Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

KARSINOMA KOLON

Disusun Oleh:
Franky Andreas
1161050050
Pembimbing:
dr. Sessy Arie Margareth, M.Biomed.,Sp.B

KEPANITRAAN KLINIK ILMU BEDAH


PERIODE 07 MEI 2018 – 09 JUNI 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
INDONESIA
JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas seluruh bimbingan dan kasih karunia-
Nya, sehingga penulis mampu menulis referat dengan judul “KARSINOMA KOLON“,
sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Indonesia di Rumah Sakit Umum Universitas Kristen
Indonesia periode 07 Mei 2018 sampai dengan 09 Juni 2018. Selain itu, besar harapan dari
penulis bilamana referat ini dapat membantu proses pembelajaran dari pembaca sekalian.
Dalam penulisan referat ini, penulis telah mendapat bantuan, bimbingan, dan kerjasama
dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada :
1. dr. Sessy Arie Margareth, M.Biomed.,Sp.B selaku pembimbing referat “Karsinoma
Kolon”
2. Rekan-rekan Anggota Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah Rumah Sakit
Universitas Kristen Indonesia periode 07 Mei 2018 sampai dengan 09 Juni 2018 Penulis
menyadari bahwa referat ini tidak luput dari kekurangan karena kemampuan dan pengalaman
penulis yang terbatas. Oleh karena itu, penulis mengharapakan kritik dan saran yang
bermanfaat untuk mencapai referat yang lebih baik.
Akhir kata, semoga referat ini bermanfaat bagi para pembaca.

Jakarta, Mei 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata pengantar ........................................................................................................ ii


Daftar Isi ................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1


BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 2
2.1 Anatomi Kolon ........................................................................................... 2
2.2 Definisi Karsinoma Kolon ......................................................................... 4
2.3 Epidemiologi ............................................................................................. 4
2.4 Etiologi ...................................................................................................... 4
2.5 Klasifikasi .................................................................................................. 6
2.6 Patofisiologi ................................................................................................ 7
2.7 Manifestasi Klinis ...................................................................................... 9
2.8 Diagnosis ................................................................................................... 10
2.9 Pemeriksaan Penunjang .............................................................................. 11
2.10 Tatalaksana ............................................................................................... 13

BAB III PENUTUP ................................................................................................ 19


DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Karsinoma kolon adalah suatu neoplasma yang ganas yang terdapat pada struktur
saluran usus besar. Umumnya, karsinoma kolon jarang ditemukan sebelum umur 40 tahun
kecuali bila merupakan komplikasi dari beberapa penyakit diantaranya kolitis ulseratif, kolitis
granulomatosa, poliposis multipel familial, sindrom Gardner, dan sindrom Turcot. Pada
populasi umum, risiko terjadinya kanker kolorektal secara nyata akan meningkat pada umur 50
tahun dan menjadi dua kali lipat lebih besar pada setiap bertambahnya dekade berikutnya.
Keganasan kolorektal merupakan penyakit keganasan ketiga terbanyak di seluruh
dunia. Di Amerika Serikat, karsinoma kolon menempati posisi kedua dari kausa kematian
kanker, merupakan penyebab kematian karena kanker kedua terbanyak setelah karsinoma paru.
Di seluruh dunia insiden rata-rata karsinoma kolon pria adalah 16,6/100.000,dan pada wanita
14,7/100.000.
Jenis kanker yang paling sering ditemukan ialah adenokarsinoma yaitu sebanyak 98%,
sedangkan lainnya yang lebih jarang ialah carcinoid (0,4%), limfoma (1,3%) dan sarcoma
(0,3%).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kolon


Usus besar atau kolon berbentuk tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 1,5
m (5 kaki) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti
lebih besar daripada usus kecil, yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), tetapi makin dekat anus
diameternya semakin kecil.8
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup
ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau
tiga inci pertama dari usus besar. Kolon dibagi lagi menjadi kolon ascenden, transversum,
descenden dan sigmoid. Tempat kolon membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan
kiri atas berturut-turut disebut fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai
setinggi Krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk-S. lekukan bagian bawah
membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Bagian utama usus besar
yang terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dari kolon sigmoid hingga anus
(muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum disebut sebagai kanalis ani dan
dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus, panjang rectum dan kanalis ani
adalah sekitar 15 cm (5,9 inci).8
Hampir seluruh usus besar memiliki empat lapisan morfologik seperti yang ditemukan
pada bagian usus lain. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi
terkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia koli. Taenia bersatu pada sigmoid distal,
sehingga rectum mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang taenia
lebih pendek daripada usus, sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-
kantong kecil yang disebut haustra. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal daripada
lapisan mukosa usus halus dan tidak mengandung vili atau rugae. Kripte Lieberkuhn
(kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih banyak sel goblet
dibandingkan dengan usus halus.8
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kanan dan kiri berdasarkan pada suplai
darah yang diterima. Arteria mesentrika superior memperdarahi belahan kanan (sekum,
kolon asendens dan dua pertiga proksimal kolon transversum), dan arteria mesentrika
inferior memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens,
kolon sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Suplai darah tambahan ke rektum berasal

2
dari arteri hemoroidalis media dan inferior yang dicabangkan dari arteri iliaka interna dan
aorta abdominalis.8
Persarafan usus besar dilakukan oleh system saraf otonom dengan perkecualian sfingter
eksterna yang berada dalam pengendalian voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui
saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari
daerah sacral menyuplai bagian distal. Serabut simpatis meninggalkan medulla spinalis
melalui saraf splangnikus. Serabut saraf ini bersinaps dalam ganglia seliaka dan
aortikorenalis, kemudian serabut pasca ganglionik menuju kolon. Rangsangan simpatis
menghambat sekresi dan kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan
parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan.8

Gambar 1. Anatomi Kolon dan Rektum

Gambar 2. Perdarahan kolon


Sumber: Scwartzs Principles of Surgery 10th edition

3
2.2 Definisi
Kanker kolonrektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar,
terdiri dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan atau rektum (bagian kecil
terakhir dari usus besar sebelum anus).6
2.3 Epidemiologi
Secara epidemiologis, angka kejadian kanker kolorektal mencapai urutan ke-4
di dunia dengan jumlah pasien laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan
dengan perbandingan 19,4 dan 15,3 per 100.000 penduduk.7
Di Indonesia, menurut laporan registrasi kanker nasional, didapatkan angka
yang berbeda. Didapatkan kecenderungan untuk umur yang lebih muda dibandingkan
dengan laporan dari negara barat. Untuk usia di bawah 40 tahun data dari Bagian
Patologi Anatomi FKUI didapatkan angka 35,36%.7
Distribusi kanker kolorektal menurut lokasinya dapat dilihat pada gambar di
bawah ini :

Gambar 3.

2.4 Etiologi
Etiologi kanker usus besar sama seperti kanker lain belum jelas hingga kini, tapi
sudah diperhatikan adanya kaitan dengan factor berikut ini : 6,4,5
a. Hereditas dan kanker usus besar
Risiko terkena kanker usus besar untuk masyarakat umum adalah 1/50. Risiko terkena

kanker bagi generasi pertama pasien meningkat 3 kali menjadi 1/17 , jika dalam

keluarga generasi pertama terdapat 2 orang penderita, risikonya naik menjadi 1/6.

4
Sifat herediter familial ini pada kanker kolon lebih sering ditemukan dibandingkan

kanker rectum.

b. Faktor diet

Umumnya, dianggap tingginya masukan protein hewani , lemak dan rendahnya serat

makanan merupakan factor insiden tinggi kanker usus besar. Masukan tinggi lemak,

sekresi empedu juga banyak, hasil uraian asam empedu juga banyak, aktivitas enzim

bakteri dalam anaerob dalam usus meningkat, sehingga karsinogen, pemacu

karsiongenesis dalam usus juga bertambah mengarah ke timbulnya kanker usus besar.

Misalnya bakteri anaerob Bacillus fusiformis dapat mengubah asam deoksikolat

menjadi 3 – metilkolantren yang sudah terbukti merupakan karsinogen.

c. Kelainan usus besar nonkarsinoma

Seperti colitis ulseratif kronis, polyposis, adenoma, dll. Diperkirakan sekitar 3 – 5 %

colitis ulseratif timbul kanker usus besar. Riwayat colitis ulseratif 20 tahun, kejadian

kanker 12,5 % ; 30 tahun mencapai 40 %. Ada yang berpendapat sekitar 15 – 40 %

karsinoma kolon berawal dari polyposis kolon, riwayat prekanker selama 5 – 20

tahun. Adenoma dapat berubah ganas , adenoma berdiameter 1 cm berubah ganas 0,9

%, bila diameter 2, 5 cm ke atas terdapat 12 % berubah ganas.

d. Parasitosis

Data dari China menunjukkan sekitar 10,8 – 14,5 % penyakit skistosomiasis lanjut

berkomplikasi kanker usus. Di Mesir, kanker usus besar disertai skistosomiasis

mansoni menempati 12, 5 – 17,34 %.

e. Lainnya

Misalnya factor lingkungan berkaitan dengan kanker usus besar, di daerah defisiensi

molybdenum kanker usus besar banyak, pekerja asbes juga menderita kanker usus

5
besar. Kebiasaan defekasi, volume fekal , bakteri usus dan hubungannya dengan

kanker usus besar juga diteliti orang.

2.5 Klasifikasi
Secara makroskopis, terdapat 3 tipe karsinoma colon, dan rectum. Tipe
polypoid atau vegetative tumbuh menonjol ke dalam lumen anus, berbentuk bunga kol
dan ditemukan terutama disekum dan kolon ascenden. Tipe skirus mengakibatkan
penyempitan sehingga terjadi stenosis dan gejala obstruksi, terutama ditemukan
dikolon descenden, sigmoid, dan rectum. Bentuk ulseratif terjadi karena nekrosis
dibagian sentral terdapat direktum. Pada tahap lanjut, sebagian besar karsinoma kolon
mengalami ulserasi menjadi tukak maligna.10
Derajat keganasan karsinoma kolon dan rectum dibagi menurut klasifikasi
TNM :

Karsinoma kolon dan rectum mulai berkembang di mukosa dan tumbuh


menembus dinding dan meluas secara sirkuler kearah oral dan aboral. Didaerah rectum,
penyebaran kearah anal jarang melebihi 2 cm. penyebaran percontinuitatum menembus
jaringan sekitar atau organ sekitarnya misalnya ureter, buli-buli, uterus, vagina, atau
prostat. Penyebaran limfogen terjadi ke kelenjar parailiaca, mesenterium, dan paraorta.
Penyebaran hematogen terutama ke hati. Penyebaran peritoneal menyebabkan
peritonitis karsinomatosa dengan atau tanpa asites. Penyebaran intralumen dapat
terjadi, sehingga pada saat didiagnosis terdapat 2 atau lebih tumor yang sama didalam
kolon dan rektum.10

6
Gambar 4. Penyaliran limfa kolorektal.
Sumber: American Joint Committee on Cancer2006
2.6 Patofisiologi
Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik
dan faktor lingkungan. Kanker kolorektal yang sporadik muncul setelah melewati
rentang masa yang lebih panjang sebagai akibat faktor lingkungan yang menimbulkan
berbagai perubahan genetik yang berkembang menjadi kanker. Kedua jenis kanker
kolorektal (herediter dan sporadik) tidak muncul secara mendadak melainkan melalui
proses yang diidentifikasikan pada mukosa kolon (seperti pada displasia adenoma).
Kanker kolon terjadi sebagai akibat dari kerusakan genetic pada lokus yang
mengontrol pertumbuhan sel. Perubahan dari kolonosit normal menjadi jaringan
adenomatosa dan akhirnya karsinoma kolon menimbulkan sejumlah mutase yang
mempercepat pertumbuhan sel. Terdapat 2 mekanisme yang menimbulkan instabilitas
genom dan berujung pada kanker kolorektal yaitu : instabilitas kromosom
(Cromosomal Instability atau CIN) dan instabilitas mikrosatelit (Microsatellite
Instability atau MIN). Umumnya asal kanker kolon melalui mekaisme CIN yang
melibatkan penyebaran materi genetic yang tak berimbang kepada sel anak sehingga
timbulnya aneuploidy. Instabilitas mikrosatelit (MIN) disebabkan oleh hilangnya
perbaikan ketidakcocokan atau missmatch repair (MMR) dan merupakan terbentuknya
kanker pada sindrom Lynch. 1

7
Gambar di bawah ini menunjukkan mutase genetic yang terjadi pada perubahan
dari adenoma kolon menjadi kanker kolon.

Awalnya dari proses terjadinya kanker kolon yang melibatkan mutase somatic
terjadi pada gen Adenomatous Polyposis Coli (APC). Gen APC mengatur kematian sel
dan mutase pada gen ini menyebabkan pengobatan proliferasi yang selanjutnya
berkembang menjadi adenoma. Mutasi pada onkogen K-RAS yang biasanya terjadi
pada adenoma kolon yang berukuran besar akan menyebabkan gangguan pertumbuhan
sel yang tidak normal.1
Transisi dari adenoma menjadi karsinoma merupakan akibat dari mutasi pada
gen supresor tumor p53. Dalam keadaan normal protein dari gen p53 akan menghambat
proliferasi sel yang mengalami kerusakan DNA, mutasi gen p53 menyebabkan sel
dengan kerusakan DNA tetap dapat melakukan replikasi yang menghasilkan sel-sel
dengan kerusakan DNA yang lebih parah. Replikasi sel-sel dengan kehilangan
sejumlah segmen pada kromosom yang berisi beberapa alel (missal loss of
heterizygosity), hal ini dapat menyebabkan kehilangan gen supresor tumor lain seperti
DCC (Deleted in Colon Cancer) yang merupakan transformasi akhir menuju
keganasan.1

8
2.7 Manifestasi klinis
Kanker kolon stadium dini tanpa gejala jelas, setelah penyakit progresi ke tingkat
tertentu baru muncul gejala klinis, terutama tampak dalam 5 aspek berikut:
1. Tanda iritasi usus dan muncul perubahan kebiasaan defekasi
Sering buang air besar, diare atau obstipasi, kadang kala obstipasi dan diare silih
berganti, tenesmus, anus turun tegang, sering terdapat nyeri samar abdomen.
Pasien lansia bereaksi tumpul dan lamban, tidak peka nyeri, kadang kala setelah
terjadi perforasi tumor, peritonitis baru merasakan nyeri dan berobat.4
2. Hematikezia
Tumor luka ulserasi berdarah, kadang kala merah segar atau merah gelap,
biasanya tidak banyak, intermiten. Jika posisi tumor agak tinggi, darah dan fases
bercampur menjadikan fases mirip selai. Kadang kala keluar lendir berdarah.4
3. Ileus
Ileus merupakan tanda lajut kanker kolon. Ileus kolon sering ditemukan. Kanker
kolon tipe ulseratif atau hiperplastik menginvasi ke sekitar dinding usus
membuat lumen usus menyempit hingga ileus, sering berupa ileus mekanik
nontotal kronis, mula-mula timbul perut kembung, rasa tak enak perut, lalu
timbul sakit perut intermiten, obstipasi atau fases menjadi kecil (seperti pensil
atau kotoran kambing) bahkan tak dapat buang angin atau fases. Sedangkan
ileus akut umunya disebabkan karsinoma kolon tipe infiltratif. Tidak jarang
terjadi intususepsi dan ileus karena tumor pada pasien lansia, maka pada lansia
dengan intususepsi harus memikirkan kemungkinan karsinoma kolon. Pada
ileus akut maupun kronik, gejala muntah tidak menonjol, bila terdapat muntah,
mungkin usus kecil (khususnya proksimal) sudah terinvasi tumor.4
4. Massa abdominal, ketika tumor tumbuh hingga batas tertentu di daerah
abdomen dapat diraba adanya massa, sering ditemukan pada kolon belahan
kanan. Pasien lansia umumnya mengurus, dinding abdomen relatif longgar,
massa mudah diraba. Pada awalnya massa bersifat mobile, setelah menginvasi
menjadi terfiksasi.4
5. Anemia, penurunan berat badan, demam dan gejala toksik lain. Karena
pertumbuhan tumor menghabiskan nutrisi tubuh, perdarahan kronis jangka
panjang menyebabkan anemia; infeksi sekunder tumor menyebabkan demam
dan gejala toksik.4

9
2.8 Diagnosis
Diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan colok dubur
1. Keluhan utama dan pemeriksaan klinis:6
- Perdarahan per-anum disertai peningkatan frekuensi defekasi dan/atau
diare selama minimal 6 minggu (semua umur)
- Perdarahan per-anum tanpa gejala anal (di atas 60 tahun)
- Peningkatan frekuensi defekasi atau diare selama minimal 6 minggu (di atas
60 tahun)
- Massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur)
- Tanda-tanda obstruksi mekanik usus.
- Setiap pasien dengan anemia defisiensi Fe (Hb <11g% untuk laki-laki atau
<10g% untuk perempuan pascamenopause)
2. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada setiap pasien dengan gejala ano-rektal.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menetapkan keutuhan sfingter ani dan
menetapkan ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rektum 1/3 tengah dan distal.
Ada 2 gambaran khas pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi dan penonjolan tepi,
yang dapat berupa:6
- Suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti cakram yaitu
suatu plateau kecil dengan permukaan yang licindan berbatas tegas.
- Suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak, tetapi
umumnya mempunyai beberapa daerah indurasi dan
- Suatu bentuk khas dari ulkus maligna dengan tepi noduleryang menonjol
dengan suatu kubah yang dalam (bentuk ini paling sering)
- Suatu bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan bentuk
cincin
Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah: 6
- Keadaan tumor: Ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian
terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat
atau ujung os coccygis. Pada pasien perempuan sebaiknya juga dilakukan
palpasi melalui vagina untuk mengetahui apakah mukosa vagina di atas
tumor tersebut licin dan dapat digerakkan atau apakah ada perlekatan dan

10
ulserasi, juga untuk menilai batas atas dari lesi anular. Penilaian batas atas
ini tidak dapat dilakukan dengan pemeriksaan colok dubur.
- Mobilitas tumor: Hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi
pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada
lapisan otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah lebih lanjut umumnya
terfiksir karena penetrasi atau perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti
kelenjar prostat, buli-buli, dinding posterior vagina atau dinding anterior
uterus.
- Ekstensi dan ukuran tumor dengan menilai batas atas, bawah, dan sirkuler.
2.9 Pemeriksaan penunjang
1. Endoskopi
Endoskopi merupakan prosedur diagnostik utama dan dapat dilakukan dengan
sigmoidoskopi (>35% tumor terletak di rektosigmoid) atau dengan kolonoskopi
total. Kolonoskopi memberikan keuntungan sebagai berikut:6
- Tingkat sensitivitas di dalam mendiagnosis adenokarsinoma atau polip
kolorektal adalah 95%
- Kolonoskopi berfungsi sebagai alat diagnostik (biopsi) dan terapi
(polipektomi)
- Kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan melakukan reseksi synchronous
polyp
- Tidak ada paparan radiasi.
Kelemahan kolonoskopi adalah:
- Pada 5 – 30 % pemeriksaan tidak dapat mencapai sekum
- Sedasi intravena selalu diperlukan
- Lokalisasi tumor dapat tidak akurat
- Tingkat mortalitas adalah 1: 5000 kolonoskopi.
2. Enema barium dengan kontras ganda
Pemeriksaan enema barium yang dipilih adalah dengan kontras ganda karena
memberikan keuntungan sebagai berikut:6

- Sensitivitasnya untuk mendiagnosis KKR: 65-95%


- Aman
- Tingkat keberhasilan prosedur sangat tinggi

11
- Tidak memerlukan sedasi
- Telah tersedia di hampir seluruh rumah sakit.
Kelemahan pemeriksaan enema barium:
- Lesi T1 sering tak terdeteksi;
- Rendahnya akurasi untuk mendiagnosis lesi di rekto-sigmoid dengan
divertikulosis dan di sekum;
- Rendahnya akurasi untuk mendiagnosis lesi tipe datar;
- Rendahnya sensitivitas (70-95 %) untuk mendiagnosis polip < 1 cm;
- Ada paparan radiasi.
3. CT colonography (Pneumocolon CT)
Pemeriksaan CT kolonografi dipengaruhi oleh spesifikasi alat CT scan dan
software yang tersedia serta memerlukan protokol pemeriksaan khusus. Modalitas
CT yang dapat melakukan CT kolonografi dengan baik adalah modalitas CT scan
yang memiliki kemampuan rekonstruksi multiplanar dan 3D volume rendering.
Kolonoskopi virtual juga memerlukan software khusus. Keunggulan CT
kolonografi adalah:5
- Dapat digunakan sebagai skrining setiap 5 tahun sekali (level of evidence
1C, sensitivitas tinggi di dalam mendiagnosis KKR)
- Toleransi pasien baik,
- Dapat memberikan informasi keadaan di luar kolon, termasuk untuk
menentukan stadium melalui penilaian invasi lokal, metastasis hepar, dan
kelenjar getah bening.
Sedangkan kelemahannya adalah:
- Tidak dapat mendiagnosis polip < 10 mm;
- Memerlukan radiasi yang lebih tinggi;
- Tidak dapat menetapkan adanya metastasis pada kelenjar getah bening
apabila kelenjar getah bening tidak mengalami pembesaran;
- Tidak dapat dilakukan biopsi atau polipektomi.
- Modalitas CT scan dengan perangkat lunak yang mumpuni masih terbatas;
Jika persiapan pasien kurang baik, maka hasilnya sulit diinterpretasi;
- Permintaan CT scan abdomen dengan diagnosis klinis yang belum terarah
ke keganasan kolorektal akan membuat protokol CT scan abdomen tidak
dikhususkan pada CT colonography

12
2.10 Tatalaksana
Penatalaksanaan kanker kolorektal bersifat multidisiplin yang melibatkan
beberapa spesialisasi/ subspesialisasi antara lain gastroenterologi, bedah digestif,
onkologi medik, dan radioterapi. Pilihan dan rekomendasi terapi tergantung pada
beberapa faktor, seperti stadium kanker, histopatologi, kemungkinan efek samping,
kondisi pasien dan preferensi pasien. Terapi bedah merupakan modalitas utama untuk
kanker stadium dini dengan tujuan kuratif. Kemoterapi adalah pilihan pertama pada
kanker stadium lanjut dengan tujuan paliatif. Radioterapi merupakan salah satu
modalitas utama terapi kanker rektum. Saat ini, terapi biologis (targeted therapy)
dengan antibodi monoklonal telah berkembang pesat dan dapat diberikan dalam
berbagai situasi klinis, baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan modalitas
terapi lainnya.6
Penatalaksanaan kanker kolorektal dibedakan menjadi penatalaksanaan kanker kolon
Stadium Terapi

Stadium 0  Eksisi lokal atau polipektomi sederhana


(TisN0M0)  Reseksi en-bloc segmental untuk lesi yang tidak
memenuhi syarat eksisi lokal
Stadium I  Wide surgical resection dengan anastomosis tanpa
(T1-2N0M0) kemoterapi ajuvan
Stadium II  Wide surgical resection dengan anastomosis
(T3N0M0, T4a-bN0 M0)  Terapi ajuvan setelah pembedahan pada pasien
dengan risiko tinggi
Stadium III  Wide surgical resection dengan anastomosis
(T apapun N1-2M0)  Terapi ajuvan setelah pembeda
 Reseksi tumor primer pada kasus kanker kolorektal
Stadium IV dengan metastasis yang dapat direseksi
(T apapun, N apapun M1)  Kemoterapi sistemik pada kasus kanker kolorektal
dengan metastasis yang tidak dapat direseksi dan
tanpa gejala

1. Terapi Endoskopi
Terapi endoskopik dilakukan untuk polip kolorektal, yaitu lesi mukosa
kolorektal yang menonjol ke dalam lumen. Polip merupakan istilah non-spesifik
yang makna klinisnya ditentukan dari hasil pemeriksaan histopatologi. Secara
histopatologi, polip dapat dibedakan menjadi polip neoplastik (adenoma dan
karsinoma) serta polip non-neoplastik. Secara morfologi, polip dapat berbentuk

13
sesil (dasar lebar) atau pedunkulata (bertangkai). Literatur juga menyebut adanya
polip datar (flat) atau depressed.6
Metode yang digunakan untuk polipektomi tergantung pada ukuran, bentuk dan
tipe histolopatologinya. Polip dapat dibiopsi terlebih dahulu untuk menentukan
tindakan selanjutnya. Biopsi polip umumnya dilakukan dengan mengambil 4-6
spesimen atau 8-10 spesimen untuk lesi yang lebih besar.6
Panduan American College of Gastroenterology menyatakan bahwa:
- Polip kecil harus dibuang secara utuh.
- Jika jumlahnya banyak (lebih dari 20), harus dilakukan biopsi representatif.
- Polip pendukulata besar biasanya mudah dibuang dengan hot snare.
- Polip sesil besar mungkin membutuhkan piecemeal resectionatau injeksi
submukosal untuk menaikkan mukosa dari tunika muskularis propria agar
dapat dilakukan endoscopic mucosa resection (EMR).2
2. Eksisi Lokal (Polipektomi Sederhana)
Eksisi lokal dilakukan baik untuk polip kolon maupun polip rektum.
Polipektomi endoskopik harus dilakukan apabila struktur morfologik polip
memungkinkan. Sebagian besar polip kolorektal dapat diterapi dengan polipektomi
endoskopik, baik dengan biopsy forceps maupun snare polypectomy. Hampir
semua polip bertangkai dan sebagian polip sesil dapat dibuang dengan
electrocautery snare. Kontraindikasi relatif polipektomi kolonoskopik antara lain
adalah pasien yang mendapat terapi antikoagulan, memiliki kecenderungan
perdarahan (bleeding diathesis), kolitis akut, dan secara klinis terdapat bukti yang
mengarah pada keganasan invasif, seperti ulserasi sentral, lesi keras dan terfiksasi,
nekrosis, atau esi tidak dapat dinaikkan dengan injeksi submukosal. Gambaran
histopatologis yang kurang baik meliputi: adenokarsinoma musinosum, signet ring
cell carcinoma, invasi ke kelenjar getah bening dan vena, derajat diferensiasi 3,
invasi menembus lapisan submukosa dinding usus, atau keterlibatan margin eksisi.6

3. Terapi Bedah
a. Kolektomi dan reseksi KGB regional en-Bloc
Teknik ini diindikasikan untuk kanker kolon yang masih dapat direseksi
(resectable) dan tidak ada metastasis jauh. Luas kolektomi sesuai lokasi tumor,
jalan arteri yang berisi kelenjar getah bening, serta kelenjar lainnya yang berasal
dari pembuluh darah yang ke arah tumor dengan batas sayatan yang bebas tumor

14
(R0). Bila ada kelenjar getah bening yang mencurigakan diluar jalan vena yang
terlibat sebaiknya direseksi. Reseksi harus lengkap untuk mencegah adanya
KGB positif yang tertinggal (incomplete resection R1 dan R2). 6
Reseksi KGB harus mengikuti kaidah-kaidah sebagai berikut:
- KGB di area asal pembuluh harus diidentifikai untuk pemeriksaan
patologis. KGH yang positif secara klinis di luar lapangan reseksi yang
dianggap mencurigakan, harus dibiopsi atau diangkat
- KGB positif yang tertinggal menunjukkan reseksi inkomplit (R2)
- Minimal ada 12 KGB yang harus diperiksa untuk menegakkan stadium N.
b. Bedah laparoskopik pada kanker kolorektal
Kolektomi laparasokopik merupakan pilihan penatalaksanaan bedah
untuk kanker kolorektal. Bukti-bukti yang diperoleh dari beberapa uji acak
terkontrol dan penelitian kohort memperlihatkan bahwa bedah laparoskopik
untuk kanker kolorektal dapat dilakukan secara onkologis dan memiliki
kelebihan dibandingkan dengan bedah konvensional seperti berkurangnya nyeri
pasca operasi, penggunaan analgetika, lama rawat di rumah sakit, dan
perdarahan. Selain itu, angka kekambuhan dan ketahanan hidup sebanding
dengan open surgery.
Uji klinik skala besar (COLOR Trial) memperlihatkan perbedaan
absolut sebesar 2% yang tidak bermakna antara open surgery vs. bedah
laparoskopik dalam hal ketahanan hidup 3-tahun. Dalam studi CLASSIC, tidak
ada perbedaan yang bermakna secara statistik dalam hal angka ketahanan hidup
keseluruhan (overall survival), ketahanan hidup bebas penyakit (disease free
survival), dan kekambuhan lokal di antara kedua teknik bedah tersebut. Luaran-
luaran ketahanan hidup tersebut masih tetap tidak berbeda pada evaluasi jangka
panjang dengan median 62,9 bulan.6
Meta-analisis terkini juga menyimpulkan beberapa keuntungan bedah
laparoskopik dalam jangka pendek dibandingkan open colectomy, seperti
penurunan kehilangan darah intraoperatif, asupan oral yang lebih cepat, dan
rawat inap yang lebih singkat. Meta- analisis juga mendapatkan luaran jangka
panjang yang sama dalam hal kekambuhan lokal dan ketahanan hidup pasien
kanker kolon.6
Bedah laparoskopik sebaiknya hanya dilakukan oleh ahli bedah yang
berpengalaman dalam melakukan teknik tersebut. Eksplorasi abdomen harus

15
dilakukan secara seksama. Pertimbangan lain untuk melakukan kolektomi
laparoskopik antara lain stadium tumor dan adanya obstruksi intraabdomen.6
c. Tindakan bedah untuk kanker metastatik
1. Tumor primer resektabel dan metastasis resektabel
Pada KKR stadium 4 dengan metastasis hati dan atau paru, reseksi
merupakan pilihan yang terbaik dengan catatan tumor primer masih dapat
direseksi. Tiga paradigma pada terapi kanker kolorektal dengan metastasis
hati adalah: klasik yaitu kanker kolorektal dahulu, bersamaan yaitu kanker
kolorektal dan metastasis hati secara bersamaan, atau pendekatan terbalik
yaitu pengangkatan tumor metastasis hepar terlebih dahulu. Keputusan
dibuat berdasarkan di tempat manakah yang lebih dominan secara
onkologikal dan simtomatis.
2. Tumor primer resektabel dan metastasis tidak resektabel
Pada keadaan seperti ini, dapat dilakukan reseksi tumor primer dilanjutkan
dengan kemoterapi untuk metastasisnya.
3. Tumor primer tidak resektabel, metasatasis tidak resektabel
Kombinasi kemoterapi dan pembedahan atau radiasi paliatif merupakan
penanganan standar untuk pasien dengan KKR metastasis. Pada kasus
dengan penyakit metastasis yang tidak resektabel maka terapi pilihannya
adalah kemoterapi sistemik. Untuk penyakit yang sudah jelas tidak dapat
dioperasi, intervensi seperti stenting atau laser ablation dapat dijadikan
pilihan terapi paliatif yang berguna. In situ ablation untuk metastasis hati
yang tidak bisa direseksi juga memungkinkan, tetapi keuntungannya belum
jelas.5
4. Terapi Sistemik
Kemoterapi untuk kanker kolorektal dilakukan dengan berbagai
pertimbangan, antara lain adalah stadium penyakit, risiko kekambuhan dan
performance status. Berdasarkan pertimbangan tersebut kemoterapi pada
kanker kolorektal dapat dilakukan sebagai terapi ajuvan, neoaduvan atau
paliatif. Terapi ajuvan direkomendasikan untuk KKR stadium III dan
stadium II yang memiliki risiko tinggi. Yang termasuk risiko tinggi adalah:
jumlah KGB yang terambil <12 buah, tumor berdiferensiasi buruk, invasi
vaskular atau limfatik atau perineural; tumor dengan obstruksi atau
perforasi, dan pT4. Kemoterapi ajuvan diberikan kepada pasien dengan

16
WHO performance status (PS) 0 atau 1. Selain itu, untuk memantau efek
samping, sebelum terapi perlu dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap,
uji fungsi hati, uji fungsi ginjal (ureum dan kreatinin), serta elektrolit darah.5
a. 5-Flourourasil (5-FU)
Secara kimia, fluorourasil suatu fluorinated pyrimidine, adalah 5-
fluoro-2,4 (1H,3H)-pyrimidinedione. 5-Fluorourasil (5-FU) merupakan
obat kemoterapi golongan antimetabolit pirimidin dengan mekanisme
kerja menghambat metilasi asam deoksiuridilat menjadi asam timidilat
dengan menghambat enzim timidilat sintase, terjadi defisiensi timin
sehingga menghambat sintesis asam deoksiribonukleat (DNA), dan
dalam tingkat yang lebih kecil dapat menghambat pembentukan asam
ribonukleat (RNA). DNA dan RNA ini penting dalam pembelahan dan
pertumbuhan sel, dan efek dari 5- FUdapat membuat defisiensi timin
yang menimbulkan ketidakseimbangan pertumbuhan dan menyebabkan
kematian sel. Untuk terjadinya mekanisme penghambatan timidilat
sintase tersebut, dibutuhkan k kofaktor folat tereduksi agar terjadi ikatan
yang kuat antara 5-FdUMP dan timidilat sintase. Kofaktor folat
tereduksi didapatkan dari leucovorin.5
5-FU efektif untuk terapi karsinoma kolon, rektum, payudara, gaster
dan pankreas. Kontraindikasi pada pasien dengan status nutrisi buruk,
depresi sumsum tulang, infeksi berat dan hipersensitif terhadap
fluorourasil. Efek samping dapat terjadi pada penggunaan 5-FU adalah
sebagai berikut: 5
- Stomatitis dan esofagofaringitis, tampak lebih awal;
- Diare, anoreksia, mual dan muntah;
- Tukak dan perdarahan gastrointestinal;
- Lekopenia (leukosit < 3500/μL), atau penurunan leukosit secara cepat;
- Trombositopenia (trombosit < 100.000/μL);
- Efek yang jarang terjadi dapat berupa sindrom palmar-plantar
erythrodysesthesia atau hand-foot syndrome, dan alopesia.
b. Leucovorin/Ca-folinat58
Leucovorin secara kimia merupakan turunan asam folat, yang juga
dapat digunakan sebagai antidotum obat yang bekerja sebagai antagonis
asam folat. Leucovorin disebut juga asam folinat, citrovorum factor,

17
atau asam 5-formil-5,6,7,8-asam tetrahidrofolat. Secara biologi,
merupakan bahan aktif dari campuran antara (-)-I-isomer yang dikenal
sebagai citrovorum factor atau (-)- asam folinat. Leucovorin bukan
merupakan obat antineoplastik, penggunaan bersama 5-FU tidak
menimbulkan perubahan farmakokinetik plasma. 6
Leucovorin dapat menambah efek terapi dan efek samping
penggunaan fluoropirimidintermasuk 5-FU pada pengobatan kanker. 5-
FU dimetabolisme menjadi asam fluorodeoksiuridilat, yang mengikat
dan menghambat enzim timidilate sintase (enzim yang penting dalam
memperbaiki dan mereplikasi DNA). Leucovorin dengan mudah diubah
menjadi turunan folat yang lain, yaitu 5,10- metilin tetrahidrofolat, yang
mampu menstabilkan ikatan asam fluorodeoksiuridilat terhadap
timidilat sintase dan dengan demikian meningkatkan penghambatan
enzim tersebut. Leucovorin tidak boleh digunakan pada anemia
pernisiosa dan anemia megaloblastik yang lain, sekunder akibat
kekurangan vitamin B12.6

18
BAB III
KESIMPULAN

Insiden karsinoma kolon dan rectum di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka
kematiannya. Tingginya angka kematian tersebut menyebabkan berbagai upaya untuk
menguranginya, salah satunya dengan kebijakan deteksi dini atau skrining terhadap kelompok
berisiko yang asimptomatis. Sebagian besar dari modalitas skrining yang dimaksud adalah
radiologic imaging : Flexible Sigmoidoscopy (FS), Colonoscopy, Double Contrast Barium
Enema dan CT Colonography (CTC). Pemilihan modalitas skrining tersebut tergantung pada
kondisi pasien, teknologi yang dimiliki, resiko dan keuntungan modalitas terhadap pasien, serta
kemampuan operator. Pada prinsipnya, semakin dini diagnosis karsinoma kolorektal, semakin
baik prognosisnya karena penanganannya dapat dengan pembedahan kuratif.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdullah, Murdani. 2006. Tumor Kolorektal dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
edisi IV jilid I. FKUI : Jakarta hal 373-378
2. American Joint Committee on Cancer. Colon and Rectum. 2006. 107—118 hlm.
3. Cunningham D, Atkin W, Lenz Hj, Lynch Ht, Minsky B, Nordlinger B, Et Al.
Colorectal Cancer. Lancet . 2010;375:1030-1047.

4. Desen, Wan., Japaries, Willie. Onkologi Klinis. Edisi 2. FKUI. Jakarta. 2011.
5. Grace,Pierce A, neil R. Borley.At a Glance Ilmu Bedah.edisi ketiga.Jakarta: Erlangga;
2007
6. Kementerian Kesehatan. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Kolorektal.
Komite Penanggulangan Kanker Nasional. 172 hlm.
7. National Comprehensive Cancer Network. Nccn Clinical Practice Guidelines In
Oncology (Nccn Guidelines): Colon Cancer. Version 2.2013. Available At
Http://Www.Nccn.Org/Professionals/Physician_Gls/Pdf/Colon.Pdf.

8. Price Syilvia A., Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Edisi 4. EGC. Jakarta. 1995.
9. Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI . Buletin Jendela Data Dan
Informasi Kesehatan: Situasi Kanker Di Indonesia. Kementrian Kesehatan Ri. 2015
10. R. Sjamsuhidayat, Jong. W.D. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3 EGC. Jakarta. 2017.
11. Tambayong, J. Patofisiologi untuk keperawatan. Monica Ester EGC. 2000. Jakarta: viii
+ 211 hlm
12. Zinner, Schwartz, Ellis. 2001. Rectal Cancer. In Maingots’s Abdominal Operation. 10th
Edition. 2001. Singapore: Mcgraw-Hill. P1455-99.

20

Anda mungkin juga menyukai