Anda di halaman 1dari 17

HUBUNGAN PERILAKU HIGIENE DAN RIWAYAT VAKSINASI BCG DENGAN KEJADIAN

TB PARU PADA ANAK DI POLIKLINIK ANAK RSUD ULIN BANJARMASIN


TAHUN 2017

MANUSKRIP

Oleh :
SRI MUSTIKA INTANNIA
NPM. 13142011024

UNIVERSITAS MUAHMMADIYAH BANJARMASIN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S.1 KEPERAWATAN
BANJARMASIN, 2017
HUBUNGAN PERILAKU HIGIENE DAN RIWAYAT VAKSINASI BCG DENGAN KEJADIAN
TB PARU PADA ANAK DI POLIKLINIK ANAK RSUD ULIN BANJARMASIN
TAHUN 2017

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan


Pada Program Studi S1 Keperawatan

Oleh :
SRI MUSTIKA INTANNIA
NPM. 13142011024

UNIVERSITAS MUAHMMADIYAH BANJARMASIN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI S.1 KEPERAWATAN
BANJARMASIN, 2017

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Manuskrip ini dengan judul Hubungan Perilaku Higiene dan Riwayat Vaksinasi BCG dengan Kejadian TB
Paru pada Anak di Poliklinik Anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2017 oleh Sri Mustika Intannia, NPM.
13142011024 telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing Skripsi Program Studi S.1 Keperawatan Fakultas
Ilmu Keperawatan dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Banjarmasin

Banjarmasin, Juli 2017

Pembimbing I

Evy Noor Hasanah, Ns.,M.Imun


NIK.054.008.005

Pembimbing 2

Mahpolah, M.Kes

Mengetahui,
Kaprodi S.1 Keperawatan

Hj. Ruslinawati, Ns.,M.Kep


NIK. 033.002.002

iii
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN SIKAP IBU PADA PEMBERIAN
IMUNISASI DASAR PADA BAYI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
RANTAU BADAUH KABUPATEN BARITO KUALA
TAHUN 2017

Sri Mustika Intannia*, Evy Noor Hasanah**, Mahpolah***

Program Studi S.1 Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Banjarmasin

Email: srimustikaintannia@gmail.com

Abstrak

Salah satu penyakit menular langsung yang menjadi perhatian global adalah penyakit tuberkulosis paru.
Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri berbentuk batang yaitu
Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit tuberkulosis paru sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di dunia dan di Indonesia. Salah satu faktor perilaku higiene orang tua yang tidak menjaga
kebersihan dirinya dan juga lingkungannya seperti tidak mencuci tangan anak dengan sabun, tidak menutup
makanan dan minuman yang akan disajikan pada anak dapat menjadi media penularan TB paru pada anak,
faktor lainnya adalah pemberian vaksinasi BCG, anak yang tidak diberikan vaksinasi BCG akan rentan tertular
TB paru karena tubuh tidak memiliki kekebalan terhadap kuman TB akibat dari tidak ada rangsangan
pembentukan imun dari vaksin BCG.
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan perilaku higiene dan riwayat vaksinasi BCG dengan kejadian
TB paru pada anak di Poliklinik Anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2017.
Penelitian survei analitik dengan rancangan case control. Populasi seluruh anak berusia 7-48 bulan yang
tercatat rutin berkunjung di Poliklinik Anak RSUD Ulin berdasarkan data pada bulan Nopember-Desember
2016 berjumlah 108 orang terdiri dari 29 anak penderita TB paru dan 79 anak bukan penderita TB paru. Sampel
penelitian adalah sebagian populasi terdiri dari sampel kasus berjumlah 27 orang dan sampel berjumlah 27
orang, teknik sampling untuk sampel kasus accidental sampling dan untuk sampel kontrol purposive sampling.
Instrumen penelitian berupa kuesioner. Hasil penelitian menggunakan uji chi-square dengan α = 0,05.
Hasil penelitian perilaku higiene (75,9%) baik, Riwayat vaksinasi BCG (72,2%) divaksinasi, uji chi-square
ada hubungan perilaku higiene dengan kejadian TB paru (p=0,026) dan ada hubungan riwayat vaksinasi BCG
dengan kejadian TB paru pada anak (p=0,033).
Kesimpulan sebagian besar perilaku higiene baik, sebagian besar riwayat vaksinasi BCG anak divaksinasi, ada
hubungan yang signifikan antara perilaku higiene dan riwayat vaksinasi BCG di Poliklinik Anak RSUD Ulin
Banjarmasin.

Kata Kunci : Perilaku higiene, riwayat vaksinasi BCG, kejadian TB paru

1. Pendahuluan
Pembangunan kesehatan diselenggarakan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Tingginya
disparitas dan perlunya percepatan peningkatan aksesibilitas pelayanan kesehatan menuntut adanya
dukungan sumber daya yang cukup serta arah kebijakan dan strategi pembangunan kesehatan yang tepat,
sehingga dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat juga diperlukan upaya kuratif dan
rehabilitatif selain upaya promotif dan preventif untuk pengendalian penyakit (Kemenkes RI, 2015).

Pengendalian penyakit adalah upaya penurunan insidens, prevalens, morbiditas atau mortalitas dari suatu
penyakit hingga level yang dapat diterima secara lokal. Angka kesakitan dan kematian penyakit merupakan
indikator dalam menilai derajat kesehatan suatu masyarakat. Pengendalian penyakit penyakit menular,
meliputi penyakit menular langsung, penyakit yang dapat dikendalikan dengan perilaku, imunisasi dan
penyakit yang ditularkan melalui vektor dan zoonosis (Kemenkes, RI, 2015).

Salah satu penyakit menular langsung yang menjadi perhatian global yang dapat dikendalikan dengan
perilaku dan imunisasi adalah penyakit tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang
1
disebabkan oleh bakteri berbentuk batang yaitu Mycobacterium Tuberculosis. Penyakit tuberkulosis (TB)
paru sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia dan di Indonesia. Prevalensi
TB paru dari tahun ke tahun masih tetap tinggi meskipun strategi penanganan terus diupayakan dan
ditingkatkan untuk upaya penurunan angka kesakitan dan kematian akibat tertular penyakit tuberkulosis
paru. Penyakit ini dapat menular dari orang ke orang melalui droplet dari orang yang terinfeksi tuberkulosis
paru. Penderita tuberkulosis berdasarkan data WHO diperkirakan masih menyerang 9,6 juta orang dan
menyebabkan 1,2 juta kematian pada tahun 2014. India, Indonesia dan China merupakan negara dengan
penderita tuberkulosis terbanyak yaitu berturut-turut 23%, 10% dan 10% dari seluruh penderita di dunia,
kondisi ini meningkat jika sebelumnya pada tahun 2011 menempati urutan keempat pada tahun 2014
menjadi urutan yang kedua (Kemenkes RI, 2015).

Kasus TB paru di Indonesia seperti yang dipublikasikan dalam Profil Kesehatan Indonesia pada tahun 2014
dengan BTA+ ditemukan sebanyak 176.677 kasus, menurun bila dibandingkan kasus baru BTA+ yang
ditemukan tahun 2013 yang sebesar 196.310 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di
provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus baru
BTA+ di tiga provinsi tersebut sebesar 40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia. Adapun angka
kejadian kasus TB paru BTA+ baru di Kalimantan Selatan sebesar 82 per 100.000 penduduk, merupakan
urutan tertinggi ke-14 dari 34 Provinsi di Indonesia, angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan angka
kasus TB paru BTA+ baru di Kalimantan Barat sebesar 94/100.000 penduduk dan lebih tinggi dari
Kalimantan Tengah sebesar 66/100.000 penduduk, Kalimantan Utara sebesar 62/100.000 penduduk dan
Kalimantan Timur sebesar 47/100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2015).

Seluruh Penderita TB Paru berdasarkan kelompok umur di Indonesia tahun 2014 adalah sebagai berikut;
kelompok umur 0-14 sebesar tahun 0,66%, kelompok umur 15-24 tahun sebesar 15,49%, kelompok umur
25-34 sebesar 20,76%, kelompok umur 35-44 sebesar 19,54%, kelompok umur 45-54 sebesar 19,57%,
kelompok umur 55-64 sebesar 15,95% dan kelompok umur ≥ 65 sebesar 8,33% (Kemenkes RI, 2015).

Penderita TB paru di Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2014 hingga tahun 2015 berdasarkan
kelompok umur ada yang mengalami penurunan dan ada juga yang mengalami peningkatan, walapun secara
umum mengalami penurunan karena kesembuhan dan juga kematian. Persentasi kelompok umur 0-14 tahun
pada tahun 2014 sebesar 2,57% meningkat menjadi 3,88% pada tahun 2015, kelompok umur 15-24 tahun
pada tahun 2014 sebesar 15,43% meningkat menjadi 15,95% pada tahun 2015, kelompok umur 25-34 tahun
pada tahun 2014 sebesar 17,19% meningkat menjadi 17,20% pada tahun 2015, kelompok umur 35-44 tahun
pada tahun 2014 sebesar 21,52% menurun menjadi 20,11% pada tahun 2015, kelompok umur 45-54 tahun
pada tahun 2014 sebesar 20,57% menurun menjadi 19,56% pada tahun 2015, kelompok umur 55-64 tahun
pada tahun 2014 sebesar 14,21% meningkat menjadi 15,67% pada tahun 2015 dan kelompok umur >65
tahun pada tahun 2014 sebesar 8,53% meningkat menjadi 7,63% pada tahun 2015. Berdasarkan data
tersebut terlihat kelompok umur 0-14 tahun (anak) merupakan kelompok umur yang mengalami
peningkatan dengan peningkatan sebesar 1,33% lebih rendah dari kelompok umur 55-64 tahun yakni
sebesar 1,64% dan lebih tinggi dari kelompok umur 15-24 tahun sebesar 0,52% dan kelompok umur 25-34
tahun sebesar 0,01% (Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, 2016).

Kejadian TB paru pada anak yang tidak segera ditanggulangi dapat berakibat malnutrisi, keadaan
imunokompromais, penurunan kualitas hidup seperti kecacatan yang jangka panjangnya dapat berakibat
pada masalah sosial ekonomi dan bahkan kematian pada anak, untuk itu penanggulangan serius dan
pencegahan penularan TB paru pada anak secara nasional di seluruh unit pelayanan kesehatan terutama
puskesmas dan rumah sakit (Wiharsini, 2012).

Penyakit TB paru pada anak yang tidak diobati dapat berakibat fatal, WHO merilis dari 15 ribu anak yang
terinfeksi TB paru setiap tahunnya di 33 negara berkembang, sebanyak seribu anak meninggal dunia.
Berdasarkan data 23% miningitis yang terjadi pada anak disebabkan oleh komplikasi TB paru, 19% arthritis
yang terjadi pada anak juga disebabkan oleh TB paru dan yang terbesar gizi buruk yang dialami anak 65%
disebabkan oleh TB paru (Kemenkes RI, 2013).

Terjadinya kasus TB dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, status gizi dan kebersihan diri individu dan
kepadatan hunian lingkungan tempat tinggal. TB juga mudah menular pada mereka yang tinggal di

2
perumahan padat, kurang sinar matahari dan sirkulasi udaranya buruk/pengap, namun jika ada cukup
cahaya dan sirkulasi, maka kuman TB hanya bisa bertahan selama 1-2 jam (Manalu, 2016).

Kelompok rentan yang dapat tertular TB paru adalah anak-anak. Angka penularan yang tinggi pada daerah
endemik tuberkulosis disebabkan oleh densitas kasus yang tinggi dan tingginya keterlambatan diagnostik.
Karena tuberkulosis pada anak menggambarkan adanya penularan yang terus berlangsung, anak sering
terkena TB pada daerah dimana epidemik orang dewasa sulit dikontrol (Susanto et al, 2012).

Faktor-faktor penyebab kejadian TB anak antara lain kontak dengan penderita TB dewasa, status gizi yang
kurang, tidak mendapatkan vaksinasi BCG sehingga anak tidak mendapat imunitas terhadap kuman BCG
apabila terpapar, tidak mendapatkan ASI secara eksklusif, perilaku higiene orang tua yang tidak menjaga
kebersihan dirinya dan juga lingkungannya sehingga dapat menjadi media penularan TB paru pada anak
(Kemenkes RI, 2013).

Higiene menurut Narida (2014) mencakup higiene perorangan, higiene makanan dan higiene lingkungan,
adapun perilaku higiene antara lain: tidak merokok, selalu mencuci tangan sebelum makan dan setelah
keluar dari kamar kecil, selalu memakai pakaian yang bersih, tidak meludah atau membuang ingus
sembarangan, selalu menutup mulut dan hidung pada waktu batuk atau bersin, sedapat mungkin batuk dan
bersin tidak di dekat makanan, sedapat mungkin tidak sering menyentuh bagian tubuh misalnya mulut,
hidung, telinga atau menggaruk bagian-bagian tubuh pada waktu menangani makanan, pada waktu
memegang gelas minum pun dilarang untuk menyentuh bibir gelas.

Perilaku higiene tersebut di atas apabila dilakukan maka dapat mencegah terjadinya penularan TB paru
kepada orang lain terutama anak-anak yang memiliki daya tahan tubuh masih rendah. Wenas (2012) dalam
penelitiannya yang berjudul hubungan perilaku dengan kejadian penyakit TB Paru di Desa Wori Kecamatan
Wori Kabupaten Minahasa Utara menemukan hubungan yang signifikan antara perilaku dengan kejadian
penyakit TB Paru. Perilaku orang tua yang meludah dan bersin sembarangan akan menyebabkan
kemungkinan menyebarkan kuman TB yang dapat hidup diudara selama beberpa jam yang kemudian
masuk ke dalam saluran pernafasan anak sehingga anak akan tertular penyakit TB paru.

Sebenarnya penyebaran TB paru pada anak dapat dicegah dengan pemberian imunisasi BCG. Imunisasi
adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan kekebalan (imunitas) pada bayi atau anak
sehingga terhindar dari penyakit. Imunisasi juga merupakan upaya pencegahan primer yang sangat efektif
untuk menghindari terjangkitnya penyakit infeksi. Dengan demikian, angka kejadian penyakit infeksi akan
menurun, kecacatan serta kematian yang ditimbulkannya pun akan berkurang, adapun imunisasi BCG
adalah imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit TBC.Vaksin BCG merupakan
vaksin yang mengandung kuman TBC yang telah dilemahkan (Susanto et al, 2012).

Pemberian vaksinasi BCG pada balita akan membentuk memori untuk pertahanan apabila ada paparan
kuman tuberkulosis yang masuk ke dalam melalui droplet sehingga anak dapat terhindar dari penularan,
karena vaksin BCG mengandung kuman TBC yang telah dilemahkan, Nova et al (2012) dalam
penelitiannya menemukan hubunngan yang signifikan antara status imunisasi BCG dengan kejadian
tuberkulosis paru pada anak balita.

Rumah Sakit Umum Daerah Ulin Banjarmasin merupakan rumah sakit pusat rujukan di Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, yang juga melayani pasien TB paru baik dewasa
maupun anak. Berdasarkan data rekam medik RSUD Ulin jumlah penderita paru yang berkunjung pada
tahun 2015 berjumlah 254 orang yang terdiri dari 176 pasien yang berjenis kelamin laki-laki dan 78 orang
berjenis kelamin perempuan. Meningkat pada tahun 2016 menjadi sebanyak 308 orang dimana 54 orang
diantaranya adalah penderita TB paru anak (RSUD Ulin Banjarmasin, 2017).

Hasil studi pendahuluan dengan cara wawancara tentang perilaku higiene yang penulis lakukan di
Poliklinik Anak RSUD Ulin pada tanggal 19-23 Desember 2016 terhadap 15 ibu yang membawa anak
menderita TB paru didapatkan hasil sebanyak 9 orang ibu menyatakan selalu cuci tangannya dan anaknya
dengan sabun setelah buang air besar dan 6 orang ibu menyatakan kadang-kadang cuci tangan dengan sabun
setelah buang air besar, wawancara lebih lanjut terkait kebiasaan batuk dan bersin, ibu seluruhnya
menyatakan batuk kadang menutup mulut kadang tidak, adapun terkait kebersihan lingkungan seluruh ibu

3
menyatakan tidak memiliki tempat sampah khusus, sampah dimasukkan ke dalam kantong plastik
kemudian diambil oleh petugas sampah.

Hasil wawancara kepada ibu terkait riwayat vaksinasi BCG pada anak sebanyak 10 orang ibu menyatakan
bahwa anaknya telah diberi imunisasi BCG pada waktu berusia 2 bulan sedangkan sebanyak 5 orang ibu
menyatakan bahwa telah lupa apakah anaknya sudah diberikan vaksinasi BCG atau belum. Berdasarkan
uraian tersebut di atas peneliti merasa perlu untuk melihat lebih jauh perilaku higiene dan riwayat vaksin
BCG kaitannya dengan kejadian TB paru pada anak dan merasa perlu untuk melakukan penelitian dan
menulisnya dala skripsi dengan judul “Hubungan Perilaku Higiene dan Riwayat Vaksinasi BCG dengan
Kejadian TB Paru pada Anak di Poliklinik Anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2017”.

2. Metode Penelitian

2.1 Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini adalah survei analitik, dengan menggunakan rancangan case control.

2.2 Populasi dan Sampel


2.2.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh seluruh anak berusia 7-48 bulan yang tercatat rutin
berkunjung di Poliklinik Anak RSUD Ulin berdasarkan data pada bulan Nopember-Desember
2016 berjumlah 108 orang terdiri dari 29 penderita TB paru dan 79 anak bukan penderita TB
paru.
2.2.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini terdiri dari sampel kasus dan sampel kontrol dengan perbandingan
1:1. Sampel kasus adalah sebagian penderita TB paru anak berusia 7-48 bulan. Teknik
pengambilan sampel untuk sampel kasus adalah accidental sampling berjumlah 27 orang.
Sampel kontrol adalah sebagian anak berusia >6-48 bulan yang datang ke Poliklinik Anak untuk
berobat berjumlah 27 orang sebagai pembanding sampel kasus. Teknik pengambilan sampel
untuk sampel kontrol dilakukan secara purposive sampling

3. Hasil Penelitian

Hasil penelitian mencakup analisis univariat, analisis bivariat dan pembahasan.


3.1 Analisis Univariat
3.1.1 Perilaku Higiene
Tabel 3.1 Distribusi Frekuensi Perilaku Higiene Ibu di Poliklinik Anak RSUD Ulin
Banjarmasin Tahun 2017
No Perilaku Higiene f %
1 Kurang 13 24,1
2 Baik 41 75,9
Jumlah Jumlah 54

Berdasarkan tabel 3.1 diketahui bahwa dari ibu yang berjumlah sebanyak 54 orang sebagian
besar perilaku higiene baik, yaitu sebanyak 41 orang (75,9%).

3.1.2 Riwayat Vaksinasi BCG

Tabel 3.2 Distribusi Frekuensi Riwayat Vaksinasi BCG pada Anak di Poliklinik Anak
RSUD Ulin Banjarmasin Tahun 2017
No Riwayat Vaksinsi BCG f %
1 Tidak Divaksinasi 15 27,8
2 Divaksinasi 39 72,2
Jumlah Jumlah 54

4
Berdasarkan tabel 3.2 diketahui bahwa dari ibu yang berjumlah sebanyak 54 orang sebagian
besar menyatakan anak divaksinasi BCG, yaitu sebanyak 39 orang (72,2%).

3.1.3 Kejadian TB Paru pada Anak

Tabel 3.3 Distribusi Frekuensi Kejadian TB Paru pada Anak di Poliklinik Anak RSUD
Ulin Banjarmasin Tahun 2017
No Kejadian TB Paru f %
1 Menderita TB Paru 27 50
2 Tidak Menderita TB Paru 27 50
Jumlah Jumlah 54

Berdasarkan tabel 3.3 diketahui bahwa dari sebanyak 54 ibu didapatkan sebanyak 27 orang
(50%) menderita TB paru sebanyak 27 orang tidak menderita TB paru. Jumlah anak yang
menderita TB paru dengan yang tidak menderita TB paru berimbang, kondisi ini disebabkan
karena peneliti mengambil ibu anak yang tidak menderita TB paru sebagai sampel kontrol
sebanyak 27 orang.

3.2 Analisis Bivariat


3.2.1 Hubungan Perilaku Higiene dengan Kejadian TB Paru pada Anak di Poliklinik Anak RSUD
Ulin Banjarmasin tahun 2017

Tabel 3.4 Hubungan Perilaku Higiene dengan Kejadian TB Paru pada Anak di
Poliklinik Anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2017

Kejadian TB Paru
Kejadian TB
Menderita TB Menderita TB Paru
No Perilaku Higiene Paru Paru
f % f % f %
1 Kurang 10 37 3 11,1 13 24,1
2 Baik 17 63 24 88,9 41 75,9
Jumlah 27 100 27 100 54 100
p= 0,026 < 0,05 OR : 4,706

Berdasarkan tabel 3.4 diketahui bahwa dari ibu yang anaknya menderita TB paru berjumlah 27
orang sebagian besar perilaku higiene baik yaitu sebanyak 17 orang (63%), demikian juga dari
27 ibu yang anaknya tidak menderita TB paru sebagian besar perilaku higiene baik yaitu
sebanyak 24 orang (88,9%). Selisih angka persentasi anak yang tidak menderita TB paru dengan
anak yang menderita TB paru cukup besar, ini menunjukkan bahwa persentasi perilaku higiene
baik pada ibu yang anaknya tidak menderita TB paru dengan ibu yang anaknya menderita TB
paru tidak berimbang.

Berdasarkan hasil uji chi-square, ternyata p= 0,026 lebih kecil dari α= 0,05, berarti didapatkan
hubungan antara perilaku higiene dengan kejadian TB paru di Poliklinik Anak RSUD Ulin
Banjarmasin tahun 2017.

Analisis berdasarkan nilai odds ratio (OR) yang didapatkan, yaitu 4,706 (CI 95% 1,124-19,704
tidak melewati angka 1), maka secara statistik signifikan dan diyakini bahwa 95% ibu yang
memiliki perilaku higiene kurang, berisiko 4,7 kali, anaknya tertular/mengalami kejadian TB
paru dibandingkan dengan ibu yang memiliki perilaku higiene baik.

3.2.2 Hubungan Riwayat Vaksinasi BCG dengan Kejadian TB Paru pada Anak di Poliklinik Anak
RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2017

5
Tabel 3.5 Hubungan Riwayat Vaksinasi BCG dengan Kejadian TB Paru pada Anak di
Poliklinik Anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2017

Kejadian TB Paru
Menderita TB Tidak Menderita Jumlah
No Vaksinasi BCG Paru TB Paru
f % f % f %
1 Tidak Divaksinasi 11 40,7 4 14,8 15 27,8
2 Divaksinasi 16 59,3 23 85,2 39 72,2
Jumlah 27 100 27 100 54 100
p= 0,033 α = 0,05 OR : 3.953

Berdasarkan tabel 3.5 diketahui bahwa dari ibu yang anaknya menderita TB paru berjumlah 27
orang lebih dari setengah anaknya divaksinasi BCG yaitu sebanyak 16 orang (59,3%),
sedangkan dari 27 ibu yang anaknya tidak menderita TB paru sebagian besar yaitu sebanyak 23
orang (85,2%). Selisih angka persentasi anak yang menderita TB paru dengan anak yang tidak
menderita TB paru cukup besar, ini menunjukkan bahwa persentasi anak yang divaksinasi BCG
pada ibu yang anaknya menderita TB paru dengan ibu yang anaknya tidak menderita TB paru
tidak berimbang.

Hasil analisis uji chi-square H0 ditolak dengan nilai p=0,033, yang berarti ada hubungan yang
signifikan antara riwayat vaksinasi BCG dengan kejadian TB paru di Poliklinik Anak RSUD
Ulin Banjarmasin.

Analisis berdasarkan nilai odds ratio (OR) yang didapatkan, yaitu 3.953 (CI 95% 1,066-14,654
tidak melewati angka 1), maka secara statistik signifikan dan diyakini bahwa 95% anak yang
tidak divaksinasi BCG, berisiko 3,9 kali tertular/mengalami kejadian TB paru dibandingkan
dengan anak yang divaksinasi BCG.

4. Pembahasan
4.1 Perilaku Higiene di Poliklinik Anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2017

Perilaku higiene merupakan segala kegiatan atau aktivitas seseorang/individu dalam memelihara dan
menjaga kebersihan diri dan lingkungannya agar dapat meningkatkan kesehatan diri dan
lingkungannya. Perilaku higiene dalam penelitian ini berupa kebersihan tangan (cuci tangan anak
dengan sabun setelah bepergian), memotong kuku, kegiatan anak mandi minimal dua kali dalam
sehari, kegiatan anak keramas minimal seminggu dua kali, kegiatan anak rutin menggosok gigi
minimal dua kali sehari, perilaku anak menutup mulut disaat batuk/bersin, tangan anak selalu dicuci
dengan sabun sebelum makan, sebelum tidur malam hari anak mencuci tangan, kaki dan gosok gigi,
pakaian anak selalu diganti setelah digunakan bepergian keluar rumah, kebersihan pakaian anak dicuci
dengan deterjen dan dijemur ditempat yang langsung kena sinar matahari, makanan dan minuman anak
di meja selalu dalam kondisi tertutup, menjemur alat-alat tidur anak seperti kasur dan bantal minimal
sekali seminggu, peralatan makan anak selalu dicuci setelah digunakan dan disimpan di dalam tempat
tertutup, mainan yang bisa dimainkan anak secara rutin dibersihkan setiap hari, disaat kondisi anak
tidak fit (misalnya sedang sakit batuk atau pilek) ibu sementara tidak mengijinkannya bermain ke luar
rumah, perilaku higiene yang dijadikan kuesioner untuk mengumpulkan data variabel perilaku higiene
seperti tersebut di atas merupakan perilaku higiene untuk pencegahan TB paru berdasarkan Kemetrian
Kesehatan RI tahun 2013

Hasil analisis peneliti pada perilaku higiene pada ibu yang anaknya tidak menderita TB paru sebagai
kontrol dan menderita TB sebagai kasus berusia 7-48 bulan terungkap bahwa perilaku higiene sebagian
besar (75,9%) baik dan sisanya sebagian kecil (24,1%) perilaku higiene kurang.

Hasil penelitian ini perilaku higiene sebagian besar baik karena dalam hasil penelitian terungkap
bahwa seluruh ibu, baik ibu yang anaknya tidak menderita TB paru maupun ibu yang anaknya

6
menderita TB paru seluruhnya (100%) menyatakan bahwa kuku anak selalu dipotong bila sudah
panjang, anak mandi minimal 2 (dua) kali sehari, anak rutin menggosok gigi 2 (dua) kali sehari,
pakaian anak dicuci dengan deterjen dan dijemur ditempat yang langsung kena sinar matahari dan
peralatan makan anak selalu dicuci setelah digunakan dan disimpan di dalam tempat tertutup.

Hasil penelitian juga ditemukan perilaku higiene yang kurang, yaitu sebanyak 13 orang (24,1%), hal
ini karena ada perilaku higiene yang masih belum optimal dilaksanakan oleh ibu yakni ada ibu yang
tidak mencuci tangan anak dengan sabun sebelum makan, pada item ini hanya sebesar 78% ibu yang
menyatakan bahwa mencuci tangan anak dengan sabun sedangkan sisanya sebanyak 22% menyatakan
tidak mencuci tangan anak dengan sabun. Ada anak yang sebelum tidur malam hari tidak mencuci
tangan, kaki dan gosok gigi, pada item ini hanya sebesar 76% yang menyatakan mencuci tangan, kaki
dan gosok gigi anak sedangkan sisanya sebanyak 24% ibu menyatakan tidak. Perilaku higiene lainnya
yang juga belum optimal dilaksanakan oleh ibu adalah pakaian anak selalu diganti setelah digunakan
bepergian keluar rumah pada item ini hanya sebesar 72% yang menyatakan ‘ya’ sedangkan sisanya
menyatakan tidak.

Perilaku higiene yang masih kurang optimal dilaksanakan ibu seperti mencuci tangan dengan sabun
sebelum makan, sebelum tidur malam mencuci tangan, kaki dan gosok gigi dan pakaian anak dicuci
dengan deterjen dan dijemur di bawah terik matahari, merupakan suatu perilaku higiene yang sangat
penting untuk mencegah penularan TB paru. Tangan anak yang tidak dicuci dengan sabun
memungkinkan adanya kuman TB paru yang ada di tangan masuk bersama dengan makanan, anak
yang sebelum tidur makan tidak cuci kaki, tangan dan menggosok gigi memungkinkan adanya kuman
TB paru yang ada di kaki ataupun tangan terhirup melalui udara ke saluran pernafasan anak melalui
paru-paru. Perilaku yang demikian sangat berisiko tertularnya TB paru pada anak.

Hasil penelitian yang masih kurang optimal dilakukan oleh ibu juga ditemukan oleh Kurniawan (2010)
dimana dalam penelitiannya menemukan bahwa 76,2% kurang baik. Adapun perilaku yang kurang
baik di dalam penelitian kurniawan yang dapat menularkan TB paru tersebut adalah responden tidak
menutup makanan dengan tudung saji, tidak menjemur alat-alat tidur seperti kasur, bantal dan selimut
serta ventilasi rumah kotor tertutup debu sehingga sirkulasi udara jelek.

Hasil penelitian perilaku higiene bila dianalisis berdasarkan karakteristik pendidikan ibu terungkap
bahwa ibu yang memiliki pendidikan sarjana dan diploma seluruhnya (100%) memiliki perilaku
higiene baik, ibu yang memiliki pendidikan SMA sebesar 90,5% baik dan sebesar 9,5% kurang, ibu
yang memiliki pendidikan SMP sebesar 68,8% baik dan sebesar 31,2% kurang, adapun ibu yang
memiliki pendidikan SD sebesar 25% kurang dan 75% baik.

Hasil penelitian perilaku higiene berdasarkan karakteristik pendidikan yang didapatkan terungkap
bahwa semakin tinggi pendidikan yang dimiliki oleh ibu, perilaku higiene yang dimilikinya juga
semakin baik. Kondisi ini menunjukkan bahwa ibu yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan
cenderung memiliki perilaku yang lebih baik jika dibandingkan ibu yang memiliki pendidikan lebih
rendah.

Hasil penelitian ini sesuai dengan apa yang telah dikemukakan Notoatmodjo (2009) dalam Wawan
dan Dewi (2012) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam pembentukkan perilaku,
antara lain faktor internal, yakni karakteristik orang yan bersangkutan, yang bersifat bawaan, misalnya:
tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin. Faktor eksternal, yakni lingkungan, baik
lingkungan, fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, pendidikan, pengetahuan, pengalaman dan
sebagainya.

4.2 Riwayat Vaksinasi BCG pada Anak di Poliklinik Anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2017

Riwayat vaksinasi BCG pada anak merupakan pemberian vaksin BCG pada anak berumur 7-48 bulan
yang menjadi sampel dalam penelitian ini sewaktu masih berusia 0-2 bulan, yakni umur yang
dianjurkan untuk diberikan vaksin BCG. Hasil analisis peneliti pada riwayat vaksinasi BCG anak
terungkap bahwa sebagian besar anak (72,2%) divaksinasi dan sisanya sebagian kecil (27,8%) tidak
divaksinasi.

7
Hasil penelitian sebagian besar anak divaksinasi BCG karena ibu mengetahui bahwa dengan
memvaksinasi anaknya maka risiko tertular penyakit TB paru dapat dihindari, namun hasil penelitian
juga menemukan yang tidak memvaksin anaknya, hal ini dapat disebabkan oleh karena lupa untuk
melakukannya atau juga karena tidak mengetahui pentingnya pemberian imunisasi BCG untuk
pencegahan penularan penyakit TB paru pada anak.

Sesuai dengan teori Kemenkes RI (2013) vaksinasi BCG adalah tindakan dengan sengaja memberikan
vaksin BCG kepada anak pada umur 0-2 bulan untuk memberikan kekebalan terhadap paparan kuman
tuberkulosis (TBC) sehingga terhindar dari penyakit tersebut.

Sesuai dengan teori Mulyani dan Rinawati (2013) Vaksinasi merupakan suatu tindakan yang dengan
sengaja memberikan paparan antigen yang berasal dari suatu patogen. antigen yang diberikan telah
dibuat sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun mampu memproduksi limfosit yang
bekas sebagai antibodi dan sel memori. cara ini cukup memberikan kekebalan, tujuannya adalah
memberikan infeksi ringan yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon umum imun
sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya di kemudian hari anak tidak menjadi sakit
karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan anti gen atau penyakit yang masuk
tersebut.

Tindakan dengan sengaja seperti yang dimaksud di atas adalah bagaimana ibu dapat membawa
bayinya ke fasilitas kesehatan agar mendapatkan vaksinasi BCG sesuai dengan umur bayi yang telah
dianjurkan. Pemberian vaksinasi BCG dengan tepat waktu sangat lah penting agar efektivitas vaksin
BCG maksimal dalam membentuk anti bodi terhadap kuman tuberkulosis. Orang tua dalam tindakan
sengaja ini diharapkan turut serta aktif dalam pemberian vaksinasi BCG pada bayinya seperti datang
kepelayanan kesehatan untuk memvaksinasi bayinya. Apabila orang tua tidak berperan aktif dalam
memperhatikan kelengkapan vaksinasi pada bayinya maka kemungkinan bayi tidak divaksinasi bisa
terjadi.

Hasil analisis peneliti riwayat vaksinasi BCG berdasarkan umur ibu terungkap bahwa ibu yang
berumur remaja sebesar 61,5% tidak mengimunisasi anaknya dan ibu yang berumur dewasa sebesar
17,1% tidak mengimunisasi anaknya. Kondisi ibu yang berumur remaja dan dewasa yang tidak
memvaksinasi anaknya tidak berimbang. Ibu yang berumur remaja paling banyak tidak memvaksinasi
anaknya

Kondisi ini dapat dijelaskan karena umur merupakan indikator kematangan dan kedewasaan
seseorang. Ibu yang memiliki umur dewasa akan cenderung lebih terbuka, tidak mementingkan diri
sendiri dan lebih mandiri sebaliknya ibu yang masih berusia remaja cenderung lebih egois,
mementingkan diri sendiri dan mudah sekali mengalami kecemasan. Bentuk keegoisan ibu muda
biasanya tercermin dengan ibu yang lebih memperhatikan dirinya sendiri, sehingga lalai untuk
mengimunisasi anaknya. Hasil penelitian terkait umur ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Wiyana (2016) dimana dalam penelitiannya menemukan sebesar 73,7% ibu yang berumur remaja
bersikap negatif terhadap pemberian imunisasi dasar dan dalam penelitiannya juga terungkap bahwa
umur ibu berhubungan dengan pemberian imunisasi dasar pada bayi.

Memberikan vaksinasi BCG pada anak merupakan suatu tanggungjawab anak terutama ibu terhadap
bayinya, untuk dapat memberikan imunisasi secara lengkap kepada bayi ibu harus meluangkan untuk
mengantarkan bayinya ke tempat layanan kesehatan yang memberikan pelayanan imunisasi.
Pemberian vaksinasi BCG pada bayi diharapkan dapat memberikan daya lindung terhadap penyakit
TB paru. Kondisi ini terjadi karena respon imun tubuh sudah mengenali kuman TB paru saat terpapar
masuk ke dalam tubuh dan tubuh akan berekasi dengan mengeleminasi kuman tersebut dari tubuh
sehingga kemungkinan tertular TB paru menjadi lebih kecil.

Seperti diketahui pemberian vaksinasi BCG pada anak adalah tindakan yang sengaja dilakukan oleh
ibu dengan membawa anaknya ketempat pelayanan kesehatan agar divaksinasi BCG, ini tentunya
didasari oleh keinginan yang kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang dengan sehat. Keinginan
yang kuat itu tentunya didasari keyakinan dan pengetahuan memadai tentang vaksinasi BCG

8
Menurut Notoatmodjo (2007) dalam Wawan dan Dewi (2012) secara teori memang perubahan
perilaku atau mengadopsi perilaku baru itu melalui proses perubahan diantaranya pengetahuan
(knowledge). Pengetahuan berkaitan erat dengan pendidikan. Hasil penelitian riwayat pemberian
vaksinasi BCG pada anak bila dianalisis berdasarkan karakteristik pendidikan ibu maka terungkap
bahwa ibu yang paling banyak tidak memvaksinasi anaknya adalah ibu yang memiliki pendidikan SD,
yakni sebanyak 6 orang (11,1%), pendidikan SMP sebanyak 5 orang (9,3%) dan SMA sebanyak 4
orang (7,4%), sedangkan pendidikan diploma dan sarjana tidak ditemukan ada ibu yang tidak
memvaksinasi anaknya.

Hasil penelitian berdasarkan karakteristik pendidikan terungkap bahwa ibu yang paling tidak
memberikan imunisasi BCG pada anaknya adalah ibu dengan pendidikan SD, bila dilihat trend data
maka semakin tinggi pendidikan ibu, maka semakin sedikit ibu yang tidak memberikan vaksinasi pada
anaknya. Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian Damayanti (2016) dimana dalam penelitiannya
menemukan bahwa ibu kelompok kasus (pemberian imunisasi dasar tidak lengkap) sebesar 78,3
memiliki pendidikan menengah sedangkan pada ibu kelompok kontrol (pemberian imunisasi dasar
lengkap) dalam penelitiannya sebesar 56,5% memiliki pendidikan tinggi. Hasil penelitiannya juga
terungkap bahwa ada pengaruh pendidikan ibu terhadap pemberian imunisasi dasar pada anak (12-24)
bulan.

Sesuai dengan teori Basri (2007) dalam Tatang (2012:13) “pendidikan adalah usaha yang dilakukan
dengan sengaja dan sistematis untuk memotivasi, membina, membantu serta membimbing seseorang
untuk mengembangkan segala potensinya sehingga dapat mencapai kualitas diri yang lebih baik.

Hasil penelitian bila dianalisis berdasarkan pendidikan seluruh ibu yang memiliki pendidikan tinggi
memvaksinasi anaknya. Pendidikan tinggi, ini terkait pengetahuan semakin tinggi pendidikan
seseorang maka semakin banyak informasi yang didapatkannya.

4.3 Kejadian TB Paru pada Anak di Poliklinik Anak RSUD Ulin Banjarmasin

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium
tuberculosis) yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Kuman TB
berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena
itu disebut juga sebagai Basil Tahan Asam (BTA) sebagian besar kuman TB menyerang paru-paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes RI, 2014).

Hasil analisis peneliti anak yang menderita TB paru berdasarkan umur paling banyak anak berumur 7-
12 bulan yaitu sebanyak 13 orang (48,1%), selanjutnya urutan kedua adalah anak yang berumur >12-
18 bulan yaitu sebanyak 12 orang (44,4%) dan kelompok umur yang paling sedikit adalah kelompok
umur >18-48 bulan yaitu sebanyak 2 orang (7,4%). Hasil penelitian ini menunjukkan hampir seluruh
anak yang menderita TB paru adalah anak yang berumur antara 7-18 bulan. Kondisi anak berumur 7-
18 bulan dalam penelitian ini merupakan kelompok umur yang paling banyak menderita TB paru,
karena pada saat anak berumur 7-18 bulan sering kontak sangat dengat dengan orang dewasa, seperti
digendong, dicium dipeluk oleh keluarga maupun tetangga ataupun orang yang kebetulan gemas
melihat anak yang masih sangat lucu-lucunya pada umur tersebut. Orang tua yang mersa senang
anaknya disukai orang cenderung membiarkan sehingga pada saat tersebut mungkin saja ada salah satu
yang mencium atau memeluk anak adalah penderita TB paru sebagai media penularan pada anak.

Hasil analisi peneliti berdasarkan jenis kelamin anak, maka dalam penelitian ini ditemukan pasien anak
yang menderita TB paru adalah anak yang berjenis kelamin perempuan, yakni sebanyak 18 orang
(66,7%).

Gejala umum TB pada anak menurut Kemenkes RI (2013) ditandai dengan berat badan turun tanpa
sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah
diberikan upaya perbaikan gizi yang baik, demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab
yang jelas, batuk lama ≥3 minggu yang bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas
semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan, nafsu makan tidak ada

9
(anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive), lesu atau malaise, anak kurang
aktif bermain, diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

Kondisi tanda dan gejala TB paru pada anak yang dapat dijumpai pada anak dalam penelitian ini yang
jelas terlihat adalah anak tampak kurus dan berdasarkan hasil anamnesa dan assesment pasien yang
terdapat di dalam catatan rekam medik pasien anak tidak mengalami berat badan selama 3 bulan
berturut-turut, sering menderita batuk filek dan tidak nafsu makan, hal ini sesuai dengan tanda dan
gejala anak yang menderita TB paru menurut Kemenkes RI yang tersebut di atas.

Anak yang menderita TB paru ini bila dianalisis berdasarkan umur anak yang menderita TB paru
paling banyak berumur 7-12 bulan yakni sebanyak 13 anak (43,3%), selanjutnya anak berumur >12-
18 bulan sebanyak 12 anak (40%), anak berumur 6-7 bulan sebanyak 3 anak (10%) dan >18-48 bulan
sebanyak 2 anak (6,7%).

Bila dianalisis berdasar riwayat pemberian vaksinasi BCG maka terungkap bahwa anak yang
menderita TB paru sebanyak 13 anak (43,3%) tidak divaksinasi BCG dan sebanyak 17 anak
divaksinasi BCG (56,7%). Bila dianalisis lebih jauh pada anak penderita TB paru berjumlah 17 orang
yang divaksinasi BCG terungkap bahwa 14 orang (82,5%) diantaranya divaksinasi pada saat anak
berumur > dari 2 bulan. Kondisi ini membuktikan bahwa efektivitas pemberian imunisasi di atas 2
(dua) bulan masih dipertanyakan untuk mencegah penularan TB paru pada anak. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Suasanto et al (2016) dimana dalam penelitiannya menemukan bahwa anak yang
mendapatkan imunisasi BCG namun tetap tertular TB paru, adalah anak yang pemberian imunisasinya
saar umur lebih dari 2 bulan, namun dalam penelitiannya TB paru yang diderita tidak separah anak
penderita TB paru yang sama sekali tidak mendapatkan imunisasi BCG.

Hasil yang didapatkan bahwa anak yang divaksinasi BCG > 2 bulan masih mungkin tertular TB paru
dikuatkan oleh penelitian Pizzo dan Wilfert dalam Susanto et al (2016) dimana dalam penelitiannya
melaporkan bahwa sel-sel imunokompeten tubuh telah terbentuk sempurna pada waktu bayi lahir.
Pemberian vaksinasi BCG lebih dini akan menimbulkan respon imun yang lebih dini pula, terutama
respon imun seluler bukan respon imun humoral. Karena respon imun berkaitan erat dengan
kemampuan tubuh untuk melawan penyakit maka hasil penelitian yang dilakukan penulis memberikan
indikasi bahwa pemberian imunisasi akan menumbuhkan daya tahan tubuh terhadap penyakit
tuberkulosis dengan demikian dapat mencegah tuberkulosis paru lebih awal selama pemberian
vaksinasi dalam masa inkubasi yakni setelah lahir sampai dengan anak berusia 2 bulan.

Anak yang divaksinasi BCG setelah berusia 2 bulan kemungkinan sudah terpapar dengan kuman
tuberkulosis dan dapat tertular penyakit sebelum diberikan vaksinasi BCG atau juga kondisi anak yang
telah divaksinasi BCG setelah berusia 2 bulan efektivitas pembentukan daya tahan tubuh tidak optimal
lagi karena telah lewat masa inkubasi 0-2 bulan sehingga memungkinkan apabila terpapar dengan
kuman tuberkulosis kemampuan daya tahan tubuh untuk melawan kuman tersebut tidak sebaik anak
yang diimunisasi saat berumur 0-2 bulan.

4.4 Hubungan Perilaku Higiene dengan Kejadian TB Paru pada Anak di Poliklinik Anak RSUD Ulin
Banjarmasin tahun 2017

Hasil analisis peneliti menemukan adanya hubungan yang bermakna antara perilaku higiene dengan
kejadian TB paru pada anak di Poliklinik Anak ditunjukkan dengan nilai p sebesar 0,026 < 0,05. Nilai
odds ratio dengan derajat keyakinan 95% sebesar 4,706 > 1 artinya perilaku higiene yang kurang akan
mempertinggi risiko kejadian TB paru pada anak dan dapat diyakini bahwa ibu yang memiliki perilaku
higiene kurang, berisiko 4,7 kali, anaknya tertular/mengalami kejadian TB paru dibandingkan dengan
ibu yang memiliki perilaku higiene baik.

Hasil penelitian menemukan adanya hubungan yang signifikan antara perilaku higiene dengan
kejadian TB paru pada anak, dapat dijelaskan karena perilaku higiene merupakan salah satu upaya
pencegahan penularan penyakit. Perilaku higiene yang kurang baik seperti tangan anak selalu dicuci
dengan sabun sebelum makan sebesar 59,3% ibu menyatakan tidak melakukannya, pakaian anak selalu
diganti setelah digunakan bepergian keluar rumah (misalnya setelah dari pasar, mall atau tempat

10
pelayanan kesehatan) sebesar 77,8% ibu menyatakan tidak melakukannya, makanan dan minuman
anak di meja selalu dalam kondisi tertutup sebesar 81,5% ibu menyatakan tidak melakukannya.

Kondisi perilaku higiene yang masih kurang baik pada ibu kasus, menyebabkan mudah tertular
penyakit TB paru. Kebiasaan tidak mencuci tangan dengan sabun memungkinkan kuman tuberkulosis
yang ada di tangan masuk ke saluran pernafasan, pakaian yang tidak diganti setelah bepergian terutama
ke tempat layanan kesehatan memungkinkan membawa bakteri tuberkulosis sehingga dapat tertular
dan kebiasaan tidak menutup makanan dapat memungkinkan bakteri tuberkulosis hinggap pada
makanan dan menjadi salah satu media penularan.

Hasil penelitian menemukan adanya hubungan antara perilaku higiene dengan kejadian TB paru
sejalan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Kurniawan TB (2010) dimana dalam
penelitiannya menemukan adanya hubungan yang signifikan antara perilaku hidup bersih dan sehat
dengan kejadian TB paru pada warga di Kelurahan Jaraksari Wonosobo. Hasil penelitian ini juga
sejalan dan memperkuat hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Wenas (2012) yang mana
penelitiannya menemukan adanya hubungan perilaku dengan kejadian TB paru di Kecamatan Wilayah
Kerja Puskesmas Minahasa Utara.

Hasil odds ratio sebesar 4,706 maka terungkap bahwa ibu yang penerapan perilaku higiene pada anak
kurang menyebabkan anak berisiko tertular penyakit TB lebih besar 4,7 kali bila dibandingkan dengan
ibu yang penerapan perilaku higiene pada anak baik.

Perilaku higiene yang kurang lebih berisiko tertular TB paru karena, penularan TB paru melalui udara
saat penderita TB paru batuk dan percikan ludah yang terhirup oleh orang lain saat bernapas. Kuman
TB paru yang terbawa oleh udara disaat penderita TB paru dewasa batuk atau bersin dapat membuat
kuman TB paru dapat dengan mudah hinggap ke makanan, pakaian, bagian tubuh orang di sekitarnya
dan kuman tersebut pada suhu ruangan dapat bertahan hidup selama 4 (empat) jam dan berisiko
menularkannya pada orang lain, apabila perilaku seseorang sehabis bepergian, ketempat layanan
kesehatan tidak mengganti pakaian maka kemungkinan adanya kuman TB ada menempel
dipakaiannya begitu juga perilaku yang tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum makan,
kemungkinan ada kuman yang menempel pada tangan yang menyebabkan kuman TB paru masuk ke
dalam saluran pernafasan dan menginfeksi seseorang sehingga mereka tertular penyakit TB paru.

4.5 Hubungan Riwayat Vaksinasi BCG dengan Kejadian TB Paru pada Anak di Poliklinik Anak RSUD
Ulin Banjarmasin tahun 2017

Hasil analisis data dengan menggunakan uji chi-square diperoleh hasil


p (0,033) <0,05, dan nilai odds ratio 3,953, yang berarti bahwa terdapat hubungan yang bermakna
riwayat vaksinasi BCG dengan kejadian TB paru pada anak dan berdasarkan odds rationya dapat
dilihat bahwaanak yang tidak divaksinasi BCG yaitu 3,953 kali lebih beresiko menderita penyakit TB
paru dibandingkan dengan anak yang divaksinasi BCG.

Hasil penelitian menemukan adanya hubungan yang signifikan antara vaksinasi BCG dengan kejadian
TB paru pada anak, dapat dijelaskan karena vaksin BCG dibuat dari kuman tuberkulosis hidup yang
dilemahkan pemberian vaksin kepada bayi bayi 0-2 bulan agar sistem imun bayi membentuk suatu
memori dan mengeleminasinya apabila suatu saat terjadi paparan daru kuman tuberkulosis paru
sehingga kemungkinan tertular dapat dihindari. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh
Mulyani dan Rinawati (2013) yang menyebutkan bahwa “Vaksinasi merupakan suatu tindakan yang
dengan sengaja memberikan paparan antigen yang berasal dari suatu patogen. antigen yang diberikan
telah dibuat sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan sakit namun mampu memproduksi limfosit
yang bekas sebagai antibodi dan sel memori. cara ini cukup memberikan kekebalan. tujuannya adalah
memberikan infeksi ringan yang tidak berbahaya namun cukup untuk menyiapkan respon umum imun
sehingga apabila terjangkit penyakit yang sesungguhnya di kemudian hari anak tidak menjadi sakit
karena tubuh dengan cepat membentuk antibodi dan mematikan anti gen atau penyakit yang masuk
tersebut”.

11
Hasil odds ratio sebesar 3,953 maka terungkap bahwa ibu yang tidak memvaksinasi BCG anaknya
sewaktu berusia 0-2 bulan berisiko tertular penyakit TB lebih besar 3,9 kali bila dibandingkan dengan
ibu yang memvaksinasi BCG anaknya sewaktu berusia 0-2 bulan.

Anak yang tidak divaksinasi BCG, tidak memiliki memori terhadap kuman tuberkulosis sehingga
antibodi tidak terbentuk dan kekebalan tubuh anak terhadap kuman akan lebih lemah. Memori yang
timbul akibat rangsangan dari pemberian vaksin BCG merupakan suatu pengalamman bagi tubuh
untuk melawan bakteri tuberkulosis yang masuk kedalam tubuh dan ini terbentuk tidak bisa secara
alamiah, maka pemberian vaksin BCG merupakan suatu usaha agar daya tahan terhadap kuman itu
terbentuk. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini sebagian besar anak divaksinasi BCG sejalan
dengan hasil penelitan yang dilakukan oleh Immarruh (2012) yang mana dalam penelitannya
menemukan sebagian besar (60%) diberikan vaksinasi BCG.

Adanya hubungan yang peneliti dapatkan sesuai dengan penelitan Susanto et al (2012) menemukan
adanya hubungan antara imunisasi BCG dan kejadian TB paru pada anak.

5. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah ditentukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
disimpulkan sebagai berikut:
5.1 Perilaku higiene sebagian besar baik yaitu sebesar (75,9%) di Poliklinik Anak RSUD Ulin
Banjarmasin.
5.2 Riwayat Vaksinasi BCG pada anak sebagian besar divaksinasi yaitu sebesar (72,2%) di Poliklinik
Anak RSUD Ulin Banjarmasin.
5.3 Kejadian TB paru pada anak berjumlah 27 orang (50%) sebagai sampel kasus di Poliklinik Anak
RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2017
5.4 Ada hubungan yang bermakna perilaku higiene dengan kejadian TB paru pada anak di Poliklinik
Anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2017, p=0,026<0.05.
5.5 Ada hubungan yang bermakna vaksinasi BCG dengan kejadian TB paru pada anak di Poliklinik
Anak RSUD Ulin Banjarmasin tahun 2017, p=0,033<0.05.

6. Saran

6.1 Bagi Universitas Muhammadiyah Banjarmasin


Menjadikan hasil penelitian ini sebagai salah satu referensi untuk menambah wawasan masyarakat
dalam upaya pencegahan penularan TB paru dengan dengan melaksanakan program daerah binaan
terutama pada keluarga yang memiliki anggota keluarga yang menderita TB paru. Institusi dapat
memberdayakan mahasiswanya yang sudah dibekali dengan pengetahuan yang cukup untuk membina
keluarga yang memiliki anggota keluarga TB paru dengan cara rutin melakukan kunjungan rumah agar
penderita dapat sembuh dan tidak menularkan pada anggota keluarga yang lain khususnya anak.

6.2 Bagi Poliklinik Anak RSUD Ulin Banjarmasin


Diharapkan dalam penangan TB paru pada anak tidak hanya sebatas memberikan pengobatan di
Poliklinik, namun juga dapat dilakukan tindakan pencegahan dengan melakukan kunjungan ke rumah
ibu yang memiliki bayi usia imunisasi BCG untuk memeriksa kesehatan bayi sekaligus mengingatkan
ibu untuk berkunjung ke Poliklinik Anak agar bayinya divaksinasi BCG.

6.3 Bagi Peneliti Selanjutnya


Peneliti selanjutnya diharapkan melanjutkan penelitian ini dengan mengikut sertakan variabel-variabel
lain yang mungkin berhubungan dengan kejadian TB paru anak yang tidak diteliti pada penelitian ini
seperti variabel status gizi anak.

Daftar Rujukan

Dinkes Prop. Kalsel. (2016). Laporan Tahunan Penemuan Pasien TB Paru Tahun 2015. Banjarmasin: Dinkes
Prop Kalsel.

12
Hidayat AAA. (2014). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data Edisi Revisi. Jakarta:
Salemba Medika.

-------. (2013). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2015). The Value of Vaccination. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI).

Kemenkes RI. (2015). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI.

-------. (2010) Prinsip Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman. Jakarta: Kemenkes RI.

-------. (2013) Petunjuk Teknis manajemen TB pada Anak. Jakarta: Kemenkes RI.

-------. (2014). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI.

Machfoedz et al. (2010). Teknik Membuat Alat Ukur Penelitian Bidang Kesehatan, Keperawatan dan
Kebidanan. Yogyakarta: Fitramaya.

Manalu. (2016). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru dan Upaya


Penanggulangannya.Jurnal: Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 9 No 4, Desember 2016.

Mulyani dan Rinawati. (2013). Imunisasi Untuk Anak. Yogyakarta: Nuha Medika

Maryunani. (2013). Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Jakarta: TransInfo Media.

Narida. (2014). Perilaku Sanitasi, Higiene dan Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) Dalam Praktik Masakan
Indonesia Siswa Program Keahlian Tata Boga SMK Negeri 6 Yogyakarta Tahun Pelajaran 2013-
2014. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Teknik Boga Fakultas Teknik Universitas
Negeri Yogyakarta

Notoatmodjo S. (2010). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.

-------. (2010). Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nova et al. (2012) Hubungan Antara Status Imunisasi BCG dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Pada Anal
Balita Usia < 5 Tahun Di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BPKM) Purwokerto. Skripsi.
Purwokerto: Program Studi S1 Keperawatan STIKES Harapan Bangsa Purwokerto.

Nursalam. (2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis
dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

RSUD Ulin. (2017). Buku Register Kunjungan Pasien TB Paru Tahun 2016. Banjarmasin: RSUD Ulin.

Sudijono A. (2008). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Susanto et al. (2012). Hubungan Pemberian Imunisasi BCG dengan Kejadian TB Paru pada Anak di
Puskesmas Tuminting Periode Januari 2012- Juni 2012. Jurnal: Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4,
Nomor 1, Januari-Juni 2016.

Wenas. (2012). Hubungan Perilaku dengan Kejadian Penyakit TB Paru di Desa Wori Kecamatan Wori
Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal: Jurnal Kedokteran Komunitas dan Tropik : Volume III Nomor
2 April 2015.

*Sri Mustika Intannia. Mahasiswi Program Studi S.1 Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan dan Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Banjarmasin.m

13
**Evy Noor Hasanah, Ns.,M.Imun. Dosen Program Studi S.1 Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan dan
Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Banjarmasin
*** Mahpolah, M.Kes. Dosen Politeknik Kesehatan Kemenkes Banjarmasin

14

Anda mungkin juga menyukai