(1,2)
Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat bersifat fatal atau
mengancam jiwa. Seringnya serangan asma menunjukkan penanganan asma sehari-
hari yang kurang tepat. Dengan kata lain penanganan asma ditekankan kepada
penanganan jangka panjang, dengan tetap memperhatikan serangan asma akut atau
perburukan gejala dengan memberikan pengobatan yang tepat.
Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan serangan akut.
Langkah berikutnya adalah memberikan pengobatan tepat, selanjutnya menilai
respons pengobatan, dan berikutnya memahami tindakan apa yang sebaiknya
dilakukan pada penderita (pulang, observasi, rawat inap, intubasi, membutuhkan
ventilator, ICU, dan lain-lain). Langkah-langkah tersebut mutlak dilakukan,
sayangnya seringkali yang dicermati hanyalah bagian pengobatan tanpa memahami
kapan dan bagaimana sebenarnya penanganan serangan asma.
V. DIAGNOSIS ASMA
Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung
ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi),
dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit
akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena
masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga
(riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam
rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui
adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain
beludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakahsesak dengan bau bauan seperti
parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok di
rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin
atau steroid. (1)
Pemeriksaan Klinis
Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah mengi pada
auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada
pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan
serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat
saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih
besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan
dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan
ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi
dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai
gejala lain misalnya sianosis, gelisah, nafas cepat, sukar berbicara dan bernafas, takikardi,
hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas. (3)
Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometer.
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP)
dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar. Pemeriksaan
itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi
operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat,
diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan
napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.(3)
• Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80%
nilai prediksi.
• Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 ≥ 15% secara spontan, atau setelah inhalasi
hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih
sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif sangat
murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat
layanan kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter
relatif mudah digunakan/dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya
digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver
pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi
yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma:
o Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi
kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu).
o Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian
selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat penyakit
(lihat klasifikasi).
3. X-ray dada/thorax.
Dewasa Anak
• Penyakit Paru Obstruksi Kronik • Benda asing di saluran napas
• Bronkitis kronik • Laringotrakeomalasia
• Gagal Jantung Kongestif • Pembesaran kelenjar limfe
• Batuk kronik akibat lain-lain • Tumor
• Disfungsi larings • Stenosis trakea
• Obstruksi mekanis (misal tumor) • Bronkiolitis
• Emboli Paru
VII. PENATALAKSANAAN
Glukokortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai
penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru,
menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat
serangan dan memperbaiki kualiti hidup (bukti A). Steroid inhalasi adalah pilihan bagi
pengobatan asma persisten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik
dan aman pada dosis yang direkomendasikan.
Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah dibandingkan
agonis β -2 kerja singkat. Aminofillin kerja singkat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi
gejala walau disadari onsetnya lebih lama daripada agonis β-2 kerja singkat. Teofilin kerja
singkat tidak menambah efek bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi
mempunyai manfaat untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernapasan dan
mempertahankan respons terhadap agonis beta-2 kerja singkat di antara pemberian satu
dengan berikutnya. Teofilin berpotensi menimbulkan efek samping sebagaimana
metilsantin, tetapi dapat dicegah dengan dosis yang sesuai dan dilakukan pemantauan.
Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak diberikan pada penderita yang sedang dalam terapi
teofilin lepas lambat kecuali diketahui dan dipantau ketat kadar teofilin dalam serum .
Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan asetilkolin
dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan
tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang
disebabkan iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-2 kerja singkat, onsetnya
lama dan dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak mempengaruhi
reaksi alergi tipe cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak berpengaruh terhadap inflamasi.
Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide. Analisis
meta penelitian menunjukkan ipratropium bromide mempunyai efek meningkatkan
bronkodilatasi agonis β-2 kerja singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan
menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara bermakna. Oleh karena disarankan
menggunakan kombinasi inhalasi antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja singkat sebagai
bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau pada serangan asma yang kurang
respons dengan agonis beta-2 saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Tidak
bermanfaat diberikan jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega pada penderita
yang menunjukkan efek samping dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi seperti
takikardia, aritmia dan tremor. Efek samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit.
Tidak ada bukti mengenai efeknya pada sekresi mukus.
Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak tersedia agonis
β-2, atau tidak respons dengan agonis β 2 kerja singkat. Pemberian secara subkutan harus
dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular.
Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan ketat
(bedside monitoring).
1. Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Maj Kedokt Indon. 2008;
58(11): 444-51.
2. GINA 2016. Pocket Guide for Asthma Management and Prevention. Global Initiative
for Asthma (GINA). 2016; 5-25.
3. PDPI 2003. Asma : Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003; 4-60.
4. Holgate ST. The Bronchial Epithelial Origins of Asthma. In: Robinson DS (ed).
Immunological Mechanisms in Asthma and Allergic Disease. Karger, Basel,
Switzerland, 2000; 62-71.
5. Gotzsche CP. House Dust Mite Control Measures For Asthma: Systematic Review.
In: European Journal of Allergy and Chronic Urticaria.(63): 646.
6. Eapen SS, Busse WW. Asthma in Inflammatory Mechanisms in Allergic Diseases. In:
Zweiman B, Schwartz LB.editors.USA: Marcel Dekker. 2002; .p.325-54.