Oleh:
KELOMPOK 2:
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
TINJAUAN PUSTAKA
B. Epidemiologi
Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA di beberapa
provinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga
provinsi tersebut tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi.
Tanah papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas. Dengan total populasi 240
juta, kita memiliki prevalensi HIV 0,24 persen dengan estimasi ODHA 186.000 pada
tahun 2009 dengan HIV positip. 1,2 Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV &
AIDS di Indonesia sampai dengan September 2011 tercatat jumlah ODHA yang
mendapatkan terapi ARV sebanyak 22.843 dari 33 provinsi dan 300 kab/kota,
dengan rasio laki-laki dan perempuan 3 : 1, dan persentase tertinggi pada kelompok
usia 20-29 tahun.1 Data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2013), dari
tahun 2003 s/d akhir maret 2013 terdapat 6.824 kasus HIV terdiri dari 4.920 laki-laki
dan 1.748 perempuan.
C. Struktur HIV
Struktur HIV terdiri dari atas 2 untaian RNA yang identik yang merupakan genom
virus yang berhubungan dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida. Semua
komponen tersebut diselubungi envelop membrane fosfolipid yang berasal dari sel
pejamu. Protein gp120 dan gp41 yang disandi virus ditemukan dalam envelop
Gambar 1.
F. Penyebab AIDS
1. Kondisi malnutrisi yang menyebabkan kekurangan atau kerusakan sistem imun.
2. Penggunaan obat-obat kemoterapi (sitostatik) nonselektif.
3. Penggunaan obat-obat imunosupresan yang menekan imunitas sehingga defisiensi
sel imun
4. Infeksi HIV karena berbagai faktor penularan.
AIDS tidak menular jika:
1. Bersentuhan, bersalaman dan berpelukan dengan penderita AIDS.
2. Menggunakan peralatn makan bersama-sama dengan penderita AIDS.
3. Terkena keringat, air mata penderita AIDS.
4. Berenang bersama-sama dengan penderita AIDS.
G. Diagnosis HIV
WHO menetapkan kriteria diagnosis AIDS sebagai berikut:
1. Dewasa
a. Gejala mayor
Terjadi penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan perbulan, diare
kronis lebih dari 1 bulan dan demam lebih dari 1 bulan.
b. Gejala minor
Batuk selama lebih dari 1 bulan, pruritus dermatitis menyeluruh, infeksi umum
yang rekuren, misalnya herpes zoster, kandidiasis orofaringeal, infeksi herpes
simpleks kronik progesif atau yang meluas, dan limfadenopati generalisata.
2. Anak-anak
a. Gejala mayor
Terjadi penurunan berat badan atau pertumbuhan lambat yang abnormal, diare
kronis lebih dari 1 bulan dan demam lebih dari 1 bulan.
b. Gejala minor
Batuk selama lebih dari 1 bulan, ruam kulit yang menyeluruh, infeksi umum
yang rekuren, kandidiasis orofaringeal dan limfadenopati generalisata.
H. Manajemen Terapi AIDS
1. Tes laboratorium
a. Testing HIV
Diagnosis infeksi HIV biasanya dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan
menunjukkan adanya antibodi spesifik. Pemeriksaan adanya antibodi spesifik
dapat dilakukan dengan Rpit Test, Enzyme Linked Sorbent Assay (ELISA) dan
Western Blot. Sesuai dengan pedoman nasional, diagnosis HIV dapat
ditegakkan dengan 3 jenis pemeriksaan Rapit test yang berbeda atau 2 jenis
pemeriksaan Rapid test yang berbeda dan 1 pemeriksaan ELISA.
2. Obat Antiretroviral
Terdapat 3 golongan, yaitu:
a. Penghambat masuknya virus (Fusion inhibitor)
b. Penghambat reverse transcriptase enzyme (RTI)
c. Penghambat enzim protease (PI)
3. Kombinasi RTI + PI
I. Kriteria Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah seseorang
terinfeksi HIV sangat penting, karena pada infeksi HIV gejala klinisnya dapat baru
terlihat setelah bertahun-tahun lamanya.
Tabel 1. Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV
Keadaan Umum
Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar
Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral >37,5 oC) yang lebih dari
satu bulan
Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu
Limfadenopati meluas
Kulit
Papular Pruritic Eruptions (PPE) dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat
infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan
psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV
Infeksi
Infeksi jamur Kandidosis oral *
Dermatitis seboroik
Kandidosis vagina kambuhan
Infeksi virus Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari satu
dermatom)
Herpes genital (kambuhan)
Moluskum kontagiosum
Kondiloma
Gangguan pernapasan Batuk lebih dari satu bulan
Sesak napas
TB
Pneumonia kambuhan
Sinusitis kronis atau berulang
Gangguan neurologis Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan
tidak jelas penyebabnya)
Kejang demam
Menurunnya fungsi kognitif
*Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV
Stadium 1
a) Asimptomatik
b) Limfadenopati meluas persisten
Stadium 2
a) Berat badan menurun yang sebabnya tidak dapat dijelaskan
b) Infeksi saluran napas berulang (sinusitis, tonsilitis, bronkitis, otitis media, faringitis)
c) Herpes zoster
d) Cheilits angularis
e) Ulkus mulut berulang
f) Pruritic papular eruption (PPE)
g) Dermatitis seboroika
h) Infeksi jamur kuku
Stadium 3
a) Berat badan menurun yang tidak dapat dijelaskan sebabnya ( > 10%)
b) Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan sebabnya lebih dari 1 bulan
c) Demam yang tidak diketahui sebabnya (intermiten maupun tetap selama ebih dari 1
bulan)
d) Kandidiasis oral persisten
e) Oral hairy leukoplakia
f) Tuberkulosis (TB) paru
g) Infeksi bakteri yang berat (empiema, piomiositis, infeksi tulang atau sendi,
meningitis, bakteriemi selain pneumonia)
h) Stomatitis, gingivitis atau periodontitis ulseratif nekrotikans yang akut
i) Anemia (Hb < 8 g/dL), netropeni (< 500/mm3), dan/atau trombositopeni kronis
(<50.000/mm3) yang tak dapat diterangkan sebabnya
Stadium 4
a) HIV wasting syndrome (berat badan j) Ensefalopati HIV
berkurang >10% dari BB semula, k) Kriptokokus ekstra paru termasuk
disertai salah satu dari diare kronik meningitis
tanpa penyebab yang jelas (>1 l) Infeksi mikobakterium non-tuberkulosis
bulan) ataukelemahan kronik dan yang luas (diseminata)
demam berkepanjangan tanpa m) Progressive multifocal
penyebab yang jelas). leucoencephalopathy
b) Pneumonia pneumocystis n) Kriptosporidiosis kronis
c) Pneumonia bakteri berat yang o) Isosporiosis kronis
berulang p) Mikosis diseminata (histoplasmosis,
d) Infeksi herpes simpleks kronis koksidioidomikosis, penisiliosis ekstra
(orolabial, anorektal atau genital paru)
lebih dari sebulan atau viseral q) Septikemi berulang (termasuk salmonella
dimanapun) non-tifoid)
e) Kandidiasis esofagus (atau di trakea, r) Limfoma (otak atau non-Hodgkin sel B)
bronkus atau paru) s) Karsinoma serviks invasif
f) Tuberkulosis ekstra paru t) Leishmaniasis diseminata atipikal
g) Sarkoma Kaposi
h) Infeksi Cytomegalovirus (retinistis
atau infeksi organ lain)
i) Toksoplasmosis susunan saraf pusat
Sesuai dengan unsur tersebut maka perlu terus diupayakan untuk meningkatkan
akses pada perangkat pemantau kemajuan terapi, seperti pemeriksaan CD4 dan tes
viral load. Komponen layanan tersebut harus disesuaikan dengan ketersediaan
sumber daya setempat. Semakin dini ODHA terjangkau di layanan kesehatan untuk
akses ARV, maka semakin kurang risiko untuk mendapatkan penyakit infeksi
oportunistik maupun menularkan infeksi HIV.
Gambar 5. Bagan alur layanan HIV
K. Pengobatan HIV AIDS
1. Penghambat masuknya virus (Fusion Inhibitor)
Bekerja dengan cara berikatan dengan sub unit GP41 selubung glikoprotein virus
sehingga fusi virus ke target sel dihambat. Satu-satunya obat penghambat fusi ini adalah
enfuvirtid
Struktur nukleosida
Disebut dengan analog nukleosida. Nukleosida merupakan inti DNA yang terdiri dari
dari basa purin/pirimidin yang terikat dengan gula ribosa, tanpa gugus fosfat. Obat
golongan ini bekerja dengan menghambat reverse transcriptase untuk pembentukan
DNA virus menjadi RNA
Inti nukleotida =
mengandung gugus
fosfat
Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV sama dengan NRTI
tetapi hanya memerlukan 2 tahapan proses fosforilasi.
Contoh: Tenofovir
- Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada
dalam dosis terapetik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan
obat.
- Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses
pelayanan ARV
- Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan
manajemen logistik
N. Infeksi Oportunistik
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang disebabkan oleh oragnisme yang biasanya
tidak menyebabkan penyakit pada orang yang biasanya tidak menyebabkan penyakit
pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang normal, tetapi dapat menyerang
orang dengan sistem kekebalan tubuh yang buruk.
PEMBAHASAN
4. ODHA hamil dengan jumlah CD4 < Segera Mulai Terapi ARV
350/mm3 atau dalam stadium klinis 2, 3
Atau 4
5. ODHA hamil dengan Tuberkulosis aktif OAT yang sesuai tetap
diberikan
Paduan untuk ibu, bila
pengobatan
mulai trimester II dan III:
AZT (TDF) + 3TC + EFV
6. Ibu hamil dalam masa persalinan dan Tawarkan tes dalam masa
tidak diketahui status HIV persalinan; atau tes setelah
persalinan.
Jika hasil tes reaktif maka dapat
diberikan paduan pada butir 1
7. ODHA datang pada masa persalinan dan Paduan pada butir 1
belum mendapat Terapi ARV
B. Penanya: Nora
Bagaimana terapi HIV pada ibu hamil? Apa yang harus diperhatikan untuk
mencegah penularan dari ibu ke anak?
Jawab:
Terapi ARV untuk ibu hamil Terapi antiretroviral/ARV/HAART (Highly Active
Antiretroviral Therapy) dalam program PMTCT (Prevention Mother to Child
Transmission – PPIA = Pencegahan Penularan Ibu ke Anak) adalah penggunaan
obat antiretroviral jangka panjang (seumur hidup) untuk mengobati perempuan
hamil HIV positif dan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.
E. Penanya: Novita
Sampai kapan terapi HIV dilakukan? Apakah sampai CD4 normal atau sepanjang
hidup pasien? Kemudian bagaimana peran apoteker untuk meningkatkan kepatuhan
pasien pada pengobatan HIV terutama pasien HIV dengan ko-infeksi tuberkolosis
(TB)?
Jawab:
Terapi HIV harus dilakukan sepanjang hidup pasien karena virus HIV akan terus
merusak sel CD4 dan menyerang imunitas tubuh pasien sepanjang hidup pasien.
Peran apoteker untuk meningkatkan kepatuhan pasien pada pasien HIV dengan ko-
infeksi TB adalah dengan cara monitoring terapi yang meliputi monitoring kepatuhan
serta melakukan edukasi pada pasien dan keluarganya mengenai pentingnya
kepatuhan pasien selama menjalani terapi. Monitoring terapi dapat dilakukan
apoteker secara periodik setelah mulai terapi TB dan antiretroviral. Monitoring ini
dilakukan dengan cara menghitung jumlah obat yang tersisa saat pasien mengambil
obat kembali, membuat kartu monitoring, memberikan perhatian khusus pada pasien
karena mengalami ko-infeksi TB yang dapat menyebabkan pasien merasa bosan
mengkonsumsi obat. Apoteker juga dapat memberikan dukungan pada pasien selama
menjalani terapi serta melakukan edukasi pada pasien dan keluarganya mengenai
pentingnya kepatuhan pasien selama menjalani terapi.
KESIMPULAN
1. Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
HIV. Pada umumnya AIDS disebabkan oleh HIV-1, dan beberapa kasus seperti di
Afrika Tengah disebabkan oleh HIV-2.
2. Penyakit HIV AIDS dapat disebabkan oleh hubungan seksual, penggunaan jarum
yang terkontaminasi, transfusi darah, bayi yang dilahirkan dari ibu dengan penyakit
ini.
3. Manajemen terapi HIV AIDS yaitu tes laboratorium, obat antiretroviral, dan
kombinasi RTI + PI
4. Orang yang tidak terinfeksi HIV dapat mengalami infeksi opurtunistik jika sistem
kekebalannya rusak.
DAFTAR PUSTAKA