Emesis gravidarum adalah gejala yang wajar atau sering terdapat pada kehamilan
trimester pertama. Mual biasanya terjadi pada pagi hari, tetapi ada yang timbul setiap saat dan
malam hari. Gejala-gajala ini biasanya terjadi 6 minggu setelah hari pertama haid terahir dan
berlangsung kurang lebih 10 minggu. Hiperemesis gravidarum adalah keluhan mual dan
muntah hebat lebih dari 10 kali sehari dalam masa kehamilan yang dapat menyebabkan
kekurangan cairan, penurunan berat badan, atau gangguan elektrolit, sehingga menganggu
aktivitas sehari-hari dan membahayakan janin dalam kandungan. Mual dan muntah berlebihan
yang terjadi pada wanita hamil sehingga menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan kadar
elektrolit, penurunan berat badan (lebih dari 5% berat badan awal), dehidrasi, ketosis, dan
kekurangan nutrisi. Hal tersebut mulai terjadi pada minggu keempat sampai kesepuluh
kehamilan dan selanjutnya akan membaik pada usia kehamilan 20 minggu, namun pada
beberapa kasus dapat terus berlanjut sampai pada kehamilan tahap berikutnya.
Pada umumnya hiperemesis gravidarum terjadi pada minggu ke 6-12 masa kehamilan,
yang dapat berlanjut sampai minggu ke 16-20 masa kehamilan. Mual dan muntah merupakan
gejala yang wajar ditemukan pada kehamilan triwulan pertama. Biasanya mual dan muntah
terjadi pada pagi hari sehingga sering dikenal dengan morning sickness. Sementara setengah
dari wanita hamil mengalami morning sickness, antara 1,2 - 2% mengalami hiperemesis
gravidarum, suatu kondisi yang lebih serius. Hampir 50% wanita hamil mengalami mual dan
biasanya mual ini mulai dialami sejak awal kehamilan. Mual muntah saat hamil muda sering
disebut morning sickness tetapi kenyataannya mual muntah ini dapat terjadi setiap saat. Pada
beberapa kasus dapat berlanjut sampai kehamilan trimester kedua dan ketiga, tapi ini jarang
terjadi.
Hingga saat ini penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara pasti dan
multifaktorial. Walaupun beberapa mekanisme yang diajukan bisa memberikan penjelasan
yang layak, namun bukti yang mendukung untuk setiap penyebab hiperemesis gravidarum
masih belum jelas. Beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan penyebab hiperemesis
gravidarum. Teori yang dikemukakan untuk menjelaskan patogenesis hiperemesis gravidarum,
yaitu faktor endokrin dan faktor non endokrin. Yang terkait dengan faktor endokrin antara lain
Human Chorionic Gonodotrophin, estrogen, progesteron, Thyroid Stimulating Hormone,
Adrenocorticotropine Hormone, human Growth Hormone, prolactin dan leptin. Sedangkan
yang terkait dengan faktor non endokrin antara lain immunologi, disfungsi gastrointestinal,
infeksi Helicobacter pylori, kelainan enzym metabolik, defisiensi nutrisi, anatomi dan psikologis.
a. Level hormon ß-hCG yang tinggi. Hormon ini meningkat cepat pada triwulan pertama
kehamilan dan dapat memicu bagian dari otak yang mengontrol mual dan muntah.
b. Peningkatan level estrogen. Mempengaruhi bagian otak yang mengontrol mual dan
muntah.
d. Faktor psikologis. Stress dan kecemasan dapat memicu terjadinya morning sickness.
e. Diet tinggi lemak. Risiko hiperemesis gravidarum meningkat sebanyak 5 kali untuk
setiap penambahan 15 g lemak jenuh setiap harinya.
A) Tingkat I
Muntah terus menerus yang mempengaruhi keadaan umum. Pada tingkatan ini
ibu hamil merasa lemah, nafsu makan tidak ada, berat badan menurun dan merasa
nyeri pada epigastrium. Nadi meningkat sekitar 100 kali per menit, tekanan darah
sistolik menurun, dapat disertai peningkatan suhu tubuh, turgor kulit berkurang,
lidah kering dan mata cekung.
B) Tingkat II
Ibu hamil tampak lebih lemas dan apatis, turgor kulit lebih menurun, lidah
kering dan tampak kotor, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun, suhu kadang-
kadang naik, mata cekung dan sedikit ikterus, berat badan turun, hemokonsentrasi,
oligouria, dan konstipasi. Aseton dapat tercium dari hawa pernapasan karena
mempunyai aroma yang khas, dan dapat pula ditemukan dalam urine.
C) Tingkat III
5. Diagnosis
A) Anamnesis
B) Pemeriksaan Fisik
C) Pemeriksaan Penunjang
6. Komplikasi
Baik komplikasi yang relatif ringan maupun berat bisa disebabkan karena hiperemesis
gravidarum. Kehilangan berat badan, dehidrasi, acidosis akibat dari gizi buruk, alkalosis akibat
dari muntah-muntah, hipokalemia, kelemahan otot, kelainan elektrokardiografi dan gangguan
psikologis dapat terjadi. Komplikasi yang mengancam nyawa meliputi ruptur esofagus yang
disebabkan muntah-muntah berat, Wernicke's encephalopathy (diplopia, nystagmus,
disorientasi, kejang, coma), perdarahan retina, kerusakan ginjal, pneumomediastinum spontan,
IUGR dan kematian janin. Pasien dengan hiperemesis gravidarum pernah dilaporkan mengalami
epistaxis pada minggu ke-15 kehamilan karena intake vitamin K yang tidak adekuat yang
disebabkan emesis berat dan ketidakmampuannya mentoleransi makanan padat dan cairan.
Dengan penggantian vitamin K, parameter-parameter koagulasi kembali normal dan penyakit
sembuh. Vasospasme arteri cerebral yang terkait dengan hiperemesis gravidarum juga ada
dilaporkan pada beberapa pasien. Vasospasme didiagnosa dengan angiografi Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Tetapi bila semua bentuk pengobatan gagal dan kondisi ibu menjadi
mengancam nyawa, pengakhiran kehamilan merupakan pilihan. Verberg melaporkan pilihan
pengakhiran kehamilan kira-kira 2 % pada kehamilan yang terkomplikasi dengan hiperemesis
gravidarum. Namun demikian, Kuscu dan Koyuncu menilai luaran maternal dan neonatal dari
penderita hiperemesis gravidarum yang diteliti pada dua penelitian berbeda yang melibatkan
193 dan 138 pasien. Dari 193 pasien, 24% membutuhkan perawatan inap dan satu pasien
membutuhkan nutrisi parenteral. Berat lahir, usia kandungan, kelahiran preterm, skor Apgar,
mortalitas perinatal dan kejadian kelainan bawaan janin tidak berbeda antara pasien
hiperemesis dan populasi umum. Dalam studi lainnya, tidak ada terdeteksi peningkatan risiko
keterlambatan pertumbuhan, kelainan bawaan dan prematuritas. Umumnya hiperemesis
gravidarum dapat disembuhkan. Dengan penanganan yang baik prognosis hiperemesis
gravidarum sangat memuaskan. Namun pada tingkatan yang berat, penyakit ini dapat
mengancam jiwa ibu dan janin.
7. Terapi
Terdapat beberapa kontroversi mengenai tipe pengobatan yang harus diberikan pada
wanita hamil dengan hiperemesis gravidarum. Terapi cairan dan elektrolit parenteral pengganti,
pemberian vitamin B6, antiemetik dan tirah baring secara rutin digunakan pada hiperemesis
gravidarum dan biasanya tanpa perbaikan yang berarti.
Pada pasien dengan hiperemesis gravidarum tingkat II dan III harus dilakukan rawat inap
dirumah sakit, dan dilakukan penanganan yaitu :
A) Medikamentosa
Berikan obat-obatan seperti yang telah dikemukakan diatas. Namun harus diingat untuk
tidak memberikan obat yang teratogenik. Obat-obatan yang dapat diberikan diantaranya
suplemen multivitamin, antihistamin, dopamin antagonis, serotonin antagonis, dan
kortikosteroid. Vitamin yang dianjurkan adalah vitamin B1 dan B6 seperti pyridoxine (vitamin
B6). Pemberian pyridoxin cukup efektif dalam mengatasi keluhan mual dan muntah. Anti
histamin yang dianjurkan adalah doxylamine dan dipendyramine. Pemberian antihistamin
bertujuan untuk menghambat secara langsung kerja histamin pada reseptor H1 dan secara
tidak langsung mempengaruhi sistem vestibular, menurunkan rangsangan di pusat muntah.
Selama terjadi mual dan muntah, reseptor dopamin di lambung berperan dalam menghambat
motilitas lambung. Oleh karena itu diberikan obat dopamin antagonis. Dopamin antagonis yang
dianjurkan diantaranya prochlorperazine, promethazine, dan metocloperamide.
Prochlorperazin dan promethazine bekerja pada reseptor D2 untuk menimbulkan efek
antiemetik. Sementara itu metocloperamide bekerja di sentral dan di perifer. Obat ini
menimbulkan efek antiemetik dengan cara meningkatkan kekuatan spincter esofagus bagian
bawah dan menurunkan transit time pada saluran cerna. Pemberian serotonin antagonis cukup
efektif dalam menurunkan keluhan mual dan muntah. Obat ini bekerja menurunkan rangsangan
pusat muntah di medula. Serotonin antagonis yang dianjurkan adalah ondansetron. Odansetron
biasanya diberikan pada pasien hiperemesis gravidarum yang tidak membaik setelah diberikan
obat-obatan yang lain. Sementara itu pemberian kortikosteroid masih kontroversial karena
dikatakan pemberian pada kehamilan trimester pertama dapat meningkatkan risiko bayi lahir
dengan cacat bawaan.
B) Terapi Nutrisi
Pada kasus hiperemesis gravidarum jalur pemberian nutrisi tergantung pada derajat
muntah, berat ringannya deplesi nutrisi dan peneriamaan penderita terhadap rencana
pemberian makanan. Pada prinsipnya bila memungkinkan saluran cerna harus digunakan. Bila
peroral menemui hambatan dicoba untuk menggunakan nasogastric tube (NGT). Saluran cerna
mempunyai banyak keuntungan misalnya dapat mengabsorsi banyak nutrien, adanya
mekanisme defensif untuk menanggulangi infeksi dan toksin. Selain itu dengan masuknya sari
makanan ke hati melalui saluran porta ikut menjaga pengaturan homeostasis nutrisi. Bila
penderita sudah dapat makan peoral, modifikasi diet yang diberikan adalah makanan dalam
porsi kecil namun sering, diet tinggi karbohidrat, rendah protein dan rendah lemak, hindari
suplementasi besi untuk sementara, hindari makanan yang emetogenik dan berbau sehingga
menimbulkan rangsangan muntah.1,2 Pemberian diet diperhitungkan jumlah kebutuhan basal
kalori sehari- hari ditambah dengan 300 kkal perharinya.
C) Isolasi
Penderita disendirikan dalam kamar yang tenang, cerah, dan memiliki peredaran udara
yang baik. Sebaiknya hanya dokter dan perawat saja yang diperbolehkan untuk keluar masuk
kamar tersebut. Catat cairan yang keluar dan masuk. Pasien tidak diberikan makan ataupun
minum selama 24 jam. Biasanya dengan isolasi saja gejala-gejala akan berkurang atau hilang
tanpa pengobatan.
D) Terapi psikologik
Perlu diyakinkan kepada pasien bahwa penyakitnya dapat disembuhkan. Hilangkan rasa
takut oleh karena kehamilan dan persalinan karena itu merupakan proses fisiologis, kurangi
pekerjaan serta menghilangkan masalah dan konflik lainnya yang melatarbelakangi penyakit ini.
Jelaskan juga bahwa mual dan muntah adalah gejala yang normal terjadi pada kehamilan muda,
dan akan menghilang setelah usia kehamilan 4 bulan.
E) Cairan parenteral