Pada jaman pemerintahan kolonial Belanda telah terdapat etnis Tiong hoa yang hidup
di Indonesia. Etnis Tiong hoa pada saat itu datang ke Indonesia untuk berdagang. Dengan
mempertimbangkan pengaruh mereka yang besar dalam perekonomian, kemudian pemerintah
Belanda membuat kebijakan untuk memisahkan kebersamaan antara etnis Tiong hoa dengan
masyarakat pribumi karena takut apabila masyarakat pribumi dan etnis Tiong hoa bersatu
akan membahayakan posisi pemerintahan Belanda. Pemerintahan Belanda juga memberikan
keistimewaan kepada etnis Tiong hoa untuk berdagang secara bebas sedangkan membatasi
masyarakat pribumi untuk berdagang bahkan bertani ataupun dalam hal mengenyam
pendidikan.
Stratifikasi social yang ada di daerah ini muncul pertama kali pada masa Zaman
Penjajahan Belanda. Stratifikasi social ini muncul karena latar belakang kepentingan
politik pada masa itu. Pemerintah Belanda pada saat itu membeda-bedakan antara
etnis China dengan Kaum Pribumi. Mereka membuat hubungan kaum pribumi dengan
etnis Tionghoa yang pada saat itu baik menjadi ada jarak di antara mereka.
Pemerintahan belanda khawatir jika kaum pribumi dan etnis tionghoa bersatu akan
membahayakan keberadaan mereka di kota Semarang . Pada waktu itu pemerintah
kolonial Belanda mengkotak-kotakkan kaum pribumi dengan etnis Cina, serta
mengistimewakan masyarakat etnis Cina sehingga menimbulkan kecemburuan sosial
antara masyarakat pribumi dengan etnis Cina.
Stratifikasi sosial pada masa Penjajahan Belanda berlanjut pada masa Orde Lama.
Pada masa orde lama motif stratifikasi hampir sama dengan pada masa penjajahan
Kolonial Belanda yaitu kepentingan politik. Politik ini dibuat seakan-akan stratifikasi
muncul dari dalam etnis tionghoa. Pada saat itu presiden Soekarno mencetuskan
Nasakom yang mengakibatkan Indonesia terbagi menjadi tiga kelompok yaitu
kelompok nasionalis, agamis, dan komunis. Karena Indonesia punya hubungan
diplomatic dengan Cina yang Notabena ialah Negara komunis maka banyak golongan
nasionalis dan agamis membenci Cina sampai kepada etnis Cina yang telah berada di
Indonesia.
Stratifikasi sosial pada masa orde baru juga hampir sama dengan masa-masa
pemerintahan sebelumnya, bahkan jauh lebih parah. Hal ini dikarenakan pada masa
ini etnis tionghoa sama sekali tidak bebas dalam menjalankan aktifitasnya sebagai
seorang warga negara, bahkan saat beribadah pun mereka harus sembunyi-sembunyi.
Dan mereka harus memeluk agama yang diakui di Indonesia seperti Kristen ataupun
Khatolik hal itu dikarenakan kepercayaan Kong Hu Chu dianggap sebagai komunis
oleh pemerintah Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri, stratifikasi sosial yang berlaku dalam sebuah masyarakat akan
menimbulkan sebuah perubahan sosial yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat. Meskipun kita telah tahu banyak tentang perubahan sosial yang ada di Pecinan
semarang, di sisi lain kita juga belum mengetahui tentang perubahan itu sendiri.
Struktur sosial pada setiap masyarakat pada dasarnya berbeda-beda, dan dalam hal ini
masyarakat Cina Klasik bersifat cenderung kaku dan stabil. Menurut seorang warga di daerah
pecinan yang berhasil kami wawancarai, yakni bernama Ibu Londo (52 tahun), menuturkan
bahwa masyarakat pecinan saat ini sudah tidak begitu mengenal stratifikasi. Mereka
menganggap semua sama. Sehingga tidak ada stratifikasi dalam mereka berinteraksi satu
dengan yang lain. Interaksi tanpa memandang kasta juga berlaku saat mereka berinteraksi
dengan masyarakat pribumi. Karena rata-rata masyarakat yang ada di daerah pecinan saat ini
merupakan tionghoa keturunan dan mereka merupakan keturunan yang ke-4, ke-5, ke-6.
Dalam hal ini tampak bahwa stratifikasi social yang ada di pecinan saat ini tidak
seradikal pada masa zaman penjajahan belanda, masa orde lama, ataupun masa orde baru.
Stratifikasi social saat ini yang terjadi di pecinan kami melihatnya lebih kepada perbedaan
status ekonomi yang terlihat sangat mencolok. Di satu daerah berjejer toko emas yang begitu
ramai tapi di daerah lain di pecinan ada juga warga yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Mayarakat pribumi yang ada di kawasan pecinan Semarang hanya sekitar kurang
lebih sebesar 15% dari total penduduk yang ada di Pecinan. Rata-rata dari mereka bermata
pencaharian sebagai pekerja di toko-toko yang ada di kawasan pecinan. Sebagian dari mereka
juga ada yang memiliki toko-toko tetapi hanya sebagian kecil, dan itupun tidak sebesar toko-
toko yang dipunyai oleh orang tionghoa .Gambaran seperti tersebut kami temukan ketika
mulai memasuki gang Besen di kawasan Pecinan daerah Pekojan Semarang.
Pada awalnya, ada kecemburuan yang ditimbulkan oleh kaum pribumi, mengingat
kehidupan social kaum Tionghoa yang lebih terkesan mewah, rata-rata termasuk kalangan
ekonomi menengah keatas, dan menempati kawasan kawasan yang elite di kawasaan
Pecinan. Sampai-sampai, sector-sektor penting pun dikuasai secara besar-besaran oleh kaum
Tionghoa di sekitar kawasan Pecinan. Kami melihat bahwa hal ini merupakan sebagai bagian
dari kepribadian masyarakat Cina itu sendiri, yang menurut kami merupakan sebagai
masyarakat yang tergolong rajin dalam hal mencari dan meningkatkan taraf hidup untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik.
Sejarah masa lalu, sebenanarnya juga sangat mempengaruhi. Yang paling kentara
adalah sentimen rasial di Tionghoa pada tahun 1980 yang secara garis besar bersumber pada
masalah ekonomi yang tidak merata. Etnis Tionghoa yang memiliki jiwa dagang yang ulet,
pekerja keras, pola pikir yang memiliki harapan ke depan, itu juga yang membuat sentimen-
sentimen itu muncul. Pada dasarnya, prinsip yang dianut kaum Tionghoa, bisa diterapkan
oleh orang Indonesia, dan tidak seharusnya menimbulkan sentimen rasial. Kehidupan orang
dari segi sosial kaum manapun sebenarnya bias diubah dengan menerapkan prinsip-prinsip
yang baik, dan jangan menjadi penganut semboyan “ nriman ing pandum”.
Berdasarkan hasil wawancara, observasi, serta studi pustaka yang telah telah lakukan,
diperoleh banyak informasi mengenai sistem kekerabatan yang ada pada masyarakat
tionghoa, khususnya informasi mengenai sistem kekerabatan yang terjadi pada masyarakat
tionghoa masa lampau (disebut dengan tionghoa totok). Informasi yang kami peroleh
menunjukkan bahwa dinamika dalam keluarga Tionghoa totok mengikuti pola gerak alam
yang mengandung unsur “Yang” dan “Yin”, yaitu unsur-unsur aktif dan unsur pasif sebagai
simbol yang mewakili sifat laki-laki dan wanita. Sebagai satu lembaga, keluarga harus
mempunyai pimpinan yang akan melindungi dan mengayomi keluarga.
Dalam hal ini yang mendapat peran sebagai pemimpin adalah ayah. Dengan
demikian struktur kekerabatan yang dianut oleh keluarga Tionghoa totok adalah patrilineal.
Pada sistem kekerabatan petrilineal nama keluarga atau “She” diturunkan sebagai garis
keturunan ayah, sehingga peran ayah dan anak laki-laki sangat penting. Anak laki-laki tertua
akan menggantikan kedudukan ayah sebagai kepala keluarga bila ayahnya meninggal dunia,
dan dia pula yang akan menerima warisan paling banyak dibandingkan saudara laki-laki
lainnya. Dalam keluarga Tionghoa totok, anak wanita tidak mendapatkan warisan karena
setelah menikah dia akan mengikuti dan menjadi tanggungjawab keluarga suaminya. Selain
itu yang berhak untuk mengurus dan memelihara abu leluhur serta melaksanakan upacara
penghormatan terhadap arwah leluhur adalah anak laki-laki.
Pernikahan dalam masyarakat Tionghoa merupakan masa yang penting, karena
kedewasaan seseorang dilihat dari apakah ia sudah menikah atau belum. Oleh karena itu
upacara pernikahan dibuat secara besar-besaran dan mengesankan. Pada masa yang lalu,
terutama pada keluarga Tionghoa totok, pernikahan diatur oleh orang tua kedua belah pihak.
Sebelum pernikahan, mereka belum saling mengenal, dan baru mengenal pada saat upacara
pernikahan. Namun jenis perjodohan seperti ini sudah jarang terjadi.
Sebelum hari pernikahan orangtua pihak laki-laki mengantar “ang-pao” yaitu uang
yang dibungkus kertas merah yang sering disebut uang susu atau tetek, yang dimaksudkan
sebagai uang pengganti biaya selama wanita dalam pengasuhan orangtuanya. Bila pihak
wanita orangtuanya kaya atau berkecukupan biasanya menolak secara halus karena takut
dianggap menjual anak gadisnya. Bila keluarga wanita kekurangan maka “ang-pao” ini
diterima dengan suka cita. Selain “ang-pao” mereka juga membawa barang-barang
pemberian yang lain berupa pakaian dan perhiasan.
Bila wanita menikah dengan anak laki-laki tertua, maka setelah menikah ia sebagai istri
harus mengikuti suaminya dan tinggal menetap di rumah orangtua suami (mertua), karena
terkait dengan kewajiban suaminya untuk memelihara abu leluhur. Di dalam rumah tangga
mertua ini, istri harus patuh dan tunduk mengikuti aturan dan tata tertib yang berlaku. Ia juga
harus mendampingi dan membantu suaminya dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya
sebagai anak terhadap orangtuanya. Wanita yang hidup dalam rumah tangga mertuanya
dituntut dapat menyesuaikan diri dan mempunyai rasa toleransi yang tinggi. Proses
penyesuaian diri ini seringkali sangat berat karena aturan-aturan yang sangat menekan.
Bahkan sering terjadi konflik antara menantu wanita dengan mertua. Walaupun demikian,
seburuk apapun hubungan antara menantu wanita dan mertua, hubungan ini tidak dapat putus
karena menantu sudah dianggap sebagai anak oleh mertua. Kelak bila suaminya meninggal ia
masih menjadi tanggungan keluarga suami karena ia sudah dianggap sebagai anak sendiri.
Seandainya wanita yang sudah menjadi janda ini akan menikah lagi, maka keluarga
almarhum suaminya yang akan mengatur dan melaksanakan pernikahan berikutnya.
Dalam tradisi orang Tionghoa, perceraian sangat ditabukan karena akan mencemarkan
keluarga. Kalaupun sampai terjadi perceraian, biasanya karena alasan istri tidak bisa
melahirkan anak laki-laki atau istri tidak mau hidup bersama dengan istri muda suaminya
dalam satu rumahtangga. Kadang-kadang istri juga menganjurkan suaminya menikah lagi
karena tidak bisa melahirkan anak laki-laki. Dalam tradisi Tionghoa, seorang suami hanya
boleh mempunyai seorang istri, tetapi disamping istri pertamanya ia juga boleh menikah
dengan wanita-wanita lain sebagai istri muda. Tidak jarang istri pertama tinggal bersama-
sama dengan istri muda dalam satu rumahtangga. Istri pertama biasanya menjadi istri utama
yang mengatur seluruh urusan rumah-tangga dan mendampingi suami dalam kegiatan-
kegiatan sosial dan pertemuan-pertemuan keluarga, sedangkan istri kedua bertugas sebagai
pembantunya dalam urusan-urusan rumahtangga. Dewasa ini sebagian besar orang Tionghoa
menganut sistem perkawinan monogami.
Sistem kekerabatan masyarakat Pecinan masa sekarang.
Untuk mengetahui informasi mengeai sistem kekerabatan masyarakat tionghoa di
masa sekarang, khususnya di kawasan pecinan semarang, kami melakukan wawancara pada
beberapa narasumber. Mereka menuturkan, bahwa bagi masyarakat Tionghoa, keluarga
merupakan lembaga inti yang terpenting yang harus dijaga keharmonisannya, karena dalam
keluarga akan dilahirkan manusia-manusia yang akan melanjutkan kehidupan. Dalam upaya
menciptakan keharmonisan hubungan antara suami dengan istri, ayah dengan anak, kakak
dengan adik, mayoritas mereka masih mengadakan acara kumpul keluarga besar secara rutin,
minimal satu tahun sekali.