Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bumi, air dan ruang angkasa, serta segala kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya adalah merupakan karunia yang diberikan Tuhan

kepada umat manusia, oleh karena itu manusia berkewajiban untuk

mempergunakan dan memeliharanya guna mencapai kemakmuran seluruh

hidupnya. Hubungan antara manusia dengan bumi sangat erat kaitannya

dengan hak dan kewajiban manusia dalam memanfatkan penguasaannya.

Hubungan itu tercermin dalam penguasaan, kepemilikan hak atas tanah. Untuk

mengatasi hal tersebut, Negara mengatur mengenai penertiban status dan

penggunaan hak-hak atas tanah, sebagai upaya meningkatkan kepastian

hukum dengan cara pemberian sertifikat kepemilikan hak hak atas tanah.

Secara konstitusional, Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 33 ayat (3)

telah memberikan landasan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penjabaran atas ketentuan tersebut di

atas selanjutnya pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dengan tujuan untuk

memberikan dasar hukum yang jelas bagi kepemilikan hak-hak atas tanah,

dimana Negara sebagai kekuasaan tertinggi atas rakyat, berkewajiban untuk :

a. Mengatur dan menyelesaikan peruntukan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.

HUKUM AGRARIA 1
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang

dengan bumi, air dan ruang angkasa.


c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dan perbuatan-perbuatan hukum yang menyangkut penguasaan bumi, air

dan ruang angkasa dalam rangka mencapai sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat Indonesia.

Di wilayah Negara Indonesia sebagian besar tanah yang dimiliki oleh

masyarakat, belum bersertifikat, dan umumnya terdapat di desa-desa dimana

masyarakatnya belum mengenal hukum pertanahan. Pada umumnya tanah-

tanah yang ada masih berupa letter C atau pethuk saja. Untuk itu pemerintah

melakukan upaya hukum guna menjamin kepastian hukum dengan

mewajibkan setiap pemilik tanah untuk mendaftarkan tanahnya, sebagaimana

diamanatkan Pasal 19 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1960,

sebagai berikut :

“Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran

tanah di seluruh Indonesia menurut ketentuan yang diatur oleh Peraturan

Pemerintah”.

Pelaksanaannya di atur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961

tentang pendaftaran tanah yang kemudian diperbaharui Peraturan Pemerintah

No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tercantum dalam Pasal 1 angka

( 1 ) PP No. 24 Tahun 1997.

Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi

pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data

HUKUM AGRARIA 2
fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang

tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti

hak dan kepemilikan atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang

membebaninya. Guna memberikan kepastian hukum kepada para pemegang

hak atas tanah, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah, telah ditegaskan bahwa sertifikat merupakan alat bukti

yang kuat. Orang tidak menuntut tanah yang sudah bersertifikat atas nama

orang atau badan hukum. Jika selama 5 tahun sejak diterbitkannya sertifikat

tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan

Kepala Kantor Pertanahan atau tidak mengajukan gugatan pada Pengadilan

sedangkan tanah tersebut diperoleh dengan itikad baik dan secara fisik nyata

menguasainya. Selama belum dibuktikan sebaliknya, data fisik dan yuridis

yang dicantumkan dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar

baik dalam perbuatan hukum sehari hari maupun sesuai dalam sengketa di

Pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam

surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.

Dengan demikian jelas sertifikat merupakan jaminan kepastian hukum

dibidang pertanahan. Pengertian “Sertifikat” adalah : “Salinan buku tanah dan

surat ukur yang telah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas

bersampul yang telah ditetapkan dengan peraturan menteri”. Sebuah sertifikat

tidak begitu saja diberikan kepada seseorang yang memiliki hak atas tanah,

tetapi diberikan kepada yang bersangkutan apabila memerlukannya.

Kepemilikan sertifikat tanah diperoleh melalui proses pendaftaran haknya

HUKUM AGRARIA 3
kepada Kantor Pertanahan, karena dengan didaftarkannya tanah, maka akan

diketahui status tanah tersebut.

Kekuasaan Negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1)

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ( UUPA ) adalah kekuasaan mengatur

pengelolaan fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya. Kekuasaan mengatur tersebut meliputi baik tanah-

tanah yang telah menjadi hak seseorang atau badan hukum maupun termasuk

tanah-tanah yang belum ada haknya. Berdasarkan atas hak menguasai Negara

dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ( UUPA ),

selanjutnya dalam Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

( UUPA ) menentukan beberapa hak atas tanah yang dapat diberikan kepada

seseorang, baik secara perorangan maupun bersama-sama, atau oleh suatu

badan hukum, yaitu1 :

1. Hak Milik.
2. Hak Guna Usaha.
3. Hak Guna Bangunan.
4. Hak Pakai.
5. Hak Sewa.
6. Hak Membuka Tanah.
7. Hak Memungut Hasil Hutan.
8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas, yang

ditetapkan dengan undang-undang, serta hak-hak yang sifatnya sementara

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria ( UUPA ).

1
K.Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal 64.

HUKUM AGRARIA 4
Selanjutnya Negara dalam melaksanakan proses penyelenggaraan tertib

hukum pertanahan, perkembangan pertanahan di Indonesia banyak konflik

yang timbul di bidang pertanahan seperti persengketaan antara perusahaan-

perusahaan dengan masyarakat sekitar. Dimana masyarakat sekitar sering

kalah dalam kasus persengketaan terhadap perusahaan-perusaan tersebut.

Selain itu, banyak tanah yang tidak produktif karena tanah tersebut tidak

dimanfaatkan oleh pemiliknya.

Maka pada tahun 1981 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam

Negeri Agraria Nomor 189 Tahun 1981 tanggal 15 Agustus 1981, disusunlah

Program tentang Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA). Selanjutnya di

bidang Pertanahan telah pula dilaksanakan “pemberian otonomi“ bagi

Kabupaten/Kota dengan konsekuensi dari ketentuan Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian Kantor

Pertanahan merupakan pelaksana Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan

di daerah. Kantor Pertanahan antara lain bertugas melakukan proses

pensertifikatan tanah secara massal sebagai perwujudan dari tertib

administrasi di bidang pertanahan.

Untuk meningkatkan pelayanan bidang pertanahan, Badan Pertanahan

Nasional dari pusat sampai daerah mengeluarkan berbagai Kebijakan Bidang

Pertanahan bagi kepentingan golongan masyarakat terutama masyarakat

golongan ekonomi lemah dengan memperhatikan aspek keberpihakan kepada

masyarakat. Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar sebagai salah satu

Kantor Pertanahan di Propinsi Jawa Tengah pada Tahun Anggaran 2004 dan

HUKUM AGRARIA 5
Tahun Anggaran 2005 telah melaksanakan program PRONA yang sudah

direncanakan dengan dukungan dana dari pemerintah pusat melalui APBN

dengan jumlah bidang tanahnya yang sudah ditentukan / tebatas sesuai DIPA

(Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran). Mengingat pelaksanaan program

PRONA merupakan kegiatan Kantor Pertanahan yang berkaitan dengan

Instansi lain : ( Pemerintah Kabupaten Karanganyar, Camat dan Kepala Desa

setempat, Pemohon / masyarakat desa tempat dilaksanakannya program

PRONA ) maka kesuksesannya dibutuhkan suatu koordinasi dan kinerja yang

baik. Prona adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah di bidang

pertanahan pada umumnya dan di bidang pendaftaran tanah pada khususnya,

yang berupa pensertifikatan tanah yang dilaksanakan secara serentak bersama-

sama (massal) dan penyelesaian sengketa-sengketa tanah yang bersifat

strategis. Pelaksanaan Prona dilakukan secara terpadu dan diperuntukkan bagi

seluruh lapisan masyarakat golongan ekonomi lemah yang berada di wilayah

desa dan kecamatan yang telah ditunjuk dan mampu membayar biaya yang

telah ditetapkan. PRONA dilaksanakan secara bertahap setiap tahun anggaran

yang meliputi seluruh wilayah Indonesia.

Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri tanggal 4

September 1981 telah menentukan penetapan lokasi Prona, sebagai berikut :

1. Ditetapkan secara berkelompok, terutama untuk pensertifikatan tanah di

daerah-daerah yang penguasaan tanahnya terkena landreform baik untuk

tanah-tanah yang masih menjadi hak bekas pemilik lama maupun yang

telah di distribusikan kepada para penggarap.


2. Ditetapkan secara mengelompok untuk daerah-daerah tertinggal.

HUKUM AGRARIA 6
3. Ditetapkan di daerah yang tanahnya mempunyai potensi produksi bahan

pokok yang cukup untuk dikembangkan.


4. Ditetapkan secara berkelompok, untuk pensertifikatan tanah-tanah yang

berpenduduk padat dan mempunyai potensi yang cukup besar untuk

dikembangkan.
5. Dipilih lokasi mengenai tanah-tanah sengketa yang bersifat strategis dan

dapat diselesaikan secara tuntas.2

Hal tersebut merupakan alasan penulis untuk menyusun tesis :

“STRATEGI REFORMASI AGRARIA DI INDONESIA MELALUI

PROYEK OPERASI NASIONAL AGRARIA SERTIFIKAT TANAH

GRATIS”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami mengangkat rumusan masalah

sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep Proyek Operasi Nasional Agraria di Indonesia?
2. Bgaimanakah penerapan Proyek Operasi Nasional Agraria sertifikat tanah

gratis di Indonesia?
3. Apakah dampak yang ditimbulkan dengan adanya Proyek Operasi

Nasional Agraria sertifikat tanah gratis di Indonesia?


C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan makalah ini adalaah :
1. Untuk mengetahui konsep dari Proyek Operasi Nasional Agraria di

Indonesia.
2. Untuk mengetahui penerapan Proyek Operasi Nasional Agraria sertifikat

tanah gratis di Indonesia.


3. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dengan adanya Proyek

Operasi Nasional Agraria sertifikat tanah gratis di Indonesia.


D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini yaitu:
2
http://eprints.undip.ac.id/15471/1/Dian_Retno_Wulan.pdf, dikases pada hari Sabtu, tanggal 14 Oktober
2017, pukul 21.00 WITA.

HUKUM AGRARIA 7
1. Kita dapat mengetahui konsep dari Proyek Operasi Nasional Agraria di

Indonesia.
2. Kita mengetahui penerapan Proyek Operasi Nasional Agraria sertifikat

tanah gratis di Indonesia.


3. Kita dapat mengetahui dampak yang ditimbulkan dengan adanya Proyek

Operasi Nasional Agraria sertifikat tanah gratis di Indonesia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Reformasi Agraria

Reforma Agraria adalah restrukturisasi atau penataan ulang

susunan kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria,

khususnya tanah. Tujuannya adalah untuk mengubah susunan masyarakat

warisan stelsel feodalisme dan kolonialisme menjadi susunan

masyarakat yang adil dan merata. Secara etimologis reforma agraria berasal

dari bahasa Spanyol, yang memiliki arti suatu upaya perubahan atau

perombakan sosial yang sehat dan merata bagi pengembangan pertanian dan

kesejahteraan masyarakat desa.3 Istilah Pembaruan Agraria baru

3
Gunawan Wiradi, Reformasi Agraria; Perjalanan yang Belum Berakhir, INSIST Press, Yogyakarta, 2000,
hlm. 35.

HUKUM AGRARIA 8
diperkenalkan di Tahun 2001, yakni sejak lahirnya Tap MPR Nomor

IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya

Alam, yang berarti bahwa istilah Reforma Agraria atau Agrarian Reform

lebih dulu dikenal dalam wacana ilmiah dibandingkan istilah Pembaruan

Agraria.4

Krishna Ghimire memberikan pengertian yang sama antara agrarian

reform dan landreform. Ia mendefinisikan reformasi agraria atau

landreform sebagai perubahan besar dalam struktur agraria yang

membawa peningkatan akses petani miskin pada lahan serta kepastian

penguasaan atau tenure bagi mereka yang menggarap lahan, termasuk juga

akses pada input pertanian, pasar, serta jasa-jasa dan kebutuhan

pendampingan lainnya.5 Reforma agraria merupakan suatu perubahan dalam

struktur agraria dengan tujuan peningkatan akses kaum tani miskin akan

penguasaan tanah dan untuk meningkatkan kesejahteraannya.6

Frithjof Kuhnen menandai reforma agraria sebagai tindakan untuk

mengatasi hambatan pembangunan yang timbul karena adanya kecacatan

dalam struktur agraria yang berlaku. Reforma agraria harus bermakna

penataan ulang struktur penguasaan tanah yang mencakup redistribusi tanah

4
Bernhard Limbong (disebut Bernhard Limbong II), Reforma Agraria, Margaretha Pustaka, Jakarta,
2012, hlm. 26.
Gunawan Wiradi, Reformasi Agraria; Perjalanan yang Belum Berakhir, INSIST Press, Yogyakarta, 2000,
hlm. 35.
Bernhard Limbong (disebut Bernhard Limbong II), Reforma Agraria, Margaretha Pustaka, Jakarta,
2012, hlm. 26.
5
Lihat pendapat Krishna Ghimire dalam artikel Hakekat Reformasi Agraria,
http://ww w.berdikarionline. c o m / o p i n i / 2 0 111 2 3 1 / h a k e k a t - r e f o r m a s i - a g r a r i a .
html#ixzz2JY1hdWzT.
6
Bernhard Limbong II, Op.Cit., h. 27.

HUKUM AGRARIA 9
dan pembatasan (pencegahan) konsentrasi penguasaan tanah dan bahkan

dapat pula di dalamnya terkandung aksi-aksi untuk menata ulang sistem bagi

hasil dalam kegiatan pertanian. 7 Reforma agraria juga menyangkut jaminan

kepemilikan bagi buruh tani, penyewa tenaga kerja, penghuni peternakan, dan

petani penyewa yang memungkinkan para pekerja dan penyewa memiliki

prospek yang lebih baik untuk menerima pinjaman sektor swasta, layanan

infrastruktur dan dukungan pemerintah melalui perusahaan-perusahaan

pedesaan dilakukan secara sadar, guna mentransformasikan struktur agraria

ke arah sistem agraria yang lebih sebagai pelengkap untuk pertanian dan

peningkatan partisipasi masyarakat dalam keputusan pemerintah di daerah

pedesaan.

Ben Cousins memberikan perbedaan antara agrarian reform dengan

landreform. Landreform berkaitan dengan hak atas tanah dengan cirinya

masing-masing, kekuatan dan distribusi.Sedangkan reforma agraria tidak

terbatas pada konsep landreform tersebut, tetapi lebih luas mencakupi juga isu-

isu karakter kelas dari hubungan antara produksi dan distribusi di bidang

pertanian dan perusahaan yang terkait, dan bagaimana semua hal itu terhubung

ke struktur kelas yang lebih luas. Dengan kata lain, reforma agraria berkaitan

dengan kekuatan ekonomi dan politik dan hubungan antara keduanya.

Dengan demikian pada hakikatnya, konsep reforma agraria mencakup

3 (tiga) konsep, yakni: pertama, Konsep Landreform, yakni penataan kembali

7
Ibid, hlm. 28.

HUKUM AGRARIA 10
struktur penguasaan kepemilikan tanah yang lebih adil; kedua, Konsep

Accesreform, yakni berkaitan dengan penataan penggunaan atau pemanfaatan

tanah yang lebih produktif disertai penataan dukungan sarana dan prasarana

yang memungkinkan petani memperoleh akses ke sumber ekonomi di wilayah

pedesaan. Akses tersebut antara lain akses sarana dan prasarana pertanian,

pengairan, jalan, usaha tani, pemasaran produksi, koperasi usaha tani, dan

perbankan (kredit usaha rakyat); ketiga, Konsep Policy/Regulationreform,

yakni berkenaan dengan pengaturan kebijakan dan hukum yang berpihak pada

rakyat banyak.8

Ida Nurlinda memaparkan 10 prinsip dasar reforma agraria yakni:

Pertama, Menjunjung tinggi hak asasi manusia, karena hak atas sumber-

sumber agraria merupakan hak ekonomi setiap orang; Kedua, Unifikasi

hukum yang mampu mengakomodasi keanekaragaman hukum setempat

(pluralisme); Ketiga, Keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-

sumber agraria (keadilan gender, keadilan dalam suatu generasi dan antar

generasi, serta pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap sumber-

sumber agraria yang menjadi ruang hidupnya); Keempat, Fungsi sosial dan

ekologi tanah serta sumber-sumber agraria lainnya, bahwa hak yang dipunyai

seseorang menimbulkan kewajiban sosial bagi yang bersangkutan karena

haknya dibatasi oleh hak orang lain dan hak masyarakat yang lebih luas;

Kelima, Penyelesaian konflik pertanahan; Keenam, Pembagian tanggung

jawab kepada daerah berkenaan dengan alokasi dan manajemen sumber-

sumber agraria; Ketujuh, Transparansi dan partisipasi dalam pembuatan


8
Ibid.

HUKUM AGRARIA 11
kebijakan hak; Kedelapan, Landreform atau restrukturisasi dalam pemilikan,

penguasaan, pemanfaatan sumber-sumber agraria; Kesembilan, Usaha-usaha

produksi di lapangan agraria; Kesepuluh, Pembiayaan program-program

pembaruan agraria.9

Sedangkan prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan sumber

daya alam sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor

IX/MPR/2001 adalah sebagai berikut:

Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus

dilaksanakan sesuai dengan prinsip- prinsip: pertama, Memelihara dan

mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; kedua,

Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; ketiga,

Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman

dalam unifikasi hukum; keempat, Mensejahterakan rakyat, terutama melalui

peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia; kelima,

Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan

optimalisasi partisipasi rakyat; keenam, Mewujudkan keadilan termasuk

kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan,

dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam; ketujuh,

Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik

untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap

memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan; kedelapan,

Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan

9
Ida Nurlinda, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria Perspektif Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2009, hlm. 96

HUKUM AGRARIA 12
kondisi sosial budaya setempat; kesembilan, Meningkatkan keterpaduan dan

koordinasi antarsektor pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan

pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam; kesepuluh,

Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan

keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam;

kesebelas, Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara,

pemerintah (pusat, daerah propinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang

setingkat), masyarakat dan individu; keduabelas, Melaksanakan

desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah

propinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat.

Berdasarkan prinsip-prinsip di atas tampak bahwa pembaruan

agraria dan pengelolaan sumber daya alam dilaksanakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat. Pembaruan agraria hampir secara universal

dipandang sebagai suatu keniscayaan untuk membenahi persoalan sosial

mendasar dalam masyarakat. Sebelum lahirnya Ketetapan MPR ini, UUPA

telah mengamanatkan agar politik, arah, dan kebijakan agraria di Indonesia

harus memberikan kontribusi nyata dalam proses mewujudkan keadilan sosial

dan sebesar-besarnya kemakmuran bagi seluruh rakyat. Untuk itu, maka politik,

arah, dan kebijakan agraria harus diarahkan pada 4 (empat) prinsip

pengelolaan, yakni:

Pertama, Agraria, khususnya pertanahan harus berkontribusi nyata

meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber baru

kesejahteraan rakyat.

HUKUM AGRARIA 13
Kedua, Agraria, khususnya pertanahan harus berkontribusi nyata

meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam

kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan, dan pemilikan

tanah.

Ketiga, Agraria, khususnya pertanahan harus berkontribusi nyata

menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan

kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada

generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat, dalam hal ini

tanah.

Keempat, Agraria, khususnya pertanahan harus berkontribusi nyata

menciptakan tatanan kehidupan yang secara harmonis dengan mengatasi

berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air dan menata

sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di

kemudian hari.10

Reforma agraria di Indonesia dilaksanakan berdasarkan Ketetapan

MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam yang mengamanatkan kepada pemerintah

antara lain untuk melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan,

penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan dengan

memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat serta menyelesaikan

konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya alam yang timbul

selama ini sekaligus mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang


10
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, BPN
RI, Jakarta, 2010, hlm. 42-43.

HUKUM AGRARIA 14
guna menjamin terlaksananya penegakan hukum. Pasal 2 Ketetapan MPR

RI Nomor IX/ MPR/2001 menegaskan bahwa Pembaruan Agraria adalah

mencakup suatu proses berkesinambungan berkenaan dengan penataan

kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya

agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan

hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Perkataan berkesinambungan pada Pasal 2 tersebut di atas berarti

melihat pembaruan agraria masa lalu, masa kini dan masa akan datang.

Setiap usaha pembaruan, jika ingin berhasil tidak boleh menutup mata

mengenai apayang ada, apa yang ditinggalkan, dan sejarah pertumbuhannya.

Produk hukum masa lalu yang sampai sekarang masih berlaku perlu peninjauan

kembali untuk diverifikasi dan difalsifikasi apakah masih relevan dan cocok

dengan kebutuhan sekarang dan masa yang akian datang. Berdasarkan hal

ini, maka kemudian ditetapkan apa yang seharusnya dilakukan bagi tujuan

masa yang akan datang melalui penafsiran yang futuristik.11

Berdasarkan Pasal 2 tersebut terlihat bahwa ada 2 (dua) bagian pokok,

yakni aspek penguasaan dan pemilikan di satu sisi serta aspek penggunaan

dan pemanfaatan di sisi lainnya. Aspek penguasaan dan pemilikan

tersebut merupakan kegiatan utama landreform, sedangkan aspek

penggunaan dan pemanfaatan merupakan kegiatan access reform.

B. Strategi Reformasi Agraria

11
Achmad Sodiki, Politik Hukum Agraria, Konstitusi, Press, Jakarta, 2013, hlm. 37

HUKUM AGRARIA 15
Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria mencakup enam

komponen program, yakni:12

(1) Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian

Konflik Agraria, yang ditujukan untuk menyediakan basis

regulasi yang memadai bagi pelaksanaan agenda-agenda

Reforma Agraria, dan menyediakan keadilan melalui kepastian

tenurial bagi tanah-tanah masyarakat yang berada dalam

konflik-konflik agraria;

(2) Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek Reforma

Agraria, yang ditujukan untuk mengidentifikasi subjek

penerima dan objek tanah-tanah yang akan diatur kembali

hubungan penguasaan dan kepemilikannya;

(3) Kepastian Hukum dan Legalisasi Hak atas Tanah Objek

Reforma Agraria, yang ditujukan untuk memberikan kepastian

hukum dan penguatan hak dalam upaya mengatasi kesenjangan

ekonomi dengan meredistribusi lahan menjadi kepemilikan

rakyat;

(4) Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan,

Pemanfaatan dan Produksi atas Tanah Obyek Reforma

Agraria, yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan

dengan perbaikan tata guna dan pemanfaatan lahan, serta

pembentukan kekuatan-kekuatan produktif baru;

12
https://hanibalhamidi.files.wordpress.com/2016/09/naskah-stranas-pelaksanaan-reforma-agraria-ksp.pdf,
diakses pada hari Minggu, tanggal 15 Oktober 2017 pukul 13.34 WITA.

HUKUM AGRARIA 16
(5) Pengalokasian Sumber Daya Hutan untuk Dikelola oleh

Masyarakat, yang ditujukan untuk mengatasi kesenjangan

ekonomi dengan pengalokasian hutan negara untuk dikelola

masyarakat; dan

(6) Kelembagaan Pelaksana Reforma Agraria Pusat dan

Daerah, untuk memastikan untuk memastikan tersedianya

dukungan kelembagaan di pemerintah pusat dan daerah, serta

memampukan desa untuk mengatur penguasaan, pemilikan,

penggunaan dan pemanfaatan tanah, sumber daya alam, dan

wilayah kelola desa.

C. Prinsip dan Landasan Hukum Reformasi Agraria


1. Prinsip Reformasi Agraria

Secara garis besar terdapat 10 (sepuluh) prinsip dalam Pembaruan

Agraria. Ke 10 (sepuluh) prinsip-prinsip tersebut antara lain:13

1. Menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Hak atas dasar sumber daya alam merupakan hak ekonomi setiap orang.

Sesuatu yang menjadi hak setiap orang, merupakan kewajiban/tanggung jawab

bagi negara/pemerintah untuk melindungi, memajukan, menegakkan, dan

memenuhinya (Pasal 69 Ayat (2) UU No 39/1999 tentang Hak Asasi

Manusia). Dalam kaitan dengan prinsip ini, perlu didukung upaya

penyempurnaan Pasal 33 Ayat (3) yang sedang dilakukan oleh PAH I, karena

13
http://tataruangpertanahan.com/pdf/pustaka/artikel/30.pdf, diakses pada hari Minggu, tanggal 15
Oktober 2017, pukul 14.20 WITA.

HUKUM AGRARIA 17
pasal ini yang merupakan landasan bagi hubungan antar negara dengan

sumber daya alam (sumber agraria) dan antara negara dengan rakyat.

Dari segi empiris, rumusan Pasal 33 Ayat (3) yang penjelasanya amat

singkat itu telah diterjemahkan secara longgar melalui berbagai UU yang

terkait dengan sumber daya alam (tanah, hutan, tambang, dan sebagainya)

sehingga terjadi apa yang disebut ”negaraisasi” sumber daya alam dengan

segala implikasinya, antara lain penafian hak-hak masyarakat adat/lokal atas

`sumber daya alam. Sebagai contoh, dari Penjelasan UUPA tentang kekuasaan

negara terhadap bumi, air, ruang angkasa, maka implikasinya adalah bahwa

”hak menguasai negara” meliputi : Tanah-tanah yang di atasnya sudah ada hak

perorangan Tanah-tanah yang di atasnya terdapat hak alayat, hak masyarakat

adat, dan (III)Tanah-tanah yang di atasnya tidak terdapat hak-hak dalam butir

(I) dan(II). Analog dalam hal tersebut di atas, maka menurut UU Kehutanan

(UU N0 5/1967 dan telah direvisi dengan UU No 41/1999) hak menguasai

negara atas hutan (hutan negara) meliputi kawasan hutan di seluruh

Indonesia. Di samping hutan negara, diakui keberadaan hutan milik. Tetapi

keberadaan hutan adat tidak diakui karena menurut UU No 41 Tahun 1999

hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di atas hutan negara.

Dengan demikian diharapkan bahwa dari perumusan Pasal 33 Ayat (3)

yang disempurnakan akan diperoleh penegasan tentang hal-hal sebagai

berikut:

HUKUM AGRARIA 18
1. Sumber daya alam merupakan hak bersama seluruh rakyat, dan dalam

pengertian hak bersama itu terdapat dua hak yang diakui, yaitu hak

kelompok (hak bersama) dan hak perorangan.

2. Kewenangan negara terhadap sumber daya alam terbatas pada

kewenangan pengaturan. Pengaturan oleh negara diperlukan kekhawatiran

bahwa tanpa campur tangan negara ketidak adilan dalam akses terhadap

perolehan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat.

3. Negara tidak perlu melakukan intervensi bila masyarakat telah dapat

menyelesaikan masalah atau kepentingan sendiri dan bahwa hal itu tidak

bertentangan dengan kepentingan atau hak pihak lain.

4. Kewenangan mengatur oleh negara tidak tak terbatas, tetapi dibatasi

oleh dua hal, yaitu: (1) pembatasan oleh Undang-Undang Dasar (UUD).

Pada prinsipnya hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat

terhadap pelanggaran hak-hak dasar manusia yang dijamin oleh

UUD; (2) pembatasan oleh tujuannya, yakni untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat atau untuk tercapainya keadilan sosial.

Hubungan antara negara dengan rakyat bukan hubungan subordinasi,

tetapi hubungan yang setara karena negara memperoleh hak

menguasai dalam kedudukannya sebagai wakil dari seluruh rakyat. Dan,

sesuai dengan prinsip HAM, maka apa yang menjadi hak setiap orang

merupakan kewajiban bagi negara untuk memenuhinya. Netralitas negara dan

fungsinya sebagai wasit yang adil harus dapat dijamin.

HUKUM AGRARIA 19
2. Unifikasi hukum yang mampu mengakomodasi keanekaragaman

hukum setempat (pluralisme).

Pasal 6 Ayat (1) UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia,

menyebutkan bahwa: ”Dalam rangka penegakan HAM, perbedaan dan

kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi

oleh hukum, masyarakat dan pemerintah”. Hal ini berarti bahwa kebijakan

yang bersifat nasional harus mampu memberi tempat pada hukum adat yang

masih berlaku dan dijunjung tinggi dalam lingkungan masyarakat adat,

selaras dengan upaya perlindungan dan penegakan HAM dari masyarakat

yang bersangkutan, selama hal itu tidak menimbulkan pelanggaran terhadap

hak asasi pihak lain.

3. Land reform/restrukturisasi pemilikan dan penguasaan tanah.

Land reform sebagai upaya penataan kembali struktur pemilikan dan

penguasaan tanah ditujukan untuk mencapai keadilan, utamanya bagi mereka

yang sumber penghidupannya tergantung pada produksi pertanian. Berbagai

program land reform, antara lain berupa redistribusi tanah (yang berasal dari

tanah-tanah jabatan di desa, tanah yang tidak sesuai dengan kebutuhan

riil perusahaan bidang industri, perumahan, jasa/pariwisata, pengusahaan

di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan, dan lain-lain), penyediaan

lapangan kerja di sektor pertanian, teknologi, dan tersedianya peluang pasar

untuk produk-produk pertanian. Di samping rural land reform tersebut di

atas, perlu diperhatikan juga urban land reform karena kesenjangan

posisi tawar antara mereka yang mempunyai akses modal dan akses politik di

HUKUM AGRARIA 20
perkotaan, berhadapan dengan mereka yang tidak mempunyai akses

tersebut, telah semakin membuat orang miskin kota (urban poor) semakin

terpinggirkan dalam upaya memperoleh sebidang tanah untuk menopang

kehidupannya.

4. Keadilan dalam pengusaan dan pemanfaatan sumber daya (sumber-

sumber agraria).

Penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam harus sedemikian rupa

sehingga dapat dinikmati tidak saja oleh generasi sekarang, tetapi juga

generasi yang akan datang. Dalam suatu generasi, harus diupayakan

keterbukaan akses bagi setiap orang, laki-laki dan perempuan, untuk

memperoleh dan memanfaatkan sumber daya alam (sumber agraria).

Pemanfaatan sumber daya alam oleh satu generasi tidak boleh

mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang sehingga harus dijaga

agar tidak terjadi eksploitasi yang berlebihan untuk kepentingan jangka

pendek. Termasuk dalm prinsip ini adalah mengakui kepemilikan masyarakat

adat terhadap sumber daya alam yang menjadi ruang hidupnya.

5. Fungsi sosial dan ekologi tanah

Dalam kedudukan manusia sebagai individu, sekaligus makhluk sosial,

maka ada kewajiban (sosial) yang timbul dan dipunyai oleh setiap pemegang

hak. Hak yang dipunyai seseorang tidak bersifat tak terbatas, karena selalu

dibatasi oleh hak orang lain dan hak masyarakat yang lebih luas, baik yang

dilakukan oleh pemerintah dengan alasan kepentingan umum, maupun oleh

pihak lain untuk berbagai kegiatan pembangunan. Oleh karena itu,

HUKUM AGRARIA 21
pengambilalihan hak itu harus dilaksanakan sesuai undang-undang (Pasal 28

H Ayat (4) jo Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945 Perubahan Kedua) dan diikuti

dengan ganti kerugian yang adil, baik terhadap kerugian fisik (kehilangan

tanah, bangunan, tanaman, dan lain-lain) maupun kerugian nonfisik

(kehilangan pekerjaan, kehilangan kesempatan utuk memperoleh

keuntungan/manfaat tertentu, dll)

6. Penyelesaian konflik pertanahan.

Konflik-konflik baik yang bersifat vertikal maupun horisontal bila

tidak dilakukan penyelesaian secara tuntas dan sekaligus, akan merupakan

gangguan untuk dapat terselenggaranya kehidupan sosial dan bernegera yang

harmonis.

7. Pembagian kewenangan antara pusat dan daerah dan

kelembagaan pendukung.

Perlu adanya kerelaan dan penegasan kewenangan pusat dan daerah,

sehingga menjadi jelas pertanggungjawabannya masing-masing, utamanya

dalam alokasi dan manjemen sumber-sumber daya agraria / sumber daya

alam. Apabila Reforma Agraria dipilih sebagai suatu pilihan kebijakan

restrukturisasi pemilikan/penguasaan dan pemanfaatan tanah serta sumber

daya alam lainnya, maka diperlukan suatu lembaga pendukung yang dapat

memfasilitasi pelaksanaannya, mengkoordinasikan menyelesaikan sengketa

yang timbul dari pelaksanaannya.

8. Transparansi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan.

HUKUM AGRARIA 22
Paradigma lama yang bercirikan sentralisme dalam pembuatan

kebijakan telah menafikan partisipasi, sekaligus tidak bersifat pembuatannya.

Tradisi sosialisasi terhadap RUU/RPP/ Raperda, akan lebih baik apabila

diganti dengan konsultas publik dalam setiap tahapan yang bersangkutan,

sehingga terwujud yang disebut dengan partisipasi interaktif dan bukan

partisipasi pasif seperti yang terjadi pada saat ini.

9. Usaha-usaha produksi di lapangan agraria.

Restrukturisasi pemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria

haruslah diikuti dengan suatu program yang sistematis untuk

menyelenggarakan kegiatan- kegiatan produksi yang menjadi dasar bagi

pengembangan ekonomi rakyat. Untuk memperkuat ekonomi rakyat, harus

ada pembatasan yang tegas bagi usaha-usaha produksi skala besar yang

pemilikan atau penguasaannya terkonsentrasi di satu tangan di lapangan

agraria. Terlebih lagi, monopoli kegiatan usaha produksi di lapangan Agraria

haruslah dicegah.

10. Pembiayaan program-program pembaruan agraria.

Pelaksanaan program-program pembaruan agraria yang

berkesinambungan memerlukan tersedianya biaya secara rutin yang harus

dijamin oleh pemerintah. Tanpa adanya dukungan biaya, program-program

pembaruan agraria hanya akan berada di organisasinya, dikendalikan secara

sosial, bersifat parsipatoris, dan menghargai kesetaraan jender, dalam konteks

pembangunan ekonomi, sosial yang berkelanjutan dari segi lingkungan.

Kebijakan tersebut hendaknya memberi kontribusi terhadap ketahanan

HUKUM AGRARIA 23
pangan dan penghapusan kemiskinan, berdasarkan hak asasi yang bersifat

individual, komunal dan kolektif, kesetaraan, termasuk, inter alia,

kesempatan kerja, khususnya melalui perusahaan skala kecil dan menengah,

penyertaan sosial dan konservasi aset lingkungan dan budaya di wilayah

pedesaan, melalui perspektif mata pencaharian yang berkelanjutan dan

pemberdayaan kelompok terkait yang bersifat lemah di pedesaan, kebijakan

ini sangat menghargai hak dan aspirasi masyarakat pedesaan, khususnya

kelompok lemah yang termarjinalkan dalam kerangka hukum nasional dan

dialog yang efektif.

2. Landasan Hukum Reformasi Agraria

Reforma Agraria telah dijelaskan di bagian Penjelasan Umum Undang-

Undang Pokok Agraria pada romawi II angka (7), yang berisi : “Dalam pasal 10

ayat (1) dan (2) dirumuskan suatu asas yang pada dewasa ini sedang menjadi

dasar daripada perubahan-perubahan dalam struktur pertanahan hampir di seluruh

dunia, yaitu di negara-negara yang telah atau sedang menyelenggarakan apa yang

disebut ”Landreform” atau “Agrarianreform”. Selain peraturan perundang-

undangan yang menjadi landasan hukum, ada beberapa dasar yang menjadi

landasan pelaksanaan Reforma Agraria, antara lain: 14

a. Landasan Idil, yaitu Pancasila.


b. Landasan Konstitusional, yaitu UUD 1945 dan Perubahannya.
c. Landasan Politis, yang terdiri dari TAP MPR Nomor IX/MPR/2001

Tentang : Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam;

14
http://amatarpigo.blogspot.co.id/2013/11/makalah-reforma-agraria.html, diakses pada hari Senin,tanggal16
Oktober 2017, pukul 15.00 WITA.

HUKUM AGRARIA 24
Keputusan MPR-RI Nomor 5 Tahun 2003 tentang Penugasan Kepada

Pimpinan MPR-RI oleh Presiden, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan

MPR-RI Tahun 2003; dan Pidato Politik Awal Tahun Presiden RI tanggal

31 Januari 2007.
d. Landasan Hukum, diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958

tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir (Lembaran Negara RI Tahun

1958 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negra RI Nomor 1517); Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembar Negara RI

Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4411);

Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang

(Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran

Negara RI Nomor 4725), dan lain sebagainya.

D. Tujuan Reformasi Agraria


Bertujuan untuk mengadakan distribusi yang adil dan merata dari sumber

daya alam selama kehidupan masyarakat dalam bentuk lahan pertanian, sehingga

divisi ini diharapkan untuk mencapai distribusi yang adil dan merata (Peraturan

No. 224/1961). Menteri Agraria Sadjarwo dalam draft pengajuan BAL pengantar

pidato pada 12 September 1960 menyatakan bahwa tujuan dari pelaksanaan Land

reform di Indonesia adalah (i) melakukan bagian yang adil dari mata pencaharian

masyarakat petani di tanah; (ii) menerapkan prinsip tanah untuk petani, sehingga

tanah tidak menjadi alat pemerasan; (iii) memperkuat dan memperluas hak milik

atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia. Sebuah pengakuan dan

perlindungan hak milik; (iv) mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapus

HUKUM AGRARIA 25
kepemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan cara batas

maksimum dan batas-batas yang ditetapkan minimum untuk setiap keluarga

(Gauthier, 1986).
Menurut Zulkarnain (2004) Bisa dikategorikan dalam tiga (3) tujuan: (i)

ekonomi, untuk memperbaiki kondisi sosial-ekonomi masyarakat dengan

memperkuat hak milik rakyat dan memberikan fungsi sosial hak milik,

meningkatkan produksi nasional, terutama di sektor pertanian dalam rangka

meningkatkan standar hidup; (ii) politik, mengakhiri tuan tanah dan

menghapuskan sistem kepemilikan tanah, terus bagian yang adil dari mata

pencaharian masyarakat petani dalam bentuk tanah.


Reforma agraria (landreform) juga memiliki beberapa tujuan, diantaranya

sebagai berikut:
1. Menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah

ke arah yang lebih adil.


2. Mengurangi kemiskinan.
3. Menciptakan lapangan kerja.
4. Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi (terutama

tanah).
5. Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan.
6. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup.
7. Meningkatkan ketahanan pangan.
Adapun tujuan dari landreform menurut Michael Lipton dalam Mocodompis

(2006) adalah:
1. Menciptakan pemerataan hak atas tanah diantara kemudian secara

langasung akan mengurangi jumlah petani penggarap yang hanya

mengandalkan para pemilik tanah. Ini dilakukan melalui usaha yang

intensif yaitu dengan redistribusi tanah, untuk mengurangi perbedaan

pendapatan antara petani besar dan kecil yang dapat merupakan usaha

untuk memperbaiki persamaan diantara petani secara menyeluruh.

HUKUM AGRARIA 26
2. Untuk meningkatkan dan memperbaiki daya guna penggunaan lahan.

Dengan ketersediaan lahan yang dimilikinya sendiri maka petani akan

berupaya meningkatkan produktivitasnya terhadap lahan yang

diperuntukkan untuk pertanian tersebut, sistem bagi hasil yang cenderung

merugikan para petani.

HUKUM AGRARIA 27
BAB III

PEMBAHASAN

STRATEGI REFORMASI AGRARIA DI INDONESIA MELALUI PROYEK

OPERASI NASIONAL AGRARIA SERTIFIKAT TANAH GRATIS

A. Konsep Proyek Operasi Nasional Agraria

Proyek Operasi Nasional Agraria ( PRONA ) adalah untuk program

sertifikasi tanah yang di selenggarakan oleh pemerintah untuk masyarakat

golongan miskin”. Sejak diundangkannya UU No. 5/1960 ( Agrari/ UUPA ) dan

PP No.10 / 1961 ( Pendaftaran Tanah ), pemerintah berharap dapat melaksanakan

penyelenggaraan pendaftaran tanah atas seluruh bidang tanah di Indonesia, akan

tetapi selama kurun waktu 30 tahun (tahun 1960 s/d 1980) , ternyata

penyelenggaraan tidak berjalan lancar sebagaimana yang di harapkan. Salah satu

kendala utama yang di hadapi ialah bahwah pendaftaran tanah memerlukan biaya

tinggi, sementara pada sisi yang lain, budget yang tersedia amat tak memadai.

Guna mengatasi masalah ini, diperlukan cara terpadu yang melibatkan

pemerintah dan rakyat, khususnya mayarakat pemegang hak atas tanah (pemilik

tanah), upaya terpadu ini adalah penyelenggaraan operasi agrarian, yang

selanjutnya dikenal dengan istilah “PRONA” (Proyek Operasi Nasional Agraria).

HUKUM AGRARIA 28
Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui kegiatan ini adalah untuk

menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat dalam bidang pertanahan sebagai

usaha untuk berpartisipasi dalam menciptakan stabilitas politik serta ekonomi.

Negara RI adalah negara hukum (rechtstaat), yang berarti bahwa segala

tindakan, termasuk kebijakan pemerintah sekalipun, harus mempunyai landasan

hukum. Prona sebagai salah satu kebijakan pemerintah dibidang agrarian, juga

wajib didasarkan pada aturan pelaksanaan, maka mulai tahun 1981 diterbitkanlah

Keputusan Menteri Dalam Negeri (KMDN) No. 189/1981, No. 220/1981,

No. 226/1982, dan No. 348/1982 yang berlaku sebagai dasar hukum

pelaksanaannya.

PENGGOLONGAN

Pasal 9 ayat (2) UUPA menegaskan bahwa: “tiap-tiap WNI, baik laki-laki

maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu

hak atas tanah serta untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya baik bagi diri

sendiri maupun keluarganya”.

Ketentuan pasal ini mengandung suatu pengertian bahwa sehubungan

dengan hak atas tanah, dikenal adanya diskriminasi antar sesama WNI, baik

gender, golongan, agama, keturunan dan lain sebagainya. Semua berhak untuk

mendapatkan kesempatan pelayanan yang sama dalam hak-hak atas tanah. Itu

berarti bahwa peserta Prona bukanlah monopoli golongan orang tertentu saja,

meskipun salah satu alas an lahirnya konsep Prona, karena ketidakmampuan

golongan masyarakat ekonomi lemah (miskin) untuk membiayai sertifikasi tanah

miliknya.

HUKUM AGRARIA 29
Pengertian bahwa semua WNI pemilik tanah mempunyai hak untuk

menjadi peserta Prona, tidaklah identik dengan pengertian bahwa mereka semua

secara otomatis serentak diikutsertakan dalam Prona. Sertifikasi tanah secara

misal dalam Prona tidaklah mungkin dilaksanakan secara sekaligus untuk semua

pemilik tanah. Prona hanya mungkin dilaksanakan dengan mengingat realita

kemampuan pemerintah.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dalam penentuan pelaksanaan

Prona, secara teknis diadakan penggolongan. Maksud penggolongan ini tidak lain

demi: keadilan dan pemerataan terhadap sesama WNI. Persoalan yang muncul

kemudian, apakah penggolongan ini sesuai dan sejalan dengan UUPA. Pasal 11

ayat (2) menyatakan bahwa: “perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan

hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional diperhatikan dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan

golongan ekonomi lemah”.

Penegasan pasal di atas mengandung prinsip perlindungan kepada

masyarakat golongan ekonomi lemah (miskin) dari golongan ekonomi kuat.

Maksudnya adalah untuk mencegah eksploitasi atas penghidupan orang lain yang

melampaui batas, dengan demikian, jelas bahwa penggolongan teknis dalam

pelaksanaan Prona bukanlah diskriminasi, melainkan demi melindungi

masyarakat golongan ekonomi lemah semata.Milik Semua Golongan. Adapun

golongan masyarakat yang dapat diikutsertakan dalam Prona adalah:

1. Golongan ekonomi lemah (KMDN No 220/1981), Prona pertama-tama

ditujukan kepada kaum grass root. Hal ini dilandasi suatu pemikiran bahwa

HUKUM AGRARIA 30
bagi kaum ini, Prona merupakan kemudahan dan keringanan yang diperoleh

dari pemerintah dalam usaha untuk memperoleh kepastian hak atas tanah yang

dimilikinya.
2. Golongan ekonomi mampu (KMDN No 226/1982), pengikutsertaan golongan

middle up sebagai peserta Prona untuk kaum ini perlu juga ditumbuhkan gairah

dan kesadaran hukum untuk mengurus sertifikat hak atas tanah milik mereka,

sehingga diberikan keringanan dan kemudahan.


3. Badan hukum keagamaan, sosial dan pendidikan (KMDN No 348/1982)

diikutsertakan sebagai peserta Prona dengan pertimbanagn yang sama, yaitu

agar tumbuh kesadaran hukum lembaga tersebut untuk mengurus sertifikat hak

atas tanah asset mereka.


4. Perorangan anggota organisasi profesi/ fungsional/ kemasyarakatan/ sosial/

politik ( pengumuman Dirjend agraria No 02/PRONA/V/1/1982 tanggal 16

Januari 1982) diberikan kesempatan untuk menjadi peserta Prona dengan

pertimbangan yang juga sama.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut, Nampak bahwa pengikutsertaan

seseorang dalam Prona tidak hanya sekedar dilihat dari segi kemampuan

ekonominya semata, melainkan juga dari segi yang lain. Dengan demikian,

terbukti bahwa Prona bukan hanya monopoli kaum grass root saja, melainkan

milik semua golongan masyarakat.15

B. Penerapan Proyek Operasi Nasional Agraria sertifikat Tanah Gratis Di

Indonesia

15
Landdiary.blogspot.co.ic/2012/10/prona.html#!/tcmbck, diakses pada hari Sabtu, tanggal 14
Oktober 2017, Pukul 22.12 WITA.

HUKUM AGRARIA 31
PRONA adalah salah satu bentuk kegiatan legalisasi asset dan pada

hakekatnya merupakan proses administrasi pertanahan yang meliputi; adjudikasi,

pendaftaran tanah sampai dengan penerbitan sertifikat/tanda bukti hak atas tanah

dan diselenggarakan secara massal. PRONA dimulai sejak tahun 1981

berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 189Tahun 1981 tentang

Proyek Operasi Nasional Agraria. Berdasarkan keputusan tersebut, Penyelenggara

PRONA bertugas memproses pensertifikatan tanah secara masal sebagai

perwujudan daripada program Catur Tertib di Bidang Pertanahan.

Salah satu tujuan pelaksanaan PRONA adalah memproses sertifikasi tanah

secara massal sebagai perwujudan dari pada program pemerintah di bidang

pertanahan yang pelaksanaannya dilakukan secara efisien dan mudah yang

ditujukan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah dan memberikan

perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada masyarakat mengenai hak atas

tanah yang dikuasainya.

Kegiatan Redistribusi Tanah Objek Landreform terdiri dari beberapa tahapan,

yaitu:

a. Persiapan dan perencanaan Kegiatan;


b. Pelaksanaan Kegiatan Redistribusi Tanah Negara;
c. Monitoring, Evaluasi dan Pengawasan;
d. Pelaporan.

Kegiatan-kegiatan dalam tahap persiapan prona tersebut umumnya diawali

dengan inventaris dan pengidentifikasian lokasi dan calon peserta prona yang

melibatkan aparatur desa/kelurahan bahkan kecamatan dalam mencari dan

HUKUM AGRARIA 32
mendata calon peserta prona. Selanjutnya, calon peserta prona yang telah

dihimpun oleh aparatur desa/kelurahan diusulkan oleh lurah/kepala desa ke kantor

pertanahan setempat untuk kemudian akan melalui proses uji kelayakan oleh

aparatur BPN melalui penelitian, verifikasi dan validasi serta kepatutan

persyaratan untuk dijadikan peserta prona. Pengusulan calon peserta prona

sebelum diterbitkannya keputusan kepala kantor pertanahan tentang penetapan

calon peserta prona adalah terkait dengan kriteria calon peserta prona tersebut

yang menitik beratkan bahwa kegiatan prona diarahkan pada pensertifikatan

tanah-tanah bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah, sehingga calon

peserta benar-benar memiliki batas kemampuan ekonomi sebagaimana yang telah

distandarkan oleh petunjuk teknis prona sebagaimana di tetapkan oleh Menteri

ATR/Ka. BPN.

Ketika kriteria calon peserta prona dinilai layak oleh aparatur BPN, maka

akan diberikan legalitas terhadap calon peserta prona dimaksud dengan

diterbitkannya Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota

setempat tentang Penetapan Calon Peserta Prona. Selanjutnya barulah dilakukan

tahapan kegiatan prona berupa penyuluhan, pengumpulan data yuridis,

pengukuran bidang, dan seterusnya sampai dengan penerbitan dan penyerahan

sertipikat hak atas tanah kepada para peserta prona. Adapun kriteria yang

ditetapkan untuk masyarakat penerima PRONA adalah :

1. Pemilik Tanah golongan ekonomi lemah sampai menengah.

2. Berdomisili di lokasi kegiatan Prona.

HUKUM AGRARIA 33
3. Pemilik tanah korban bencana alam dan konflik sosial.

4. Anggota organisasi : Perintis Kemerdekaan, Angkatan 45, Legiun Veteran,

Pepabri, Warakawuri, Wredatama, ABRI, KORPRI, dan Pensiunan PNS.

5. Pemilik tanah bertempat tinggal di Kecamatan letak tanah obyek PRONA

untuk tanah pertanian.

6. Nadzir yang mengelola tanah wakaf untuk kepentingan keagamaan/sosial.

Peserta (Subyek) Kegiatan PRONA adalah orang (individu) atau badan

hukum/lembaga yang dapat mempunyai hak atas tanah, sebagai berikut:

1. Perorangan (individu), yang dapat menjadi peserta Kegiatan PRONA adalah

Warga Negara Indonesia;

2. Lintas Sektoral Peserta PRONA dalam sertipikasi lintas sektoral adalah

masyarakat yang kriterianya diusulkan oleh Kementerian/Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD);

3. Nazhir, Nazhir tanah wakaf baik perorangan, organisasi dan badan hukum;

4. Badan Hukum, Badan hukum yang dapat menjadi Peserta Kegiatan PRONA

adalah badan hukum/lembaga yang bergerak di bidang sosial dan keagamaan

sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963.

Sedangkan kriteria obyek (tanah) yang dapat ditetapkan sebagai objek

penerima PRONA adalah :

1. Tanah sudah dikuasai secara fisik.

2. Mempunyai alas hak (bukti kepemilikan).

HUKUM AGRARIA 34
3. Bukan tanah warisan yang belum dibagi.

4. Tanah tidak dalam keadaan sengketa.

5. Lokasi tanah berada dlm wilayah Kabupaten lokasi peserta Program yg

dibuktikan dg KTP.

6. Luas tanah maksimal 2.000 m2 utk tanah non pertanian dan maksimal 20.000

m2 utk tanah pertanian.

7. Tanah Negara, Tanah non pertanian dengan luas sampai dengan 2.000 m2 (dua

ribu meter persegi), kecuali obyek PRONA yang berlokasi wilayah Kab/Kota

Kantor Pertanahan tipe A sampai dengan luas 500 m2 (lima ratus meter

persegi); dan Tanah pertanian dengan luas sampai 2 ha (dua hektar).

8. Penegasan konversi/pengakuan hak,Tanah non pertanian dengan luas sampai

dengan 5.000 m2 (lima ribu meter persegi), kecuali obyek PRONA yang

berlokasi wilayah Kab/Kota Kantor Pertanahan tipe A sampai dengan luas

1.000 m2 (seribu meter persegi); dan Tanah pertanian dengan luas sampai 5 ha

(lima hektar).

9. Jumlah bidang tanah, Bidang tanah yang dapat didaftarkan atas nama

seseorang atau 1 (satu) peserta dalam kegiatan PRONA paling banyak 2 (dua)

bidang tanah.

Fasilitas yang didapatkan peserta program ini adalah ;

1. Bantuan biaya Pensertipikatan tanah.

2. Pengurangan BPHTB sesuai peraturan perundang-undangan.

HUKUM AGRARIA 35
Selain fasilitas yang didapatkan peserta program ini memiliki kewajiban yang

harus dilakukan agar prose PRONA dapat berjalan dengan lancar, kewajiban ini

antara lain :

1. Melengkapi surat dan/atau dokumen asli tanah yang diperlukan dalam proses

sertipikasi tanah.

2. Sanggup membayar BPHTB, uang pemasukan kepada negara dan biaya-biaya

lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Dapat menunjukkan letak dan batas bidang tanah serta memasang tanda batas.

Tahap Pelaksanaan Kegiatan PRONA:

1. Usulan lokasi desa yang disesuaikan dengan criteria.

2. Penetapan lokasi desa sebagai lokasi PRONA oleh kepala Badan Pertanahan

Nasional RI.

3. Penyuluhan oleh Tim Penyuluh Kantor Pertanahan Kabupaten setempat.

4. Pembentukan Satuan Tugas Pengumpul Data Yuridis Oleh Kepala Kantor

Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi setempat.

5. Pendataan oleh Satgas Pengumpul Data Yuridis untuk kelengkapan berkas

permohonan dan penyerahan Surat Tanda Terima Dokumen (STTD).

6. Pemasangan Titik Dasar Teknis orde IV dan pengukuran kerangka dasar

teknis.

7. Penetapan batas bidang tanah oleh pemilik tanah dengan persetujuan tetangga

yang berbatasan di setiap sudut bidang tanah dan dilaksanakan pemasangan

tanda batasnya.

HUKUM AGRARIA 36
8. Pengukuran bidang - bidang tanah berdasarkan tanda batas yang telah

ditetapkan dan terpasang.

9. Sidang Panitia untuk meneliti subyek dan obyek tanah yang dimohon dengan

memperhatikan persyaratan yang dilampirkan.

10. Pembuktian hak melalui PENGUMUMAN yang diumumkan selama 1 (satu)

bulan, guna memberikan kesempatan para pihak untuk mengajukan sanggahan

/ keberatan

11. Pengesahan atas pengumuman.

12. Pembukuan hak dan proses penerbitan sertipikat hak atas tanah.

13. Penyerahan sertipikat hak atas tanah di setiap Desa, peserta membawa KTP

asli atau surat kuasa bila dikuasakan.

Sumber anggaran pelaksanaan kegiatan PRONA adalah dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jadi dapat kita simpukan bhwa biaya

yang ada di Prona adalah gratis karena telah ditanggung oleh Negara, melalui

APBN.

Mengenai biaya yang dikenakan untuk sertipikat tanah PRONA, hal itu

diatur dalam Keputusan Meneg Agraria/Kepala Badan pertanahan Nasional No. 4

Tahun 1995 tentang Perubahan Besarnya Pungutan Biaya Dalam Rangka

Pemberian Sertifikat Hak Tanah yang Berasal Dari Pemberian Hak Atas Tanah

Negara, Penegasan Hak Tanah Adat dan Konversi Bekas Hak Tanah Adat, yang

Menjadi Obyek Proyek Operasi Nasional Agraria (“Kepmeneg Agraria 4/1995”).

Pasal 1 ayat (1) Kep Meneg Agraria 4/1995 menyatakan sebagai berikut:

HUKUM AGRARIA 37
“Pemberian hak-hak atas tanah negara kepada masyarakat,

penegasan/pengakuan atas tanah-tanah hak adat dan tanah-tanah lainnya

yang ditentukan sebagai lokasi Proyek Operasi Nasional Agraria dalam

rangka persertifikatkan tanah secara masal, dibebaskan dari kewajiban

membayar uang pemasukan kepada Negara seperti yang telah ditentukan

dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1975, dan kepada

penerima hak-haknya dikenakan kewajiban membayar biaya

administrasi.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, pensertifikatan tanah dalam rangka

PRONA adalah DIBEBASKAN dari kewajiban membayar uang pemasukan

kepada Negara, tapi penerima sertipikat tanah PRONA tetap HARUS

MEMBAYAR biaya administrasi. Hal ini juga sesuai dengan informasi yang

tercantum dalam laman resmi Badan Pertanahan Nasional.

Perincian Biaya Administrasi PRONA Antara Lain :

a. Pemberian hak atas tanah Negara:

 Di daerah pedesaan, untuk luas tanah sampai dengan 2 Ha sebesar Rp

3.000,-

 Di daerah perkotaan, untuk jenis penggunaan pertanian yang luasnya

kurang dari2000 M2 sebesar Rp 5.000,-. Untuk jenis penggunaan

bukan pertanian yang luasnya sampai 2.000 M2 sebesar Rp 10.000,-

HUKUM AGRARIA 38
b. Asal tanah milik adat:

 Daerah pedesaan, untuk luas tanah sampai 2 Ha sebesar Rp. 1.000,-

 Di daerah perkotaan, untuk luas tanah sampai 2.000 M2 sebesar Rp

1.000,-

Di samping biaya administrasi, kepada setiap penerima hak atas tanah

Negara dikenakan pula uang sumbangan untuk penyelenggaraan Landreform

sebesar 50% dari biaya administrasi. Setiap pemohon dikenakan biaya Panitia A

sebesar Rp. 1250,- untuk tiap bidang apabila lokasi tanah dalam proyek terdiri

dari 10 bidang; sebesar Rp. 2.500,- apabila lokasi tanah dalam proyek terdiri dari

5 sampai 9 bidang.

Sumber anggaran PRONA dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) yang dialokasikan dalam DIPA Kantor Pertanahan Kabupaten maupun

Kota, pada Program Pengelolaan Pertanahan.

1. Dalam pelaksanaan kegiatan PRONA semua biaya: Biaya Pendaftaran, Biaya

Pengukuran, Biaya Pemeriksaan Tanah adalah GRATIS (PEMOHON TIDAK

DIPUNGUT BIAYA/BEBAS BIAYA), dengan ketentuan semua persyaratan

sebagaimana tercantum di atas telah lengkap dan benar.

HUKUM AGRARIA 39
2. Biaya yang timbul akibat dari persyaratan yang harus dipenuhi sebagaimana di

atas menjadi tanggung jawab pemohon / peserta PRONA (TIDAK BEBAS

BIAYA).

PRONA BPN juga bekerjasama dengan pihak desa/kelurahan yang akan

membentuk tim kecil untuk memfasilitasi pemohon yang behak mendapatkan

sertifikat PRONA dan itu biasanya biaya tersebut dibicarakan kelurahan/desa

(perangkat desa, pihak BPD) untuk memudahkan proses mengumpulkan warga

tersebut.

Biaya tersebut seringkali meliputi :

1. Uang untuk makan tim pendamping dr desa/kel/kec/RT/RW;

2. Bensin petugas dr kel/desa/kec/RT/RW;

3. Biaya BPHTB (bagi objek yang luas dan NJOPnya kena Pajak;

4. PBB jika ada yang belum punya SPT PBB;

5. Biaya fotocopy jika ada tambahan fotocopy.

jadi jika ada biaya yang dikenakan diluar kebijakan resmi BPN bisa jadi

biaya yang diatas adalah biaya tersebut muncul sebagai akibat dari kesepakatan

yang dikeluarkan oleh pihak Desa/Kel, dan biaya ini mungkin bisa saja terdapat

perbedaan antara Desa/Kel yang satu dengan desa lainnya guna kelancaran

kegiatan PRONA. Meyinggung soal biaya yang ditanggung oleh peserta prona

(nilainya bervariatif), berdasarkan beberapa petunjuk teknis yang pernah berlaku

di lingkungan institusi BPN (tahun 2008, 2013 dan terakhir Tahun 2015) dalam

HUKUM AGRARIA 40
pelaksanaan prona diketahui pada dasarnya ada dua kategori biaya dalam

pelaksanaan prona, yaitu; Pertama, biaya yang ditanggung oleh negara atau yang

kerap diistilahkan dengan sebutan biaya proses dan Kedua, biaya yang ditanggung

oleh masyarakat atau disebut dengan istilah biaya pengurusan.

Terkait penentuan besarnya biaya prona yang akan dibebankan kepada

masing-masing perserta prona harus didasarkan pada pertimbangan kebutuhan

real dan azas kelayakan yaitu besaran biaya yang tidak memberatkan masyarakat.

Dan kebutuhan tersebut bukan merupakan asumsi personal melainkan sebuah

kesepakatan para pihak sehingga didasarkan pada asumsi kolektif. Lebih tegasnya

biaya prona yang harus ditanggung masyarakat peserta prona (biaya pengurusan)

merupakan biaya yang telah dihitung secara bersama dan merupakan kesepakatan

bersama para pihak (masyarakat sebagai peserta, Pemerintah Desa/Kelurahan

Sebagai Panitia dan unsur masyakat lain yang berkompeten seperti; BPD, Tokoh

Agama, Adat dan lain sebagainya). Dalam kesepakatan tersebut hendaknya

menuangkan perincian penggunaan dana untuk apa saja dan kemana saja dana

tersebut nantinya dipergunakan, sehingga akan lebih transparan dan dapat

terpublisitas.

Untuk memenuhi legalitas formal, maka sudah selayaknya kesepakatan

soal besaran biaya PRONA dimaksud dituangkan secara tertulis dalam bentuk

Berita Acara Kesepakatan yang ditandatangani oleh masing-masing pihak yang

menyepakatinya dan berlaku sebagai acuan hukum bagi yang menyepakatinya

(Pasal 1338 KUH-Perdata).

HUKUM AGRARIA 41
Dengan demikian pudarlah unsur perkataan pungli dalam pemungutan

biaya prona oleh aparatur desa/kelurahan kepada masyarakat peserta prona,

sepanjang belum ada aturan tentang sumber pembiayaan yang jelas dan pasti bagi

peserta kegiatan PRONA yang semestinya menjadi tanggung jawab pemohon dan

selama penggunaan dana pungutan tersebut tidak ’mengaliri’ kegiatan-kegiatan

yang sudah dibiayai atau memiliki sumber dana yang jelas.

Oleh karenanya jika masih ada penggunaan dana dimaksud yang mengalir

ke institusi BPN maka hal ini bertentangan dan menyalahi sebab semua biaya

dalam rangka penyelenggaraan prona pada institusi BPN telah dibiayai negara

sehingga jika masih dibebankan kepada masyarakat peserta prona maka akan

terjadi tumpang tindih pendanaan bagi aparatur BPN. Terkecuali ada oknum

aparatur BPN yang berusaha melakukan ’mufakat jahat’ dengan kades/lurah dan

perangkatnya dalam melaksanakan PRONA di desa/kelurahannya dengan

meminta imbalan (bisa berupa uang atau yang lainnya) maka barulah hal tersebut

dapat dikatakan sebagai PUNGLI.

C. Dampak Penerapan Prona Sertifikat Tanah Gratis

Program Nasional Agraria (Prona) oleh Kementerian Agraria dan Tata

Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) dinilai memiliki sejumlah

manfaat, salah satunya terkait permodalam usaha kecil, khususnya pertanian. Hal

tersebut dinilai berjalan selaras dengan program pinjaman yang diberikan

perbankan terhadap pelaku usaha kecil, misalnya dengan Kredit Usaha Rakyat

(KUR).

HUKUM AGRARIA 42
Prona sertifikat gratis akan memberi dampak memutus kemiskinan

struktural karena tanah yang sebelumnya tidak dimanfaatkan atau tidak

berproduksi sekarang dapat digunakan untuk mengakses sistem perekonomian

karena sudah bersertifikat (aset hidup). Ketika sebidang tanah sudah memiliki

bukti kepemilikan yang sah dan dapat diusahakan maka sertifikat tanahnya dapat

di jaminkan di Bank untuk modal usaha kecil menengah. Dengan demikian,

jumlah masyarakat miskin diharapakan menurun dan bisa mandiri secara finansial

melalui usahanya, dan lain sebagainya.

Pemerintah membuat kebijakan sertifikat gratis lewat program Prona

dengan biaya ditanggung APBN. Prona sertifikasi tanah missal ini telah memicu

pro dan kontra warga yang mendapatkan fasilitas gratis dari pemerintah itu. Pro

kontra disebabkan adanya pungutan liar (pungli). Meski secara resmi sertifikasi

massal diberikan gratis, nyatanya di lapangan aparat desa memungut biaya per

bidang tanah. Prona ini juga di beberapa daerah dianggap salah sasaran

disebabakan karena banyak warga miskin yang tak mendapatkan, dan sebaliknya

banyak warga mampu mendapatkannya. Sehingga tujuan dari program ini

terciderai oleh pelanggaran tersebut.

Program land reform melalui redistribusi tanah melakukan koreksi agar

sebagian besar penduduk dapat hidup di tanah yang luasannya layak secara

ekonomi, sosial, dan budaya. Pihak desa harus terbuka mengenai rincian dana

kepada pemohon atau warga. Hal ini dilakukan agar tidak membuka peluang

terjadinya praktik pungutan liar (pungli). Biaya prona yang dibebankan kepada

HUKUM AGRARIA 43
warga atau pemohon sebenarnya hanya sebatas patok dan materai. Namun

mengapa di lapangan setiap desa memiliki besaran tarif yang berbeda-beda,

dengan kisaran Rp 200.000 hingga Rp 600.000.

Hal tersebut tidak terlepas dengan anggaran biaya yang memang

disediakan untuk membantu masyarakat yang memiliki ekonomi menengah ke

bawah untuk mendapatkan legalitas terhadap hak atas tanah yang dikuasainya

dengan harapan sertifikat hak atas tanah yang nantinya akan diperoleh masyarakat

tersebut dapat membawa efek positif dalam meningkatkan taraf ekonomi yang

bersangkutan.

Penekanan kriteria peserta prona sebagaimana disebutkan sebelumnya

menimbulkan adagium di tengah masyarakat bahwa kegiatan prona sebenarnya

kegiatan sertifikasi tanah yang ditujukan untuk masyarakat susah. Hal ini

memposisikan sertifikat prona sebagai sebuah kegiatan pensertifikatan tanah

secara gratis sehingga ketika muncul kabar bahwa dalam pelaksanaannya

masyarakat sebagai peserta PRONA dipungut biaya yang besarannya bervariatif

antara 250 ribu sampai dengan 500 ribu per-bidang bahkan lebih dari itu,

menimbulkan kontroversi tersendiri yang merupakan efek negatif dari sebuah

pemahaman yang keliru bahwa PRONA merupakan proyek sertifikat tanah untuk

‘orang susah’.

Biaya Proses adalah biaya-biaya yang telah dianggarkan oleh negara bagi

masing-masing peserta prona yang telah dianggarakan oleh negara melalui

institusi BPN berupa; kegiatan penyuluhan, pengumpulan dan pendataan data

HUKUM AGRARIA 44
yuridis (alas hak), pengukuran bidang tanah & penerbitan gambar ukur, penelitian

data yuridis (penelitian alas hak oleh panitia A), penerbitan SK Pemberian

Hak/Penetapan Hak, Pengarsipan Warkah (dokumen alas hak) dan Buku Tanah,

Penerbitan Sertifikat dan Pembagian Sertifikat Hak Atas tanah kepada yang

berhak menerimanya.

Karena karakter kegiatan prona yang bersifat kolektif, aparatur

desa/kelurahan kerap menginterpretasikan pemungutan biaya-biaya prona secara

kolektif. Bahkan besarnya nilai biaya yang dibebankan kepada masing-masing

peserta prona terkadang tidak didasarkan kepada asas kesepakatan dan

keseragaman. Sehingga kondisi faktual tersebut mengarahkan adanya tudingan

pungli yang dilakukan dalam kegiatan prona. Bahkan tuduhan pungli tidak hanya

di arahkan kepada aparatur desa/kelurahan saja melainkan juga menyentuh

aparatur di lingkungan institusi BPN.

HUKUM AGRARIA 45
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Proyek Operasi Nasional Agraria ( PRONA ) adalah untuk program

sertifikasi tanah yang di selenggarakan oleh pemerintah untuk masyarakat

golongan miskin”. Pemerintah berharap dapat melaksanakan

penyelenggaraan pendaftaran tanah atas seluruh bidang tanah di

Indonesia.. ternyata penyelenggaraan tidak berjalan lancar sebagaimana

yang di harapkan. Salah satu kendala utama yang di hadapi ialah bahwah

pendaftaran tanah memerlukan biaya tinggi, sementara pada sisi yang lain,

budget yang tersedia amat tak memadai.

Guna mengatasi masalah ini, diperlukan cara terpadu yang melibatkan

pemerintah dan rakyat, khususnya mayarakat pemegang hak atas tanah

(pemilik tanah), upaya terpadu ini adalah penyelenggaraan operasi

agrarian, yang selanjutnya dikenal dengan istilah “PRONA” (Proyek

Operasi Nasional Agraria). Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui

kegiatan ini adalah untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat

dalam bidang pertanahan sebagai usaha untuk berpartisipasi dalam

menciptakan stabilitas politik serta ekonomi.

HUKUM AGRARIA 46
2. Kegiatan Redistribusi Tanah Objek Landreform terdiri dari beberapa

tahapan, yaitu Persiapan dan perencanaan Kegiatan; Pelaksanaan Kegiatan

Redistribusi Tanah Negara; Monitoring, Evaluasi dan Pengawasan; dan

Pelaporan. Pengidentifikasian lokasi dan calon peserta prona yang

melibatkan aparatur desa/kelurahan bahkan kecamatan dalam mencari dan

mendata calon peserta prona. Selanjutnya, calon peserta prona yang telah

dihimpun oleh aparatur desa/kelurahan diusulkan oleh lurah/kepala desa

ke kantor pertanahan setempat untuk kemudian akan melalui proses uji

kelayakan oleh aparatur BPN melalui penelitian, verifikasi dan validasi

serta kepatutan persyaratan untuk dijadikan peserta prona. Maka akan

diberikan legalitas terhadap calon peserta prona dimaksud dengan

diterbitkannya Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota setempat tentang Penetapan Calon Peserta Prona.

Selanjutnya barulah dilakukan tahapan kegiatan prona berupa penyuluhan,

pengumpulan data yuridis, pengukuran bidang, dan seterusnya sampai

dengan penerbitan dan penyerahan sertifikat hak atas tanah kepada para

peserta prona. Pensertifikatan tanah dalam rangka PRONA adalah

DIBEBASKAN dari kewajiban membayar uang pemasukan kepada

Negara, tapi penerima sertipikat tanah PRONA tetap HARUS

MEMBAYAR biaya administrasi. Hal ini juga sesuai dengan informasi

yang tercantum dalam laman resmi Badan Pertanahan Nasional.

3. Program Nasional Agraria (Prona) oleh Kementerian Agraria dan Tata

Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) dinilai memiliki

HUKUM AGRARIA 47
sejumlah manfaat, salah satunya terkait permodalam usaha kecil,

khususnya pertanian. Hal tersebut dinilai berjalan selaras dengan program

pinjaman yang diberikan perbankan terhadap pelaku usaha kecil, misalnya

dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Ketika sebidang tanah sudah

memiliki bukti kepemilikan yang sah dan dapat diusahakan maka sertifikat

tanahnya dapat di jaminkan di Bank untuk modal usaha kecil menengah.

Dengan demikian, jumlah masyarakat miskin diharapakan menurun dan

bisa mandiri secara finansial melalui usahanya, dan lain sebagainya.Prona

sertifikasi tanah massal ini telah memicu pro dan kontra warga yang

mendapatkan fasilitas gratis dari pemerintah itu. Pro kontra disebabkan

adanya pungutan liar (pungli). Meski secara resmi sertifikasi massal

diberikan gratis, nyatanya di lapangan aparat desa memungut biaya per

bidang tanah. Sehingga tujuan dari program ini terciderai oleh pelanggaran

tersebut.

B. Saran

Dari penjelasan di atas, maka saran yang kami berikan dalam

makalah ini yaitu sebelum diterapkannya Proyek Operasi Nasional Agraria

Sertifikat Tanah Gratis, perlu diadakannya sosialisasi mengenai hal ini terlebih

dahulu oleh pihak pemerintah kepada masyarakat agar tidak terjadi kesalah

pahaman dan salah presepsi mengenai penerapan PRONA yang diterapkan di

lingkungan masyarakat itu sendiri.

HUKUM AGRARIA 48
Dan penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat

banyak kekurangan. Oleh karena itu kami memohon kritik dan saran dari para

pembaca makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Wiradi, Gunawan.2000. Reformasi Agraria; Perjalanan yang Belum Berakhir.

Yogyakarta: INSIST Press.

Limbong, Bernhard (disebut Bernhard Limbong II).2012. Reforma Agraria,

Jakarta: Margaretha Pustaka.

Nurlinda, Ida. 2009 Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria Perspektif Hukum,

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Saleh K.Wantjik. 1984. Hak Anda Atas Tanah, Jakarta : Ghalia Indonesia.

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. 2010. Tanah untuk Keadilan dan

Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPN RI .

Sodiki Achmad.2013. Politik Hukum Agraria, Konstitusi. Jakarta:Press.

Sumber Internet:

Krishna Ghimire dalam artikel Hakekat Reformasi Agraria,

http://www.berdikarionline.com/opini/20 1112 31/hak ek at-

HUKUM AGRARIA 49
r efor masi- agr ar ia .html#ixzz2JY1hdWzT. Diakses pada hari Sabtu,

tanggal 14 Oktober 2017, pukul 20.00 WITA.

http://eprints.undip.ac.id/15471/1/Dian_Retno_Wulan.pdf, dikases pada hari

Sabtu, tanggal 14 Oktober 2017, pukul 21.00 WITA.

https://hanibalhamidi.files.wordpress.com/2016/09/naskah-stranas-pelaksanaan-

reforma-agraria-ksp.pdf, diakses pada hari Minggu, tanggal 15 Oktober

2017 pukul 13.34 WITA.

http://tataruangpertanahan.com/pdf/pustaka/artikel/30.pdf, diakses pada hari

Minggu, tanggal 15 Oktober 2017, pukul 14.20 WITA.

http://amatarpigo.blogspot.co.id/2013/11/makalah-reforma-agraria.html, diakses

pada hari Senin, 16 Oktober 2017, pukul 15.00 WITA.

Landdiary.blogspot.co.ic/2012/10/prona.html#!/tcmbck, diakses pada hari Sabtu,

tanggal 14 Oktober 2017, Pukul 22.12 WITA.

https://omtanah.com/2013/09/20/pertanyaan-masalah-pertanahan-apakah-

sertipikasi-prona-gratis/. diakses pada hari Senin, tanggal 16 Oktober 2017,

Pukul 19.12 WITA.

http://openmadiun.com/detailpost/sebenarnya-sertifikasi-prona-gratis-atau-tidak .

diakses pada hari Senin, tanggal 16 Oktober 2017, Pukul 20.12 WITA.

http://surabaya.tribunnews.com/2010/12/03/prona-picu-pro-kontra . diakses pada

hari Senin, tanggal 16 Oktober 2017, Pukul 20.19 WITA.

http://cula1.com/prona-gratis-namun-rentan-pungli/ . diakses pada hari Senin,

tanggal 16 Oktober 2017, Pukul 20.54 WITA.

HUKUM AGRARIA 50
http://harian.analisadaily.com/opini/news/mengantisipasi-pungli-dalam-kegiatan-

prona/209177/2016/01/28. diakses pada hari Senin, tanggal 16 Oktober

2017, Pukul 21.09 WITA.

HUKUM AGRARIA 51

Anda mungkin juga menyukai