Anda di halaman 1dari 3

PENGARUH TES DAYA DENGAR PADA ANAK DENGAN RIWAYAT HIPERBILIRUBIN NEONATUS

Ikterus merupakan masalah yang sering muncul pada masa neonates. Pada sebagian besar neonatus,
ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama dalam kehidupannya. Angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi
cukup bulan dan 80% pada bayi kurang bulan. Pada masa neonatus, fungsi hepar belum berfungsi dengan optimal
sehingga proses glukoronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal atau jika terdapat gangguan dalam fungsi hepar
akibat hipoksia, asidosis atau kekurangan glukosa, keadaan ini dapat menyebabkan kadar bilirubin indirek dalam darah
dapat meninggi.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tutiek Herlina, dkk di RSUD Dr. Harjono Ponorogo pada tahun 2012
tentang Hubungan Antara Berat Bayi Lahir dengan Kadar Bilirubin Bayi Baru Lahir, menyatakan bahwa dari (88%)
berat bayi lahir tidak normal, 72 bayi (81,8%) mempunyai kadar bilirubin tidak normal, dan 16 bayi (18,2%) mempunyai
kadar bilirubin normal, sedangkan dari 47 berat bayi normal, 40 bayi (85,1%) mempunyai kadar bilirubin normal, dan
7 bayi (14,9%) mempunyai kadar bilirubin tidak normal sehingga dapat disimpulkan bahwa berat bayi lahir
berhubungan dengan kadar bilirubin.
Hiperbilirubin baru akan berpengaruh bentuk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar otak, penderita
mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris, gajala ensefalopati pada neonates mungkin sangat ringan
dan hanya memperlihatkan gangguan minum, letargi dan hipotonia, selanjutnya bayi mungkin kejang, spastic, dan
ditemukan opistotonis. Pada stadium mungkin di dapatkan adanya atitosis ditai gangguan pendengaran atau retardasi
mental di hari kemudian.
Ensefalopati bilirubin atau kernikterus merupakan suatu sindroma klinik yang disebabkan penumpukan
bilirubin tak terkonjugasi pada ganglia basalis dan nucleus batang otak. Manifestasi klinis kernikterus sangat bervariasi
dan lebih dari 15% tidak disertai kelainan neurologis yang nyata. Kernikterus dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu
bentuk akut dan bentuk kronik. Bentuk akut selalu dibagi dalam tiga fase; sedangkan bentuk kronis ditandai dengan
adanya hipotonia, kelainan ekstrapiramidal dan kemudian diikuti dengan gangguan pendengaran sensorineural.
Gangguan pendengaran yang didapat (acquired) dapat terjadi pada masa bayi atau masa anak-anak
(progressif atau delayed-onset). JCIH mengklasifikasikan gangguan ini ke dalam dua kelompok berdasarkan faktor
risiko yaitu kelompok bayi dengan risiko tinggi dan kelompok banyi tanpa risiko. Berbagai faktor risiko gangguan
pendengaran pada bayi adalah seperti hiperbilirubinemia, infeksi, kelainan kraniofasial dan lain-lain (Gambar 2).4 Pada
bayi yang memiliki risiko tinggi harus dilakukan pemeriksaan audiologi setiap enam bulan sampai usia tiga tahun.
Hiperbilirubinemia dapat menyebabkan gangguan pendengaran. Apabila bilirubin tak terkonjugasi melewati
blood brain barrier, bilirubin tersebut akan ditimbun di daerah ganglia basalis, dan juga pada daerah vestibule-cochlear
nucleus dan sebagai akibanya adalah terjadinya gangguan pendengaran sensorineural. Zamani dkk (2004) telah
melaporkan bahwa 33% bayi baru lahir dengan kadar bilirubin 15-25 mg/dl mengalami kehilangan gelombang
kompleks pada IV dan V pada pemeriksaan auditory brainstem responses (ABR). Dengan demikian didapatkan
hubungan yang signifikan antara hiperbilirubinemia dengan gangguan pendengaran pada bayi. Mereka menemukan
bahwa pada keadaan hiperbilirubinemia berat didapatkan beberapa kerusakan pada koklea terutama terutama pada
sel rambut bagian luar, kelainan ini juga ditemukan pada hiperbilirubinemia sedang (< 20mg/dl) yang juga dapat
menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Amin dkk (2001), dilakukan pemeriksaan ABR pada neonates immature
(28-32 minggu) pada umur satu minggu dan dilakukan pemeriksaan kadar bilirubin pada jam ke 48 dan 72 setelah
lahir. Peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi lebih sensitif dalam memprediksi kelainan ABR dan ensefalopati
dibandingkan dengan kadar total bilirubin. Dengan demikian disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara gangguan pendengaran dengan hiperbilirubinemia.
Tes Daya Dengar digunakan untuk menemukan gangguan pendengaran sejak dini, agar dapat segera
ditindak lanjuti untuk meningkatkan kemampuan daya dengar dan bicara anak. Yakni setiap 3 bulan pada bayi kurang
dari 12 bulan dan setiap 6 bulan pada anak usia 12 bulan ke atas. Sehingga resiko gangguan pendengaran pada anak
dengan riwayat hiperbilirubin neonatus dapat berkurang.
Kuesioner Tes Daya Dengar pada Bayi Umur 0 – 6 Bulan
Umur 0 – 6 bulan Ya Tidak
Pada waktu bayi tidur kemudian anda berbicara atau membuat kegaduhan,
apakah bayi akan bergerak atau terbangun dari tidurnya?
2. Pada waktu bayi tidur telentang dan anda duduk di dekat kepala bayi pada posisi
yang tidak terlihat oleh bayi, kemudian anda bertepuk tangan dengan keras,
apakah bayi terkejut atau mengerdipkan matanya atau menegangkan tubuh
sambil mengangkat kaki tangannya ke atas?
3. Apabila ada suara nyaring (misal suara batuk, salak anjing, piring jatuh ke lantai
dan lain – lainnya ), apakah bayi terkejut atau terlompat ?
PERBEDAAN KEJADIAN HIPOGLIKEMIA NEONATUS ANTARA BAYI PREMATUR DAN BAYI CUKUP BULAN
PADA BAYI DENGAN BERAT LAHIR RENDAH.

Angka kematian bayi sangat tinggi di Indonesia yaitu 32/1.000 kelahiran hidup atai setiap 1 jam terdapat 10
kematian bayi. Salah satu penyebab kematian bayi terbanyak adalah prematuritas dan infeksi. Berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2007, penyebab kematian bayi usia 0-6 hari
di Indonesia karena prematuritas adalah sebesar 34 persen. Sementara pada bayi usia 7-28 hari adalah sebesar 14
persen. Sedangkan pada data depkes RI 2008, secara umum penyebab langsung kematian bayi di Indonesia
diantaranya disebabkan oleh Asfiksia (44-46%), infeksi ( 24 – 25 % ), BBLR (15 – 20%), trauma persalinan (2 – 7% ),
dan cacat bawaan ( 1-3 % ).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tutiek Herlina, dkk di RSUD Dr. Harjono Ponorogo pada tahun 2012
tentang Hubungan Antara Berat Bayi Lahir dengan Kadar Bilirubin Bayi Baru Lahir, menyatakan bahwa dari (88%)
berat bayi lahir tidak normal, 72 bayi (81,8%) mempunyai kadar bilirubin tidak normal, dan 16 bayi (18,2%) mempunyai
kadar bilirubin normal, sedangkan dari 47 berat bayi normal, 40 bayi (85,1%) mempunyai kadar bilirubin normal, dan
7 bayi (14,9%) mempunyai kadar bilirubin tidak normal sehingga dapat disimpulkan bahwa berat bayi lahir
berhubungan dengan kadar bilirubin.
Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran kadar glukosa darah kurang dari 45 mg/dL (2.6 mmol/L).
Hipoglikemi sering terjadi pada kelahiran prematur dengan BBLR, karena cadangan glukosa yang rendah. Bayi
prematur sangat rentan mengalami hipoglikemia disebabkan karena mekanisme kontrol glukosa yang masih immatur
serta tidak memiliki banyak cadangan glikogen (gula kompleks yang bisa digunakan sewaktu-waktu jika tubuh butuh
glukosa). Glukosa merupakan sumber kalori yang penting untuk ketahanan hidup selama proses persalinan dan hari-
hari pertama pasca lahir. Setiap stress yang terjadi mengurangi cadangan glukosa yang ada disebabkan karena
meningkatkan penggunaan cadangan glukosa, misalnya pada asfiksia, hipotermi, hipertermia dan gangguan
pernapasan. Kondisi ini menjadi penyebab ketergantungan pemberian glukosa dari luar, karenanya pemberian
dekstrosa melalui intravena merupakan suatu kebutuhan pada bayi prematur. Sedangkan pada bayi BBLR cukup bulan
lebih rentan mengalami hipoglikemia karena cadangan glikogen telah ada pada awal trimester ketiga dan, akibat
perubahan transpor nutrien melalui plasenta selama masa ini, bayi yang tumbuh secara asimetris mengalami
penurunan cadangan glikogen pada hati dan otot skeletal.
Hipoglikemi merupakan masalah serius pada bayi baru lahir, karena dapat menimbulkan kejang yang
berakibat terjadinya hipoksia otak. Bila tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan kerusakan pada susunan saraf
pusat bahkan sampai kematian.

Anda mungkin juga menyukai