LP CKD Dengan Infeksi
LP CKD Dengan Infeksi
LAPORAN PENDAHULUAN
oleh
Kurnia Juliarthi, S. Kep
NIM 132311101012
a. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kasus penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara
akut (kambuhan) maupun kronis (menahun) (Syamsir, 2007). Penyakit ginjal
kronik terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan
lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup. Gagal ginjal kronis atau
penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan fungsi ginjal yang menahun
bersifat progresif dan irreversible, dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)
(Smeltzer & Bare, 2002).
d. Patofisiologi
Urin biasanya berada dalam keadaan steril. Infeksi berlaku apabila bakteri
masuk ke dalam urin dan mula bertumbuh. Proses infeksi ini biasanya bermula
pada pembukaan uretra di mana urin keluar dari tubuh dan masuk naik ke dalam
traktus urinari. Biasanya, dengan miksi ia dapat mengeluarkan bakteri yang ada
dari uretra tetapi jika bakteri yang ada terlalu banyak, proses tersebut tidak
membantu. Bakteri akan naik ke atas saluran kemih hingga kandung kemih dan
bertumbuh kembang di sini dan menjadi infeksi. Infeksi bisa berlanjut melalui
ureter hingga ke ginjal. Di ginjal, peradangan yang terjadi disebut pielonefritis
yang akan menjadi keadaan klinis yang serius jika tidak teratasi dengan tuntas
(Balentine, 2009).
Patogenesis infeksi saluran kemih sangat kompleks, karena tergantung dari
banyak faktor seperti faktor pejamu (host) dan faktor organisme penyebab.
Bakteri dalam urin dapat berasal dari ginjal, ureter, vesika urinaria atau dari
uretra. Beberapa faktor predisposisi ISK adalah obstruksi urin, kelainan struktur,
urolitiasis, benda asing, refluks atau konstipasi yang lama. Bakteri uropatogenik
yang melekat pada pada sel uroepitelial, dapat mempengaruhi kontraktilitas otot
polos dinding ureter, dan menyebabkan gangguan peristaltik ureter. Melekatnya
bakteri ke sel uroepitelial, dapat meningkatkan virulensi bakteri tersebut (Hanson,
1999).
Mukosa kandung kemih dilapisi oleh glycoprotein mucin layer yang berfungsi
sebagai anti bakteri. Rusaknya lapisan ini akibat dari mekanisme invasi bakteri
seperti pelepasan toksin dapat menyebabkan bakteri dapat melekat, membentuk
koloni pada permukaan mukosa, masuk menembus epitel dan selanjutnya terjadi
peradangan. Bakteri dari kandung kemih dapat naik ke ureter dan sampai ke ginjal
melalui lapisan tipis cairan (films of fluid), apalagi bila ada refluks vesikoureter
maupun refluks intrarenal. Bila hanya vesika urinaria yang terinfeksi, dapat
mengakibatkan iritasi dan spasme otot polos vesika urinaria, akibatnya rasa ingin
miksi terus menerus (urgency) atau miksi berulang kali (frequency), dan sakit
waktu miksi (dysuri). Mukosa vesika urinaria menjadi edema, meradang dan
perdarahan (hematuria). Infeksi ginjal dapat terjadi melalui collecting system.
Pelvis dan medula ginjal dapat rusak, baik akibat infeksi maupun oleh tekanan
urin akibat refluks berupa atrofi ginjal. Pada pielonefritis akut dapat ditemukan
fokus infeksi dalam parenkim ginjal, ginjal dapat membengkak, infiltrasi lekosit
polimorfonuklear dalam jaringan interstitial, akibatnya fungsi ginjal dapat
terganggu. Pada pielonefritis kronik akibat infeksi, adanya produk bakteri atau zat
mediator toksik yang dihasilkan oleh sel yang rusak, mengakibatkan parut ginjal
(renal scarring). (Hanson, 1999).Ginjal pun membentuk jaringan parut progresif,
berkontraksi dan tidak berfungsi.
Meskipun penyakit ginjal terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang
harus diekskresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis tidaklah berubah,
kendati jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi tersebut sudah menurun
secara progresif. Dua adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon
terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada
mengalami hipertrofi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban kerja
ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan reabsorpsi
tubulus dalam setiap nefron meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang
terdapat dalam ginjal turun di bawahnilai normal. Mekanisme adaptasi ini cukup
berhasil dalam mempertahankankeseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga
tingkat fungsi ginjal yangsangat rendah. Namun akhirnya, kalau sekitar 75%
massa nefron sudahhancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi
setiap nefrondemikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus
(keseimbangan
antara peningkatan filtrasi dan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus tidak dapatlagi
dipertahankan. Fleksibilitas baik pada proses ekskresi maupun proseskonservasi
zat terlarut dan air menjadi berkurang. Sedikit perubahan padamakanan dapat
mengubah keseimbangan yang rawan tersebut, karena makinrendah GFR (yang
berarti maikn sedikit nefron yang ada) semakin besar perubahan kecepatan
ekskresi per nefron. Hilangnya kemampuan memekatkanatau mengencerkan urine
menyebabkan berat jenis urine tetap pada nilai 1,010atau 285 mOsm (yaitu sama
dengan plasma) dan merupakan penyebab gejalapoliuria dan nokturia (Price,
2006)
e. Komplikasi
Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer & Bare (2001) dan Suwitra
(2006) adalah sebagai berikut.
a. Hiperkalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, katabolisme, dan
masukan diit berlebih.
b. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin
angiotensin aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium
serum yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan
kadar alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion Anorganik.
f. Uremia akibat peningkatan kadar urea dalam tubuh.
g. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebian.
h. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
i. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
f. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis
Urinalisis adalah pemeriksaan mikroskopik urine. Prosedur ini memeriksa
sedimen setelah urine disentrifugasi. Urine yang normal hampir tidak
mengandung sedimen (Baradero, dkk, 2008). Pemeriksaan urin mencakup
evaluasi hal-hal berikut:
1) Observasi warna dan kejernihan urin
2) Pengkajian bau urin
3) Pengukuran keasaman dan berat jenis urin
4) Tes untuk memeriksa keberadaan protein, glukosa dan badan keton dalam
urin.
5) Pemeriksaan mikroskopik sedimen urin sesudah melakukan pemusingan
(centrifuging)untuk medeteksi sel darah merah (hematuria), sel darah
putih, silinder (silindruria), kristal (kristaluria), pus (piuria) dan bakteri
(bakteriuria).
Urinalisis dapat mendeteksi dan menunjang diagnosa penyakit ginjal
dengan menmukan protein urin, eritrosit dan leukosit dan denan menemukan
berbagau silinder dalam sedimen urin (Speicher, 2006). Hal-hal yang dapat
ditemukan pada pemeriksaan urinalisis pada gagal ginjal akut dan kronis, yaitu:
1) Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguri), yang
terjadisetelah ginjal rusak, pada gagal ginjal kronis juga dapat dihasilkan
urine tak ada (anuria).
2) Warna: pada gagal ginjal akut dan kronis urine berwarna kotor atau keruh,
sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin dan
porfirin. Pada penderita gagal ginjal kronis juga didapatkan kekeruhan
urine yang mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, partikel koloid,
fosfat atau urat.
3) Berat jenis: pada penderita gagal ginjal akut berat jenis urine kurang dari
1,020 dapat menunjukkan penyakit ginjal, contoh glomerulonefritis,
pielonefritis dengan kehilangan kemampuan untuk memekatkan,
sedangkan pada gagal ginjal kronis adalah kurang dari 1,015 dan akan
menetap pada 1,010 yang menunjukkan kerusakan ginjal.
4) Osmolalitas: gagal ginjal akut dan kronis memiliki nilai intrepretasi yang
sama yaitu kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal, dan
rasio urine/serum 1:1.
5) Klirens kreatinin:pada gagal ginjal akut dan kronik secara bermakna
menurun sebelum BUN dan kreatinin serum menunjukkan peningkatan
bermakna.
6) Natrium: pada gagal ginjal akut nilai atau jumlah dari natrium dapat
menurun sedangkan pada gagal ginjal kronis dapat menunjukkan jumlah
yang lebih dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mengabsorpsi
natrium dengan baik.
7) Protein: pada gagal ginjal akut jumlah atau nilai proteinuria pada derajat
rendah (1-2+) dan sedimen dapat menunjukkan infeksi atau nefritis
interstisial. Sedangkan pada gagal ginjal kronis derajat protenuria terletak
pada derajat tinngi (3-4+) menunjukkan kerusakan glomerulus bila
terdapat sedimen dan perubahan warna (Doenges, 2000).
2. Darah
Penilaian CKD dengan ganguan yang serius dapat dilakukan dengan
pemerikasaan laboratorium, seperti: kadar serum sodium/natrium dan
potassium/kalium, pH, kadar serum phospor, kadar Hb, hematokrit, kadar urea
nitrogen dalam darah (BUN), serum dan konsentrasi kreatinin urin, urinalisis. Hb:
menurun pada adanya anemia
1) Sedimen: sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan/penurunan
hidup.
2) pH: asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan
kemampuan ginjal untuk mengekresikan hidrogen dan hasil akhir
metabolisme.
3) BUN/kreatinin: terdapat peningkatan yang tetap dalam BUN, dan laju
peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan protein),
perfusi renal, dan masukkan protein. Serum kreatinin meningkat pada
kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin serum bermanfaat dalam
pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit. Biasanya
meningkat pada proporsi rasio 10:1.
4) Osmolalitas serum: labih besar dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan
urine.
5) Kalium: meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan
perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel
darah merah).
6) Natrium: biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi.
7) pH, kalsium dan bikarbonat: menurun.
8) Klorida, fosfat, dan magnesium: meningkat.
9) Protein: penurunan pada kadar serum dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan dan
penurunan sintesis karena kekurangan asam amino esensial (Doenges,
2000).
3. Pemeriksaan EKG
Untuk melihat adanya hipertropi ventrikel kiri, tanda perikarditis, aritmia, dan
gangguan elektrolit (hiperkalemi, hipokalsemia).
4. Pemeriksaan USG
Menilai besar dan bentuk ginjal, tebal korteks ginjal, kepadatan parenkim
ginjal, anatomi system pelviokalises, ureter proksimal, kandung kemih serta
prostate.
5. Pemeriksaan Radiologi
Renogram, Intravenous Pyelography, Retrograde Pyelography, Renal
Aretriografi dan Venografi, CT Scan, MRI, Renal Biopsi, pemeriksaan rontgen
dada, pemeriksaan rontgen tulang, foto polos abdomen. Berberapa pemeriksaan
radiologi yang biasa digunanakan untuk mengetahui gangguan fungsi ginjal
antara lain:
1) Flat-Plat radiografy/Radiographic keadaan ginjal, ureter dan vesika
urinaria untuk mengidentifikasi bentuk, ukuran, posisi, dan kalsifikasi dari
ginjal. Pada gambaran ini akan terlihat bahwa ginjal mengecil yang
mungkin disebabkan karena adanya proses infeksi.
2) Computer Tomography (CT) Scan yang digunakan untuk melihat secara
jelas struktur anatomi ginjal yang penggunaanya dengan memakai kontras
atau tanpa kontras.
3) Intervenous Pyelography (IVP) digunakan untuk mengevaluasi keadaan
fungsi ginjal dengan memakai kontras. IVP biasa digunakan pada kasus
gangguan ginjal yang disebabkan oleh trauma, pembedahan, anomali
kongental, kelainan prostat, calculi ginjal, abses / batu ginjal, serta
obstruksi saluran kencing.
4) Aortorenal Angiography digunakan untuk mengetahui sistem arteri, vena,
dan kepiler pada ginjal dengan menggunakan kontras. Pemeriksaan ini
biasanya dilakukan pada kasus renal arteri stenosis, aneurisma ginjal,
arterovenous fistula, serta beberapa gangguan bentuk vaskuler.
5) Magnetic Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi kasus
yang disebabkan oleh obstruksi uropathi, ARF, proses infeksi pada ginjal
serta post transplantasi ginjal.
6. Biopsi Ginjal
Biopsi Ginjal untuk mengdiagnosa kelainann ginjal dengan mengambil
jaringan ginjal lalu dianalisa. Biasanya biopsi dilakukan pada kasus
golomerulonepritis, neprotik sindom, penyakit ginjal bawaan, ARF, dan
perencanaan transplantasi ginjal.
7. Gas darah arteri
Gas darah arteri memberikan determinasi objektif tentang oksigenasi darah
arteri, pertukaran gas alveoli, dan keseimbangan asam basa. Dalam
pemeriksaan ini diperlukan sampel darah arteri yang diambil dari arteri
femoralis, radialis, atau brakhialis dengan menggunakan spuit yang telah diberi
heparin untuk mencegah pembekuan darah sebelum dilakukan uji
laboratorium. Pada pemeriksaan gas darah arteri pada penderita gagal ginjal
akan ditemukan hasil yaitu asidosis metabolik dengan nilai PO2 normal,PCO2
rendah, pH rendah, dan defisit basa tinggi (Grace dan Borley, 2006).
1) Pencitraan radionuklida
Dapat menunjukkan kalikektasis, hidronefrosis, penyempitan dan lambatnya
pengisian dan pengosongan sebagai akibat dari GGA.
g. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan
homeostasis selama mungkin. Seluruh faktor yang berperan pada CKD dan faktor
yang dapat dipulihkan (misal obstruksi) diidentifikasi dan ditangani (Smeltzer &
Bare, 2001). Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga
yaitu sebagai berikut.
1. Konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal
ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
1) Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan
terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
2) Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk CKD harus adekuat
dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
3) Kebutuhan cairan
Bila ureum serum >150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
4) Kebutuhan elektrolit dan mineral
5) Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung
dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
2. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolic
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
2) Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi
darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
3) Keluhan gastrointestinal
Anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada CKD. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari CKD. Keluhan gastrointestinal yang lain
adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan
simtomatik.
4) Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
5) Kelainan neuromuscular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.
6) Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
7) Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita.
2. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium
5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa
hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
1) Hemodialisis
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan
biokimiawi darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan
dengan menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah
satu bentuk terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan
hanya menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis
dilakukan pada klien GGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute
Kidney Injury) yang memerlukan terapi pengganti ginjal.
2) Dialisis Peritoneal
Dialisisperitoneal merupakan alternatif hemodialisis pada
penanganan gagal ginjal akut dan kronis. Dialisis peritoneal dilakukan
dengan menginfuskan 1-2 L cairan dialisis ke dalam abdomen melalui
kateter. Dialisat tetap berada dalam abdomen untuk waktu yang berbeda-
beda (waktu tinggal) dan kemudian dikeluarkan melalui gaya gravitasi
ke dalam wadah yang terletak di bawah pasien. Setelah drainase selesai,
dialisat yang baru dimasukkan dan siklus berjalan kembali. Pembuangan zat
terlarut dicapai melalui difusi, sementara ultrafiltrasi dicapai melalui
perbedaan tekanan osmotik dan bukan dari perbedaan tekanan hidrostatik
seperti pada hemodialisis
3) Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai
oleh pasien gagal ginjal stadium akhir, meskipun sebagian pasien
mungkin tetap memilih dialisis di rumah mereka sendiri sesudah
mendapatkan latihan dari perawat khusus. Tindakan standar dalam
transplantasi ginjal dengan merotasikan ginjal donor dan meletakannya
pada fosa iliaka kontralateral resipien. Ureter kemudian terletak di
sebelah anterior pembuluh darah ginjal ke dalam kemih resipien. Arteria
renalis beranastomosis end-to-end pada arteri iliaka interna, dan vena
renalis beranastomosis dengan vena iliaka komunis atau eksternal.
Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a) Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%)
faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal
ginjal alamiah
b) Kualitas hidup normal kembali
c) Masa hidup (survival rate) lebih lama
d) Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan
obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e) Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
Konsep Hemodialisis
b. Kontraindikasi
Kontra indikasi dari hemodialisa adalah hipotensi yang tidak responsif
terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan sindrom otak organik.
Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi dari hemodialisa adalah
tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa, akses vaskuler
sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi. Kontra indikasi hemodialisa
yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer, demensia multi infark,
sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan
lanjut (PERNEFRI, 2003).
c. Komplikasi
Komplikasi hemodialisa dapat disebabkan oleh karena penyakit yang
mendasari terjadinya penyakit ginjal kronik tersebut atau oleh karena proses
selama menjalani hemodialisa itu sendiri. Sedangkan komplikasi akut
hemodialisa adalah komplikasi yang terjadi selama proses hemodialisis
berlangsung (Rahardjo et al., 2006).
Himmelfarb (2004) menjelaskan komplikasi hemodialisa sebagai berikut :
1) Komplikasi yang sering terjadi
a) Hipotensi
Intradialytic Hypotension (IDH)adalah tekanan darah rendah yang
terjadi ketika proses hemodialisis sedang berlangsung. IDH terjadi
karena penyakit diabetes millitus, kardiomiopati, left ventricular
hypertrophy (LVH), status gizi kurang baik, albumin rendah,
kandungan Na dialysate rendah, target penarikan cairan atau target
ultrafiltrasi yang terlalu tinggi, berat badan kering terlalu rendahdan
usia diatas 65 tahun.
Komplikasi akut hemodialisa yang paling sering terjadi, insidensinya
mencapai 15-30%. Dapat disebabkan oleh karena penurunan volume
plasma, disfungsi otonom, vasodilatasi karena energi panas, obat anti
hipertensi.
b) Kram otot.
Terjadi pada 20% pasien hemodialisa, penyebabnya idiopatik namun
diduga karena kontraksi akut yang dipicu oleh peningkatan volume
ekstraseluler. Kram otot yang terjadi selama hemodialisis terjadi
karena targetultrafiltrasi yang tinggi dan kandungan Na dialysate yang
rendah
2) Komplikasi yang jarang terjadi
a) Dialysis disequilibrium syndrome (DDS)
Ditandai dengan mual dan muntah disertai dengan sakit kepala, sakit
dada, sakit punggung. Disebabkan karena perubahan yang mendadak
konsentrasi elektrolit dan pH di sistem saraf pusat.
b) Aritmia dan angina
Disebabkan oleh karena adanya perubahan dalam konsentrasi potasium,
hipotensi, penyakit jantung.
c) Perdarahan
Dipengaruhi oleh trombositopenia yang disebabkan oleh karena
sindrom uremia, efek samping penggunaan antikoagulan heparin yang
lama dan pemberian anti-hypertensive agents.
d) Hipertensi
Disebabkan oleh karena kelebihan cairan, obat-obat hipotensi,
kecemasan meningkat, dan DDS.
d. Komponen hemodialisa
1) Mesin Hemodialisa
Mesin hemodialisa memompa darah dari pasien ke dialyzer sebagai
membran semipermiabel dan memungkinkan terjadi proses difusi, osmosis
dan ultrafiltrasi karena terdapat cairan dialysate didalam dialyzer. Proses
dalam mesin hemodialisa merupakan proses yang komplek yang mencakup
kerja dari deteksi udara, kontrol alarm mesin dan monitor data proses
hemodialisa (Misra, 2005)
2) Ginjal Buatan (dialyzer)
Dialyzer atau ginjal buatan adalah tabung yang bersisi membrane
semipermiabel dan mempunyai dua bagian yaitu bagian untuk cairan
dialysate dan bagian yang lain untuk darah (Levy,dkk., 2004). Beberapa
syarat dialyzer yang baik (Heonich & Ronco, 2008) adalah volume priming
atau volume dialyzer rendah, clereance dialyzer tinggi sehingga bisa
menghasilkan clearance urea dan creatin yang tinggi tanpa membuang
protein dalam darah, koefesien ultrafiltrasi tinggi dan tidak terjadi tekanan
membrane yang negatif yang memungkinkan terjadi back ultrafiltration,
tidak mengakibatkan reaksi inflamasi atau alergi saat proses hemodialisa
(hemocompatible), murah dan terjangkau, bisa dipakai ulang dan tidak
mengandung racun. Syarat dialyzer yang baik adalah bisa membersihkan
sisa metabolisme dengan ukuran molekul rendah dan sedang, asam amino
dan protein tidak ikut terbuang saat proses hemodialisis, volume dialyzer
kecil, tidak mengakibatkan alergi atau biocompatibility tinggi, bisa dipakai
ulang dan murah harganya (Levy, dkk., 2004)
3) Dialysate
Dialysate adalah cairan elektrolit yang mempunyai komposisi seperti cairan
plasma yang digunakan pada proses hemodialisis (Hoenich & Ronco, 2006).
Cairan dialysate terdiri dari dua jenis yaitu cairan acetat yang bersifat asam
dan bicarbonat yang bersifat basa. Kandungan dialysate dalam proses
hemodialisis menurut Reddy & Cheung ( 2009 )
Tabel 2. Kandungan dialysate
Elektrolit/zat yang lain Konsentrasi (mmol/l)
Sodium 135-145
Potasium 0-4
Calsium 1,5
Magnesium 0,25-0,5
Clorida 102-106
Bicarbonat 30-39
Dextrose 11
Acetat 2.0-4.0
Blood line untuk proses hemodialisa terdiri dari dua bagian yaitu bagian
arteri berwarna merah dan bagian vena berwarna biru. BL yang baik harus
mempunyai bagian pompa, sensor vena, air leakdetector (penangkap udara),
karet tempat injeksi, klem vena dan arteri dan bagian untuk heparin (Misra,
2005). Fungsi dari BL adalah menghubungkan dan mengalirkan darah
pasien ke dialyzer selama proses hemodialisis
5) Fistula Needles
Fistula Needles atau jarum fistula sering disebut sebagai ArteriVena Fistula
(AV Fistula) merupakan jarum yang ditusukkan ke tubuh pasien PGK yang
akan menjalani hemodialisa. Jarum fistula mempunyai dua warna yaitu
warna merah untuk bagian arteri dan biru untuk bagian vena
e. Prosedur
Hemodialisa mencakup shunting / pengalihan arus darah dari tubuh pasien ke
dialisator dimana terjadi difusi dan ultrafiltrasi dan kemudian kembali ke sirkulasi
pasien. Untuk pelaksanaan hemodialisa terjadi yang masuk ke darah pasien, suatu
mekanisme yang mentraspor darah ke dan dari dialisator, dan dialisator
(daerah dimana terjadi pertukaran larutan elektrolit dan produk-produk sisa
berlangsung). Pengobatan dialisis berlangsung 3 sampai 5 jam tergantung
kepada tipe dialisator yang dipakai dan jumlah waktu yang yang diperlukan demi
koreksi cairan,elektrolit, asam basa dan masalaah produk sisa yang ada. Dialise
untuk masalah yang akut harus dilaksanakan tiap hari atau lebih sering
berdasarkan kondisi pasien yang masih menjamin. Hemodialisa bagi orang
dengan gaggal ginjal kronik biasanya dikerjakan dua atau tiga kali seminggu.
(Long, 1996).
f. Perawatan Pra Dialisa
Sebelum prosedur pasien harus merasa terbiasa dengan melihat unit dialise. Ia
harus mendapatkan penerangan apa yang akan dikerjakan dan apa yang
akan dirasakan pada waktu pengobatan berlangsung.
Pasien biasanga ingin mengetahuhi :
a. Bentuk rasa nyeri yang bagaimana yang akan dialami selama
pengobatan
b. Berapa lama dan berapa kali dialisis akan dilakukan
c. Apakan yang dirasakn selama dan setelah pengobatan (hemodialisa)
d. Apa yang harus dikerjakan pada waktu dialise
e. Keluarga pasien dapat hadir pada waktu terapi.
Kegiatan pemantauan selama pada tahap ini meliputi :
a. Mencatat berat badan
b. Mengetahui garis dasar gejala vital
c. Mengakaji kebanyakan cairan (udim pada pedis, periorbital,
distensi
d. vena leher kelainan bunyi nafas)
e. Pengkajian kelancaran masuk ke vaskular dan gejala infeksi
Bahan darah diambil untuk pemeriksaan kadar elektrolit dalam serum
dan produk sisa dan status fisik pasien dikaji.Harus diberitahukan kepada pasien
bahwa ia akan mengalami sedikit sakit kepala dan mual pada waktu
pengobatan dan beberapa jam sesudahnya. Sakit kepalaadalah dampak dari
perubahan cairan, asam dan basa, dan keseimbangan produk sisa selama dialisis.
Gejala-gejala tersebut tidak boleh parah dan harus menjadi kurang setelah istirahat
dan tidur, analgetik ringan atau anti piretik. Hipertensi postural bisa juuga terjadi
dialisis, sifatnya transit dan disebabkan oleh kekurangan volume sekunder
dampak dari pergeseran.hipotensi menyebabkan pusing dan kelenger. Dapat
disembuhkan dengan istirahat beberapa jam. Pasien harus diyakinkan bahwa
semua gejala tersebut adalah akan mereda, seringnya dipantau pada waktu
sedang dilakukan prosedur dapat mengendalikan tingkat perubahan yang
terjadi demikianjuga gejala-gejala tersebut. (Long, 1996)
g. Perawatan Pada Waktu Hemodialisa
Bila pada pasien dipasang shunt eksternal tidak akan timbul nyeri pada
permulaan dialise. Namun rasa nyeri sedikit akan tetap terasa bila sedang
dilakukan fungsi vena pada fistula arteriovena. Pada umumnya suka
dilakukan anesthesi dipusat-pusat dialise sebelum memasukan jarum.Asuhan
keperawatan terdiri dari peningkatan kenyamanana fisik. Berbaring tanpa
gerakan meskipun berlangsung beberapa jam dapat menimbulkan
ketidaktenangan. Pergantian posisi dapat memberi kesadaran kepada
keterbatasan gerakan.Pasien perlu berkumur bila mual dan muntah. Karena
ekstremitas atas dipertahankanimobilitas pada waktu dialisa pasien perlu
dibantu bila ada kegiatan yang dilakukan pakai kedua tangan.Aktifitas pada
waktu dialisis hanya merupakan pilihan dari pasien. Sementara orang terus tidur
selama pengobatan, yang lain membaca atau menegerjakan sesuatu.Makan sedang
dialise merupakan pilihan inddividu saja. Sementara orang bisa menjadi sangat
lapar, sedangkan yang lain jadi mual karena bau darah. Para pasien menghendaki
makan pada waktu dialise yang pada umumnya tidak diizinkan. Dalam praktek
yang baik mengizinkan atau memperbolehkan makan pada waktu dialise
adalah merupakan fisiologi masing-masing unit. Karena seringnya mual dan
muntah dan disequilibilibrium yang sering dialami pasien lebih baik untuk
tidak memperbolehkan makan pada waktu dialise agar dapat mencegah
aspirasi yang potensial (Long, 2008).
c. Pengukuran IDWG
IDWG merupakan indikator kepatuhan pasien terhadap pengaturan cairan. IDWG
diukur berdasarkan dry weight (berat badan kering) pasien dan juga dari
pengukuran kondisi klinis pasien. Berat badan kering adalah berat badan tanpa
kelebihan cairan yang terbentuk setelah tindakan hemodialisis atau berat terendah
yang aman dicapai pasien setelah dilakukan dialisis (Kallenbach, 2005). Berat
badan pasien ditimbang secara rutin sebelum dan sesudah hemodialisis. IDWG
diukur dengan cara menghitung berat badan pasien setelah (post) HD pada
periode hemodialisis pertama (pengukuran I). Periode hemodialisis kedua, berat
badan pasien ditimbang lagi sebelum (pre) HD (pengukuran II), selanjutnya
menghitung selisih antara pengukuran II dikurangi pengukuran I dibagi
pengukuran II dikalikan 100%. Misalnya BB pasien post HD ke 1 adalah 54 kg,
BB pasien pre HD ke 2 adalah 58 kg, prosentase IDWG (58 -54) : 58 x 100% =
6,8 % (Istanti, 2009).
3. Pathways
Infeksi bakteri (Escherichia Coli, Klebsiella-Enterobacter,
Pseudomonas Aerogenosa, Serratia, Entero Cocci,
Staphylococcus)
Produksi Hb turun
Sekresi protein terganggu Gangguan peristaltik ureter
Oksihemoglobin turun
Sindrom uremia Urokom Rusaknya lapisan glycoprotein mucin layer
tertimbun di
kulit Ketidakefektifan perfusi Suplai O2 turun Intoleransi
Gang. Keseimbangan jaringan perifer aktivitas
Membentuk koloni, menembus epitel
asam-basa
Gatal pada kulit
Payah jantung kiri Bendungan atrium
Prod.asam naik inflamasi
kiri naik
Resiko kerusakan
integritas kulit
Bakteri di saluran kemih naik ke ginjal
Nausea vomiting COP turun Tek.vena pulmonalis
Kelebihan vol.cairan
preload naik dan beban
jantung naik
2) Diagnosa Keperawatan
a) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluran urin dan
retensi cairan dan natrium
b) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan hipermetabolisme, nausea, vomitting, intake kurang
c) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk
sampah dan prosedur dialisis.
d) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan
suplai O2 dan nutrisi ke jaringan sekunder.
e) Kerusakan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi toksik
dalam kulit, gangguan turgor kulit atau uremia, pruritus.
3) Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional
Keperawatan
1. Kelebihan volume Setelah dilakukan 1. Terbebas dari Fluid management
cairan berhubungan tindakan keperawatan edema, efusi, 1. Ukur masukan dan haluaran, catat 1. Menunjukkan status
dengan penurunan selama 1x24 diharapkan anasarka keseimbangan positif (pemasukan volume sirkulasi,
haluaran urin, diet pasien menunjukkan 2. Bunyi nafas bersih, melebihi pengeluaran). Timbang terjadinya atau
berlebih, serta pengeluaran urin tepat tidak ada berat badan tiap hari, dan catat perbaikan
resistensi cairan dan dengan pemasukan dyspneu/orthopneu peningkatan lebih dari 0,5 kg/hari. perpindahan cairan,
natrium sekunder 3. Terbebas dari dan respon terhadap
terhadap penurunan NOC: distensi vena 2. Awasi tekanan darah dan CVP. terapi. Keseimbangan
fungsi ginjal 1. Electrolit and acid jugularis, reflek Catat JVD/Distensi vena. positif/peningkatan
base baance hepatojugular (+) berat badan sering
2. Fluid balance 4. Memelihara tekanan menunjukkan retensi
3. Hydration vena sentral, cairan lanjut.
tekanan kapiler Mengetahui
paru, output jantung pemasukan dan
dan vital sign alam pengeluaran dari
batas normal cairan.
5. Terbebas dari 2. Peningkatan tekanan
kelelahan, darah biasanya
kecemasan atau 3. Auskultasi paru, catat berhubungan dengan
kebingungan penurunan/tak adanya bunyi nafas kelebihan volume
6. Menjelaskan dan terjadinya bunyi tambahan cairan, mungkin tidak
indikator kelebihan (contoh krekels). terjadi karena
cairan perpindahan cairan
4. Awasi disritmia jantung. Auskultasi keluar area vaskuler.
bunyi jantung, catat terjadinya Distensi juguler
irama gallop S3/S4. eksternal dan vena
5. Kaji derajat perifer atau edema abdominal
dependen. sehubungan dengan
kongesti vaskuler.
3. Peningkatan kongesti
pulmonal
6. Kolaborasikan dengan tim medis mengakibatkan
pemberian diuretic (spironolakton konsolidasi, gangguan
(Aldakton); furosemid (lasix). pertukaran gas, dan
komplikasi, (contoh
edema paru).
4. Mungkin disebabkan
oleh GJK, penurunan
perfusi arteri koroner,
dan
ketidakseimbangan
elektrolit.
5. Perpindahan cairan
pada jaringan sebagai
akibat retensi natrium
dan air, penurunan
albumin, dan
penurunan ADH.
6. Digunakan dengan
perhatian untuk
mengontrol edema
dan asites.
Menghambat efek
aldosteron,
meningkatkan
ekskresi air sambil
menghemat kalium,
bila terapi konservatif
dengan tirah baring
dan pembatasan
natrium tidak
mengatasi.
2 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan 1. Adanya peningkatan Nutritional management
nutrisi: kurang dari tindakan keperawatan berat badan sesuai 1. Kaji status nutrisi. 1. Mengetahui status
kebutuhan tubuh selama 2x24 jam dengan tujuan nutrisi pasien.
berhubungan dengan diharapkan pasien 2. Berat badan ideal 2. Ukur masukan diet harian dengan 2. Memberikan
katabolisme protein, mempertahankan status sesuai dengan tinggi jumlah kalor. informasi tentang
pembatasan diet, nutrisi adekuat badan 3. Bantu dan dorong pasien untuk kebutuhan
perubahan membran 3. Mampu makan, jelaskan alasan tipe diet. pemasukan/defisiensi
mukosa mulut, NOC: mengidentifikasi Beri makan pasien bila pasien 3. Diet yang tepat
peningkatan 1. Nutritional status: food kebutuhan nutrisi mudah lelah atau biarkan orang penting untuk
metabolisme, and fluid intake 4. Tidak ada tanda- terdekat membantu pasien. penyembuhan. Pasien
anoreksia, mual dan 2. Nutritional status: tanda malnutrisi Pertimbangkan pemilihan makanan mungkin makan lebih
muntah nutrient intake 5. Menunjukkan yang disukai. baik bila keluarga
3. Weight control peningkatan fungsi 4. Berikan makanan sedikit tapi sering, terlibat dan makanan
pengecapan dari sajikan makanan kesukaan pasien yang disukai
menelan kecuali kontraindikasi. sebanyak mungkin.
6. Tidak terjadi
penurunan berat 4. Membantu
badan yang berarti meningkatkan nafsu
makan pasien,
5. Berikan makanan halus, hindari Buruknya toleransi
makanan kasar sesuai indikasi. terhadap makan
6. Timbang BB tiap hari. banyak mungkin
berhubungan dengan
peningkatan tekanan
intra-abdomen /asites.
7. Lakukan perawatan mulut, berikan 5. Perdarahan dari
penyegar mulut. varises esofagus dapat
terjadi pada serosis
8. Awasi pemeriksaan laboratorium berat.
(contoh: glukosa serum, albumin, 6. Membantu pasien
total protein, amonia). untuk mendapatkan
BB ideal/normal.
7. Kebersihan dan
kesegaran mulut
dapat meningkatkan
nafsu makan pasien.
8. Glukosa menurun
karena gangguan
glikogenesis,
penurunan simpanan
glikogen atau
masukan tak adekuat.
Protein menurun
karena gangguan
metabolisme,
penurunan sistesis
hepatik, atau
kehilangan ke rongga
peritoneal (asites).
Peningkatan kadar
amonia perlu
pembatasan masukan
protein untuk
mencegah komplikas
i serius.
5. Resiko kerusakan Setelah dilakukan 1. Integritas kulit yang NIC: 1. Mengetahui keadaan
intregitas kulit tindakan keperawatan baik bisa kulit pasien jika
berhubungan dengan selama 1x24 jam dipertahankan Pressure management mengalami kerusakan
akumulasi toksik 2. Melaporkan adanya integritas jaringan
diharapkan kerusakan 1. Inspeksi kulit terutama pada tulang-
dalam kulit, gangguan sensasi 2. Pasien merasa
gangguan turgor kulit integritas kulit tidak atau nyeri pada tulang yang menonjol dan titik-titik nyaman untuk
atau uremia, pruritus terjadi daerah kulit yang tekanan ketika merubah posisi keadaan tirah baring
mengalami pasien. yang lama
NOC: gangguan 2. Anjurkan pasien untuk 3. Meminimalkan resiko
3. Mampu melindungi menggunakan pakaian yang longgar kerusakan intergritas
Tissue integrity: skin and 3. Hindari kerutan pada tempat tidur
kulit dan kulit
mucous membranes mempertahankan 4. Jaga kebersihan kulit agar tetap 4. Kelembapan dan
kelembapan kulit bersih dan kering kebersihan kulit tetap
dan perawatan alami 5. Mobilisasi pasien (ubah posisi terjaga
pasien) setiap dua jam sekali 5. Tidak terjadi
6. Monitor kulit akan adanya komplikasi ulkus
kemerahan dekubitus akibat tirah
baring
6. Mengetahui kondisi
kulit pasien
DAFTAR PUSTAKA
Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi II. Jakarta: EGC
Johnson, M., et all. 2002. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River Mangunkusuma, Vidyapati W, 1988, Penanganan Cidera
Mata dan Aspek Sosial Kebutaan, Universitas Indonesia, Jakarta
NANDA. 2012. Diagnosis Keperawatan NANDA: Definisi dan Klasifikasi National Kidney
Foundation. 2002. Clinical Practice Guidelines for Chronic Kideny Disease:
Evaluation, Classification and Stratification. New York: National Kidney Foundation,
Inc.
Price, S. A., dan Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC
Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8 Volume 2. Jakarta: EGC.
Sudoyo A, et al. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI
Suwitra, K. 2006. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Syamsir, Alam dkk. 2007. Gagal Ginjal. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.