Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH FARMAKOTERAPI TERAPAN

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) /


ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME (AIDS)

Oleh:

KELOMPOK 2:

1. Firda Fauziah (2016000054)

2. Gia Sunsa Lestari (2016000055)

3. Gita Wijiyanti (2016000056)

4. Gloria Agita Syauta (2016000057)

5. Hanan Astuty (2016000058)

6. Hani Afifah (2016000059)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PANCASILA

2016
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah Human Immunodeficiency Virus/ Acquired Immunodeficiency


Syndrome (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan global yang menjadi
perbincangan masyarakat di seluruh dunia dewasa ini. Pandemi HIV juga
dikatakan sebagai permasalahan kesehatan masyarakat yang paling menarik
pasca Perang Dunia II, di mana setelah berakhirnya Perang Dunia II kasus
penyakit infeksi mulai berkurang. Data dari UNAIDS (Joint United Nations
Programme on HIV and AIDS) menyebutkan bahwa sekitar 5 juta orang baru
terinfeksi HIV selama tahun 2001 dan sekitar 3 juta meninggal karena AIDS di
seluruh dunia. Sementara itu, epidemi HIV/AIDS di Asia sendiri menunjukkan
keanekaragaman yang tinggi, baik dari tingkat keparahan maupun lama
terinfeksi. Epidemi HIV/AIDS di Asia masih jauh dari kata selesai; bahkan
Indonesia, China, dan Vietnam memiliki kenaikan jumlah infeksi. Di Indonesia,
pengamatan terhadap HIV baru di mulai tahun 1988 dengan dua daerah
pengamatan, yaitu Jakarta dan Surabaya. Pada tahun 1989, Bali dan Yogyakarta
juga menjadi daerah pengamatan, kemudian daerah pengamatan HIV di
Indonesia semakin diperluas. Dari data yang diperoleh hingga tahun 2001,
diketahui bahwa dari tahun 1987 hingga 2000, ditemukan 5.056 kasus AIDS di
Indonesia, dan 3.856 orang meninggal akibat AIDS di Indonesia. Data terbaru
dari Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI
menunjukkan jumlah penderita HIV positif sebanyak 10.210 penderita dan
penderita AIDS sebanyak 780 penderita. Sedangkan jumlah penderita HIV dan
AIDS secara kumulatif sejak 1 April 1987 sampai 30 Juni 2013 yaitu 108.600
penderita HIV positif, 43.667 penderita AIDS dan 8.340 kematian. Dari jumlah
kumulatif sejak 1 April 1987 hingga 30 Juni 2013, D.I Yogyakarta menempati
urutan 14 dari 33 propinsi yang tercatat, dengan jumlah penderita HIV sebanyak
1.693 dan penderita AIDS sebanyak 782. Sedangkan dari data Prevalensi Kasus
AIDS per 100.000 Penduduk dari Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, D. I
Yogyakarta menempati urutan ke 7 dari 33 propinsi dengan prevalensi kasus
sebesar 26,42. Sampai saat ini, belum ditemukan obat yang dapat
menyembuhkan infeksi HIV. Obat yang tersedia untuk penderita HIV/AIDS
hingga saat ini adalah Anti Retroviral (ARV) yang berfungsi mengurangi viral
load atau jumlah virus dalam tubuh penderita. Pengobatan ARV terbukti
berperan dalam pencegahan penularan HIV, karena obat ARV memiliki
mekanisme kerja mencegah replikasi virus yang secara bertahap menurunkan
jumlah virus dalam darah. Dengan rendahnya jumlah virus, diharapkan dapat
tetap mempertahankan imunitas dari penderita. Menurut pedoman WHO,
penderita HIV/AIDS dapat memulai terapi ARV atau Anti Retroviral Teraphy
(ART) sebelum jumlah CD4 di bawah 350. Terapi dengan obat ARV terdiri dari
gabungan beberapa golongan obat ARV, dan biasanya terdiri dari tiga obat atau
biasa disebut triple therapy, atau 3 sering disebut pula sebagai Highly Active
Antiretroviral Therapy (HAART). Di Indonesia sendiri, obat ARV bisa
didapatkan secara gratis sejak tahun 2006, dan dapat diakses di 25.384 pemberi
layanan HIV. Terapi HIV/AIDS dengan ARV dibedakan menjadi 2 bagian,
yaitu lini pertama dan lini kedua. Terapi ARV lini pertama merupakan terapi
ARV yang diberikan kepada pasien HIV/AIDS untuk pertama kalinya ketika
jumlah CD4 kurang dari 350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya.
Sementara terapi ARV lini kedua merupakan terapi ARV yang dilakukan apabila
terjadi gagal terapi pada penggunaan kombinasi obat ARV lini pertama. Terapi
ARV harus dijalani seumur hidup oleh pasien HIV/AIDS untuk tetap
mempertahankan imunitas pasien. Oleh karena itu penggunaan ARV
memerlukan kepatuhan yang tinggi untuk mencapai keberhasilan terapi dan
mencegah resistensi (Bachmann, 2006). Penggunaan obat ARV yang dilakukan
dalam jangka waktu sangat panjang, bahkan seumur hidup, serta masih
terdapatnya stigma negatif terhadap pasien HIV/AIDS memberikan tanggung
jawab pemberi layanan kesehatan untuk memberikan fasilitas lain yang
mendukung pengobatan pasien HIV/AIDS sendiri, terutama dalam monitoring
kepatuhan pasien dalam menggunakan obat. Sejalan dengan hal tersebut,
penelitian ini akan dilakukan dengan metode kualitatif dengan tujuan untuk
mengetahui kepatuhan pasien HIV/AIDS yang menjalani terapi ARV lini
pertama di DIY dan menganalisis faktor yang menjadi penghambat dan
pendukung perilaku kepatuhan pada pasien tersebut sehingga 4 dapat menjadi
acuan pemberi pelayanan kesehatan dalam mendorong kepatuhan pasien
HIV/AIDS untuk rutin menggunakan obat ARV.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Acquired Immune Deficiency Syndrome


Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
HIV. Pada umumnya AIDS disebabkan oleh HIV-1, dan beberapa kasus seperti di
Afrika Tengah disebabkan oleh HIV-2. Transmisi virus terjadi melalui cairan tubuh
yang terinfeksi seperti hubungan seksual, homoseksual, penggunaan jarum yang
terkontaminasi, transfuse darah atau produk darah seperti hemofili dan bayi yang
dilahirkan ibu dengan penyakit ini. Infeksi HIV yang merupakan sebab defisiensi
imun sekunder terpenting, telah menginfeksi lebih dari 40 juta orang di seluruh
dunia.
HIV adalah virus retro yang menginfeksi sistem imun treutama sel CD4+ sel T
yang memiliki reseptor dengan afinitas tinggi untuk HIV.

B. Epidemiologi
Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA di beberapa
provinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga
provinsi tersebut tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi.
Tanah papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas. Dengan total populasi 240
juta, kita memiliki prevalensi HIV 0,24 persen dengan estimasi ODHA 186.000 pada
tahun 2009 dengan HIV positip. 1,2 Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV &
AIDS di Indonesia sampai dengan September 2011 tercatat jumlah ODHA yang
mendapatkan terapi ARV sebanyak 22.843 dari 33 provinsi dan 300 kab/kota,
dengan rasio laki-laki dan perempuan 3 : 1, dan persentase tertinggi pada kelompok
usia 20-29 tahun.1 Data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara (2013), dari
tahun 2003 s/d akhir maret 2013 terdapat 6.824 kasus HIV terdiri dari 4.920 laki-laki
dan 1.748 perempuan.
C. Struktur HIV
Struktur HIV terdiri dari atas 2 untaian RNA yang identik yang merupakan genom
virus yang berhubungan dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida. Semua
komponen tersebut diselubungi envelop membrane fosfolipid yang berasal dari sel
pejamu. Protein gp120 dan gp41 yang disandi virus ditemukan dalam envelop
Gambar 1.

Gambar 1. Struktur virus HIV

RNA-directed DNA polymerase (reverse transcriptase) adalah polymerase DNA


dalam retrovirus seperti HIV dan virus Sarkoma Rouse yang dapat digunakan RNA
template untuk memproduksi hybrid DNA. Tansverse transcriptase diperlukan
dalam teknik rekombinan DNA yang diperlukan dalam sintesis first strand cDNA.
Antigen p24 adalah core antien virus HIV, yang merupakan petanda terdini
adanya infeksi HIV, ditemukan beberapa hari seminggu sebelum terjadi
serokonversi sintesis antibody terhadap HIV.
Antigen gp120 adalah glikoprotein permukaan HIV yang mengikat reseptor
CD4+ pada sel T dan makrofag. Usaha sintesis reseptor CD4+ ini telah digunakan
untuk mencegah antigen gp120 menginfeksi sel CD4+. Gen envelop sering
bermutasi.
Protein envelop adalah produk yang menyandi gp120, digunakan dalam usaha
memproduksi antibodi yang efektif dan produktif oleh pejamu.

D. Siklus hidup HIV


Siklus hidup HIV berawal dari infeksi sel, produksi DNA virus dan integrasi ke
dalam genom, ekspresi gen virus dan produksi partikel virus. Virus menginfeksi sel
dengan menggunakan glikoprotein envelop yang disebut gp120 (120kD
glikoprotein) yang terutama mengikat sel CD4+ dan reseptor kemokin (CXCR4 dan
CCR5) dari sel manusia. Oleh karena itu virus hanya dapat menginfeksi dengan
efisien sel CD4+. Makrofag dan sel dendritik juga dapat diinfeksinya.
Setelah virus berikatan dengan reseptor sel, membrane virus bersatu dengan
membran sel pejamu dan virus masuk ke dalam sitoplasma. Disini envelop virus
dilepas oleh protease virus dan RNA menjadi bebas. Kopi DNA dari RNA virus
disintesis oleh enzim transcriptase dan kopi DNA bersatu dengan DNA pejamu.
DNA yang terintegrasi disebut provirus. Provirus dapat diaktifkan, sehingga
diproduksi RNA dan protein virus. Sekarang virus mampu membentuk struktur inti,
bermigrasi ke membran sel, memperoleh envelop lipid dari sel pejamu, dilepaas
berupa partikel virus yang daapat menular dan siap menginfeksi sel lain. Integrasi
provirus dapat tetap laten dalam sel terinfeksi untuk berbulan-bulan atau tahun
sehingga tersembunyi dari sistem imun pejamu, bahkan dari terapi antivirus.
E. Patogenesis AIDS
Virus masuk tubuh dengan menginfeksi selhidup
Gambar 2. Siklus Langerhans
HIV di mukosa rectum atau
mukosa vagina yang kemudian bergerak dan bereplikasi di kelenjar getah bening
setempat. Virus kemudian disebarkan melalui viremia yang disertai dengan sindrom
dini akut berupa panas, mialgian, dan antralgia. Pejamu memberikan respon
terhadap infeksi virus umumnya. Virus menginfeksi sel CD4+, makrofag, dan sel
dendritic dalam darah dan organ limfoid.
Antigen virus nukleokapsid, p24 dapat ditemukan dalam darah selama fase ini.
Fase ini kemudian dikontrol sel T CD8+ dan antibody dalamm sirkulasi terhadap p42
dan protein envelop gp120 dan gp41. Efikasi sel Tc dalam mengontrol virus terlihat
dari menurunnya kadar virus. Respon imun tersebut menghancurkan HIV dalam
kelenjar getah bening yang merupakan reservoir utama HIV selama fase selanjutnya
dan fase laten.
Gambar 3. Siklus hidup HIV
Dalam folikel limfoid, virus terkonsentrasi dalam bentuk kompleks imun yang
diikat SD. Meskipun hanya kadar rendah virus diproduksi dalam fase laten, destruksi
sel CD4+ berjalan terus dalam kelenjar limfoid. Akhirnya jumlah sel CD4+ dalam
sirkulasi menurun. Hal itu dapat memerlukan beberapa tahun. Kemudian menyusul
fase progresif kronis dan penderita menjadi rentan terhadap berbagai infeksi oleh
kuman nonpatogenik.
Gambar 4. Patogenesis AIDS

F. Penyebab AIDS
1. Kondisi malnutrisi yang menyebabkan kekurangan atau kerusakan sistem imun.
2. Penggunaan obat-obat kemoterapi (sitostatik) nonselektif.
3. Penggunaan obat-obat imunosupresan yang menekan imunitas sehingga defisiensi
sel imun
4. Infeksi HIV karena berbagai faktor penularan.
AIDS tidak menular jika:
1. Bersentuhan, bersalaman dan berpelukan dengan penderita AIDS.
2. Menggunakan peralatn makan bersama-sama dengan penderita AIDS.
3. Terkena keringat, air mata penderita AIDS.
4. Berenang bersama-sama dengan penderita AIDS.

G. Diagnosis HIV
WHO menetapkan kriteria diagnosis AIDS sebagai berikut:
1. Dewasa
a. Gejala mayor
Terjadi penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan perbulan, diare
kronis lebih dari 1 bulan dan demam lebih dari 1 bulan.

b. Gejala minor
Batuk selama lebih dari 1 bulan, pruritus dermatitis menyeluruh, infeksi umum
yang rekuren, misalnya herpes zoster, kandidiasis orofaringeal, infeksi herpes
simpleks kronik progesif atau yang meluas, dan limfadenopati generalisata.

2. Anak-anak
a. Gejala mayor
Terjadi penurunan berat badan atau pertumbuhan lambat yang abnormal, diare
kronis lebih dari 1 bulan dan demam lebih dari 1 bulan.

b. Gejala minor
Batuk selama lebih dari 1 bulan, ruam kulit yang menyeluruh, infeksi umum
yang rekuren, kandidiasis orofaringeal dan limfadenopati generalisata.
H. Manajemen Terapi AIDS
1. Tes laboratorium
a. Testing HIV
Diagnosis infeksi HIV biasanya dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan
menunjukkan adanya antibodi spesifik. Pemeriksaan adanya antibodi spesifik
dapat dilakukan dengan Rpit Test, Enzyme Linked Sorbent Assay (ELISA) dan
Western Blot. Sesuai dengan pedoman nasional, diagnosis HIV dapat
ditegakkan dengan 3 jenis pemeriksaan Rapit test yang berbeda atau 2 jenis
pemeriksaan Rapid test yang berbeda dan 1 pemeriksaan ELISA.

b. Sebelum memulai terapi


 Pemeriksaan serologi untuk HIV dengan menggunakan strategi 2 atau
strategi 3 sesuai pedoman
 Limfosit total atau CD4
 Pemeriksaan darah lengkapdan kimia darah serta fungsi ginja
 Pemeriksaan kehamilan

2. Obat Antiretroviral
Terdapat 3 golongan, yaitu:
a. Penghambat masuknya virus (Fusion inhibitor)
b. Penghambat reverse transcriptase enzyme (RTI)
c. Penghambat enzim protease (PI)

3. Kombinasi RTI + PI
I. Kriteria Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui secara pasti apakah seseorang
terinfeksi HIV sangat penting, karena pada infeksi HIV gejala klinisnya dapat baru
terlihat setelah bertahun-tahun lamanya.

Tabel 1. Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV

Keadaan Umum
 Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar
 Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral >37,5 oC) yang lebih dari
satu bulan
 Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu
 Limfadenopati meluas
Kulit
 Papular Pruritic Eruptions (PPE) dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat
infeksi HIV. Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan
psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV
Infeksi
Infeksi jamur  Kandidosis oral *
 Dermatitis seboroik
 Kandidosis vagina kambuhan
Infeksi virus  Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih dari satu
dermatom)
 Herpes genital (kambuhan)
 Moluskum kontagiosum
 Kondiloma
Gangguan pernapasan  Batuk lebih dari satu bulan
 Sesak napas
 TB
 Pneumonia kambuhan
 Sinusitis kronis atau berulang
Gangguan neurologis  Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan
tidak jelas penyebabnya)
 Kejang demam
 Menurunnya fungsi kognitif
*Keadaan tersebut merupakan dugaan kuat terhadap infeksi HIV

Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis


infeksi HIV. Secara garis besar dibagi menjadi pemeriksaan serologik untuk
mendeteksi adanya antibodi terhadap antibodi yaitu Rapid test, Western Blot,
Enzyme linked immuno sorbent assay (ELISA) 3 metode, Polymerase Chain
Reactions (PCR) dan pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV yaitu
isolasi dan biakan virus, deteksi antigen dan deteksi materi genetik dalam darah
pasien. Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap
antibodi HIV.
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV sesuai dengan panduan nasional
yang berlaku pada saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu
didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Setelah dinyatakan
terinfeksi HIV maka pasien menjalani serangkaian pemeriksaanyang meliputi
penilaian stadium klinis imunologis (jumlah CD4) dan pemeriksaan laboratorium
sebelum memulai terapi.

Tabel 2 Penilaian Stadium Klinis

Stadium 1
a) Asimptomatik
b) Limfadenopati meluas persisten
Stadium 2
a) Berat badan menurun yang sebabnya tidak dapat dijelaskan
b) Infeksi saluran napas berulang (sinusitis, tonsilitis, bronkitis, otitis media, faringitis)
c) Herpes zoster
d) Cheilits angularis
e) Ulkus mulut berulang
f) Pruritic papular eruption (PPE)
g) Dermatitis seboroika
h) Infeksi jamur kuku
Stadium 3
a) Berat badan menurun yang tidak dapat dijelaskan sebabnya ( > 10%)
b) Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan sebabnya lebih dari 1 bulan
c) Demam yang tidak diketahui sebabnya (intermiten maupun tetap selama ebih dari 1
bulan)
d) Kandidiasis oral persisten
e) Oral hairy leukoplakia
f) Tuberkulosis (TB) paru
g) Infeksi bakteri yang berat (empiema, piomiositis, infeksi tulang atau sendi,
meningitis, bakteriemi selain pneumonia)
h) Stomatitis, gingivitis atau periodontitis ulseratif nekrotikans yang akut
i) Anemia (Hb < 8 g/dL), netropeni (< 500/mm3), dan/atau trombositopeni kronis
(<50.000/mm3) yang tak dapat diterangkan sebabnya

Stadium 4
a) HIV wasting syndrome (berat badan j) Ensefalopati HIV
berkurang >10% dari BB semula, k) Kriptokokus ekstra paru termasuk
disertai salah satu dari diare kronik meningitis
tanpa penyebab yang jelas (>1 l) Infeksi mikobakterium non-tuberkulosis
bulan) ataukelemahan kronik dan yang luas (diseminata)
demam berkepanjangan tanpa m) Progressive multifocal
penyebab yang jelas). leucoencephalopathy
b) Pneumonia pneumocystis n) Kriptosporidiosis kronis
c) Pneumonia bakteri berat yang o) Isosporiosis kronis
berulang p) Mikosis diseminata (histoplasmosis,
d) Infeksi herpes simpleks kronis koksidioidomikosis, penisiliosis ekstra
(orolabial, anorektal atau genital paru)
lebih dari sebulan atau viseral q) Septikemi berulang (termasuk salmonella
dimanapun) non-tifoid)
e) Kandidiasis esofagus (atau di trakea, r) Limfoma (otak atau non-Hodgkin sel B)
bronkus atau paru) s) Karsinoma serviks invasif
f) Tuberkulosis ekstra paru t) Leishmaniasis diseminata atipikal
g) Sarkoma Kaposi
h) Infeksi Cytomegalovirus (retinistis
atau infeksi organ lain)
i) Toksoplasmosis susunan saraf pusat

J. Kegiatan layanan HIV di Fasilitas Layanan Kesehatan


Layanan terkait HIV meliputi upaya dalam menemukan pasien HIV secara dini
dengan melakukan tes dan konseling HIV pada pasien yang datang ke fasyankes,
perawatan kronis bagi ODHA dan dukungan lain dengan sistem rujukan ke berbagai
fasilitas layanan lain yang dibutuhkan ODHA. Layanan perlu dilakukan secara
terintegrasi, paripurna, dan berkesinambungan. Infeksi HIV merupakan infeksi
kronis dengan berbagai macam infeksi oportunistik yang memiliki dampak sosial
terkait stigma dan diskriminasi serta melibatkan berbagai unsur dengan pendekatan
tim. Adapun komponen layanan HIV yang terdiri dari:
1. Informed consent untuk tes HIV seperti tindakan medis lainnya.
2. Mencatat semua kegiatan layanan dalam formulir yang sudah ditentukan.
3. Anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap oleh dokter.
4. Skrining TB dan infeksi oportunistik (IO).
5. Konseling bagi Odha perempuan usia subur tentang KB dan kesehatan reproduksi
termasuk rencana untuk mempunyai anak.
6.Pemberian obat kotrimoksasol sebagai pengobatan pencegahan infeksi
oportunistik.
7. Pemberian ARV untuk Odha yang telah memenuhi syarat.
8. Pemberian ARV profilaksis pada bayi segera setelah dilahirkan oleh ibu hamil
dengan HIV.
9. Pemberian imunisasi dan pengobatan pencegahan kotrimoksasol pada bayi yang
lahir dari ibu dengan HIV positif.
10. Anjuran rutin tes HIV, malaria, sifilis dan IMS lainnya pada perawatan antenatal
(ANC).
11. Konseling untuk memulai terapi.
12. Konseling tentang gizi, pencegahan penularan, narkotika dan konseling lainnya
sesuai keperluan.
13. Menganjurkan tes HIV pada pasien TB, infeksi menular seksual (IMS), dan
kelompok risiko tinggi beserta pasangan seksualnya, sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
14. Pendampingan oleh lembaga non kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien

Sesuai dengan unsur tersebut maka perlu terus diupayakan untuk meningkatkan
akses pada perangkat pemantau kemajuan terapi, seperti pemeriksaan CD4 dan tes
viral load. Komponen layanan tersebut harus disesuaikan dengan ketersediaan
sumber daya setempat. Semakin dini ODHA terjangkau di layanan kesehatan untuk
akses ARV, maka semakin kurang risiko untuk mendapatkan penyakit infeksi
oportunistik maupun menularkan infeksi HIV.
Gambar 5. Bagan alur layanan HIV
K. Pengobatan HIV AIDS
1. Penghambat masuknya virus (Fusion Inhibitor)
Bekerja dengan cara berikatan dengan sub unit GP41 selubung glikoprotein virus
sehingga fusi virus ke target sel dihambat. Satu-satunya obat penghambat fusi ini adalah
enfuvirtid

2. Penghambat Reverse Transcriptase Enzyme RTI


a. NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor)

Struktur nukleosida

Disebut dengan analog nukleosida. Nukleosida merupakan inti DNA yang terdiri dari
dari basa purin/pirimidin yang terikat dengan gula ribosa, tanpa gugus fosfat. Obat
golongan ini bekerja dengan menghambat reverse transcriptase untuk pembentukan
DNA virus menjadi RNA

Gambar 6. Contoh obat NRTI


b. NNRTI (Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor)
Golongan anti retroviral yang mekanisme kerjanya sama-sama menghambat reverse
transcriptase. Perbedaan terletak pada stuktur obat yang tidak memiliki gugus
nukleosida

Gambar 7. Contoh obat NNRTI

c. NtRTI (Nucleotida Reverse Transcriptase Inhibitor)

Inti nukleotida =
mengandung gugus
fosfat

Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV sama dengan NRTI
tetapi hanya memerlukan 2 tahapan proses fosforilasi.
Contoh: Tenofovir

3. Penghambat Enzim Protease (PI)


Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease yang
mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir
pematangan virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu
menginfeksi sel lain. PI adalah ARV yang potensial.
Golongan ini bekerja dengan cara berikatan secara reversibel dengan
situs aktif HIV-protease. HIV-protease sangat penting intuk infektivitas virus
dan pelepasan poliprotein virus. Hal ini menyebabkan terhambatnya penglepasan
polipeptida prekursor virus oleh enzim protease sehngga menghambat maturasi
virus, maka sel akan menghasilkan partikel virus yang imatur dan tidak virulen.
Gambar 8. Contoh obat PI

L. Mekanisme Obat Antiretroviral


Dapat dijelaskan berdasarkan gambar di bawah ini,

Gambar 9. Mekanisme Obat ARV


Mekanisme obat ARV dijelaskan berdasarkan patogenesis HIV:
Virus masuk kedalam tubuh dan menyebar dengan tahapan binding dimana sel-sel
target mengenali dan mengikat HIV. Kemudian berfusi dan memasuki sel target.
Virus HIV bebas berkeliaran didalam aliran darah mencari sel CD4. Setelah
menemukan sel CD4, virus akan menempelkan reseptornya pada koreseptor sel CD4
yakni CCR5 atau CXCR4. Setelah virus tertempel pada sel CD4. Terjadi fusi antara
dinding virus dengan dinding sel CD4, kemudian terjadi lubang dimana virus bisa
menyuntikkan material genetiknya. Disini obat ARV yaitu Fusion inhibitor
berperan dalam menghambat terjadinya lubang ini. Kemudian obat ARV dengan
mekanisme reverse trancriptase meliputi Analog nukleosida ( NRTI) NRTI diubah
secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3 gugus fosfat) dan selanjutnya
berkompetisi dengan natural nukleotida menghambat RT sehingga perubahan RNA
menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga menghentikan pemanjangan DNA.
Analog nukleotida (NtRTI) Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi
HIV sama dengan NRTI tetapi hanya memerlukan 2 tahapan proses fosforilasi.
Non nukleosida (NNRTI) Bekerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler
tetapi berikatan langsung dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan
nukleotida natural. Aktivitas antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat selanjutnya,
Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease yang
mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir pematangan
virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi sel
lain.
M. Obat – obat ARV

Tabel 3. Obat-obat ARV

NO Obat Dosis (dosis/hari) mg (x)


A NRTI
Abacavir 300 (2)
Didanosin 200 (2)
400 (1)
Lamivudin 150 (2)
300 (1)
Stavudin 40 (2)
Tenofovir 300 (1)
Zalcitabin 0,75 (3)
Zidovudin 200 (3)
300 (2)
B NNRTI
Efavirenz 600 (1)
Nevirapin 200 (2)
C PI
Loponavir 400 (2)
Ritonavir 600 (2)
Nelfinavir 750 (3)
1250 (3)
Saquinavir 1200(3)

Penggunaan rasional ARV


Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat yang sesuai dengan
kebutuhannya untuk periode waktu yang adekuat dengan harga yang paling murah
untuknya dan masyarakat (WHO, 1985). Secara praktis, penggunaan obat dikatakan
rasional bila memenuhi kriteria :
a. Tepat diagnosa
b. Tepat indikasi penyakit
c. Tepat pemilihan obat
d. Tepat dosis
e. Tepat cara pemberian obat
f. Tepat interval waktu pemberian obat
g. Tepat lama pemberian obat
h. Waspada terhadap efek samping
i. Tepat penilaian kondisi pasien
j. Tepat informasi
k. Tepat dalam melakukan upaya tindak lanjut
l. Tepat penyerahan obat (dispensing)
m. Kepatuhan pasien

Prinsip dalam pemberian ARV

- Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada
dalam dosis terapetik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas penggunaan
obat.
- Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan akses
pelayanan ARV
- Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan
manajemen logistik

Rejimen ARV lini pertama bagi Orang dengan HIV/AIDS


Anjuran yang ditetapkan pemerintah untuk terapi lini pertama
2 NRTI + 1 NNRTI
Beberapa kombinasi terapi lini pertama yang dianjurkan:
AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + ATAU
Lamivudine +
Nevirapine)
AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + ATAU
Lamivudine + Efavirenz)
TDF + 3TC (atau FTC) (Tenofovir + lamivudine ATAU
+ NVP (atau Entricitabine) +
Nevirapine)
TDF + 3TC (atau FTC) (Tenofovir + Lamivudine
+ EFV (atau Entricitabine) +
Efavirenz)

Rejimen ARV lini kedua bagi Orang dengan HIV/AIDS


Anjuran yang ditetapkan pemerintah untuk terapi lini kedua
2 NRTI + PI
Terapi lini kedua yang dianjurkan:
Populasi target dan ARV yang digunakan Pilihan paduan ARV
pengganti yang
direkomendasikan
Dewasa termasuk Bila menggunakan AZT TDF + 3TC atau FTC +
perempuan hamil sebagai lini pertama LPV/r
Bila menggunakan TDF AZT + 3TC + LPV/r
sebagai lini pertama
Ko-infeksi TB/HIV Mengingat rifampisin
tidak dapat digunakan
dengan LPV/r,
dianjurkan menggunakan
paduan OAT tanpa
rifampisin. Jika
rifampisin perlu
diberikan maka pilihan
lain adalah menggunakan
LPV/r dengan dosis
800mg/200mg duka kali
sehari). Perlu evaluasi
fungsi hati ketat jika
menggunakan rifampisin
dan dosis ganda LPV/r
Ko-infeksi HIV/HBV AZT + TDF + 3TC
(FTC) + LPV/r (TDF +
(3TC atau FTC) tetap
digunakan meski sudah
gagal di lini pertama
karena pertimbangan
efek anti HBV dan untuk
mengurangi resiko
“flare”

N. Infeksi Oportunistik
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang disebabkan oleh oragnisme yang biasanya
tidak menyebabkan penyakit pada orang yang biasanya tidak menyebabkan penyakit
pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang normal, tetapi dapat menyerang
orang dengan sistem kekebalan tubuh yang buruk.

Infeksi oportunistik dan AIDS


Orang yang tidak terinfeksi HIV dapat mengalami infeksi oportunistik jika sistem
kekebalannya rusak. Misalnya, banyak obat yang dipakai untuk mengobati kanker
dapat menekan sistem kekebalan. Beberapa orang yang menjalani pengobatan
kanker dapat mengalami IO.
HIV memperlemah sistem kekebalan,sehingga IO dapat berkembang. Jika
seseorang terinfeksi HIV dan mengalami infeksi oportunistik, memungkinkan
terjadinya AIDS.
Infeksi oportunistik yang umum
1. Kandidiasis
2. Virus sitomegalia
3. Malaria
4. Pneumonia pneumocytis
5. Tuberkulosis (TB)
6. Toksoplasmosis

Tabel 4. Diagnosis klinis dan tata laksana infeksi oportunistik

No Infeksi Tampilan klinis Diagnosis Terapi


oportunistik
1 Pneumonia Batuk kering Kelainan pada Terapi pilihan :
pneumocytis Sesak nafas foto toraks - Kotrikmoksasol
jiroveci (PCP) Demam dengan (TMP 15 mg +
Keringat malam intertisial SMZ 75
Sub akut sampai bilateral mg/kg/hari dibagi
1-2 bulan dalam 4 dosis atau
- Kotrimoksasol 480
mg, 2 tablet 4 kali
sehari untuk BB >
40 kg selaama 21
hari
Terapi pilihan :
- Klindamisin 600
mg IV atau 450 mg
oral 3 kali sehari +
primakuin 15 mg
oral sekali sehari
selama 21 hari bila
pasien alergi
terhadap sulfa
- Untuk pasien yang
parah dianjurkan
pemberian
prednisolon 40 mg,
2 kali sehari,
dengan penurunan
dosis secara
bertahap hingga 7
– 10 hari,
tergantung
terhadap terapi.
2 Kandidiasis Kandidiasis oral Tampilan Tablet nistatin 100.000 IU,
Bercak putih di klinis yang dihisap setiap 4 jam
selaput mukosa khas pada selama 7 hari.
disertai eritema pemeriksaan Suspensi nistatin 3-5 cc
di rongga mulut fisik dikumur 3 kali sehari
Pada sediaan selama 7 hari
KOH
mikroskopik
ditemukan
pseudophita
Kandidiasis Tampilan - Flukonasol 200 mg
esofageal klinis khas dan per sehari selama
Disfagi memberikan 14 hari
Disertai rasa respon balik - Itrakonasol 400 mg
nyeri terbakar di setelah diterapi per sehari selama
dada Bila 14 hari atau
memungkinkan - Ketokonasol 200
dapat mg per sehari
dilakukan selama 14 hari
endoskopi
3 Toksoplasmosis Sakit kepala Defisit Terapi pilihan
serebral Pusing nerologis lokal Pirimetamin dosis awal :
Demam CT scan kepala 100 mg, diikuti dengan 50
Defisit nerologis Respon mg perhari + klindamisin
lokal terhadap terapi 4 x 600 mg
Kejang presmutif Asam folinat 15 mg setiap
dapat 2 hari bila tersedia
menyokong Terapi selama 6 minggu
diagnosis Terapi rumahan
Pirimetamin 25 mg/hari +
klindamisin 600 mg
4 Herpes Sekelompok Gambaran Biasanya sembuh sendiri
simpleks vesikel berair klinis khas tidak perlu terapi
biasanya di Perawatan lesi, dengan
daerah genital gentian violet atau larutan
atau sekitar klorheksidin
mulut Bila ada indikasi dapat
Dapat menjadi diberi asiklovir 5 x 200
sistemik seperti atau 3 x 400 mg selama 7
esofagitis, hari
ensefalitis
5 Tuberkulosis TB paru Pemeriksaan Terapi sesuai Pedoman
Batuk, demama, dahak SPS Nasional Penanggulangan
berat badan untuk mencari Tuberkulosis
berkurang, cepat BTA
lelah Foto toraks :
Gambaran paru
yang klasik
BAB III

PEMBAHASAN

(Pertanyaan dan Jawaban)

A. Penanya : Nova Nastalia


Apa yang harus dilakukan oleh Ibu hamil trimester pertama yang terinfeksi HIV?
Apakah harus dihentikan obat antiretroviral yang dikonsumsi?
Jawab :
Terapi antiretroviral/ARV/HAART (Highly Active AntiretroviralTherapy) dalam
program PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission –PPIA = Pencegahan
Penularan Ibu ke Anak) adalah penggunaan obat antiretroviral jangka panjang
(seumur hidup) untuk mengobati perempuan hamil HIV positif dan mencegah
penularan HIV dari ibu ke anak. Pada trimester pertama obat yang harus dihindari
adalah evafirenz karena dapat meyebabkan kecacatan pada janin. Berikut panduan
antiretroviral untuk Ibu hamil berdasarkan situasi klinis.

No Situasi Klinis Rekomendasi Pengobatan


(Paduan untuk Ibu Hamil)
1. ODHA dengan indikasi Terapi ARV dan AZT + 3TC + NVP atau
kemungkinan hamil atau sedang hamil TDF + 3TC(atau FTC) + NVP
Hindari EFV pada trimester
pertama

AZT + 3TC + EVF* atau


TDF + 3TC (atau FTC) +
EVF*
2. ODHA sedang menggunakan Terapi ARV Lanjutkan paduan (ganti
dan kemudian hamil. dengan NVP atau golongan PI
jika sedang menggunakan EFV
pada trimesterI)
Lanjutkan dengan ARV yang
sama selama dan sesudah
persalinan
3. ODHA hamil dengan jumlah CD4 ARV mulai pada minggu ke
>350/mm3 atau dalam stadium klinis 1. 14 kehamilan
Paduan sesuai dengan butir 1

4. ODHA hamil dengan jumlah CD4 < Segera Mulai Terapi ARV
350/mm3 atau dalam stadium klinis 2, 3
Atau 4
5. ODHA hamil dengan Tuberkulosis aktif OAT yang sesuai tetap
diberikan
Paduan untuk ibu, bila
pengobatan
mulai trimester II dan III:
AZT (TDF) + 3TC + EFV
6. Ibu hamil dalam masa persalinan dan Tawarkan tes dalam masa
tidak diketahui status HIV persalinan; atau tes setelah
persalinan.
Jika hasil tes reaktif maka dapat
diberikan paduan pada butir 1
7. ODHA datang pada masa persalinan dan Paduan pada butir 1
belum mendapat Terapi ARV
B. Penanya: Nora
Bagaimana terapi HIV pada ibu hamil? Apa yang harus diperhatikan untuk
mencegah penularan dari ibu ke anak?
Jawab:
Terapi ARV untuk ibu hamil Terapi antiretroviral/ARV/HAART (Highly Active
Antiretroviral Therapy) dalam program PMTCT (Prevention Mother to Child
Transmission – PPIA = Pencegahan Penularan Ibu ke Anak) adalah penggunaan
obat antiretroviral jangka panjang (seumur hidup) untuk mengobati perempuan
hamil HIV positif dan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak.

Pemberian obat antiretroviral dalam program PMTCT/PPIA ditujukan pada keadaan


seperti terpapar berikut ini.

Pemberian Antiretroviral pada ibu hamil dengan berbagai Situasi Klinis


C. Penanya: Nissa A
Bagaimana jika penderita HIV menderita pneumonia? Apakah pengobatan digabung
atau diselesaikan satu-satu?
Jawab:
Pengobatan harus dilakukan satu-satu, pertama terapi pengobatan untuk
meyembuhkan pneumonianya harus lengkap diselesaikan terlebih dahulu baru
kemudian terapi ART pasien dilakukan.

D. Penanya: Nissa Kurnia


Adakah efek samping dari terapi obat golongan PI? Jika ada sebutkan! Bagaimana
cara mengatasi efek samping tersebut? Bagaimana kelanjutan terapi jika sudah
terkena dampak efek samping tersebut?
Jawab:
Obat golongan PI memiliki efek samping yaitu Gangguan metabolik ganda,
hepatotoksisitas, gangguan tulang, peningkatan hemofilia, diare.
Langkah terapi untuk osteoporosis : menambah zat kalsium, dan mengurangi
konsumsi alkohol dan kafein jika tidak ada rasa sakit pada sendi, olahraga ringan
bisa dilakukan
Langkah terapi untuk diare : penggunaan kropelemer (merupakan obat baru untuk
diare terkait HIV disetujui oleh FDA tahun 2012). Mengubah pola makan

E. Penanya: Novita
Sampai kapan terapi HIV dilakukan? Apakah sampai CD4 normal atau sepanjang
hidup pasien? Kemudian bagaimana peran apoteker untuk meningkatkan kepatuhan
pasien pada pengobatan HIV terutama pasien HIV dengan ko-infeksi tuberkolosis
(TB)?
Jawab:
Terapi HIV harus dilakukan sepanjang hidup pasien karena virus HIV akan terus
merusak sel CD4 dan menyerang imunitas tubuh pasien sepanjang hidup pasien.
Peran apoteker untuk meningkatkan kepatuhan pasien pada pasien HIV dengan ko-
infeksi TB adalah dengan cara monitoring terapi yang meliputi monitoring kepatuhan
serta melakukan edukasi pada pasien dan keluarganya mengenai pentingnya
kepatuhan pasien selama menjalani terapi. Monitoring terapi dapat dilakukan
apoteker secara periodik setelah mulai terapi TB dan antiretroviral. Monitoring ini
dilakukan dengan cara menghitung jumlah obat yang tersisa saat pasien mengambil
obat kembali, membuat kartu monitoring, memberikan perhatian khusus pada pasien
karena mengalami ko-infeksi TB yang dapat menyebabkan pasien merasa bosan
mengkonsumsi obat. Apoteker juga dapat memberikan dukungan pada pasien selama
menjalani terapi serta melakukan edukasi pada pasien dan keluarganya mengenai
pentingnya kepatuhan pasien selama menjalani terapi.
KESIMPULAN

1. Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
HIV. Pada umumnya AIDS disebabkan oleh HIV-1, dan beberapa kasus seperti di
Afrika Tengah disebabkan oleh HIV-2.
2. Penyakit HIV AIDS dapat disebabkan oleh hubungan seksual, penggunaan jarum
yang terkontaminasi, transfusi darah, bayi yang dilahirkan dari ibu dengan penyakit
ini.
3. Manajemen terapi HIV AIDS yaitu tes laboratorium, obat antiretroviral, dan
kombinasi RTI + PI
4. Orang yang tidak terinfeksi HIV dapat mengalami infeksi opurtunistik jika sistem
kekebalannya rusak.
DAFTAR PUSTAKA

1. Marry J. Meycek. Buku Farmakologi ulasan bergambar edisi 2. 2001. Jakarta :


Widya Medika.
2. Departemen kesehatan RI. Pharmaceutical Care pada penderita AIDS. Jakarta:
Kementrian Kesehat RI.
3. Direkrorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi TB-HIV. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI. 2012

Anda mungkin juga menyukai