Anda di halaman 1dari 10

Komunitas Pecinan di Kota Semarang

Masyarakat Tionghoa merupakan warga pendatang yang bertempat tinggal, menetap


atau menjalankan usaha dalam suatu wilayah berdasarkan etnisitas yang dikenal sebagai
Pecinan. Sebutan masyarakat Tionghoa adalah sebutan untuk warga keturunan Cina yang
sudah lama menetap di Indonesia, sedangkan masyarakat pribumi adalah penduduk asli yang
bertempat tinggal dan sudah berada di suatu wilayah secara turun-temurun. Karena mereka
hidup dalam suatu lingkungan yang berdekatan maka mereka saling berinteraksi satu dengan
yang lain.
Kawasan Pecinan Semarang merupakan kawasan pemukiman masyarakat Cina yang
telah datang secara berangsur-angsur ke Semarang sejak bebrapa abad yang lalu. Kawasan
Pecinan selain dihuni oleh sebagian besar warga keturunan Cina, juga dihuni oleh warga
pribumi (etnis Jawa). Warga Pecinan, baik dari etnis Cina maupun Jawa telah berinteraksi
dalam dalam waktu yang lama.
Dalam hal ini, untuk memperoleh informasi lebih lanjut mengenai beberapa aspek
yang ada pada masyarakat pecinan, kami melakukan observasi dan wawancara secara lebih
mendalam di beberapa lokasi, antara lain di gang Lombok dan gang besen tepatnya di daerah
pekojan Semarang. Observasi dilakukan pada hari rabu tanggal 21 Desember 2011, berikut
ini adalah beberapa aspek yang ada dalam masyarakat pecinan yang berhasil kami peroleh
melalui observasi. Aspek-aspek tersebut meliputi startifikasi sosial, sistem kekerabatan,
bahasa, dan symbol.
1. Stratifikasi Sosial pada Masyarakat Pecinan
Stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai pembedaaan masyarakat ke dalam kelas-
kelas sosial secara vertical yang diwujudkan dengan adanya tingkatan masyarakat dari yang
paling tinggi sampai yang paling rendah. Munculnya stratifikasi sosial dalam masyarakat
pecinan awalnya dipengaruhi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial.
Pemerintah colonial memberikan status warga Cina sebagai warga ”Timur Asing yang
menempatkan status warga etnis Cina lebih tinggi dari warga pribumi, tidak terkecuali di
lingkungan masyarakat Pecinan Semarang.

a. Startifiasi social yang terjadi pada zaman kolonial Belanda

Pada jaman pemerintahan kolonial Belanda telah terdapat etnis Tiong hoa yang hidup
di Indonesia. Etnis Tiong hoa pada saat itu datang ke Indonesia untuk berdagang. Dengan
mempertimbangkan pengaruh mereka yang besar dalam perekonomian, kemudian pemerintah
Belanda membuat kebijakan untuk memisahkan kebersamaan antara etnis Tiong hoa dengan
masyarakat pribumi karena takut apabila masyarakat pribumi dan etnis Tiong hoa bersatu
akan membahayakan posisi pemerintahan Belanda. Pemerintahan Belanda juga memberikan
keistimewaan kepada etnis Tiong hoa untuk berdagang secara bebas sedangkan membatasi
masyarakat pribumi untuk berdagang bahkan bertani ataupun dalam hal mengenyam
pendidikan.

b. Awal mula stratifikasi social di Pecinan Semarang

Interaksi di kampung pecinan yang mayoritas adalah etnis tionghoa mengakibatkan


munculnya beberapa masalah dengan kaum pribumi yang bertempat tinggal di sekitarnya.
Salah satu masalah yang ada adalah stratifikasi social antara masyarakat etnis tionghoa
dengan masyarakat pribumi. Stratifikasi social adalah sistem perbedaan status yang berlaku
di masyarakat. Perbedaan status ini biasanya dilihat dari sisi ekonomi ataupun dari keturunan.
Stratifikasi juga berlaku di kawasan pecinan. Berikut awal mula terjadinya stratifikasi social
di Daerah Pecinan Semarang:

 Stratifikasi social yang ada di daerah ini muncul pertama kali pada masa Zaman
Penjajahan Belanda. Stratifikasi social ini muncul karena latar belakang kepentingan
politik pada masa itu. Pemerintah Belanda pada saat itu membeda-bedakan antara
etnis China dengan Kaum Pribumi. Mereka membuat hubungan kaum pribumi dengan
etnis Tionghoa yang pada saat itu baik menjadi ada jarak di antara mereka.
Pemerintahan belanda khawatir jika kaum pribumi dan etnis tionghoa bersatu akan
membahayakan keberadaan mereka di kota Semarang . Pada waktu itu pemerintah
kolonial Belanda mengkotak-kotakkan kaum pribumi dengan etnis Cina, serta
mengistimewakan masyarakat etnis Cina sehingga menimbulkan kecemburuan sosial
antara masyarakat pribumi dengan etnis Cina.
 Stratifikasi sosial pada masa Penjajahan Belanda berlanjut pada masa Orde Lama.
Pada masa orde lama motif stratifikasi hampir sama dengan pada masa penjajahan
Kolonial Belanda yaitu kepentingan politik. Politik ini dibuat seakan-akan stratifikasi
muncul dari dalam etnis tionghoa. Pada saat itu presiden Soekarno mencetuskan
Nasakom yang mengakibatkan Indonesia terbagi menjadi tiga kelompok yaitu
kelompok nasionalis, agamis, dan komunis. Karena Indonesia punya hubungan
diplomatic dengan Cina yang Notabena ialah Negara komunis maka banyak golongan
nasionalis dan agamis membenci Cina sampai kepada etnis Cina yang telah berada di
Indonesia.

 Stratifikasi sosial pada masa orde baru juga hampir sama dengan masa-masa
pemerintahan sebelumnya, bahkan jauh lebih parah. Hal ini dikarenakan pada masa
ini etnis tionghoa sama sekali tidak bebas dalam menjalankan aktifitasnya sebagai
seorang warga negara, bahkan saat beribadah pun mereka harus sembunyi-sembunyi.
Dan mereka harus memeluk agama yang diakui di Indonesia seperti Kristen ataupun
Khatolik hal itu dikarenakan kepercayaan Kong Hu Chu dianggap sebagai komunis
oleh pemerintah Indonesia.

 Stratifikasi Sosial pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid mulai


dihapuskan. Masyarakat Pecinan mulai terbuka kembali untuk beraktifitas kembali
seperti sedia kala. Mereka diijinkan untuk melakukan interaksi dengan kehidupan luar
tanpa hauru takut untuk dicekal sebagai kaum komunis. Mereka juga diperbolehkan
untuk menunjukkan kebudayaan mereka. Mereka juga diperbolehkan untuk menganut
agama sesuai dengan ajaran leluhurnya, menyelenggarakan upacara-upacara
peribadatan dengan tata cara China. Walaupun pada awal dijinkannya Kebudayaan
Tionghoa untuk hadir di masyarakat, masyarakat Etnis tionghoa masih merasa takut.
Mereka takut untuk memunculkan kembalikebudayaan mereka karena trauma dengan
peristiwa anti etnis china yang terjadi pada masa orde lama.

c. Stratifikasi social masyarakat pecinan Semarang pada saat ini

Tidak dapat dipungkiri, stratifikasi sosial yang berlaku dalam sebuah masyarakat akan
menimbulkan sebuah perubahan sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat. Meskipun kita telah tahu banyak tentang perubahan sosial yang ada di Pecinan
semarang, di sisi lain kita juga belum mengetahui tentang perubahan itu sendiri.
Struktur sosial pada setiap masyarakat pada dasarnya berbeda-beda, dan dalam hal ini
masyarakat Cina Klasik bersifat cenderung kaku dan stabil. Menurut seorang warga di daerah
pecinan yang berhasil kami wawancarai, yakni bernama Ibu Londo (52 tahun), menuturkan
bahwa masyarakat pecinan saat ini sudah tidak begitu mengenal stratifikasi. Mereka
menganggap semua sama. Sehingga tidak ada stratifikasi dalam mereka berinteraksi satu
dengan yang lain. Interaksi tanpa memandang kasta juga berlaku saat mereka berinteraksi
dengan masyarakat pribumi. Karena rata-rata masyarakat yang ada di daerah pecinan saat ini
merupakan tionghoa keturunan dan mereka merupakan keturunan yang ke-4, ke-5, ke-6.

Dalam hal ini tampak bahwa stratifikasi social yang ada di pecinan saat ini tidak
seradikal pada masa zaman penjajahan belanda, masa orde lama, ataupun masa orde baru.
Stratifikasi social saat ini yang terjadi di pecinan kami melihatnya lebih kepada perbedaan
status ekonomi yang terlihat sangat mencolok. Di satu daerah berjejer toko emas yang begitu
ramai tapi di daerah lain di pecinan ada juga warga yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Mayarakat pribumi yang ada di kawasan pecinan Semarang hanya sekitar kurang
lebih sebesar 15% dari total penduduk yang ada di Pecinan. Rata-rata dari mereka bermata
pencaharian sebagai pekerja di toko-toko yang ada di kawasan pecinan. Sebagian dari mereka
juga ada yang memiliki toko-toko tetapi hanya sebagian kecil, dan itupun tidak sebesar toko-
toko yang dipunyai oleh orang tionghoa .Gambaran seperti tersebut kami temukan ketika
mulai memasuki gang Besen di kawasan Pecinan daerah Pekojan Semarang.

Selanjutnya, ketika berbicara mengenai ras, sesungguhnya memiliki kaitan yang


sangat erat dengan system sosial yang berlaku di dalam masyarakat pecinan. Sistem sosial
yang banyak dibicarakan adalah terkait keberadaan mereka ditengah tengah kaum pribumi,
kepekaan mereka terhadap kehidupan social dan perbandingan mereka secara fisik dengan
kaum pribumi.

Pada awalnya, ada kecemburuan yang ditimbulkan oleh kaum pribumi, mengingat
kehidupan social kaum Tionghoa yang lebih terkesan mewah, rata-rata termasuk kalangan
ekonomi menengah keatas, dan menempati kawasan kawasan yang elite di kawasaan
Pecinan. Sampai-sampai, sector-sektor penting pun dikuasai secara besar-besaran oleh kaum
Tionghoa di sekitar kawasan Pecinan. Kami melihat bahwa hal ini merupakan sebagai bagian
dari kepribadian masyarakat Cina itu sendiri, yang menurut kami merupakan sebagai
masyarakat yang tergolong rajin dalam hal mencari dan meningkatkan taraf hidup untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik.
Sejarah masa lalu, sebenanarnya juga sangat mempengaruhi. Yang paling kentara
adalah sentimen rasial di Tionghoa pada tahun 1980 yang secara garis besar bersumber pada
masalah ekonomi yang tidak merata. Etnis Tionghoa yang memiliki jiwa dagang yang ulet,
pekerja keras, pola pikir yang memiliki harapan ke depan, itu juga yang membuat sentimen-
sentimen itu muncul. Pada dasarnya, prinsip yang dianut kaum Tionghoa, bisa diterapkan
oleh orang Indonesia, dan tidak seharusnya menimbulkan sentimen rasial. Kehidupan orang
dari segi sosial kaum manapun sebenarnya bias diubah dengan menerapkan prinsip-prinsip
yang baik, dan jangan menjadi penganut semboyan “ nriman ing pandum”.

2. Sistem Kekerabatan Masyarakat Pecinan

Berdasarkan hasil wawancara, observasi, serta studi pustaka yang telah telah lakukan,
diperoleh banyak informasi mengenai sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat
tionghoa, khususnya informasi mengenai sistem kekerabatan yang terjadi pada masyarakat
tionghoa masa lampau (disebut dengan tionghoa totok). Informasi yang kami peroleh
menunjukkan bahwa dinamika dalam keluarga Tionghoa totok mengikuti pola gerak alam
yang mengandung unsur “Yang” dan “Yin”, yaitu unsur-unsur aktif dan unsur pasif sebagai
simbol yang mewakili sifat laki-laki dan wanita. Sebagai satu lembaga, keluarga harus
mempunyai pimpinan yang akan melindungi dan mengayomi keluarga.
Dalam hal ini yang mendapat peran sebagai pemimpin adalah ayah. Dengan
demikian struktur kekerabatan yang dianut oleh keluarga Tionghoa totok adalah patrilineal.
Pada sistem kekerabatan petrilineal nama keluarga atau “She” diturunkan sebagai garis
keturunan ayah, sehingga peran ayah dan anak laki-laki sangat penting. Anak laki-laki tertua
akan menggantikan kedudukan ayah sebagai kepala keluarga bila ayahnya meninggal dunia,
dan dia pula yang akan menerima warisan paling banyak dibandingkan saudara laki-laki
lainnya. Dalam keluarga Tionghoa totok, anak wanita tidak mendapatkan warisan karena
setelah menikah dia akan mengikuti dan menjadi tanggungjawab keluarga suaminya. Selain
itu yang berhak untuk mengurus dan memelihara abu leluhur serta melaksanakan upacara
penghormatan terhadap arwah leluhur adalah anak laki-laki.
Pernikahan dalam masyarakat Tionghoa merupakan masa yang penting, karena
kedewasaan seseorang dilihat dari apakah ia sudah menikah atau belum. Oleh karena itu
upacara pernikahan dibuat secara besar-besaran dan mengesankan. Pada masa yang lalu,
terutama pada keluarga Tionghoa totok, pernikahan diatur oleh orang tua kedua belah pihak.
Sebelum pernikahan, mereka belum saling mengenal, dan baru mengenal pada saat upacara
pernikahan. Namun jenis perjodohan seperti ini sudah jarang terjadi.
Sebelum hari pernikahan orangtua pihak laki-laki mengantar “ang-pao” yaitu uang
yang dibungkus kertas merah yang sering disebut uang susu atau tetek, yang dimaksudkan
sebagai uang pengganti biaya selama wanita dalam pengasuhan orangtuanya. Bila pihak
wanita orangtuanya kaya atau berkecukupan biasanya menolak secara halus karena takut
dianggap menjual anak gadisnya. Bila keluarga wanita kekurangan maka “ang-pao” ini
diterima dengan suka cita. Selain “ang-pao” mereka juga membawa barang-barang
pemberian yang lain berupa pakaian dan perhiasan.
Bila wanita menikah dengan anak laki-laki tertua, maka setelah menikah ia sebagai istri
harus mengikuti suaminya dan tinggal menetap di rumah orangtua suami (mertua), karena
terkait dengan kewajiban suaminya untuk memelihara abu leluhur. Di dalam rumah tangga
mertua ini, istri harus patuh dan tunduk mengikuti aturan dan tata tertib yang berlaku. Ia juga
harus mendampingi dan membantu suaminya dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya
sebagai anak terhadap orangtuanya. Wanita yang hidup dalam rumah tangga mertuanya
dituntut dapat menyesuaikan diri dan mempunyai rasa toleransi yang tinggi. Proses
penyesuaian diri ini seringkali sangat berat karena aturan-aturan yang sangat menekan.
Bahkan sering terjadi konflik antara menantu wanita dengan mertua. Walaupun demikian,
seburuk apapun hubungan antara menantu wanita dan mertua, hubungan ini tidak dapat putus
karena menantu sudah dianggap sebagai anak oleh mertua. Kelak bila suaminya meninggal ia
masih menjadi tanggungan keluarga suami karena ia sudah dianggap sebagai anak sendiri.
Seandainya wanita yang sudah menjadi janda ini akan menikah lagi, maka keluarga
almarhum suaminya yang akan mengatur dan melaksanakan pernikahan berikutnya.
Dalam tradisi orang Tionghoa, perceraian sangat ditabukan karena akan mencemarkan
keluarga. Kalaupun sampai terjadi perceraian, biasanya karena alasan istri tidak bisa
melahirkan anak laki-laki atau istri tidak mau hidup bersama dengan istri muda suaminya
dalam satu rumahtangga. Kadang-kadang istri juga menganjurkan suaminya menikah lagi
karena tidak bisa melahirkan anak laki-laki. Dalam tradisi Tionghoa, seorang suami hanya
boleh mempunyai seorang istri, tetapi disamping istri pertamanya ia juga boleh menikah
dengan wanita-wanita lain sebagai istri muda. Tidak jarang istri pertama tinggal bersama-
sama dengan istri muda dalam satu rumahtangga. Istri pertama biasanya menjadi istri utama
yang mengatur seluruh urusan rumah-tangga dan mendampingi suami dalam kegiatan-
kegiatan sosial dan pertemuan-pertemuan keluarga, sedangkan istri kedua bertugas sebagai
pembantunya dalam urusan-urusan rumahtangga. Dewasa ini sebagian besar orang Tionghoa
menganut sistem perkawinan monogami.
Sistem kekerabatan masyarakat Pecinan masa sekarang.
Untuk mengetahui informasi mengeai sistem kekerabatan masyarakat tionghoa di
masa sekarang, khususnya di kawasan pecinan semarang, kami melakukan wawancara pada
beberapa narasumber. Mereka menuturkan, bahwa bagi masyarakat Tionghoa, keluarga
merupakan lembaga inti yang terpenting yang harus dijaga keharmonisannya, karena dalam
keluarga akan dilahirkan manusia-manusia yang akan melanjutkan kehidupan. Dalam upaya
menciptakan keharmonisan hubungan antara suami dengan istri, ayah dengan anak, kakak
dengan adik, mayoritas mereka masih mengadakan acara kumpul keluarga besar secara rutin,
minimal satu tahun sekali.

Berbeda dengan golongan Tionghoa totok, golongan Tionghoa peranakan di


Semarang lebih akomodatif sikapnya terhadap budaya dari luar lingkungannya, terutama
budaya daerah setempat dan budaya barat. Mereka tidak terlalu fanatik mengikuti dari tanah
leluhurnya.

Struktur kekerabatan pada masyarakat Tionghoa peranakan sudah tidak terlalu


berorientasi pada sistem kekerabatan Patrilineal, tetapi sudah menganut sisitem kekerabatan
bilateral. Walaupun demikian sistem kekerabatan patrilineal tidak hilang sama sekali.
Perubahan ini kemungkinan disebabkan karena golongan Tionghoa peranakan ini sudah
berada di Semarang selama kurang lebih 3-4 generasi dan mereka bukan keturunan asli
Tionghoa, mereka tidak dilahirkan di Cina dan bukan berasal dari ayah dan ibu asli Tionghoa.
Dalam keluarga Tionghoa peranakan yang menganut struktur kekerabatan bilateral ada
anggapan bahwa kedudukan anak wanita sama pentingnya dengan kedudukan anak laki-laki
sehingga tidak menjadi masalah jika dalam keluarga tidak ada anak laki-laki. Anak wanita
juga mendapatkan warisan yang sama dengan saudara laki-laki. Dalam keadaan tertentu anak
wanita juga mendapat tugas untuk merawat abu leluhur dan melaksanakan upacara-upacara
penghormatan terhadap arwah leluhur. Golongan Tionghoa peranakan lebih memilih bentuk
keluarga kecil daripada keluarga luas.
Tradisi pingitan yang berlaku pada golongan Tionghoa totok, tidak berlaku pada
golongan Tionghoa peranakan. Wanita-wanita dari golongan Tionghoa peranakan lebih
leluasa melakukan kegiatan di luar rumah. Mereka juga mendapatkan pendidikan yang
memadai di sekolah-sekolah Tionghoa, di sekolah-sekolah Belanda dan sekolah-sekolah
Umum Negeri, bahkan banyak wanita-wanita dari golongan Tionghoa peranakan yang
mencapai pendidikan tinggi.
Dalam masalah pernikahan, keluarga Tionghoa peranakan masih terkait dengan tradisi-
tradisi walaupun tidak seketat dan sekaku aturan yang berlaku pada keluarga Tionghoa totok.
Pernikahan dalam keluarga Tionghoa peranakan mengikuti aturan-aturan agama yang dianut
dan tradisi yang masih berlaku. Walaupun demikian ada beberapa larangan dalam pernikahan
yaitu pernikahan antara orang-orang yang mempunyai nama keluarga atau ‘she” yang sama.
Dewasa ini aturan-aturan tersebut sudah mulai mengendur. Sejauh pernikahan itu bukan
antara kerabat dekat, walaupun mereka satu “she”, diperbolehkan. Yang perlu diperhatikan
adalah larangan wanita menikah dengan laki-laki yang mempunyai hubungan kekerabatan
tapi dari generasi yang lebih muda, misalnya anak dari saudara (keponakan) atau anak dari
sepupu. Pernikahan antara wanita dengan laki-laki yang sederajat tetapi dari generasi yang
lebih tua, misalnya saudara sepupu ibu, diperbolehkan. Aturan-atuiran dalam pernikahan
seperti tersebut di atas, menunjukkan bahwa suami dari golongan Tionghoa peranakan tidak
menghendaki istrinya lebih tua atau lebih tinggi derajat kekerabatannya tinggi.
Setelah menikah istri tidak harus tinggal menetap di kediaman orangtua (mertua).
Keluarga baru ini bebas menentukan akan tinggal menetap di mana. Apakah mereka akan
tinggal di rumah orangtua sendiri, di rumah mertua atau di rumah sendiri. Hubungan
kekerabatan dari pihak ibu dan istri sama dekatnya dengan hubungan kekerabatan dari pihak
ayah atau suami.
Dalam keluarga Tionghoa peranakan, keharmonisan keluarga menjadi hal yang sangat
diutamakan. Dalam keluarga juga mulai dikembangkan sikap-sikap demokratis. Masalah-
masalah penting dalam keluarga diputuskan berdasarkan musyawarah seluruh anggota
keluarga, walaupun keputusan terakhir ada di tanagn ayah sebagai kepala keluarga. Tidak
jarang dalam keluarga Tionghoa peranakan peran ibu lebih dominan dibandingkan dengan
ayah. Hal ini bukan berarti berkurangnya rasa hormat ibu terhadap ayah, tetapi ada hal-hal
atau masalah-masalah dalam keluarga yang memang kurang dikuasai ayah sehingga diambil
alih oleh ibu. Dewasa ini bukan hal tabu lagi bila ayah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan
domestik rumah tangga dan ibu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dipandang kasar.
Perceraian di lingkungan keluarga Tionghoa peranakan sangat dihindari. Kalupun terjadi
perceraian, alasannya bukan hanya karena istri tidak bisa melahirkan anak laki-laki, tetapi ada
lasan-alasan yang lebih kompleks. Perceraian bisanya diselelsaikan secara kekeluargaan dan
sesuai aturan-aturan agama yang dianut. Kecenderungan laki-laki dari lingkungan Tionghoa
peranakan untuk melakukan poligami sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki Tionghoa
totok, karena mereka banyak yang sudah menganut agama Katholik atau Kristen, yang tidak
membenarkan poligami maupun poligini.
3. Sistem Bahasa pada Masyarakat Pecinan
Untuk penggunaan bahasa dalam interaksi sehari-hari, masyarakat pecinan lebih
dominan menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dengan bahasa jawa.
Bahasa cina yang seharusnya menjadi bahasa asli bagi mereka untuk berkomunikasi, kini
sudah mulai pudar. Para generasi muda sudah tidak bisa menggunakan bahasa cina. Dalam
hal ini, hanya para senior saja yang masih menggunakannya, itupun dalam jumlah yang
relatif sedikit.
Ketika kami melakukan observasi pada deretan toko-toko, tepatnya di gang besen
kawasan pecinan semarang, mereka lebih banyak menggunakan bahasa campuran dalam
transaksi perdagangan. Hanya sedikit kata yang diucapkan menggunkan bahasa Cina, seperti
kamsia = terimakasih. Selebihnya, mereka lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia dan
bahasa jawa.
Untuk penggunaan nama sapa’an, disamping mempunyai nama cina, masyarakat
pecinan juga mempunyai nama pendek dalam bahasa jawa dan bahasa Indonesia. Hal ini
kami jumpa ketika melakukan wawancara pada beberapa nama sumber, diantaranya yakni :
Bu Londo ( memiliki nama cina Nyook Mioo) dan pak Han (memiliki nama cina Ong Kho
Tjing). Penggunaan nama sapa’an dalam bahasa Jawa dan Indonesia ini dimaksudkan agar
masyarakat Cina dapat dengan mudah membaur dengan masyarakat pribumi. Dengan adanya
perubahan nama sapa’an seperti tersebut, maka interaksi antara masyarakat Cina dan pribumi
dapat terjalin secara lancar.
4. Simbol dalam Masyarakat Pecinan
Untuk menggali informasi mengenai symbol-simbol yang ada pada masyarakat
pecinan, observasi yang kami lakukan lebih banyak tertuju pada klenteng-klenteng tempat
peribadatan.
Dalam membangun klenteng maupun rumah hunian, masyarakat pecinan
menggunakan konsep feng shui, yakni semacam ilmu atau metode yang digunakan untuk
menganalisa sifat, bentuk, kondisi, dan situasi bumi yang menjadi lokasi/tempat manusia
berada. Dengan berpedoman pada fengshui, maka pengaturan tata ruang baik interior maupun
eksterior akan selaras dengan keseimbangan lingkungan dan alam. Dengan begitu,
masyarakat pecinan akan merasa nyaman menempati bangunan hunian yang sudah sesuai
dengan konsep feng shui ini. Untuk konsultasi mengenai feng shui itu sendiri, pada
masyarakat pecinan ini percaya pada seseorang yang memang memiliki jasa sebagai ahli feng
shui.
Menurut informasi yang kami peroleh, kawasan pecinan Semarang memiliki klenteng
yang yang relatif banyak jumlahnya. Di hitung ada sekitar 8 klenteng, antara lain : kelenteng
Tai Kak Sie/Gang Lombok (1771-1772) terletak di Gang Lombok, kelenteng Liong Hok Bio
(1866) terletak di selatan Gang Besen, kelenteng Ma Tjouw Kiong/ See Hoo Kiong (marga
Liem dibangun tahun 1881), kelenteng Moa Phay Kee/Hoo Hok Bio (1782), kelenteng Tek
Hay Bio/Kwee Lak Kwa (1756), kelenteng Tong Pek Bio (1782) terletak di Gang Pinggir,
keleneteng Cap Kauw King/ Sioe Hok Bio (1753) dan kelenteng Wie Wie Kiong (marga
Tan dibangun pada 1814) terletak di Jl. Sebandaran. Dari 8 kelenteng ini, kami hanya dapat
observasi di dua klenteng, yakni klenteng Tai Kak Sie/Gang Lombok (1771-1772) terletak di
Gang Lombok dan klenteng ...
Dalam membangun klenteng ini, juga memperhitungkan pengunaan feng shui.
Penerapan feng shui pada kelenteng tampak pada lokasi penempatan kelenteng yang berada
di ujung – ujung jalan atau posisi ”tusuk sate”, yang dimaksudkan untuk membersihkan ch’i
negatif atau energi buangan dari rumah-rumah yang ada di sepanjang jalan di depannya.
Pembangunan kelenteng pada ujung-ujung jalan dimaksudkan untuk menetralisir Penggunaan
warna yang khas : Warna pada arsitektur Tionghoa mempunyai makna simbolik. Warna
tertentu pada umumnya diberikan pada elemen yang spesifik pada sebuah bangunan.
Meskipun banyak warna-warna yang digunakan, tapi warna merah dan kuning keemasan
paling banyak dipakai dalam arsitektur Tionghoa di Indonesia. Warna merah banyak dipakai
pada dekorasi interior, dan umumnya dipakai untuk warna pilar. Merah menyimbolkan warna
api dan darah, yang dihubungkan dengan kemakmuran dan keberuntungan,selain itu merah
juga simbol dari kebajikan, kebenaran dan ketulusan, serta sesuatu yang positif. Itulah
mengapa, warna merah sering dipakai dalam arsitektur tionghoa. Bagi masyarakat Cina letak
bangunan sangat penting karena menurut kepercayaan mereka dan menurut feng shui arah
dan letak bangunan mempunyai makna baik dan buruk. Arah selatan dianggap sebagai arah
yang paling baik karena mendapat banyak sinar matahari. Sinar matahari mengandung unsur
yang (melambangkan kekuatan, keperkasaan, kejantanan, dan lain sebagainya), yang sangat
dibutuhkan dalam kehidupan manusia.
Unsur-unsur yang ada di dalam kelenteng harus disesuaikan dengan yang dan yin
(kekuatan positif dan negatif), lima lambang struktur alam yaitu air, kayu, api, tanah, logam
serta arah mata angin yang dilambangkan dengan binatang naga, macan, burung phoenix,
kura-kura, ular, dan warna merah, biru/hijau, kuning, hitam.
Mengenai pemaknaan simbol-simbol seperti halnya yang telah terpapar di atas, hanya
generasi cina yang sudah berumr senior saja yang dapat memberikan informasi seperti itu.
Ketika kami bertanya pada masyarakat pecinanyang berumur relatif muda, mereka sama
sekali tidak mengetahui mengenai pemaknaan simbolsimbol tersebut.
Source : http://supriyantowibowo.blogspot.co.id/2012/01/komunitas-pecinan-di-kota-semarang.html

Anda mungkin juga menyukai