Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu alat kedokteran di

bidang radiologi diagnostik, yang menghasilkan rekaman gambar

potongan penampang tubuh / organ manusia dengan menggunakan

medan magnet berkekuatan antara 0,064 – 1,5 tesla dan resonansi

getaran terhadap inti atom hidrogen (Notosiswoyo, 2004).

MRI telah menjadi modalitas pencitraan noninvasif yang penting,

karena dapat membedakan jaringan lunak satu dengan jaringan lunak

yang lain (Vadim kuperman, 2000). Menurut World Health Organization

(2017), MRI mampu memberikan gambaran 3D dari organ tubuh dengan

kontras soft tissue yang baik, dapat memvisualisasikan brain, spine, otot,

persendian dan struktur lain dengan cukup baik. Pencitraannya

merupakan pencitraan multiplanar yang berarti gambar dapat di peroleh

dari beberapa bidang tanpa mengubah posisi. MRI di dasarkan pada

kumpulan sekuen yang diperintahkan oleh kombinasi radiofrekuensi dan

gradient pulse yang dirancang untuk memperoleh data untuk membentuk

gambar.

Salah satu teknik sekuen yang sering digunakan dalam pencitraan

MRI adalah Fast Spin Echo (FSE) atau biasa di sebut juga Turbo Spin

Echo (TSE) pada pesawat Siemens dan Philips. Turbo Spin Echo (TSE)

merupakan salah satu dari urutan pulse Spin Echo (SE) dengan waktu

yang lebih singkat dibandingkan SE. Pada TSE pemberian pulsa di

1
2

lakukan dengan satu kali pulsa 90⁰ diikuti multiple 180⁰ rephasing dalam

satu Time Repetition (TR) yang kemudian mengisi lebih dari satu baris

pada k-space. Pengaplikasian beberapa pulsa 180⁰ ini disebut Echo Train

Length (ETL) pada pesawat General Electric (GE) atau biasa di sebut juga

Turbo Factor pada pesawat Philips dan Siemens. Penggunaan nilai turbo

factor memiliki rentang antara 2–32 dan setiap perubahan nilai turbo

factor ini dapat mempengaruhi scan time yang dihasilkan dan juga dapat

mempengaruhi kualitas citra seperti SNR dan CNR yang di sebabkan oleh

rephasing pulsa 180⁰. Nilai turbo factor menurut westbrook and kaut

(1998) untuk pembobotan T1 nilainya adalah 2-6, untuk pembobotan T2

nilainya 16 + sedangkan untuk pembobotan Proton Density nilainya 8-12.

Banyak parameter yang mempengaruhi scanning MRI yang dapat

dikontrol secara langsung dan tidak langsung oleh seorang radiografer.

Sebagai seorang radiografer perlu untuk mengetahui hal tersebut, karena

perubahan parameter pada MRI mempengaruhi kualitas citra serta detail

untuk menampilkan patologis yang di inginkan oleh dokter spesialis

radiologi. Menurut Westbrook (2014) terdapat 4 karakteristik yang dapat

mempengaruhi kualitas citra yaitu Signal to Noise Ratio (SNR), Contrast

to Noise Ratio (CNR), spatial resolution, dan scan time. Menurut Haris. S

(2009) Salah satu kelemahan pada pembobotan T1 MRI TSE yaitu

gambaran mengalami blurring pada tepi jaringan, yang memungkinkan

pengurangan Signal to Noise Ratio (SNR) atau perbandingan antara

besarnya amplitude noise, yang berpengaruh pada Contrast to Noise

Ratio (CNR).
3

Pemeriksaan MRI genu merupakan pemeriksaan yang sering

dijumpai di lapangan, rata-rata pasien yang di lakukan pemeriksaan MRI

genu merupakan pasien dengan patologis yang tidak dapat terdeteksi

menggunakan X-ray, seperti rupture ligament, robekan pada meniscus

dan lain sebagainya. Menurut Nicolae V. Bolog, dkk (2015) salah satu

sekuen dari protocol standar untuk pemeriksaan MRI genu adalah T1

TSE yang dapat menampilkan citra organ seperti anterior cruciate

ligament (ACL), posterior crusiate ligament (PCL), meniscus, patella,

tibia, fibula dengan waktu scan yang lebih singkat, sedangkan potongan

terbaik untuk mengevaluasi daerah knee joint yaitu menggunakan

potongan sagittal (Clyde A.Helms, 2009).

Berdasarkan observasi awal peneliti selama melakukan praktek,

Rumah Sakit Siloam Surabaya menggunakan pesawat MRI Philip

Achieva 1,5 T, pada alat tersebut, protocol pemeriksaan MRI genu lebih

banyak dibuat pada potongan sagittal dibandingkan pada potongan lain,

serta pemilihan nilai turbo factor yang ada sering kurang di perhatikan.

Nilai turbo factor yang diatur pada bawaan pesawat otomatis

menggunakan nilai 3, namun radiografer sering melakukan perubahan

parameter turbo factor dengan menggantinya secara manual

menggunakan nilai 4,5, maupun 6 yang mengakibatkan citra pada

gambaran MRI genu kurang optimal dan mengalami blurring. Hal tersebut

menarik minat peneliti untuk melakukan penelitian tentang pengaturan

turbo factor secara otomatis maupun manual pada rentang 3,4,5 dan 6

untuk mengetahui nilai turbo factor mana yang paling optimal pada

sekuen T1 TSE sagital MRI genu, sehingga nantinya dapat


4

direkomendasikan nilai turbo factor yang optimal khususnya pada

pemeriksaan genu.

Selanjutnya peneliti ingin mengkaji lebih lanjut dan membahasnya

dalam proposal yang berjudul “Analisis Contrast To Noise Ratio (CNR)

dan Informasi Anatomi Sekuen T1 TSE Sagital pada Variasi Turbo

Factor MRI Genu”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti dapat merumuskan

masalah sebagai berikut:

1. Apakah ada perbedaan Contrast To Noise Ratio (CNR) dan Informasi

Anatomi Sekuen T1 TSE Sagital pada Variasi Turbo Factor MRI Genu?

2. Berapakah nilai turbo factor yang optimal untuk citra T1 TSE Sagital

MRI Genu?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui perbedaan Contrast To Noise Ratio (CNR) dan

Informasi Anatomi Sekuen T1 TSE Sagital pada Variasi Turbo Factor

MRI Genu.

2. Untuk mengetahui nilai optimal dari turbo factor untuk citra T1 TSE

Sagital MRI Genu.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Untuk menambah referensi dan informasi untuk Institusi

Pendidikan khususnya kepada Mahasiswa Jurusan Teknik


5

Radiodiagnostik dan Radioterapi Politeknik Kesehatan Kementrian

Kesehatan Semarang.

2. Manfaat Praktis

Untuk memberi masukan kepada rumah sakit dalam

meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit khususnya kepada para

praktisi MRI dalam melakukan optimisasi pada turbo factor untuk

mendapatkan kualitas citra MRI genu yang optimal.

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian sejenis yang dilakukan adalah:

1. Buttok (2017), “Perbedaan Contrast to Noise Ratio (CNR) dengan

Variasi Echo Train Length (ETL) pada Sequence T1 Fast Spin Echo

(FSE) Irisan Sagital pada pemeriksaan MRI Cervical”. Persamaan pada

penelitian ini adalah sama-sama membahas variasi Echo Train Length

(ETL) pada sekuen T1 FSE dengan nilai ETL 3,4,5,6. Hanya saja yang

membedakan dengan penelitian ini adalah Devina Buttok mengunakan

obyek penelitian Cervical potongan Sagittal, sedangkan penulis ingin

menggunakan obyek penelitian Knee potongan sagittal. Hasil

penelitian ini adalah pada nilai contrast to Noise Ratio (CNR),

didapatkan nilai mean rank tertinggi paling banyak pada nilai ETL 5,

sehingga CNR terbaik terdapat pada ETL 5.

2. Rizqi Insyani Sarwendah (2017), “Analisis Pengaruh Turbo Factor

Terhadap Signal to Noise Ratio (SNR) dan Contrast to Noise Ratio

(CNR) Citra T2 TSE Sagital MRI Cervical”. Persamaan pada penelitian

ini adalah sama-sama membahas Pengaruh Turbo Factor terhadap

Signal to Noise Ratio (SNR) dan Contrast to Noise Ratio (CNR). Hanya
6

saja yang membedakan dengan penelitian ini adalah Rizqi Insyani

mengunakan obyek penelitian Cervical potongan Sagittal dengan

sekuen T2 TSE dengan menggunakan pesawat MRI 0,35T, sedangkan

penulis ingin menggunakan obyek penelitian Knee potongan sagittal

dengan sekuen T1 TSE dengan variasi turbo factor 3,4,5,6 pada

pesawat MRI 1,5 T. Hasil penelitian ini adalah ada pengaruh turbo

factor terhadap Contrast to Noise Ratio (CNR) citra T2 TSE Sagital MRI

Cervical dan nilai turbo factor yang optimal untuk menghasilkan

Contrast to Noise Ratio (CNR) terbaik menggunakan turbo factor 17.

3. Ayu Lisa Hapsari (2017), “Perbedaan Informasi Citra Anatomi MRI

Genu antara Nilai ETL 16 dan 18 pada Sekuen T2 TSE Sagital”.

Persamaan pada penelitian ini adalah sama-sama membahas

perubahan nilai ETL pada MRI Genu. Hanya saja yang membedakan

dengan penelitian ini adalah Ayu Lisa membahas mengenai perbedaan

informasi citra anatomi, sedangkan penulis ingin mengetahui pengaruh

Signal to Noise Ratio (SNR) dan Contrast to Noise Ratio (CNR) pada

MRI genu dengan variasi turbo factor yang berbeda. Hasil penelitian ini

adalah ada perbedaan informasi citra anatomi pada pemeriksaan MRI

Genu sekuen T2 TSE Sagital. Pada kriteria anatomi, Articular Cartilage

memiliki nilai mean rank yang lebih tinggi pada variasi ETL 18

dibandingkan nilai ETL 16. Patella nilai mean ranknya lebih tinggi pada

varisi ETL 16 di bandingkan ETL 18. Femur nilai mean ranknya lebih

tinggi pada variasi ETL 16 di bandingkan ETL 18. Tibia nilai mean

ranknya lebih tinggi pada variasi ETL 16 di bandingkan ETL 18. ACL

nilai mean ranknya lebih tinggi pada variasi ETL 16 di bandingkan ETL
7

18. PCL nilai mean ranknya lebih tinggi pada variasi ETL 16 di

bandingkan ETL 18. Meniscus nilai mean ranknya lebih tinggi pada

variasi ETL 16 di bandingkan ETL 18.

4. Akhmad Muzamil, dkk (2017), “Optimization image of magnetic

resonance imaging (MRI) T2 fast spin echo (FSE) with variation echo

train length (ETL) on rupture tendon achiles case”. Persamaan dengan

penelitian ini adalah sama-sama menggunakan variabel penelitian

turbo factor pada sekuen TSE. Perbedaannya adalah Akhmad Muzamil

megkaji pengoptimalan turbo factor MRI ankle dengan menggunakan

nilai turbo factor 12,14,16,18, dan 20. Hasil penelitian ini adalah nilai

optimal penggunaan turbo faktor pada sekuen TSE menggunakan

turbo factor 12, karena pada turbo factor 12 produksi SNR dan CNR

paling tinggi.

Anda mungkin juga menyukai