PENDAHULUAN
Diantara karakteristik yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya adalah
kemampuan mempertahankan postur tubuhnya yang bisa tegak dan bergerak yang diatur oleh
sistem muskuloskeletal. Sistem muskuloskeletal tersebut bekerja membuat gerakan dan
tindakan yang harmoni sehingga manusia menjadi seorang yang bebas dan mandiri. Sistem
muskuloskeletal terdiri dari tulang/kerangka, otot, tulang rawan (cartilago), ligamen, tendon,
fascia, bursae dan persendian.
1. TULANG
Sistem skelet (tulang) dibentuk oleh sebuah matriks dari serabut-serabut dan protein yang
diperkeras dengan kalsium, magnesium fosfat, dan karbonat. Bahan bahan tersebut berasal
dari embrio hyalin tulang rawan melalui osteogenesis kemudian menjadi tulang, proses ini
oleh sel-sel yang disebut osteoblast. Terdapat 206 tulang di tubuh yang diklasifikasikan
menurut panjang, pendek, datar, dan tak beraturan, sesuai dengan bentuknya. Permukaan
tulang bagian luar yang keras disebut Periosteum, terbentuk dari jaringan pengikat fibrosa.
Kualitas kerasnya tulang merupakan hasil deposit kalsium. Periosteum mengandung
pembuluh darah yang memberikan suplai oksigen dan nutrisi ke sel tulang. Rongga tulang
bagian dalam diisi dengan sumsum kuning dan sumsum merah. Sumsum tulang merah adalah
tempat hematopolesis yang memproduksi sel darah putih dan merah (RBCs; WBCs) serta
platelet.
2. OTOT
Otot dibagi kedalam tiga kelompok utama menurut fungsi kontraksi dan hasil gerakan dari
seluruh bagian tubuh. Pengelompokannya adalah sebagai berikut :
Otot rangka (striated/otot lurik ) terdapat pada sistem skelet ,memberikan pengontrolan
pergerakan, mempertahankan postur tubuh dan menghasilkan panas
Otot visceral (otot polos) terdapat pada saluran pencernaan, saluran perkemihan, pembuluh
darah. Otot-otot ini mendapat rangsangan dari saraf otonom berkontraksi diluar kesadaran
Otot cardiac hanya terdapat pada jantung, berkontraksi diluar pengendalian
Seperti halnya tulang, Otot juga mempunyai beberapa fungsi, antara lain :
1. Untuk menggerakkan skelet
2. Untuk menghasilkan panas
3. Untuk mempertahankan sikap badan
4. LIGAMEN (SIMPAY)
Ligamen adalah suatu susunan serabut yang terdiri dari jaringan ikat keadannya kenyal dan
fleksibel. Ligamen mempertemukan kedua ujung tulang dan mempertahankan stabilitas.
Contoh ligamen medial, lateral colateral dari lutut yang mempertahankan diolateral dari sendi
lutut serta ligamen cruciate anterior dan posterior didalam kapsul lutut yang mempertahankan
posisi anterior posterior yang stabil. Ligamen pada daerah tertentu melengket kepada jaringan
untuk mempertahankan struktur, contoh ligamen ovarium yang melalui ujung tuba ke
pritoneum.
5. TENDON
Tendon adalah ikatan jaringan fibrosa yang padat yang merupakan ujung dari otot dan
menempel kepada tulang. Tendon merupakan ekstensi dari selaput fibrosa yang membungkus
otot dan bersambung dengan periosteum. Selaput tendon berbentuk selubung dari jaringan
ikat yang menyelubungi tendon tertentu, terutama pada pergelangan tangan dan tumit.
Selubung ini bersambung dengan membran synovia yang menjamin pelumasan sehingga
mudah bergerak.
6. FASCIA
Fascia adalah suatu permukaan jaringan penyambung longgar yang didapatkan langsung di
bawah kulit sebagai fascia superficial, atau sebagai pembungkus tebal jaringan penyambung
fibrous yang membungkus otot, saraf dan pembuluh darah yang demikian disebut fascia
dalam
7. BURSAE
Bursae adalah kantong kecil dari jaringan ikat yang berisi cairan yang memudahkan gerakan
pada suatu sendi. Misalnya terdapat diantara tulang dan kulit, antara tulang dan tendon atau
diantara otot-otot. Bursae dibatasi oleh membran sinovial dan mengandung cairan sinovial.
Bursae merupakan bantalan diantara bagian-bagian yang bergerak seperti pada olekranon
bursae, terletak antara prosesus olekranon dan kulit Bursa dapat terganggu oleh radang yang
disebut bursitis.
8. PERSENDIAN
Persambungan, sendi atau artikulasio adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk
pertemuan antara dua atau beberapa tulang dari kerangka.
Klasifikasi Persendian :
1. Berdasarkan Fungsinya dibagi menjadi :
a. Sendi Fibrus atau Sinartrosis (sendi yang tidak bergerak). Tulang yang dihubungkan
dengan jaringan fibrosa atau tulang rawan (cartilago), seperti pada tulang tengkorak yang
tidak dapat melakukan pergerakan.
b. Sendi Sinovial atau Diartrosis (sendi yang bergerak) adalah persendian yang dapat
bergerak lebih leluasa, seperti sendi panggul, lutut, bahu, siku. Bagian akhir yang berdekatan
dibungkus oleh hyalin cartilago dan dikelilingi oleh fibrous kapsula sendi yang dibatasi oleh
membran synovial yang mensekresi cairan synovial untuk melumas sendi. Ligamen, tendon
dan otot berperan dalam stabilitas sendi.
Bentuk-bentuk pergerakan sendi antara lain, adalah :
12. Supinasi Rotasi sehingga permukaan palmar tanan mengarah ke atas Siku pergelangan
tangan
• CATATAN :
• Jika gerakan melebihi posisi nol, dikatakan ada Hiperekstensi
• Pada tangan atau kaki, garis tengah adalah garis yang berturut-turut ditarik melalui jari
tengah tangan atau kaki
c. Sendi Amfiartrosis adalah persendian yang dapat bergerak sedikit, seperti persendian antar
vertebra. Pada persendian ini tidak terdapat rongga sendi tetapi jaringan (fibrous, tulang
rawan atau tulang) ditemukan diantara permukaan articular.
OSTEOPOROSIS
OLEH : ERFANDI
A. PENGERTIAN
Osteoporosis adalah kelainan dimana terdapat reduksi atau penurunan dari massa total
tulang. Kecepatan resorpsi tulang lebih cepat dari kecepatan pembentukan tulang. Tulang
menjadi keropos secara progresif, rapuh, mudah patah dan mudah fraktur.
Osteoporosis adalah : suatu kondisi berkurangnya massa tulang secara nyata yang
berakibat pada rendahnya kepadatan tulang.
Osteoporosis adalah : penyakit yang ditandai oleh berkurangnya massa tulang dan
gangguan mikro asitektur jaringan tulang menjurus ke meningkatnya fragilitas tulang dan
berakibat meningkatkan resiko fraktur.
Osteoporosis Primer/Idiopatik
a. Tipe I
- Terkait dengan pasca menopause pada wanita
- Mengakibatkan kehilangan tulang trabekuler dan beberapa tulang kortikal, fraktur vertebrae
dan fraktur radius distal
b. Tipe II (senile)
- Bone loss terkait dengan usia, defisiensi kalsium dan atau hiperparatyroid
- Terutama fraktur femur proksimal (terutama leher femur dan intertrochanter), tulang
humerus proximal, proksimal tibia dan pelvis
Osteoporosis Sekunder
a. Hormonal (hipogonadisme, hiperadrenokortisme, tirotoksikosis, hiperprolaktenemia,
diabetes melitus, hipofosfatemia dewasa)
b. Nutrisional (gastektomi total, sindrom malabsorbsi, malnutrisi, defisiensi kalsium,
alkoholisme, penyakit hati kronik, defisiensi vitamin D)
c. Kelainan metaolisme yang diturunkan
d. Lain-lain (porphyria, talasemia, rematoid artritis generalisata, anoreksia nervosa, mieloma,
kehamilan)
E. PATOFISIOLOGI
1. Defisiensi Steroid Sex
- Mekanisme kerja steroid sex pada tulang sampai saat ini masih belum diketahui dengan
lengkap
- Berdasarkan penelitian para ahli, hilangnya steroid sex akan mengakibatkan up-regulation
produksi dan action sitokin yang bertanggung jawab terhadap osteoklastogenesis dan
osteblastogenesis
2. Senescence
- Berkurangnya osteblastogenesis pada usia lanjut diikuti dengan meningkatnya adiposis dan
mielogenesis, serta menurunnya osteoklastogenesis. Penurunan osteoklastogenesis
disebabkan oleh berkurangnya sel-sel ostoblast/stroma yang mendukung pembentukan
osteoklast. Hl tersebut menimbulkan dugaan adanya perubahan ekspresi gen-gen yang
mendukung diferensiasi stem sel mesenkhim yang multipoten menjadi adiposis yang
merugikan osteoblast
3. Ekses Glukokortikoid
Kelebihan glokukotikoid mempunyai efek supresi osteblastogenesis dalam sumsum tulang
serta meningkatkan apoptosis osteoblast dan osteosit. Gambaran histologis utama
glukokortikoid induced osteoporosis (GIOP) adalah berkurangnya ketebalan tulang dan
kematian in situ bagian-bagian tulang.
Mekanisme yang mendasari hilangnya tulang (bone loss) pada ekses glukokortokoid adalah :
- Kenaikan resorbsi tulang
- Perununan proliferasi aktivitas biosintetik osteoblast
- Defisiensi steroid seks
- Hiperparatyroidisme sebagai akibat penurunan absorbsi Ca intestinum
- Hiperkalsium akibat gangguan metabolisme vitamin D
2. Penderita Hipertiroid
Kadar hormon tiroksi yang dihasilkan kelenjar gondok pada kondisi ini berlebihan.
Akibatnya, pertukaran zat dalam tubuh meningkat jauh diatas normal. Pengatur metabolisme
tubuh menjadi terlalu aktif, termasuk dalam metabolisme kalsium. Terjadi pembuangan
kalsium besar-besaran melalui air seni maupun tinja. Untuk mengimbanginya, terjadilah
proses demineralisasi tulang yang lebih aktif
4. Perokok
Belum diketahui pasti bagaimana rokok dapat menimbulkan osteoporosis. Ada dugaan, zat-
zat dalam rokok mencetuskan pemecahan hormon estrogen dan testosteron secara berlebihan.
Akibatnya jumlah hormon estrogen atau testosteron dalam tubuh menurun sehingga
pemeliharaan tulang jelas ajan terpengaruh
G. DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosa osteoporosis dilakukan :
- X- ray
- Serum calsium phospor
- Test alkalinephospatase
- Biopsi transiliare tulang
- Menghitung tomography dan CT- Scan
- Scan tulang menggunakan radionuclide
H. TERAPI/TINDAKAN
Tujuan terapi :
- Mencegah terjadinya penyerapan massa tulang dan memicu percepatan pembentukan massa
tulang
- Konsekuensi terjadinya patah tulang dengan melakukan tindakan pencegahan.
Pengobatan dapat dibagi dalam :
a. Terapi Pencegahan
Secara garis besar pencegahan osteoporosis dapat didibagi dalam beberapa katagori, yaitu :
Pola tidur teratur termasuk diantaranya adalah :
- Olah raga atau aktivitas fisik
- Kebiasaan tidak merokok
- Hindari konsumsi kopi
- Hindari konsumsi alkohol
Menjalaini diet yang baik
Contoh untuk kebutuhan Calsium adalah :
- Usia 11-24 tahun = 1200 mg
- Usia 25-menopouse = 1000 mg
- Saat menopouse = 1200 mg
- Pasca menopouse = 1500 mg
Pemberian terapi dini pada :
- Wanita menopouse
- Penyakit-penyakit yang menyebabkan osteoporosis sekunder :
Diabetes melitus
Hipogonandism
Chusing sindrom
Pemakaian kortikosteroid jangka panjang
b. Terapi kuratif (Kuratif treatment)
Beberapa macam obat-obatan yang diberikan pada penderita osteoporosis :
- Estrogen dan derivatnya
- Biphosfotase
- Kalsium
- Vitamin D
- Kalsifonin
- Natrium fluorida
- Steroid anabolik
- Thiazide
Diposting oleh Syakira Husada di 22.55 0 komentar Link ke posting ini
Label: MEDIKAL BEDAH
Reaksi:
OLEH : ERFANDI
Relaksasi merupakan metode yang efektif terutama pada pasien yang mengalami nyeri
kronis. Latihan pernafasan dan teknik relaksasi menurunkan konsumsi oksigen, frekuensi
pernafasan, frekuensi jantung, dan ketegangan otot, yang menghentikan siklus nyeri-ansietas-
ketegangan otot (McCaffery, 1989). Ada tiga hal utama yang diperlukan dalam relaksasi,
yaitu : posisi yang tepat, pikiran beristirahat, lingkungan yang tenang. Posisi pasien diatur
senyaman mungkin dengan semua bagian tubuh disokong (misal; bantal menyokong leher),
persendian fleksi, dan otot-otot tidak tertarik (misal; tangan dan kaki tidak disilangkan).
Untuk menenangkan pikiran pasien dianjurkan pelan-pelan memandang sekeliling ruangan,
misalnya melintasi atap turun ke dinding, sepanjang jendela, dll. Untuk melestarikan muka,
pasien dianjurkan sedikit tersenyum atau membiarkan geraham bawah kendor.
Banyak beberapa petunjuk / pedoman dalam melakukan teknik relaksasi ini, antara lain :
PEDOMAN / CARA ( 1 ) :
Stewar (1976:959) menjelaskan teknik relaksasi sebagai berikut :
1. Pasien menarik napas dalam dan mengisi paru-paru dengan udara
2. Perlahan-lahan udara dihembuskan sambil membiarkan tubuh menjadi kendor dan
merasakan dan merasakan betapa nyaman hal tersebut
3. Pasien bernapas beberapa kali dengan irama normal
4. Pasien menarik napas dalam lagi dan menghembuskan pelan-pelan dan membiarkan hanya
kaki dan telapak kaki yang kendor. Perawat minta pasien untuk mengkonsentrasikan pikiran
pasien pada kakinya yang terasa ringan dan hangat
5. Pasien mengulang langkah ke-4 dan mengkonsentrasikan pikiran pada lengan perut,
punggung dan kelompok otot-otot yang lain
6. Setelah pasien merasa rileks, pasien dianjurkan bernapas secara pelan-pelan. Bila nyeri
menjadi hebat, pasien dapat bernapas dangkal dan cepat.
PEDOMAN / CARA ( 2 ) :
Latihan Relaksasi Progresif :
1. Kontraksikan masing-masing otot dalam 10 kali hitungan kemudian lemaskan
2. Lakukan latihan diruangan yang tenang dengan posisi duduk atau sambil berbaring yang
nyaman
3. Lakukan latihan dengan musik yang santai, bila dikehendaki
4. Bawalah seseorang yang berlaku sebagai “pelatih” yang memberikan perintah untuk
mengkontraksikan otot, menghitiung sampai 10 kali dan memerintahkan untuk melemaskan
otot
5. Contoh latihan yang membantu bagi pasien PPOK
a. Mengangkat bahu, menurunkannya dan melemaskannya
b. Mengepalkan kedua tangan, mengepalkannya dengan kuat erat selama 5 detik, dan
melemaskannya dengan sempurna.
6. Ada beberapa artikel dalam lieratur keperawatan mengenai teknik relaksasi; pembaca
dianjurkan untuk merujuk Broussard, P : Using Relaxation for COPD, Am J Nurs 69:1962 –
1963, 1969; dan Richter, JM, and Sloan. R: A Relaxation Technique, Am J Nurs 79: 1960-
1964, 1979
PEDOMAN / CARA ( 3 ) :
Meningkatkan relaksasi khusus pada pasien dengan “Gangguan pola tidur” dapat berupa
1. Memberikan lingkungan yang gelap dan tenang
2. Memberikan kesempatan untuk memilih penggunaan bantal, linen dan selimut
3. Memberikan ritual waktu tidur yang menyenangkan bila perlu
4. Pastikan ventilasi ruangan baik
5. Tutup pintu ruangan, bila klien menginginkan
Diposting oleh Syakira Husada di 22.43 1 komentar Link ke posting ini
Label: SOP / PROTAP
Reaksi:
oleh : erfandi
Pengertian
Terapi intravena memberikan cairan tambahan yang mengandung komponen tertentu yang
diperlukan tubuh secara terus menerus selama periode tertentu
Tujuan
Adapun tujuan prosedur ini adalah untuk :
1. Mempertahankan atau mengganti cairan tubuh, elektrolit, vitamin, protein, kalori dan
nitrogen pada klien yang tidak mampu mempertahankan masukan yang adekuat melalui
mulut.
2. Memulihkan keseimbangan asam-basa.
3. Memulihkan volume darah.
4. Menyediakan saluran terbuka untuk pemberian obat-obatan.
A. PERALATAN
- Alas plastik dan handuk kecil
- Manset tangan; bisa juga digunakan manset sfigmomanometer
- Kapas alkohol
- Betadine (1-2 % dalam air, 70 % alkohol)
- Kain kasa steril
- Plester dan stiker kosong untuk menulis tanggal pemasangan infus
- Set infus
- Jarum infus (abbocath, wing needle/butterfly)
- Cairan infus
- Sarung tangan steril (jika memasang infus pada klien yang mengalami penyakit menular,
seperti ; hepatitis B, HIV-B, AIDS, dll)
B. PROSEDUR
1. Mencuci tangan
2. Menjelaskan prosedur dan tujuannya (pada klien dan keluarga)
3. Memberikan posisi semi fowler atau terlentang
4. Menggulung lengan baju klien
5. Meletakkan manset 5 cm di atas siku
6. Menghubungkan cairan infus dengan set infus dan gantungkan (periksa label infus sesuai
dengan program terapi cairan yang akan diberikan)
7. Mengalirkan cairan dengan selang menghadap ke atas sehingga udara didalamnya keluar
8. Mengencangkan klem sampai infus tidak menetes dan pertahankan kesterilan sampai
pemasangan pada tangan disiapkan
9. Mengencangkan manset atau jika menggunakan sfigmomanometer, tekanan ditempatkan
dibawah tekanan sistolik
10. Menganjurkan klien untuk mengepal dan membukanya beberapa kali, palpasi dan
pastikan vena yang akan ditusuk. (kriteria vena / pembuluh darahnya lihat tabel. 1)
11. Membersihkan kulit dengan cermat menggunakan kapas alkohol, lalu diulangi dengan
menggunakan kasa betadine dan arahnya melingkar dari dalam keluar lokasi tusukan.
12. Menggunakan ibu jari untuk menekan jaringan dan vena 5 cm diatas tusukan.
13. Memegang jarum dalam posisi 30 derajat sejajar vena yang akan ditusuk, lalu tusuk
perlahan dan pasti.
14. Merendahkan posisi jarum sejajar kulit dan teruskan tusukan jarum ke dalam vena sampai
terlihat darah mengalir keluar dari pembuluh darah.
15. Melepaskan tekanan manset
16. Sambungkan slang infus dengan kateter infus (abbocath, wing needle/butterfly) dan buka
klem infus sampai cairan mengalir lancar.
17. Mengolesi dengan salep betadine di atas penusukan
18. Memfiksasi posisi jarum dengan plester, letakkan kasa steril diatasnya. Atur kasa steril
pada lokasi jarum supaya berjendela agar mudah dievaluasi terhadap tanda-tanda inflamasi.
Bila ada gunakan plester steril yang transparan.
19. Mengatur tetesan infus sesuai ketentuan; pasang stiker yang sudah diberi tanggal pada
lokasi yang mudah terlihat.
20. Mendokumentasikan waktu pemberian, jenis cairan dan tetesan, jumlah cairan yang
masuk, waktu pemeriksaan kateter (terhadap adanya embolus), serta reaksi klien (terhadap
cairan yang telah masuk
Tempat/ lokasi vena perifer yang sering digunakan pada pemasangan infus
Vena supervisial atau perifer kutan terletak di dalam fasia subcutan dan merupakan akses
paling mudah untuk terapi intravena. Vena-vena tersebut diantaranya adalah :
1. Metakarpal
2. Sefalika
3. Basilika
4. Sefalika mediana
5. Basilika mediana
6. Antebrakial mediana
Pemilihan Vena
1. Vena tangan paling sering digunakn untuk terapi IV rutin
2. Vena lengan depan : periksa dengan teliti kedua lengan sebelum keputusan dibuat, sering
digunakan untuk terapi rutin
3. Vena lengan atas : juga digunakan untuk terapi IV
4. Vena ekstremitas bawah : digunakan hanya menurut kebijakan institusi dan keinginan
dokter
5. Vena kepala : digunakan sesuai dengan kebijakan institusi dan keinginan dokter ; sering
dipilih pada bayi
6. Insisi : dilakukan oleh dokter untuk terapi panjang
7. Vena subklavia : dilakukan oleh dokter untuk terapi jangka panjang atau infus cairan yang
mengiritasi (hipertonik)
8. Jalur vena sentral: digunakan untuk tujuan infus atau mengukur tekanan vena sentral
Contoh Vena sentral adalah : v. subkalvia, v. jugularis interna/eksterna, v. sefalika atau
v.basilika mediana, v. femoralis, dll.
9. Vena jugularis : biasanya dipasang untuk mengukur tekanan vena sentral atau memberikan
nutrisi parenteral total (NPT) jika melalui vena kava superior.
10. Vena femoralis : biasanya hanya diguakan pada keadaan darurat tetapi dapat digunakan
untuk penempatan kateter sentral untuk pemberian NTP.
11. Pirau arteriovena (Scribner) : implantasi selang palastik antara arteri dan vena untuk
dialisis ginjal
12. Tandur (bovine) : anastomoisis arteri karotid yang berubah sifat dari cow ke sistem vena ;
biasanya dilakukan pada lengan atas untuk dialisis ginjal
13. Fistula : anastomoisis bedah dari arteri ke vena baik end atau side to side untuk dialisis
ginjal
14. Jalur umbilikal : rute akses yang biasa pada UPI neonatus
A. DEFINISI ANEMIA
Anemia pada wanita tidak hamil didefinisikan sebagai konsentrasi hemoglobin yang kurang
dari 12 g/dl dan kurang dari 10 g/dl selama kehamilan atau masa nifas. Konsentrasi
hemoglobin lebih rendah pada pertengahan kehamilan, pada awal kehamilan dan kembali
menjelang aterm, kadar hemoglobin pada sebagian besar wanita sehat yang memiliki
cadangan besi adalah 11g/dl atau lebih. Atas alasan tersebut, Centers for disease control
(1990) mendefinisikan anemia sebagai kadar hemoglobin kurang dari 11 g/dl pada trimester
pertama dan ketiga, dan kurang dari 10,5 g/dl pada trimester kedua (Suheimi, 2007).
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh,
sehingga kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis tidak cukup, yang ditandai dengan
gambaran sel darah merah hipokrom-mikrositer, kadar besi serum (Serum Iron = SI) dan
jenuh transferin menurun, kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding Capacity/TIBC)
meninggi dan cadangan besi dalam sumsum tulang serta ditempat yang lain sangat kurang
atau tidak ada sama sekali. Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya anemia
defisiensi besi, antara lain, kurangnya asupan zat besi dan protein dari makanan, adanya
gangguan absorbsi diusus, perdarahan akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat
besi seperti pada wanita hamil, masa pertumbuhan, dan masa penyembuhan dari penyakit.
D. GEJALA KLINIS
Wintrobe mengemukakan bahwa manifestasi klinis dari anemia defisiensi besi sangat
bervariasi, bisa hampir tanpa gejala, bisa juga gejala-gejala penyakit dasarnya yang menonjol,
ataupun bisa ditemukan gejala anemia bersama-sama dengan gejala penyakit dasarnya.
Gejala-gejala dapat berupa kepala pusing, palpitasi, berkunang-kunang, perubahan jaringan
epitel kuku, gangguan sistem neurumuskular, lesu, lemah, lelah, disphagia dan pembesaran
kelenjar limpa. Pada umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka
gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas.
E. DERAJAT ANEMIA
Nilai ambang batas yang digunakan untuk menentukan status anemia ibu hamil, didasarkan
pada criteria WHO tahun 1972 yang ditetapkan dalam 3 kategori, yaitu normal (≥11 gr/dl),
anemia ringan (8-11 g/dl), dan anemia berat (kurang dari 8 g/dl). Berdasarkan hasil
pemeriksaan darah ternyata rata-rata kadar hemoglobin ibu hamil adalah sebesar 11.28 mg/dl,
kadar hemoglobin terendah 7.63 mg/dl dan tertinggi 14.00 mg/dl.
Klasifikasi anemia yang lain adalah :
a. Hb 11 gr% : Tidak anemia
b. Hb 9-10 gr% : Anemia ringan
c. Hb 7 – 8 gr%: Anemia sedang
d. Hb < 7 gr% : Anemia berat.
G. PENGOBATAN ANEMIA
Pengobatan anemia biasanya dengan pemberian tambahan zat besi. Sebagian besar tablet zat
besi mengandung ferosulfat, besi glukonat atau suatu polisakarida. Tablet besi akan diserap
dengan maksimal jika diminum 30 menit sebelum makan. Biasanya cukup diberikan 1
tablet/hari, kadang diperlukan 2 tablet. Kemampuan usus untuk menyerap zat besi adalah
terbatas, karena itu pemberian zat besi dalam dosis yang lebih besar adalah sia-sia dan
kemungkinan akan menyebabkan gangguan pencernaan dan sembelit. Zat besi hampir selalu
menyebabkan tinja menjadi berwarna hitam, dan ini adalah efek samping yang normal dan
tidak berbahaya
H. PENCEGAHAN ANEMIA
Anemia dapat dicegah dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang dengan asupan zat
besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Zat besi dapat diperoleh dengan cara
mengonsumsi daging (terutama daging merah) seperti sapi. Zat besi juga dapat ditemukan
pada sayuran berwarna hijau gelap seperti bayam dan kangkung, buncis, kacang polong, serta
kacang-kacangan. Perlu diperhatikan bahwa zat besi yang terdapat pada daging lebih mudah
diserap tubuh daripada zat besi pada sayuran atau pada makanan olahan seperti sereal yang
diperkuat dengan zat besi.
Anemia juga bisa dicegah dengan mengatur jarak kehamilan atau kelahiran bayi. Makin
sering seorang wanita mengalami kehamilan dan melahirkan, akan makin banyak kehilangan
zat besi dan menjadi makin anemis. Jika persediaan cadangan Fe minimal, maka setiap
kehamilan akan menguras persediaan Fe tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia pada
kehamilan berikutnya. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar jarak antar kehamilan tidak
terlalu pendek, minimal lebih dari 2 tahun.
Diposting oleh Syakira Husada di 05.02 0 komentar Link ke posting ini
Label: KESEHATAN IBU
Reaksi:
A. DEFINISI
IUD (Intra Uterine Device) adalah alat kontrasepsi yang disisipkan ke dalam rahim, terbuat
dari bahan semacam plastik, ada pula yang dililit tembaga, dan bentuknya bermacam-macam.
Bentuk yang umum dan mungkin banyak dikenal oleh masyarakat adalah bentuk spiral.
Spiral tersebut dimasukkan ke dalam rahim oleh tenaga kesehatan (dokter / bidan terlatih).
Sebelum spiral dipasang, kesehatan ibu harus diperiksa dahulu untuk memastikan
kecocokannya. Sebaiknya IUD ini dipasang pada saat haid atau segera 40 hari setelah
melahirkan (Subrata, 2000:33).
IUD atau Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) bagi banyak kaum wanita merupakan alat
kontrasepsi yang terbaik. Alat ini sangat efektif dan tidak perlu diingat setiap hari seperti
halnya pil. Bagi ibu yang menyusui, AKDR tidak akan mempengaruhi isi, kelancaran
ataupun kadar air susu ibu (ASI). Karena itu, setiap calon pemakai AKDR perlu memperoleh
informasi yang lengkap tentang seluk-beluk alat kontrasepsi ini (Maryani, 2002).
C. EFEKTIFITAS
Sebagai kontrasepsi, AKDR tipe T efektifitasnya sangat tinggi yaitu berkisar antara 0,6 – 0,8
kehamilan per 100 perempuan dalam 1 tahun pertama (1 kegagalan dalam 125 – 170
kehamilan). Sedangkan AKDR dengan progesteron antara 0,5 – 1 kehamilan per 100
perempuan pada tahun pertama penggunaan (Saifuddin, 2003:MK-62,73).
D. CARA KERJA
Cara kerja dari alat kontrasepsi IUD adalah sebagai berikut:
a. Menghambat kemampuan sperma masuk ke tuba falopii
b. Mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum mencapai kavum uteri
c. IUD bekerja terutama mencegah sperma dan ovum bertemu, walaupun IUD membuat
sperma sulit masuk ke dalam alat reproduksi perempuan dan mengurangi kemampuan sperma
untuk fertilisasi
d. Memungkinkan untuk mencegah implantasi telur dalam uterus.
E. KEUNTUNGAN
Keuntungan dari alat kontrasepsi IUD adalah sebagai berikut:
a. Sebagai kontrasepsi, efektifitasnya tinggi
b. IUD (AKDR) dapat efektif segera setelah pemasangan
c. Metode jangka panjang (10 tahun proteksi dari CuT-380A dan tidak perlu diganti)
d. Sangat efektif karena tidak perlu lagi mengingat-ingat
e. Tidak mempengaruhi hubungan seksual
f. Meningkatkan kenyamanan seksual karena tidak perlu takut untuk hamil
g. Tidak ada efek samping hormonal dengan Cu AKDR (CuT-380A)
h. Tidak mempengaruhi kualitas dan volume ASI
i. Dapat dipasang segera setelah melahirkan atau sesudah abortus (apabila tidak terjadi
infeksi)
j. Dapat digunakan sampai menopause (1 tahun lebih setelah haid terakhir)
k. Tidak ada interaksi dengan obat-obat
l. Membantu mencegah kehamilan ektopik.
G. PERSYARATAN PEMAKAIAN
a. Yang Dapat Menggunakan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum seseorang akan memilih AKDR (IUD) adalah:
1) Usia reproduktif
2) Keadaan nulipara
3) Menginginkan menggunakan kontrasepsi jangka panjang
4) Menyusui yang menginginkan menggunakan kontrasepsi
5) Setelah melahirkan dan tidak menyusui bayinya
6) Setelah mengalami abortus dan tidak terlihat adanya infeksi
7) Resiko rendah dari IMS
8) Tidak menghendaki metode hormonal
9) Tidak menyukai untuk mengingat-ingat minum pil setiap hari
10) Tidak menghendaki kehamilan setelah 1 – 5 hari senggama
Pada umumnya seorang ibu dapat menggunakan AKDR dengan aman dan efektif. AKDR
juga dapat digunakan pada ibu dalam segala kemungkinan keadaan, misalnya:
1) Perokok
2) Pasca keguguran atau kegagalan kehamilan apabila tidak terlihat adanya infeksi
3) Sedang memakai antibiotika atau antikejang
4) Gemuk ataupun kurus
5) Sedang menyusi
Begitu juga ibu dalam keadaan seperti di bawah ini:
1) Penderita tumor jinak payudara
2) Penderita kanker payudara
3) Pusing-pusing, sakit kepala
4) Tekanan darah tinggi
5) Varises di tungkai atau di vulva
6) Penderita penyakit jantung (termasuk penyakit jantung katup dapat diberi antibiotika
sebelum pemasangan AKDR)
7) Pernah menderita stroke
8) Penderita diabetes
9) Penderita penyakit hati atau empedu
10) Malaria
11) Skistosomiasis (tanpa anemia)
12) Penyakit tiroid
13) Epilepsi
14) Nonpelvik TBC
15) Setelah kehamilan ektopik
16) Setelah pembedahan pelvic.
H. CARA PEMASANGAN
Prinsip pemasangan adalah menempatkan AKDR setinggi mungkin dalam rongga rahim
(cavum uteri). Saat pemasangan yang paling baik ialah pada waktu mulut peranakan masih
terbuka dan rahim dalam keadaan lunak. Misalnya, 40 hari setelah bersalin dan pada akhir
haid. Pemasangan AKDR dapat dilakukan oleh dokter atau bidan yang telah dilatih secara
khusus. Pemeriksaan secara berkala harus dilakukan setelah pemasangan satu minggu, lalu
setiap bulan selama tiga bulan berikutnya. Pemeriksaan selanjutnya dilakukan setiap enam
bulan sekali (Herti Maryani, 2002).
H. KENDALA PEMAKAIAN
Selain karena efek samping / kerugian pemakaian serta kontraindikasi penggunaan IUD,
beberapa kendala yang sering dijumpai di lapangan sehingga masyarakat masih enggan
menggunakan kontrasepsi IUD / AKDR ini antara lain :
1) Pengetahuan / pemahaman yang salah tentang IUD
Kurangnya pengetahuan pada calon akseptor sangat berpengaruh terhadap pemakaian
kontrasepsi IUD. Dari beberapa temuan fakta memberikan implikasi program, yaitu manakala
pengetahuan dari wanita kurang maka penggunaan kontrasepsi terutama IUD juga menurun.
Jika hanya sasaran para wanita saja yang selalu diberi informasi, sementara para suami
kurang pembinaan dan pendekatan, suami kadang melarang istrinya karena faktor
ketidaktahuan dan tidak ada komunikasi untuk saling memberikan pengetahuan.
REFERENSI :
Saifuddin, AB. 2003. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Diposting oleh Syakira Husada di 04.54 1 komentar Link ke posting ini
Label: KELUARGA BERENCANA
Reaksi:
MENGENAL KONTRASEPSI
A. DEFINISI
Kontrasepsi berasal dari kata kontra berarti ‘mencegah’ atau ‘melawan’ dan konsepsi yang
berarti pertemuan antara sel telur yang matang dan sperma yang mengakibatkan kehamilan.
Maksud dari kontrasepsi adalah menghindari/ mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat
pertemuan antara sel telur yang matang dengan sperma.
B. TUJUAN KONTRASEPSI
Dalam menggunakan kontrasepsi, keluarga pada umumnya mempunyai perencanaan atau
tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu
menunda / mencegah kehamilan, menjarangkan kehamilan, serta menghentikan / mengakhiri
kehamilan atau kesuburan. Secara skematis, pola perencanaan keluarga dan penggunaan
kontrasepsi yang rasional dijelaskan seperti Gambar 2.1.
Prioritas kontrasepsi:
1. Pil
2. IUD-mini
3. Metode sederhana Prioritas kontrasepsi:
1. IUD
2. Suntik
3. Mini Pil
4. Pil
5. Implant
6. Metode sederhana Prioritas kontrasepsi:
1. IUD
2. Suntik
3. Mini Pil
4. Pil
5. Implant
6. Sederhana
7. Kontap Prioritas kontrasepsi:
1. Kontap
2. IUD
3. Implant
4. Suntikan
5. Sederhana
6. Pil
Menunda kehamilan dianjurkan bagi PUS dengan usia istri kurang dari 20 tahun. Untuk
menunda, metode pilihan prioritas adalah pil oral. Penggunaan kondom kurang
menguntungkan, karena pasangan muda masih tinggi frekuensi sanggamanya. Jika terdapat
kontraindikasi pil oral, sangat cocok untuk dianjurkan menggunakan IUD-mini. Kontrasepsi
yang dianjurkan tersebut mempunyai reversibilitas yang tinggi, artinya kesuburan kembali
dapat terjamin hampir 100%, karena pada saat ini peserta belum mempunyai anak
Tujuan menjarangkan kehamilan biasanya dilakukan oleh pasangan suami-istri yang berusia
antara 20 – 35 tahun, dengan jumlah anak yang diharapkan 2 orang, dan jarak antara
kelahiran 2 – 4 tahun. Fase menjarangkan kehamilan dilakukan biasanya segera setelah anak
pertama lahir. Kegagalan yang menyebabkan kehamilan cukup tinggi, namun tidak terlalu
berbahaya karena yang bersangkutan berada pada masa mengandung dan melahirkan yang
baik. Kontrasepsi yang diperlukan pada fase ini adalah yang efektifitasnya cukup tinggi,
mempunyai reversibilitas cukup tinggi karena peserta masih mengarapkan punya anak lagi.
Kontrasepsi pilihan sebaiknya dapat digunakan 2 – 4 tahun sesuai dengan perencanaan jarak
kehamilan, serta tidak menghambat air susu ibu (ASI), karena biasanya ibu masih menyusui
anak pertama, dan ASI merupakan makanan terbaik bayi sampai usia 2 tahun.
Fase menghentikan atau mengakhiri kesuburan dilakukan pada periode usia istri 30 tahun,
terutama 35 tahun ke atas. Menghentikan kesuburan dilakukan setelah mempunyai dua orang
anak. Pilihan utama adalah metode kontrasepsi mantap. Pil oral kurang dianjurkan karena
usia ibu relatif tua dan mempunyai keumungkinan banyak efek samping dan komplikasi.
Syarat kontrasepsi pilihan adalah mempunyai efektivitas yang sangat tinggi, dapat dipakai
untuk jangka waktu yang lama, serta tidak menambah kelainan yang sudah ada. Pada masa
usia tua kelainan seperti penyakit jantung, darah tinggi, keganasan dan kelainan metabolik
biasanya meningkat. oleh karena itu, sebaiknya tidak diberikan kontrasepsi yang menambah
kelainan tersebut.
b. Implant / KB Susuk
Sama dengan pil kecuali susuk ditanamkan di dalam kulit, biasanya di lengan atas. Implan
mengandung progesterone yang akan terlepas secara perlahan dalam tubuh. Efektifits
mencapai 99 %. Keuntungan dari metode implant ini antara lain tahan sampai 5 tahun atau
sampai diambil. Kesuburan akan kembali segera setelah pengangkatan. Pencegahan
kehamilan terjadi dalam waktu 24 jam setelah pemasangan. Metode ini juga dapat
melindungi wanita dari kanker rahim, aman digunakan setelah melahirkan dan menyusui,
serta tidak mengganggu aktivitas seksual.
c. Suntik KB
Cara kerja sama dengan pil. Efektifitasnya mencapai 99%. Keuntungan metode ini antara lain
disuntikkan setiap tiga bulan sekali, efektif, tahan lama, melindungi akseptor terhadap kanker
rahim. Aman digunakan setelah melahirkan dan saat menyusui. KB suntik juga dapat
mengurangi kram saat menstruasi, dan tidak mengganggu aktivitas seksual.
d. Kondom
Cara kerjanya adalah mencegah sperma mencapai serviks (leher rahim). Efektivitas mencapai
80-90% (dapat meningkat jika digunakan bersama spermisida). Keuntungan metode ini
antara lain tidak memerlukan resep, melindungi terhadap beberapa penyakit akibat hubungan
seksual, serta aman, kesuburan segera pulih setelah tidak memakai kondom lagi.
e. Tubektomi
Tuba fallopi (pembawa sel telur ke rahim) dipotong dan diikat dengan teknik yang disebut
kauter, atau dengan pemasangan klep atau cicin silastik.
Efektivitasnya mencapai 99%. Keuntungannya antara lain aman bagi kesehatan setelah
prosedur dilakukan, serta tidak mengganggu hubungan intim. Sedangkan kelemahannya
adalah memerlukan operasi bedah. Prosedur ini hanya untuk pasangan yang sudah
memutuskan untuk tidak akan punya anak lagi.
f. Vasektomi
Saluran vaas deferens yang berfungsi mengangkut sperma dipotong/diikat, sehingga aliran
sperma dihambat tanpa mempengaruhi jumlah cairan semen. Jumlah sperma hanya 5% dari
cairan ejakulasi. Cairan semen diproduksi dalam vesika seminalis dan prostat sehingga tidak
akan terganggu oleh vasektomi. Efektivitasnya mencapai 99% lebih. Keuntungannya adalah
tidak akan mengganggu ereksi, potensi seksual, produksi hormon. Kelemahannya sama
dengan tubektomi.
ASMA BRONKIAL
1. Pengertian
a. Asthma Bronkiale
Asthma Bronkiale merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya respon yang
berlebihan dari trakea dan bronkus terhadap bebagai macam rangsangan, yang
mengakibatkan penyempitan saluran nafas yang tersebar luas diseluruh paru dan derajatnya
dapat berubah secara sepontan atau setelah mendapat pengobatan.
b. Status Astmatikus
Status Asthmatikus merupakan serangan asthma berat yang tidak dapat diatasi dengan
pengobatan konvensional dan merupakan keadaan darurat medik ,bila tidak diatasi dengan
cepat akan terjadi gagal pernafasan.
3. Patofisiologi
Suatu serangan asthma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen yang ada
dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu
diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain
akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen
diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal
kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi menjadi sel
plasma dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ).
IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada
dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi
atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih
dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam
permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca++ kedalam sel dan
perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan
menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow releasing
suptance of anaphylaksis ( SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A)
dan lain-lain. Hal ini akanmenyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-
otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan
bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema
mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas , peningkatansekresi kelenjar
mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan
ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan
difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada
tahap yangsangat lanjut.
Berdasarkan etiologinya, asthma dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu asthma
intrinsik dan asthma ektrinsik. Asthma ektrinsik (atopi) ditandai dengan reaksi alergik
terhadap pencetus-pencetus spesifik yang dapat diidentifikasi seperti : tepung sari jamur,
debu, bulu binatang, susu telor ikan obat-obatan serta bahan-bahan alergen yang lain.
Sedangkan asthma intrinsik ( non atopi ) ditandai dengan mekanisme non alergik yang
bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik seperti : Udara dingin, zat kimia,yang bersifat
sebagai iritan seperti : ozon ,eter, nitrogen, perubahan musim dan cuaca, aktifitas fisik yang
berlebih , ketegangan mental serta faktor-faktor intrinsik lain.
Serangan asthma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama
ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering. Batuk ini terjadi karena iritasi mukosa yang
kental dan mengumpul. Pada stadium ini terjadi edema dan pembengkakan bronkus. Stadiun
kedua ditandai dengan batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak
nafas, berusaha untuk bernafas dalam, ekspirasi memanjang diikuti bunyi mengi (wheezing ).
Klien lebih suka duduk dengan tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur, penberita tampak
pucat, gelisah, dan warna kulit sekitar mulai membiru. Sedangkan stadiun ketiga ditandai
hampir tidak terdengarnya suara nafas karena aliran udara kecil, tidak ada batuk,pernafasan
menjadi dangkal dan tidak teratur, irama pernafasan tinggi karena asfiksia.
4. Penatalaksanaan
Pengobatan asthma secara garis besar dibagi dalam pengobatan non farmakologik dan
pengobatan farmakologik.
1. Penobatan non farmakologik
a) Penyuluhan
Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit asthma
sehinggan klien secara sadar menghindari faktor-faktor pencetus, serta menggunakan obat
secara benar dan berkonsoltasi pada tim kesehatan.
b) Menghindari faktor pencetus
Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asthma yang ada pada
lingkungannya, serta diajarkan cara menghindari dan mengurangi faktor pencetus, termasuk
pemasukan cairan yang cukup bagi klien.
c) Fisioterapi
Fisioterpi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus. Ini dapat dilakukan
dengan drainage postural, perkusi dan fibrasi dada.
2. Pengobatan farmakologik
a) Agonis beta
Bentuk aerosol bekerja sangat cepat diberika 3-4 kali semprot dan jarak antara semprotan
pertama dan kedua adalan 10 menit. Yang termasuk obat ini adalah metaproterenol (Alupent,
metrapel).
b) Metil Xantin
Golongan metil xantin adalan aminophilin dan teopilin, obat ini diberikan bila golongan beta
agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pada orang dewasa diberikan 125-200 mg
empatkali sehari.
c) Kortikosteroid
Jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang baik, harus diberikan
kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol (beclometason dipropinate) dengan disis 800
empat kali semprot tiap hari. Karena pemberian steroid yang lama mempunyai efek samping
maka yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat.
d) Kromolin
Kromolin merupakan obat pencegah asthma, khususnya anak-anak . Dosisnya berkisar 1-2
kapsul empat kali sehari.
e) Ketotifen
Efek kerja sama dengan kromolin dengan dosis 2 x 1 mg perhari. Keuntunganya dapat
diberikan secara oral.
f) Iprutropioum bromide (Atroven)
Atroven adalah antikolenergik, diberikan dalam bentuk aerosol dan bersifat bronkodilator.
5. Dampak masalah
a. Pada klien
Penderita asthma harus merubah gaya hidup sehari-hari untuk menghindari faktor pencetus.
Perubahan ini dimulai dari lingkungan hidup sanpai dengan lingkungan kerja. Pada klien
dengan serangan asthma, maka terjadi penurunan nafsu makan, minum sehingga
mempengarui status nutrisi klien. Dalam istirahat klien sangat terganggu sehingga dapat
menyebabkan kelelahan. Adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan dan penyediaan
oksigen mempengarui toleransi dalam melakukan aktivitas, kelelahan cepat lelah dan ketidak
mampuan memenuhi ADL. Klien dapat tumbuh dan berkembang menjadi rendah diri, merasa
tidak mampu, berkepribadian labil,mudah tersinggung,gelisah dan cemas. Adanya
keterbatasan aktifitas, klien lebih tergantung pada orang lain, terkadang klien tidak dapat
berperan sesuai dengan peranya, (Antony C. 1997 ; Tjen daniel, 1991).
b. Pada keluarga
Melihat kondisi klien dengan gejala asthma dan dirawat dirumah sakit, tentang penyebab,
prognosa penyakit dan keberhasilan dari terapi, akan menimbulkan kecemasan pada keluarga.
Perlunya klien dirawat dirumahsakit menimbulkan respon kehilangan pada keluarga yang
ditinggalkan. Peran klien dalam keluarga sebagai sumber ekonomi akan terganggu karena
klien tidak bisa masuk kerja serta perawatan dan biaya rumah sakit yang tidak sedikit akan
menjadi beban bagi keluarga.
Diposting oleh Syakira Husada di 04.24 0 komentar Link ke posting ini
Label: MEDIKAL BEDAH
Reaksi:
GANGGUAN KESADARAN
1. PENDAHULUAN
Fungsi kesadaran menyangkut :
- tingkat kesadaran
- isi kesadaran
2. BATASAN
Kesadaran yang utuh adalah suatu keadaan individu sadara akan dirinya dan lingkungannya
menghadapi stimulasi yang adekuat.
Kesadaran yang utuh tergantung dari integritas dan interaski antara :
- ARAS (Ascending Reticuler Activating System) kumpulan substansia drisea di bagian
sentral batang otak bagian rostral mulai dari mielum samapai di subthalamus, menentukan
tingkat kesadaran WAKEFULLNESS-ARAOUSEL/KETERJAGAAN (keadaan yg.
berhub. dengan respon E, V dan M.
- Korteks di hemisfer serebri kiri yang utuh, merupakan substract anatomis untuk kebanyakan
komponen psikologik yang khusus, berbahasan, ingatan, intelek dan tanggapan proses
pembelajaran. Dalam mekanismenya digiatkan oleh thalamus, hipotalamus, mesensefalon,
tegmentum pontis bagian rostral.
Caranya : tes okulovestibuler, nistagmus menunjukkan bahwa tidak dalam keadaan tidak
sadar.
PENGERTIAN
Peradangan peritoneum, suatu lapisan endotelial tipis yang kaya akan vaskularisasi dan aliran
limpa.
ETIOLOGI
1. Infeksi bakteri
• Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal, misalnya :
• Appendisitis yang meradang dan perforasi
• Tukak peptik (lambung / dudenum)
• Tukak thypoid
• Tukan disentri amuba / colitis
• Tukak pada tumor
• Salpingitis
• Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus dan hemolitik, stapilokokus
aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.
3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah
streptokokus atau pnemokokus.
PATOFISIOLOGI
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen ke dalam rongga abdomen,
biasanya diakibatkan dan peradangan iskemia, trauma atau perforasi tumor, peritoneal
diawali terkontaminasi material.
Awalnya material masuk ke dalam rongga abdomen adalah steril (kecuali pada kasus
peritoneal dialisis) tetapi dalam beberapa jam terjadi kontaminasi bakteri. Akibatnya timbul
edem jaringan dan pertambahan eksudat. Caiaran dalam rongga abdomen menjadi keruh
dengan bertambahnya sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-sel yang rusak dan darah.
Respon yang segera dari saluran intestinal adalah hipermotil tetapi segera dikuti oleh ileus
paralitik dengan penimbunan udara dan cairan di dalam usus besar.
TEST DIAGNOSTIK
1. Test laboratorium
• Leukositosis
• Hematokrit meningkat
• Asidosis metabolik
2. X. Ray
• Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
• Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
• Usus halus dan usus besar dilatasi.
• Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
PROGNOSIS
• Mortalitas tetap tinggi antara 10 % - 40 %.
• Prognosa lebih buruk pada usia lanjut dan bila peritonitis sudah berlangsung lebih dari 48
jam.
• Lebih cepat diambil tindakan lebih baik prognosanya.
Diposting oleh Syakira Husada di 03.51 0 komentar Link ke posting ini
Label: MEDIKAL BEDAH
Reaksi:
TRAUMA ABDOMEN
OLEH : ERFANDI
Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas biasanya lebih tinggi
pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk. Walaupun tehnik diagnostik baru
sudah banyak dipakai, misalnya Computed Tomografi, namun trauma tumpul abdomen masih
merupakan tantangan bagi ahli klinik.
Diagnosa dini diperlukan untuk pengelolaan secara optimal. Evaluasi awal sangat bermanfaat
tetapi terkadang cukup sulit karena adanya jejas yang tidak jelas pada area lain yang terkait.
PATOFISIOLOGI
Jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam. Pada trauma
tumpul dengan velisitas rendah (misalnya akibat tinju) biasanya menimbulkan kerusakan satu
organ. Sedangkan trauma tumpul velositas tinggi sering menimbulkan kerusakan organ
multipel, seperti organ padat ( hepar, lien, ginjal ) dari pada organ-organ berongga.
(Sorensen, 1987)
- Perdarahan
Setiap trauma abdomen (trauma tumpul, trauma tajam, dan tembak) dapat menimbulkan
perdarahan. Yang paling banyak terkena robekan pada trauma adalah alat-alat parenkim,
mesenterium, dan ligamenta; sedangkan alat-alat traktus digestivus pada trauma tumpul
biasanya terhindar. Diagnostik perdarahan pada trauma tumpul lebih sulit dibandingkan
dengan trauma tajam, lebih-lebih pada taraf permulaan. Penting sekali untuk menentukan
secepatnya, apakah ada perdarahan dan tindakan segera harus dilakukan untuk menghentikan
perdarahan tersebut.
Sebagai contoh adalah trauma tumpul yang menimbulkan perdarahan dari limpa. Dalam taraf
pertama darah akan berkumpul dalam sakus lienalis, sehingga tanda-tanda umum
perangsangan peritoneal belum ada sama sekali. Dalam hal ini sebagai pedoman untuk
menentukan limpa robek (ruptur lienalis) adalah :
• Adanya bekas (jejas) trauma di daerah limpa
• Gerakkan pernapasan di daerah epigastrium kiri berkurang
• Nyeri tekan yang hebat di ruang interkostalis 9 - 10 garis aksiler depan kiri.
DIAGNOSTIK
- Riwayat
Dapatkan keterangan mengenai perlukaannya, bila mungkin dari penderitanya sendiri, orang
sekitar korban, pembawa ambulans, polisi, atau saksi-saksi lainnya, sesegera mungkin,
bersamaan dengan usaha resusitasi.
- Penemuan
Trauma tumpul pada abdomen secara tipikal menimbulkan rasa nyeri tekan, dan rigiditas
otot, pada daerah terjadinya rembesan darah atau isi perut. Tanda-tanda ini dapat belum
timbul hingga 12 jam atau lebih pasca trauma, sehingga kadanga-kadang diperlukan
pengamatan yang terus-menerus yang lebih lama. Nyeri yang berasal dari otot dan tulang,
mungkin malah tak terdapat tanda-tanda objektif yang dapat menunjukan perlukaan viseral
yang luas. Fraktur pada iga bagian bawah sering kali menyertai perlukaan pada hati dan
limpa. Pemeriksaan rektum secaga digital, dapat menimbulkan adanya darah pada feses
- Test Laboratorium
Secara rutin, diperiksa hematokrit, hitung jenis leukosit, dan urinalisis, sedangkan test lainnya
dilakukan bila diperlukan. Nilai-nilai amilase urine, dan serum dapat membantu untuk
menentukan adanya perlukaan pankreas atau perforasi usus.
- Foto Sinar X
• Film polos abdomen dapat menunjukkan adanya udara bebas intraperitoneal, obliterasi
bayangan psoas, dan penemuan-penemuan lainnya yang pada umunya tak khas. Fraktur
prosesus transversalis menunjukan adanya trauma hebat, dan harus mengingatkan kita pada
kemungkinan adanya perlukaan viseral yang hebat.
• Film dada dapat menunjukkan adanya fraktur iga, hematotorak, pnemotorak, atau lainnya
yang berhubungan dengan perlukaan thorak
• Penderita dengan tauma tumpul sering memerlukan foto thorak sinar X tengkorak, pelvis,
dan anggota gerak lainnya.
• Studi kontras pada saluran kemih diperlukan bila terdapat hematuria.
• Foto sinar X dengan kontras pada saluran pencernaan atas dan bawah, diperlukan pada
kasus tertentu.
• C.T Scan abdomen sangat membantu pada beberapa kasus, tetapi inibelim banyak
dilakukan.
• Angiografi dapat memecahkan teka-teki tantang perlukaan pada limpa, hati, dan pakreas.
Pada kenyataanya, angiografi abdominal jarang dilakukan.
- Test Khusus
Lavase peritoneal berguna untuk mengetahui adanya perdarahan intraabdomen pada suatu
trauma tumpul, bila dengan pemeriksaan fisik dan radilogik, diagnosa masih diragukan. Test
ini tak boleh dilakukan pada penderita yang tak kooperatif, melawan dan yang memerlukan
operasi abdomen segera. Kandung kemih harus dikosongkan terlebih dahulu. Posisi panderita
terlentang, kulit bagian bawah disiapkan dengan jodium tingtur dan infiltrasi anestesi lokal di
garis tengah, diantara umbilikus dan pubis. Kemudian dibuat insisi kecil, kateter dialisa
peritoneal dimasukkan ke dalam rongga peritoneal. Ini dapat dibantu/dipermudah oleh otot-
otot
abdomen penderta sendiri, dengan jalan meikan kepala penderita. Kateter ini harus dipegang
dengan kedua tangan, untuk mencegah tercebur secara acak ke dalam rongga abdomen.
Tehnik yang lebih aman adalah dengan membuat insisi sepanjang 1 cm pada fasia, dan
kateter di masukkan ke dalam rongga peritoneal dengan pengamatan secara langsung. Pisau
ditarik dan kateter dimasukkan secara hati-hati ke pelvis ke arah rongga sakrum. Adanya
aliran darah secara spontan pada kateter menandakan adanya perdarahan secara positif.
Tetapi ini jarang terjadi. Masukan 1000 cc larutan garam fisiologis ke dalam rongga
peritoneal (jangan larutan dextrose), biarkan cairan ini turun sesuai dengan gaya grvitasi.
Adanya perdarahan intraabdominal ditandai dengan warna merah seperti anggur atau adanya
hematokrit 1% atau lebih pada cairan tersebut (cairan itu keluar kembali). Bila cairan tetap,
bening atau hanya sedikit berubah merah tandanya negatif.
PENATALAKSANAAN
1. Segera dilakukan operasi untuk menghentikan perdarahan secepatnya. Jika penderita dalam
keadaan syok tidak boleh dilakukan tindakan selain pemberantasan syok (operasi)
2. Pemberian antibiotika IV pada penderita trauma tembus atau pada trauma tumpul bila ada
persangkaan perlukaan intestinal.
3. Luka tembus merupakan indikasi dilakukannya tindakan laparatomi eksplorasi bila
ternyata peritonium robek. Luka karena benda tajam yang dangkal hendaknya diekplorasi
dengan memakai anestesi lokal, bila rektus posterior tidak sobek, maka tidak diperlukan
laparatomi.
4. Penderita dengan trauma tumpul yang terkesan adanya perdarahan hebat yang meragukan
kestabilan sirkulasi atau ada tanda-tanda perlukaan abdomen lainnya memerlukan
pembedahan.
5. Laparatomi
• Prioritas utama adalah menghentikan perdarahan yang berlangsung. Gumpalan kassa dapat
menghentikan perdarahan yang berasal dari daerah tertentu, tetapi yang lebih penting adalah
menemukan sumber perdarahan itu sendiri
• Kontaminasi lebih lanjut oleh isi usus harus dicegah dengan mengisolasikan bagian usus
yang terperforasi tadi dengan mengklem segera mungkin setelah perdarahan teratasi.
• Melalui ekplorasi yang seksama amati dan teliti seluruh alat-alat di dalamnya. Korban
trauma tembus memerlukan pengamatan khusus terhadap adanya kemungkinan perlukaan
pada pankreas dan duodenum.
• Hematoma retroperitoneal yang tidak meluas atau berpulsasi tidak boleh dibuka.
• Perlukaan khusus perlu diterapi
• Rongga peritoneal harus dicuci dengan larutan garam fisiologis sebelum ditutup
• Kulit dan lemak subcutan dibiarkan terbuka bila ditemukan kontaminasi fekal, penutupan
primer yang terlambat akan terjadi dalam waktu 4 - 5 hari kemudian.
Diposting oleh Syakira Husada di 03.48 0 komentar Link ke posting ini
Label: MEDIKAL BEDAH
Reaksi:
TUBERCOLUSIS PARU
oleh : ERFANDI
A. Definisi.
Tuberkolosis paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang paru- paru yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium Tuberkulosis
B. Etiologi.
Jenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 m, dan tebal antara 0,3 –
0,6 m. Sebagian besar kuman berupa lemak/lipid sehingga kuman ini tahan terhadap asam
dan lebih tahan terhadap fisik dan kimiawi. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob yang
menyukai daerah yang banyak oksigen, dalam hal ini lebih menyenangi daerah yang tinggi
kandungan oksigennya yaitu daerah apikal paru, daerah ini menjadi prediksi pada penyakit
paru.
C. Patofisiologi.
Tempat masuk kuman M. Tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan dan
luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberkulosis (TBC) terjadi melalui udara, yaitu
melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari
orang yang terinfeksi.
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel. Sel
efektorya adalah makrofag, sedangkan limfosit (biasanya sel T) adalah sel
imunoresponsifnya. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi
sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil ; gumpalan yang lebih besar
cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkhus dan tidak menyebabkan
penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi
peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri
namun tidak membunuh organisme tersebut. Setelah hari-hari pertama leukosit diganti oleh
makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia
akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang
tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau berkembang-
biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening
regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini
membutuhkan waktu 10 – 20 hari .
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju, isi
nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Bagian ini disebut dengan lesi primer. Daerah yang
mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel
epiteloid dan fibroblast, menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih
fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah
bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Respon lain yang dapat terjadi
pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkhus dan
menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk
kedalam percabangan trakheobronkial. Proses ini dapat terulang kembali di bagian lain di
paru-paru, atau basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah, atau usus. Lesi primer
menjadi rongga-rongga serta jaringan nekrotik yang sesudah mencair keluar bersama batuk.
Bila lesi ini sampai menembus pleura maka akan terjadi efusi pleura tuberkulosa.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan
parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkhus dapat menyempit dan tertutup oleh
jaringan parut yang terdapat dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat
mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh
dengan bahan perkejuan, dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan
ini dapat menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan
bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos
melalui kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-
kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal
sebagai penyebaran limfohematogen, yang biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen
merupakan suatu fenomena akut yang biasanya menyebabkan tuberkulosis milier. Ini terjadi
apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk kedalam
sistem vaskuler dan tersebar ke organ-organ tubuh.
D. Komplikasi.
Komplikasi yang dapat timbul akibat tuberkulosis terjadi pada sistem pernafasan dan di luar
sistem pernafasan. Pada sistem pernafasan antara lain menimbulkan pneumothoraks, efusi
pleural, dan gagal nafas, sedang diluar sistem pernafasan menimbulkan tuberkulosis usus,
meningitis serosa, dan tuberkulosis milier.
F. Pemeriksaan Diagnostik.
1. Kultur sputum
Positif jika ditemukan mikobakterium tuberkulosis dalam stadium aktif pada perjalanan
penyakit.
2. Ziehl-Neelsen (pewarnaan terhadap sputum)
Positif jika ditemukan bakteri tahan asam.
3. Skin test (PPD, Mantoux, Tine, Vollmer patch)
Reaksi positif (area indurasi > 10 mm timbul 48 – 72 jam setelah injeksi antigen intra kutan)
menunjukkan telah terjadinya infeksi dan dikeluarkannya antibodi tetapi tidak menunjukkan
aktifnya penyakit.
4. Elisa/Western Blot
Dapat menunjukkan adanya virus HIV.
5. Rontgen dada
Menunjukkan adanya infiltrasi lesi pada paru-paru bagian atas, timbunan kalsium dari lesi
primer atau penumpukan cairan. Perubahan yang menunjukkan perkembangan tuberkulosis
meliputi adanya kavitas dan area fibrosa.
6. Pemeriksaan histologi/kultur jaringan
Positif bila terdapat mikobakterium tuberkulosis.
7. Biopsi jaringan paru
Menampakkan adanya sel-sel yang besar yang mengindikasikan terjadinya nekrosis.
8. Pemeriksaan elektrolit
Mungkin abnormal tergantung lokasi dan beratnya infeksi, misalnya hipernatremia yang
disebabkan retensi air mungkin ditemukan pada penyakit tuberkulosis kronis.
9. Analisa gas darah (BGA)
Mungkin abnormal tergantung lokasi, berat, dan adanya sisa kerusakan jaringan paru.
10. Pemeriksaan fungsi paru
Turunnya kapasitas vital, meningkatnya ruang rugi, meningkatnya rasio residu udara pada
kapasitas total paru, dan menurunnya saturasi oksigen sebagai akibat infiltrasi
parenkim/fibrosa, hilangnya jaringan paru, dan kelainan pleura (akibat dari tuberkulosis
kronis).
G. Pengobatan
Sejak ditemukannya obat-obat anti TB dan dimulainya dengan monotherapi, kemudian mulai
timbul masalah resistensi terhadap obat-obat tersebut, maka pengobatan secara paduan
beberapa obat ternyata dapat mencapai tingkat kesembuhan yang tinggi dan memperkecil
jumlah kekambuhan.
Paduan obat jangka pendek 6 – 9 bulan yang selama ini dipakai di Indonesia dan dianjurkan
juga oleh WHO adalah 2 RHZ/4RH dan variasi lain adalah 2 RHE/4RH, 2 RHS/4RH, 2
RHZ/4R3H3/ 2RHS/4R2H2, dan lain-lain. Untuk TB paru yang berat ( milier ) dan TB
Ekstra Paru, therapi tahap lanjutan diperpanjang jadi 7 bulan yakni 2RHZ/7RH. Departemen
Kesehatan RI selama ini menjalankan program pemberantasan TB Paru dengan panduan
1RHE/5R2H2.
Bila pasien alergi/hipersensitif terhadap Rifampisin, maka paduan obat jangka panjang 12 –
18 bulan dipakai kembali yakni SHZ, SHE, SHT, dan lain-lain.
Beberapa obat anti TB yang dipakai saat ini adalah :
1. Obat anti TB tingkat satu
Rifampisin (R), Isoniazid (I), Pirazinamid (P), Etambutol (E), Sterptomisin (S).
2. Obat anti TB tingkat dua
Kanamisin (K), Para-Amino-Salicylic Acid (P),Tiasetazon (T), Etionamide, Sikloserin,
Kapreomisin, Viomisin, Amikasin, Ofloksasin, Sifrofloksasin, Norfloksasin, Klofazimin dan
lain-lainl. Obat anti TB tingkat dua ini daya terapeutiknya tidak sekuat yang tingkat satu dan
beberapa macam yang teakhir yaitu golongan aminoglikosid dan quinolon masih dalam tahap
eksperimental.
Belakangan ini WHO menyadari bahwa pengobatan jangka pendek tersebut baru berhasil bila
obat-obat yang relatif mahal (R&Z) tersedia sampai akhi masa pengobatan. Di beberapa
negara berkembang, pengobatan jangka pendek ini banyak yang gagal mencapai angka
kesembuhan yang (cure rate) ditargetkan yakni 85 % karena :
- Program pemberantasan kurang baik
- Buruknya kepatuhan berobat
Adanya epidemi AIDS akan lebih mengobarkan kembali aktifnya TB. Menyadari bahaya
tersebut di atas, WHO pada tahun 1991 mengeluarkan pernyataan baru dalam pengobatan TB
Paru sebagai berikut :
Pengobatan tetap dibagi dalam dua tahap yakni
1. Tahap intensif (initial), dengan memberikan 4 – 5 macam obat anti TB per hari dengan
tujuan :
- Mendapatkan konversi sputum dengan cepat (efek bakterisidal)
- Menghilangkan keluhan dan mencegah efek penyakit lebih lanjut
- Mencegah timbulnya resistensi obat
2. Tahap lanjutan (continuation phase), denga hanya memberikan 2 macam obat per hari atau
secara intermitten dengan tujuan :
- Menghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi )
- Mencegah kekambuhan
Pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan yakni kurang dari 33 kg, 33 – 50 kg dan
lebih dari 50 kg.
2. Kategori II
Ditujukan terhadap :
- Kasus kambuh
- Kasus gagal dengan sputum BTA positif
Pengobatan tahap intensif selama 3 bulan dengan 2 RHZE/1RHZE. Bila setelah tahap intensif
BTA menjadi negatif, maka diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah 3 bulan tahap
intensif BTA tetap positif, maka tahap intensif tersebut diperpanjang lagi 1 bulan dengan
RHZE. Bila setelah 4 bulan BTA masih juga positif pengobatan dihentikan selama 2 – 3 hari,
lalu diperiksa biakan dan resistensi terhadap BTA dan pengobatan diteruskan dengan tahap
lanjutan. Bila pasien masih mempunyai data resistensi BTA dan ternyata BTA masih sensitif
terhadap semua obat dan setelah tahap intensif BTA menjadi negatif, maka tahap lanjutan
harus diawasi dengan ketat di RS rujukan. Kemungkinan konversi sputum masih cukup besar.
Bila data menunjukkan resiten terhadap R dan H, maka kemungkinan keberhasilan menjadi
kecil.
Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 5 RHE atau paduan 5 R3H3E3 yang perlu
diawasi dengan ketat. Bila sputum BTA masih tetap positif setelah selesai tahap lanjutan,
maka pasien tidak perlu diobati lagi.
3. Kategori III
Ditujukan terhadap :
- Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas.
- Kasus TBC ekstra paru selain yang disebut dalam kategori I
Pengobatan tahap intensif dengan panduan 2 RHZ atau 2 R3H3Z3
Pengobatan tahap lanjutan dengan panduan 2RH atau 2 R3H3. Bila kelainan paru lebih luas
dari 10 cm2 atau pada TB ekstra paru yang belum remisi sempurna, maka tahap lanjutan
diperpanjang lagi dengan H saja selama empat bulan lagi. Paduan obat alternatif adalah 6 HE
(T)
4. Kategori IV
Ditujukan terhadap kasus TB kronik.
Prioritas pengobatan disini rendah, terdapat resistensi terhadap obat-obat anti TB (sedikitnya
R dan H), sehingga masalahnya jadi rumit. Pasien mungkin perlu dirawat beberapa bulan dan
diberikan obat-obat anti TB tingkat dua yang kurang begitu efektif, lebih mahal dan lebih
toksis.
Di negara yang maju dapat diberikan obat-obat anti TB eksperimental sesuai dengan
sensitivitasnya, sedangkan di negara yang kurang mampu cukup dengan pemberian H seumur
hidup dengan harapan dapat mengurangi infeksi dan penularan.
Departemen Kesehatan RI dalam program baru pemberantasan TB paru telah mulai dengan
paduan obat : 2 RHZE/4 R3HE (kategori I), 2 RHZSE/1 RHZE/5 R3H3E3 ( kategori II ), 2
RHZ/2 R3H3 (kategori IV).
H. Evaluasi Pengobatan.
Kemajuan pengobatan dapat terlihat dari perbaikan klinis (hilangnya keluhan, nafsu makan
meningkat, berat badan naik dan lain-lain), berkurangnya kelainan radiologis paru dan
konversi sputum menjadi negatif.
Kontrol terhadap sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4, dan 6. Pada yang
memakai paduan obat 8 bulan sputum BTA diperiksa pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. Biakan
BTA dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke-2 dan akhir pengobatan. Pmeriksaan
resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan
pada awal terapi pasien yang mendapat pengobatan ulang ( retreatment ).
Kontrol terhadap pemeriksaan radiologis dada, kurang begitu berperan dalam evaluasi
pengobatan. Bila fasilitas memungkinkan foto dapat dibuat pada akhir pengobatan sebagai
dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus kambuh.
Untuk mengetahui efek samping obat ( yang terbanyak hepatitis ), perlu pemeriksaan darah
terhadap enzim hati, bilirubin, kreatinin/ureum, darah perifer. Asam urat darah perlu
diperiksa bagi yang memakai obat Z. bila terdapat hepatitis karena obat ( kebanyakan karena
R dan H ), maka obat yang hepatotoksis diganti dengan yang non-hepatotoksis. Pemberian
steroid dapat dipertimbangkan. R atau H kemudian dapat diberikan kembali secara
desensitisasi. Tes mata untuk warna perlu bagi yang memakai E, sedangkan tes audiometri
perlu bagi yang memakai S.
Resistensi obat sudah harus diwaspadai yakni bila dalam 1 – 2 bulan pengobatan tahap
intensif tidak terlihat perbaikan. Di Amerika Serikat prevalensi pasien yang resisten terhadap
obat anti TB makin meningkat dan sudah mencapai 9 %. Di negara yang sedang berkembang
seperti di Afrika, diperkirakan lebih tinggi lagi. BTA yang sudah resisten terhadapobat anti
TB saat ini sudah dapat dideteksi dengan cara PCR-SSCP ( Single Stranded Confirmation
Polymorphism ) dalam waktu satu hari. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi 99% BTA yang
resisten terhadap R, 70% terhadap H, dan 60% terhadap S.
I. Dampak masalah
a. Terhadap individu.
1. Biologis.
Adanya kelemahan fisik secara umum, batuk yang terus menerus, sesak napas, nyeri dada,
nafsu makan menurun, berat badan menurun, keringat pada malam hari dan kadang-kadang
panas yang tinggi.
2. Psikologis.
Biasanya klien mudah tersinggung , marah, putus asa oleh karena batuk yang terus menerus
sehingga keadaan sehari-hari yang kurang menyenangkan.
3. Sosial.
Adanya perasaan rendah diri oleh karena malu dengan keadaan penyakitnya sehingga klien
selalu mengisolasi dirinya.
4. Spiritual.
Adanya distress spiritual yaitu menyalahkan tuhan karena penyakitnya yang tidak sembuh-
sembuh juga menganggap penyakitnya yang manakutkan
5. Produktifitas menurun oleh karena kelemahan fisik.
b. Terhadap keluarga.
1. Terjadinya penularan terhadap anggota keluarga yang lain karena kurang pengetahuan dari
keluarga terhadap penyakit TB Paru serta kurang pengetahuan penatalaksanaan pengobatan
dan upaya pencegahan penularan penyakit.
2. Produktifitas menurun.
Terutama bila mengenai kepala keluarga yang berperan sebagai pemenuhan kebutuhan
keluarga, maka akan menghambat biaya hidup sehari-hari terutama untuk biaya pengobatan.
3. Psikologis.
Peran keluarga akan berubah dan diganti oleh keluarga yang lain.
4. Sosial.
Keluarga merasa malu dan mengisolasi diri karena sebagian besar masyarakat belum tahu
pasti tentang penyakit TB Paru
c. Terhadap masyarakat.
Apabila penemuan kasus baru TB Paru tidak secara dini serta pengobatan Penderita TB Paru
positif tidak teratur atau droup out pengobatan maka resiko penularan pada masyarakat luas
akan terjadi oleh karena cara penularan penyakit TB Paru