PENDAHULUAN
1
(trias) anestesia, yaitu : Hipnosis (tidur), Analgesia (bebas dari nyeri), Relaksasi
otot.6-7
Hipnosis didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran, isofluran,
sevofluran). Analgesia didapat dari N2O, analgetika narkotik, NSAID tertentu.
Sedangkan relaksasi otot didapatkan dari obat pelemas otot (muscle relaxant).
Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot sehingga akan
mempermudah tindakan pembedahan. Tujuan Anastesi Umum adalah Anestesi umum
menjamin hidup pasien, yang memungkinkan operator melakukan tindakan bedah
dengan leluasa dan menghilakan rasa nyeri.7
2
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Tanggal : 21 Maret 2017
Nama : An. M. Rizky
Jenis Kelamin : perempuan
Umur : 6 tahun
BB : 20 kg
Ruang : Bangsal THT
Diagnosis : Tonsilitis Kronis
Tindakan : Tonsilektomi
3
sendiri. Namun keluhan yang dirasakan pasien sekarang sangat mengganggu, karena
menurut pasien nyeri menelan yang dirasakan pasien sekarang sangat sering.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15 (E4 M6 V5)
Vital sign
TD : 100/60 mmhg
Respirasi : 24 x/ menit, regular, isi dan tegangan cukup
Nadi : 98x/ menit
Suhu : 36,9 °C
Kepala
Mata : Pupil isokor kanan dan kiri, Refleks cahaya (+/+),
Konjungtiva anemis (-/-), Sclera ikhterik (-/-)
Telinga : DBN
4
Hidung : Epistaksis (-), deviasi septum (-)
Tenggorokan : T3 – T3, Hiperemis (-), Detritus (-), Kripta
Melebar (+).
Mulut : Mukosa tidak anemis, lidah kotor (-),
o Mallampati II
Thorax
Paru
Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-)
Palpasi : Vocal Fremitus normal, kanan kiri sama
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-), Wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V mid clavikula
Perkusi : Batas jantung kanan ICS II, Batas Jantung
Kiri ICS II midcalvicula lateral.
Auskultasi : BJ I-II regular, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : BU (+) Normal
Palpasi : Supel, Nyeri Tekan (-), nyeri lepas (-), massa
(-), bising usus (+) normal
Pekusi : Timpani
5
Genitalia
Tidak Diperiksa
Ekstremitas
Superior : Akral hangat (+/+), sianosis (-/-), edema (-/-)
Inferior : Akral hangat (+/+), sianosis (-/-), edema (-/-)
Pemeriksaan Penunjang
EKG : Irama Sinus Normal
Foto Thorak : Cor dan Paru dalam batas Normal
Laboratorium
DARAH RUTIN
WBC : 10,04 103/mm3
RBC : 4,77 103/mm3
HGB : 12,2 g/dl
HCT : 37 %
PLT : 324 103/mm3
Clotting Time : 4 menit
Bleeding Time : 1 menit
6
KIMIA DARAH
Faal Hati
SGOT : 27 U/L
SGPT : 17 U/L
Faal Ginjal
Ureum : 15,0 mg/dl
Kreatinin : 0,7 mg/dl
Induksi : propopol 40 mg
Pelumpuh otot : Atracurium 10 mg
7
BAB III
LAPORAN ANASTESI
2. Pemeriksaan Penunjang
EKG : Irama Sinus Normal
Foto Thorak : Cor dan Paru dalam batas Normal
8
Laboratorium
DARAH RUTIN
WBC : 10,04 103/mm3
RBC : 4,77 103/mm3
HGB : 12,2 g/dl
HCT : 37 %
PLT : 324 103/mm3
Clotting Time : 4 menit
Bleeding Time : 1 menit
KIMIA DARAH
Faal Hati
SGOT : 27 U/L
SGPT : 17 U/L
Faal Ginjal
Ureum : 15,0 mg/dl
Kreatinin : 0,7 mg/dl
9
Dexamethasone 5 mg
3. Medikasi
o Propopol 40 mg
o Phentanil 40 mcg
o Atracurium 10 mg
4. Intubasi : ETT no. 5
5. Maintenance : Sevoflurans + N2O : O2
6. Jumlah Cairan
Input : RL Kolf 1 300 ml
Output : ± 50 cc
Perdarahan : ± 20 cc
Maimtenance (M)
M = 2 cc/KgBB/ Jam
= 2 x 20 cc
M = 20 x 2 cc 40 cc
10
Kebutuhan cairan selama operasi :
Jam I : ½ (P) + M + O
½ (320) + 40 + 80 280 cc
V. RUANG PEMULIHAN
1. Masuk Jam : 09.45
2. Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15
TD : 110/68 mmHg
Nadi : 120 x/ menit
Pernafasan : 25/menit
11
Suhu : 36,7°C
3. Pernafasan : Baik
Scoring Alderate:
Aktifitas :2
Pernafasan :2
Warna Kulit :2
Sirkulasi :2
Kesadaran :2
Jumlah : 10
INSTRUKSI ANASTESI
Awasi KU dan tanda-tanda vital tiap 15 menit
Tidur terlentang tanpa bantal selama 1X24 jam post operasi
Boleh minum bertahap ½ gelas selama 1 jam
Lanjutkan terapi sesuai instruksi dr. Yulianti , Sp.THT
12
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Tonsilitis
4.1.1 Definisi
Tonsilitis adalah peradangan pada tonsila palatina yang disebabkan oleh
kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridons dan streptococcus
pygenes, namun dapat juga disebabkan bakteri jenis lain atau oleh virus.1
4.1.3 Diagnosis
Diagnosis berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Dengan bantuan spatel, lidah ditekan untuk melihat keadaan tonsil, yaitu
warnanya, besarnya, muara kripte apakah melebar dan ada detritus, nyeri tekan,
arkus anterior hiperemis atau tidak. 1,2,3
13
Gambar.3.2 Ukuran Tonsil
3.1.4 Penatalaksanaan1-4
a. Penatalaksanaan tonsilitis kronik
Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur / hisap.
Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi
konservatif tidak berhasil.
14
b. Bila terapi medikamentosa tidak berhasil dianjurkan terapi radikal dengan
tonsilektomi. Indikasi tonsilektomi
Relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan terapi
antibiotik adekuat.
Halitosis (nafas bau) akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik
dengan pemberian terapi medis.
Tonsilitis kronis atau berulang pada linier Streptokokkus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik
Mutlak (Absolut)
Pembengkakan tonsil menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia
berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmonal.
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase.
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan tempat yang
dicurigai limfoma (keganasan)
Hipertropi tonsil atau adenoid dengan sindrom apnoe waktu tidur.
Infeksi
o Infeksi telinga tengah berulang
o Rinitis dan sinusitis yang kronis
o Peritonsiler abses
15
4.2 Anestesi Umum
4.2.1 Definisi Anestesi Umum
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen
anestesi yang ideal terdiri : hipnotik, analgesia, relaksasi otot.5
b. Halotan
Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan pada nafas
kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan dengan respon klinis pasien.
Halotan menyebbakan vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah otak yang sulit
dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk
16
bedah otak.7 Kebalikan dari N2O, halotan analgesinya lemah, anestesinya kuat,
sehingga kombinasi keduanya ideal sepanjang tidak ada kontraindikasi.7
c. Enfluran
Induksi dan pulih anestesi lebih cepat dibandingkan halotan. Efek depresi
nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat, dan lebih iritatif dibandingkan
halotan, tetapi jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih
baik dibandingkan halotan. 7
d. Isofluran
Dapat menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi
meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, namun hal ini dapat
dikurangi dengan teknik anestesia hiperventilasi, sehingga banyak digunakan untuk
7
bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan
gangguan koroner.
e. Sevofluran
Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesia inhalasi di samping halotan. Efek
terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebbakan aritmia. Efek terhadap
sistem saraf pusat sama seperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap
hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Belum
ada laporan yang membahayakan terhadap tubuh manusia. 7
17
lebih cepat dan lebih menyenangkan bagi ahli anestesi. Oleh karena itu, agen
intravena dapat digunakan sendiri untuk menimbulkan anestesi.9
Di antara kekurangannya, paling menonjol induksi yang cepat (kadang-
kadang sangat cepat) dan depresi cerebrum yang jelas, seperti terlihat pada gangguan
pernapasan yang mengharuskan digunakannya ventilasi dan ketidak-stabilan
hemodinamik. Agen induksi intravena biasanya digunakan bersama dengan anestesi
inhalasi lain untuk mendapatkan analgesia yang memadai dan dengan relaksan otot
untuk mendapatkan operasi yang optimum. 9
Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi anesthesia,
induksi dan pemeliharaan anesthesia bedah singkat, suplementasi hypnosis pada
anesthesia atau tambahan pada anelgesia regional dan sedasi pada beberapa tindakan
medik atau untuk membantu prosedur diagnostik misalnya tiopental, ketamin dan
propofol.6,7
Untuk anestesia intravena total biasanya menggunakan propofol.7 Anestesi
intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh hanya satu macam obat
yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula kerja cepat, lama kerja
pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia, disertai oleh
amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat
antagonisnya, cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi
respirasi dan kardiovaskuler, pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada
disfungsi organ, tanpa efek samping (mual muntah), menghasilkan pemulihan yang
cepat. Untuk mencapai tujuan di atas, kita dapat menggunakan kombinasi beberapa
obat atau cara anestesi lain. Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling berpotensi
atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang lain.6
a. Barbiturate
Contoh di sini ialah pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat anestesi
intravena yang bekerja cepat (short acting).6 Bekerja menghilangkan kesadaran
dengan blockade sistem sirkulasi (perangsangan) di formasio retikularis. Barbiturate
menghambat pusat pernafasan di medula oblongata. Tidal volume menurun dan
18
kecepatan nafas meninggi dihambat oleh barbiturate tetapi tonus vascular meninggi
dan kebutuhan oksigen badan berkurang, curah jantung sedikit menurun. Barbiturate
tidak menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin. 6
b. Propofol
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat
isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg). 7 Onset cepat, lama kerja pendek. Efek
kerja dicapai dalam 15-45 detik. Efek puncak 1 menit, lama aksi 5-10 menit.
Akumulasi minimal, cepat dimetabolisme, pemulihan cepat.10
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
7
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Efek hipnotik 1,8 kali
pentothal. Depresi jalan nafas lebih besar dibandingkan pentothal. Efek anti emetik
positif. Mekanisme kerja diduga menghasilkan efek sedatif hipnotik melalui interaksi
dengan GABA (gamma-amino butyric acid), neurotransmitter inhibitori utama pada
SSP.10
Propofol menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan juga
tekanan darah. Relaksasi otot polos disebabkan oleh inhibisi simpatik. Efek negative
inotropik disebabkan inhibisi uptake kalsium intraseluler. Tergantung dosis, propofol
dapat menyebabkan depresi nafas dan apnoe sementara pada beberapa pasien setelah
induksi IV. Pemberian opioid preoperatif dapat meningkatkan depresi nafas. Dapat
menurunkan volume tidal dan frekuensi nafas serta dilatasi bronkus. Efek pada SSP
dapat menurunkan metabolisme O2 di otak, aliran darah serebral, dan tekanan
intrakranial.10
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi
intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg.
Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrose 5%. Pada manula dosis harus
dikurangi, pada anak < 3 tahun dan pada wanita hamil tidak dianjurkan. 7
19
c. Ketamin
Ketamine adalah derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif
yang menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan
nistagmus lambat. Pada saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi, terjadi
amnesia dan analgesia yang sangat baik. Ketamin meningkatkan tekanan darah
sistolik 23% dari baseline, denyut jantung meningkat, kadang-kadang timbul aritmia,
serta menimbulkan hipersekresi.
Mula kerja 30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20
menit, tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh. Waktu paruh
7-11 menit. Kadar plasma tertinggi pada IV 1 menit, pada IM 5 menit.6 Dosis bolus
untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. Efek
analgesik dicapai dengan dosis sub anestetik 0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas
dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml
= 100 mg). 7
d. Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis
tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk
induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil
dosis induksi 20-50 mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit. 7
e. Benzodiazepin
Benzodiazepin yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam, lorazepam,
dan midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk medikasi pra-anestetik
(sebagai neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi konvulsi yang disebabkan oleh
anestetik lokal dalam anestetik regional.5 Digunakan untuk induksi anesthesia,
kelompok obat ini menyebabkan tidur, mengurangi cemas, dan menimbulkan
amnesia anterograd (setelah pemberian midazolam IM, IV), tetapi tidak berefek
analgesic. Efek pada SSP ini dapat diatasi dengan antagonisnya, flumazenil.6
20
1.) Midazolam
Obat induksi jangka pendek atau premedikasi, pemeliharaan anestesi,
bekerja cepat dan karena transformasi metaboliknya cepat dan lama kerjanya
singkat, bekerja kuat menimbulkan sedasi dan induksi tidur. Kemasan suntik 1
mg/ml, 5 mg/ml. Mula kerja 30 detik-1 menit IV, 15 menit IM. Efek puncak
pada IV 3-5 menit, IM 15-30 menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM.
Konsentrasi plasma maksimum dicapai dalam 30 menit.
Midazolam menyebabkan tekanan darah menurun, lebih rendah dari
diazepam, penurunan sistolik maksimal 15%, yang disebabkan oleh
vasodilatasi perifer. Efek depresi pernafasan minimal. Juga menurunkan
metabolisme O2 di otak dan aliran darah ke otak. Dosis pre medikasi 0,03-
0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg IV, induksi 0,1-0,4 mg/kgbb IV.10
2.) Diazepam
Adalah obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot,
antikonvulsi dan amnesia.. Waktu paruh 20-50 jam, tergantung fungsi liver.
Dibandingkan dengan barbiturate, efek anestesi diazepam kurang memuaskan
karena mula kerjanya lambat dan masa pemulihannya lama.10
Diazepam digunakan untuk berbagai macam intervensi (menimbulkan
sedasi basal sebelum dilakukan pengobatan utama), meringankan kecemasan,
anxietas atau stress akut, dan prosedur seperti berkurangnya ingatan, juga
untuk induksi anestesia terutama pada penderita dengan penyakit
kardiovaskular. Diazepam juga digunakan untuk medikasi preanestetik dan
untuk mengatasi konvulsi. Menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran yang
disertai nistagmus dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesik.6
Dosis premedikasi 10-20 mg IM, induksi 0,3-0,6 mg/kgBB IV. Anak-
anak 0,1-0,2 mg/kgBB 1 jam sebelum induksi. Dewasa dan remaja 2-20
mg/kg IM/IV tergantung indikasi dan beratnya gejala. Kemasan suntik 5
21
mg/ml. Injeksi dilakukan secara lambat ± 0,5-1 ml/menit, karena pemberian
terlalu cepat dapat menimbulkan apnoe. 10
1. Opioid
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan
dengann reseptor morfin. Mekanisme kerja opioid yakni, reseptor opioid sebenarnya
tersebar luas di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak
tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi
reticular dan di korda spinalis yaitu di substansia gelatinosa dan dijumpai pula di
pleksus saraf usus.
Klasifikasi Opioid
Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin),
tetapi penggolongan ini kurang popular. Penggolongan lain menjadi natural (morfin,
kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidromorfin/morfinon, derivate
tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).
22
a. Morfin
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial
lebih mudah dan lebih menguntungkan dibuat dari bahan getah papaver
somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan
opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).
b. Petidin
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya
sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek
samping yang mendekati sama. Perbedaannya dengan morfin sebagai berikut:
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih
larut dalam air.
2. Metabolism oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang
masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan dan takikardia.
4. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter
Oddi lebih ringan.
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang
tak ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada
dewasa. Morfin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin. Dosis petidin
intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4
jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan
karena iritasi. Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat
23
digunakan untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2
mg/kg BB.
c. Fentanil
Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100xmorfin.
Lebih larut dalam lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar jaringan
dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara
kualitatif hamper sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru
ketika pertama melewatinya. Dimetabolisiir oleh hati dengan N-dealkilasi dan
hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Efek depresi
napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya.
Dosis 1-3 ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit,
karena itu hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk
pasca bedah. Dosis besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia
dan pemeliharaan anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik
kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh
otot.
d. Sufentanil
Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih
cepat dari fentanil. Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil.
Dosisnya 0,1-0,3 mg/kgBB.
e. Alfentanil
Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil. Insiden mual-muntahnya
sangat besar. Mula kerjanya cepat. Dosis analegesinya 10-20 ug/kgBB.
24
f. Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah
pada reseptor mu dan kelamahan analgesinya 10-20% disbanding morfin.
Tramadol dapat diberikan dengan dosis maksimal 400 mg per hari.
25
Di dalam vena suksinil-kolin dimetabolisir oleh kolin-esterase-plasma,
pseudo-kolin-esterase, menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase
(prostigmin) dikontraindikasikan, karena menghambat kerja pseudokolinesterase. 7
Dampak samping suksini ialah: 7
1. Nyeri otot pasca pemberian.
Nyeri otot dapat dikurangi dengan memberikan pelumpuh otot nondepolarisasi
dosis kecil sebelumnya. Dapat terjadi mialgia sampai 90%, dan mioglobinuria.
2. Peningkatan tekanan intraocular.
Akibat kontraksi otot mata eksternal dan dapat dicegah seperti nyeri otot.
3. Penigkatan tekanan intracranial.
4. Peningkatan tekanan intragastrik.
5. Peningkatan kadar kalium plasma.
6. Aritmia jantung
Berupa bradikardi atau ‘ventricular premature beat’.
7. Salviasi
Akibat efek muskarinik.
8. Alergi, anafilaksis
Akibat efek muskarinik.
26
3. Eter-fenolik : Gallamin.
4. Nortoksiferin : Alkuronium.
27
disertai oleh obat vagolitik seperti atropine dosis 0,01-0,02 mg/kg atau glikopirolat
0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa.
28
- ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau
tidak. Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok
hemoragik karena rupture hepatik.
- Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau
IIE.
II. Premedikasi7
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anesthesia diantaranya:
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan.
2. Memperlancar induksi anesthesia.
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik.
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah.
6. Menciptakan amnesia.
7. Mengurangi cairan asam lambung.
29
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi
yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapan membangun
kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan
diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi anesthesia. Jika disertai
nyeri karena penyakitnya dapat diberikan opioid misalnya petidin 50 mg
intramuscular. Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan
pneumonitis asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis
reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidine (zantac) 150
mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau
ondansetron 2-4 mg (zofran,narfoz).
30
Sleeping dose ini dari segi takarannya di bawah dari full dose ataupun maximal
dose. Induksi sleeping dose dilakukan terhadap pasien yang kondisi fisiknya
lemah (geriatri, pasien pre-syok).
2) Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran.
Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena
atau dewasa yang takut disuntik. Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2
atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit
atau campuran N20 : O2 = 3 : 1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5
vol % sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi
halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai
konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk.
Walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %. Seperti
dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan. Induksi dengan
enfluran (etran), isofluran (foran, aeran) atau desfluran jarang dilakukan, karena
pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki
sifat-sifat : tidak berbau menyengat / merangsang, baunya enak, cepat membuat
pasien tertidur.
3) Induksi Intramuskular
Induksi intramuskular biasanya menggunakan injeksi ketamin (ketalar) yang
dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5
menit pasien tidur.
31
4) Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi yang menggunakan tiopental atau
midazolam.
Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu
mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata. Induksi, pemeliharaan dan pulih
dari anestesia umum pada eter lambat. Sehingga stadium anestesia yang disusun oleh
Guedel pasien napas spontan dapat terlihat jelas. 3
Stadium I : Analgesia
Mulai induksi sampai mulai tidak sadar.
Stadium II : Eksitasi, delirium
Mulai tidak sadar sampai mulai napas teratur otomatis. Pada stadium ini
pasien batuk, mual-muntah, henti napas dan lain-lainnya.
Stadium III : Anestesia bedah
Mulai napas otomatis sampai mulai napas berhenti.
Plana 1. Mulai napas otomatis sampai gerak bola mata berhenti.
Plana 2. Mulai gerak bola mata berhenti sampai napas torakal lemah.
Plana 3. Mulai napas torakal lemah sampai napas torakal berhenti.
Plana 4. Mulai napas torakal berhenti sampai napas diafragma berhenti.
Stadium IV : Intoksikasi
Mulai paralisis diafragma sampai henti jantung atau meninggal.
32
paling baik untuk dilakukan pembedahan, midriasis maksimal menandakan pasien
mati.
Prosedur :
Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
Premedikasi + / - (apabila pasien tidak tenang bisa diberikan obat penenang)
efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine; analgesia: opioid, non opioid, dll
33
Induksi
Pemeliharaan
Prosedur :
Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn
durasi singkat)
Intubasi setelah induksi dan suksinil
Pemeliharaan
34
tinggi maka akan dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat
rendah, maka akan didapat anestesi yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi
yang adekuat. Untuk itu diperlukan pemantauan secara ketat terhadap indikator-
indikator kedalaman anestesi.
Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena
(anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena
inhalasi. Rumatan anesthesia biasanya mengacu pada trias anesthesia yaitu tidur
ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama
dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan
intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
ug/kgBB.
Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup,
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-
12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anesthesia total intravena menggunakan
opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan
inhalasi dengan udara+O2 atau N20+O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol% atau
sovofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted)
atau dikendalikan (controlled).
35
Pertahankan anestesi sehingga tercapai keseimbangan anestesi, dengan opioid
(misalnya, remifentanil 0,2-0,3 ug/kg/menit) dan gas anestesi (misalnya 0,5
MAC Desfluran) atau sebagai anestesi intravena total (TIVA) dengan opioid
dan propofol.
Segera rencanakan terapi nyeri pasca-operasi, bila perlu, pemberian analgetik
non-steroid (misalnya 30 mg/kg metamizol) dan pemberian opioid kerja lama
(misalnya 0,1 mg/kg piritramid).
Tanda-tanda klinis untuk kedalaman anestesi yang tidak memadai :
1. Peningkatan tekanan darah.
2. Peningkatan frekuensi denyut jantung.
3. Pasien mengunyah/menelan dan menyeringai.
4. Terdapat pergerakan.
5. Berkeringat.
36
Jantung : obat-obat yang mendepresi miokard/menurunkan aliran darah
koroner.
Ginjal : obat yang diekskresi di ginjal.
Paru : obat yang merangsang sekresi paru/bronkus
Endokrin : hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah/ hindarkan
pemakaian obat yang merangsang susunan saraf simpatis
pada diabetes penyakit basedow, karena bisa menyebabkan
peninggian gula darah.11
a. Komplikasi Kardiovaskular
Hipotensi : tekanan systole kurang dari 70mmHg atau turun 25% dari
sebelumnya.
Hipertensi : umumnya tekanan darah dapat meningkat pada periode induksi dan
pemulihan anestesia. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada
penyakit jantung, karena jantung akan bekerja keras dengan kebutuhan O2
miokard yang meningkat, bila tak tercukupi dapat timbul iskemia atau infark
miokard. Namun bila hipertensi karena tidak adekuat dapat dihilangkan dengan
menambah dosis anestetika.
Aritmia Jantung : anestesi ringan yang disertai maniplasi operasi dapat
merangsang saraf simpatiks, dapat menyebabkan aritmia. Bradikardia yang terjadi
dapat diobati dengan atropine
37
Payah Jantung : mungkin terjadi bila pasien mendapat cairan IV berlebihan.
b. Komplikasi Respirasi
Obstruksi jalan nafas
Batuk
Cekukan (hiccup)
Intubasi endobronkial
Apnoe
Atelektasis
Pneumotoraks
Muntah dan regurgitas
c. Komplikasi Mata
Laserasi kornea, menekan bola mata terlalu kuat
d. Komplikasi Neurologi
Konvulsi, terlambat sadar, cedera saraf tepi (perifer)
e. Perubahan Cairan Tubuh
Hipovolemia, Hipervolemia
f. Komplikasi Lain-Lain
Menggigil, gelisah setelah anestesi, mimpi buruk, sadar selama operasi, kenaikan
suhu tubuh.
38
BAB V
PEMBAHASAN
Pasien An. PB, 6 tahun, Pasien mengeluh nyeri menelan sekitar 3 hari ini.
Pasien merasa ada yang mengganjal ditenggorokan. Nyeri menelan yang dirasakan pasien
membuat pasien kesulitan makan, karena setiap makanan masuk terasa sangat sakit di
teronggorokan pasien. Pasien juga mengeluh demam. Menurut pasien dan ibunya, tidak ada
perubahan suara selama sakit. Keluhan seperti mendengkur (-), sesak napas (-), namun ibu pasien
mengeluh bahwa anaknya sekarang sering bau mulut (+). Menurut ibu pasien dan pasien, pasien
sering jajan sembarangan di sekolah, pasien sering jajan ciki-ciki, permen berwarna warni maupun
es. Sekitar 1 minggu yang lalu pasien mengeluh batuk pilek, namun saat ini pasien tidak sedang
batuk pilek. Sekitar 2 bulan yang lalu menurut ibu pasien, pasien juga pernah mengalami keluhan
seperti ini namun hanya sebentar dan hilang sendiri. Namun keluhan yang dirasakan pasien sekarang
sangat mengganggu, karena menurut pasien nyeri menelan yang dirasakan pasien sekarang sangat
sering. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut pasien didiagnosis dengan
tonsillitis kronis.
Berdasarkan teori, tonsilitis adalah peradangan pada tonsila palatina yang
disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridons dan
streptococcus pygenes, namun dapat juga disebabkan bakteri jenis lain atau oleh
virus. Gejalanya berupa nyeri tenggorokan (yang semakin parah jika penderita
menelan) nyeri seringkali dirasakan ditelinga (karena tenggorokan dan telinga
memiliki persyarafan yang sama). Gejala lain demam, tidak enak badan, sakit kepala,
muntah.
Pada pasien ini direncanakan tindakan radikal tonsilektomi atas indikasi
relative dengan adanya infeksi berulang. Pengobatan tonsillitis kronis adalah dengan
terapi bedah. Bila terapi medikamentosa tidak berhasil dianjurkan terapi radikal
dengan tonsilektomi. Indikasi tonsilektomi relative adalah :2-4 Terjadi 3 episode atau
lebih infeksi tonsil pertahun dengan terapi antibiotik adekuat, halitosis (nafas bau)
akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis, tonsilitis
39
kronis atau berulang yang tidak membaik dengan pemberian antibiotic. Indikasi
mutlak (absolut) tonsilektomi adalah pembengkakan tonsil menyebabkan obstruksi
saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmonal, abses
peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase, tonsilitis yang
menimbulkan kejang demam, tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan
tempat yang dicurigai limfoma (keganasan), hipertropi tonsil atau adenoid dengan
sindrom apnoe waktu tidur dan infeksi berulang.
Pada saat kunjungan pra anestesi (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang), didapatkan status fisik pada pasien ini adalah ASA 1, yaitu
pasien dalam keadaan normal dan sehat, dimana dari hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang berupa laboratorium dan Rontgen thorax PA tidak
ditemukan kelainan.
Tindakan premedikasi yaitu pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
bertujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya
untuk meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesia,
mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat
anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi
isi cairan lambung, mengurangi refleks yang membahayakan. Sebagai obat
premedikasi pada pasien ini yaitu: ondansentron 2 mg, ranitidine 20 mg, asam
traneksamat 500 mg.
Pengelolaan anestesia pada kasus ini adalah dengan menggunakan general
anestesi menggunakan teknik anestesia secara induksi intravena dan rumatan inhalasi.
Induksi pada pasien ini dengan injeksi sulfas atropine 0,25 mg dan fentanyl 40 mg,
dan insersi ETT ukuran 5 difasilitasi dengan Tracrium 10 mg. Dosis pemeliharaan
dengan menggunakan anestesi inhalasi: sevoflurans + N2O : O2
Induksi anestesi merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi. Obat-obatan yang
sering digunakan untuk induksi antar lain tiopental, propofol dan ketamin. Pada
pasien ini tidak diberikan propofol (recofol). Propofol merupakan obat induksi
40
anestesi cepat, yang didistribusikan dan dieliminasikan dengan cepat. Propofol
diberikan dengan dosis bolus untuk induksi 2-2,5mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi
intravena total 4-12 mg/Kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/Kg.
Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernapasan,
apneu, bronkospasme, dan laringospasme. Pada susunan saraf pusat adanya sakit
kepala, pusing, euforia, kebingungan, gerakan klonik-mioklonik, epistotonus, mual,
muntah. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi nyeri.
Pada pasien ini diberikan obat pelumpuh otot atracurium 10 mg iv, yang
merupakan non depolaritation intermediete acting. Atracurium dipilih sebagai agen
penginduksi karena mempunyai beberapa keunggulan antara lain metabolisme terjadi
di dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia unik yang disebut
eliminasi Hofman. Reaksi ini tidak tergantung pada fungsi hati atau ginjal. Selain itu
tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang dan tidak menyebabkan
perubahan fungsi kardiovaskular. Dosis intubasi dan relaksasi otot adalah 0,5-0,6
mg/kgBB (iv), dan dosis pemeliharaan yaitu 0,1-0,2 mg/kgBB (iv).
Pada pasien ini diberikan maintenance O2 + N2O + sevo. Oksigen diberikan
untuk mencukupi oksigen jaringan. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai
O2 minimal 25%, gas ini bersifat sebagai anestetik lemah tetapi analgetiknya kuat.
Sevoflurane merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih anestesi lebih cepat
dibandingkan isoflurane. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihentikan, sevoflurane cepat dikeluarkan
oleh tubuh.
Kebutuhan total cairan pada pasien ini, yaitu 260 cc selama operasi, terdiri
dari jumlah cairan pengganti puasa 160 cc, maintenance 40cc, stress operasi 120 cc
dan perdarahan 20 cc. pada jam I dibutuhkan 260 cc, cairan yang telah masuk RL
sebesar 300 cc. Kebutuhan cairan pada pasien ini telah tercukupi, namun tetap harus
dipantau dalam pengawasan ketat.
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke Recovery Room (RR). Di ruang
inilah pemulihan dari anestesi umum atau anestesi regional dilakukan. RR terletak
41
berdekatan dengan ruang operasi sehingga apabila terjadi suatu kondisi yang
memerlukan pembedahan ulang tidak akan mengalami kesulitan. Pada saat di RR,
dilakukan monitoring seperti di ruang operasi, yaitu meliputi tekanan darah, saturasi
oksigen, EKG, denyut nadi hingga kondisi stabil. Bila pasien gelisah harus diteliti
apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (TD turun, nadi cepat , misalnya karena
hipovolemik). Bila kesakitan harus diberikan analgetik seperti petidin 15-25 mg IV.
tetapi kalau gelisah karena hipoksia harus diobati sebabnya, misalnya dengan
menambah cairan elektrolit (RL), koloid, darah. Oksigen selalu diberikan sebelum
pasien sadar penuh. Pasien hendaknya jangan dikirim ke ruangan sebelem sadar,
tenang, reflek jalan nafas sudah aktif, tekanan darah, nadi dalam batas normal.
Pasien ini diberi obat tambahan yaitu ketorolac, tramadol dan kalnex
bertujuan sebagai analgetik dan dan membantu pembekuan darah. Pasien dapat keluar
dari RR apabila sudah mencapai skor Steward lebih dari 5. Sedangkan pada pasien
ini, didapatkan skornya 6 sehingga masuk ruang RR. Pasien pindah dan dibawa ke
bangsal THT jam 10.00 WIB.
42
Pada saat tindakan Intubasi, Laringoskop diletakkan diletakkan di vallecula (
lekuk antara pangkal lidah dan epiglotis) untuk memudahkan melihat pita suara
dengan lebih jelas serta mengurangi rangsang epiglotis yang berakibat spasme laring.
Komplikasi pada saat pembedahan dapat berupa perdarahan yang dapat
mengakibatkan apirasi. Pembedahan di rongga mulut memungkinkan masuknya
darah ke saluran nafas atau esofagus. Tekanan positif jalan nafas selama induksi
dapat berguna untuk mengurangi obstruksi jalan napas atas. Penggunaan pipa ETT
menurunkan kejadian aspirasi darah selain itu jumlah perdarahan selama pembedahan
tergantung pada keadaan pasien dan faktor operatornya. Jumlah perdarahan sekitar ±
25 cc, perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil yang
robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan, sehingga resiko
terjadi aspirasi kecil.
43
BAB VI
KESIMPULAN
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi AE, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidumg Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2008.
2. Jhon Jacob Ballenger, Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher,
Jakarta, Edisi 13, Jilid I, Cetakan I, 1994
3. Adam GL, Boeis Jr. LC, Higler PA, Boeis Fundamentals of Otolaryngology,
Edisi 6, WB Saunders, Philadelphia, 1989
4. Mansjoer Arif, dkk, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1, Penerbit Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
5. Dobson, M.B.,ed. Dharma A., Penuntun Praktis Anestesi. EGC, Jakarta , 1994
6. Ganiswara, Silistia G. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy Pharmacology).
Alih Bahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta, 1995
7. Latief SA, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta, 2010
8. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology. 4th ed. Appleton &
Lange.Stamford, 1996
9. Sabiston, DC. Buku Ajar Bedah Bagian 1. EGC, Jakarta, 1995
10. Soerasdi E., Satriyanto M.D., Susanto E. Buku Saku Obat-Obat Anesthesia Sehari
hari. Bandung, 2010
11. Werth, M. Pokok-Pokok Anestesi. EGC, Jakarta, 2010
45