Anda di halaman 1dari 18

CLINIC SCIENCE SESSION

*Kepanitraan Klinik Senior

**Pembimbing dr. Willy H. Marpaung, Sp.BA

PENYAKIT HIRSCHSPRUNG
Irdha Yuliandari S,ked (G1A217056)

dr. Willy H. Marpaung, Sp.BA **

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU BEDAH


RSUD RADEN MATTAHER PROVINSI JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI

2017

1
HALAMAN PENGESAHAN
REFRAT

HIRSCHSPRUNG

Oleh:

Irdha Yuliandari, S.Ked.

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas

Bagian Bedah RSUD Raden Mattaher Jambi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

Jambi, November 2017

Pembimbing,

dr. Willy H. Marpaung, Sp.BA

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Refrat yang berjudul
”Hirscsprung”. Dalam kesempatan ini kami juga mengucapkan terimakasih kepada dr. Willy
H. Marpaung, Sp.BA selaku dosen pembimbing yang memberikan banyak ilmu selama di
Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Ilmu Bedah.
Penulis menyadari bahwa referat ini jauh dari sempurna, penulis juga dalam tahap
pembelajaran, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih baik kedepannya.
Akhir kata, kami berharap semoga referat ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat
menambah informasi serta pengetahuan kita.

Jambi, November 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman pengesahan .............................................................................................................i
Kata Pengantar .......................................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................1


BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................................2
2.1 Anatomi ..................................................................................................................2
2.2 Histologi ..................................................................................................................3
2.3 Fisiologi ...................................................................................................................4
2.4 Penyakit Hirshsprung...............................................................................................4
2.4.1 Definisi ...........................................................................................................4
2.4.2 Epidimiologi ...................................................................................................4
2.4.3 Etiologi ...........................................................................................................5
2.4.4 Klasifikasi .......................................................................................................6
2.4.2 Patofisiologi ....................................................................................................6
2.4.5 Gambaran klinis ..............................................................................................8
2.4.6 Diagnosis ........................................................................................................8
2.4.7 Diagnosis Banding ..........................................................................................9
2.4.8 Penatalaksanaan ..............................................................................................9
2.4.9 Komplikasi ......................................................................................................12
2.4.10 Prognosis.......................................................................................................12
BAB III KESIMPULAN........................................................................................................13

DAFTARPUSTAKA .............................................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Hischsprung merupakan kelainan kongenital yang menjadi masalah satu


penyebab obstruksi intestinal pada bayi. Obstruksi pada penyakit Hirscsprung disebabkan
oleh berkurangnya propagasi gerakan peristaltik. Berkurangnya propagasi ini berhubungan
dengan absennya sel ganglion ini pada pleksus mienterikus dan submukosa. Mayoritas
abesennya sel gangilon terdapat pada segmen kolon rektosigmoid sekitar 75%. Penyakit
Hirschsprung segmen panjang dimana usus yang aganglionosis dapat mencapai kolon
descenden, fleksura splenikus hingga kolon transversum terjadi kurang lebih pada 15% kasus,
diikuti 5-7% merupakan kasus total colon anganglionosis.1

Insiden penyakit Hirschsprung terjadi 1 berbanding 5.000 kelahiran hidup. Di Asia


memiliki insidensi yang lebih tinggi sekitar 3 per 5.000 kelahiran hidup. Kelainan ini ditandai
dengan keterlambatan mekonium dalam 28 jam hingga 48 jam pertama kehidupan, dapat
disertai dengan konstipasi berat, distensi abdomen dan muntah yang bilius. Diagnosis untuk
kelainan ini dengan pemeriksaan biopsi rektum yang dapat dilakukan secara suction biopsy
atau biopsi full-thickness. Pendekatan bedah untuk penyakit Hirschsprung dilakukan setelah
diagnosis telah ditengakan. Pembedahan untuk kelainan ini dilakukan secara bertahap dengan
pembuatan kolostomi diatas zona transisional, kemudian dilanjutkan dengan reseksi usus
aganglionosis.1

Maka dari itu, perlu sedini mungkin menegakkan diagnosis penyakit hirschsprug
untuk mencegah komplikasi yang tidak diinginkan. Dengan melakukan anamesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang tepat kemudian dilanjutkan dengan
penangannya. Sehingga penulis melalui refrat ini bertujuan untui membantu dalam
menegakan diagnosis penyakit hirschsprung.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Usus besar atau Intestinum crassum memiliki panjang sekitar 1,5 m terdapat di antara
ujung terminal ileum dan anus. Usus besar terdiri dari empat bagian, yaitu:2
 Caecum (blind gut) dengan appendix vermiformis
 Colon dengan colon ascendens, Colon transversum, colon descendens, dan colon
sigmoideum
 Rectum
 Canalis analis

Gambar 1.1 Anatomi usus besar

Sama seperti bagian lain pada usus, dinding usus besar terdiri dari lapisan mukosa dalam
(tunika mukosa) yang berbeda dengan duodenum karena tidak memiliki villi intestinales.
Dilanjutkan lapisan submukosa, lapisan muskular (tunika muskularis) yang terdiri dari
lapisan sirkular dalam (stratum circulare) dan lapisan longitudinal luar (stratum longitudinal).
Di luar, bagian-bagian intraperitoneal (caecum dengan appendix vermiformis, colon
transversum, dan colon sigmoideum) ditutupi oleh peritoneum visceral yang membentuk
tunika serosa. Sebaliknya, bagian-bagian retroperitoneal (colon ascendens, colon descendens,
dan rectum bagian atas) diikat oleh tunika adventitia pada jaringan ikat spatium
retroperitoneal.2

2
Gambar 1.2 Lapisan dinding usus besar

2.1.1 Pesarafan

Sistem saraf instetinal merupakan sekumpulan sel-sel saraf pada saluran pencernaan
yang fungsinya tidak tergantung pada sistem saraf pusat. Sistem ini mengantur gerakan usus,
sekresi eksokrin, sekresi endokrin,mikrosirkulasi saluran pencernaan, mengatur proses
immunitas dan inflamasi. Pada sistem saraf intestinal, sel bodi saraf akan berkelompok
menjadi ganglion yang dihubungkan dengan bundel-bundel saraf yang memebentuk dua
pleksus besar yaitu pleksus mienterius Aurbach yang terletak anatara lapisan sirkular dan
lapisan longitudinal serta pleksus submukosa Meissner yang terletak pada submokasa anatar
lapisan sirkuler dan muskularis mukosa. Pleksus mienterikus Auerbach berfungsi sebagai
inervasi motorik pada kedua lapisan otot dan inervasi sekretomotor pada mukosa sedanngkan
pleksus submukosa Meissner berperan pada pengaturan fungsi sekresi.1

Nervus parasimpatis berasal dari cabang anterior nervi sakralis 2,3,4. Persarafan
preganglio ini mebentuk dua saraf erigentes yang memeberikan cabang langsung ke rektum
dan melanjutkan diri sebagai cabang utama ke pleksus pelvis untuk oran-organ intrapelvis.
Didalam rektun saraf ini berhubungan dengan pleksus ganglion Auerbach. Persarafaan
simpatis berasal dari ganglion lumbal 2,3,4 dan pleksus praaorta.1

Persarfan simpatis dan parasimpatis menuju ke arah rektum dan saluran anal dan
berperan melalui ganglion pleksus Auerbach dan Messner untuk mengatur peristaltik serta
tonus sfingter interna. Serabut simpatis sebagai inhibitor dinding usus dam motor spingter
interna sedangkan parasimpatis sebagai motor dinding usus dan inhibition sfingter. Sistem
saraf parasimpatis juga merupakan persarafan sensorik untuk rasa distensi rektum.1

3
2.2 Histologi

Usus besar pada potongan melintang, lapisan usus mulai dari yang paling dalam
adalah:3
- Lapisan mukosa yang terdiri atas epitel selapis silindris, kelenjar intestinal, lamina propia,
dan muskularis mukosa.
- Lapisan submukosa di bawahnya mengandung sel dan jaringan ikat, berbagai pembuluh
darah, dan saraf.
- Lapisan muskularis eksterna dibentuk oleh dua lapisan otot
- Lapisan serosa (peritoneum visceral dan mesenterium) melapisi kolon transversum da
kolok sigmoid.

Kolon tidak memiliki villi atau plika sirkularis, dan permukaan luminal mukosa licin.
Lapisan otot polos di muskularis eksterna dibentuk oleh dua lapisan. Lapisan sirkular dalam
terlihat utuh di dinding kolon, sedangkan lapisan longitudinal luar yang sangat tipis, yang
sering terputus-putus, dijumpai di antara taenia coli. se-sel ganglion parasimpatis pleksus
saraf mienterikus terdapat diantara kedua lapisan otot polos muskularis eksterna. Kolon
transversum dan kolon sigmoid melekat pada dinding tubuh melalui mesenterium

Gambar 1.3 Histologi usus besar potongan melintang

4
2.3 Fisiologi
 Absorbsi dalam Usus Besar dan Pembentukan Feses
- Pembentukan Feses
Kimus secara normal melewati katup ileocaecaal kedalam usus besar setiap harinya.
Sebagian besar air dan elektrolit di dalam kimus di absorbsi di dalam kolon, biasanya
meninggalkan kurang dari 100 militer cairan untuk disekresikan dalam feses.
Sebagian besar absorbsi dalam usus besar terjadi pada pertengahan proksimal kolon,
sehingga bagian ini dinamakan kolon pengabsorbsi, sedangkan kolon bagian distal
berfungsi sebagai tempat penyimpanan feses sampai waktu yang tepat untuk di
eksresi feses dan oleh karna itu disebut kolon penyimpanan.4
- Absorpsi dan Sekresi Elektrolit dan Air
Mukosa usus besar mempunyai kemampuan absorbsi aktif natrium yang tinggi dan
gradien potensial listrik yang diciptakan oleh absorbsi natrium juga menyebabkan
absorbsi klorida. Mukosa usus besar menyekresikan ion bikarbonat sementara secara
bersamaan mengabsorbsi ion klorida dalam jumlah yang sebanding dalm proses
transfort pertukaran. Bikarbonat membantu menetralisir produk akhir asam dari kerja
bakteri dalam usus besar. Absorbsi ion natrium dan klorida menciptakan gradien
osmotik di sepanjang mukosa usus besar, yang kemudian akan menyebabkan absorbsi
air.4
2.4 Penyakit Hirschsprung
2.4.1 Definisi
Penyakit Hirschsprung adalah kelainan kongenital pada kolon yang ditandai dengan
tidak adanya sel ganglion di saraf parasimpatik pada pleksus submukosa Meissner dan
pleksus submukosa aurbach.1
2.4.2 Epidemiologi
Penyakit hirschsprung dapat terjadi dalam 1 dalam 5.000 sehingga di indonesia
diperkirakan akan lahir 1200 bayi dengan penyakit Hirschsprung setiap tahunnya dan rasio
laki-laki : perempuan adalah 4:1. Insiden ini dipengaruhi oleh group etnik, untuk afrika dan
amerika adalah 2,1 dalam 10.000 kelahiran, kaukasian 1,5 dalam 10.000 kelahira. Berdasar
tipe ketingian segmen yang aganglionik, 80% adalah short segmen dan 25% adalah long
segment. Kelainan-kelainan penyerta yang sering didapatkan adalah
1
palatokskisi,polidaktili,defek katup jantung dan sindrom hipoventilasi.
2.4.3 Etiologi
Penyakit Hirschsprung ini diakibatkan oleh terhentinya migrasi kraniokaudal sel
krista neuralis didaerah kolon distal pada minggu kelima sampai minggu kedua belas
kehamilan untuk membentuk sistem saraf intestinal. Laporan pertama mengenai penderita
penyakit Hirschsprung telah disampaikan oelh Frederick Ruysch pada tahun 1691, akan
tetapi baru pada tahun 1886 Harlond Hirschsprung pertama kali menerangkan bahwa
penyakit ini adalah sebagai penyebab terjadinya konstipasi pada neonatus. Penyakit
Hirschsprung merupakan kelainan konginital yang ditandai dengan tidak adanya sel
ganglion submukosa Meissner dan sel ganglion intramural Auerbach yang mengakibatkan
gangguan gerakan usus sehingga akan menyebabkan obstruksi usus fungsional. Untuk
mengetahui penyebab pasti terjadinya penyakit Hirschsprung diperlukan pemahaman yang
mendalam perihal perkembangan embriologis sistem saraf instestinal.1
5
Sel-sel yang membentuk sistem saraf intestinal berasal dari bagian vagal krista
neuralis yang kemudian melakukan migrasi ke saluran pencernaan. Sebagian kecil sel-sel
ini berasal dari krista neuralis bagian sakral untuk ikut membentuk sel-sel dan sel-sel glial
pada kolon. Selama waktu migrasi disepanjang usus, sel-sel krista neuralis akan melakukan
proliferasi untuk mencakupi kebutuhan jumlah sel diseluruh saluran pencernaan. Secara
embriologis sel-sel neuroenterik bermigrasi dari kista neuralis menuju saluran
gastrointestinal bagian atas dan selanjutnya meneruskan kearah distal. Pada minggu ke dua
belas. Prose migrasi mula pertama menuju ke dalam pleksus Auerbach dan selanjutnya
menuju kedalam pleksus meissner. Apabila terjadi gangguan pada proses migrasi sel-sel
kristaneuralis ini maka akan menyebabkan terjadinya segmen usus yang anganglionik dan
terjadilah penyakit Hirschsprung.1
2.2.4 Klasifikasi

Gambar 1.3 Klasifikasi Hirschsprung

2.4.5 Patofisiologi
- Motilitas Kolon
Sirkuit refleks peristaltik terdiri atas terjadinya distensi usus dan depolarisasi sel Cajal
pada otot polos yang melewati saraf kolinergik akan memicu interneuron ini antara
lain ATP,VIP dan NO. Nitric Oxyde adalah neurotransmiter yang berfungsi sebagai
mediator untuk relaksasi otot polos usus, oleh karna itu ketiadaan NO akan
meyebabkan kegagalan gerakan relaksasi pada segmen usus yang aganglionik. Dapat
disimpulkan bahwa terjadinya kontraksi permanen pada segmen anganglionik kolon
diakibatkan oleh tidak adanya interneuron nonadregenik. Sehingga produksi NO
menjadi berkurang atau tidak ada. Namun, dinding kolon bersifat elastis maka tetap
akan ada gerakan-gerakan tetapi tanpa koordinasi dan ini menjadikan alasan mengapa
diagnosis penyakit Hirschsprung kadang-kadang terlambat.1
- Kontenensia
Kontenensia merupakan kemampuan untuk mengotrol pengeluaran isi rektum pada
waktu dan tempat yang diinginkan. Keadaan ini tergantung pada kosistensi feses,
tekanan dalam lumen usus, tekanan rektum dan sudut anorektal. Kontinensi diatur

6
oleh mekanisme volunter dan involunter yang menjaga aliran secara anatomis dan
fisiologi jalannya feses ke rektum dan anus. Penghambat yang berperan adalah sudut
anus dan rektum yang dihasilkan oleh otot levator ani bagian puborektal anterior dan
superior. Adanya perbedaan antara tekanan dan aktivitas motorik anus, rektum dan
sigmoid juga menyebabkan progresivitas pelepasan feses terhambat. Kontraksi
sfingter ekternus diativasi secara involunter dengan distensi rektal dan dapat
meningkat selama 1-2 menit. Mekanisme kontinensi dipergaruhi oleh beberapa faktor
yaitu sfingter ani, mekanisme valf, resevoar rektum dan faktor sensoris.1
- Defekasi
Feses dan material-material sisa yang telah berada di rektum akan menyebabkan
kenaikan tekanan di dalam rongga rektum sehingga akan memacu reseptor regangan
dan mulailah reflek defekasi. Reflek defekasi akan menyebabkan relasasi sfingter
interna, kontraksi pada sigmoid dan rektum. Distensi rektum akan disertai kemauan
sadar untuk melakukan buang air besar dan apabila otot sfingter ekterna juga
mengalami relaksasi maka defekasi akan terjadi1. Bilamana keadaan lingkungan tidak
memungkinkan untuk defekasi maka sfingter ekterna dan kontraksi sehingga defekasi
akan dapat dicegah. Penundaan defekasi akan menyebabkan rektum secara bertahap
melakukan gerakan relaksasi dan kemauan untuk defekasi akan menurun sampai
gerakan “mass movement” berikutnya yang akan mendorong lebih banyak feses.
Selama periode non aktivasi keadaan sfingter interna dan ekterna tetap berada pada
posisi kontraksi untuk menjaga kontinensi. Proses defekasi dibantu oleh gerakan
mengejan yang melibatkan otot dinding perut dan ekspirasi kuat dalam posisi glotis
tertutup yang akan menyebabkan tekanan intraabdominal meningkat.1
Sfingter interna merupakan bagian akhir otot pendorong yang secara aktif
mengeluarkan feses atau flatus melalui anus. Serabut otot ini terdiri atas otot sirkuler
dan longitudinal membantu peristaltik diseluruh saluran kanal sampai orifisium.
Sfingter interna dipengaruhi oleh empat mekanisme persarafan: 1. Alfa adrenergik
sebagai eksitator stimuli, berjalan pada nervus Hipogastrikus yang berfungsi
mempertahankan tonus sfingter interna, 2. Beta adrenergik sebagai reseptor inhibisi
yang berfungsi untuk relaksasi, 3. Saraf kolinergik dan 4. Saraf nonadrenegik
nonkolinergik untuk relaksasi sfingter interna dengan mediator NO, VIP, dan
Peptinergik lain.1
Sfigter ani interna berada dalam kontrol syaraf otonom yang distimulasi oleh saraf
simpatis dan dihambat oleh saraf parasimpatis melalui pleksus sakralis dan pelvis.
Dalam keadaan istirahat tekanan pada sfingter ani interna lebih besar dibandingkan
tekanan pada bagian atas kanal sehingga akan dapat mengatur kontinensi dan flatus.
Faktor lain yang mengatur fungsi kontinensi adalah muskulus puborektalis dan sudut
anorektal, yang bila terjadi perlukaan pada otot ini pasti akan menyebabkan terjadinya
inkontenensia yang tidak dapat dihindari. Dasar patofiologi terjadinya penyakit
Hirschsprung adalah gangguan propagasi gelombang usus serta gangguan atau
tiadanya relaksasi sfingter ani interna.1
- Konstipasi
Kontipasi terjadi apabila feses menjadi keras akibat penundaan defekasi yang terlalu
lama sehingga abrobsi air akan lebih banyak. Penundaan defekasi dapat disebabkan

7
oleh beberapa hal antara lain mengabaikan defekasi, penurunan motilitas kolon,
obstruksi kolon serta gangguan reflek defekasi.1
2.2.6 Gambaran Klinis
Trias klasik gambaran klinis penyakit hirschsprung adalah mekonium keluar
terlambat, muntah hijau, dan distensi abdomen. Gejala obstipasi kronik ini dapat diselingi
oleh diare berat dengan feses yang berbau dan berwarna khas akibat timbulnya penyulit
berupa enterokolitis.1 Enterokilitis disebabkan oleh bakteri yang tunbuh berlebihan pada
daerah kolon yang iskemik akibat distensi dinding abdomen yang belebihan. Enterokolitis
dapat timbul sebelum atau bahkan setelah operasi definitive1
Pada pemeriksaan rectal touché, terasa ujung jari terjepit oleh lumen rektum yang
sempit. Waktu timbulnya gejala klinis, baik saat neonatus ataupun setelah umur beberapa
bulan, tidak berhubungan dengan panjang pendeknya segmen aganglionik.1
2.2.7 Diagnosis
Kecurigaan adanya penyakit Hirschsprung didasarkan pada riwayat penyakit serta
penyakit serta pemeriksaan fisisk dan diagnosis dapat diperkuat dengan pemeriksaan
radiologi, miometri anorektal serta pemeriksaan patalogi anatomi. Pada masa neonatus
diagnosis dapat ditegakan dengan kontras enema untuk mengetahui perubahan kaliber kolon
pada zona transisi, manometri anorektal untuk mengetahui refleks inhibisi rektonal (RAIR)
dan pengecetan acethylcholinestrase untuk mengetahui proliferasi Ache pada lamina propria
mukosa. Diagnosa penyakit Hirschsprung harus ditegakan seawal mungkin mengigat bahaya
komplikasi yang dapat terjadi. Dengan anamesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi,
pemeriksaan patologi anatomi, pemeriksaan histokimia, pemeriksaan imunohistokimia dan
pemeriksaan elektromanometri akan membantu penegakan diagnosis ini.1

a. Pemeriksaan Klinis
Pada masa neonatus, penyakit ini akan memberikan gejala distensi abdomen,
kegagalan pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama dan muntah. Pada masa kanak-
kanak penyakit ini akan memberikan gejala konstipasi kronis, distensi abdomen dan
malnutrisi. Pada pemeriksaan fisik akan dijumpai distensi abdomen dengan perkusi
memberikan suara timpani serta tanda-tanda osbtuksi usus fungsional. Trias klasik penyakit
ini adalah keterlambatan pengeluaran mekonium lebih dari 24 jam pertama, muntah hijau dan
distensi abdomen menyeluruh. Kadang-kadang gejala obstipasi kronis diikuti oleh diare yang
berat, hal ini terjadi akibat adanya komplikasi enterokolitis yang berbahaya. Enterokolitis ini
dapat diakibatkan oleh karena adanya bakteri yang tumbuh berlebihan akibat iskemia dinding
kolon oleh karena distensi yang hebat. Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58 % kasus pada
penderita penyakit Hirchsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia mukosa dengan invasi
bakteri dan translokasi. Perubahan-perubahan pada komponen musim dan sel neuroendokrin,
kenaikan aktivitas prostaglandin E1, infeksi Clostridium difficile atau rotavirus dicurigai
sebagai penyebab terjadinya enterokolitis. Pada kekeadaan yang sangat berat, enterokolitis
akan menyebabkan terjadinya megakolon toksik yang ditandai dengan demam, muntah hijau,
diare hebat, distensi abdomen, dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi dan nekrosis akibat
iskemia mukosa diatas segmen anganglionik akan menyebabkan sepesi, pneumatosis dan
perforasi8. Pada pemeriksaan colok dubur akan didapatkan daerah spastik yang apabila jari

8
ditarik keluar maka akan keluar material fese yang meyemprot yang diikuti mengecilnya
distensi perut.1

b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto polos abdomen akan menunjukkan tanda-tanda obstruksi usus
fungsional, sedangkan pada pemeriksaan enema barium akan menunjukkan gambaran
irregularitas pada segmen anganglionik, daerah atau zone spastik, zona transisi dan zona
dilatasi dan keterlambatan pengeluaran kontras. Pada pemeriksaan radiologis ini dapat pula
dideteksi adanya perforasi usus ataupun adanya enterokolitis.1
Pentingnya untuk barium edema pada anak-anak dengan dugaan penyakit
hirschsprung. Tes ini dapat menunjukkan lokasi zona transisi antara kolon gaangglionik yang
melebar dan segmen rektum aganglionik distal. Barium enema ini tidak sepenuhnya untuk
mendiagnosis penyakit Hirschsprung, namun sangat berguna untuk menyingkirkan penyebab
penyumbatan usus distal lainnya atresia termasuk atresia kolon, meconium plug syndrome,
dan sebagainya. Enema barium pada angangilonosis kolon total mungkin menunjukkan kolon
yang sangat pendek. Beberapa ahli bedah menemukan penggunaan manometri rektum yang
membantu, terutama pada anak yang lebih besar, walaupun relatif tidak akurat.1

Gambar 1.4 Gambaran Radiologi pada penyakit Hirschsprung

c. Pemeriksaan Manometri
Pada pemeriksaan manometri tidak didapatkan relaksasi muskulus sfingter ani interna.
Untuk merespon distensi rektum. Manometri anorektal dapat membantu penegakkan
diagnosis dengan indetifikasi reflek inhibisi anorektal. Reflek ini normal dijumpai pada
individu yang sehat akan tetapi hilang pada penderita penyakit Hirschsprung.1

d. Pemeriksaan Patalogi Anatomi


Pada pemeriksaan patologi anatomi dengan pengecatan rutin, adanya penyakit
Hirschsprung ditandai dengan tiadanya sel ganglion pada Pleksus mienterikus dan

9
plexus submukosa pada bagian distal kolon yang aganglionik, serta serabut-serabut
saraf menebal.1

2.2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding kelainan ini antara lain mekonium ileus akibat penyakit fibrokistik,
atresi ileum,atresi rekti,malrotasi,duplikasi intestinal,meconium plug syndrome, malformasi
anorektal, gangguan elektrolit,sepsis,hipotriroid dan syndrom pseudoobtruksi intestinal17.
Puri menyatakan banyak kelainan-kelainan tersebut antara lain intestinal Neuronal Dysplasia
(IND), Hypoganglionosis,immature ganglia, Absence of agryrophyl plexus, Internal sphinter
achalasia dan kelainan-kelainan otot polos.1
2.2.9 Penatalaksanaan
Pada prinsipnya sampai saat ini penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya dapat
dicapai dengan pembedahan. Tindakan-tindakan medis dapat dilakukan tetapi hanya untuk
sementara dimaksudkan untuk menangani distensi abdomen, dengan pemasangan pipa anus
atau pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum. Pemberian aktibiotika dimaksudkan untuk
pencegahan infeksi terutama untuk enterokolitis dan mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus
dapat diberikan untuk menjaga kondisi nutrisi penderita serta untuk menjaga keseimbangan
cairan, elektrolit dan asamn basa tubuh. Penanganan bedah, pada umumnya terdiri atas dua
tahapan yaitu tahap pertama dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan
melakukan operasi definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk
mencegah komplikasi dan kematian. Pada tahap ini dilakukan kolostomi,sehingga akan
menghilang distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi pasien. Tahap kedua adalah
melakukan operasi definitif dengan membuang segmen yang aganglionik dengan bawah
rektum. Adapun prosedur operasi yaitu prosedur swenson, prosedur duhamel, prosedur
Soave, prosedur Rehbein. Operasi definitif dikerjakan pada waktu penderita berumur 6-12
bulan dengan berat badan minimun 10 kg.1

1. PROSEDUR SWENSON
Teknik Swenson merupaka terknik tarik-terobos (pulthrough). Teknik ini bertujuan
untuk anastomosis kolon yang ganglionik dengan rektum. Dianjurkan untuk mealukan insisi
pfannenstiel pada operasi ini, dilanjutkan dengan melakukan biopsi untuk mengetahui batas
kolon yang ganglionik. Dilakukan pembebasan kolon yang ganglionik sampai panjangnya
mencukupi untuk dilakukan tarik-terobos (pulthrough) dengan preservasi pembuluh darah.
Rektum yang telah bebas dari perlengketan dengan organ sekitar dikeluarkan ke anus.
Dilanjutkan dengan insisi pada sisi anterior pada dinding rektum 1-2 cm diatas line dentate
sebanyak setengah lingkaran. Usus yang ganglionik ditarik melalui insisi ini dengan bantuan
jahitan multipel. Dilakukan penjahitan pada sisi anterior dari kolon ke kanal anal dan
dilanjutkan pada sisi posterior.1w

2. PROSEDUR REHBEIN
Teknik operasi ini disebut juga deep anterior resection, karena dilakukan anastomosis
langsung antara rektum dengan usus yang ganglionik. Insisi laparotomi dilakukan dengan
insisi transrektal kiri. Dilakukan mobilisasi kolon dengan preservasi pembuluh darah.

10
Dilakukan tegel dengan empat jahitan pada sisi terbawah rektum dan diklem dengan
bengkok. Sisi anterior rektum dibuka dan ditegel kembali dengan jahitan. Usus yang
ganglionik direseksi sampai ukurannya sama dengan rektum yang akan dianastomosis.
Anatomosis dilakukan dengan stapler.1

3. PROSEDUR SOAVE
Teknik operasi ini dilakukan dengan prinsip kolon ganglionik di pulthrough-kan
melalui rektum yang telah dimukosektomi. Insisi laparotomi disarankan dengan insisi
Pfannenstiel. Dilanjutkan dengan biopsi untuk menentukan batas kolon ganglionik. Pada
rektum dilanjutkan dengan tindakan pemisahan lapisan seromuskuler dari lapisan mukosa
(mukosektomi). Sisi usus telah terpisah mukosa dan seromuskuler dilanjutkan ke arah kaudal,
sampai 1-1,5 cm di atas linea dentata. Pada pasein yang tidak dilakukan kolestomi,
dipisahkan kedua punktumnya, dengan menyisakan punktum rektum sepanjang 4 cm. Sisi
mukosa rektum dibalik ke arah anus dilanjtlan dengan menarik sisi usus yang ganglionik.
Dilakukan anatomosis bagian mukosa rektum dengan usus ganglionik menggunakan vicryl
3/0.1

4. PROSEDUR DUHAMEL
Dilakukan laparotomi dengan insisi Pfanennsteil. Kolon sigmoid dan rektum
proksimal dimobilisasi setelah peritonium dibuka. Kolon ganglionik ditutup dengan jahitan
pursue string, dan rektum ditutupi tepat di atas lipatan peritonium. Pasca operasi Duhamel
diharapkan fungsi pencernaan dapat berfungsi normal karena segmen kolon yang
dipulthrough memiliki ganglion,sehingga mempunyai peristaltik yang normal, sehingga saat
rektum terisi feses akan terjadi proses defekasi yang normal.1

Gambar 1.5 Prosedur definitif; (A) Duhamel, (B) Swenson, (C) Soave

11
2.2.10 Komplikasi
a. Komplikasi dini antara lain:1
- Infeksi luka
- Perdarahan
- Kebocoran Anastomotik
- Abses Pelvik
- Dehisensi anastomotik
- Abses cuff
- Retraksi segmen pull-through
Resiko Infeksi biasanya rendah pada kebanyakan kasus. Perdarahan pasca operasi
jarang ditemukan. Kebocoran anastomotik bersifat serius. Faktor resiko meningkatnya
komplikasi antara lain: ketegangan, iskemia, perbaikan yang tidak adekuat, status nutrisi
jelek, permasalahan penyembuhan luka, aganglionosis residual, dan obstruksi distal.1
b. Komplikasi lambat:1
- Enterokolitis
- Konstipasi
- Obstruksi intestinal
- Inkontinensia
- Striktur
- Ekskoriasi perianal
- Akalasia sfingter
- Disfungsi voiding dan seksual
Permasalahan yang paling banyak ditemukan adalah konstipasi, inkontinesia,
enterokolitis, dan pengaruh keseluruhan penyakit terhadap kualitas hidup. Fistula, obstruksi,
dan impotensia jarang ditemukan.1

2.2.11 Prognosis
Progosis baik jika gejala obstruksi segera diatasi. Penyulit pasca bedah seperti
kebocoran anastomosis, atau striktur anastomosis umumya dapat diatasi.5

12
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit Hirschsprung adalah kelainan kongenital pada kolon yang ditandai dengan
tidak adanya sel ganglion di saraf parasimpatik pada pleksus submukosa Meissner dan
pleksus submukosa aurbach.
Gambaran klinis Trias klasih penyakit hirschsprung adalah keterlambatan pengeluaran
mekonium lebih dari 24 jam pertama, muntah hijau, dan distensi abdomen menyeluruh.
kadang-kadang gejala kronis seperti diare berat akibat terjadinya enterokolitis.
Diagnosis didasarkan pada pemeriksaan fisik dan satu atau lebih pemeriksaan
penunjang. Distensi abdomen ditemukan pada sebagian besar kasus, pemeriksaan colok
dubur menunjukkan rektum yang kosong di sekitar jari pemeriksa, memberikan kesan
spingter yang memanjang. pada saat jari ditarik, seringkali feses yang tertahan menyemprot
keluar. Spesimen biopsi rektum yang diambil melalui pembedahan atau biopsi hisap
diperlukan untuk diagnosis. Diagnosis ditegakkan bila tidak ditemukan sel ganglion pada
pleksus submukosa, dan hyperplasia trunkus saraf. Barium enema dan manometri anorektal
dapat menunjukkan abnormalitas.
Penatalaksanaan adalah melalui pembedahan. Apabila usus sangat terdistensi atau
mengalami inflamasi, biasanya dilakukan kolostomi awal di atas segmen yang aganglionik,
diikuti beberapa minggu berikutnya dengan prosedur definitif. Keterlibatan rektosigmoid,
diatasi dengan melakukan prosedur transanal pull-through (penarikan melalui anus),
membuang segmen usus yang aganglionik dan membuat suatu anastomosis kolorektal
primer tanpa laparotomi.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Rochadi Marpaung WH. Gaol LML. Penyakit Hirschprung. Ilmu Bedah Anak: Kasus
Harian UGD,Bangsal, & Kamar Operasi Jakarta : EGC, 2014: 315-352
2. Waschke J. Paulsen F. Sobotta Atlas Anatomi Manusia: Organ-organ Dalam Jilid 2, edisi
23. Alih bahasa: Brahm U, Pendit, et.al. editor: Sugiarto L, et.al. Jakarta: EGC;2010.
3. Ereschenko VP. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional Edisi 11 alih bahasa:
Braham U, Pendit editor. Dharmawan D, Yesdelita N, Jakarta EGC; 2008
4. Guyton, A.C, dan Hall, J.E 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta:
EGC
5. Sjamsuhidayat R, et.al (editor). Buku Ajar Ilmu Bedah De Jong edisi ke 3. Jakarta: EGC;
2007.

14

Anda mungkin juga menyukai