Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Teknologi Inseminasi Buatan (IB) merupakan teknologi yang sudah lama

dikenal, namun masih relevan untuk digunakan sekarang ini. Inseminasi

Buatan (IB) atau kawin suntik adalah suatu cara atau teknik

untuk memasukkan mani (sperma atau semen) yang telah dicairkan dan telah

diproses terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan ke dalam saluran alat

kelamin betina dengan menggunakan metode dan alat khusus yang disebut

'insemination gun'.

Teknologi Inseminasi Buatan (IB) telah sejak dahulu berkembang di

masyarakat peternak,terutama sapi perah, karena teknologi tersebut telah

mampu memperbaiki mutu genetik ternak sapi perah. Dalam hal pelaksanaan

program 1B, maka beberapa faktor sangat berpengaruh terhadap keberhasilan

program tersebut. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh adalah faktor

betina, faktor semen beku dan faktor sumber daya manusia (SDM) dalam hal

ini inseminator. Induk betina akan merespon program 113 apabila saat

dilakukan IB kondisi induk sedang dalam keadaan estrus (berahi), untuk

betina dara sudah dalam usia dewasa kelamin, serta memang si induk tersebut

tidak mempunyai catatan penyakit terutama penyakit reproduksi .Inseminasi

Buatan didefinisikan sebagai proses memasukkan semen ke dalam organ

reproduksi betina dengan menggunakan alat inseminasi . Prosesnya secara


luas mencakup penampungan semen, pengenceran dan pengawetan semen

sampai pada deposisi semen ke dalam saluran reproduksi betina (Ax et al.,,

2000) . Selanjutnya dikemukakan bahwa bila dibandingkan dengan

perkawinan secara alami, IB memiliki banyak keuntungan walaupun ada

kelemahannya. Keuntungannya adalah 113 dapat mempercepat penyebaran

dan peningkatan mutu genetik ternak . Melalui penggunaan bioteknologi IB,

efisiensi penggunaan pejantan unggul yang terbatas jumlahnya dapat

ditingkatkan dengan memanfaatkan semen secara optimal. Perkawinan yang

dilakukan dengan menggunakan teknologi IB, memungkinkan seekor pejantan

untuk mengawini lebih banyak betina daripada perkawinan alami yang dapat

dilakukannya. Selain itu, melalui teknologi IB potensi genetik seekor pejantan

unggul dapat tersebar luas, tidak hanya pada daerah tempat pejantan itu

berada tetapi juga pada daerah lainnya yang terpisah oleh jarak dan waktu .

B. Rumusan Masalah

Bagaimana Inseminasi Buatan (IB) dalam Al-Qur’an dan Hadist ?

C. Tujuan

Untuk mengetahui hukum dari Inseminasi Buatan dalam pandangan Al-

Qur’an dan Hadist.


BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. Inseminasi Buatan

Menurut Hafez (1993) Inseminasi Buatan (IB) adalah proses memasukkan

sperma ke dalam saluran reproduksi betina dengan tujuan untuk membuat

betina jadi bunting tanpa perlu terjadi perkawinan alami. Konsep dasar dari

teknologi ini adalah bahwa seekor pejantan secara alamiah memproduksi

puluhan milyar sel kelamin jantan (spermatozoa) per hari, sedangkan untuk

membuahi satu sel telur (oosit) pada hewan betina diperlukan hanya satu

spermatozoa. Potensi yang dimiliki seekor pejantan sebagai sumber informasi

genetik, terutama yang unggul, dapat dimanfaatkan secara efisien untuk

membuahi banyak betina.

Keberhasilan IB pada ternak ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu kualitas

semen beku (straw), keadaan sapi betina sebagai akseptor IB, ketepatan IB,

dan keterampilan tenaga pelaksana (inseminator). Faktor ini berhubungan satu

dengan yang lain dan bila salah satu nilainya rendah akan menyebabkan hasil

IB juga akan rendah, dalam pengertian efisiensi produksi dan reproduksi tidak

optimal (Toelihere, 1997).

Menurut Ihsan, (1992 : 51) saat yang baik melakukan IB adalah saat sapi

betina menunjukkan tanda-tanda birahi, petani ternak pada umumnya

mengetahui tingkah laku ternak yang sedang birahi yang dikenal dengan

istilah : 4A, 2B, 1C, 4A, yang dimasud adalah abang, abu, anget, dan arep
artinya alat kelamin yang berwarna merah membengkak kalau diraba terasa

anget dan mau dinaiki, 2B yang dimaksud adalah bengak-bengok dan

berlendir artinya sapi betina sering mengeluh dan pada alat kelaminnya

terlihat adanya lendir transparan atau jernih, 1C yang dimaksud adalah

cingkrak-cingkrik artinya sapi betina yang birahi akan menaiki atau diam jika

dinaiki sapi lain.

Menurut Ihsan (1993), keuntungan IB sangat dikenal dan jauh melampaui

kerugian-kerugiannya jika tidak demikian tentu perkembangan IB sudah lama

terhenti dan keuntungan yang diperoleh dari IB yaitu :

1. Daya guna seekor pejantan yang genetik unggul dapat dimanfaatkan

semaksimal mungkin.

2. Terutama bagi peternak-peternak kecil seperti umumnya ditemukan di

Indonesia program IB sangat menghemat biaya di samping dapat

menghindari bahaya dan juga menghemat tenaga pemeliharaan

pejantan yang belum tentu merupakan pejantan terbaik untuk

diternakkan.

3. Pejantan-pejatan yang dipakai dalam IB telah diseleksi secara teliti dan

ilmiah dari hasil perkawinan betina-betina unggul dengan pejantan

unggul pula.

4. Dapat mencegah penyakit menular

5. Calving Interval dapat diperpendek dan terjadi penurunan jumlah

betina yang kawin berulang.


Menurut Bandini (2004), Inseminasi Buatan adalah pemasukan atau

penyampaian semen ke dalam saluran kelamin betina dengan menggunakan

alat-alat buatan manusia, jadi bukan secara alam. Dalam praktek prosedur IB

tidak hanya meliputi deposisi atau penyampaian semen ke dalam saluran

kelamin betina, tetapi juga tak lain mencakup seleksi dan pemeliharaan

pejantan, penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan atau

pengangkutan semen, Inseminasi, pencatatan dan juga penentuan hasil

inseminasi pada hewan betina, bimbingan dan penyuluhan pada ternak.

B. Pandangan Islam tentang Inseminasi Buatan

Tidak dipungkiri lagi usaha-usaha peternakan dewasa ini banyak mencari cara

untuk memperbanyak jumlah ternak dalam waktu singkat dan mudah.

Sehingga munculah perkara-perkara baru yang sebelumnya tidak dikenal

dalam sejarah manusia. Diantara upaya yang ada dewasa ini adalah kawin

suntik yang dikenal dengan insenminasi buatan (IB). Inseminasi buatan

dijelaskan sebagai peletakan sperma ke folliclel

ovarian (intrafollicular), uterus (intrauterine), cervix(intracervical),atau tubefa

llopian (intratubal) betina dengan menggunakan cara buatan dan bukan

dengan kopulasi alami. Ada juga yang mendefiniskannya dengan suatu cara

atau teknik untuk memasukkan mani (sperma atau semen) yang telah

dicairkan dan telah diproses terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan ke

dalam saluran alat kelamin betina dengan menggunakan metode dan alat

khusus yang disebut ‘insemination gun‘.


Teknik modern untuk inseminasi buatan banyak dikembangkan untuk industri

ternak untuk tujuan beragam diantaranya

1. Memperbaiki mutu genetika ternak;

2. Tidak mengharuskan pejantan unggul untuk dibawa ketempat yang

dibutuhkan sehingga mengurangi biaya;

3. Mengoptimalkan penggunaan bibit pejantan unggul secara lebih luas

dalam jangka waktu yang lebih lama;

4. Meningkatkan angka kelahiran dengan cepat dan teratur;

5. Mencegah penularan / penyebaran penyakit kelamin.

Dahulu, untuk mencapai tujuan diatas, sebagian orang menyewa pejantan

yang berkualitas untuk jangka waktu tertentu agar mengawini induk betina

yang dimilikinya. Ini dikenal dalam bahasa syari’at dengan “Asbu al-Fahl”

sebagaimana disampaikan Imam Al-Bukhari dari sahabat Abdullah bin Umar

beliau berkata: “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang ‘Asbu al-fahl”

(HR Al-Bukhari)

Para ulama berbeda pendapat tentang pengertian ‘Asbu al-fahl, ada yang

menyatakan menjual sperma pejantan untuk mengawini betina dengan

kopulasi alami, maka ini termasuk jual beli. Ada juga yang menafsirkannya

dengan penyewaan pejantan untuk kawin dan ini termasuk sewa-menyewa.


Ibnu Hajar menyatakan dalam kitab Fathu Al-Baari: “Kesimpulannya,

menjual dan menyewakannya haram, karena tidak dapat dinilai dan diketahui

jelas serta tidak mampu diserahkan”.

Hal ini jelas karena pejantan yang dibeli spermanya atau disewa untuk

mengawini betina tesebut tidak jelas jumlah spermanya dan tidak pasti apakah

akan mengawininya atau tidak. Sehingga illah (sebab pelarangan) adalah

adanya harar karena tidak jelas zat, sifat dan ukuran spermanya serta tidak

mampu diserah-terimakan.

Melihat illat yang disampaikan para ulama tentang larangan asbu al-

fahl diatas maka Inseminasi Buatan (IB) atau kawin suntik yang umumnya

sekarang ada lepas atau tidak memiliki ilat-ilat tersebut. Ini karena spermanya

jelas zatnya, diketahui sifat dan ukurannya serta dapat diserah terimakan.

Dengan demikian maka asal hukumnya adalah boleh, namun sebagian ulama

memakruhkannya karena menganalogikan hal ini kepada bekam atau hijamah.

Seringkali kita jumpai, terutama di pedesaan, ada orang yang mempunyai sapi

betina namun tidak memiliki sapi pejantan. Oleh karena itu, dia perlu

menyewa sapi pejantan milik tetangganya dengan sejumlah upah tertentu.

Perbuatan ini adalah suatu hal yang terlarang, berdasarkan hadits berikut ini,

َ ‫ب ْال‬
‫ف‬ ِ ‫ع ْن َع ْس‬ ُّ ِ‫ع َم َر – رضى هللا عنهما – قَا َل نَ َهى النَّب‬
َ – ‫ى – صلى هللا عليه وسلم‬ ُ ‫َع ِن اب ِْن‬
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa

sallam melarang sperma pejantan.” (HR. Bukhari, no. 2284)

Yang dimaksud dengan “melarang sperma pejantan” dalam hadits di atas

mencakup dua pengertian:

1. Jual beli sperma pejantan.

2. Uang sewa karena mengawini betina.

Ibnu Hajar mengatakan, “Apapun maknanya, memperjualbelikan sperma

jantan dan menyewakan pejantan itu haram karena sperma pejantan itu tidak

bisa diukur, tidak diketahui, dan tidak bisa diserahterimakan.” (Fathul

Bari,jilid 6, hlm. 60, terbitan Dar Ath-Thaibah, Riyadh, cetakan ketiga, 1431

H)

Ibnul Qayyim mengatakan, “Yang benar, sewa pejantan adalah haram secara

mutlak, baik dengan status ‘jual beli sperma’ ataupun ‘sewa pejantan’. Haram

bagi pemilik pejantan untuk mengambil hasil dari menyewakan pejantan.

Akan tetapi, tidak haram bagi pemilik binatang betina untuk menyerahkan

uang kepada pemilik hewan jantan, bila membayar sejumlah uang dalam hal

ini adalah pilihan satu-satunya, karena dia menyerahkan sejumlah uang untuk

mendapatkan hal mubah yang dia perlukan.” (Zadul Ma’ad, juz 5, hlm. 704,

Muassasah Ar-Risalah, cetakan keempat, 1425 H)

Ada beberapa alasan sehingga hal ini dilarang:


1. Objek transaksi (yaitu, sperma pejantan) itu tidak bisa diserahkan,

karena keluarnya sperma pejantan itu sangat tergantung dengan

keinginan dan syahwat pejantan.

2. Objek transaksi (yaitu, sperma pejantan) itu memiliki kadar yang tidak

diketahui jumlahnya. (Zadul Ma’ad, juz 5, hlm. 705)

Syariat melarang jual beli sperma pejantan, dengan tujuan agar pemilik hewan

jantan mau meminjamkan pejantannya dengan cuma-cuma. Dengan demikian,

keturunan hewan yang diperlukan (dalam hal ini adalah keturunan hewan

penjantan, ed.) itu makin banyak, tanpa membahayakan pemilik hewan

pejantan dan tanpa mengurangi hartanya. Oleh sebab itu, di antara sisi indah

syariat adalah mewajibkan pemberian sperma pejantan secara cuma-cuma.

َ‫ب إِبِ ٍل َوالَ بَقَ ٍر َوالَ َغن ٍَم ال‬


ِ ‫اح‬
ِ ‫ص‬َ ‫ قَا َل « َما ِم ْن‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬
ِّ ِ ِ‫َّللاِ َع ِن النَّب‬
َّ ‫َع ْن َجابِ ِر ب ِْن َع ْب ِد‬

َ ‫ف بِ ِظ ْل ِف َها َوتَ ْن ِط ُحهُ ذَاتُ ْالقَ ْر ِن بِقَ ْرنِ َها لَي‬


‫ْس‬ ِ ‫الظ ْل‬ َ َ ‫ي َُؤ ِدِّى َحقَّ َها إِالَّ أ ُ ْق ِعدَ لَ َها يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة بِقَاعٍ قَ ْرقَ ٍر ت‬
ِّ ِ ُ‫ط ُؤهُ ذَات‬

‫ارة ُ دَ ْل ِوهَا‬
َ ‫اق فَحْ ِل َها َوإِ َع‬ ْ ِ‫َّللاِ َو َما َحقُّ َها قَا َل « إ‬
ُ ‫ط َر‬ ُ ‫ قُ ْلنَا يَا َر‬.» ‫ورة ُ ْال َق ْر ِن‬
َّ ‫سو َل‬ َ ‫س‬ُ ‫فِي َها يَ ْو َمئِ ٍذ َج َّما ُء َوالَ َم ْك‬

َّ ‫سبِي ِل‬
ِ‫َّللا‬ ِ ‫َو َمنِي َحت ُ َها َو َح َلبُ َها َعلَى ْال َم‬
َ ‫اء َو َح ْم ٌل َعلَ ْي َها فِى‬

Dari Jabir bin Abdillah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak

ada satu pun pemilik unta, sapi, ataupun kambing yang tidak menunaikan

kewajiban hewan ternaknya melainkan dia akan didudukkan pada hari kiamat

di suatu tempat yang terbentang rata (baca: bumi mahsyar). Orang tersebut

akan diinjak oleh untanya dan dia akan ditanduk oleh sapi atau kambingnya.

Pada hari itu, tidak ada hewan yang tidak memiliki tanduk atau memiliki
tanduk namun patah.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, apa kewajiban yang

perlu ditunaikan terkait binatang piaraan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

menjawab, “Meminjamkan hewan pejantannya secara cuma-cuma untuk

mengawini hewan betina, meminjamkan embernya kepada orang yang

membutuhkannya, meminjamkan hewan perah kepada orang miskin untuk

diambil susunya, memperbanyak perahan susunya dengan air lalu

membagikannya kepada orang di sekelilingnya, dan hewan yang bisa

ditunggangi dijadikan sebagai hewan tunggangan dalam rangka jihad di jalan

Allah.” (HR. Muslim, no. 2344)

‫ فإني سمعت رسول‬، ‫ أطرقني فرسك‬: ‫ أنه أتاه فقال‬، ‫ عن أبي كبشة األنماري‬، ‫عن أبي عامر الهوزني‬

‫ « من أطرق فرسا فعقب له الفرس كان له كأجر سبعين فرسا حمل‬: ‫هللا صلى هللا عليه وسلم يقول‬

» ‫ وإن لم تعقب كان له كأجر فرس حمل عليه في سبيل هللا‬، ‫عليها في سبيل هللا‬

Dari Abu Amir Al-Hauzani dari Abu Kabsyah Al-Anmari. Abu Kabsyah

datang ke rumah Abu Amir lalu mengatakan, “Pinjami aku kuda pejantanmu

untuk mengawini kuda betani milikku, karena sungguh aku mendengar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang

meminjamkan kuda pejantannya secara cuma-cuma, lalu kuda betina yang

dibuahi itu berketurunan, maka pemilik kuda jantan tersebut akan

mendapatkan pahala tujuh puluh kuda yang dijadikan sebagai binatang

tunggangan di jalan Allah. Jika tidak berketurunan maka pemilik kuda


pejantan akan mendapatkan pahala seekor kuda yang digunakan sebagai

hewan tunggangan di jalan Allah.” (HR. Ibnu Hibban, no. 4765)


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Melihat illat yang disampaikan para ulama tentang larangan asbu al-

fahl diatas maka Inseminasi Buatan (IB) atau kawin suntik yang umumnya

sekarang ada lepas atau tidak memiliki ilat-ilat tersebut. Ini karena spermanya

jelas zatnya, diketahui sifat dan ukurannya serta dapat diserah terimakan.

Dengan demikian maka asal hukumnya adalah boleh, namun sebagian ulama

memakruhkannya karena menganalogikan hal ini kepada bekam atau hijamah.


DAFTAR PUSTAKA

Ax, R. L., M. R. Dally, B . A. Didion, R. W. Lenz, C. C. Love, D . D . Varner, B . Hafez, and M. E


.Bellin . (2000) . Semen Evaluation. In E. S . E. Hafez and B . Hafez . Reproduction in
FarmAnimals. 7hed. Lippincott Williams & Wilkins . Philadelphia, Baltimore, New
'fork, London,Buenos Aires, Hongkong, Sydney, Tokyo

BARRET, M. A. and P. J. LARKIN. 1974. Milk and Beef Productions in the Tropics. Oxford
University, Oxford.

Hafez, E.S.E. 1993. Artificial insemination. In: HAFEZ, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm
Animals. 6 Th Ed. Lea & Febiger, Philadelphia. Hal 424-439.

(HR. Ibnu Hibban, no. 4765) (HR. Muslim, no. 2344)

(Zadul Ma’ad, juz 5, hlm. 705)

(Zadul Ma’ad, juz 5, hlm. 704, Muassasah Ar-Risalah, cetakan keempat, 1425 H)

(Fathul Bari,jilid 6, hlm. 60, terbitan Dar Ath-Thaibah, Riyadh, cetakan ketiga, 1431

H)

Anda mungkin juga menyukai