Anda di halaman 1dari 39

FISIOLOGI OTOT DAN TULANG

PENDAHULUAN
Diantara karakteristik yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya adalah
kemampuan mempertahankan postur tubuhnya yang bisa tegak dan bergerak yang diatur oleh
sistem muskuloskeletal. Sistem muskuloskeletal tersebut bekerja membuat gerakan dan
tindakan yang harmoni sehingga manusia menjadi seorang yang bebas dan mandiri. Sistem
muskuloskeletal terdiri dari tulang/kerangka, otot, tulang rawan (cartilago), ligamen, tendon,
fascia, bursae dan persendian.

1. TULANG
Sistem skelet (tulang) dibentuk oleh sebuah matriks dari serabut-serabut dan protein yang
diperkeras dengan kalsium, magnesium fosfat, dan karbonat. Bahan bahan tersebut berasal
dari embrio hyalin tulang rawan melalui osteogenesis kemudian menjadi tulang, proses ini
oleh sel-sel yang disebut osteoblast. Terdapat 206 tulang di tubuh yang diklasifikasikan
menurut panjang, pendek, datar, dan tak beraturan, sesuai dengan bentuknya. Permukaan
tulang bagian luar yang keras disebut Periosteum, terbentuk dari jaringan pengikat fibrosa.
Kualitas kerasnya tulang merupakan hasil deposit kalsium. Periosteum mengandung
pembuluh darah yang memberikan suplai oksigen dan nutrisi ke sel tulang. Rongga tulang
bagian dalam diisi dengan sumsum kuning dan sumsum merah. Sumsum tulang merah adalah
tempat hematopolesis yang memproduksi sel darah putih dan merah (RBCs; WBCs) serta
platelet.

 Fungsi tulang adalah sebagai berikut, yaitu :


1. Menahan jaringan tubuh dan memberi bentuk kepada kerangka tubuh
2. Melindungi organ –organ tubuh (contoh tengkorak melindungi otak)
3. Untuk pergerakan (otak melekat kepada tulang untuk berkontraksi dan bergerak)
4. Merupakan gudang untuk menyimpan mineral (contoh kalsium)
5. Hematopoiesis (tempat pembuatan sel darah merah dalam sum-sum tulang)

 Menurut bentuknya tulang dibagi 4 (empat), yaitu :


1. Tulang panjang (tulang paha ,tulang lengan atas ) terdiri dari bagian tengah dan bagian tepi
(epifise). Bagian tengah terdiri dari tulang padat; bagian epifise dari tulang karang
(cancellous atau trabecular),trabecular memberi tenaga kepada tulang ketika menurun
bobotnya
2. Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak tetap dan didalamnya terdiri dari tulang
karang ,bagian luar terdiri dari tulang padat.
3. Tulang ceper (adalah tulang tengkorak) terdiri dari dua tulang karang di sebelah dalam dan
tulang padat di sebelah luar.
4. Bentuk yang tidak beraturan (vertebrae) sama seperti tulang pendek

2. OTOT
Otot dibagi kedalam tiga kelompok utama menurut fungsi kontraksi dan hasil gerakan dari
seluruh bagian tubuh. Pengelompokannya adalah sebagai berikut :
 Otot rangka (striated/otot lurik ) terdapat pada sistem skelet ,memberikan pengontrolan
pergerakan, mempertahankan postur tubuh dan menghasilkan panas
 Otot visceral (otot polos) terdapat pada saluran pencernaan, saluran perkemihan, pembuluh
darah. Otot-otot ini mendapat rangsangan dari saraf otonom berkontraksi diluar kesadaran
 Otot cardiac hanya terdapat pada jantung, berkontraksi diluar pengendalian
Seperti halnya tulang, Otot juga mempunyai beberapa fungsi, antara lain :
1. Untuk menggerakkan skelet
2. Untuk menghasilkan panas
3. Untuk mempertahankan sikap badan

Jaringan otot memiliki karakteristik yang unik mengenai konstraktilitas, ekstensibilitas,


elastisitas, dan iritabilitas. Karena otot bersifat elastis maka dalam bekerja, otot-otot ini
berpasangan namun memiliki aksi yang berlawanan; ketika satu otot berkontraksi (penggerak
yang utama) maka yang lain akan mengendor (antagonis). Gerakan terjadi karena otot
menarik tulang yang berfungsi sebagai tangkai dan persendian bekerja sebagai engsel.
Kekuatan setiap gerakan atau kontraksi tergantung pada panjang asli dari serabut-serabut,
jumlah serabut yang diaktifkan oleh sistem syaraf dan keadaan metabolik otot.
Kontraksi otot yang tidak normal dapat terjadi dalam bentuk :
 Spasmus, suatu kontraksi yang tidak sengaja, dalam waktu yang singkat dan tiba-tiba.
 Kejang/kram, spasme yang menimbulkan rasa nyeri kram, merupakan reaksi tetanus yang
sempurna.
 Kontraksi tetanus,keseluruhan serabut berkontraksi
 Konktraktur, otot berkontraksi tetapi tidak bisa kembali ke bentuk semula.

3. CARTILAGO (TULANG RAWAN)


Tulang rawan terdiri dari serat-serat yang di letakkan pada suatu gelatin yang kuat , tetapi
fleksibel tidak memiliki vaskuler. Nutrisi mencapai kartilago melalui proses disfusi gel /
perekat dari kapiler yang berada pada perichondrium (serabut yang membentuk kartilago)
melalui cairan sinovial. Jumlah serabut collagen yang terdapat pada kartilago menentukan
bentuk fibrous, hyalin atau elastisitas, fibrous (fibrocartilago) memiliki paling banyak serabut
dan karena itu memiliki kekuatan meregang. Fibro kartilago menyusun diskus intervertebralis
artikular (hyaline) kartilago halus, putih, mengkilap dan kenyal membungkus permukaan
persendian dari tulang dan berfungsi sebagai bantalan. Kartilago yang elastis memiliki sedikit
serat dan dapat di temukan pada daerah telinga luar .

4. LIGAMEN (SIMPAY)
Ligamen adalah suatu susunan serabut yang terdiri dari jaringan ikat keadannya kenyal dan
fleksibel. Ligamen mempertemukan kedua ujung tulang dan mempertahankan stabilitas.
Contoh ligamen medial, lateral colateral dari lutut yang mempertahankan diolateral dari sendi
lutut serta ligamen cruciate anterior dan posterior didalam kapsul lutut yang mempertahankan
posisi anterior posterior yang stabil. Ligamen pada daerah tertentu melengket kepada jaringan
untuk mempertahankan struktur, contoh ligamen ovarium yang melalui ujung tuba ke
pritoneum.

5. TENDON
Tendon adalah ikatan jaringan fibrosa yang padat yang merupakan ujung dari otot dan
menempel kepada tulang. Tendon merupakan ekstensi dari selaput fibrosa yang membungkus
otot dan bersambung dengan periosteum. Selaput tendon berbentuk selubung dari jaringan
ikat yang menyelubungi tendon tertentu, terutama pada pergelangan tangan dan tumit.
Selubung ini bersambung dengan membran synovia yang menjamin pelumasan sehingga
mudah bergerak.

6. FASCIA
Fascia adalah suatu permukaan jaringan penyambung longgar yang didapatkan langsung di
bawah kulit sebagai fascia superficial, atau sebagai pembungkus tebal jaringan penyambung
fibrous yang membungkus otot, saraf dan pembuluh darah yang demikian disebut fascia
dalam

7. BURSAE
Bursae adalah kantong kecil dari jaringan ikat yang berisi cairan yang memudahkan gerakan
pada suatu sendi. Misalnya terdapat diantara tulang dan kulit, antara tulang dan tendon atau
diantara otot-otot. Bursae dibatasi oleh membran sinovial dan mengandung cairan sinovial.
Bursae merupakan bantalan diantara bagian-bagian yang bergerak seperti pada olekranon
bursae, terletak antara prosesus olekranon dan kulit Bursa dapat terganggu oleh radang yang
disebut bursitis.

8. PERSENDIAN
Persambungan, sendi atau artikulasio adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk
pertemuan antara dua atau beberapa tulang dari kerangka.

 Klasifikasi Persendian :
1. Berdasarkan Fungsinya dibagi menjadi :
a. Sendi Fibrus atau Sinartrosis (sendi yang tidak bergerak). Tulang yang dihubungkan
dengan jaringan fibrosa atau tulang rawan (cartilago), seperti pada tulang tengkorak yang
tidak dapat melakukan pergerakan.
b. Sendi Sinovial atau Diartrosis (sendi yang bergerak) adalah persendian yang dapat
bergerak lebih leluasa, seperti sendi panggul, lutut, bahu, siku. Bagian akhir yang berdekatan
dibungkus oleh hyalin cartilago dan dikelilingi oleh fibrous kapsula sendi yang dibatasi oleh
membran synovial yang mensekresi cairan synovial untuk melumas sendi. Ligamen, tendon
dan otot berperan dalam stabilitas sendi.
 Bentuk-bentuk pergerakan sendi antara lain, adalah :

No Gerakan Definisi Contoh


1. Fleksi Gerakan menjauhi posisi nol Kebanyakan sendi
2. Ekstensi Gerakan kembali ke posisi nol Kebanyakan sendi
3. Dorsofleksi Gerakan dalam arah permukaan dorsal Pergelangan kaki, jari kaki,
pergelangan tangan, jari tangan
4. Plantar
(atau palmar) fleksi Gerakan dalam arah permukaan plantar (atau) palmar Pergelangan kaki,
jari kaki, (pergelangan tangan, jari tangan)
5. Aduksi Gerakan ke arah gais tengah  Sendi bahu, pinggul, metakarpofalangeal,
metatarsofalangeal
6. Abduksi Gerakan menjauhi garis tengah Sendi bahu, pinggul, metakarpofalangeal,
metatarsofalangeal
7. Inversi Memutar permukaan plantar kaki ke dalam Sendi subtalar dan midtarsal kaki
8. Eversi Memutar permukaan plantar kaki ke luar Sendi subtalar dan midtarsal kaki
9. Rotasi internal Memutar permukaan anterior ekstremitas ke dalam Bahu, pinggul
10. Rotasi eksternal Memutar permukaan anterior ekstremitas ke luar Bahu, pinggul
11. Pronasi Rotasi sehingga permukaan palmar tanan mengarah ke bawah Siku pergelangan
tangan

12. Supinasi Rotasi sehingga permukaan palmar tanan mengarah ke atas Siku pergelangan
tangan
• CATATAN :
• Jika gerakan melebihi posisi nol, dikatakan ada Hiperekstensi
•  Pada tangan atau kaki, garis tengah adalah garis yang berturut-turut ditarik melalui jari
tengah tangan atau kaki

c. Sendi Amfiartrosis adalah persendian yang dapat bergerak sedikit, seperti persendian antar
vertebra. Pada persendian ini tidak terdapat rongga sendi tetapi jaringan (fibrous, tulang
rawan atau tulang) ditemukan diantara permukaan articular.

2. Berdasarkan Bentuknya sendi dibagi menjadi :


a. Ada tidaknya rongga atau celah sendi
b. Jenis jaringan pengikat tulang

3. Berdasarkan Pengikatnya sendi dibagi menjadi :


a. Pengikat jaringan fibrosa. Sendi ini tidak mempunyai celah. Tulang dihubungkan oleh
jaringan ikat fibrosa dan berubah sifatnya. Contoh : tulang tengkorak dari fibrosa menjadi
tulang dan hubungan ini disebut sutura.
b. Sindermosis. Jaringan fibrosa membentuk ligamentum. Misalnya hubungan anatara fibula
dan tibia atau hubungan antara radius dan ulna.
c. Glomphosis. Sendi ini ada pada gigi. Penghubungnya adalah tulang rawan/kartilago.
Mungkin ada gerakan atau tidak. Hubungannya disebut sinkondrosis. Terdapat pada tulang
iga dan tulang dada. Juga pada simpisis pubis dan diantara ruas-ruas ada sendi yang
mempunyai celah, terdapat cairan sinovial, cairan ini berfungsi sebagai pelumas.
Diposting oleh Syakira Husada di 23.03 0 komentar Link ke posting ini
Label: ARTIKEL
Reaksi:

OSTEOPOROSIS

OLEH : ERFANDI

A. PENGERTIAN
 Osteoporosis adalah kelainan dimana terdapat reduksi atau penurunan dari massa total
tulang. Kecepatan resorpsi tulang lebih cepat dari kecepatan pembentukan tulang. Tulang
menjadi keropos secara progresif, rapuh, mudah patah dan mudah fraktur.

 Osteoporosis adalah : suatu kondisi berkurangnya massa tulang secara nyata yang
berakibat pada rendahnya kepadatan tulang.

 Osteoporosis adalah : penyakit yang ditandai oleh berkurangnya massa tulang dan
gangguan mikro asitektur jaringan tulang menjurus ke meningkatnya fragilitas tulang dan
berakibat meningkatkan resiko fraktur.

B. TANDA DAN GEJALA


Osteoporosis datang bagaikan rayap di pintu ataupun tiang penyangga rumah. Tak terduga.
Baru jika tulang sudah keropos, patah tulang dadakan langsung menjadi gejala yang
dikeluhkan. Penderita acap kali tidak tahu bahwa mereka menderita osteoporosis sampai
ketika tulang mereka sedemikian lemah, regangan tubuh yang mendadak, persinggungan
ataupun jatuh menyebabkan patah tulang. Oleh karena itu penyakit ini (osteoporosis) sering
disebut sebagai “penyakit diam-diam” (silent disease). Khusus daerah tulang belakang akan
ditandai patahan-patahan kecil yang menyebabkan tulang belakang menurun secara vertikal.
Tinggi badan akan menyusut dan bentuk setiap ruas berubah dari bentuk bujur sangkar
menjadi segitiga. Jika tulang belakang yang keropos menekan syaraf tulang belakang, maka
penderita akan mengeluh nyeri pinggang yang merambat ke bagiab kaki, dan bila dibiarkan
dapat terjadi kelumpuhan gerak anggota kaki bawah.

C. LOKASI SERTA PROSES TERJADINYA FRAKTUR KARENA OSTEOPOROSIS


Semua tulang sebetulnya rentan akan kelainan ini, namun lokasi patah tulang yang seringkali
terjadi adalah di daerah bongkol tulang paha atas, tulang belakang dan di daerah tulang
lengan bawah. Kondisi ini erta kaitannya dengan beban yang dipikul oleh tulang tersebut.
Secara empiris terbukti, timbulnya patah tulang acapkali diawali sikap tubuh yang “salah”.
Sikap yang menyimpang saat berdiri, berjalan, ataupun mengangkat barang akan memberi
tekanan yang berlebihan pada struktur tulang yang telah keropos. Setelah kurun waktu
tertentu, ketika tekanan-tekanan tersebut tidak dapat ditanggung lagi oleh tulang terjadilah
patah tulang

D. KLASIFIKASI DAN SEBAB


Menurut Sankaran, 2000 Osteoporosis dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Osteoporosis pimer dan osteoporosis sekunder
2. Osteoporosis generalis dan osteoporosis lokalis

 Osteoporosis Primer/Idiopatik
a. Tipe I
- Terkait dengan pasca menopause pada wanita
- Mengakibatkan kehilangan tulang trabekuler dan beberapa tulang kortikal, fraktur vertebrae
dan fraktur radius distal
b. Tipe II (senile)
- Bone loss terkait dengan usia, defisiensi kalsium dan atau hiperparatyroid
- Terutama fraktur femur proksimal (terutama leher femur dan intertrochanter), tulang
humerus proximal, proksimal tibia dan pelvis

 Osteoporosis Sekunder
a. Hormonal (hipogonadisme, hiperadrenokortisme, tirotoksikosis, hiperprolaktenemia,
diabetes melitus, hipofosfatemia dewasa)
b. Nutrisional (gastektomi total, sindrom malabsorbsi, malnutrisi, defisiensi kalsium,
alkoholisme, penyakit hati kronik, defisiensi vitamin D)
c. Kelainan metaolisme yang diturunkan
d. Lain-lain (porphyria, talasemia, rematoid artritis generalisata, anoreksia nervosa, mieloma,
kehamilan)

E. PATOFISIOLOGI
1. Defisiensi Steroid Sex
- Mekanisme kerja steroid sex pada tulang sampai saat ini masih belum diketahui dengan
lengkap
- Berdasarkan penelitian para ahli, hilangnya steroid sex akan mengakibatkan up-regulation
produksi dan action sitokin yang bertanggung jawab terhadap osteoklastogenesis dan
osteblastogenesis
2. Senescence
- Berkurangnya osteblastogenesis pada usia lanjut diikuti dengan meningkatnya adiposis dan
mielogenesis, serta menurunnya osteoklastogenesis. Penurunan osteoklastogenesis
disebabkan oleh berkurangnya sel-sel ostoblast/stroma yang mendukung pembentukan
osteoklast. Hl tersebut menimbulkan dugaan adanya perubahan ekspresi gen-gen yang
mendukung diferensiasi stem sel mesenkhim yang multipoten menjadi adiposis yang
merugikan osteoblast
3. Ekses Glukokortikoid
Kelebihan glokukotikoid mempunyai efek supresi osteblastogenesis dalam sumsum tulang
serta meningkatkan apoptosis osteoblast dan osteosit. Gambaran histologis utama
glukokortikoid induced osteoporosis (GIOP) adalah berkurangnya ketebalan tulang dan
kematian in situ bagian-bagian tulang.
Mekanisme yang mendasari hilangnya tulang (bone loss) pada ekses glukokortokoid adalah :
- Kenaikan resorbsi tulang
- Perununan proliferasi aktivitas biosintetik osteoblast
- Defisiensi steroid seks
- Hiperparatyroidisme sebagai akibat penurunan absorbsi Ca intestinum
- Hiperkalsium akibat gangguan metabolisme vitamin D

F. GOLONGAN FAKTOR RESIKO


Beberapa golongan orang yang beresiko terhadap osteoporosis diantaranya, adalah :
1. Penderita Hiperparatiroid
Hormon paratiroid yang terletak di leher depan kita berdekatan dengan kelenjar tiroid dapat
mengalami keganasan atau tumor . Pada situasi ini, jumlah hormon yang beredar dalam tubuh
akan meningkat. Hormon ini sangat erat hubungannya dengan sel osteoclast dalam tulang .
Akibatnya bisa diduga sel-sel osteoclast akan mengalami peningkatan aktivitas. Akan lebih
banyak senyawa kalsium yang diambil dari tulang sehingga menimbulkan peningkatan kadar
kalsium dalam darah darah. Kondisi ini menyebabkan penderita mengalami penurunan nafsu
makan, kemunduran dalam kekuatan otot, nyeri perut dan pengeroposan tulang bila terjadi
secara berlanjut

2. Penderita Hipertiroid
Kadar hormon tiroksi yang dihasilkan kelenjar gondok pada kondisi ini berlebihan.
Akibatnya, pertukaran zat dalam tubuh meningkat jauh diatas normal. Pengatur metabolisme
tubuh menjadi terlalu aktif, termasuk dalam metabolisme kalsium. Terjadi pembuangan
kalsium besar-besaran melalui air seni maupun tinja. Untuk mengimbanginya, terjadilah
proses demineralisasi tulang yang lebih aktif

3. Penderita Anoreksia Nervosa


Penderita anoreksia nervosa akan melakukan pembatasan konsumsi makanan secara tidak
wajar. Mereka akan berupaya matimatian untuk menjaga berat badan dan bentuk tubuhnya,
serta mengendalikan kebiasaan makan dengan ketat. Seringkali mereka melakukan olah raga
berlebihan dalam upayanya mencapai bobot badan ideal menurut imajinasinya. Penderita
anoreksia ini mempunyai citra diri yang begitu menyimpang. Meskipun sudah kurus kering,
mereka tetap menganggap diri mereka gemuk setiap kali bercermin dan secara psikologis
mereka sangat peka terhadap kritik yang berkaitan dengan masalah bobot badan. Penderita
anoreksia adalah individu-individu yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap aspek
gizi. Sayang sekali terjadi distorsi pengetahuan gizi sehingga mereka tidak mampu
mempraktikkan konsep-konsep informasi gizi yang diterimanya. Banyak diantara mereka
adalah kaum perfeksionis (yang inigin segalanya tampak sempurna) dan pekerja keras.
Kebiasaan makan yang menyimpang bisa jadi merupakan upaya mereka untuk mencari
perhatian. Banyak ekses negatif yang timbul akibat kelainan pola makan ini, diantaranya
terjadi penyusutan gusi yang menyebabkan gigi tanggal, dehidrasi, suhu badan rendah,
penyusutan otot dan kerapuhan tulang dan erat kaitannya dengan rendahnya produksi hormon
estrogen dan testosteron.

4. Perokok
Belum diketahui pasti bagaimana rokok dapat menimbulkan osteoporosis. Ada dugaan, zat-
zat dalam rokok mencetuskan pemecahan hormon estrogen dan testosteron secara berlebihan.
Akibatnya jumlah hormon estrogen atau testosteron dalam tubuh menurun sehingga
pemeliharaan tulang jelas ajan terpengaruh

5. Peminum Kopi berlebihan


Para peneliti Belanda mengungkapkan bahwa konsumsi kopi yang berlebihan dapat
meningkatkan kadar “Homosistein”. Homosistein adalah produk olahan protein. Kenaikan
Homosistein mengakibatkan kenaikan kadar kolesterol, penuruan kadar vitamin B6 dan
penurunan kepadatan tulang. Memang proses penurunan kepadatan tulang ini belum
diketahui secara pasti. Beberapa ilmuwan menduga peningkatan pembuangan kalsium dalam
air kencing yang menjadi penyebabnya.

6. Peminum alkohol berlebihan


Alkohol dapat mengakibatkan kerusakan banyak organ tubuh. Diantaranya ancaman terhadap
kerapuhan tulang. Kondisi ini dapat terjadi lantaran adanya kegagalan yang sistematis
sifatnya dalam pemeliharaan kadar mineral kalsium yang merupakan unsur penting dalam
kepadatan tulang. Kegagalan pankreas dan hati karena alkohol mengakibatkan menurunnya
produksi enzim pengolah lemak. Dengan jumlah enzim yang menurun, lemak yang
dikonsumsi tidak mampu diserap dari usus secara maksimal. Lemak kita ketahui kaya akan
kandungan beberapa senyawa yang penting bagi tulang seperti mineral kalsium dan fosfor
serta vitamin D. Kondisi kekurangan senyawa –senyawa diatas, tubuh melakukan kompensasi
melalui pembongkaran kalsium yang ada dalam tulang sehingga tulang menjadi keropos.

G. DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosa osteoporosis dilakukan :
- X- ray
- Serum calsium phospor
- Test alkalinephospatase
- Biopsi transiliare tulang
- Menghitung tomography dan CT- Scan
- Scan tulang menggunakan radionuclide

H. TERAPI/TINDAKAN
Tujuan terapi :
- Mencegah terjadinya penyerapan massa tulang dan memicu percepatan pembentukan massa
tulang
- Konsekuensi terjadinya patah tulang dengan melakukan tindakan pencegahan.
Pengobatan dapat dibagi dalam :
a. Terapi Pencegahan
Secara garis besar pencegahan osteoporosis dapat didibagi dalam beberapa katagori, yaitu :
 Pola tidur teratur termasuk diantaranya adalah :
- Olah raga atau aktivitas fisik
- Kebiasaan tidak merokok
- Hindari konsumsi kopi
- Hindari konsumsi alkohol
 Menjalaini diet yang baik
Contoh untuk kebutuhan Calsium adalah :
- Usia 11-24 tahun = 1200 mg
- Usia 25-menopouse = 1000 mg
- Saat menopouse = 1200 mg
- Pasca menopouse = 1500 mg
 Pemberian terapi dini pada :
- Wanita menopouse
- Penyakit-penyakit yang menyebabkan osteoporosis sekunder :
 Diabetes melitus
 Hipogonandism
 Chusing sindrom
 Pemakaian kortikosteroid jangka panjang
b. Terapi kuratif (Kuratif treatment)
Beberapa macam obat-obatan yang diberikan pada penderita osteoporosis :
- Estrogen dan derivatnya
- Biphosfotase
- Kalsium
- Vitamin D
- Kalsifonin
- Natrium fluorida
- Steroid anabolik
- Thiazide
Diposting oleh Syakira Husada di 22.55 0 komentar Link ke posting ini
Label: MEDIKAL BEDAH
Reaksi:

MELAKUKAN TEKNIK RELAKSASI

OLEH : ERFANDI

Relaksasi merupakan metode yang efektif terutama pada pasien yang mengalami nyeri
kronis. Latihan pernafasan dan teknik relaksasi menurunkan konsumsi oksigen, frekuensi
pernafasan, frekuensi jantung, dan ketegangan otot, yang menghentikan siklus nyeri-ansietas-
ketegangan otot (McCaffery, 1989). Ada tiga hal utama yang diperlukan dalam relaksasi,
yaitu : posisi yang tepat, pikiran beristirahat, lingkungan yang tenang. Posisi pasien diatur
senyaman mungkin dengan semua bagian tubuh disokong (misal; bantal menyokong leher),
persendian fleksi, dan otot-otot tidak tertarik (misal; tangan dan kaki tidak disilangkan).
Untuk menenangkan pikiran pasien dianjurkan pelan-pelan memandang sekeliling ruangan,
misalnya melintasi atap turun ke dinding, sepanjang jendela, dll. Untuk melestarikan muka,
pasien dianjurkan sedikit tersenyum atau membiarkan geraham bawah kendor.
Banyak beberapa petunjuk / pedoman dalam melakukan teknik relaksasi ini, antara lain :

 PEDOMAN / CARA ( 1 ) :
Stewar (1976:959) menjelaskan teknik relaksasi sebagai berikut :
1. Pasien menarik napas dalam dan mengisi paru-paru dengan udara
2. Perlahan-lahan udara dihembuskan sambil membiarkan tubuh menjadi kendor dan
merasakan dan merasakan betapa nyaman hal tersebut
3. Pasien bernapas beberapa kali dengan irama normal
4. Pasien menarik napas dalam lagi dan menghembuskan pelan-pelan dan membiarkan hanya
kaki dan telapak kaki yang kendor. Perawat minta pasien untuk mengkonsentrasikan pikiran
pasien pada kakinya yang terasa ringan dan hangat
5. Pasien mengulang langkah ke-4 dan mengkonsentrasikan pikiran pada lengan perut,
punggung dan kelompok otot-otot yang lain
6. Setelah pasien merasa rileks, pasien dianjurkan bernapas secara pelan-pelan. Bila nyeri
menjadi hebat, pasien dapat bernapas dangkal dan cepat.

 PEDOMAN / CARA ( 2 ) :
Latihan Relaksasi Progresif :
1. Kontraksikan masing-masing otot dalam 10 kali hitungan kemudian lemaskan
2. Lakukan latihan diruangan yang tenang dengan posisi duduk atau sambil berbaring yang
nyaman
3. Lakukan latihan dengan musik yang santai, bila dikehendaki
4. Bawalah seseorang yang berlaku sebagai “pelatih” yang memberikan perintah untuk
mengkontraksikan otot, menghitiung sampai 10 kali dan memerintahkan untuk melemaskan
otot
5. Contoh latihan yang membantu bagi pasien PPOK
a. Mengangkat bahu, menurunkannya dan melemaskannya
b. Mengepalkan kedua tangan, mengepalkannya dengan kuat erat selama 5 detik, dan
melemaskannya dengan sempurna.
6. Ada beberapa artikel dalam lieratur keperawatan mengenai teknik relaksasi; pembaca
dianjurkan untuk merujuk Broussard, P : Using Relaxation for COPD, Am J Nurs 69:1962 –
1963, 1969; dan Richter, JM, and Sloan. R: A Relaxation Technique, Am J Nurs 79: 1960-
1964, 1979

 PEDOMAN / CARA ( 3 ) :
Meningkatkan relaksasi khusus pada pasien dengan “Gangguan pola tidur” dapat berupa
1. Memberikan lingkungan yang gelap dan tenang
2. Memberikan kesempatan untuk memilih penggunaan bantal, linen dan selimut
3. Memberikan ritual waktu tidur yang menyenangkan bila perlu
4. Pastikan ventilasi ruangan baik
5. Tutup pintu ruangan, bila klien menginginkan
Diposting oleh Syakira Husada di 22.43 1 komentar Link ke posting ini
Label: SOP / PROTAP
Reaksi:

PROSEDUR TERAPI INTRAVENA (IV)

oleh : erfandi

 Pengertian
Terapi intravena memberikan cairan tambahan yang mengandung komponen tertentu yang
diperlukan tubuh secara terus menerus selama periode tertentu

 Tujuan
Adapun tujuan prosedur ini adalah untuk :
1. Mempertahankan atau mengganti cairan tubuh, elektrolit, vitamin, protein, kalori dan
nitrogen pada klien yang tidak mampu mempertahankan masukan yang adekuat melalui
mulut.
2. Memulihkan keseimbangan asam-basa.
3. Memulihkan volume darah.
4. Menyediakan saluran terbuka untuk pemberian obat-obatan.

 Jenis-jenis Cairan Intravena


1. Cairan bisa bersifat isotonis (contohnya ; NaCl 0,9 %, Dekstrosa 5 % dalam air, Ringer
laktat / RL, dll)
2. Cairan bisa bersifat hipotonis (contohnya ; NaCl 5 %)
3. Cairan bisa bersifat hipertonis (contohnya ; Dekstrosa 10 % dalam NaCl, Dektrosa 10 %
dalam air, Dektrosa 20 % dalam air)

A. PERALATAN
- Alas plastik dan handuk kecil
- Manset tangan; bisa juga digunakan manset sfigmomanometer
- Kapas alkohol
- Betadine (1-2 % dalam air, 70 % alkohol)
- Kain kasa steril
- Plester dan stiker kosong untuk menulis tanggal pemasangan infus
- Set infus
- Jarum infus (abbocath, wing needle/butterfly)
- Cairan infus
- Sarung tangan steril (jika memasang infus pada klien yang mengalami penyakit menular,
seperti ; hepatitis B, HIV-B, AIDS, dll)

B. PROSEDUR
1. Mencuci tangan
2. Menjelaskan prosedur dan tujuannya (pada klien dan keluarga)
3. Memberikan posisi semi fowler atau terlentang
4. Menggulung lengan baju klien
5. Meletakkan manset 5 cm di atas siku
6. Menghubungkan cairan infus dengan set infus dan gantungkan (periksa label infus sesuai
dengan program terapi cairan yang akan diberikan)
7. Mengalirkan cairan dengan selang menghadap ke atas sehingga udara didalamnya keluar
8. Mengencangkan klem sampai infus tidak menetes dan pertahankan kesterilan sampai
pemasangan pada tangan disiapkan
9. Mengencangkan manset atau jika menggunakan sfigmomanometer, tekanan ditempatkan
dibawah tekanan sistolik
10. Menganjurkan klien untuk mengepal dan membukanya beberapa kali, palpasi dan
pastikan vena yang akan ditusuk. (kriteria vena / pembuluh darahnya lihat tabel. 1)
11. Membersihkan kulit dengan cermat menggunakan kapas alkohol, lalu diulangi dengan
menggunakan kasa betadine dan arahnya melingkar dari dalam keluar lokasi tusukan.
12. Menggunakan ibu jari untuk menekan jaringan dan vena 5 cm diatas tusukan.
13. Memegang jarum dalam posisi 30 derajat sejajar vena yang akan ditusuk, lalu tusuk
perlahan dan pasti.
14. Merendahkan posisi jarum sejajar kulit dan teruskan tusukan jarum ke dalam vena sampai
terlihat darah mengalir keluar dari pembuluh darah.
15. Melepaskan tekanan manset
16. Sambungkan slang infus dengan kateter infus (abbocath, wing needle/butterfly) dan buka
klem infus sampai cairan mengalir lancar.
17. Mengolesi dengan salep betadine di atas penusukan
18. Memfiksasi posisi jarum dengan plester, letakkan kasa steril diatasnya. Atur kasa steril
pada lokasi jarum supaya berjendela agar mudah dievaluasi terhadap tanda-tanda inflamasi.
Bila ada gunakan plester steril yang transparan.
19. Mengatur tetesan infus sesuai ketentuan; pasang stiker yang sudah diberi tanggal pada
lokasi yang mudah terlihat.

 Hal-hal yang perlu diperhatikan ( kewaspadaan)


a. Ganti lokasi tusukan setiap 48-72 jam dan gunakan set infus baru
b. Ganti kasa steril penutup luka setiap 24-48 jam dan evaluasi tanda infeksi
c. Observasi tanda / reaksi alergi terhadap infus atau komplikasi lain
d. Jika infus tidak diperlukan lagi, buka fiksasi pada lokasi penusukan
e. Kencangkan klem infus sehingga tidak mengalir
f. Tekan lokasi penusukan menggunakan kasa steril, lalu cabut jarum infus perlahan, periksa
ujung kateter terhadap adanya embolus
g. Bersihkan lokasi penusukan dengan anti septik. Bekas-bekas plester dibersihkan memakai
kapas alkohol atau bensin (jika perlu)

20. Mendokumentasikan waktu pemberian, jenis cairan dan tetesan, jumlah cairan yang
masuk, waktu pemeriksaan kateter (terhadap adanya embolus), serta reaksi klien (terhadap
cairan yang telah masuk

 Tempat/ lokasi vena perifer yang sering digunakan pada pemasangan infus
Vena supervisial atau perifer kutan terletak di dalam fasia subcutan dan merupakan akses
paling mudah untuk terapi intravena. Vena-vena tersebut diantaranya adalah :
1. Metakarpal
2. Sefalika
3. Basilika
4. Sefalika mediana
5. Basilika mediana
6. Antebrakial mediana

 Pemilihan Vena
1. Vena tangan paling sering digunakn untuk terapi IV rutin
2. Vena lengan depan : periksa dengan teliti kedua lengan sebelum keputusan dibuat, sering
digunakan untuk terapi rutin
3. Vena lengan atas : juga digunakan untuk terapi IV
4. Vena ekstremitas bawah : digunakan hanya menurut kebijakan institusi dan keinginan
dokter
5. Vena kepala : digunakan sesuai dengan kebijakan institusi dan keinginan dokter ; sering
dipilih pada bayi
6. Insisi : dilakukan oleh dokter untuk terapi panjang
7. Vena subklavia : dilakukan oleh dokter untuk terapi jangka panjang atau infus cairan yang
mengiritasi (hipertonik)
8. Jalur vena sentral: digunakan untuk tujuan infus atau mengukur tekanan vena sentral
 Contoh Vena sentral adalah : v. subkalvia, v. jugularis interna/eksterna, v. sefalika atau
v.basilika mediana, v. femoralis, dll.
9. Vena jugularis : biasanya dipasang untuk mengukur tekanan vena sentral atau memberikan
nutrisi parenteral total (NPT) jika melalui vena kava superior.
10. Vena femoralis : biasanya hanya diguakan pada keadaan darurat tetapi dapat digunakan
untuk penempatan kateter sentral untuk pemberian NTP.
11. Pirau arteriovena (Scribner) : implantasi selang palastik antara arteri dan vena untuk
dialisis ginjal
12. Tandur (bovine) : anastomoisis arteri karotid yang berubah sifat dari cow ke sistem vena ;
biasanya dilakukan pada lengan atas untuk dialisis ginjal
13. Fistula : anastomoisis bedah dari arteri ke vena baik end atau side to side untuk dialisis
ginjal
14. Jalur umbilikal : rute akses yang biasa pada UPI neonatus

Tabel. 1. Pertimbangan dasar dalam pemilihan sisi (vena)


No Jenis Vena Keuntungan Kerugian
1. Vena Perifer • Cocok untuk kebanyakan obat dan cairan isotonik
• Cocok untuk terapi jangka pendek
• Biasanya mudah untuk diamankan • Tidak cocok untuk obat-obatan yang mengiritasi
• Tidak cocok untuk terapi jangka panjang
• Sukar untuk diamankan pada pasien yang agitasi
2. Vena Sentral • Cocok untuk obat-obatan yang mengiritasi atau cairan hipertonik
• Cocok untuk terapi jangka panjang • Obat-obatan harus diencerkan
• Resiko komplikasi yang berhubungan dengan pemasangan kateter vena sentral, seperti
infeksi, hemothoraks, pneumothoraks.
• Tidak disukai karena bisa terganggu oleh pasien (namun masih mungkin)

 Faktor yang mempengaruhi pemilihan sisi (vena)


1. Umur pasien : misalnya pada anak kecil, pemilihan sisi adalah sangat penting dan
mempengaruhi berapa lama IV berakhir.
2. Prosedur yang diantisipasi : misalnya jika pasien harus menerima jenis terapi tertentu atau
mengalami beberapa prosedur seperti pembedahan, pilih sisi yang tidak terpengaruh oleh
apapun
3. Aktivitas pasien : misalnya gelisah, bergerak, takbergerak, perubahan tingkat kesadaran
4. Jenis IV : jenis larutan dan obat-obatan yang akan diberikan sering memaksa tempat-
tempat yang optimum (mis, hiperalimentasi adalah sangat mengiritasi vena-vena perifer)
5. Durasi terapi IV : terapi jangka panjang memerlukan pengukuran untuk memelihara vena;
pilih vena yang akurat dan baik, rotasi sisi dengan hati-hati, rotasi sisi pungsi dari distal ke
proksimal (mis, mulai di tangan dan pindah ke lengan)
6. Ketersediaan vena perifer bila sangat sedikit vena yang ada ,pemilian sisi dan rotasi yang
berhati – hati menjadi sangat penting ; jika sedikit vena pengganti ( mis ,pemasangan kateter
broviac atau hickman atau pemasangan jalur PICC )
7. Terapi Ivsebelumnya :flebitis sebelumnya membuat vena menjadi tidak baik untuk di
gunakan ; kometerapi sering membuat vena menjadi buruk (mis,mudah pecah atau sklerosis )
8. Pembedahan sebelumnya : jangan gunakan ekstremitas yang terkena pada pasien dengan
kelenjar limfe yang telah di angkat (mis, pasien mastektomi ) tanpa izin dari dokter .
9. Sakit sebelumnya :jangan gunakan ekstremitas yang sakit pada pasien dengan stroke .
10. Kesukaan pasien : jika mungkin ,pertimbangkan kesukaan alami pasien untuk sebelah kiri
atau kanan dan juga sisi .

 Perhitungan Tetesan Infus


1. Tetesan Makro : 1cc = 15 tetes
• Rumus :
Tetesan/menit = Jumlah cairan yang dimasukkan (cc)
Lamanya infus (jam) x 4

2. Tetesan Mikro : 1cc = 60 tetes


• Rumus :
Tetesan/menit = Jumlah cairan yang dimasukkan (cc)
Lamanya infus (jam)

Tabel. 2. Kriteria pemilihan pembuluh darah (vena)


 Gunakan cabang vena distal (vena bagian proksimal yang berukuran lebih besar kan
bermanfaat untuk keadaan darurat)
 Pilihan vena :
- vena metakarpal (memudahkan pergerakan tangan)
- vena basilika / sefalika
- vena fosa antekubital, medianna basilika atau sefalika untuk pemasangan infus yang singkat
saja
 Pada klien dewasa, vena yang terdapat pada ekstremitas bagian bawah hanya digunakan
sebagai pilihan terakhir.
Diposting oleh Syakira Husada di 22.33 0 komentar Link ke posting ini
Label: SOP / PROTAP
Reaksi:

ANEMIA PADA IBU HAMIL

A. DEFINISI ANEMIA
Anemia pada wanita tidak hamil didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin yang kurang
dari 12 g/dl dan kurang dari 10 g/dl selama kehamilan atau masa nifas. Konsentrasi
hemoglobin lebih rendah pada pertengahan kehamilan, pada awal kehamilan dan kembali
menjelang aterm, kadar hemoglobin pada sebagian besar wanita sehat yang memiliki
cadangan besi adalah 11g/dl atau lebih. Atas alasan tersebut, Centers for disease control
(1990) mendefinisikan anemia sebagai kadar hemoglobin kurang dari 11 g/dl pada trimester
pertama dan ketiga, dan kurang dari 10,5 g/dl pada trimester kedua (Suheimi, 2007).
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh,
sehingga kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis tidak cukup, yang ditandai dengan
gambaran sel darah merah hipokrom-mikrositer, kadar besi serum (Serum Iron = SI) dan
jenuh transferin menurun, kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding Capacity/TIBC)
meninggi dan cadangan besi dalam sumsum tulang serta ditempat yang lain sangat kurang
atau tidak ada sama sekali. Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya anemia
defisiensi besi, antara lain, kurangnya asupan zat besi dan protein dari makanan, adanya
gangguan absorbsi diusus, perdarahan akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat
besi seperti pada wanita hamil, masa pertumbuhan, dan masa penyembuhan dari penyakit.

B. PATOFISIOLOGI ANEMIA PADA KEHAMILAN


Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena perubahan sirkulasi
yang makin meningkat terhadap plasenta dari pertumbuhan payudara. Volume plasma
meningkat 45-65% dimulai pada trimester ke II kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan
ke 9 dan meningkatnya sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang aterem serta kembali
normal 3 bulan setelah partus. Stimulasi yang meningkatkan volume plasma seperti laktogen
plasenta, yang menyebabkan peningkatan sekresi aldesteron.

C. ETIOLOGI ANEMIA PADA KEHAMILAN


Etiologi anemia defisiensi besi pada kehamilan, yaitu:
a. Hipervolemia, menyebabkan terjadinya pengenceran darah.
b. Pertambahan darah tidak sebanding dengan pertambahan plasma.
c. Kurangnya zat besi dalam makanan.
d. Kebutuhan zat besi meningkat.
e. Gangguan pencernaan dan absorbsi.

D. GEJALA KLINIS
Wintrobe mengemukakan bahwa manifestasi klinis dari anemia defisiensi besi sangat
bervariasi, bisa hampir tanpa gejala, bisa juga gejala-gejala penyakit dasarnya yang menonjol,
ataupun bisa ditemukan gejala anemia bersama-sama dengan gejala penyakit dasarnya.
Gejala-gejala dapat berupa kepala pusing, palpitasi, berkunang-kunang, perubahan jaringan
epitel kuku, gangguan sistem neurumuskular, lesu, lemah, lelah, disphagia dan pembesaran
kelenjar limpa. Pada umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka
gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas.

E. DERAJAT ANEMIA
Nilai ambang batas yang digunakan untuk menentukan status anemia ibu hamil, didasarkan
pada criteria WHO tahun 1972 yang ditetapkan dalam 3 kategori, yaitu normal (≥11 gr/dl),
anemia ringan (8-11 g/dl), dan anemia berat (kurang dari 8 g/dl). Berdasarkan hasil
pemeriksaan darah ternyata rata-rata kadar hemoglobin ibu hamil adalah sebesar 11.28 mg/dl,
kadar hemoglobin terendah 7.63 mg/dl dan tertinggi 14.00 mg/dl.
Klasifikasi anemia yang lain adalah :
a. Hb 11 gr% : Tidak anemia
b. Hb 9-10 gr% : Anemia ringan
c. Hb 7 – 8 gr%: Anemia sedang
d. Hb < 7 gr% : Anemia berat.

F. DAMPAK ANEMIA DEFISIENSI ZAT BESI PADA KEHAMILAN


Anemia juga menyebabkan rendahnya kemampuan jasmani karena sel-sel tubuh tidak cukup
mendapat pasokan oksigen. Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi komplikasi
pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal, angka prematuritas, berat badan
bayi lahir rendah, dan angka kematian perinatal meningkat. Di samping itu, perdarahan
antepartum dan postpartum lebih sering dijumpai pada wanita yang anemis dan lebih sering
berakibat fatal, sebab wanita yang anemis tidak dapat mentolerir kehilangan darah.
Dampak anemia pada kehamilan bervariasi dari keluhan yang sangat ringan hingga terjadinya
gangguan kelangsungan kehamilan abortus, partus imatur/prematur), gangguan proses
persalinan (inertia, atonia, partus lama, perdarahan atonis), gangguan pada masa nifas
(subinvolusi rahim, daya tahan terhadap infek¬si dan stress kurang, produksi ASI rendah),
dan gangguan pada janin (abortus, dismaturitas, mikrosomi, BBLR, kematian peri¬natal, dan
lain-lain)

G. PENGOBATAN ANEMIA
Pengobatan anemia biasanya dengan pemberian tambahan zat besi. Sebagian besar tablet zat
besi mengandung ferosulfat, besi glukonat atau suatu polisakarida. Tablet besi akan diserap
dengan maksimal jika diminum 30 menit sebelum makan. Biasanya cukup diberikan 1
tablet/hari, kadang diperlukan 2 tablet. Kemampuan usus untuk menyerap zat besi adalah
terbatas, karena itu pemberian zat besi dalam dosis yang lebih besar adalah sia-sia dan
kemungkinan akan menyebabkan gangguan pencernaan dan sembelit. Zat besi hampir selalu
menyebabkan tinja menjadi berwarna hitam, dan ini adalah efek samping yang normal dan
tidak berbahaya

H. PENCEGAHAN ANEMIA
Anemia dapat dicegah dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang dengan asupan zat
besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Zat besi dapat diperoleh dengan cara
mengonsumsi daging (terutama daging merah) seperti sapi. Zat besi juga dapat ditemukan
pada sayuran berwarna hijau gelap seperti bayam dan kangkung, buncis, kacang polong, serta
kacang-kacangan. Perlu diperhatikan bahwa zat besi yang terdapat pada daging lebih mudah
diserap tubuh daripada zat besi pada sayuran atau pada makanan olahan seperti sereal yang
diperkuat dengan zat besi.
Anemia juga bisa dicegah dengan mengatur jarak kehamilan atau kelahiran bayi. Makin
sering seorang wanita mengalami kehamilan dan melahirkan, akan makin banyak kehilangan
zat besi dan menjadi makin anemis. Jika persediaan cadangan Fe minimal, maka setiap
kehamilan akan menguras persediaan Fe tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia pada
kehamilan berikutnya. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar jarak antar kehamilan tidak
terlalu pendek, minimal lebih dari 2 tahun.
Diposting oleh Syakira Husada di 05.02 0 komentar Link ke posting ini
Label: KESEHATAN IBU
Reaksi:

METODE AKDR / IUD

A. DEFINISI
IUD (Intra Uterine Device) adalah alat kontrasepsi yang disisipkan ke dalam rahim, terbuat
dari bahan semacam plastik, ada pula yang dililit tembaga, dan bentuknya bermacam-macam.
Bentuk yang umum dan mungkin banyak dikenal oleh masyarakat adalah bentuk spiral.
Spiral tersebut dimasukkan ke dalam rahim oleh tenaga kesehatan (dokter / bidan terlatih).
Sebelum spiral dipasang, kesehatan ibu harus diperiksa dahulu untuk memastikan
kecocokannya. Sebaiknya IUD ini dipasang pada saat haid atau segera 40 hari setelah
melahirkan (Subrata, 2000:33).
IUD atau Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) bagi banyak kaum wanita merupakan alat
kontrasepsi yang terbaik. Alat ini sangat efektif dan tidak perlu diingat setiap hari seperti
halnya pil. Bagi ibu yang menyusui, AKDR tidak akan mempengaruhi isi, kelancaran
ataupun kadar air susu ibu (ASI). Karena itu, setiap calon pemakai AKDR perlu memperoleh
informasi yang lengkap tentang seluk-beluk alat kontrasepsi ini (Maryani, 2002).

B. JENIS AKDR / IUD


Maryani (2002) menyebutkan jenis alat kontrasepsi dalam rahim / IUD yang sering
digunakan di Indonesia antara lain:
a. Copper-T
AKDR berbentuk T, terbuat dari bahan polyethelen di mana pada bagian vertikalnya diberi
lilitan kawat tembaga halus. Lilitan kawat tembaga halus ini mempunyai efek antifertilisasi
(anti pembuahan) yang cukup baik.
b. Copper-7
AKDR ini berbentuk angka 7 dengan maksud untuk memudahkan pemasangan. Jenis ini
mempunyai ukuran diameter batang vertikal 32 mm dan ditambahkan gulungan kawat
tembaga (Cu) yang mempunyai luas permukaan 200 mm2, fungsinya sama seperti halnya
lilitan tembaga halus pada jenis Coper-T.
c. Multi Load
AKDR ini terbuat dari dari plastik (polyethelene) dengan dua tangan kiri dan kanan
berbentuk sayap yang fleksibel. Panjangnya dari ujung atas ke bawah 3,6 cm. Batangnya
diberi gulungan kawat tembaga dengan luas permukaan 250 mm2 atau 375 mm2 untuk
menambah efektivitas. Ada 3 ukuran multi load, yaitu standar, small (kecil), dan mini.
d. Lippes Loop
AKDR ini terbuat dari bahan polyethelene, bentuknya seperti spiral atau huruf S bersambung.
Untuk meudahkan kontrol, dipasang benang pada ekornya. Lippes Loop terdiri dari 4 jenis
yang berbeda menurut ukuran panjang bagian atasnya. Tipe A berukuran 25 mm (benang
biru), tipe B 27,5 mm 9 (benang hitam), tipe C berukuran 30 mm (benang kuning), dan 30
mm (tebal, benang putih) untuk tipe D. Lippes Loop mempunyai angka kegagalan yang
rendah. Keuntungan lain dari spiral jenis ini ialah bila terjadi perforasi jarang menyebabkan
luka atau penyumbatan usus, sebab terbuat dari bahan plastik.

C. EFEKTIFITAS
Sebagai kontrasepsi, AKDR tipe T efektifitasnya sangat tinggi yaitu berkisar antara 0,6 – 0,8
kehamilan per 100 perempuan dalam 1 tahun pertama (1 kegagalan dalam 125 – 170
kehamilan). Sedangkan AKDR dengan progesteron antara 0,5 – 1 kehamilan per 100
perempuan pada tahun pertama penggunaan (Saifuddin, 2003:MK-62,73).

D. CARA KERJA
Cara kerja dari alat kontrasepsi IUD adalah sebagai berikut:
a. Menghambat kemampuan sperma masuk ke tuba falopii
b. Mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum mencapai kavum uteri
c. IUD bekerja terutama mencegah sperma dan ovum bertemu, walaupun IUD membuat
sperma sulit masuk ke dalam alat reproduksi perempuan dan mengurangi kemampuan sperma
untuk fertilisasi
d. Memungkinkan untuk mencegah implantasi telur dalam uterus.

E. KEUNTUNGAN
Keuntungan dari alat kontrasepsi IUD adalah sebagai berikut:
a. Sebagai kontrasepsi, efektifitasnya tinggi
b. IUD (AKDR) dapat efektif segera setelah pemasangan
c. Metode jangka panjang (10 tahun proteksi dari CuT-380A dan tidak perlu diganti)
d. Sangat efektif karena tidak perlu lagi mengingat-ingat
e. Tidak mempengaruhi hubungan seksual
f. Meningkatkan kenyamanan seksual karena tidak perlu takut untuk hamil
g. Tidak ada efek samping hormonal dengan Cu AKDR (CuT-380A)
h. Tidak mempengaruhi kualitas dan volume ASI
i. Dapat dipasang segera setelah melahirkan atau sesudah abortus (apabila tidak terjadi
infeksi)
j. Dapat digunakan sampai menopause (1 tahun lebih setelah haid terakhir)
k. Tidak ada interaksi dengan obat-obat
l. Membantu mencegah kehamilan ektopik.

F. EFEK SAMPING DAN KERUGIAN


Adapun kerugiannya adalah sebagai berikut:
a. Efek samping yang umum terjadi:
- Perubahan siklus haid (umumnya pada 3 bulan pertama dan akan berkurang setelah 3 bulan)
- Haid lebih lama dan banyak
- Perdarahan (spotting) antarmenstruasi
- Saat haid lebih sakit
b. Komplikasi lain:
- Merasakan sakit dan kejang selama 3 – 5 hari setelah pemasangan
- Perdarahan berta pada waktu haid atau diantaranya yang memungkinkan penyebab anemia
- Perforasi dinding uterus (sangat jarang apabila pemasangannya benar)
c. Tidak mencegah IMS termasuk HIV / AIDS
d. Tidak baik digunakan pada perempuan dengan IMS atau perempuan yang sering berganti
pasangan
e. Penyakit radang panggul terjadi sesudah perempuan dengan IMS memakai AKDR.
Penyakit radang panggul memicu infertilitas
f. Prosedur medis, termasuk pemeriksaan plevik diperlukan dalam pemasangan AKDR.
Seringkali perempuan takut selama pemasangan
g. Sedikit nyeri dan perdarahan (spotting) terjadi segera setelah pemasangan AKDR.
Biasanya menghilang dalam 1 – 2 hari
h. Klien tidak dapat melepas AKDR sendiri
i. Mungkin AKDR keluar dari uterus tanpa diketahui (sering terjadi apabila AKDR dipasang
segera setelah melahirkan)
j. Tidak mencegah terjadinya kehamilan ektopik karena fungsi AKDR untuk mencegah
kehamilan normal
k. Perempuan harus memeriksa posisi benang AKDR dari waktu ke waktu. Untuk melakukan
ini perempuan harus memasukkan jarinya ke dalam vagina, sebagian perempuan tidak mau
melakukan ini.

G. PERSYARATAN PEMAKAIAN
a. Yang Dapat Menggunakan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum seseorang akan memilih AKDR (IUD) adalah:
1) Usia reproduktif
2) Keadaan nulipara
3) Menginginkan menggunakan kontrasepsi jangka panjang
4) Menyusui yang menginginkan menggunakan kontrasepsi
5) Setelah melahirkan dan tidak menyusui bayinya
6) Setelah mengalami abortus dan tidak terlihat adanya infeksi
7) Resiko rendah dari IMS
8) Tidak menghendaki metode hormonal
9) Tidak menyukai untuk mengingat-ingat minum pil setiap hari
10) Tidak menghendaki kehamilan setelah 1 – 5 hari senggama
Pada umumnya seorang ibu dapat menggunakan AKDR dengan aman dan efektif. AKDR
juga dapat digunakan pada ibu dalam segala kemungkinan keadaan, misalnya:
1) Perokok
2) Pasca keguguran atau kegagalan kehamilan apabila tidak terlihat adanya infeksi
3) Sedang memakai antibiotika atau antikejang
4) Gemuk ataupun kurus
5) Sedang menyusi
Begitu juga ibu dalam keadaan seperti di bawah ini:
1) Penderita tumor jinak payudara
2) Penderita kanker payudara
3) Pusing-pusing, sakit kepala
4) Tekanan darah tinggi
5) Varises di tungkai atau di vulva
6) Penderita penyakit jantung (termasuk penyakit jantung katup dapat diberi antibiotika
sebelum pemasangan AKDR)
7) Pernah menderita stroke
8) Penderita diabetes
9) Penderita penyakit hati atau empedu
10) Malaria
11) Skistosomiasis (tanpa anemia)
12) Penyakit tiroid
13) Epilepsi
14) Nonpelvik TBC
15) Setelah kehamilan ektopik
16) Setelah pembedahan pelvic.

b. Yang Tidak Diperkenankan Menggunakan


Ada beberapa ibu yang dianggap tidak cocok memakai kontrasepsi jenis IUD ini. Ibu-ibu
yang tidak cocok itu adalah mereka yang menderita atau mengalami beberapa keadaan
berikut ini:
1) Kehamilan
2) Penyakit kelamin (gonorrhoe, sipilis, AIDS, dsb)
3) Perdarahan dari kemaluan yang tidak diketahui penyebabnya
4) Tumor jinak atau ganas dalam rahim
5) Kelainan bawaan rahim
6) Penyakit gula (diabetes militus)
7) Penyakit kurang darah
8) Belum pernah melahirkan
9) Adanya perkiraan hamil
10) Kelainan alat kandungan bagian dalam seperti: perdarahan yang tidak normal dari alat
kemaluan, perdarahan di leher rahim, dan kanker rahim
11) Ukuran rongga rahim kurang dari 5 cm.

H. CARA PEMASANGAN
Prinsip pemasangan adalah menempatkan AKDR setinggi mungkin dalam rongga rahim
(cavum uteri). Saat pemasangan yang paling baik ialah pada waktu mulut peranakan masih
terbuka dan rahim dalam keadaan lunak. Misalnya, 40 hari setelah bersalin dan pada akhir
haid. Pemasangan AKDR dapat dilakukan oleh dokter atau bidan yang telah dilatih secara
khusus. Pemeriksaan secara berkala harus dilakukan setelah pemasangan satu minggu, lalu
setiap bulan selama tiga bulan berikutnya. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan setiap enam
bulan sekali (Herti Maryani, 2002).

H. KENDALA PEMAKAIAN
Selain karena efek samping / kerugian pemakaian serta kontraindikasi penggunaan IUD,
beberapa kendala yang sering dijumpai di lapangan sehingga masyarakat masih enggan
menggunakan kontrasepsi IUD / AKDR ini antara lain :
1) Pengetahuan / pemahaman yang salah tentang IUD
Kurangnya pengetahuan pada calon akseptor sangat berpengaruh terhadap pemakaian
kontrasepsi IUD. Dari beberapa temuan fakta memberikan implikasi program, yaitu manakala
pengetahuan dari wanita kurang maka penggunaan kontrasepsi terutama IUD juga menurun.
Jika hanya sasaran para wanita saja yang selalu diberi informasi, sementara para suami
kurang pembinaan dan pendekatan, suami kadang melarang istrinya karena faktor
ketidaktahuan dan tidak ada komunikasi untuk saling memberikan pengetahuan.

2) Pendidikan PUS yang rendah


Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Pendidikan pasangan suami - istri yang rendah akan menyulitkan proses pengajaran dan
pemberian informasi, sehingga pengetahuan tentang IUD juga terbatas.

3) Sikap dan Pandangan negatif masyarakat


Sikap ini juga berkaitan dengan pengetahuan dan pendidikan seseorang. Banyak mitos
tentang IUD seperti dapat mengganggu kenyamanan hubungan suami-istri, mudah terlepas
jika bekerja terlalu keras, menimbulkan kemandulan, dan lain sebagainya.

4) Sosial budaya dan ekonomi


Tingkat ekonomi mempengaruhi pemilihan jenis kontrasepsi. Hal ini disebabkan karena
untuk mendapatkan pelayanan kontrasepsi yang diperlukan akseptor harus menyediakan dana
yang diperlukan. Walaupun jika dihitung dari segi keekonomisannya, kontrasepsi IUD lebih
murah dari KB suntik atau pil, tetapi kadan orang melihatnya dari berapa biaya yang harus
dikeluarkan untuk sekali pasang. Kalau patokannya adalah biaya setiap kali pasang, mungkin
IUD tampak jauh lebih mahal. Tetapi kalau dilihat masa / jangka waktu penggunaannya,
tentu biaya yang harus dikeluarkan untuk pemasangan IUD akan lebih murah dibandingkan
KB suntik ataupun pil. Untuk sekali pasang, IUD bisa aktif selama 3 - 5 tahun, bahkan
seumur hidup / sampai menopause. Sedangkan KB Suntik atau Pil hanya mempunyai masa
aktif 1-3 bulan saja, yang artinya untuk mendapatkan efek yang sama dengan IUD, seseorang
harus melakukan 12-36 kali suntikan bahkan berpuluh-puluh kali lipat.

REFERENSI :

Saifuddin, AB. 2003. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Diposting oleh Syakira Husada di 04.54 1 komentar Link ke posting ini
Label: KELUARGA BERENCANA
Reaksi:

MENGENAL KONTRASEPSI

A. DEFINISI
Kontrasepsi berasal dari kata kontra berarti ‘mencegah’ atau ‘melawan’ dan konsepsi yang
berarti pertemuan antara sel telur yang matang dan sperma yang mengakibatkan kehamilan.
Maksud dari kontrasepsi adalah menghindari/ mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat
pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma.

B. TUJUAN KONTRASEPSI
Dalam menggunakan kontrasepsi, keluarga pada umumnya mempunyai perencanaan atau
tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu
menunda / mencegah kehamilan, menjarangkan kehamilan, serta menghentikan / mengakhiri
kehamilan atau kesuburan. Secara skematis, pola perencanaan keluarga dan penggunaan
kontrasepsi yang rasional dijelaskan seperti Gambar 2.1.

Prioritas kontrasepsi:
1. Pil
2. IUD-mini
3. Metode sederhana Prioritas kontrasepsi:
1. IUD
2. Suntik
3. Mini Pil
4. Pil
5. Implant
6. Metode sederhana Prioritas kontrasepsi:
1. IUD
2. Suntik
3. Mini Pil
4. Pil
5. Implant
6. Sederhana
7. Kontap Prioritas kontrasepsi:
1. Kontap
2. IUD
3. Implant
4. Suntikan
5. Sederhana
6. Pil

Gambar 2.1 Perencanaan Penggunaan Kontrasepsi

Menunda kehamilan dianjurkan bagi PUS dengan usia istri kurang dari 20 tahun. Untuk
menunda, metode pilihan prioritas adalah pil oral. Penggunaan kondom kurang
menguntungkan, karena pasangan muda masih tinggi frekuensi sanggamanya. Jika terdapat
kontraindikasi pil oral, sangat cocok untuk dianjurkan menggunakan IUD-mini. Kontrasepsi
yang dianjurkan tersebut mempunyai reversibilitas yang tinggi, artinya kesuburan kembali
dapat terjamin hampir 100%, karena pada saat ini peserta belum mempunyai anak
Tujuan menjarangkan kehamilan biasanya dilakukan oleh pasangan suami-istri yang berusia
antara 20 – 35 tahun, dengan jumlah anak yang diharapkan 2 orang, dan jarak antara
kelahiran 2 – 4 tahun. Fase menjarangkan kehamilan dilakukan biasanya segera setelah anak
pertama lahir. Kegagalan yang menyebabkan kehamilan cukup tinggi, namun tidak terlalu
berbahaya karena yang bersangkutan berada pada masa mengandung dan melahirkan yang
baik. Kontrasepsi yang diperlukan pada fase ini adalah yang efektifitasnya cukup tinggi,
mempunyai reversibilitas cukup tinggi karena peserta masih mengarapkan punya anak lagi.
Kontrasepsi pilihan sebaiknya dapat digunakan 2 – 4 tahun sesuai dengan perencanaan jarak
kehamilan, serta tidak menghambat air susu ibu (ASI), karena biasanya ibu masih menyusui
anak pertama, dan ASI merupakan makanan terbaik bayi sampai usia 2 tahun.
Fase menghentikan atau mengakhiri kesuburan dilakukan pada periode usia istri 30 tahun,
terutama 35 tahun ke atas. Menghentikan kesuburan dilakukan setelah mempunyai dua orang
anak. Pilihan utama adalah metode kontrasepsi mantap. Pil oral kurang dianjurkan karena
usia ibu relatif tua dan mempunyai keumungkinan banyak efek samping dan komplikasi.
Syarat kontrasepsi pilihan adalah mempunyai efektivitas yang sangat tinggi, dapat dipakai
untuk jangka waktu yang lama, serta tidak menambah kelainan yang sudah ada. Pada masa
usia tua kelainan seperti penyakit jantung, darah tinggi, keganasan dan kelainan metabolik
biasanya meningkat. oleh karena itu, sebaiknya tidak diberikan kontrasepsi yang menambah
kelainan tersebut.

C. BEBERAPA MACAM METODE KONTRASEPSI


a. Pil KB
Pil menghasilkan hormon estrogen dan progesterone buatan, yang cara kerjanya menyerupai
hormon alami yang diproduksi oleh tubuh setiap bulan. Estrogen akan mencegah produksi sel
telur (ovum) dari ovarium, sehingga pembuahan tidak terjadi. Mini-pil biasanya hanya
mengandung progesterone. Efektifitas metode ini adalah 99% untuk pil kombiniasi dan 86%
untuk mini pil. Keuntungan metode Pil ini antara lain mengurangi risiko kanker uterus,
ovarium serta radang panggul. Kontrasepsi Pil juga mengurangi sindroma pra menstruasi,
jerawat, perdarahan, anemia, kista ovarium, dan nyeri payudara. Penggunaan Pil
memungkinkan siklus menstruasi lebih teratur, serta tidak mengganggu aktifitas seksual.
Mini pil dapat dikonsumsi saat menyusui.

b. Implant / KB Susuk
Sama dengan pil kecuali susuk ditanamkan di dalam kulit, biasanya di lengan atas. Implan
mengandung progesterone yang akan terlepas secara perlahan dalam tubuh. Efektifits
mencapai 99 %. Keuntungan dari metode implant ini antara lain tahan sampai 5 tahun atau
sampai diambil. Kesuburan akan kembali segera setelah pengangkatan. Pencegahan
kehamilan terjadi dalam waktu 24 jam setelah pemasangan. Metode ini juga dapat
melindungi wanita dari kanker rahim, aman digunakan setelah melahirkan dan menyusui,
serta tidak mengganggu aktivitas seksual.

c. Suntik KB
Cara kerja sama dengan pil. Efektifitasnya mencapai 99%. Keuntungan metode ini antara lain
disuntikkan setiap tiga bulan sekali, efektif, tahan lama, melindungi akseptor terhadap kanker
rahim. Aman digunakan setelah melahirkan dan saat menyusui. KB suntik juga dapat
mengurangi kram saat menstruasi, dan tidak mengganggu aktivitas seksual.

d. Kondom
Cara kerjanya adalah mencegah sperma mencapai serviks (leher rahim). Efektivitas mencapai
80-90% (dapat meningkat jika digunakan bersama spermisida). Keuntungan metode ini
antara lain tidak memerlukan resep, melindungi terhadap beberapa penyakit akibat hubungan
seksual, serta aman, kesuburan segera pulih setelah tidak memakai kondom lagi.

e. Tubektomi
Tuba fallopi (pembawa sel telur ke rahim) dipotong dan diikat dengan teknik yang disebut
kauter, atau dengan pemasangan klep atau cicin silastik.
Efektivitasnya mencapai 99%. Keuntungannya antara lain aman bagi kesehatan setelah
prosedur dilakukan, serta tidak mengganggu hubungan intim. Sedangkan kelemahannya
adalah memerlukan operasi bedah. Prosedur ini hanya untuk pasangan yang sudah
memutuskan untuk tidak akan punya anak lagi.

f. Vasektomi
Saluran vaas deferens yang berfungsi mengangkut sperma dipotong/diikat, sehingga aliran
sperma dihambat tanpa mempengaruhi jumlah cairan semen. Jumlah sperma hanya 5% dari
cairan ejakulasi. Cairan semen diproduksi dalam vesika seminalis dan prostat sehingga tidak
akan terganggu oleh vasektomi. Efektivitasnya mencapai 99% lebih. Keuntungannya adalah
tidak akan mengganggu ereksi, potensi seksual, produksi hormon. Kelemahannya sama
dengan tubektomi.

g. Intra Uterine Device


Cara kerjanya adalah mencegah kehamilan dengan mempengaruhi pergerakan sperma atau
implantasi sel telur yang telah dibuahi dalam dinding rahim. Ada 2 jenis IUD: berisi
progesterone dan berisi tembaga berbentuk T. Efektivitas metode IUD ini berkisar antara 97 –
99%. Keuntungannya antara lain membutuhkan sedikit perhatian (hanya pemeriksaan benang
setiap bulan). Kesuburan biasanya segera kembali setelah melepas IUD. Metode ini tidak
mengganggu aktivitas seksual dan aman digunakan selama menyusui. IUD bentuk T hanya
perlu diganti dalam waktu 10 tahun, IUD progesterone sebaiknya diganti setahun sekali.
Diposting oleh Syakira Husada di 04.46 0 komentar Link ke posting ini
Label: KELUARGA BERENCANA
Reaksi:

ASMA BRONKIAL

1. Pengertian
a. Asthma Bronkiale
Asthma Bronkiale merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya respon yang
berlebihan dari trakea dan bronkus terhadap bebagai macam rangsangan, yang
mengakibatkan penyempitan saluran nafas yang tersebar luas diseluruh paru dan derajatnya
dapat berubah secara sepontan atau setelah mendapat pengobatan.
b. Status Astmatikus
Status Asthmatikus merupakan serangan asthma berat yang tidak dapat diatasi dengan
pengobatan konvensional dan merupakan keadaan darurat medik ,bila tidak diatasi dengan
cepat akan terjadi gagal pernafasan.

2. Faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah


a. Anatomi dan fisiologi
Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen
kedalam tubuh. Serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbondioksida
(CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi dan
menghembuskan disebut ekspirasi.
Secara garis besar saluran pernafasan dibagi menjadi dua zona, zona konduksi yang dimulai
dari hidung, faring, laring,trakea, bronkus, bronkiolus segmentalis dan berakir pada
bronkiolus terminalis. Sedangkan zona respiratoris dimulai dari bronkiolus respiratoris,
duktus alveoli dan berakhir pada sakus alveulus terminalis
Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang
bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara tersebut disaring, dihangatkan dan
dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri
dari epiotel thorak yang bertingkat, bersilia dan bersel goblet.Permukaan epitel dilapisi oleh
lapisan mukus yang sisekresi sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar
dapat disaring oleh rambut-rambut yang terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan partikel
yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus untuk kemudian dibatukkan atau ditelan. Air
untuk kelembapan diberikan oleh lapisan mukus, sedangkan panas yang disuplai keudara
inspirasi berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya dengan pembulu darah, sehingga bila
udara mencapai faring hampir bebas debu,bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembapanya
mencapai 100%.
Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat persimpangan antara jalan
pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : nasofaring,
orofaring dan laringofaring. Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa
tempat terdapat follikel getah bening yang dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat dua
buah tonsil kiri dan kanan dari tekak
Laring merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak didepan
bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke trakea di bawahnya. Laring
merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan mengandung pita
suara. Diantara pita suara terdapat glotis yang merupakan pemisah saluran pernafasan bagian
atas dan bawah. Pada saat menelan, gerakan laring keatas, penutupan dan fungsi seperti pintu
pada aditus laring dari epiglotis yang berbentuk daun berperan untuk mengarahkan makanan
ke esofagus, tapi jika benda asing masih bisa melampaui glotis, maka laring mempunyai
fungsi batuk yang akan membantu merngeluarkan benda dan sekret keluar dari saluran
pernafasan bagian bawah.
Trakea dibentuk 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan, yang berbentuk seperti kuku kuda
dengan panjang kurang lebih 5 inci (9-11 cm), lebar 2,5 cm, dan diantara kartilago satu
dengan yang lain dihubaungkan oleh jaringan fibrosa, sebelah dalam diliputi oleh selaput
lendir yang berbulu getar(sel bersilia) yang hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna
untuk mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan
dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukusa,
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea ada dua buah yamg terdapat pada ketinggian
vertebra torakalis ke IV dan V. Sedangkan tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus
utama kanan dan kiri disebut karina. Karina memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan
bronkospasme dan batuk yang kuat jika batuk dirangsang . Bronkus utama kanan lebih
pendek , lebih besar dan lebih vertikal dari yang kiri. Terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai tiga
cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang,dan lebih kecil, terdiri dari 9-12 cicin serta
mempunyai dua cabang
Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung alveoli
(kantung udara) dan memiliki garis 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang
rawan, tapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukuranya dapat berubah. Seluruh saluran
uadara ,mulai dari hidung sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar udara
atau zona konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitellium yang mengandung
lebih banyak sel goblet dan otot polos, diantaranya strecch reseptor yang dilanjutkan oleh
nervus vagus
Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru , yaitu
tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari : Bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan
sakus alveolaris terminalis yang merupakan struktur akhir dari paru.
Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu pertukaran gas dan
keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas ada tiga proses yang terjadi. Pertama
ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara melalui cabang-cabang trakeo
bronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli dan karbondioksida dibuang. Pergerakan ini
terjadi karena adanya perbedaan tekanan. Udara akan mengalir dari tekanan yang tianggi ke
tekanan yang rendah. Selama inspirasi volume thorak bertambah besar karena diafragma
turun dan iga terangkat. Peningkatan volume ini menyebabkan menurunan tekanan intra
pleura dari –4 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir) menjadi sekita –8mmHg. Pada saat
yang sama tekanan pada intra pulmunal menurun –2 mmHg (relatif terhadap tekanan
atmosfir). Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menyebabkan udara mengalir
kedalam paru sampai tekanan saluran udara sama dengan tekanan atmosfir. Pada ekspirasi
tekanan intra pulmunal bisa meningkat 1-2 mmHg akibat volume torak yang mengecil
sehingga udara mengalir keluar paru
Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui membran
alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggai tekanan
parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam alveoli mempunyai
tekanan partial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada didalam darah. Karbondioksida
darah lebih tinggi tekanan partialnya dari pada karbondioksida dialveoli. Akibatnya
karbondioksida mengalir dari darah ke alveoli
Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke jaringan
melalui transpor aliran darah. Oksigen dapat masik ke jaringan melalui dua jalan : pertama
secara fisik larut dalam plasma dan secara kimiawi berikata dengan hemoglobin sebagai
oksihemoglobin, sedangkan karbondioksida ditransportasi dalam darah sebagai bikarbonat,
natrium bikarbonat dalam plasma dan kalium bikarbonat dalam sel-sel darah merah. Satu
gram hemoglobin dapat mengika 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi hemoglobin rata-rata
dalam darah orang dewasa sebesar 15 gram, maka 20,1 ml oksigen bila darah jenuh total ( Sa
O2 = 100% ),bila darah teroksigenasi mencapai jaringan . Oksigen mengalir dari darah masuk
ke cairan jaringan karena tekanan partial oksigen dalam darah lebih besar dari pada tekanan
dalam cairan jaringan. Dari dalam cairan jaringan oksigen mengalir kedalan sel-sel sesuai
kebutuhan masing-masing. Sedangkan karbondioksida yang dihasilkan dalam sel mengalir
kedalam cairan jaringan. Tekanan partial karbondioksida dalam jaringan lebih besar dari pada
tekanan dalam darah maka karbondioksida mengalir dari cairan jaringan kedalam darah
Fungsi sebagain pengaturan keseimbangan asam basa : pH darah yang normal berkisar 7,35 –
7,45. Sedangkan manusia dapat hidup dalam rentang pH 7,0 – 7,45. Pada peninggian CO2
baik karena kegagalan fungsi maupun tambahnya produksi CO2 jaringan yang tidak
dikompensasi oleh paru menyebabkan perubahan pH darah. Asidosis respiratoris adalah
keadaan terjadinya retensi CO2 atau CO2 yang diproduksi oleh jaringan lebih banyak
dibandingkan yang dibebaskan oleh paru. Sedangkan alkalosis respiratorius adalah suatu
keadaan Pa CO2 turun akibat hiper ventilasi

3. Patofisiologi
Suatu serangan asthma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen yang ada
dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu
diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain
akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen
diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal
kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi menjadi sel
plasma dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ).
IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada
dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi
atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih
dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam
permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca++ kedalam sel dan
perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan
menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow releasing
suptance of anaphylaksis ( SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A)
dan lain-lain. Hal ini akanmenyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-
otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan
bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema
mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas , peningkatansekresi kelenjar
mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan
ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan
difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada
tahap yangsangat lanjut.
Berdasarkan etiologinya, asthma dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu asthma
intrinsik dan asthma ektrinsik. Asthma ektrinsik (atopi) ditandai dengan reaksi alergik
terhadap pencetus-pencetus spesifik yang dapat diidentifikasi seperti : tepung sari jamur,
debu, bulu binatang, susu telor ikan obat-obatan serta bahan-bahan alergen yang lain.
Sedangkan asthma intrinsik ( non atopi ) ditandai dengan mekanisme non alergik yang
bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik seperti : Udara dingin, zat kimia,yang bersifat
sebagai iritan seperti : ozon ,eter, nitrogen, perubahan musim dan cuaca, aktifitas fisik yang
berlebih , ketegangan mental serta faktor-faktor intrinsik lain.
Serangan asthma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama
ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering. Batuk ini terjadi karena iritasi mukosa yang
kental dan mengumpul. Pada stadium ini terjadi edema dan pembengkakan bronkus. Stadiun
kedua ditandai dengan batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak
nafas, berusaha untuk bernafas dalam, ekspirasi memanjang diikuti bunyi mengi (wheezing ).
Klien lebih suka duduk dengan tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur, penberita tampak
pucat, gelisah, dan warna kulit sekitar mulai membiru. Sedangkan stadiun ketiga ditandai
hampir tidak terdengarnya suara nafas karena aliran udara kecil, tidak ada batuk,pernafasan
menjadi dangkal dan tidak teratur, irama pernafasan tinggi karena asfiksia.

4. Penatalaksanaan
Pengobatan asthma secara garis besar dibagi dalam pengobatan non farmakologik dan
pengobatan farmakologik.
1. Penobatan non farmakologik
a) Penyuluhan
Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit asthma
sehinggan klien secara sadar menghindari faktor-faktor pencetus, serta menggunakan obat
secara benar dan berkonsoltasi pada tim kesehatan.
b) Menghindari faktor pencetus
Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asthma yang ada pada
lingkungannya, serta diajarkan cara menghindari dan mengurangi faktor pencetus, termasuk
pemasukan cairan yang cukup bagi klien.
c) Fisioterapi
Fisioterpi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus. Ini dapat dilakukan
dengan drainage postural, perkusi dan fibrasi dada.

2. Pengobatan farmakologik
a) Agonis beta
Bentuk aerosol bekerja sangat cepat diberika 3-4 kali semprot dan jarak antara semprotan
pertama dan kedua adalan 10 menit. Yang termasuk obat ini adalah metaproterenol (Alupent,
metrapel).
b) Metil Xantin
Golongan metil xantin adalan aminophilin dan teopilin, obat ini diberikan bila golongan beta
agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pada orang dewasa diberikan 125-200 mg
empatkali sehari.
c) Kortikosteroid
Jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang baik, harus diberikan
kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol (beclometason dipropinate) dengan disis 800
empat kali semprot tiap hari. Karena pemberian steroid yang lama mempunyai efek samping
maka yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat.
d) Kromolin
Kromolin merupakan obat pencegah asthma, khususnya anak-anak . Dosisnya berkisar 1-2
kapsul empat kali sehari.
e) Ketotifen
Efek kerja sama dengan kromolin dengan dosis 2 x 1 mg perhari. Keuntunganya dapat
diberikan secara oral.
f) Iprutropioum bromide (Atroven)
Atroven adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk aerosol dan bersifat bronkodilator.

3. Pengobatan selama serangan status asthmatikus


a) Infus RL : D5 = 3 : 1 tiap 24 jam
b) Pemberian oksigen 4 liter/menit melalui nasal kanul
c) Aminophilin bolus 5 mg / kg bb diberikan pelan-pelan selama 20 menit dilanjutka drip
Rlatau D5 mentenence (20 tetes/menit) dengan dosis 20 mg/kg bb/24 jam.
d) Terbutalin 0,25 mg/6 jam secara sub kutan.
e) Dexamatason 10-20 mg/6jam secara intra vena.
f) Antibiotik spektrum luas.

5. Dampak masalah
a. Pada klien
Penderita asthma harus merubah gaya hidup sehari-hari untuk menghindari faktor pencetus.
Perubahan ini dimulai dari lingkungan hidup sanpai dengan lingkungan kerja. Pada klien
dengan serangan asthma, maka terjadi penurunan nafsu makan, minum sehingga
mempengarui status nutrisi klien. Dalam istirahat klien sangat terganggu sehingga dapat
menyebabkan kelelahan. Adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan penyediaan
oksigen mempengarui toleransi dalam melakukan aktivitas, kelelahan cepat lelah dan ketidak
mampuan memenuhi ADL. Klien dapat tumbuh dan berkembang menjadi rendah diri, merasa
tidak mampu, berkepribadian labil,mudah tersinggung,gelisah dan cemas. Adanya
keterbatasan aktifitas, klien lebih tergantung pada orang lain, terkadang klien tidak dapat
berperan sesuai dengan peranya, (Antony C. 1997 ; Tjen daniel, 1991).
b. Pada keluarga
Melihat kondisi klien dengan gejala asthma dan dirawat dirumah sakit, tentang penyebab,
prognosa penyakit dan keberhasilan dari terapi, akan menimbulkan kecemasan pada keluarga.
Perlunya klien dirawat dirumahsakit menimbulkan respon kehilangan pada keluarga yang
ditinggalkan. Peran klien dalam keluarga sebagai sumber ekonomi akan terganggu karena
klien tidak bisa masuk kerja serta perawatan dan biaya rumah sakit yang tidak sedikit akan
menjadi beban bagi keluarga.
Diposting oleh Syakira Husada di 04.24 0 komentar Link ke posting ini
Label: MEDIKAL BEDAH
Reaksi:

GANGGUAN KESADARAN

1. PENDAHULUAN
Fungsi kesadaran menyangkut :
- tingkat kesadaran
- isi kesadaran

2. BATASAN
Kesadaran yang utuh adalah suatu keadaan individu sadara akan dirinya dan lingkungannya
menghadapi stimulasi yang adekuat.
Kesadaran yang utuh tergantung dari integritas dan interaski antara :
- ARAS (Ascending Reticuler Activating System)  kumpulan substansia drisea di bagian
sentral batang otak bagian rostral mulai dari mielum samapai di subthalamus, menentukan
tingkat kesadaran  WAKEFULLNESS-ARAOUSEL/KETERJAGAAN (keadaan yg.
berhub. dengan respon E, V dan M.
- Korteks di hemisfer serebri kiri yang utuh, merupakan substract anatomis untuk kebanyakan
komponen psikologik yang khusus, berbahasan, ingatan, intelek dan tanggapan proses
pembelajaran. Dalam mekanismenya digiatkan oleh thalamus, hipotalamus, mesensefalon,
tegmentum pontis bagian rostral.

Fungsi luhur/kortikal luhur/higher cortical function adalah kemampuan otak untuk


berinteraksi dengan sekitarnya.
5 komponen fungsi luhur :
- Kemampuan berbahasa
- daya ingat
- pengenalan visuospasial
- emosi, dan kepribadian

Bentuk sindroma hemisfer, kanan dan kiri :


KIRI KANAN
Afasia (berbahasa)
Aleksia (membaca)
Agrafia (menulis)
Akalkulasi (menghitung)
Apraksia (gerakan motorik yang kompleks) Pengabaian (neglect)
Visuospasial (persepsi)
- pengenalan tempat
- Pengenalan wajah
Visuomotor
- membuat kontruksi
- berpakaian
Afek dan prosodi

Kebingungan/confusion/kesadaran berkabut gangguan kapasitas berfikir, mengerti, dan


berespon dan mengingat kembali respon yang diterimanya, sehingga kehilangna kemampuan
untuk berfikir jernih, gangguan dalam membuat keputusan.

Menurut Sukardi, Boss keadaan bingung dibagi menjadi :


Disoroentasi
Permulaan kehilangan kesadran, disorientasi (waktu,. tempat, orang), gangguan memori
Lethargi Keterabatasan pembicaraan, gerakan motorik spontan, dapat dibangungkan dengan
pembicaran dna perabaan normal, dapat/tidak disorientasi.
Obtudation Kesadaran yg tumpul, keterbatsan keterjagaan, acuh thd lingkungan, mudah
tertidur, kecuali dirangsangan secara verbal/perabaan, menjawab pertanyaan dengan
seminimal mungkin.
Delirium Ketidaktenangan motorik, halusinasi, disorientasi, delusi/waham. ketakutan dna
mudah terasangsang, kelainan metabolik/toksik, impending coma.
Stupor Tidur yang dalam, tidak responsif, hanya dapat dinagunkan /jawaban motorik/verbal
dengan rangsangan yang kuat dan berulang, respon menghindara/memegang rasngangan
tersebut.
Koma Hilangnya kesadaran, tampak seperti tidur, tidak berespon terhadap rangsangan
eksternal
Keadaan Vegetatif Bernafas spontan, sirkulasi nomral, siklue membukan dan menutup mata
seperti tidur, tapi tidak tanggap lingkungan, sepintas penyembuhan dari keadaan koma dan
menetap sampai akhir kematian.
Kelainan difus bilateral pada korteks serebri dengan BO, trauma kapitis, hipoksik-eskemia,

PSYCHONEPHIC UNRESPONSIVENESS  keadaan tidak sadar/koma, tetapi sebetulnya


tidak.

Caranya : tes okulovestibuler, nistagmus menunjukkan bahwa tidak dalam keadaan tidak
sadar.

3. KEADAAN YANG MENYEBABKAN GANGGUAN KESADARAN

Plum F dan Saper CB membagi gangguan kesadaran menjadi 3 bagian :

a. Gangguan tingkat kesadaran


- Lesi distruktif yang mempengaruhi mekanisme kesadaran
 Keruskan difus bilateral otak bagian depan
 kerusakan disensefalon
 kerusakan midbrain atas
- Lesi kompresi yang mempengaruhi mekanisme kesadaran
 hidrosefalus
 herniasi central
 herniasi unkus
 herniasi ke atas masa di ensephalon
 kompresi pons akibat masa diserebral

b. Gangguan isi kesadaran


- anterograde amnesia
- afasia
- apraksia
- defisit spasial (amorfosintesis)
- gangguan perhatian

c. Gangguan kesadaran umum (general disorders of conciousness)


- encephalopati akut
 penyakit multifaktorial
 penyakit metabolik difus
- encephalo kronis
 retardasi mental
 demensia
 persistent vegetative state

4. MEKANISME KESADARAN DAN GANGGUAN KESADARAN

Proses supratentorial dapat menyebabkan penurunan tingkat kesadaran :


1) Disfungsi difus kortikal dari korteks serebri, seperti ensefalitis, neoplasma, trauma kepala
tertutup dengan peradrahan, empiema subdural (akumulasi nanah) Intra serebral (perdarahan,
infark, emboli dan tumor)
2) Disfungsi subkortikal bilateral seperti, trauma batang otak, GPDO.
3) Kelainan okal hemesfer sereberi dsiebabkan masa yang menjepit, menekan struktur bagian
dalam disensefalon, herniasi mengganggu thalamus dan activating hipotalammus.

Proses infratentorial  penurunan kesadaran :


1) destruksi langsung pada ARAS
2) BO rusak akibat invasi langsung (GPDO, demeilinasasi, neoplasma, granuloma, abses
trauma kapitis) /tidak langsung
3) Kompressi ARAS :
- tekanan langsung pada pons dan midbrain  iskemia dan edema neuron
- Herniasi ke atas serebelum menekan atas dari midbrain dan diensefalon
- herniasi ke bawah melalui foramen magnum, menekan dan menggeser MO.

Manifestasi klini dan evaluasi , melalu pemeriksaan :


1. pemeriksaan TTV
2. Pemeriksaan interne
3. Pemeriksaan neurologik
- derajat kesadaran
- pola pernafasan
- ukuran dan reaksi pupil
- posisi bola mata
- refleks batang otak
- respon motorik
4. Pemeriksaan tambahan
- laboratorium
- radiologi
- neurofisiologik klinik
- neuroperilaku
Diposting oleh Syakira Husada di 03.58 0 komentar Link ke posting ini
Label: MEDIKAL BEDAH
Reaksi:
PERITONITIS

PENGERTIAN
Peradangan peritoneum, suatu lapisan endotelial tipis yang kaya akan vaskularisasi dan aliran
limpa.

ETIOLOGI
1. Infeksi bakteri
• Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal, misalnya :
• Appendisitis yang meradang dan perforasi
• Tukak peptik (lambung / dudenum)
• Tukak thypoid
• Tukan disentri amuba / colitis
• Tukak pada tumor
• Salpingitis
• Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus  dan  hemolitik, stapilokokus
aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.

2. Secara langsung dari luar.


• Operasi yang tidak steril
• Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang disertai
pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga
peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
• Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa.
• Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula peritonitis
granulomatosa.

3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah
streptokokus atau pnemokokus.

GEJALA DAN TANDA


• Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberpa penderita peritonitis
umum.
• Demam
• Distensi abdomen
• Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung pada
perluasan iritasi peritonitis.
• Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang jauh dari
lokasi peritonitisnya.
• Nausea
• Vomiting
• Penurunan peristaltik.

PATOFISIOLOGI
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen ke dalam rongga abdomen,
biasanya diakibatkan dan peradangan iskemia, trauma atau perforasi tumor, peritoneal
diawali terkontaminasi material.
Awalnya material masuk ke dalam rongga abdomen adalah steril (kecuali pada kasus
peritoneal dialisis) tetapi dalam beberapa jam terjadi kontaminasi bakteri. Akibatnya timbul
edem jaringan dan pertambahan eksudat. Caiaran dalam rongga abdomen menjadi keruh
dengan bertambahnya sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-sel yang rusak dan darah.
Respon yang segera dari saluran intestinal adalah hipermotil tetapi segera dikuti oleh ileus
paralitik dengan penimbunan udara dan cairan di dalam usus besar.

TEST DIAGNOSTIK
1. Test laboratorium
• Leukositosis
• Hematokrit meningkat
• Asidosis metabolik

2. X. Ray
• Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
• Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
• Usus halus dan usus besar dilatasi.
• Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
PROGNOSIS
• Mortalitas tetap tinggi antara 10 % - 40 %.
• Prognosa lebih buruk pada usia lanjut dan bila peritonitis sudah berlangsung lebih dari 48
jam.
• Lebih cepat diambil tindakan lebih baik prognosanya.
Diposting oleh Syakira Husada di 03.51 0 komentar Link ke posting ini
Label: MEDIKAL BEDAH
Reaksi:

TRAUMA ABDOMEN

OLEH : ERFANDI

Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas biasanya lebih tinggi
pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk. Walaupun tehnik diagnostik baru
sudah banyak dipakai, misalnya Computed Tomografi, namun trauma tumpul abdomen masih
merupakan tantangan bagi ahli klinik.

Diagnosa dini diperlukan untuk pengelolaan secara optimal. Evaluasi awal sangat bermanfaat
tetapi terkadang cukup sulit karena adanya jejas yang tidak jelas pada area lain yang terkait.

PATOFISIOLOGI
Jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada trauma
tumpul dengan velisitas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya menimbulkan kerusakan satu
organ. Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ
multipel, seperti organ padat ( hepar, lien, ginjal ) dari pada organ-organ berongga.
(Sorensen, 1987)

Yang mungkin terjadi pada trauma abdomen adalah :


- Perforasi
Gejala perangsangan peritonium yang terjadi dapat disebabkan oleh zat kimia atau
mikroorganisme. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya lambung, maka terjadi
perangsangan oleh zat kimia segera sesudah trauma dan timbul gejala peritonitis hebat.
Bila perforasi terjadi di bagian bawah seperti kolon, mula-mula timbul gejala karena
mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak. Baru setelah 24 jam timbul
gejala-gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.
Mengingat kolon tempat bakteri dan hasil akhirnya adalah faeses, maka jika kolon terluka
dan mengalami perforasi perlu segera dilakukan pembedahan. Jika tidak segera dilakukan
pembedahan, peritonium akan terkontaminasi oleh bakteri dan faeses. Hal ini dapat
menimbulkan peritonitis yang berakibat lebih berat.

- Perdarahan
Setiap trauma abdomen (trauma tumpul, trauma tajam, dan tembak) dapat menimbulkan
perdarahan. Yang paling banyak terkena robekan pada trauma adalah alat-alat parenkim,
mesenterium, dan ligamenta; sedangkan alat-alat traktus digestivus pada trauma tumpul
biasanya terhindar. Diagnostik perdarahan pada trauma tumpul lebih sulit dibandingkan
dengan trauma tajam, lebih-lebih pada taraf permulaan. Penting sekali untuk menentukan
secepatnya, apakah ada perdarahan dan tindakan segera harus dilakukan untuk menghentikan
perdarahan tersebut.
Sebagai contoh adalah trauma tumpul yang menimbulkan perdarahan dari limpa. Dalam taraf
pertama darah akan berkumpul dalam sakus lienalis, sehingga tanda-tanda umum
perangsangan peritoneal belum ada sama sekali. Dalam hal ini sebagai pedoman untuk
menentukan limpa robek (ruptur lienalis) adalah :
• Adanya bekas (jejas) trauma di daerah limpa
• Gerakkan pernapasan di daerah epigastrium kiri berkurang
• Nyeri tekan yang hebat di ruang interkostalis 9 - 10 garis aksiler depan kiri.

DIAGNOSTIK
- Riwayat
Dapatkan keterangan mengenai perlukaannya, bila mungkin dari penderitanya sendiri, orang
sekitar korban, pembawa ambulans, polisi, atau saksi-saksi lainnya, sesegera mungkin,
bersamaan dengan usaha resusitasi.

- Penemuan
Trauma tumpul pada abdomen secara tipikal menimbulkan rasa nyeri tekan, dan rigiditas
otot, pada daerah terjadinya rembesan darah atau isi perut. Tanda-tanda ini dapat belum
timbul hingga 12 jam atau lebih pasca trauma, sehingga kadanga-kadang diperlukan
pengamatan yang terus-menerus yang lebih lama. Nyeri yang berasal dari otot dan tulang,
mungkin malah tak terdapat tanda-tanda objektif yang dapat menunjukan perlukaan viseral
yang luas. Fraktur pada iga bagian bawah sering kali menyertai perlukaan pada hati dan
limpa. Pemeriksaan rektum secaga digital, dapat menimbulkan adanya darah pada feses

- Test Laboratorium
Secara rutin, diperiksa hematokrit, hitung jenis leukosit, dan urinalisis, sedangkan test lainnya
dilakukan bila diperlukan. Nilai-nilai amilase urine, dan serum dapat membantu untuk
menentukan adanya perlukaan pankreas atau perforasi usus.

- Foto Sinar X
• Film polos abdomen dapat menunjukkan adanya udara bebas intraperitoneal, obliterasi
bayangan psoas, dan penemuan-penemuan lainnya yang pada umunya tak khas. Fraktur
prosesus transversalis menunjukan adanya trauma hebat, dan harus mengingatkan kita pada
kemungkinan adanya perlukaan viseral yang hebat.
• Film dada dapat menunjukkan adanya fraktur iga, hematotorak, pnemotorak, atau lainnya
yang berhubungan dengan perlukaan thorak
• Penderita dengan tauma tumpul sering memerlukan foto thorak sinar X tengkorak, pelvis,
dan anggota gerak lainnya.
• Studi kontras pada saluran kemih diperlukan bila terdapat hematuria.
• Foto sinar X dengan kontras pada saluran pencernaan atas dan bawah, diperlukan pada
kasus tertentu.
• C.T Scan abdomen sangat membantu pada beberapa kasus, tetapi inibelim banyak
dilakukan.
• Angiografi dapat memecahkan teka-teki tantang perlukaan pada limpa, hati, dan pakreas.
Pada kenyataanya, angiografi abdominal jarang dilakukan.

- Test Khusus
Lavase peritoneal berguna untuk mengetahui adanya perdarahan intraabdomen pada suatu
trauma tumpul, bila dengan pemeriksaan fisik dan radilogik, diagnosa masih diragukan. Test
ini tak boleh dilakukan pada penderita yang tak kooperatif, melawan dan yang memerlukan
operasi abdomen segera. Kandung kemih harus dikosongkan terlebih dahulu. Posisi panderita
terlentang, kulit bagian bawah disiapkan dengan jodium tingtur dan infiltrasi anestesi lokal di
garis tengah, diantara umbilikus dan pubis. Kemudian dibuat insisi kecil, kateter dialisa
peritoneal dimasukkan ke dalam rongga peritoneal. Ini dapat dibantu/dipermudah oleh otot-
otot
abdomen penderta sendiri, dengan jalan meikan kepala penderita. Kateter ini harus dipegang
dengan kedua tangan, untuk mencegah tercebur secara acak ke dalam rongga abdomen.
Tehnik yang lebih aman adalah dengan membuat insisi sepanjang 1 cm pada fasia, dan
kateter di masukkan ke dalam rongga peritoneal dengan pengamatan secara langsung. Pisau
ditarik dan kateter dimasukkan secara hati-hati ke pelvis ke arah rongga sakrum. Adanya
aliran darah secara spontan pada kateter menandakan adanya perdarahan secara positif.
Tetapi ini jarang terjadi. Masukan 1000 cc larutan garam fisiologis ke dalam rongga
peritoneal (jangan larutan dextrose), biarkan cairan ini turun sesuai dengan gaya grvitasi.
Adanya perdarahan intraabdominal ditandai dengan warna merah seperti anggur atau adanya
hematokrit 1% atau lebih pada cairan tersebut (cairan itu keluar kembali). Bila cairan tetap,
bening atau hanya sedikit berubah merah tandanya negatif.

PENATALAKSANAAN
1. Segera dilakukan operasi untuk menghentikan perdarahan secepatnya. Jika penderita dalam
keadaan syok tidak boleh dilakukan tindakan selain pemberantasan syok (operasi)
2. Pemberian antibiotika IV pada penderita trauma tembus atau pada trauma tumpul bila ada
persangkaan perlukaan intestinal.
3. Luka tembus merupakan indikasi dilakukannya tindakan laparatomi eksplorasi bila
ternyata peritonium robek. Luka karena benda tajam yang dangkal hendaknya diekplorasi
dengan memakai anestesi lokal, bila rektus posterior tidak sobek, maka tidak diperlukan
laparatomi.
4. Penderita dengan trauma tumpul yang terkesan adanya perdarahan hebat yang meragukan
kestabilan sirkulasi atau ada tanda-tanda perlukaan abdomen lainnya memerlukan
pembedahan.
5. Laparatomi
• Prioritas utama adalah menghentikan perdarahan yang berlangsung. Gumpalan kassa dapat
menghentikan perdarahan yang berasal dari daerah tertentu, tetapi yang lebih penting adalah
menemukan sumber perdarahan itu sendiri
• Kontaminasi lebih lanjut oleh isi usus harus dicegah dengan mengisolasikan bagian usus
yang terperforasi tadi dengan mengklem segera mungkin setelah perdarahan teratasi.
• Melalui ekplorasi yang seksama amati dan teliti seluruh alat-alat di dalamnya. Korban
trauma tembus memerlukan pengamatan khusus terhadap adanya kemungkinan perlukaan
pada pankreas dan duodenum.
• Hematoma retroperitoneal yang tidak meluas atau berpulsasi tidak boleh dibuka.
• Perlukaan khusus perlu diterapi
• Rongga peritoneal harus dicuci dengan larutan garam fisiologis sebelum ditutup
• Kulit dan lemak subcutan dibiarkan terbuka bila ditemukan kontaminasi fekal, penutupan
primer yang terlambat akan terjadi dalam waktu 4 - 5 hari kemudian.
Diposting oleh Syakira Husada di 03.48 0 komentar Link ke posting ini
Label: MEDIKAL BEDAH
Reaksi:

TUBERCOLUSIS PARU

oleh : ERFANDI

A. Definisi.
Tuberkolosis paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang paru- paru yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium Tuberkulosis

B. Etiologi.
Jenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 m, dan tebal antara 0,3 –
0,6 m. Sebagian besar kuman berupa lemak/lipid sehingga kuman ini tahan terhadap asam
dan lebih tahan terhadap fisik dan kimiawi. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob yang
menyukai daerah yang banyak oksigen, dalam hal ini lebih menyenangi daerah yang tinggi
kandungan oksigennya yaitu daerah apikal paru, daerah ini menjadi prediksi pada penyakit
paru.

C. Patofisiologi.
Tempat masuk kuman M. Tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan dan
luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis (TBC) terjadi melalui udara, yaitu
melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari
orang yang terinfeksi.
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel. Sel
efektorya adalah makrofag, sedangkan limfosit (biasanya sel T) adalah sel
imunoresponsifnya. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi
sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil ; gumpalan yang lebih besar
cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkhus dan tidak menyebabkan
penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi
peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri
namun tidak membunuh organisme tersebut. Setelah hari-hari pertama leukosit diganti oleh
makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia
akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang
tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau berkembang-
biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening
regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini
membutuhkan waktu 10 – 20 hari .
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju, isi
nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Bagian ini disebut dengan lesi primer. Daerah yang
mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel
epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih
fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah
bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Respon lain yang dapat terjadi
pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkhus dan
menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk
kedalam percabangan trakheobronkial. Proses ini dapat terulang kembali di bagian lain di
paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah, atau usus. Lesi primer
menjadi rongga-rongga serta jaringan nekrotik yang sesudah mencair keluar bersama batuk.
Bila lesi ini sampai menembus pleura maka akan terjadi efusi pleura tuberkulosa.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan
parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkhus dapat menyempit dan tertutup oleh
jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat
mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh
dengan bahan perkejuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan
ini dapat menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan
bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos
melalui kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-
kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal
sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen
merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi
apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam
sistem vaskuler dan tersebar ke organ-organ tubuh.

D. Komplikasi.
Komplikasi yang dapat timbul akibat tuberkulosis terjadi pada sistem pernafasan dan di luar
sistem pernafasan. Pada sistem pernafasan antara lain menimbulkan pneumothoraks, efusi
pleural, dan gagal nafas, sedang diluar sistem pernafasan menimbulkan tuberkulosis usus,
meningitis serosa, dan tuberkulosis milier.

E. Tanda dan gejala.


Pada stadium dini penyakit TBC biasanya tidak tampak adanya tanda dan gejala yang khas.
Biasanya keluhan yang muncul adalah :
1. Demam : sub fibril, fibril ( 40 – 410C ) hilang timbul.
2. Batuk : terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang / mengeluarkan
produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk purulent ( menghasilkan sputum ).
3. Sesak nafas : terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai setengah paru.
4. Nyeri dada : ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis.
5. Malaise : ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot dan
keringat di waktu di malam hari.

F. Pemeriksaan Diagnostik.
1. Kultur sputum
Positif jika ditemukan mikobakterium tuberkulosis dalam stadium aktif pada perjalanan
penyakit.
2. Ziehl-Neelsen (pewarnaan terhadap sputum)
Positif jika ditemukan bakteri tahan asam.
3. Skin test (PPD, Mantoux, Tine, Vollmer patch)
Reaksi positif (area indurasi > 10 mm timbul 48 – 72 jam setelah injeksi antigen intra kutan)
menunjukkan telah terjadinya infeksi dan dikeluarkannya antibodi tetapi tidak menunjukkan
aktifnya penyakit.
4. Elisa/Western Blot
Dapat menunjukkan adanya virus HIV.
5. Rontgen dada
Menunjukkan adanya infiltrasi lesi pada paru-paru bagian atas, timbunan kalsium dari lesi
primer atau penumpukan cairan. Perubahan yang menunjukkan perkembangan tuberkulosis
meliputi adanya kavitas dan area fibrosa.
6. Pemeriksaan histologi/kultur jaringan
Positif bila terdapat mikobakterium tuberkulosis.
7. Biopsi jaringan paru
Menampakkan adanya sel-sel yang besar yang mengindikasikan terjadinya nekrosis.
8. Pemeriksaan elektrolit
Mungkin abnormal tergantung lokasi dan beratnya infeksi, misalnya hipernatremia yang
disebabkan retensi air mungkin ditemukan pada penyakit tuberkulosis kronis.
9. Analisa gas darah (BGA)
Mungkin abnormal tergantung lokasi, berat, dan adanya sisa kerusakan jaringan paru.
10. Pemeriksaan fungsi paru
Turunnya kapasitas vital, meningkatnya ruang rugi, meningkatnya rasio residu udara pada
kapasitas total paru, dan menurunnya saturasi oksigen sebagai akibat infiltrasi
parenkim/fibrosa, hilangnya jaringan paru, dan kelainan pleura (akibat dari tuberkulosis
kronis).

G. Pengobatan
Sejak ditemukannya obat-obat anti TB dan dimulainya dengan monotherapi, kemudian mulai
timbul masalah resistensi terhadap obat-obat tersebut, maka pengobatan secara paduan
beberapa obat ternyata dapat mencapai tingkat kesembuhan yang tinggi dan memperkecil
jumlah kekambuhan.
Paduan obat jangka pendek 6 – 9 bulan yang selama ini dipakai di Indonesia dan dianjurkan
juga oleh WHO adalah 2 RHZ/4RH dan variasi lain adalah 2 RHE/4RH, 2 RHS/4RH, 2
RHZ/4R3H3/ 2RHS/4R2H2, dan lain-lain. Untuk TB paru yang berat ( milier ) dan TB
Ekstra Paru, therapi tahap lanjutan diperpanjang jadi 7 bulan yakni 2RHZ/7RH. Departemen
Kesehatan RI selama ini menjalankan program pemberantasan TB Paru dengan panduan
1RHE/5R2H2.
Bila pasien alergi/hipersensitif terhadap Rifampisin, maka paduan obat jangka panjang 12 –
18 bulan dipakai kembali yakni SHZ, SHE, SHT, dan lain-lain.
Beberapa obat anti TB yang dipakai saat ini adalah :
1. Obat anti TB tingkat satu
Rifampisin (R), Isoniazid (I), Pirazinamid (P), Etambutol (E), Sterptomisin (S).
2. Obat anti TB tingkat dua
Kanamisin (K), Para-Amino-Salicylic Acid (P),Tiasetazon (T), Etionamide, Sikloserin,
Kapreomisin, Viomisin, Amikasin, Ofloksasin, Sifrofloksasin, Norfloksasin, Klofazimin dan
lain-lainl. Obat anti TB tingkat dua ini daya terapeutiknya tidak sekuat yang tingkat satu dan
beberapa macam yang teakhir yaitu golongan aminoglikosid dan quinolon masih dalam tahap
eksperimental.
Belakangan ini WHO menyadari bahwa pengobatan jangka pendek tersebut baru berhasil bila
obat-obat yang relatif mahal (R&Z) tersedia sampai akhi masa pengobatan. Di beberapa
negara berkembang, pengobatan jangka pendek ini banyak yang gagal mencapai angka
kesembuhan yang (cure rate) ditargetkan yakni 85 % karena :
- Program pemberantasan kurang baik
- Buruknya kepatuhan berobat

Hal ini menyebabkan :


- Populasi TB semakin meluas
- Timbulnya resistensi terhadap bermacam obat

Adanya epidemi AIDS akan lebih mengobarkan kembali aktifnya TB. Menyadari bahaya
tersebut di atas, WHO pada tahun 1991 mengeluarkan pernyataan baru dalam pengobatan TB
Paru sebagai berikut :
Pengobatan tetap dibagi dalam dua tahap yakni
1. Tahap intensif (initial), dengan memberikan 4 – 5 macam obat anti TB per hari dengan
tujuan :
- Mendapatkan konversi sputum dengan cepat (efek bakterisidal)
- Menghilangkan keluhan dan mencegah efek penyakit lebih lanjut
- Mencegah timbulnya resistensi obat
2. Tahap lanjutan (continuation phase), denga hanya memberikan 2 macam obat per hari atau
secara intermitten dengan tujuan :
- Menghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi )
- Mencegah kekambuhan
Pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni kurang dari 33 kg, 33 – 50 kg dan
lebih dari 50 kg.

Pengobatan dibagi atas 4 katagori yakni :


1. Katagori I
Ditujukan terhadap :
- Kasus baru dengan sputum negatif
- Kasus baru dengan bentuk TB berat seperti meningitis, TB diseminata, perikarditis,
peritonitis, pleuritis, spondilitis dengan gangguan neurologis, kelainan paru yang luas dengan
BTA negatif, TB usus, TB genito urinarius.
Pengobatan tahap intensif adalah dengan paduan 2RHZS (E). Bila setelah dua bulan BTA
menjadi negatif, diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah dua bulan masih positif, tahap
intensif diperpanjang lagi selama 2 – 4 minggu dengan 4 macam obat. Pada populasi dengan
resistensi primer terhadap INH rendah pada tahap intensif cukup diberikan 3 macam obat
yakni RHZ.
Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 4 RH atau 4R3H3. Pasien dengan TB berat
(meningitis, TB diseminata, spondilitis dengan kelainan neurologis), R dan H harus diberikan
setiap hari selama 6 – 7 bulan. Paduan obat alternatif adalah 6 HE (T).

2. Kategori II
Ditujukan terhadap :
- Kasus kambuh
- Kasus gagal dengan sputum BTA positif
Pengobatan tahap intensif selama 3 bulan dengan 2 RHZE/1RHZE. Bila setelah tahap intensif
BTA menjadi negatif, maka diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah 3 bulan tahap
intensif BTA tetap positif, maka tahap intensif tersebut diperpanjang lagi 1 bulan dengan
RHZE. Bila setelah 4 bulan BTA masih juga positif pengobatan dihentikan selama 2 – 3 hari,
lalu diperiksa biakan dan resistensi terhadap BTA dan pengobatan diteruskan dengan tahap
lanjutan. Bila pasien masih mempunyai data resistensi BTA dan ternyata BTA masih sensitif
terhadap semua obat dan setelah tahap intensif BTA menjadi negatif, maka tahap lanjutan
harus diawasi dengan ketat di RS rujukan. Kemungkinan konversi sputum masih cukup besar.
Bila data menunjukkan resiten terhadap R dan H, maka kemungkinan keberhasilan menjadi
kecil.
Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 5 RHE atau paduan 5 R3H3E3 yang perlu
diawasi dengan ketat. Bila sputum BTA masih tetap positif setelah selesai tahap lanjutan,
maka pasien tidak perlu diobati lagi.

3. Kategori III
Ditujukan terhadap :
- Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas.
- Kasus TBC ekstra paru selain yang disebut dalam kategori I
Pengobatan tahap intensif dengan panduan 2 RHZ atau 2 R3H3Z3
Pengobatan tahap lanjutan dengan panduan 2RH atau 2 R3H3. Bila kelainan paru lebih luas
dari 10 cm2 atau pada TB ekstra paru yang belum remisi sempurna, maka tahap lanjutan
diperpanjang lagi dengan H saja selama empat bulan lagi. Paduan obat alternatif adalah 6 HE
(T)

4. Kategori IV
Ditujukan terhadap kasus TB kronik.
Prioritas pengobatan disini rendah, terdapat resistensi terhadap obat-obat anti TB (sedikitnya
R dan H), sehingga masalahnya jadi rumit. Pasien mungkin perlu dirawat beberapa bulan dan
diberikan obat-obat anti TB tingkat dua yang kurang begitu efektif, lebih mahal dan lebih
toksis.
Di negara yang maju dapat diberikan obat-obat anti TB eksperimental sesuai dengan
sensitivitasnya, sedangkan di negara yang kurang mampu cukup dengan pemberian H seumur
hidup dengan harapan dapat mengurangi infeksi dan penularan.

Departemen Kesehatan RI dalam program baru pemberantasan TB paru telah mulai dengan
paduan obat : 2 RHZE/4 R3HE (kategori I), 2 RHZSE/1 RHZE/5 R3H3E3 ( kategori II ), 2
RHZ/2 R3H3 (kategori IV).

H. Evaluasi Pengobatan.
Kemajuan pengobatan dapat terlihat dari perbaikan klinis (hilangnya keluhan, nafsu makan
meningkat, berat badan naik dan lain-lain), berkurangnya kelainan radiologis paru dan
konversi sputum menjadi negatif.
Kontrol terhadap sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4, dan 6. Pada yang
memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan
BTA dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke-2 dan akhir pengobatan. Pmeriksaan
resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan
pada awal terapi pasien yang mendapat pengobatan ulang ( retreatment ).
Kontrol terhadap pemeriksaan radiologis dada, kurang begitu berperan dalam evaluasi
pengobatan. Bila fasilitas memungkinkan foto dapat dibuat pada akhir pengobatan sebagai
dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus kambuh.
Untuk mengetahui efek samping obat ( yang terbanyak hepatitis ), perlu pemeriksaan darah
terhadap enzim hati, bilirubin, kreatinin/ureum, darah perifer. Asam urat darah perlu
diperiksa bagi yang memakai obat Z. bila terdapat hepatitis karena obat ( kebanyakan karena
R dan H ), maka obat yang hepatotoksis diganti dengan yang non-hepatotoksis. Pemberian
steroid dapat dipertimbangkan. R atau H kemudian dapat diberikan kembali secara
desensitisasi. Tes mata untuk warna perlu bagi yang memakai E, sedangkan tes audiometri
perlu bagi yang memakai S.
Resistensi obat sudah harus diwaspadai yakni bila dalam 1 – 2 bulan pengobatan tahap
intensif tidak terlihat perbaikan. Di Amerika Serikat prevalensi pasien yang resisten terhadap
obat anti TB makin meningkat dan sudah mencapai 9 %. Di negara yang sedang berkembang
seperti di Afrika, diperkirakan lebih tinggi lagi. BTA yang sudah resisten terhadapobat anti
TB saat ini sudah dapat dideteksi dengan cara PCR-SSCP ( Single Stranded Confirmation
Polymorphism ) dalam waktu satu hari. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi 99% BTA yang
resisten terhadap R, 70% terhadap H, dan 60% terhadap S.

I. Dampak masalah
a. Terhadap individu.
1. Biologis.
Adanya kelemahan fisik secara umum, batuk yang terus menerus, sesak napas, nyeri dada,
nafsu makan menurun, berat badan menurun, keringat pada malam hari dan kadang-kadang
panas yang tinggi.
2. Psikologis.
Biasanya klien mudah tersinggung , marah, putus asa oleh karena batuk yang terus menerus
sehingga keadaan sehari-hari yang kurang menyenangkan.
3. Sosial.
Adanya perasaan rendah diri oleh karena malu dengan keadaan penyakitnya sehingga klien
selalu mengisolasi dirinya.
4. Spiritual.
Adanya distress spiritual yaitu menyalahkan tuhan karena penyakitnya yang tidak sembuh-
sembuh juga menganggap penyakitnya yang manakutkan
5. Produktifitas menurun oleh karena kelemahan fisik.

b. Terhadap keluarga.
1. Terjadinya penularan terhadap anggota keluarga yang lain karena kurang pengetahuan dari
keluarga terhadap penyakit TB Paru serta kurang pengetahuan penatalaksanaan pengobatan
dan upaya pencegahan penularan penyakit.
2. Produktifitas menurun.
Terutama bila mengenai kepala keluarga yang berperan sebagai pemenuhan kebutuhan
keluarga, maka akan menghambat biaya hidup sehari-hari terutama untuk biaya pengobatan.
3. Psikologis.
Peran keluarga akan berubah dan diganti oleh keluarga yang lain.
4. Sosial.
Keluarga merasa malu dan mengisolasi diri karena sebagian besar masyarakat belum tahu
pasti tentang penyakit TB Paru

c. Terhadap masyarakat.
Apabila penemuan kasus baru TB Paru tidak secara dini serta pengobatan Penderita TB Paru
positif tidak teratur atau droup out pengobatan maka resiko penularan pada masyarakat luas
akan terjadi oleh karena cara penularan penyakit TB Paru

Anda mungkin juga menyukai