Anda di halaman 1dari 11

EKOSISTEM PULAU-PULAU KECIL DI INDONESIA DAN PENGELOLAAN

SUMBERDAYA ALAMNYA GUNA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN


April 1, 2010

Filed under: SDA & LH — Urip Santoso @ 2:18 am


Tags: pembangunan, pulau kecil

Oleh:

Prima Eko Yurizta

E-mail: Primayurizta@yahoo.com

Abstrak

Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar yang terdiri dari 17.508 pulau dengan
garis pantai sepanjang 81.000 km2, Sejumlah besar (lebih dari 10.000 buah) dari pulau-pulau
tersebut adalah merupakan pulau-pulau berukuran kecil yang tersebar dari Sabang hingga ke
Merauke. Dari segi fisik maka pulau-pulau kecil memiliki sumberdaya alam daratan yang
sangat terbatas jika dibandingkan dengan sumberdaya alam kelautan dan jasa lingkungan
sehingga perlu dikelola secara baik. Pulau kecil dapat dikategorikan sebagai suatu wilayah
pesisir dimana satu atau lebih sistem lingkungan atau ekosistem dan sumberdaya pesisir.
Ekosistem alami terdapat di pulau-pulau kecil pesisir antara lain adalah terumbu karang, hutan
mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, formasi pes-caprea, formasi
baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan eksistem buatan antara lain berupa kawasan
pariwisata, kawasan budidaya (mariculture) dan kawasan pemukiman. Masalah-masalah yang
ada pada pulau-pulau kecil sebagai akibat kondisi biogeofisik, keberadaan penduduk maupun
ekosistem alam pulau tersebut. Pola pembangunan dan pengelolaan pulau-pulau kecil harus
mengikuti kaidah-kaidah ekologis bahwa pembangunan tersebut secara keseluruhan tidak boleh
melebihi daya dukung dari pulau-pulau dan tidak melebihi daya dukung pulau tersebut.
Disamping itu juga pembangunan tersebut harus disesuaikan dengan potensi sumberdaya yang
dimiliki pulau tersebut.

I. BATASAN PULAU-PULAU KECIL

Dengan perbandingan luas wilayah lautan dan daratan sebagai 3:2 memberikan wilayah pesisir
dan lautan Indonesia memiliki berbagai macam sumberdaya alam. Sumberdaya alam mana,
teristimewa sumberdaya alam yang dapat pulih kembali seperti berbagai jenis ikan, udang,
kepiting dan sebagainya, telah sejak lama dimanfaatkan oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu
sumber bahan makanan utama terutama sebagai sumber protein hewani. Masih ada sumberdaya
alam lain dan jasa lingkungan yang belum diusahakan, ataupun kalu sudah, masih berada pada
taraf yang mesih rendah dan perlu untuk dimanfaatan secara lebih baik untuk kesejahteraan
bersama masyarakat Indonesia terutama masyarakat pesisir yang selama ini lebih banyak
merupakan objek dari kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan.
Adalah suatu kenyataan bahwa Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di dunia
yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km2 , yang merupakan
terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, dengan wilayah teritorial seluas 5,1 juta km2 (63%
dari total wilayah teritorial Indonesia) ditambah dengan Zona Ekonomi Ekskulsif seluas 2,7 juta
km2 (Dahuri et al, 1995; Dahuri, 1998). Sejumlah besar (lebih dari 10.000 buah) dari pulau-pulau
tersebut adalah merupakan pulau-pulau berukuran kecil yang tersebar dari Sabang hingga ke
Merauke. Walaupun hanya sebagian kecil saja yang memiliki penduduk, akan tetapi sulit untuk
dikatakan bahwa terhadap pulau-pulau kecil yang tidak berpenduduk dan terpencil itu bebas dari
pengeksploitasian atau bebas dari dampak kegiatan manusia (Dutton, 1998). Pulau-pulau ini
memiliki nilai penting dari sisi politik, sosial, ekonomi, budaya dan pertahanan keamanan
Indonesia.

Sampai saat ini masih belum ada batasan yang tetap tentang pengertian pulau kecil baik di
tingkat nasional maupun internasional, akan tetapi terdapat suatu kesepakatan umum bahwa yang
dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah
dari pulau induknya dan memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat lain, sehingga
mempunyai sifat insular (Dahuri, 1998; Bengen, 2001). Batasan lain yang juga dapat dipakai
adalah pulau dengan luas 10.000 km2 atau kurang dan mempunyai penduduk 500.000 orang atau
kurang (Bell et al., 1990 dalam Dahuri, 1998; UNESCO, 1994 dalam Sugandhi, 1998).

Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain sehingga keterisolasian ini
akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup di pulau tersebut serta dapat juga
membentuk kehidupan yang unik di pulau tersebut. Selain itu pulau kecil juga mempunyai
lingkungan yang khusus dengan proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan
pulau kontinen. Akibat ukurannya yang kecil maka tangkapan air (catchment) pada pulau ini
yang relatif kecil sehingga air permukaan dan sedimen lebih cepat hilang kedalam air. Jika
dilihat dari segi budaya maka masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang umumnya
berbeda dengan masyarakat pulau kontinen dan daratan (Dahuri, 1998). Batasan lain yang bisa
juga dipakai adalah pulau dengan ukuran 5000 km2 (Ongkosongo, 1998 dalam Falkland, 1993;
1995) atau dengan luas 2000 km2 (Ongkosongo, 1998 dalam UNESCO, 1991; Falkland, 1993).
Untuk pulau sangat kecil dipakai ukuran luas maksimum 1000 km2 dengan lebar kurang dari 3
km (Hehanusa, 1995; Falkland, 1995).

Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas maka ada 3 hal yang dapat dipakai untuk membuat
suatu batasan pengertian pulau kecil yaitu: (i) batasan fisik (menyangkut ukuran luas pulau); (ii)
batasan ekologis (menyangkut perbandingan spesies endemik dan terisolasi); dan (iii) keunikan
budaya. Kriteria tambahan lain yang dapat dipakai adalah derajat ketergantungan penduduk
dalam memenuhi kebutuhan pokok. Apabila penduduk suatu pulau dalam memenuhi kebutuhan
pokok hidupnya bergantung pada lain atau pulau induknya maka pulau tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai pulau kecil.

II. PERMASALAHAN PULAU-PULAU KECIL

Jumlah penduduk yang meningkat secara cepat dari waktu ke waktu disertai dengan intentsitas
pembangunan yang terus meningkat dimana sumberdaya alam di daratan sudah mulai menipis
dan dengan kenyataan bahwa 60 % dari penduduk Indonesia (kira-kira 185 juta jiwa) yang
dianggap tinggal di daerah pesisir, tidaklah mengherankan bahwa lingkungan pesisir dan laut
menjadi pusat pemanfaatan sekaligus pengrusakan yang tingkatnya sudah cukup parah untuk
beberapa daerah tertentu (Anonimus, 1996).

Dari segi fisik maka pulau-pulau kecil memiliki sumberdaya alam daratan yang sangat terbatas
jika dibandingkan dengan sumberdaya alam kelautan dan jasa lingkungan (Dahuri, 1998)
sehingga perlu dikelola secara baik guna menunjang pembangunan bangsa dan masyaralat
Indonesia. Pembangunan mana harus dilakukan secara terencana, sistematis dan terpadu
sehingga apa yang dilakukan dalam kegiatan pembangunan tersebut tidak akan mengganggu
keberlanjutan sumberdaya tersebut sehingga generasi yang akan datang juga dapat
memanfaatkan sumberdaya tersebut.

Sebagai akibat pertambahan penduduk yang cepat dan untuk pemenuhan kebutuhannya ditambah
pula dengan perluasan pemukiman, kegiatan-kegiatan industri, pariwisata, transportasi dan
berbagai kegiatan lainnya yang memanfaatkan pulau-pulau kecil menyebabkan pulau-pulau ini
mendapat tekanan yang cukup berat akibat berbagai kegiatan tersebut serta pengeksploitasian
sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang terdapat pada pulau-pulau kecil tersebut. Hal-hal
tersebut yang menjadi landasan untuk perlunya penataan terhadap pemanfaatan pulau-pulau kecil
tersebut.

Pulau-pulau kecil sering memiliki keunikan dan keunggulan dari segi keaslian, keragaman dan
kekhasan sumberdaya alam dan ekosistem, tetapi juga memiliki banyak permasalahan dari segi
keterbatasan sumberdaya alam khususnya air bersih, kondisi sosial ekonomi penduduk, isolasi
daerah, ancaman bencana alam, keterbatasan infrastruktur dan kelembagaan. Potensi pulau-pulau
kecil sering kurang mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah dan swasta dalam usaha
meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat karena pertimbangan-pertimbangan prespektif
ekonomi yang kurang menguntungkan Sriwidjoko, 1988).

Masalah-masalah yang ada pada pulau-pulau kecil sebagai akibat kondisi biogeofisik pulau-
pulau tersebut adalah keberadaan penduduk maupun ekosistem alam pulau tersebut dan beberapa
yang utama adalah (Dahuri, 1998; Sugandhy, 1998; Yudhohusodo, 1998; Sriwidjoko, 1998;
Solomon, S.M. dan Forbes, D.L., 1999):

a. Secara ekologis pulau-pulau kecil amat rentan terhadap pemanasan global, angin topan dan
gelombang tsunami. Erosi pesisir disebabkan kombinasi faktor-faktor tersebut terbukti sangat
progresif dalam mengurangi garis pantai kepulauan kecil. Akibatnya adalah penurunan jumlah
mahluk hidup, hewan-hewan maupun penduduk yang mendiami pulau tersebut.

b. Pulau-pulau kecil diketahui memiliki sejumlah besar spesies-spesies endemik dan


keanekaragaman hayati yang tipikal yang bernilai tinggi. Apabila terjadi perubahan
lingkungan pada daerah tersebut, maka akan sangat mengancam keberadaan spesies-spesies
tadi.

c. Untuk pulau kecil yang letaknya jauh dari pusat pertumbuhan, pembangunannya tersendat
akibat sulitnya transportasi dan SDM. Pulau ini tetap bisa dikembangkan akan tetapi
diperlukan biaya yang lebih besar untuk pengembangannya
d. Pulau-pulau kecil memiliki daerah tangkapan air yang sangat terbatas sehingga
ketersediaan air tawar merupakan hal yang memprihatinkan. Untuk kegiatan pengembangan
seperti pariwisata, industri dan listrik tenaga air, sebagai contoh, akan sangat terbatas

e. Pengelolaan pulau-pulau kecil belum terintegrasi dengan pengelolaan daerah pesisir kecuali
pulau-pulau terpencil di gugusan kepulauan di Propinsi Maluku. Hal lain yang sering
menjadi masalah adalah keterbatasan pemerintah daerah dan kurangnya dana untuk
mengembangkan pulau-pulau sekitar

f. Sampai dengan saat ini belum ada klasifikasi menyangkut keadaan biofisik, sosial ekonomi
terhadap pulau-pulau kecil yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan atas alokasi
sumberdaya alam agar lebih efektif.

Dinegara-negara maju seperti Jepang misalnya, beberapa buah pulau dibuat khusus dan jumlah
pulau buatan ini akan terus meningkat dengan kecepatan relatif cepat. Di Teluk Tokyo dan Teluk
Osaka, sebagai contoh, selain daratan diperluas lewat reklamasi juga banyak pulau dibentuk
seperti pembuatan pulau baru untuk lapangan udara di Osaka. Di Indonesia, hal yang sebaliknya
terjadi dimana di kepulauan Seribu dilaporkan banyak pulau yang hilang (Ongkosongo, 1984;
1997 dalam Ongkosongo, 1998).. Bahkan sebagian pulau di Kep. Riau dikeruk untuk
mendukung kebutuhan tanah uruk negara lain (Singapore dan Malaysia). Beberapa pulau bahkan
sudah dikuasai atau dimanfaatkan secara sepenuhnya atau sebagian oleh pribadi, organisasi, atau
sekelompok masyarakat tertentu seperti P. Putri untuk pariwisata, P. Air untuk pemukiman
pribadi, P. Nyamuk Besar dan P. Jong untuk perhubungan dan ada beberapa pulau yang telah
dirobah sedemikian rupa dengan pengerukan (P. Air) atau penggalian (P. Kelapa), pengurungan
(P. Kaliangen).

Diperkirakan adanya dampak negatif dari perubahan tersebut terhadap biota baik secara langsung
maupun tidak langsung terhadap habitat. Apabila kerusakan lingkungan terus terjadi maka flora
dan fauna pada pulau-pulau kecil akan terancam dan terus menurun yang selanjutnya akan
mengurangi keanekaragaman hayati daerah tersebut. Bila ini terjadi maka pada suatu saat pulau-
pulau ini tidak akan layak lagi untuk dihuni. Oleh karena itu harus ada suatu perencanaan yang
baik untuk tercapainya pembangunan yang berkelanjutan di pulau-pulau tersebut.

III. EKOSISTEM DAN SUMBERDAYA ALAM PULAU-PULAU KECIL

Berdasarkan defenisi atau pengertian mengenai pulau-pulau kecil maka dapat dikatakan bahwa
pulau kecil sering dapat dikategorikan sebagai suatu wilayah pesisir dimana dalam suatu wilayah
pesisir pulau-pulau kecil terdapat satu atau lebih sistem lingkungan atau ekosistem dan
sumberdaya pesisir. Ekosistem tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan. Ekosistem alami
yang biasanya dijumpai di pulau-pulau kecil pesisir antara lain adalah terumbu karang, hutan
mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, formasi pes-caprea, formasi
baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan eksistem buatan antara lain berupa kawasan
pariwisata, kawasan budidaya (mariculture) dan kawasan pemukiman (Dahuri, 1998).

Dari penjelasan diatas kita ketahui bahwa pada eksistem pulau-pulau kecil terdapat satu atau
lebih ekosistem dan dalam penulisan ini hanya memberi sedikit gambaran menyangkut tiga
ekosistem utama dan penting yang biasanya mencirikan ekosistem perairan tropis yaitu
ekosistem hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun.

Hutan mangrove sering juga disebut sebagai hutan bakau, hutan payau atau hutan pasang surut,
merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut. Terdapat di daerah tropik atau sub
tropik disepanjang pantai yang terlindung dan di muara sungai. Hutan mangrove merupakan
komunitas tumbuhan pantai yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu
tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut sesuai dengan toleransinya terhadap salinitas,
lama penggenangan, substart dan morfologi pantainya. Sebagai daerah peralihan antara darat dan
laut, ekosistem mangrove mempunyai gradien sifat lingkungan yang berat, sehingga hanya jenis
tertentu yang memiliki toleransi terhadap kondisi lingkungan seperti itulah yang dapat bertahan
dan berkembang (Anonim, 1997). Vegetasi hutan mangrove umumnya terdiri dari jenis-jenis
yang selalu hijau (evergreen plant) dari beberapa famili. Menurut Dewanti et. al., (1996) hutan
mangrove dapat meliputi beberapa jenis tanaman seperti Avicennia, Rhizophora, Ceriops,
Bruguiera, Xylocarpus, Acantus dan Hibiscus. Hutan mangrove merupakan ekosistem pesisir
yang mempunyai produktivitas tinggi. Menurut Lugo dan Snedaker (1974) dalam Supriharyono
(2000) disebutkan bahwa produktivitas primer hutan mangrove cukup tinggi dan dapat mencapai
5.000 g C m-2 thn-1.

Telah diketahui bahwa ekosistem mangrove mempunyai fungsi yang penting bagi manusia baik
secara langsung maupun tidak langsung dan juga bagi organisme lain yang berasosiasi dengan
ekosistem tersebut. Beberapa fungsi yang bisa disebutkan antara lain perlindungan terhadap
pantai, perangkap sedimen dari darat, perlindungan bagi organisme tertentu, pemijahan,
pembesaran, pencari makan dari berbagai organisme dan hal ini dapat dilihat dari berbagai
organisme yang dijumpai disekitar ekosistem tersebut seperti beberapa jenis udang, ikan, kerang-
kerangan (Aswandy, 1998; Ardiputra, 1998; Supriharyono, 2000). Masih ada fungsi-fungsi lain
seperti pemanfaatan kayu untuk berbagai keperluan.

Terumbu karang (coral reefs) merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar laut daerah
tropis dan dibangun oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang batu dan alge
penghasil kapur (CaCO3) dan merupakan ekosistem yang cukup kuat menahan gaya gelombang
laut. (Saptarini et al , 1995; Dawes 1981 dalam Supriharyono, 2000). Ekosistem terumbu karang
terdapat di lingkungan perairan yang agak dangkal. Untuk mencapai pertumbuhan
maksimumnya, terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, dengan suhu yang hangat,
gerakan gelombang yang besar, serta sirkulasi yang lancar dan terhindar dari proses sedimentasi.

Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan paling tinggi
keanekaragaman hayatinya. Berdasarkan data yang dikumpulkan selama Ekspedisi Snelius II
(1984), di perairan Indonesia terdapat sekitar 350 spesies karang keras yang termasuk ke dalam
75 genera. Selanjutnya Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa karena produktivitas yang
tinggi tersebut memungkinkan terumbu karang merupakan tempat pemijahan, pengasuhan dan
mencari makan dari kebanyakan ikan. Oleh karena itu secara otomatis produksi ikan di daerah
terumbu karang sangat tinggi. Terumbu karang juga merupakan habitat bagi banyak spesies laut.
Selain itu, terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari erosi. Dari sisi sosial
ekonomi, terumbu karang adalah sumber perikanan yang produktif, sehingga dapat
meningkatkan pendapatan nelayan, penduduk pesisir, dan devisa negara yang berasal dari
perikanan dan pariwisata.

Padang lamun (seagrass beds) merupakan salah satu ekosistem yang terletak di daerah pesisir
atau perairan laut dangkal. Masyarakat lamun merupakan masyarakat tumbuhan berbiji tunggal
(monokotil) dari kelas angiospermae. Keunikan tumbuhan lamun dari tumbuhan laut lainnya
adalah adanya perakaran dan sistem rhizoma yang ekstensif. (Supriharyono, 2000). Wilayah ini
terdapat antara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu di mana matahari
masih dapat mencapai dasar laut. Di Indonesia, padang lamun sering di jumpai berdekatan
dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang (Tomascik et al., 1997, Wibowo et al., 1996) .
sehingga interaksi ketiga ekosistem ini sangat erat. Struktur komunitas dan sifat fisik ketiga
ekosistem ini saling medukung, sehingga bila salah satu ekosistem terganggu, ekosistem yang
lain akan terpengaruh.

Fungsi padang lamun antara lain menamgkap sedimen, menstabilkan substrat dasar dan
menjernihkan air; produktivitas primer; sumber makanan langsung kebanyakan hewan; habitat
beberapa jenis hewan air; substrat organisme yang menempel dsb (Supriharyono, 2000).
Produktivitas primerkomunitas lamun mencapai 1 kg C/m2/th. Namun demikian menurut
Kirman dan Reid (1979) dalam Supriharyono (2000) dari jumlah tersebut hanya 3 % yang
dimanfaatkan oleh herbivora, 37 % ternggelam ke perairan dan bimanfaatkan oleh benthos dan
12 % mengapung di permukaan dan hilang dari ekosistem. Padang lamun mendukung kehidupan
biota yang cukup beragam dan berhubungan satu sama lain. Jaringan makanan yang terbentuk
antara padang lamun dan biota lain adalah sangat kompleks. Sejumlah organisme yang dijumpai
hidup disini antara lain adalah invertebrata: moluska (Pinna, Lambis, dan Strombus);
Echinodermata (teripang – Holoturia, bulu babi – Diadema sp.), dan bintang laut (Archaster,
Linckia); serta Krustasea (udang dan kepiting).

Di Indonesia, padang lamun sering di jumpai berdekatan dengan ekosistem mangrove dan
terumbu karang (Tomascik et al., 1997, Wibowo et al., 1996 dalam Supriharyono, 2000)
sehingga interaksi ketiga ekosistem ini sangat erat. Struktur komunitas dan sifat fisik ketiga
ekosistem ini saling medukung, sehingga bila salah satu ekosistem terganggu, ekosistem yang
lain akan terpengaruh. Bentuk interkasi itu bisa berupa interkasi secara fisik, bahan organik
terlarut, bahan organik partikel, migrasi fauna dan dampak manusia seperti yang diperlihatkan
pada Gambar 1 (Ogden dan Gladfelter, 1983 dalam Bengen, 2001; Kaswadji, 2001).

IV. PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-


PULAU KECIL

Perhatian terhadap permasalahan pulau-pulau kecil saat ini sudah mulai lebih baik jika
dibandingkan dengan waktu-waktu yang lampau. Dalam International Confrence on Coastal
Zone Management 1993 (World Coast Confrence, 1993) di Noorwijk, Belanda dan Global
Confrence on the Sustainable development of Small Island Developing State 1994 di Bahama,
disebutkan sekali lagi bahwa pengelolaan kawasan pesisir dan lautan secara terpadu untuk
pembangunan berkelanjutan suatu negara perlu segera direalisasikan secara sungguh-sungguh
(Sugandhy, 1998). Indonesia juga telah mulai memperhatikan masalah ini dengan
menyelenggarakan berbagai penelitian seperti Tim Peneliti Ekspedisi Pulau Moyo (1993),
Ekspedisi Pulau Rinca (1994), Potensi Pengembangan Pulau Biak (1996) dan berbagai
pertemuan lainnya (Ongkosongo, 1998). Pada tahun 1996, sebagai contoh, UNESCO
memperkenalkan program berjudul Environmental and Development in Coastal Region and in
Small Island (CSI) dengan tujuan guna mengembangkan berbagai pendekatan terpadu untuk
pemecahan masalah-masalah di wilayah pesisir (Ongkosongo, 1998 dalam Anonimus, 1997).

Melihat akan segala potensi, permasalahan dan kendala yang ada pada pulau-pulau kecil bukan
berarti bahwa pulau-pulau kecil tersebut tidak dapat dibangun atau dikembangkan sama sekali,
akan tetapi pola pembangunannya harus mengikuti kaidah-kaidah ekologis khususnya adalah
bahwa pembangunan tersebut secara keseluruhan tidak boleh melebihi daya dukung dari pulau-
pulau tersebut sehingga dampak negatif (fisik dan non-fisik) dari kegiatan pembangunan harus
ditekan seminimal mungkin untuk tidak melebihi daya dukung pulau tersebut. Disamping itu
juga pembangunan tersebut harus disesuaikan dengan potensi sumberdaya yang dimiliki pulau
tersebut. Untuk itu sebelum suatu kegiatan dilakukan terhadap suatu pulau kecil tertentu maka
terhadap pulau tersebut perlu dilakukan suatu studi yang komprihensif menyangkut pulau
tersebut menyangkut ekosistem dan sumberdaya yang terkandung didalamnya.

Gamber 1. memperlihatkan pola penggunaan sumberdaya yang tidak berkelanjutan (A) dan
penggunaan yang berkelanjutan (B) yang bisa terjadi pada ekosistem manapun termasuk pulau-
pulau kecil. Pada pola (A) tidak dijumpai komponen pemantauan dan pengkajian ulang serta
evaluasi seperti yang ditunjukan pada pola (B).

Gambar 1. Dua pendekatan dalam penggunaan sumberdaya pesisir (Sumber: Dutton dan Hotta,
1995)

Secara umum ada tiga langkah utama dalam pengelolaan suatu wilayah secara terpadu guna
pembagunan berkelanjutan yaitu (i) perencanaan; (ii) pelaksanaan dan (iii) pemantauan dan
evaluasi (Dahuri et al 1995; Dutton dan Hotta, 1995; Cicin-Sain dan Knecht, 1998). Ketiga
tahapan utama tersebut kemudian dipecahkan kedalam beberapa tahapan lain seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 2, tahapan mana bisa juga diterapkan dalam perencanaan
pemanfaatan pulau-pulau kecil.

Gambar 2. Proses perencanaan pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir pulau-pulau kecil


(Modifikasi dari Dahuri et al 1995)

Perencanaan dimulai dengan pengidentifisian masalah utama menyangkut pulau kecil tersebut
yang selanjutnya diikuti dengan pendefenisian permasalahan ditambah masukan dari aspirasi
lokal (masyarakat) dan nasional dan informasi menyangkut potensi sumberdaya dan ekosistem
pulau tersebut maka disusunlah tujuan dan sasaran dengan memperhatikan peluang dan kendala
yang ada. Tahap selanjutnya adalah memformulasikan rencana kegiatan yang kemudian diikuti
dengan pelaksanaan rencana. Pada tahap pelaksanaan ini diikuti dengan tindakan pemantauan
dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana tersebut. Informasi dari pemantauan dan evaluasi
dipakai sebagai umpan balik untuk melakukan formulasi ulang apabila dalam pelaksanaan
rencana ada yang tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan untuk kemudian
diformulasikan kembali. Dengan proses-proses ini diharapkan pembangunan berkelanjutan pada
ekosistem pulau-pulau kecil dapat dicapai.
Dikarenakan karakterisitik pulau-pulau kecil yang unik dan pada umumnya rentan dan peka
terhadap berbagai macam tekanan manusia (anthropogenic) maupun tekanan alam, maka dalam
pemanfaatannya harus lebih hati-hati. Agar penggunaannya dapat berkelanjutan maka secara
garis besar eksosietm pulau-pulau kecil itu harus bisa dipilah menjadi tiga mintakat yaitu 1)
mintakat preservasi; 2) mintakat konservasi dan 3) mintakat pemanfaatan. Untuk itu perlu
dilakukan penataan ruang terhadap ekosistem pulau-pulau kecil tersebut. Mintakat 1 dan 2
menurut UU N0. 24/1992 tentang penataan ruang disebut sebagai kawasan lindung sedangkan
mintakat 3 sebagai kawasan budi daya (Dahuri et al, 1995).

Mintakat preservasi adalah suatu daerah yang memiliki ekosistim unik, biota endemik, atau
proses-proses penunjang kehidupan seperti daerah pemijahan, daerah pembesaran dan alur
migrasi biota perairan. Pada mintakat ini kegiatan yang diperbolehkan hanyalah pendidikan dan
penelitian ilmiah, tidak diperkenangkan adanya kegiatan pembangunan. Mintakat konservasi
adalah daerah yang diperuntukan bagi kegiatan pembangunan (pemanfaatan) secara terbatas dan
terkendali misalnya kawasan hutan mangrove atau terumbu karang untuk kegiatan wisata alam
(ecotourism), sementara itu mintakat pemanfaatan diperuntukan bagi kegiatan pembangunan
yang lebih intensif seperti industri, tambak, pemukiman, pelabuhan dan sebagainya.

Melihat akan penjelasan menyangkut pembagian zone-zona tersebut dan dikaitkan dengan
karakterisitik biofisik pulau-pulau kecil maka dapat dikatakan bahwa pemanfaatan pulau-pulau
kecil harus dilakukan dengan cermat. Untuk itu sebelum menempatkan kegiatan pembangunan
yang secara ekologis sesuai untuk pulau-pulau kecil maka perlu diidentifikasikan terlebih dulu
kelayakan biofisik pulau tersebut sehingga dapat ditentukan kesesuaian penggunaan setiap lokasi
dari pulau kecil tersebut. Dengan demikian kita dapat membuat peta tata ruang tata guna lahan
untuk wilayah pulau-pulau kecil.

Selanjutnya setelah kita berhasil memetakan setiap kegiatan pembangunan yang secara ekologis
sesuai dengan lokasi tersebut maka hal berikut yang harus kita buat adalah menentukan laju
optimal setiap kegiatan pembangunan (sosial, ekonomi dan ekologis) yang menguntungkan dan
ramah lingkungan yaitu suatu kegiatan pembangunan yang tidak melebihi daya dukung dari
wilayah tersebut dan daya pulih (recovery) atau daya lenting (resilience) dari sumberdaya yang
dimanfaatkan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat lokal dan nasional (Dahuri et al ,
1995; Dahuri, 1998; Ongkosongo, 1998).

Perlu diingat bahwa untuk memanfaatkan ekosistem pulau-pulau kecil serta sumberdaya alam
yang terkandung didalamnya, maka keterlibatan semua pihak yang memiliki ketergantungan
terhadap ekosistem ini perlu diperhatikan. Masyarakat kecil terutama yang harus mendapat
perhatian dan keterlibatan mereka serta semua stake holder yang lain sudah harus dimulai dari
tahap perencanaan. Dalam gambar ini masyarakat sudah harus dilibatkan paling tidak pada
tahapan penentuan kelayakan biogeofisik.

V. KESIMPULAN

Dari uraian-uraian dan ulasan singkat diatas menyangkut permasalahan ekosistem pulau-pulau
kecil maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Ada berbagai batasan menyangkut pulau-pulau kecil akan tetapi yang perlu mendapat
perhatian adalah pembatasan yang dikaitkan dengan penggunaan ekosistem dan sumberdaya
pulau kecil secara berkelanjutan. Oleh sebab itu dalam rangka pembangunan pulau-pulau kecil
perlu memperhatikan masalah masalah teknis pengelolaan dan non-teknis seperti daya dukung,
daya tampung, daya lenting, masalah sosial, ekonomi, budaya serta kelembagaan yang ada pada
ekosistem pulau-pulau kecil tersebut.

2. Dengan melihat potensi yang dimiliki pulau-pulau kecil serta memperhatikan kerentanan,
peluang dan kendala yang dihadapi pulau-pulau tersebut maka perlu disusun suatu pedoman
yang teknis yang baku secara nasional tentang pengelolaan dan pemanfaatan yang sesuai dengan
konsep pembangunan berkelanjutan

3. Perlu adanya keterpaduan antara berbagai pihak yang sedang dan yang akan menggunakan
ekosistem pulau-pulau kecil dan sumberdayanya dalam perencanaan dan pemanfaatan pulau-
pulau tersebut. Keterpaduan mana sudah harus dimulai pada saat awal perencanaan pemanfaatan
pulau-pulau kecil.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus, 1997. Ensiklopedi Kehutanan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan


Kehutanan. Departemen Kehutanan RI. Jakarta

Anonimus, 1996. Agenda 21 Indonesia:-Bab 18. Strategi Nasional Untuk Pembangunan


Berkelanjutan. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta

Ardiputra, I.K., 1998. Manfaat Ekosistem Mangrove dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil.
dalam Edyanto, CB.H., Ridlo, R., Naryanto, H.S. dan Setiadi, B. (Eds.). Prosiding Seminar dan
Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Kerjasama Depdagri, Dir. Pengelolaan
Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT dan Coastal Resources Management Project,
USAID. hal. E40-E42

Aswandy, I., 1986. Struktur Komunitas Fauna Krustasea di Pulau-Pulau Teluk Banten.
dalam Edyanto, CB.H., Ridlo, R., Naryanto, H.S. dan Setiadi, B. (Eds.). Prosiding Seminar dan
Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Kerjasama Depdagri, Dir. Pengelolaan
Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT dan Coastal Resources Management Project,
USAID. hal. E22-E30

Bengen, D.G., 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Lautan. Pusat
Kajian Sumberdaya Peisisr dan Lautan, Institut Pertanian Bogor

Cicin-Sain, B. dan Knecht, R.W., 1998. Integrated Coastal and Ocean Management. Concepts
and Practices. Island Press, Washington DC

Dahuri, R., 1998. Pendekatan Ekonomi-Ekologis Pembangunan Pulau-Pulau Kecil


Berkelanjutan. dalam Edyanto, CB.H., Ridlo, R., Naryanto, H.S. dan Setiadi, B. (Eds.).
Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Kerjasama
Depdagri, Dir. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT dan Coastal
Resources Management Project, USAID. hal. B32 – B42

Dahuri, R., Rais, J.M., Ginting S.P. dan Sitepu, M.J., 1995. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita, Jakarta

Dewanti. R, C. Kusmana, T. Gantini, S. Utaminingsih, Munyati, Ismail, N. Suwargana dan E.


Parwati. 1996 Pengembangan Model Aplikasi Penggunaan Data Inderaja Satelit Untuk
Inventarisasi dan Kerapatan Hutan Bakau. LAPAN (tidak diterbitkan).

Dutton, I.M. dan Hotta, K., 1995. Introduction. dalam Coastal Management in the Asia-Pacific
Region: Issues and Approach. Hotta, K dan Dutton I.M. (eds.). Japan International Marine
Science and Technology Federation, Tokyo.

Dutton, I.M., 1998. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di
Indonesia. Kerjasama Depdagri, Dir. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA,
BPPT dan Coastal Resources Management Project, USAID

Falkland, T., 1995. Water resources assessment, development and management for small
tropical island. Proc. Work. Water Resources Assessment in Small Island and the Coastal
Zone (Hehanusa, P.E. and Haryanti, G.S., Eds). LIPI-UNESCO, Indon, Nat. Com. IHP, and
RDC Limnol.-LIPI, Jakarta. hal. 1-82

Hehanusa, P.E., 1995. Geohydrological factors in water resources planning for small islands. .
Proc. Work. Water Resources Assessment in Small Island and the Coastal Zone (Hehanusa,
P.E. and Haryanti, G.S., Eds). LIPI-UNESCO, Indon, Nat. Com. IHP, and RDC Limnol.-LIPI,
Jakarta. hal. 111-127

Kaswadji, R., 2001. Keterkaitan Ekoistem di dalam Wilayah Pesisir. Materi Kuliah Analisis
Ekosistem Pesisir dan Laut. Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor (Tidak diterbitkan)

Ongkosongo, O.S.R., 1998. Permasalahan dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Prosiding


Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-pulau di Indonesia. dalam Edyanto, CB.H.,
Ridlo, R., Putro, C.J., Naryanto, H.S. dan Setiadi, B. (Eds.). Kerjasama Depdagri, Dir.
Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT dan Coastal Resources
Management Project, USAID. hal. H34-H47

Saptarini, D., Suprapti dan H.R. Santosa, 1995. Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan
Wilayah Pesisir. Dirjen. Pendidikan Tinggi, Deoartemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Solomon, S.M. dan Forbes, D.L., 1999. Coastal hazards and associated management issues on
South Pacific Islands. Ocean & Coastal Management. 42: 523-554

Sriwidjoko, B., 1998. Kebijaksanaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di Jawa. dalam
Edyanto, CB.H., Ridlo, R., Naryanto, H.S. dan Setiadi, B. (Eds.). Prosiding Seminar dan
Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Kerjasama Depdagri, Dir. Pengelolaan
Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT dan Coastal Resources Management Project,
USAID. hal. H26-H33

Sugandhy, A., 1988. Pengelolaan lingkungan pulau-pulau kecil. Prosiding Seminar dan
Lokakarya Pengelolaan Pulau-pulau di Indonesia. dalam Edyanto, CB.H., Ridlo, R., Putro,
C.J., Naryanto, H.S. dan Setiadi, B. (Eds.). Kerjasama Depdagri, Dir. Pengelolaan Sumberdaya
Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT dan Coastal Resources Management Project, USAID. hal.
H1-H5

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir


Tropis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Yudhohusodo, S., 1988. Peran serta pengusaha dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di
Indonesia. . Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-pulau di Indonesia. dalam
Edyanto, CB.H., Ridlo, R., Putro, C.J., Naryanto, H.S. dan Setiadi, B. (Eds.). Kerjasama
Depdagri, Dir. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan, TPSA, BPPT dan Coastal
Resources Management Project, USAID. hal. H5-H11

TUGAS

PENYAJIAN ILMIAH

EKOSISTEM PULAU-PULAU KECIL DI INDONESIA DAN PENGELOLAAN


SUMBERDAYA ALAMNYA GUNA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

OLEH :

PRIMA EKO YURIZTA

E2A009006

PROGRAM PASCA SARJANA (S2)

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BENGKULU

2009

Anda mungkin juga menyukai