Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

TEORI SOSIOLOGI
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Sosiologi

Dosen Pengampu : Dr. Setia Gumilar, M.Si

Dina Harlina, S.hum., M.Ag

Disusun Oleh :

M Sayid Sabiq Jamil (1165010092)


Marwan M Sulaeman (1165010094)
Mujahid Muhammad Al-Aziz (1165010111)
Muzainatu Syifa (1165010114)
Neni Suryani (1165010117)

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2017/2018
KATA PENGANTAR

Bismilallaahirrahmaanirrohiim,

Segala puji hanya milik Allah SWT yang berkat anugerah dari-Nya
penyusun dapat menyelesaikan makalah “Teori Sosiologi” ini tanpa ada halangan
apapun sesuai dengan waktu yang telah ditentukan guna memenuhi tugas
terstruktur Mata Kuliah Sosiologi.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan
besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukan jalan yang lurus
berupa ajaran agama islam yang sempurna.
Adapun makalah tentang “Teori Sosiologi” ini masih jauh dari sempurna,
namun penyusun telah berusaha semaksimal mungkin. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun sangat penyusun harapkan. Akhir kata, semoga laporan
penelitian ini bermanfaat bagi penyusun maupun para pembaca sekalian. Aamiin.

Bandung, Mei 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB I : PENDAHULUAN..............................................................................1

A. Latar Belakang ......................................................................................1


B. Rumusan Masalah .................................................................................1
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................1

BAB II : PEMBAHASAN...............................................................................2

A. Teori-teori Dasar Sosiologi ...................................................................2


B. Paradigma Struktural Fungsional ........................................................17
C. Paradigma Konflik .............................................................................18
D. Paradigma Interaksi .............................................................................19

BAB III : PENUTUP.....................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kedinamisan merupakan salah satu ciri kehidupan masyarakat


manusia. Kehidupan masyarakat manusia yang dinamis ditandai dengan
perubahan-perubahan sosial dan budaya yang secara jelas dapat terlihat
melalui berbagai benda hasil budaya dan aktivitas-aktivitas kehidupannya.
Perubahan sosial budaya yang dialami manusia dapat dijelaskan sebagai
proses penyesuaian hidup manusia dengan konstelasi yang ada.

Perubahan yang dialami manusia bukanlah suatu penyimpangan, karena


pandangan tersebut adalah suatu mitos yang perlu dihilangkan dari pandangan
mengenai perubahan. Setiap perubahan dapat dikaji melalui berbagai teori-
teori dasar dalam Sosiologi. Saat ini pemahaman masyarakat mengenai teori-
teori dasar yang ada dalam disiplin ilmu sosiologi masih sangat sedikit.
Oleh karena itu, kelompok kami akan sedikit memaparkan mengenai
teori-teori dasar Sosiologi, Paradigma Struktural Fungsional, Paradigma
Konflik, danParadigma Interaksi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Teori-teori Dasar Sosiologi?
2. Apa itu Paradigma Struktural Fungsional?
3. Apa itu Paradigma Konflik?
4. Apa itu Paradigma Interaksi?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Teori-teori Dasar Sosiologi
2. Untuk mengetahui Paradigma Struktural Fungsional
3. Untuk mengetahui Paradigma Konflik
4. Untuk mengetahui Paradigma Interaksi

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori-teori Dasar Sosiologi

1. Fenomenologi
Asumsi:
bahwa obyek memiliki arti dan nilai yang sangat kaya, sehingga
mengandung kemungkinan-kemungkinan bagi diadakannya observasi yang lebih
spesifik, misalnya melalui pendekatan fenomenologis.
Metode yang digunakan:

Fenomenologi menggunakan pendekatan obyektif dengan mengumpulkan


data secara obyektif tentang fakta sosial. Dalam fenomenologi subyek harus
terbuka dan mengarahkan diri kepada obyek untuk mengetahui dan mengenal
sebagaimana adanya.

Konsekuensi yang dilakukan:


a. Dalam keyakinan fenomenologis, struktur ilmu pengetahuan senantiasa
terdapat kenyataan akan adanya relasi timbal balik antara manusia yang
ingin tahu dengan realitas yang hendak dikenalnya (intensionalitas subyek-
obyek)
b. Historisitas dan keunikan sifat obyek, fenomenologi hendak menempatkan
kembali esensi dunia dalam eksistensi manusia dan berpendapat bahwa
manusia serta dunia tidak dapat dimengerti kecuali bertitik tolak dari
faktisitas mereka.

2. Teori Kritis:
Asumsi:
Teori kritis sebagian besar terdiri dari kritik terhadap berbagai aspek
kehidupan sosial dan intelektual, namun tujuan utamanya adalah untuk
mengungkapkan sifat masyarakat secara lebih akurat. Titik tolak teori kritis

2
adalah kritik terhadap teori marxian yang menganut determinisme ekonomi
mekanistis.

Metodologi yang digunakan:


a. Menggunakan cara berpikir teknokratis untuk membantu kekuatan yang
mendominasi, untuk menemukan cara efektif untuk mencapai tujuan.
b. Penggunaan nalar dalam penelitian dilihat dari sudut nilai manusia
tertinggi yang berkenaan tentang keadilan, perdamaian dan kebahagiaan.
c. Menggunakan pendekatan dialektika untuk mengamati dan menganalisis
totalitas sosial.

Konsekuensi yang dilakukan:


Kritik terhadap teori marxian:
Teoritisi kritis tidak menyatakan bahwa determinis ekonomi keliru, tetapi
seharusnya aspek kehidupan sosial lain juga perlu diperhatikan.
Kritik terhadap positivisme:
Positivisme dianggap mengabaikan actor, teoritisi kritis lebih menyukai
memusatkan perhatian pada aktivitas manusia maupun pada cara-cara aktivitas
tersebut mempengaruhi struktur sosial yang lebih luas.
Kritik terhadap sosiologi:
Sosiologi dianggap lebih memperhatikan masyarakat sebagai satu
kesatuan daripada memperhatikan individu dalam masyarakat. Karena
mengabaikan individu sosiologi dianggap tak mampu mengatakan sesuatu yang
bermakna tentang perubahan politik yang dapat mengarah ke sebuah masyarakat
manusia yang adil.
Kritik terhadap masyarakat modern:
Dominasi dalam masyarakat modern telah bergeser dari bidang ekonomi
ke bidang kultural, karena itulah aliran kritis memcoba memusatkan perhatian
pada penindasan kultural atas individu dalam masyarakat.
Kritik terhadap kultur:

3
Teoritisi kritis melontarkan kritik pedas terhadap “industri kultur”, yakni
struktur yang dirasionalkan dan dibirokrasikan (misalnya jaringan televisi) yang
mengendalikan kultur modern.

3. Fungsionalisme Struktural:
Asumsi:
a. Sistem memiliki properti keteraturan dan bagian-bagian saling tergantung.
b. Sistem cenderung bergerak ke arah mempertahankan keteraturan diri atau
keseimbangan.
c. Sistem mungkin statis atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.
d. Sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-
bagian lain.
e. Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya.
f. Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan
untuk memelihara keseimbangan sistem.
g. Sistem cenderung menuju ke arah pemeliharaan keseimbangan diri yang
meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-
bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang
berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem
dari dalam.
Asumsi-asumsi ini menyebabkan Parsons menempatkan analisis struktur
keteraturan masyarakat pada prioritas utama. Dalam analisisnya tentang sistem
sosial, Parsons terutama tertarik pada komponen-komponen strukturalnya.
Disamping memusatkan perhatian pada status-peran, Parsons memperhatikan
komponen sistem sosial berskala luas seperti kolektivitas, norma dan nilai. Namun
dalam analisisnya mengenai sistem sosial, ia bukan semata-mata sebagai seorang
strukturalis, tetapi juga seorang fungsionalis.

4
Ia menjelaskan sejumlah persyaratan fungsional dari sistem sosial.
Pertama, sistem sosial harus terstruktur sedemikian rupa sehingga bisa beroperasi
dalam hubungan yang harmonis denga sistem lainnya. Kedua, untuk menjaga
kelangsungan hidupnya, sistem sosial harus mendapat dukungan yang diperlukan
dari sistem yang lain. Ketiga, sistem harus mampu melahirkan partisipasi yang
memadahi dari para anggotanya. Keempat, sistem sosial harus mampu
mengendalikan perilaku yang berpotensi menganggu. Kelima, bila konflik akan
menimbulkan kekacauan, itu harus dikendalikan. Keenam, untuk kelangsunagan
hidupnya, sistem sosial memerlukan bahasa.
Jadi jelaslah bahwa persyaratan fungsional sistem sosial Parsons
memusatkan perhatian pada sistem sosial berskala luas dan pada hubungan antara
berbagai sistem sosial luas itu (fungsionalisme kemasyarakatan). Bahkan ketika
Parsons berbicara mengenai aktor, itupun dari sudut pandang sistem. Bahasannya
pun mencerminkan perhatian Parsons terhadap pemeliharaan keteraturan di dalam
sistem sosial yang berskala luas (makro).
Suatu fungsi (function) adalah “kumpulan kegiatan yang ditujukan ke arah
pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem”(Rocker, 1975:40) Dengan
menggunakan definisi ini, Parsons yakin bahwa ada 4 fungsi penting yang
diperlukan semua sistem, yaitu: Adaptation (A), Goal Attainment (G), Integration
(I), dan Latensi (L) atau pemeliharaan pola. Secara bersama-sama, ke-4 imperatif
fungsional ini dikenal sebagai skema AGIL. Agar tetap bertahan (survive), suatu
sistem harus memiliki 4 fungsi ini.
Adaptasi adalah sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal yang
gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan
lingkungan itu dengan kebutuhannya. Dalam skema AGIL, parsons mendesain
fungsi adaptasi di dalam „organisme perilaku‟ yaitu sistem tindakan yang
melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dengan dan mengubah
lingkungan eksternal.

5
4. Interaksionisme
Beberapa tokoh interaksionisme simbolik telah mencoba menghitung
jumlah prinsip dasar teori ini, yang meliputi:
a. Tidak seperti binatang, manusia dibekali kemampuan untuk berpikir.
b. Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang
memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir mereka yang
khusus itu.
c. Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus
dan berinteraksi.
d. Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam
tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi.
e. Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan, sebagian
karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri,
menilai keuntungan da kerugian relatif mereka, dan kemudian memilih
satu di antaara serangkaian peluang tindakan itu.
f. Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk
kelompok dan masyarakat.
Asumsi penting bahwa manusia memiliki kapasitas untuk berpikir
membedakan interaksionisme simbolik dari akar behaviourismenya. Individu
dalam masyarakat tidak dilihat sebagai unit yang dimotivasi oleh kekuatan
eksternal atau internal di luar kontrol mereka atau di dalam kekurangan struktur
yang kurang lebih tetap. Mereka lebih dipandang sebagai cerminan atau unit-unit
yang saling berinteraksi yang terdiri dari unit-unit kemasyarakatan. Kemampuan
berpikir memungkinkan manusia bertindak dengan pemikiran daripada hanya
berperilaku tanpa pemikiran.
Kemampuan untuk berpikir tersimpan dalam pikiran, tetapi teoritisi
interaksionis simbolik mempunyai konsep yang agak luar biasa mengenai pikiran
yang menurut mereka berasal dari sosialisasi kesadaran. Teoritisi interaksionis
simbolik tidak membayangkan pikiran sebagai benda, sebagai sesuatu yang
memiliki struktur fisik, tetapi lebih membayangkannya sebagai proses yang
berkelanjutan. Sebagai sebuah proses yang dirinya sendiri merupakan bagian dari

6
proses yang lebih luas dari stimuli dan respon. Pikiran, menurut interaksionisme
simbolik, sebenarnya berhubungan dengan setiap aspek lain termasuk sosialisasi,
arti, simbol, diri, interaksi dan juga masyarakat.
Dengan asumsi-asumsi ini, maka dalam interaksi sosial, para aktor atau
individu terlibat dalam proses saling mempengaruhi. Studi interaksionisme
simbolik lebih menekankan pada individu sebagai aktor dalam proses interaksi
sosial. Oleh sebab itu interaksionisme simbolik lebih bersifat studi mikro.

5. Teori Dramaturgi (Erving Goffman):


Dramaturgi adalah pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan
pertunjukan drama, seperti yang ditampilkan di atas pentas.
Prinsip pokok teori dramaturgi, antara lain:
a. front stage (panggung depan)
bagian pertunjukan yang umumnya berfungsi secara pasti dan umum untuk
mendefinisikan situasi bagi orang yang menyaksikan pertunjukan. Front stage
terdiri dari:
1.) Setting yaitu pemandangan fisik yang biasanya ada di situ jika aktor
memainkan perannya.
2.) Front personal, terdiri dari berbagai macam barang perlengkapan yang
bersifat menyatakan perasaan yang memperkenalkan penonton dengan
aktor dan perlengkapan itu diharapkan penonton dipunyai oleh aktor.
Terdiri dari: penampilan dan gaya.
3.) Mistifikasi: aktor cenderung memistifikasi pertunjukan mereka dengan
membatasi hubungan antara diri mereka sendiri dan audien. Dengan
membangun „jarak sosial‟ antara diri mereka dengan audien, mereka
mencoba menciptakan perasaan kagum di pihak audien.
Contoh: seorang dokter bedar umumnya punya kamar operasi, memakai baju
jubah putih, mempunyai peralatan-peralatan bedah, gaya fisik bersih, dan penuh
perhatian terhadap lingkungannya.

7
b. Back stage (panggung belakang)
Dimana fakta disembunyikan di depan atau berbagai jenis tindakan
informal mungkin timbul. Terdiri dari:
1) Pengelolaan kesan: kehati-hatian terhadap serentetan tindakan yang tidak
diharapkan, misalnya: gerakan, kesalahan bicara, adegan dan sebagainya.
2) Role distance: derajad pemisahan antara diri individu dengan peran yang
diharapkan dimainkan.
3) Stigma: jurang pemisah antara apa yang seharusnya dilakukan seseorang.
4) Frame analysis: kerangka penafsiran yang memungkinkan individu
menempatkan, merasakan, mengenali dan menamai kejadian-kejadian
dalam kehidupan mereka dan dunia pada umumnya.
Contoh: seorang dokter mempunyai aktivitas lainnya, selain aktivitas medis,
mungkin anggota club olah racga, club dansa di sebuah diskotik, suami sekaligus
seorang ayah di keluarganya.

6. Teori Strukturasi (Anthony Giddens):


Struktur didefinisikan sebagai properti-properti yang berstruktur (aturan
dan sumberdaya), properti yang memungkinkan praktik sosial serupa yang dapat
dijelaskan untuk eksis di sepanjang ruang dan waktu, dan yang membuatnya
menjadibentuk sistemik (Giddens, 1984:17). Struktur hanya akan terwujud karena
adanya aturan dan sumberdaya. Struktur itu sendiri tidak ada dalam ruangan dan
waktu. Fenomena sosial mempunyai kapasitas yang cukup untuk menjadi struktur.
Giddens berpendapat bahwa struktur hanya ada di dalam dan melalui aktivitas
agen manusia (1989:256). Menurutnya, struktur adalah apa yang membentuk dan
menentukan terhadap kehidupan sosial, tetapi bukan struktur itu sendiri yang
membentuk dan mennetukan kehidupan sosial itu. Giddens tak menyangkal fakta
bahwa struktur dapat memaksa dan mengendalikan tindakan, tetapi struktur juga
sering memberikan kemungkinan bagi agen untuk melakukan sesuatu yang
sebaliknya tak akan mampu mereka kerjakan.
Giddens mendefinisikan sistem sosial sebagai praktik sosial yang
dikembangbiakkan (reproduced) atau „hubungan yang direproduksi antara aktor

8
dan kolektivitas yang diorganisir sebagai praktik sosial tetap‟ (1984:17,25).
Gagasan tentang sistem sosial ini berasal dari pemusatan perhatian Giddens
terhadap praktik sosial. Sistem sosial tidak mempunyai struktur, tetapi dapat
memunculkan dirinya sendiri dalam ruang dan waktu, tetapi dapat menjelma
dalam sistem sosial, dalam bentuk praktik sosial yang direproduksi. Meski sistem
sosial boleh jadi merupakan produk dari tindakan yang disengaja, Giddens
memusatkan perhatian lebih besar pada fakta bahwa sistem sosial sering
merupakan konsekuensi yang tak diharapkan dari tindakan manusia.
Jadi, struktur serta merta muncul dalam sistem sosial. Struktur pun
menjelma dalam „ingatan agen yang berpengetahuan banyak‟ (Giddens, 1984:17).
Akibatnya, aturan dan sumber daya menjelmakan dirinya sendiri di tingkat makro
sistem sosial maupun di tingkat mikro berdasarkan kesadaran manusia.
Konsep strukturasi berdasarkan pemikiran bahwa konstitusi agen dan
struktur bukan merupakan dua kumpulan fenomena biasa yang berdiri sendiri
(dualisme), tetapi mencerminkan dualitas ciri-ciri struktural sistem sosial adalah
sekaligus medium dan hasil praktik sosial yang diorganisir berulang-ulang atau
„moment memproduksi tindakan juga merupakan salah satu reproduksi tindakan‟,
juga merupakan salah satu reproduksi dalam konteks pembuatan kehidupan sosial
sehari-hari (Giddens, 1984:25,26). Strukturasi meliputi hubungan dialektika
antara agen dan struktur, struktur dan keagenan adalah dualitas, struktur takkan
ada tanpa keagenan dan demikian sebaliknya.
a. Implikasi pendekatan strukturasi:
1) Teori strukturasi memusatkan perhatian pada tatanan institusi sosial yang
melintasi waktu dan ruang (Giddens, 1989:300) Giddens memandang
institusi sosial sebagai kumpulan praktik sosial dan ia mengidentifikasi 4
macam institusi: tatanan simbolik, institusi politik, institusi ekonomi dan
institusi hukum.
2) Pemusatan perhatian pada perubahan institusi sosial melintasi waktu dan
ruang. Waktu dan ruang tergantung pada apakah orang lain hadir untuk
sementara waktu atau dalam hubungan yang renggang. Kondisi primordial
adalah interaksi tatap muka, dimana orang lain hadir pada waktu dan

9
tempat yang sama, tetapi sistem sosial berkembang atau meluas menurut
waktu dan ruang sehingga orang lain tidak perlu lagi hadir pada waktu
yang sama dan ruang yang sama. Sistem sosial yang berjarak dilihat dari
sudut waktu dan ruang seperti itu dalam kehidupan modern makin
meningkat peluangnya dengan munculnya penggunaan peralatan
komunikasi dan transportasi baru.
3) Peneliti harus peka terhadap cara-cara pemimpin berbagai institusi itu
campur tangan dan mengubah pola sosial.
4) Pakar strukturasi perlu memonitor dan peka terhadap pengaruh temuan
penelitian mereka terhadap kehidupan sosial.

7. Post Modernisme:
Ada perbedaan besar di kalangan pemikir post modern yang umumnya
bersifat idiosinkretik sehingga sukar menggeneralisasi kesamaan pendapat
mereka.
a. Pendirian yang ekstrim menyatakan bahwa masyarakat modern telah
terputus hubungannya dengan dan sama sekali telah digantikan oleh
masyarakat post modern. Tokoh-tokohnya: Jean Baudrillard, Gilles
Deleuze, Felix Guattari.

b. Pendirian yang menyatakan bahwa meskipun telah terjadi perubahan, post


modernisme muncul dan terus berkembang bersama dengan modernisme.
Pendirian ini diikuti oleh pemikir marxian seperti: F.Jameson, Ernesto
Laclau, dan Chantal Mouffe dan oleh pemikir feminis post modern seperti
Nancy Fraser dan Linda Nicholson.

c. Pendirian yang lebih memandang modernisme dan post modernisme


sebagai zaman. Keduanya terlibat dalam rentetan hubungan jangka
panjang dan post modernisme terus-menerus menunjukkan keterbatasan
modernisme. Tokohnya: Smart.

d. Pendirian yang melihat modernitas sebagai “proyek yang belum selesai”


dalam arti masih banyak yang harus dikerjakan dalam kehidupan modern

10
sebelum kita mulai berpikir mengenai kemungkinan kehidupan pest
modern. Tokohnya: Habermas.

Meskipun terdapat beberapa perbedaan pendapat di kalangan pemikir post


modern, tetapi secara umum dapat dilihat makna dari konsep post modern, antara
lain:
a. Post modern meliputi periode historis baru, produk kultural baru dan tipe
baru dalam penyusunan teori tentang kehidupan sosial. Tentu saja
semuanya ini merupaka sebuah perspektif baru dan berbeda mengenai
peristiwa yang terjadi di tahun-tahun belakangan ini, yang tak lagi dapat
dilukiskan dengan istilah „modern‟, dan perspektif mengenai
perkembangan baru yang menggantikan realitas modern. Konsep post
modern ini terutama tertuju pada keyakinan yang tersebar luas bahwa era
modren telah berakhir dan kita memasuki periode historis baru, post
modernitas.
b. Post modernisme berkaitan dengan dunia kultural dan dapat dinyatakan
bahwa produk post modern cenderung menggantikan produk modern. (di
bidang kesenian, film, arsitektur dan sebagainya)
c. Kemunculan teori sosial post modern dan perbedaannya dengan teori
sosial modern. Teori sosial modern mencari landasan universal, a historis,
dan rasional, untuk analisis dan untuk mengkritik masyarakat. Pemikir
post modern‟menolak landasan ini dan cenderung menjadi relativistik,
irrasional dan nihilistik.

Implikasi perbedaan penerapan teori modernisasi di berbagai negara


berkembang:
Perbedaan penerapan teori modernisasi di berbagai negara berkembang
berakibat pada adanya kesenjangan antara negara-negara berkembang tersebut,
karena modernisasi cenderung mendukung pihak yang kuat sehingga negara-
negara yang sudah menerapkan teori tersebut cenderung mengalami kemajuan
yang pesat dibandingkan dengan negara-negara berkembang yang miskin. Adanya
perbedaan penerapan teori tersebut menyebabkan negara-negara berkembang telah

11
terhegemoni pada gaya hidup dan pola konsumsi negara-negara Barat sehingga
negara-negara berkembang tercerabut dari akar kulturalnya.
Di dalam hubungan-hubungan antar bangsa, dapat dilihat terbaginya
negara bangsa ke dalam kelompok-kelompok kepentingan yang didasarkan pada
bidang-bidang ekonomi dan politik. Sebuah institusi internasional mungkin harus
dibentuk untuk mengurangi hegemoni antar negara dan kelompok-kelompok
kepentingan.

8. Max Weber tentang Hubungan Sosial.


Terdapat tiga sifat hubungan sosial :
a. Legitimasi: pengaruh orientasi rasional dalam legitimasi tradisional yaitu
sikap beragama, hubungan solidaritas yang komunal.
b. Hubungan asosiasi: orientasi rasional didefinisikan sebagai nilai mutlak
yang dilegitimasi dalam hubungannya dengan nilai, hubungannya bersifat
asosiatif. Contoh: Asosiasi bersifat politik,ekonomi dan sebagainya.
c. Kerjasama dan kontrol yang erat dalam orientasi tradisional: tipe-tipe
yang berbeda dalam masyarakat didasarkan pada pembedaan tipe nilai atau
tingkat rasionalitas.
Contoh: perluasan tingkah laku yang didefinisikan oleh minat individu atau
kelompok.

Pembagian wewenang menurut Weber:


1. Otoritas tradisional

2. Otoritas karismatik

3. Otoritas rasional-legal
Sistem otoritas rasional legal hanya dapat berkembang dalam masyarakat
Barat Modern dan hanya dalam sistem otoritas rasional legal itulah birokrasi
modern dapat berkembang penuh. Sistem otoritas tradisional berasal dari sistem
kepercayaan di zaman kuno. Contohnya adalah seorang pemimpin yang berkuasa
karena garis keluarga atau sukunya selalu merupakan pemimpin kelompok.

12
Pemimpin karismatik mendapatkan otoritasnya dari kemampuan atau ciri-
ciri luar biasa, atau mungkin dari keyakinan pihak pengikut bahwa pemimpin itu
memang mempunyai ciri-ciri seperti itu. Meski kedua jenis otoritas itu
mempunyai arti penting di masa lalu, Weber yakin bahwa masyarakat Barat, dan
akhirnya masyarakat lainnya, cenderung akan berkembang menuju sistem otoritas
rasional legal. Dalam sistem otoritas semacam ini, otoritas berasal dari peraturan
yang diberlakukan secara hukum dan rasional.

9. Karl Marx: Materialisme Sejarah


Marx menawarkan sebuah teori tentang masyarakat kapitalis berdasarkan
citranya mengenai sifat dasar manusia. Marx yakin bahwa pada dasarnya manusia
produktif, artinya untuk bertahan hidup manusia perlu bekerja di dalam dan
dengan alam. Produktifitas mereka bersifat alamiah, materialisme, yang
memungkinkan mereka mewujudkan dorongan kreatif mendasar yang mereka
miliki. Melalui proses sejarah, proses alamiah ini dihancurkan, mula-mula oleh
kondisi peralatan masyarakat primitif dan kemudian oleh berbagai jenis tatanan
struktural yang diciptakan masyarakat selama perjalanan sejarah. Tatanan
struktural ini mengganggu proses produktif alamiah, tetapi penghancuran ini
terjadi paling parah di dalam struktur masyarakat kapitalis, dimana individu
melakukan proses produksi tidak untuk dirinya sendiri (pemenuhan kebutuhan
fisik materialnya).

a. Pentahapan terbentuknya masyarakat menurut Marx:


1) Tribalisme (kesukuan)
2) Komunalisme (cara hidup komunal)
3) Evolusi kapitalisme: yaitu sebuah sistem yang menjadikan sumber-sumber
produksi dimonopoli oleh para pemilik modal. Dalam hal ini, kapitalis
tidak berarti statis, melalui masalah-masalah over produksi dan
meningkatnya alienasi, kelompok pekerja menjadi terorganisasi dan
melakukan perlawanan terhadap sistem yang ada.

13
4) Sosialisme: kapitalisme mengalami proses desolusinya, dan menggerakkan
masyarakat pada tujuan utamanya yaitu impian negara sosialis. Sistem ini
di bawah kendali revolusioner kaum proletar yang terorganisir.
Marx meyakini bahwa perubahan struktur sosial diawali oleh ketegangan
hubungan produksi: bahwa pada dasarnya kapitalisme adalah sebuah struktur
(atau lebih tepatnya serangkaian struktur). Kapitalisme berkembang menjadi
sistem dua kelas dimana sejumlah kecil kapitalis menguasai proses produksi,
produk dan jam kerja dari orang yang bekerja untuk mereka. Kaum industrialis
dan borjuis adalah pemilik dan pengelola sistem kapitalis, sedang para pekerja
atau proletar, demi kelangsungan hidup mereka, tergantung pada sistem itu.
Pemikiran Marx sangat terpusat pada dampak penindasan terhadap buruh, dimana
buruh mengalami alienasi atau keterasingan dari proses produksi alamiahnya.

b. Kapitalisme menurut Marx:


Kapitalisme sebagai sebuah struktur, telah membuat batas pemisah antara
individu dengan proses produksi, sehingga individu mengalami alienasi. Hal ini
menghancurkan keterkaitan alamiah antar manusia individual serta antara manusia
individual dengan apa-apa yang mereka hasilkan. Perhatian Marx pada struktur
kapitalis lebih tertuju pada dampak penindasan terhadap buruh. Secara politis
perhatiannya tertuju pada upaya untuk membebaskan manusia dari struktur
kapitalis.
c. Kapitalis menurut Weber:
Weber memandang Marx dan para penganut marxis pada zamannya
sebagai determinis ekonomi yang mengemukakan teori-teori berpenyebab tunggal
tentang kehidupan sosial. Artinya, teori marxian dilihat sebagai upaya pencarian
semua perkembangan historis pada basis ekonomi dan memandang semua struktur
kontemporer dibangun di atas landasan ekonomi semata. Salah satu contoh
determinisme ekonomi yang mengganggu pikiran Weber adalah pandangan yang
mengatakan bahwa ide-ide hanyalah refleksi kepentingan material (terutama
kepentingan ekonomi) dan bahwa kepentingan materi menentukan ideologi. Dari
sudut pandangan ini, Weber dianggap telah membalikkan Marx. Weber lebih

14
banyak mencurahkan perhatiannya pada gagasan dan pengaruhnya terhadap dunia
ekonomi. Weber memusatkan perhatiannya pada sistem ide-ide keagamaan,
dimana gagasan keagamaan merintangi perkembangan kapitalisme dalam
masyarakatnya masins-masing.
Dalam karya tentang stratifikasi, Marx memusatkan perhatiannya pada
kelas sosial, dimana struktur materi mempengaruhi masyarakat., salah satu
dimensi stratifikasi ekonomi. Meskipun Weber mengakui pentingnya stratifikasi
kelas, tetapi Weber menegaskan bahwa stratifikasi lain juga penting. Ia
menyatakan bahwa stratifikasi harus diperluas sehingga mencakup stratifikasi
berdasarkan prestise (status) dan kekuasaan termasuk juga ide-ide, gaya hidup,
kebiasaan-kebiasaan dan akses ekonomi mereka yang mempengaruhi masyarakat.
Weber sangat dipengaruhi oleh filsafat I. Kant, inilah yang antara lain
menyebabkan mereka berpikir linier, menurut hukum sebab akibat. Sebaliknya,
Marx sangat dipengaruhi oleh Hegel yang lebih menganut dialektika, antara lain,
dapat membiasakan kita membayangkan pengaruh timbal balik terus-menerus dari
kekuatan sosial. Jadi, pemikir dialektika akan mampu mengkonseptualisasikan
ulang contoh yang dikemikakan di atas sebagai keadaan saling mempengaruhi
secara terus-menerus antara gagasan dan politik.

10. Fakta Sosial: Emile Durkheim


Dalam The Rule of Sociological Method (1895/1982) Durkheim
menekankan bahwa tugas sosiologi adalah mempelajari apa yang ia sebut sebagai
fakta-fakta sosial. Ia membayangkan fakta sosial sebagai kekuatan (force) dan
struktur yang bersifat eksternal dan memaksa individu. Studi tentang kekuatan
dan struktur berskala luas ini misalnya, hukum yang melembaga dan keyakinan
moral bersama dan pengaruhnya terhadap individu menjadi sasaran studi banyak
teoritisi sosiologi di kemudian hari (misalnya Parsons).
Durkheim membedakan antara dua tipe fakta sosial: material dan non
material. Meskipun ia membahas keduanya dalam karyanya, perhatian utamanya
lebih tertuju pada fakta sosial non material (misalnya kultur, institusi sosial)
ketimbang pada fakta sosial material (birokrasi, hukum).

15
Perhatiannya pada fakta sosial non material ini terlihat jelas dalam
karyanya paling awal The Division of Labor in Society (1893/1964). Dalam buku
ini perhatiannya tertuju pada upaya membuat analisis komparatif mengenai apa
yang membuat masyarakat bisa dikatakan berada dalam keadaan primitif atau
modern. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat primitif dipersatukan terutama oleh
fakta sosial non material, khususnya oleh kuatnya ikatan moralitas bersama atau
oleh apa yang ia sebut sebagai kesadaran kolektif yang kuat. Tetapi karena
kompleksitas masyarakat modern, kekuatan kesadaran kolektif itu telah menurun.
Ikatan utam dalam masyarakat modern adalah pembagian kerja yang ruwet, yang
mengikat orang yang satu dengan orang yang lainnya dalam hubungan yang
saling tergantung.
Dalam bukunya Suicide (1892/1951), Durkheim berpendapat bahwa ia
dapat menghubungkan perilaku individu seperti bunuh diri dengan sebab-sebab
sosial (fakta sosial). Tetapi, Durkheim tak sampai menguji mengapa individu A
dan B melakukan bunuh diri; ia lebih tertarik terhadap penyebab yang berbeda-
beda dalam rata-rata perilaku bunuh diri di kalangan kelompok, wilayah, negara
dan kalangan golongan individu yang berbeda. Argumen dasarnya adalah bahwa
sifat dan perubahan fakta sosiallah yang menyebabkan perbedaan rata-rata bunuh
diri. Dalam karyanya yang terakhir, The Elementary of Relegious Life
(1912/1965), Durkheim memusatkan perhatian pada bentuk fakta sosial non
material yakni agama.
Pada masyarakat primitif akan lebih mudah untuk menemukan akar agama
daripada pada masyarakat modern yang kompleks. Temuannya adalah bahwa
sumber agama adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakatlah yang menentukan
bahwa sesuatu itu bersifat sakral dan yang lainnya bersifat profan. Dalam agama
primitif (totemisme) benda-benda seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan
didewakan. Selanjutnya totemisme dilihat sebagai tipe khusus fakta sosial non
material, sebagai bentuk kesadaran kolektif. Akhirnya Durkheim menyimpulkan
bahwa masyarakat dan agama (kesatuan kolektif) adalah satu dan sama. Agama
adalah cara masyarakat memperlihatkan dirinya sendiri dalam bentuk fakta sosial
non material. Tentang gejala bunuh diri dengan latar belakang agama (sekte) yang

16
berbeda-beda tidak terlepas dari adanya bentuk kesadaran kolektif, bahwa
perasaan mereka terhadap masyarakat memperlihatkan perasaan mereka terhadap
agamanya.
B. Paradigma Struktural Fungsional
Teori structural fungsional ini menjelaskan mengenai perubahan-
perubahan yang ada di masyarakat, dan teori ini memiliki pengaruh yang sangat
besar didalam ilmu sosial di abad sekarang ini (Robert Nisbet). Karena teori ini
sudah ada buktinyata yaitu struktur maupun fungsi yang ada dalam masyarakat.
Karena setiap masyarakat memiliki struktur yang mempunyai banyak lembaga,
dan setiap lembaga memiliki fungsinya sendiri-sendiri.1
Seperti halnya Lembaga sekolah memiliki fungsi untuk mewariskan nilai-
nilai pada generasi baru. Lembaga keagamaan memiliki fungusi untuk mengatur
setiap pemeluknya agar menjadi masyarakat yang penuh pengabdian serta untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Lembaga ekonomi memiliki fungsi
untuk mengatur produksi dan distribusi barang-barang dan jasa-jasa dimasyarakat.
Dan masih banyak lembaga-lembaga lain dimasyarakat yang memilki fungsi.2
George Ritzerdan Douglas J. Goodman mengatakan Dalam Fungsionalisme
Struktural, istilah structural dan fungsional tidak harus selalu dihubungkan,
meskipun biasanya kedua istilah ini sering dihubungkan. Sederhananya kita dapat
mempelajari Struktur masyarakat tanpa harus memperhatikan fungsinya dengan
kata lain tidak harus memperhatikan akibatnya terhadap struktur lain, begitu pula
kita dapat meneliti fungsi di berbagai proses social namun tidak memiliki
struktur.3
Stratifikasi ialah keharusan fungsional. Fungsional dalam hal ini ialah
bagaimana cara masyarakat memotivasi individu lain untuk menempatkan pada
posisi mereka yang ‘tepat’. Tetapi ada sebuah keritik yang mendasar menurut saya
Stratifikasi structural fungsional hanya akan melanggengkan posisi istimewa

1
Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, (Padang: KencanaPrenada Media Group, Mei
2011). Hlm. 78.
2
Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012). Hlm. 54.
3
George Ritzer, Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana, 2004).
Hlm. 145.

17
orang-orang yang memiliki; kekuasaa, prestasi dan uang. Teori structural
fungsional juga dapat di keritik karena teori ini sudah ada sejak masalalu dan akan
tetap ada dimasa yang akan dating padahal masa yang akan datang mungkin tidak
lagi ditata oleh stratifikasi karena bias ditata oleh cara yang lain.4
Dalam Fungsionalisme Struktural Merton mengungkapkan, masyarakat
kulturnya menekankan pada kesuksesan material. Tetapi karena posisi mereka
didalam struktur social banyak orang yang tercegah untuk mencapai kesuksesan
material. Jika seseorang terlahir dengan tingkat sosioekonomi yang lebih rendah
dan hanya mampu menyelesaikan tingkat pendidikan terbaik di sekolah
menengah, maka peluang orang itu untuk mencapai kesuksesan ekonomi menurut
kesuksesan yang diterima secara umum (misalnya, melalui kesuksesan dilapangan
kerja konvensional) itu sangat tipis atau tidak ada sama sekali. Anomie dapat
dikatakan ada, dan sebagai akibatnya terdapat kecendrungan kearah perilaku
penyimpangan. Dalam penyimpangan seperti ini terkadang orang sering
mengambil alternative dalam penyimpangan seperti ini terkadang dalam bentuk
illegal dalam mencapai kesuksesan ekonomi, sederhananya penyaluran obat-
obatan terlarang, menjadi pelacur dan lain sebagainya.5
Kritik Fungsionalisme Struktural dalam hal ini ialah saat kecaman terdahulu
tertuju pada ketidak mampuan Fungsionalisme Struktural menjelaskan masalalu,
maka kritik masalah sekarang ialah Fungsionalisme Struktural tidak mampu
menjelaskan proses perubahan sosial yang ada pada masakini. Dan seolah-olah
Fungsionalisme Struktural ini pada dasarnya kabur, tidak jelas dan bermakna
ganda.6

C. Paradigma Konflik
Teori konflik ini berasal dari berbagai sumber lain seperti teori Marxian
dan pemikiran Konflik teori Sosial dari Simmel. George Ritzer dan Douglas J.

4
Henslin, James. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi,(Jakarta: Erlangga, 2006). Hlm.
97.
5
Damsar, PengantarSosiologiPolitik(Padang: KencanaPrenada Media Group, Mei 2011).
Hlm. 67.
6
Zamproni, PengantarPengembanganTeoriSosial(Jakarta: PT Tiara Wacana, Januari
1992). Hlm. 122.

18
Goodman mengatakan pada1950-an dan 1960-an, teori menyediakan alternative
terhadap Fungsionalisme Struktural, namun dalam beberapa tahun terakhir
digantikan oleh berbagai macam teori neo-Marxian. Kontribusi utama teori
konflik ialah meletakan landasan kepada teori-teori pemikiran Marx. Masalah
dalam teori konflik ialah teori ini tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari
akar Struktural Fungsional. Teori ini merupakan teori sejenis dengan teori
Fungsionalisme Struktural yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar
berpandangan kritis terhadap masyarakat.7
Teori konflik ini memandang bahwa adanya kemiskinan didunia ketiga itu
sebagai akibat perkembangan kapitalis didunia barat, kemiskinan disebagian besar
umat manusia itu merupakan tumbal kejayaan masyarakat kapitalis, negara-negara
‘berkembang’ sekarang dijadikan sebagai sapi perah bagi para negara-negara
barat. Oleh sebab itu teori ini seperti yang disuarakan oleh Randall Collins,
Dahrendorf, John Galtung, bahwa kalau negara-negara sedang berkembang dan
ingin maju maka harus mampu melepaskan dan memutuskan hubungan dengan
negara-negara kapitalis.
Teori konflik ini meskipun sangat ringkih, namun mendapat dukungan yang
luas, terutama dikalangan intelektual muda, dikalangan negara yang sedang
berkembang, juga dinegara barat sendiri, karena disarankan teori analisis ini
sangat tepat untuk membedah kemiskinan didunia ketiga, sederhananya,
perkembangan pendidikan hanya merupakan suatu proses awal Stratifikasi Sosial
yang cenderung selama ini memperkuat posisi kaum yang memiliki
keistimewaan.8

D. Paradigma Interaksi
Paradigma interaksi ialah teorisosial yang saling berhubungan antara
manusia dengan manusia, manusia dengan kelompok, kelompok dengan
kelompok. Paradigma interaksi dapat digolongkan menjadi beberapa golongan
antara lain:

7
George Ritzer, Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana, 2004).
Hlm. 206.
8
Ibid., Hlm. 119.

19
a. Teori Intraksi Simbolisme
Masalah yang senantiasa menggelitik para ilmuwan social adalah
bagaimanakah interaksi antara individu kepada masyarakat bisa merubah
perilaku individu dan kelak akan membawa perubahan bagi masyarakat secara
keseluruhan.
Menurut Helbert Blumert setiap individu berkembang secara social
sebagai akibat partisipasinya dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagian besar
analisis itu merupakan perhubungan antar individu dalam ukuran kecil.
Individu dipandang sebagai pembentuk aktif dari wataknya sendiri yang
menafsirkan, mengevaluasi, menentukan dan merencanakan perbuatannya
sendiri, lebih dari pada sekedar makhluk pasif yang dipaksa oleh kekuatan dari
luar. Interaksi simbolis juga menekankan proses dengan mana individu
mengambil keputusan dan mengeluarkan pendapat.
b. Intraksi Diri
Karena membicarakan apa yang “aneh dalam pengalaman’’, maka mead
menawarkan kepada para ahli ilmu social suatu perspektif yang memungkinkan
mereka menganalisis tingkahlaku yang “takteratur’’ dan takterpengaruh oleh
konvensi yang telah ada sebelumnya.
Perbuatan manusia terbentuk melalui interaksi diri, yang di dalam
prosedurnya pemegang peranan dapat mencatat dan menilai setiap sifat dari
situasinya, atau setiap sifat keterlibatannya dalam perbuatan itu. Perbuatan itu
terbentuk melalui proses intraksi diri tanpa mempertimbangkan apakah
pembentukan tersebut dilakukan secara baik atau buruk pengalaman proses
intraksi diri ini memberikan kaset pada perbuatannya itu, perbuatan itu dapat
dihentikan, dicegah, ditinggalkan, dimanfaatkan, ditangguhkan, diintensifkan,
disembunyikan, ditampungataudiarahkankembali.9

9
Zamproni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial, (Jakarta: PT Tiara Wacana, Januari
1992). Hlm. 83.

20
BAB III
PENUTUP

Teori-teori dasar sosiologi dapat digunakan untuk memghadapi


permasalahan sosial yang berkembang di masyarakat. Akan tetapi, dalam
menghadapi masalah sosial, dan dalam menggunakan teori sosiologi sekiranya
kita tidak harus menilai terlebih dahulu salah atau benarnya suatu masalah, dan
kita tidak boleh menggunakan penilaian subjektif, kita sadari bahwa paradikma
fungsional struktural itu merupakan teori yang tidak bisa memecahkan masalah,
teori yang memiliki dua kepribadian atau dengan kata lain paradigma ganda,
sedangkan teori konflik itu merupakan teori yang tidak memperhatikan stabilitas
sosial, yang tidak memperhatiakan lingkungan sosial. Sedangkan paradigma
interaksi ialah teori yang menghubungkan tau teori penghubung dalam kehidupan
sosial yang tidak mempertimbangkan salah atau benarnya suatu intraksi. Dari
ketiga paradigma tersebut maka kami mengambil kesimpulan bahwa dalam
kehidupan sosial kita harus memperhatikan ketiga-tinganya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Anthony Giddens. 2004. Sociology, Fouth Edition, Blackwell Publishing Ltd.


Faulks, Keith., 2010. Sosiologi Politik Pengantar Kritis, Bandung: Nusa Media.
Haralambos. 2001. Sociology, Themes and Perspectives, Fifth Edition, Harper
Collins.
Lash, Scott., 2004. Sosiologi Post Modernisme, Yogyakarta: Kanisius.
Peter Beilharz and Trevor Hogan. 2002. Social Self, Global Culture: An
Introduction to Sociological Ideas, Oxford University Press.
Pip Jones. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial, Jakarta: Yayasan Obor
Ritzer, George., Goodman, Douglas J., 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:
Prenada Media
Susan, Novri M.A., 2009. Sosiologi Konflik : Isu-isu konflik Kontemporer,
Jakarta: PT Kencana Prenada Group.
Ritzer, G dan Goodman, J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.
Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Politik. Padang: Kencana Prenada Media
Group.
Zamproni. 1992. Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Jakarta: PT Tiara
Wacana.
Soekanto, S. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Henslin dan James. 2006. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi,. Jakarta:
Erlangga.

22

Anda mungkin juga menyukai