Anda di halaman 1dari 20

TEKNIK EVALUASI KEAMANAN OBAT

Toksisitas adalah suatu keadaan yang menandakan adanya efek toksik/racun yang terdapat pada
bahan sebagai sediaan single dose atau campuran.

Klasifikasi Toksisitas
Berdasarkan sifat fisik, pengaruh terhadap tubuh, lama terjadinya pemajanan atau pada tingkat
efek racunnya. Menurut sifat fisiknya dikenal :
a. Gas uap : tidak berbentuk, mengisi ruangan pada suhu dan tekanan normal, tidak terlihat, tidak
berbau pada konsentrasi rendah, dan dapat berubah menjadi cair atau padat dengan perubahan
suhu dan tekanan.
b. Uap : bentuk gas dari zat yang dalam keadaan biasa berwujud cair atau padat, tidak kelihatan
dan berdifusi keseluruh ruangan.
c. Debu : partikel zat padat yang terjadi oleh karena kekuatan alami atau mekanis.
d. Kabut : titik cairan halus di udara yang terjadi akibat kondensasi bentuk uap atau dari tingkat
pemecahan zat cair atau menjadi tingkat dispersi, melalui cara tertentu.
e. Fume : Partikel zat padat yang terjadi oleh kondensasi bentuk gas, biasanya setelah penguapan
benda padat yang dipijarkan.
f. Asap : Partikel zat karbon yang berukuran ≤ 0,5 mikron, sebagai akibat pembakaran tidak
sempurna bahan yang mengandung karbon.
g. Awan : Partikel cair sebagai hasil kondensasi fase gas. Ukuran partikelnya 0,1 fase gas. Ukuran
partikelnya 0,1-1 mikron.
Lima pedoman uji toksisitas (Weil, 1972)

 Bila dianggap praktis dan mungkin sedapat mungkin menggunakan satu atau lebih
spesies yg secara biologis memperlakukan suatu bahan yg secara kualitatif semirip
mungkin dengan manusia
 Bila mudah dikerjakan, gunakan beberapa tingkatan dosis, dengan alasan aksi/efek pada
manusia & hewan berkaitan dengan dosis
 Efek yg ditimbulkan pada tingkat dosis yang lebih tinggi bermanfaat untuk melukiskan
kerja mekanisme aksi, tetapi untuk suatu bahan dan efek berbahaya, ada tingkat dosis
untuk manusia atau hewan di bawah dimana efek berbahaya ini tidak akan muncul
 Uji statistika untk signifikansi itu sahih hanya pada satuan eksperimental yang secara
matematika telah dirambang di antara dosis dan kelompok kontrol bersangkutan
 Efek yg diperoleh melalui suati jalur pemberian kepada hewan uji tidak „a preori“ dapat
diterapkan pada efek melalui jalur pemberian lain pada manusia. Jalur yg dipilih pada
mana eksposisi akan terjad
1. Teknik penentuan toksisitas akut
Uji toksisitas umumnya bertujuan untuk menilai resiko yang mungkin ditimbulkan dari suatu zat
kimia,toksikan. Uji toksisitas pada dasarnya bertujuan untuk menekan resiko bahaya yang ditimbulkan
bagi manusia sehingga umumnya uji toksisitas dilakukan pada binatang,hewan bersel tunggal atau sel
kultur. Uji toksisitas adalah suatu uji untuk menentukan:

a.potensial suatu senyawa sebagai racun

b. Mengenali kondisi biologis/lingkungan munculnya efek toksik

c. mengkarakterisasi aksi dan efek

Secara umum uji toksisitas dapat dikelompokkan menjadi,yaitu


1. Uji toksisitas akut
2. Uji toksisitas jangka pendek (sub akut atau sub kronik)
3. Uji toksisitas jangka panjang
Uji Toksisitas Akut
Uji toksisitas akut adalah uji toksisitas terhadap suatu senyawa yang diberikan dengan dosis
tunggal pada hewan percobaan, yang diamati selama 24 jam atau selama 7-14 hari.

Tujuan uji toksisitas akut yaitu:


· Menentukan jangkauan dosis letal dan berbagai efek senyawa terhadap berbagai fungsi
penting tubuh (seperti gerak; tingkah laku; dan pernafasan) yang dapat dipergunakan sebagai
indikator penyebab kematian hewan uji,
· Menunjukkan organ sasaran yang mungkin dirusak dan efek toksik spesifiknya
· Memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaiknya digunakan.

Uji toksisitas akut adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui nilai LD50 dan
dosis maksimal yang masih dapat ditoleransi hewan uji (menggunakan 2 spesies hewan uji).
pemberian obat dalam dosis tunggal dan diberikan melalui 2 rute pemerian (misalnya oral dan
intravena). Hasil uji LD50 dan dosisnya akan ditransformasi (dikonversi) pada manusia. (LD50
adalah pemberian dosis obat yang menyebabkan 50 ekor dari total 100 ekor hewan uji mati oleh
pemerian dosis tersebut) Uji toksisitas dilakukan untuk mendapatkan informasi atau data tentang
toksisitas suatu bahan (kimia) pada hewan uji.

Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang gejala keracunan,
penyebab kematian, urutan proses kematian dan rentang dosis yang mematikan hewan uji
( Lethal dose atau disingkat LD50) suatu bahan. Uji toksisitas akut merupakan efek yang
merugikan yang timbul segera sesudah pemberian suatu bahan sebagai dosis tunggal, atau
berulang yang diberikan dalam 24 jam.

Uji toksisitas akut dirancang untuk menentukan atau menunjukkan secara kasar median
lethal dose (LD50) dari toksikan. LD50 itetapkan sebagai tanda statistik pada pemberian suatu
bahan sebagai dosis tunggal yang dapat menyebabkan kematian 50% hewan uji. Jumlah
kematian hewan uji dipakai sebagai ukuran untuk efek toksik suatu bahan (kimia) pada seke
lompok hewan uji. Jika dalam hal ini hewan uji dipandang sebagai subjek, respon berupa
kematian tersebut merupakan suatu respon diskretik. Ini berarti hanya ada dua macam respon
yaitu ada atau tidak ada kematian.

Quantal respon yaitu jumlah respon pada sekelompok hewan uji terhadap dosis tertentu
suatu obat atau bahan. Pengamatan terhadap efek ini dilakukan untuk menentukan jumlah respon
dari suatu respon diskretik (all or none response) pada suatu kelompok hewan uji.
Jumlah respon tersebut dapatn100%, 99%, 50%, 20%, 10%, atau 1%. Respon yang bersifat
diskret itu dapat berupa kematian, aksi potensial, dan sebagainya.

Lethal Dose 50 adalah suatu besaran yang diturunkan secara statistik, guna menyatakan
dosis tunggal sesuatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek
toksik yang berarti pada 50% hewan percobaan setelah perlakuan. LD50 merupakan tolak ukur
kuantitatif yang sering digunakan untuk menyatakan kisaran dosis letal. Ada beberapa pendapat
yang menyatakan tidak setuju, bahwa LD50 masih dapat digunakan untuk uji toksisitas akut.
Namun ada juga beberapa kalangan yang masih setuju, dengan pertimbangan:

a.Jika lakukan dengan baik, uji toksisitas akut tidak hanya mengukur LD50, tetapi juga
memeberikan informasi tentang waktu kematian, penyebab kematian, gejala – gejala sebelum
kematian, organ yang terkena efek, dan kemampuan pemulihan dari efek nonlethal.

b.Hasil dari penelitian dapat digunakan untuk pertimbangan pemilihan design penelitian subakut.

c.Tes LD50 tidak membutuhkan banyak waktu.

d.Hasil tes ini dapat langsung digunakan sebagai perkiraan risiko suatu senyawa terhadap
konsumen atau pasien.

Pada dasarnya, nilai tes LD50 yang harus dilaporkan selain jumlah hewan yang mati,
juga harus disebutkan durasi pengamatan. Bila pengamatan dilakukan dalam 24 jam setelah
perlakuan, maka hasilnya tertulis “LD50 24 jam”. Namun seiring perkembangan, hal ini sudah
tidak diperhatikan lagi, karena pada umumnya tes LD50 dilakukan dalam 24 jam pertama
sehingga penulisan hasil tes “LD50” saja sudah cukup untuk mewakili tes LD50 yang diamati
dalam 24 jam. Bila dibutuhkan, tes ini dapat dilakukan lebih dari 14 hari. Contohnya, pada
senyawa tricresyl phosphat , akan memberikan pengaruh secara neurogik pada hari 10 – 14,
sehingga bila diamati pada 24 jam pertama tidak akan menemukan hasil yang berarti. Dan jika
begitu tentu saja penulisan hasil harus deisertai dengan durasi pengamatan. Ada beberapa hal
yang dapat mempengaruhi nilai LD50 antara lain spesies, strain, jenis kelamin, umur, berat
badan, gender, kesehatan nutrisi, dan isi perut hewan percobaan. Teknis pemberian juga
mempengaruhi hasil, antara lain waktu pemberian, suhu lingkungan, kelembaban, sirkulasi
udara. Tidak luput kesalahan manusia juga dapat mempengaruhi hasil ini. Sehingga sebelum
melakukan penelitian, ada baiknya kita memeperhatikan faktor – faktor yang mempengaruhi
hasil ini. Secara umum, semakin kecil nilai LD50, semakin toksik senyawa tersebut. Begitu pula
sebaliknya, semakin besar nilai LD50, semakin rendah toksisitasnya. Hasil yang diperoleh
(dalam mg/kgBB) dapat digolongkan menurut potensi ketoksikan akut senyawa uji menjadi
beberapa kelas.

Uji toksisitas akut ini biasanya menggunakan hewan uji mencit dari kedua jenis kelamin.
Hewan uji harus sehat dan berasal dari satu galur yang jelas. Menurut Weil penelitian uji
toksisitas akut ini paling tidak menggunakan 4 peringkat dosis yang masing-masing peringkat
dosis menggunakan paling sedikit 4 hewan uji.

Dosis dibuat sebagai suatu peringkat dengan kelipatan logaritmik yang tetap. Dosis
terendah merupakan dosis yang tidak menyebabkan timbulnya efek atau gejala keracunan, dan
dosis tertinggi merupakan dosis yang menyebabkan kematian semua (100%) hewan uji.

Cara pemberian obat atau bahan yang diteliti harus disesuaikan pada pemberiannya pada
manusia, sehingga dapat mempermudah dalam melakukan ekstrapolasi dari hewan ke manusia.
Dalam uji toksisitas akut, penentuan LD50 dilakukan dengan cara menghitung jumlah kematian
hewan uji yang terjadi dalam 24 jam pertama sesudah pemberian dosis tunggal bahan yang
diteliti menurut cara yang ditunjukkan oleh para ahli. Namun demikian, kematian dapat terjadi
sesudah 24 jam pertama karena proses keracunan dapat berjalan lambat.

Gejala keracunan yang muncul sesudah 24 jam menunjukkan bahwa bahan obat atau
bahan itu mempunyai titik tangkap kerja pada tingkat yang lebih bawah sehingga gejala
keracunan dan kematian seolah-olah tertunda (delayed toxicity). Oleh karena itu banyak ahli
berpendapat bahwa gejala keracunan perlu diamati sampai 7 hari, bahkan juga sampai 2 minggu.
Sediaan yang akan diuji dipersiapkan menurut cara yang sesuai dengan karakteristik bahan kimia
tersebut, dan tidak diperbolehkan adanya perubahan selama waktu pemberian. Untuk pemberian
per oral ditentukan standar volume yang sesuai dengan hewan uji.

Dosis efektif 50% adalah dosis suatu obat yang dapat berpengaruh terhadap 50% dari
jumlah hewan yang diuji, sedangkan, dosis lethal 50% adalah, dosis suatu obat atau bahan kimia
yang dapat menyebabkan kematian sampai 50% dari jumlah hewan yang diuji. Tujuan
dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk menentukan potensi ketoksikan akut dari suatu
senyawa dan untuk menentukan gejala yang timbul pada hewan percobaaa.
Data yang dikumpulkan pada uji toksisitas akut ini adalah data kuantitatif yang berupa kisaran
dosis letal atau toksik, dan data kualitatif yang berupa gejala klinis.
Perhitungan LD50 dapat dilakukan dengan berbagai metode, yaitu:

a) Miller dan Tainter (1945) : Metode statistic

b) Litchfield dan Wilcoxon (1949) : Normogram


c) Thomposon-Weil (Biometrics, 1952) : Menggunakan daftar dan jumlah hewan yang
sedikit, dengan taraf kebenaran 95%.

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi nilai LD50 antara lain
spesies,strain, jenis kelamin, umur, berat badan, gender, kesehatan
nutrisi, dan isi perut hewan coba. Teknis pemberian juga mempengaruhi
hasil,antara lain waktu pemberian, suhu lingkungan, kelembaban,
sirkulasi udara. Tidak luput kesalahan
manusia juga dapat mempengaruhi hasil ini. Sehingga sebelum
melakukan penelitian, ada baiknya kita memeperhatikan faktor – faktor
yang mempengaruhi hasil ini.

Secara umum, semakin kecil nilai LD50, semakin toksik senyawa


tersebut. Begitu pula sebaliknya, semakin besar nilai LD50, semakin
rendah toksisitasnya. Hasil yang diperoleh (dalam mg/kgBB) dapat
digolongkan menurut potensi ketoksikan akut senyawa uji menjadi
beberapa kelas.

Klasifikasi umum sebagai berikut:


No. Kategori LD50 (mg/kg)
1 Sangat tinggi <1
2 Tinggi 1-50
3 Sedang 50-500
4 Sedikit toksik 500-5000
5 Hampir tidak toksik 5000-15000
6 Relatif tidak toksik >15000

Uji toksisitas subkronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis
berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari 3 bulan.Uji ini ditujukan untuk
mengungkapkan spectrum efek toksik senyawa uji serta untuk memperlihatkan apakah spectrum
efek toksik itu berkaitan dengan takaran dosis.
Pengamatan dan pemerikasaan yang dilakukan dari uji ketoksikan subkronis meliputi :
1. Perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak tujuh hari sekali.
2. Masukan makanan untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan yang diukur paling tidak
tujuh hari sekali.

3. Gejala kronis umum yang diamati setiap hari.

4. Pemeriksaan hematologi paling tidak diperiksa dua kali pada awal dan akhir uji coba.

5. Pemeriksaan kimia darah paling tidak dua kali pada awal dan akhir uji coba.

6. Analisis urin paling tidak sekali.

7. Pemeriksaan histopatologi organ pada akhir uji coba.

Hasil uji ketoksikan subkronis akan memberikan informasi yang bermanfaat tentang efek
utama senyawa uji dan organ sasaran yang dipengaruhinya. Selain itu juga dapat diperoleh info
tentang perkembangan efek toksik yang lambat berkaitan dengan takaran yang tidak teramati
pada uji ketoksikan akut. Kekerabatan antar kadar senyawa pada darah dan jaringan terhadap
perkembangan luka toksik dan keterbalikan efek toksik.
Tujuan utama dari uji ini adalah untuk mengungkapkan dosis tertinggi yang diberikan tanpa
memberikan efek merugikan serta untuk mengetahui pengaruh senyawa kimia terhadap badan
dalam pemberian berulang.

Pengamatan gejala toksis :


1. Pengamatan fisik, perilaku, saluran cerna, kulit dan bulu.

2. Berat badan hewan uji.

3. Asupan makan atau minuman untuk masing-masing hewan uji atau kelompok

Hewan uji.
1. Pemeriksaan fungsi organ secara biokimia melalui analisis urin (bobot jenis, protein total,
volume urin, glukosa, bilirubin) dilakukan pada awal dan akhir uji.

2. Pengamatan gejala klinis diperiksa melalui pengamatan fisik dalam jangka waktu setelah
pemejanan tiap hari selama 30 hari.

Sasaran uji ini adalah hispatologi organ (organ-organ yang terkena efek toksik), gejala-gejala
toksik, wujud efek toksik (kekacauan biokimia, fungsional, dan struktural) serta sifat efek
toksik.Selain itu juga batas keamanan toksikologi terutama KETT.
Jenis Hewan Uji
Sekurang-kurangnya digunakan dua jenis hewan, hewan pengerat dan bukan hewan
pengerat. Biasanya dapat digunakan tikus dan anjing, dari dua jenis kelamin, sehat, dewasa,
umur 5 sampai 6 minggu untuk tikus, dan 4-6 bulan untuk anjing.
Jumlah Hewan Uji
Masing-masing kelompok terdiri dari 10 ekor hewan pengerat atau empat ekor anjing
untuk setiap jenis kelamin. Bila pada percobaan akan dilakukan pengorbanan/pembedahan, maka
jumlah hewan uji harus sudah dipertimbangkan sebelumnya.

Dosis Uji
Sekurang-kurangnya digunakan tiga kelompok dosis dan satu kelompok kontrol untuk
setiap jenis kelamin.Dosis dan jumlah kelompok dosis harus cukup, hingga dapat diperoleh dosis
toksik dan dosis tidak berefek.Dosis toksik harus menyebabkan gejala toksik yang nyata pada
beberapa hewan uji dan terjadinya kematian tidak boleh lebih dari 10%, sedang dosis tidak
berefek tidak boleh menyebabkan gejala toksik. Sebagai dosis toksik biasanya digunakan 10-
20% dari harga LD50, dengan mempertimbangkan hasil yang diperoleh pada uji pendahuluan,
tingkat dosis lain ditetapkan dengan faktor perkalian tetap 2 sampai 10.

Untuk sementara sub kronik dan sub akut itu sama yang
membedakan waktu pengujiannya
PENENTUAN LD50

Penentuan LD50 dapat dilakukan dengan membuat perlakuan terhadap sekelompok hewan percobaan seperti
tikus, kelinci dan hewan lain dengan memberikan dosis zat kimia bervariasi (perkalian) misalnya 1x, 2x, 4x, 8x dan
seterusnya 9mg zat kimia per kg berat badan), dan sebagai control dibuat sekelompok hewan yang tidak diberikan zat
kimia.
Nilai LD50 berguna dalam beberapa hal:
1. Klasifikasi zat kimia berdasarkan toksisitas relative.
2. Pertimbangan akibat bahaya dari overdosis
3. Perencanaan studi toksisitas jangka pendek pada hewan
4. Menyediakan informasi tentang:
a. Mekanisme keracunan
b. Pengaruh terhadap umur, seks, inang lain, dan faktor lingkungan
c. Tentang respon yang berbeda-beda di antara spesies dan galur
d. Menyediakan informasi tentang reaktivitas populasi hewan-hewan tertentu
e. Menyumbang informasi yang diperlukan secara menyeluruh dalam percobaan-percobaan obat penyembuh bagi manusia
f. Kontrol kualitas. Mendeteksi kemurnian dari produk racun dan perubahan fisik bahan-bahan kimia yang mempengaruhi
keberadaan hidup.
Tujuan dilakukan penentuan LD50 adalah untuk mencari besarnya dosis tunggal yang membunuh 50% dari
sekelompok hewan coba dengan sekali pemberian bahan uji. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
Metode Weil
Rumus: Log m = log D + d (f + 1)
Metode grafik Probit
Hewan uji diberi dosis-dosis yang menurun secara ekponensial sehingga didapatkan data presentasi kematian berupa garis
linier. Taraf kepercayaan dapat diperoleh dengan menggunakan rumus:

Rumusnya ngga kebaca dilaptop ku, nnti kukabari kalau udah dilihat dilla yah

Metode Farmakope Indonesia III


Rumus : m = a – b (ΣPi – 0,5)

1. Penentuan LD50 Akut


Uji toksisitas kronis adalah uji toksisitas yang meliputi pengamatan terhadap stimulus-stimulus yang dapat
menghambat atau mengganggu kehidupan biota uji secara terus menerus dalam jangka waktu relatif lama. Uji toksisitas
kronis harus mempertimbangkan hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas kehidupan biota uji seperti pertumbuhan,
reproduksi dsb.
Jumlah dan spesies pada uji ini biasanya memakai satu spesies hewan atau lebih. Kecuali ada indikasi lain
biasanya dipakai tikus, anjing, primata. Jumlah untuk tikus 40-100 ekor dalam setiap kelompok perlakuan dan kontrol.
Persiapan Pengujian
a. Metode Pengujian
Dua metode umum penentuan LD50 adalah metode non-grafik (mengasumsikan respon tidak terdistribusi secara normal)
dan metode grafik (asumsi respon terdistribusi secara normal). Metode monografik dicontohkan dengan Thompson’s
Moving Average Method

b. Data Hewan
Hewan percobaan harus dikarakterisasikan dalam hal spesies, strain, dan karakteristik fisiologis dan morfologisnya.
Sangat penting untuk memilih hewan secara acak untuk setiap kelompok level-dosis Higienitas dan pengaruh lingkungan
merupakan faktor penting dalam penggunaan hewan uji

c. Usia, Bobot Badan, dan Jenis Kelamin


Penting untuk menentukan usia, bobot badan, dan jenis kelamin hewan uji karena perbedaan usia menentukan kematangan
fungsi organ serta aktivitas enzim. Respon terhadap dosis juga akan berbeda tergantung kepada usia dan bobot badan.
Hewan yang hamil tidak boleh digunakan untuk pengujian. Untuk pengujian LD50 sering digunakan hewan uji bobot
200-250 gram tikus dan mencit bobot 20-30 gram.
d. Spesies dan Suku Hewan
Tikus dan mencit yang merupakan spesies yang sama sering digunakan untuk pengujian LD50. keuntungannya adalah
untuk memperoleh keseragaman relatif dan ketersediaannya.
Jumlah hewan yang berada dalam satu kandang harus seragam. Kepadatan hewan dalam satu kandang mempengaruhi
pengukuran LD50.
e. Persiapan Bahan Pengujian
Perbedaan dalam persiapan bahan pengujian bisa menjadi sebab perbedaan hasil yang diperoleh dalam pengujian LD50
dalam literatur untuk zat yang sama.
Bahan percobaan yang akan diujikan sebaiknya tidak diencerkan terlebih dahulu. Untuk bahan padatan sebaiknya digerus
terlebih dahulu.

2. Penentuan LD50 Sub-kronis/Sub-akut


Uji toksisitas subkronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan
uji tertentu, selama kurang dari 3 bulan. Uji ini ditujukan untuk mengungkapkan spectrum efek toksik senyawa uji serta
untuk memperlihatkan apakah spectrum efek toksik itu berkaitan dengan takaran dosis.
Pengamatan dan pemerikasaan yang dilakukan dari uji ketoksikan subkronis meliputi :
a. Perubahan berat badan yang diperiksa paling tidak tujuh hari sekali.
b. Masukan makanan untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan yang diukur paling tidak tujuh hari sekali.
c. Gejala kronis umum yang diamati setiap hari.
d. Pemeriksaan hematologi paling tidak diperiksa dua kali pada awal dan akhir uji coba.
e. Pemeriksaan kimia darah paling tidak dua kali pada awal dan akhir uji coba.
f. Analisis urin paling tidak sekali.
g. Pemeriksaan histopatologi organ pada akhir uji coba.
Tata Cara Pelaksanaan
1) Pemilihan hewan uji, dapat digunakan roden (tikus) dan nirroden (anjing), sebaiknya dipilih hewan uji yang peka dan
memiliki pola metabolisme terhadap senyawa uji yang semirip mungkin dengan manusia. Disarankan paling tidak satu
jenis hewan uji dewasa, sehat, baik jantan maupun betina. Jumlah yang digunakan paling tidak 10 ekor untuk masing-
masing jenis kelamin dalam setiap kelompok takaran dosis yang diberikan.
2) Pengelompokan, minimal ada empat kelompok uji yaitu 3 kelompok dosis dan 1 kelompok kontrol negatif. Hal ini
disebabkan karena untuk regresi minimal digunakan 3 data sehingga dapat dianalisis hubungan dosis dengan efek.
3) Takaran dosis, bergerak dari dosis yang sama sekali tida menimbulkan efek toksis sampai dengan dosis yang betul-betul
menimbulkan efek toksik yang nyata. Minimal digunakan 3 peringkat dosis degan syarat dosis yang tetinggi sebisa
mungkin tidak mematikan hewan uji tetapi memberi wujud efek toksik yang jelas (nyata). Sedangkan dosis terendah yang
digunakan setingkat dengan ED50-nya.
4) Pengamatan, berupa wujud efek toksik atau spektrumnya, semua jenis perubahan harus diamati.
Studi subkronik dirancang untuk menentukan efek samping paparan yang diulang secara reguler dalam
rentang periode dari beberapa hari sampai enam bulan. Tingkat paparan normalnya lebih rendah dari pada yang
ditemukan pada studi akut.
Kematian bukan merupakan titik akhir, dan rute paparan normalnya mencakup rute paparan yang
diantisipasikan pada manusia.
Prosedur pengujian secara umum lebih ekstensif dan terperinci dibandingkan dengan studi akut. Semua data
kuantitatif harus diolah secara statistik untuk membandingkan kelompok hewan uji dan kontrol. Studi bisa menyertakan
baik hewan yang sudah dewasa maupun belum, dengan mempertimbangkan populasi manusia yang memiliki resiko
terhadap paparan yang diujikan

C. Prosedur Pengujian LD50


Tujuan uji toksisitas akut adalah untuk menetapkan potensi toksisitas akut (LD50), menilai gejala kilinis,
spectrum efek toksik, dan mekanisme kematian.
Untuk uji toksisitas akut perlu dilakukan pada sekurang-kurangnya satu spesies hewan coba, biasanya spesies
hewan pengerat yaitu mencit atau tikus, dewasa atau muda dan mencakup kedua jenis kelamin.
Perlakuan berupa pemberian obat pada masing-masing hewan coba dengan dosis tunggal. Terkait dengan upaya
mendapatkan dosis letal pada uji LD50, pemberian obat dilakukan dengan besar dosis bertingkat dengan kelipatan tetap.
Penentuan besarnya dosis uji pada tahap awal bertolak dengan berpedoman ekuipotensi dosis empiric sebagai dosis
terendah, dan ditingkatkan berpedoman ekuipotensi dosis empiric sebagai dosis terndah, dan ditingkatkan berdasarkan
factor logaritmik atau dengan rasio tertentu sampai batas yang masih dimungkinkan untuk diberikan. Cara pemberian
diupayakan disesuaikan dengan cara penggunaannya.
Pada uji toksisitas akut ditentukan LD50, yaitu besar dosis yang menyebabkan kematian (dosis letal) pada 50%
hewan coba, bila tidak dapat ditentukan LD50 maka diberikan dosis lebih tinggi dan sampai dosis tertinggi yaitu dosis
maksimal yang masih mungkin diberikan pada hewan coba. Volume obat untuk pemberian oral tidak boleh lebih dari 2-
3% berat badan hewan coba.
Setelah mendapatkan perlakuan berupa pemberian obat dosis tunggal maka dilakukan pengamatan secara
intensif, cermat, dengan frekuensi selama jangka waktu tertentu yaitu 7-14 hari, bahkan dapat lebih lama antara lain dalam
kaitan dengan pemulihan gejala toksik.
Langkah-langkah pengujian:
1. Rute Pemberian
Rute pemberian oral merupakan rute yang paling umum diberikan untuk penentuan dosis letal median. Volume cairan
maksimal yang diberikan berbeda tergantung jenis hewan yang digunakan. Untuk tikus biasa diberikan cairan sebanyak 4-
5 ml. Untuk bahan yang tidak larut dalam pembawa berair maksimum pemberian adalah 1,5-2 ml dan diberikan dalam
perangkat yang berminyak.

2. Periode Observasi
Waktu pengamatan sangat penting untuk ditentukan dan tergantung kepada jenis zat uji terutama jika ada kemungkinan
efek kematian yang lambat. Pengamatan selama 14 hari cukup untuk kebanyakan senyawa. Pengamatan pada hari terakhir
harus tetap dilakukan hingga diketahui apakan hewan dapat pulih atau mati. Waktu pengamatan bisa ditentukan
berdasarkan reaksi toksisitas, laju onset, dan lama periode pemulihannya.

3. Perekaman Tanda-tanda
Pengamatan harus dicatat secara sistematik dan catatan terpisah harus dibuat untuk masing-masing hewan. Mungkin akan
muncul respon yang berbeda untuk satu tingkat dosis yang diberikan. Onset dan durasi tanda toksisitas bisa diatikan
apakah kerja farmakologis atau kerusakan organ sedang terjadi. Perubahan secara fisik harus dicatat.
Perlambatan kematian bisa mengindikasikan potensi yang signifikan untuk efek kumulatif

4. Perubahan Bobot Tubuh Hewan


Efek toksik yang parah kadang bisa diketahui dengan membandingkan bobot hewan yang diuji. Hewan yang bertahan
hidup harus ditimbang bobotnya setidaknya satu kali selama pengujian. Catatan tentang makanan dan air yang diberikan
harus ada. Kelaparan mempengaruhi respon farmakologis selain bobot dan kandungan air dalam organ.

5. Pembedahan
Pembedahan terhadap beberapa hewan yang dapat bertahan hidup sebagaimana terhadap yang mati setelah pemberian
dosis dapat memberikan petunjuk yang bermanfaat terhadap tipe toksisitas yang diberikan oleh senyawa uji. Dengan
demikian, pembedahan harus menjadi bagian dari prosedur pengujian.

6. Evaluasi
Idealnya, untuk memastikan gangguan kesehatan yang potensial terhadap manusia dari suatu senyawa, studi toksisitas
harus dilakukan terhadap hewan yang memiliki metabolisme terhadap senyawa yang mirip dengan manusia. Dalam hal ini,
hewan pengerat merupakan subjek uji awal yang bisa digunakan. Derajat toksisitas yang mirip pada beberapa spesies
mengindikasikan toksisitas manusia bisa diperbandingkan.

INDEKS TERAPI OBAT (BAHAN RAJEB)

Pendahuluan

Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika dosis yang diberi di bawah
titik ambang (subliminsal dosis), maka tidak akan ada didapatkan efek. Respon tergantung pada efek alami
yang dapat diukur. Kenaikan dosis mungkin akan meningkatkan efek pada intensitas tersebut. Seperti itu, efek
obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat penggunaannya, dalam arti bahwa luas (range)
temperatur badan dan tekanan darah dapat diukur (Lullmann, 2000).
Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50 % individu disebut dosis terapi median atau dosis efektif
median ( ED50 ). Dosis letal median ( LD50 ) ialah dosis yang menimbulkan kematian pada 50 % individu,
sedangkan TD50 ialah dosis toksik 50 %.
Dalam studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio berikut
:
Indek terapi = TD50/ED50 atau LD50/ED50
Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan teliti karena letaknya di bagian
kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar.
Obat biasanya diberikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata, yang cocok untuk sebagian besar pasien.
Untuk pasien lainnya, dosis biasa ini terlalu besar sehingga menimbulkan efek toksis atau terlalu kecil
sehingga tidak efektif.
Tanpa adanya kesalahan medikasi, kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum. Pada
pemberian per oral, jumlah obat yang diserap ditentukan oleh biavailabilitas obat ditentukan dengan mutu obat
tersebut. Faktor-faktor farmakokinetik menentukan berapa dari jumlah obat untuk bereaksi dengan
reseptornya. Faktor-faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologik yang ditimbulkan oleh
kadar obat di sekitar tempat reseptor tersebut.
Untuk kebanyakan obat, keragaman respon pasien terhadap obat terutama disebabkan oleh adanya
perbedaan individual yang besar dalam faktor-faktor farmakokinetik, kecepatan biotransformasi suatu obat
menunjukkan variasai yang terbesar. Untuk beberapa obat, perubahan dalam faktor-faktor farmakokinetik
merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman respon pasien. Faktor-faktor yang mempengaruhi
respons pasien terhadap obat (Setiawati dkk, 2007).
Dosis suatu obat telah dengan tepat dilukiskan sebagai suatu jumlah yang cukup tapi tidak berlebihan
maksudnya untuk menghasilkan efek terapeutik obat yang optimum pada seorang pasien tertentu dengan
kemungkinan dosis terendah. Dosis sesuatu obat mempunyai kekhususan tersendiri bagi pasien dengan faktor-
faktor yang mendukung pada ukuran kemanjurannya. Dosis efektif menengah suatu obat adalah jumlah yang
akan menghasilkan intensitas efek yang diharapkan 50 % dari jumlah orang percobaan. Dosis toksik median
ialah jumlah yang akan menghasilkan efek keracunan tertentu yang diharapkan pada 50 % dari orang
percobaan. Hubungan antara efek obat yang diharapkan dan yang tidak biasanya dinyatakan dalam indeks
terapeutik dan dinyatakan sebagai rasio (perbandingan) antara dosis toksik median dan dosis efektif median
suatu obat, TD50/ED50. Jadi suatu obat dengan indeks terapeutik 15 dapat diharapkan akan memberikan batas
keselamatan yang lebih besar dalam penggunaannya daripada obat dengan indeks terapeuitik 5. Untuk
beberapa obat tertentu indeks terapeutiknya demikian rendah sampai 2, sehingga harus cukup berhati-hati
menggunakan unsur-unsur obat semacam ini.
Indeks terapeutik harus dipandang sebagai petunjuk umum batas keamana dan untuk setiap pasien
dipertimbangkan secara terpisah. Indeks terapeutik tidak diperhitungkan pada pasien idiosinkrasi
perseorangan. Lebih lanjut, selama kriteria penentuan indeks terapeutik melibatkan pemakaian figur
median dan definisi sempit yang dimaksudkan dengan kemanjuran dari toksisitas, sedangkan indeks terapeutik
sepenuhnya mencerminkan populasi contoh dan tergantung pada definisi kemanjuran dan toksisitas, maka
sejumlah indeks terapeutik mungkin menetapkan sebuah obat saja. (Ansel, 1989)

Hubungan antara Dosis Obat dan Respons Klinis

Kita telah mengetahui reseptor sebagai molekul dan telah ditunjukkan bagaimana reseptor dapat
dihitung secara kuantitatif hubungan antara dosis atau konsentrasi obat dan respon farmakologi, paling tidak
pada system yang diidealkan. Ketika berhadapan dengan pasien yang membutuhkan
perawatan, presciber harus membuat suatu pilihan karena adanya variasi kemungkinan obat dan memikirkan
regimen pemberian yang disukai untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal dan efek toksik yang
minimal. Dalam rangka membuat keputusan terapeutik yang rasional, maka presciber harus memahami
bagaimana obat-reseptor berinteraksi yang mendasari hubungan dosis dengan respons pada pasien, sifat alami
dan penyebab variasi dalam kemampuan reaksi farmakologisnya, dan implikasi klinis pada obat yang bekerja
slektif.
Graded Dose-Response Relations

Kita coba Tanya rajeb tentang gambar ini

Untuk memilih beberapa diantara obat dan untuk menentukan kesesuaian dosis obat, presciber harus
mengetahui potensi farmakologi relatif dan efikasi maksimal obat-obat yang bersangkutan untuk medapatkan
efek terapi yang diinginkan. Berikut ini ada dua istilah penting yang sering membingungkan siswa dan ahli
medis dan dapat dijelaskan melalui gambar berikut.
Potensi
Obat A dan B dikatakan lebih poten daripada obat C dan D karena posisi yang relatif pada kurva dosis
respon sepanjang sumbu konsentrasi. Potensi berhubungan dengan konsentrasi dosis (EC50) atau (ED50) obat
yang dibutuhkan untuk mendapatkan 50% dari efek maksimal obat. Disini potensi farmakologi obat A lebih
kecil daripada obat B, sebuah agonis parsial, karena EC50 Obat A adalah lebih besar daripada EC50 obat B.
Potensi suatu obat tergantung pada afinitas (KD) pada reseptor untuk berikatan dengan obat pada bagian yang
efisiensi dan yang membentuk reaksi obat-reseptor yang bergabung untuk memberikan respon. Sebagai catatan
bahwa pada beberapa dosis A dapat menghasilkan efek yang lebih besar daripada obat B, walaupun pada
kenyataannya kita gambarkan obat B secara farmakologi lebih poten. Alasan mengapa obat A mempunyai
efikasi maksimal yang lebih besar, diterangkan sebagai berikut (Katzung, 9th Edition).

Hubungan antara kadar atau dosis obat dengan besarnya efek terlihat sebagai kurva dosis-intensitas
efek yang berbentuk hiperbola. Jika dosis dalam log, maka hubungan antara log dosis dengan besarnya efek
terlihat sebagai kuva log dosis-intensitas efek yang berbentuk sigmoid.

Untuk menimbulkan efek obat dengan intensitas tertentu pada populasi diperlukan satu kisaran dosis.
Jika dibuat distribusi frekuensi dari individu yang responsif (dalam %) pada kisaran dosis tersebut (dalam log
dosis), maka akan diperolaeh kurva distribusi normal. Jika distribusi frekuensi tersebut dibuat kumulatif maka
akan diperoleh kurva berbentuk sigmoid yang disebut kurva log dosis-persen responsif (log dose-percent curve
= log DPC). Oleh karena respons pasien di sini bersifat kuantal (all or none), maka kurva sigmoid ini disebut
juga kurva log dosis-efek kuantal (quantal log dose-effect curve = loq DEC kuantal). Jadi log DPC
menunjukkan variasi individual dari dosis yang diperlukan untuk menimbulkan suatu efek tertentu.
Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50 % individu disebut dosis terapi median atau dosis efektif
median ( ED50 ). Dosis letal median ( LD50 ) ialah dosis yang menimbulkan kematian pada 50 % individu,
sedangkan TD50 ialah dosis toksik 50 %.
Dalam studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio berikut
:
Indek terapi = TD50/ED50 atau LD50/ED50
Obat ideal menimbulkan efek terapi pada semua tanpa menimbulkan efek toksik pada seorangpun
pasien. Oleh karena itu,
Indeks terapi = TD1/ED99 adalah lebih tepat dan untuk
obat ideal = TD1/ED99 ≥1
Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan teliti karena letaknya di bagian
kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar (Setiawati dkk, 2007)

Range Terapi (Therapetic Range)


Dimanapun, pemonitoran terapi obat yang dilakukan, suatau range terapi biasanya digunakan untuk
memandu mendapatkan konsentrasi optimum. Batasan range ini bukanlah suatu nilai yang mutlak. Beberapa
pasien mungkin memberikan respon di atas atau di bawah range ini, sedangkan pada ynag lain mungkin akan
mengalami efek toksik di dalam range terapi ini. Range ini hanyalah sebagai bantuan dalam penentuan dosis,
yang selalu dipandang dari sudut tanggapan klinis (Roger Walker, 2003).
Perhitungan Dosis Respon
Reseptor Obat

Suatu reseptor adalah suatu makromolekul target khusus, berada pada permukaan sel atau intraselular,
yang mengikat suatu obat dan menimmbulkan kerja farmakologiknya. Obat-bat bisa berinteraksi dengan
enzim-enzim (misalnya hambatan enzim dihidrofolat reduktase oleh trimetoprim, hal 296), asam nukleat
(misalnya, perubahan permeabilitas membrane asetilkolin). Dalam tiap kasus, pembaentukan kompleks obat
reseptor menghasilkan suatu respon biologik dan besarnya respon adalah proporsional dengan jumlah
kompleks obat reseptor :
Obat + Reseptor → Kompleks Obat-reseptor → Efek
Konsep ini sangat mirip dengan pembentukan kompleks antara enzim dan substrat atau antigen antibodi:
interaksi ini mempunyai banyak persamaan, mungkin paling penting adalah spesifisitas. Tetapi, reseptor
tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk mengundang suatu ligand (obat) tetapi juga dapat merangkaikan
atau mengubah ikatan ini menjadi suatu respons dengan cara menyebabkan suatu perubahan konformasional
atau suatu efek biokimia (Mary J. Mycek, 2001).
Indeks Terapeutik
Indeks terpeutik suatu obat adalah rasio dari dosis yang menghasilkan toksisitas dengan dosis yang
menghasilkan suatu respons yang efektif dan diinginkan secara klinik dalam suatu populasi individu.

Indeks Terapi = dosis toksik/ dosis efektif


Jadi, indeks terapeutik merupakan suatu ukuran keamanan obat karena nilai yang besar menunjukkan
bahwa terdapat suatu batas yang luas/ lebar diantara dosis-dosis yang efektif dan dosis-dosis yang toksisk.

Penentuan Indeks Terapeutik


Indeks terapeutik ditentukan dengan mengukur frkuensi respons yang diinginkan dan respons toksik pada
berbagai dosis obat (Mary J. Mycek, 2001).

INDIVIDUALISASI DOSIS DALAM FARMAKOTERAPI

Dalam praktek, pemberian obat pada umumnya didasarkan atas dosis rata-rata, yaitu dosis yang
diperkirakan memberikan efek terapeutik dengan efek samping minimal. Bila dosis rata-rata itu tidak
menimbulkan efek sama sekali atau sudah menimbulkan efek yang berlebihan, biasanya dokter dengan segera
menghentikan pengobatan karena dianggap ‘tidak cocok’ bagi penderita, tanpa perlu mempertimbangkan
apakah dosis yang diberikan itu memang sudah sesuai dengan kebutuhan penderita.

Pentingnya individualisasi dosis menjadi semakin beralasan ketika Brodie dkk. Memperlihatkan
bahwa ada perbedaan spesies, strain dan individual dalam kecepatan 14etabolism obat.. Kemudian, Hammer
dan Sjoqvist menemukan ada perbedaan individual sebesar 30 x lipat dari kadar “steady state” desmetil
imipramin yang diresepkan pada suatu dosis tertentu. Perbedaan 14etabolism kadar obat dalam
keadaan “steady state” ini barangkali tidak menimbulkan masalah dalam penentuan besar dosis
bila “Therapeutic window” dari obat yang bersangkutan cukup besar. Tetapi bila “therapeutic window” suatu
obat sempit, individualisasi dosis menjadi penting, karena perbedaan dosis yang kecil saja (dalam mg/kgBB)
sudah dapat menimbulkan perbedaan nyata dalam respons. Individualisasi dosis dengan mudah dapat
dilakukan bila efek obat mudah diukur, sehingga besar dosis dapat dititrasi sesuai dengan intensitas respons
yang sedang diamati. Bila respons penderita sukar diamati dengan segera, misalnya karena tujuan pengobatan
bersifat profilaksis, atau sukar membedakan efek akibat dosis berlebihan dengan gejala penyakit, titrasi dosis
hanya dapat dilakukan dengan baik berdasarkan panduan kadar obat dalam darah.
Dengan demikian dapat diringkaskan bahwa monitoring kadar terapeutik obat bermanfaat dilakukan
guna menentukan dosis dari obat-obat yang kecepatan metabolismenya berbeda nyata secara individual,
mempunyai “therapeutic window” yang sempit, efek terapeutiknya sukar atau tidak segera dapat diukur gejala
penyakit sukar dibedakan dengan efek samping obat dan kecepatan 15etabolism mudah jenuh
(http://www.kalbe.co.id).

Suatu terapi yang optimal memerlukan penentuan obat secara tepat, yang dapat dilakukan dengan
dukungan diagnosis yang akurat, pengetahuan tentang kondisi klinis pasien dan penguasaan farmakoterapi.
Setelah obat ditentukan, pertanyaan yang kemudian timbul adalah: berapa banyak, berapa sering dan berapa
lama obat tersebut dibutuhkan? “Berapa banyak” perlu dijawab karena timbulnya intensitas efek obat
(terapetik maupun toksik) umumnya tergantung dosis. “Berapa sering” dipertanyakan karena respons terapetik
akan menurun setelah selang waktu tertentu sesudah minum obat sehingga pemberian obat mungkin perlu
berulang-ulang, dan pertanyaan “berapa lama” perlu dijawab agar dapat dicapai keseimbangan antara
keberhasilan (kesembuhan) dengan resiko pengobatan (toksisitas, efek samping maupun ekonomik)

Berdasarkan penelitian in vitro maupun in vivo, ternyata intensitas efek farmakologik suatu obat
tergantung pada kadar obat tersebut dalam cairan tubuh yang berada di sekitar tempat aksi. Dengan demikian,
kemudian timbul pemikiran bahwa mestinya efek farmakologik dapat dioptimalkan dengan mengatur kadar
obat di tempat aksinya, selama periode waktu tertentu.

Pada umumnya efek obat tergantung pada kadarnya dalam sirkulasi sistemik, maka bisa dimengerti
bahwa efek obat akan menurun/hilang setelah selang beberapa waktu dari saat pemberian obat. Selang waktu
ini bervariasi, tergantung dari laju eliminasi obat dalam tubuh, atau dengan kata lain tergantung pada waktu
paruh eliminasi (T1/2)nya. Obat dengan nilai T1/2 panjang mungkin cukup dengan pemberian 1 x sehari
(misalnya fenobarbital). Dengan demikian, dapat dipahami pula mengapa seringkali diperlukan pemberian
dosis berulang pada pengobatan untuk penyakit-penyakit tertentu ( yosefw.wordpress.com )

Takaran obat resep harus cukup tinggi untuk menyerang penyakit yang bersangkutan, tetapi cukup
rendah agar menghindari munculnya efek samping yang berat. Obat lain, baik non-resep atau narkoba, jamu,
atau bahkan makanan kadang kala mengakibatkan perubahan besar pada jumlah suatu obat dalam aliran darah
kita. Hal ini diketahui sebagai ‘interaksi obat’. Interaksi obat adalah masalah yang penting karena tingkat obat
yang terlalu tinggi dalam aliran darah dapat mengakibatkan efek samping yang berat. Sebaliknya tingkat obat
yang terlalu rendah dapat berarti obat tersebut tidak berhasil.
Tubuh kita mengenal obat sebagai ‘zat asing.’ Jadi obat diuraikan oleh tubuh, biasanya sebagai air
seni atau kotoran (tinja). Banyak obat dikeluarkan tanpa perubahan oleh ginjal dalam air seni. Obat lain harus
diuraikan oleh hati kita. Enzim di hati mengubah molekul obat, yang kemudian dikeluarkan dalam air seni atau
tinja.Waktu kita meminum pil, obat jalan dari perut ke usus dan kemudian masuk hati sebelum mengalir ke
bagian tubuh yang lain. Jika obat mudah diuraikan oleh hati, hanya sedikit obat sampai ke tubuh.
Interaksi obat yang paling umum melibatkan hati. Beberapa obat dapat memperlambat atau
mempercepat proses enzim hati. Ini dapat mengakibatkan perubahan besar pada tingkat obat lain dalam aliran
darah, jika obat tersebut diuraikan oleh enzim yang sama.Beberapa obat memperlambat proses ginjal. Ini
meningkatkan tingkat bahan kimia yang biasanya dikeluarkan oleh ginjal (http://www.spiritia.or.id).
Demikian pula respon individu terhadap suatu obat dapat berbeda. Sebagai contoh, Aspirin
(acetylsalicylic acid, obat antinyeri dan penurun panas) dapat bekerja dengan baik pada sekelompok orang
tetapi dapat pula menyebabkan pendarahan lambung pada kelompok yang lain. Obat anti malaria, dapat
menyebabkan enemia pada kelompok individu tertentu. Golongan obat yang mengandung thiopurine yang
digunakan untuk mengobati leukemia, pada sebagian kecil kelompok Caucasians dapat menjadi sangat toksik.
Hal ini terjadi disebabkan kelompok tersebut memiliki genetik varian pada gen pengkode TPMT (thiopurine
methyltransferase), enzim yang bertangungjawab terhadap metabolisme thiopurine.Untuk mempelajari respon
tubuh terhadap obat, fokus penelitian farmakogenomik adalah pada gen-gen yang : 1) Bertangungjawab
terhadap metabolisme dan transport obat,
2) Mengkodekan reseptor obat dan elemen-elemen transduksinya
3) Berperan pada patofisiologi suatu penyakit. (newjourney.blogsome.com)

INDEKS TERAPI OBAT (dilla)


I. Prinsip
1.1.Berdasarkan pada dosis obat intensitas efek obat pada makhluk hidup lazimnya
meningkat jika dosis obat yang diberikan juga ditingkatkan.
1.2.Berdasarkan pada indeks terapi suatu obat, dan cara perhitungan dari indeks terapi
tersebut.
Dosis obat yang diberikan kepada pasien untuk menghasilkan efek yang
diharapkan tergantung dari banyak faktor antara lain usia, bobot badan, jenis kelamin,
besarnya permukaan badan, beratnya penyakit dan keadaan dari seorang pasie.
(Ganiswarna, 1995)
Indeks terapi suatu oat adalah rasio perbandingan antara dosis yang menimbulkan
kematian pada 50% dari hewan percobaan yang digunakan (LD50) dibagi dengan
dosis yang memberikan efek yang diteliti pada 50% dari hewan percobaan yang
digunakan (ED50). Jumlah obat yang diabsorpsi oleh tubuh dinyatakan dengan
bioavaibilitas obat tergantung pada banyak faktor yang enentukan bagaimana molekul
obat melewati barier saluran gastrointestinal dan berhasil memasuki pembuluh darah
dan diangkut sampai reseptornya.
Indeks terapi juga merupakan suatu keamanan obat karena nilai yang besar
menunjukkan bahwa terdapat suatu batas yang luas atau lebar diantara dosis – dosis
yang toksik
Konsentrasi dan Respon Obat

Gambar hubungan antara konsentrasi obat dan respon obat (Widjojo et. al., 2009)

Gambar profil kinetik satu dosis (Widjojo et. al., 2009)

Gambar profil kinetik berbagai dosis (Widjojo et. al., 2009)

Perbedaan formulasi dengan kop (kadar obat)


Formulasi F1 ,F2 ,F3 berbeda satu sama lain
Availabilitas Farmasi F1 > F2 > F3 ;Availabilitas sistemik dapat sama (Widjojo
et. al., 2009)

Respons terhadap dosis obat yang rendah biasanya meningkat sebanding langsung
dengan dosis. Namun, dengan meningkatnya dosis peningkatan respon menurun.
Pada akhirnya, tercapailah dosis yang tidak dapat meningkatkan respon lagi. Pada
system ideal atau system in vitro hubungan antara konsentrasi obat dan efek oabat
digambarkan dengan kurva hiperbolik menurut persamaan sebagi berikut:

𝐸max + [𝐸] 𝐸
E= , 𝐸𝐸 = 𝐸2 = konstanta disosiasi kompleks obat reseptor
𝐸𝐸 + [𝐸] 1

𝐸𝐸𝐸𝐸 + [𝐸] 1
Jika 𝐸𝐸 = [D], maka : E= [𝐸]+[𝐸]
= 2 𝐸𝐸𝐸𝐸

di mana E adalah efek yang diamati pada konsentrasi C, Emaks adalah respons
maksimal yang dapat dihasilkan oleh obat. EC50 adalah konsentrasi obat yang
menghasilkan 50% efek maksimal.

Gambar korelasi potensi dan efektifitas (Widjojo et. al., 2009)

Hubungan antara konsentrasi dan efek obat (panel A) atau obat yang terikat
reseptor (panel B). Konsentrasi obat yang efeknya separuh maksimum disebut EC50
dan konsentrasi obat yang okupansi reseptornya separuh maksimum disebut KD.
(Ganiswara et. al., 2007).

Hubungan dosis dan respons bertingkat


1.Efikasi (efficacy). Efikasi adalah respon maksimal yang dihasilkan suatu obat.
Efikasi tergantung pada jumlah kompleks obat-reseptor yang terbentuk dan efisiensi
reseptor yang diaktifkan dalam menghasilkan suatu kerja seluler

2.Potensi. Potensi yang disebut juga kosentrasi dosis efektif, adalah suatu ukuran
berapa bannyak obat dibutuhkan untuk menghasilkan suatu respon tertentu. Makin
rendah dosis yang dibutuhkan untuk suatu respon yang diberikan, makin poten obat
tersebut.Potensi paling sering dinyatakan sebagai dosis obat yang memberikan 50%
dari respon maksimal (ED50). Obat dengan ED50 yang rendah lebih poten daripada
obat dengan ED50 yang lebih besar.

3.Slope kurva dosis-respons. Slope kurva dosis-respons bervariasi sari suatu obat ke
obat lainnya. Suatu slope yang curam menunjukkan bahwa suatu peningkatan dosis
yang kecil menghasilkan suatu perubahan yang besar (Katzung, 1989).

Suatu kurva dari tiga obat yang berbeda yang menunjukkan potensi farmakologis
yang berbeda dan efikasi maksimal yang berbeda. (Aulia, 2009).

Obat A lebih poten dibanding obat B, tetapi keduanya memiliki efikasi yang yang
sama, sedangkan obat C memperlihatkan potensi dan efikasi yang lebih rendah
daripada obat A dan B. (Katzung, 1989).

Gambar hubungan dosis dan efek (Widjojo et. al., 2009)

Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% individu (ED50) disebut juga
dosis terapi median. Dosis letal median adalah dosis yang menimbulkan kematian
pada 50% individu , sedangkan TD50 adalah dosis toksik 50%.(Ganiswara et. al.,
2007).

Penentuan DL50 merupakan tahap awal untuk mengetahui keamanan bahan yang
akan digunakan manusia dengan menentukan besarnya dosis yang menyebabkan
kematian 50% pada hewan uji setelah pemberian dosis tunggal. DL50 bahan obat
mutlak harus ditentukan karena nilai ini digunakan dalam penilaian rasio manfaat
(khasiat) dan daya racun yang dinyatakan sebagai indeks terapi obat (DL50/ DE50).
Makin besar indeks terapi, makin aman obat tersebut jika digunakan (Ganiswara et.
al., 2007).

Ada berbagai metode perhitungan DL50 yang umum digunakan antara lain
metode Miller-Tainter, metode Reed-Muench, dan metode Kärber. Dalam metode
Miller-Tainter digunakan kertas grafik khusus yaitu kertas logaritma-probit yang
memiliki skala logaritmik sebagai absis dan skala probit (skala ini tidak linier)
sebagai ordinat. Pada kertas ini dibuat grafik antara persen mortalitas terhadap
logaritma dosis. Metode Reed-Muench didasarkan pada nilai kumulatif jumlah
hewan yang hidup dan jumlah hewan yang mati. Diasumsikan bahwa hewan yang
mati dengan dosis tertentu akan mati dengan dosis yang lebih besar, dan hewan yang
hidup akan hidup dengan dosis yang lebih kecil. Metode Kärber prinsipnya
menggunakan rataan interval jumlah kematian dalam masing-masing kelompok
hewan dan selisih dosis pada interval yang sama (Soemardji et. al., 2009).

Anda mungkin juga menyukai