Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

CHF

A. Konsep Dasar Teori CHF

1. Pengertian

Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana jantung

mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel

tubuh akan nutrient dan oksigen secara adekuat (Udjianti Wajan Juni, 2011:153 ).

Beberapa definisi gagal jantung ditujukan pada kelainan primer dari sindrom

tersebut, yaitu keadaan ketika jantung tidak mampu mempertahankan sirkulasi yang

cukup bagi kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian vena dalam keadaan normal.

Namun beberapa definisi lain menyatakan bahwa gagal jantung bukanlah suatu

penyakit yang terbatas pada satu sistem organ melainkan suatu sindrom klinis akibat

kelainan jantung. Keadaan ini ditandai dengan suatu bentuk respon hemodinamika,

renal, neural dan hormonal yang nyata. Di samping itu, gagal jantung merupakan

suatu keadaan patologis dimana kelainan fungsi jantung menyebabkan kegagalan

jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan, atau hanya dapat

memenuhi kebutuhan jaringan dengan meningkatkan tekanan pengisian (Muttaqin

Arif, 2012).

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologi dimana jantung sebagai pompa tidak

mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan (Ruhyanudin Faqih,

2007).

2. Anatomi dan Fisiologi

1) Anatomi Kardiovaskuler

Jantung merupakan sebuah organ yang terdiri dari otot. Otot jantung

merupakan jaringan istimewa karena kalau dilihat dari bentuk dan susunannya

sama dengan otot serat lintang, tetapi cara bekerjanya menyerupai otot polos yaitu

di luar kemauan kita (dipengaruhi oleh susunan saraf otonom). Bentuk jantung
menyerupai jantung pisang, bagian atasnya tumpul (pangkal jantung) dan disebut

juga basis kordis. Di sebelah bawah agak runcing yang disebut apeks kordis.

Letak jantung di dalam rongga dada sebelah depan (kavum mediastinum

anterior), sebelah kiri bawah dari pertengahan rongga dada, di atas diafragma, dan

pangkalnya terdapat di belakang kiri antara kosta V dan VI dua jari di bawah

papilla mamae. Pada tempat ini teraba adanya denyutan jantung yang disebut

iktus kordis. Ukurannya lebih kurang sebesar genggaman tangan kanan dan

beratnya kira-kira 250-300 gram. Di antara dua lapisan jantung ini terdapat lender

sebagai pelicin untuk menjaga agar pergesekan antara pericardium pleura tidak

menimbulkan gangguan terhadap jantung. (Syaifuddin, 2003).


Jantung terdiri dari jaringan yang memiliki fungsi kontraksi. Dan hampir

separuh dari seluruh berat jantung, terdiri dari otot bergaris. Jika ia berkontraksi

dan berelaksasi, maka timbul perubahan-perubahan tekanan di dalam jantung dan

pembuluh darah, yang menyebabkan pengaliran darah di seluruh jaringan tubuh.

Otot jantung, merupakan jaringan sel-sel yang bersifat “Kontraktif” (pegas) dan

terdapat di dalam atrium maupun ventrikel, serta memiliki kemampuan

meneruskan rangsang listrik jantung secara mudah dan cepat di seluruh bagian

otot-otot jantung. Tiap sel otot jantung di pisahkan satu sama lain oleh

“intercalated discs” dan cabang-cabangnya membentuk suatu anyaman di dalam

jantung. “intercalated discs” inilah yang dapat mempercepat hantaran rangsang

listrik potensial di antara serabut-serabut sel otot-otot jantung. Proses demikian

itu terjadi karena “intercalated discs” memiliki tahanan aliran listrik potensial

yang lebih rendah dibandingkan bagian otot jantung lainnya. Dan keadaan inilah

yang mempermudah timbulnya mekanisme “Excitation” di semua bagian

jantung. Otot bergaris jantung tersusun sedemikian rupa, sehingga membentuk

ruang-ruang jantung dan menjadikan jantung sebagai “a globular muscular

organ”. Jaringan serabut elastisnya membentuk suatu lingkaran yang mengelilingi

katup-katup jantung. Otot-otot atrium umumnya tipis dan terdiri dari dua lapisan

yang berasal dari sudut sebelah kanan jantung, sedangkan otot ventrikelnya lebih
tebal dan terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan superficial, lapisan tengah dan

laipsan dalam. Ventrikel kiri memiliki dinding 2-3 kali lebih tebal daripada

dinding ventrikel kanan dan mendominasi bangunan dasar otot jnatung dalam

membentuk ruang-ruangnya. Ketiga lapisan otot jantung tersebut

berkesinambungan satu dengan lainnya, dengan lapisan superficial berlanjut

menjadi lapisan tengah dan lapisan dalam. Di dalam ventrikel, ketiga lapisan otot

jantung tersebut mengandung berkas-berkas serabut otot (Masud Ibnu, 2012).


2) Fisiologi Kardiovaskuler
Darah yang terdapat di dalam jantung selalu dipompa keluar secara

terus-menerus dan setelah melalui sistem vaskuler, darah kembali ke jantung.

Sistem vaskuler yang dilaluinya dapat berupa sistem sirkulasi paru dan sistem

sirkulasi umum. Pembuluh darah pada kedua sistem tersebut terdiri dari 1)

pembuluh darah nadi (arteri) yang mengalirkan darah dari jantung ke jaringan

sel-sel tubuh dan 2) pembuluh darah balik (vena) yang mengalirkan darah dari

jaringan sel-sel tubuh ke jantung.


Pada orang normal, darah yang masuk ke jantung melalui vena cava,

kemudian akan dipompa ke sistem sirkulasi paru. Dan setelah mengalami

oksigenasi di dalam jaringan sel-sel paru, kemudian darah kembali ke jantung

melalui pembuluh darah balik (vena pulmonalis).


Selanjutnya darah dipompa keluar dari jantung melalui bilik kiri ke

sistem sirkulasi umum menuju ke seluruh jaringan sel-sel tubuh.


Pada keadaan normal, jumlah darah yang dapat dipompa oleh jantung

sesuai dengan jumlah darah yang masuk kembali ke jantung, sebesar 5 liter per

menitnya dan dapat meningkat pada olahraga yang berat sampai dengan 25-35

liter per menit.


Sistem kardiovaskuler mengalirkan darah ke seluruh bagian tubuh dan

menyalurkan kembali ke jantung. Dengan jantung berkontraksi dan

berelaksasi, maka ia mampu mengalirkan darah di dalam sistem tersebut.

Perubahan-perubahan hemodinamik di dalam sistem tersebut menyebabkan

perubahan tekanan dan mengakibatkan terjadinya peristiwa aliran darah di

dalamnya.
Perpaduan antara perubahan tekanan dan keadaan sistem kardiovaskuler,

memungkinkan terjadinya hemodinamik di sepanjang sistem kardiovaskuler.


Dan darah dapat kembali ke jantung, karena adanya perbedaan tekanan

antara jantung kiri dengan antrium kanan, dengan tekanan atrium kanan

mendekati nol, sedangkan tekanan kapiler di jaringan tetap lebih tinggi,

sehingga memungkinkan darah dari jaringan sel tubuh melalui vena kembali

ke jantung.
Darah dipompa dari jantung kanan menuju jaringan paru untuk

mengambil oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida, kemudian kembali ke

jnatung melalui atrium kiri. Darah yang telah mengalami oksigenasi tersebut,

selanjutnya dipompa jantung ke sistem sirkulasi umum melalui aorta.

Kemudian aorta membagi aliran darah menuju ke cabang-cabang arteri dan

subarteri yang terdapat di dalam jaringan sel dan organ, yang arteriolanya

kemudian bercabang membentuk anyaman kapiler. Di bagian inilah terjadi

pertukaran gas O2 dan CO2, serta berdifusinya makanan, vitamin dan mineral

serta di lain pihak darah akan mengangkut kembali produk akhir metabolik

dari jaringan-jaringan sel ke tempat pembuangan. Dari kapiler, darah menuju

ke venula dan selanjutnya darah mengalir didalam sistem vena menuju ke

jantung. Aliran darah balik ini akan dipercepat kembali ke jantung oleh adanya

aktivitas pengisap jnatung dan pompa otot (Masud Ibnu, 2012).

3. Etiologi
Mekanisme fisiologi yang menyebabkan gagal jantung menurut (Ruhyanudin Faqih,

2007) mencakup keadaan-keadaan yang :


a. Meningkatkan preload : regurgitasi aorta, cacat septum ventrikel.
b. Meningkatkan afterload : stenosis aorta, hipertensi sistemik.
c. Menurunkan kontraktilitas ventrikel : IMA, kardiomiopati.
d. Gangguan pengisian ventrikel : stenosis katup atrioventrikuler, perikarditif

konstriktif, tamponade jantung.


e. Gangguan sirkulasi : aritmia melalui perubahan rangsangan listrik yang

memulai respon mekanis.


f. Infeksi sistemik/ infeksi paru : respon tubuh terhadap infeksi akan memaksa

jantung untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan metabolisme yang meningkat.


g. Emboli paru, yang secara mendadak akan meningkatkan resistensi terhadap

ejeksi ventrikel kanan.


4. Klasifikasi
Ada empat kategori utama yang diklasifikasikan menurut (Udjianti Wajan Juni,

2011), yaitu sebagai berikut :


a. Backward versus forward failure
Backward failure dikatakan sebagai akibat ventrikel tidak mampu memompa

volume darah keluar, menyebabkan darah terakumulasi dan meningkatkan

tekanan dalam ventrikel, atrium dan sistem vena balik untuk jantung sisi

kanan maupun jantung sisi kiri.

Tabel 2.1 : Manifestasi Klinis Pada Backward Failure

Kegagalan Ventrikel Kiri Kegagalan Ventrikel Kanan


1. Peningkatan volume dan 1. Peningkatan volume dalam
tekanan dalam ventrikel kiri vena sirkulasi
dan atrium kiri (preload) 2. Peningkatan tekanan atrium
2. Edema paru kanan (preload)
3. Hepatomegali dan
splenomegali
4. Edema perifer dependen

Forward failure adalah akibat ketidakmampuan jantung mempertahankan

curah jantung, yang kemudian menurunkan perfusi jaringan. Karena jantung

merupakan sistem tertutup, maka backward failure dan forward failure selalu

berhubungan satu sama lain.

Tabel 2.2 : Manifestasi Klinis Pada Forward Failure


Kegagalan Ventrikel Kiri Kegagalan Ventrikel Kanan
1. Penurunan curah jantung 1. Peningkatan volume darah
2. Penurunan perfusi jaringan 2. Penurunan volume darah ke paru
3. Peningkatan sekresi hormone renin,
aldosteron dan ADH
4. Peningkatan retensi garam dan air
5. Peningkatan volume cairan ekstraseluler

b. Low-output versus high-output syndrome


Low output syndrome terjadi bilamana jantung gagal sebagai pompa, yang

mengakibatkan gangguan sirkulasi perifer dan vasokontriksi perifer. Bila

curah jantung tetap normal atau di atas normal namun kebutuhan metabolic

tubuh tidak mencukupi, maka high-output syndrome terjadi. Hal ini mungkin

disebabkan oleh peningkatan kebutuhan metabolik, seperti tampak pada


hipertiroidisme, demam dan kehamilan atau mungkin dipicu oleh kondisi

hiperkinetik seperti fistula arteriovenous, beri-beri atau penyakit paget’s.


c. Kegagalan akut versus kroniK
Manifestasi klinis dari kegagalan jantung akut dan kronis tergantung pada

seberapa cepat sindrom berkembang. Gagal jantung akut merupakan hasil dari

kegagalan ventrikel kiri mungkin karena infark miokard, disfungsi katup, atau

krisis hipertensi. Kejadiannya berlangsung demikian cepat di mana

mekanisme kompensasi menjadi tidak efektif, kemudian berkembang menjadi

edema paru dan kolaps sirkulasi (syok kardiogenik).


Gagal jantung kronis berkembang dalam waktu yang relative cukup lama dan

biasanya merupakan hasil akhir dari suatu peningkatan ketidakmampuan

mekanisme kompensasi yang efektif. Biasanya gagal jantung kronis dapat

disebabkan oleh hipertensi, penyakit katup, atau penyakit paru obstruksi

kronis/ menahun.
d. Kegagalan ventrikel kanan versus ventrikel kirI
Kegagalan ventrikel kiri adalah merupakan frekuensi tersering dari dua

contoh kegagalan jantung dimana hanya satu sisi jantung yang dipengaruhi.

Secara tipikal disebabkan oleh penyakit hipertensi. Coronary Artery Disease

(CAD), dan penyakit katup jantung sisi kiri (mitral dan aorta). Kongesti

pulmoner dan edema paru biasanya merupakan gejala segera (onset) dari

gagal jantung kiri.


Gagal jantung kanan sering disebabkan oleh gagal jantung kiri, gangguan

katup trikuspidalis atau pulmonal. Hipertensi pulmoner juga mendukung

berkembangnya kegagalan jantung kanan, peningkatan kongesti atau

bendungan vena sistemik dan edema perifer.


Gagal jantung biasanya digolongkan menurut derajat atau beratnya seperti

klasifikasi gagal jantung kongestif menurut New York Heart Association

(NYHA).

5. Tanda dan Gejala


 Gagal jantung kiri : dispnoe, fatigue, ortopnea, dispnoe noktural paroksismal,

batuk, pembesaran jantung, gallop ritme, bunyi jantung tambahan S3/S4,

pernafasan chines stoke, takikardi, ronchi, congesti vena pulmonal.


 Gagal jantung kanan : Fatigue, edema, liver angorgement, anoreksia,

kembung, pembesaran jantung kanan, gallop ritme pada atrium kanan,

murmur, peningkatan tekanan vena jugularis, asites, hydrothorax, peningkatan

tekanan vena, hepatomegali dan pitting oedema (Ruhyanudin Faqih, 2007).

6. Patofisiologi
Bila reservesi jantung normal untuk berespons terhadap stress tidak adekuat untuk

memenuhi kebutuhan metabolic tubuh, maka jantung gagal untuk melakukan

tugasnya sebagai pompa, dan akibatnya terjadi gagal jantung. Demikian juga, pada

tingkat awal, disfungsi komponen pompa secara nyata dapat mnegakibatkan gagal

jantung. Jika reservasi jantung normal mengalami kepayahan dan kegagalan, respons

fisiologis tertentu pada penurunan cucrah jantung adalah penting. Semua respons ini

menunjukkan upaya tubuh untuk mempertahankan perfusi organ vital tetap normal.

Terdapat empat mekanisme respons primer terhadap gagal jantung meliputi :


1. Meningkatnya aktivitas adrenergic simpatis
Menurunnya volume sekuncup pada gagal jantung akan membangkitkan

respons simpatis kompensatoris. Meningkatnya aktivitas adrenergic simpatis

merangsang pengeluaran katekolamin dan saraf-saraf adrenergic jantung dan

medulla adrenal. Denyut jantung dan kekuatan kontraksi akan meningkat

untuk meningkatkan curah jantung. Arteri perifer juga melakukan

vasokontriksi untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume

darah dengan mengurangi aliran darah ke orgab-organ yang rendah

metabolismenya seperti kulit dan ginjal. Hal ini bertujuan agar perfusi ke

jantung dan otak dapat dipertahankan. Venokontriksi akan meningkatkan

aliran darah balik vena ke sisi kanan jantung, untuk selanjutnya menambah

kekuatan kontraksi sesuai dengan hokum starling.


Pada keadaan gagal jantung, baroresptor diaktivasi sehingga menyebabkan

peningkatan aktivitas simpatis pada jantung, ginjal dan pembuluh darah

perifer. Angiotensin II dapat meningkatkan aktivitas simpatis tersebut.


Aktivitas sistem saraf simpatis yang berlebihan menyebabkan peningkatan

kadar noradrenalin plasma, yang selanjutnya akan menyebabkan

vasokontriksi, takikardia, serta retensi garam dan air. Aktivitas simpatis yang
berlebihan juga dapat menyebabkan nekrosis sel otot jantung. Perubahan ini

dapat dihubungkan dengan observasi yang menunjukkan bahwa penyimpanan

norepinefrin pada miokardium mnejadi berkurang pada gagal jantung kronis.


2. Meningkatnya beban awal akibat aktivasi neurohormon
Aktivasi sistem rennin - angiotensin - aldosteron (RAA) menyebabkan retensi

natrium dan air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel dan regangan

serabut. Peningkatan beban awal ini akan menambah kontraktilitas

miokardium sesuai dengan hokum starling. Mekanisme pasti yang

mengakibatkna aktivasi sistem RAA pada gagal jantung masih belum jelas.

Sistem RAA bertujuan menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit yang

adekuat serta mempertahankan tekanan darah.


Renin adalah enzim yang disekresikan oleh sel-sel juxtaglomerulus, yang

terletak berbatasan dengan arteriol renal eferen dan bersebalahan dengan

macula densa pada tubulus distal. Renin merupakan enzim yang mengubah

angiotensinogen (sebagian besar berasal dari hati) angiotensin I.


Angiotensin converting enzyme (ACE) yang terikat pada membrane plasma

sel endotel akan memecah dua asam amino dan angiotensin I untuk

membentuk angiotensin II. Angiotensin II memiliki beberapa fungsi penting

untuk memelihara homeostasis sirkulasi, yaitu merangsang konstriksi arteriol

pada ginjal dan sirkulasi sistemis, serta mereabsorbsi natrium pada bagian

proksimal nefron.
Angiotensin II juga menstimulasi korteks adrenal untuk menskresi

akdosteron, yang akan merangsang reabsorbsi natrium (dalam pertukaran

dengan kalium) pada bagina distal dari nefron, serta di usus besar, kelenjar

saliva dan kelenjar keringat. Renin diskresikan pada keadaan menurunnya

tekanan darah, kekurangan natrium dan peningkatan aktivitas simpatis ginjal.


Angiotensin I sebagina besar kemudian diubah di paru-paru menjadi

angiotensin II, suatu zat presor yang poten, oleh angiotensin converting

enzyme (ACE). ACE juga dapat memecah bradikinin dan bekerja pada

sejumlah peptide lain. Angiotensin II dipecah secara cepat oleh enzim non-

spesifik yang disebut angiotensinase. Angiotenisn II memegang peran utama


dalam sistem RAA karena meningkatkan tekanan darah dengan beberapa cara

seperti vasokontriksi, retensi garam dan cairan dan takikardia.


Peptida natriretik atrial (PNA) disekresi oleh jantung kemudian masuk ke

dalam sirkulasi. Sekresinya terutama dipengaruhi oleh peningkatan tekanan

pada dinding atrium atau ventrikel, biasanya akibat peningkatan tekanan

pengisian atrium atau ventrikel. PNA menyebabkan dilatasi dari arteri yang

mengalami konstriksi akibat neurohormon lain serta meningkatkan ekskresi

garam dan air.


3. Hipertrofi ventrikel
Respon terhadap kagagaln jantung lainnya adalah hipertrofi ventrikel atau

bertembahnya ketebalan dinding ventrikel. Hipertrofi meningkatkan jumlah

sarkomer dalam sel-sel miokardium, bergantung pada jenis bebasn

hemodinamika yang mengakibatkna gagal jantung. Sarkomer dapat

bertambah secara parallel atau serial. Sebagai contoh, suatu beban tekanan

yang ditimbulkan oleh adanya stenosis aorta, akan disertai penambahan

ketebalan dinding tanpa penambahan ukuran runag di dalamnya. Respons

miokardium terhadap beban volume seperti pada regurgitasi aorta, ditandai

dengan dilatasi dan bertambahnya ketebalan dinding. Kombinasi ini diduga

merupakan akibat dari bartambahnya jumlah sarkomer yang tersusun secara

serial. Kedua pola hipertrofi ini dikenal sebagai hipertrofi konsentris dan

hipertrofi eksentris.
4. Volume cairan berlebih
Remodelling jantung terjadi agar dapat menghasilkan volume sekuncup yang

besar. Karena setiap sarkomer mempunyai jarak pemendekan puncak yang

terbatas, maka peningkatan volume sekuncup dicapai dengan peningkatan

kumlah sarkomer seri, yang akan menyebabkan peningkatan volume

ventrikel. Pelebaran ini membutuhkan ketegangan dinding yang lebih besar

agar dapat menimbulkan tekanan intraventrikel yang sama sehingga

membutuhkan peningkatan jumlah myofibril parallel. Sebagai akibatnya,

terjadi peningkatan ketebalan dinding ventrikel kiri. Jadi, volume cairan

berlebih menyebabkan pelebaran runag hipertrofi eksentrik.


Keempat respons ini adalah upaya untuk mempertahankan curah jantung.

Mekanisme-mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah

jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada gagal jantung dini dan

pada keadaan istirahat. Tetapi, kelainan pada kerja ventrikel dan menurunnya

curah jantung biasanya tampak pada saat beraktivitas. Dengan berlanjutnya

gagal jantung, maka kompensasi akan menjadi semakin kurang efektif

(Muttaqin Arif, 2012).

7. Penatalaksanaan
Pada tahap simtomatik dimana sindrom gagal jantung sudah terlihat jelas seperti

cepat capek atau fatigue, sesak nafas (dyspnea in effort, orthopnea), kardiomegali,

peningkatan tekanan vena jugularis, asites, hepatomegali dan oedema sudah jelas,

maka dengan diagnosis gagal jantung mudah di buat. Tetapi bila syndrome tersebut

belum terlihat jelas seperti pada tahap disfungsi ventrikel kiri/LV disfunction (tahap

asimtomatik), maka keluhan fatik dan keluhan di atas yang hilang timbul tidak khas,

sehingga harus di topang oleh pemeriksaan foto rontgen, echocardigrafi dan

pemeriksaan Brain Natriuretic Peptide.


Diuretik oral maupun parenteral tetap merupakan ujung tombal pengobatan gagal

jantung sampai edema atau asites hilang (tercapai euvolemik). ACE-inhibitor atau

Angiotensin Receptor Blocker (ARB) dosis kecil dapat dimulai setelah euvolemik

sampai dosis optimal. Penyekat beta dosis kecil sampai optimal dapat dimulai setelah

diuretic dan ACE-inhibitor tersebut diberikan.


Digitalis diberikan bila ada aritmia supra-ventrikuler (fibrilasi atrium atau SVT

lainnya) atau ketiga obat di atas belum memberikan hasil yang memuaskan.

Intoksikasi sangat mudah terjadi bila fungsi ginjal menurun (ureum/kreatinin

meningkat) atau kadar kalium rendah (kurang dari 3,5 meq/L).


Aldosteron antagonis di pakai untuk memperkuat efek diuretic atau pada pasien

hipokalemia, dan ada beberapa studi yang menunjukkan penurunan mortalitas dengan

pemberian jenis obat ini. Pemakaian obat dengan efek diuretic-vasodilatasi seperti

Brain N Atriuretic Peptide (Nesiritide) masih dalam penellitian. Pemakaian alat bantu

seperti Cardiac Resychronization Therapy (CRT) maupun pembedahan, pemasangan

ICD (Intra Cardiac Defibrillator) sebagai alat mencegah mati mendadak pada gagal
jantung akibat iskemia maupun non-iskemia. Dapat memperbaiki status fungsional

dan kualitas hidup, namun mahal. Transplantasi sel dan stimulasi degenerasi

miokard, masih terkendala dengan masih minimalnya jumlah miokard yang dapat

ditumbuhkan untuk mengganti miokard yang rusak dan masih memerlukan penelitian

lanjut (Sudoyo Ary W., 2007).

8. Komplikasi

Menurut patric davay (2005), komplikasi gagal jantung kongestif adalah sebagai

berikut :
1. Efusi pleura
Di hasilkan dari peningkatan tekanan kapiler. Transudasi cairan terjadi dari

kapiler masuk ke dalam ruang pleura. Efusi pleura biasanya terjadi pada lobus

bawah darah.
2. Aritmia
Pasien dengan gagal jntung kongestif mempunyai risiko untuk mengalami

aritmia, biasanya disebabkan karena tachiaritmias ventrikuler yang akhirnya

menyebabkan kematian mendadak.


3. Trombus ventrikuler kiri
Pada gagal jntung kongestif akut dan kronik, pembesaran ventrikel kiri dan

penurunan kardiac output beradaptasi terhadap adanya pembentukan

thrombus pada ventrikel kiri. Ketika thrombus terbentuk, maka mengurangi

kontraktilitas dari ventrikel kiri, penurunan suplai oksigen dan lebih jauh

gangguan perfusi. Pembentukan emboli dari thrombus dapat terjadi dan dapat

disebabkan dari Cerebrivaskular accident (CVA).


4. Hepatomegali
Karena lobus hati mengalami kongestif dengan darah vena sehingga

menyebabkan perubahan fungsi hati. Kematian sel hati, terjadi fibrosis dan

akhirnya sirosis.

9. Pemeriksaan Penunjang
a. Electrocardiography (ECG) : didapatkan gambaran perpanjangan interval QRS

karena perubahan massa otot ventrikel yang akan meningkatkan lama aktivitas

ventrikel. Meningginya gelombang R karena peningkatan massa otot jantung

yang dilalui potensial listrik. Adanya massa otot yang semakin menebal maka

kesempatan repolarisasi akan diberikan pada endocardium terlebih dahulu.


Keadaan ini akan mengakibatkan gambaran RS – T mengalami depresi dan

gelombang T terbalik pada sadapan 5 dan 6. Pada sadapan 1 dan 2 tampak adanya

gambaran gelombang S yang sangat dalam dan didapatkan R yang meninggi

melebihi 20 mm.
b. Sonogram (echocardiogram) dapat menunjukkan dimensi pembesaran ventrikel,

perubahan dalam fungsi/ struktur katup atau area penurunan kontraktilitan

ventrikuler.
c. Kateterisasi jantung : tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu

membedakan gagal jantung kanan maupun kiri dan stenosis katup maupun

insufisiensi. Juga mengkaji patensi arteri koroner. Zat kontras yang disuntikkan

kedalam ventrikel menunjukkan ukuran abnormal dan ejeksi fraksi/ perubahan

kontraktilitas.
d. X-ray Thoraks : ditemukan adanya pembesaran jantung yang disertai adanya

pembendungan cairan di paru karena hipertensi pulmonal. Tempat adanya

infiltrate precordial kedua paru dan efusi pleura.


e. Laboratorium secara umum dapat ditemukan penurunan Hb dan hematokrit

karena adanya hemodilusi. Jumlah leukosit meningkat, bila sangat meninggi

mungkin disebabkan oleh adanya infeksi endokarditis yang akan memperberat

jantung. Keadaan asam basa tergantung pada keadaan metabolism, masukan

kalori, keadaan paru dan fungsi ginjal. Kadar natrium darah sedikit menurun

walaupun kadar natrium total bertambah. Berat jenis urine meningkat. Enzim

hepar mungkin meningkat dalam kongesti hepar. Gagal ventrikel kiri ditandai

dengan alkalosis respiratorik ringan atau hipoksia dengan peningkatan pCO2.

BUN dan kreatinin menunjukkan penurunan perfusi ginjal. Albumin/ transferin

serum mungkin menurun sebagai akibat penurunan masukan protein atau

penurunan sintesis protein dalam hepar yang mengalami kongesti. Kecepatan

sedimentasi menunjukkan adanya inflamasi akut.


f. Ultrasonography (USG) : didapatkan gambaran cairan bebas dalam rongga

abdomen dan gambaran pembesaran hepar dan lien. Pembesaran hepar dan lien

kadang sulit diperiksa secara manual saat disertai asites (Doenges Marilyn E.,

dkk., 2000).

Anda mungkin juga menyukai