S501108038 Bab1 PDF
S501108038 Bab1 PDF
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
kongesti sistemik. Respons terhadap terapi medis biasanya cepat, dan tingkat
kematian dirumah sakit biasanya rendah.
Renjatan kardiogenik (cardiogenic shock) didefinisikan sebagai bukti adanya
hipoperfusi jaringan yang diinduksi oleh gagal jantung setelah dilakukannya
koreksi adekuat dari preload dan aritmia mayor. Biasanya renjatan kardiogenik
ditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik ≤90 mmHg, atau penurunan
cepat dari rerata tekanan arteri >30 mmHg) disertai dengan oliguria atau anuria
(<0.5 ml/kg /jam). Gangguan irama juga sering terjadi, dan bukti-bukti
hipoperfusi organ serta kongesti paru biasanya terjadi secara cepat.
Gagal jantung kanan teisolasi: ditandai dengan sindroma penurunan curah
jantung (low output syndrome) tanpa adanya kongesti paru dengan peningkatan
tekanan vena juguler, dengan atau tanpa hepatomegali dan tekanan pengisian
ventrikel kiri yang rendah.
Gagal jantung akut pada sindroma koroner akut: banyak pasien datang dengan
gambaran klinis gagal jantung akut namun diserai bukti-bukti laboratorium dari
sindroma koroner akut. Sekitar 15% pasien dengan sindroma koroner akut
memiliki tanda dan gejala gagal jantung akut, dan episode gagal jantung akut
tersebut biasanya berhubungan atau dipresipitasi oleh aritmia (bradikardia,
fibrilasi atrium atau takikardi venrikel).
diuretik. Riwayat medis pasien juga pentning bagi penegakan diagnosis, dan
gagal jantung tidak lazim terjadi pada pasien tanpa adanya riwayat medis yang
relevan, misalkan riwayat infark miokard yang akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya gagal jantung pada pasien dengan tanda dan gejala
yang khas (McMurray et al, 2012).
Sekali diagnosis gagal jantung ditegakkan, sangatlah penting kemudian
untuk menentukan penyebabnya, terutama penyebab yang dapat dikoreksi.
Gejala dan tanda merupakan hal penting yang harus selalu dimonitor sebagai
respon terapi dan tanda kestabilan pasien dengan gagal jantung. Gejala yang
menetap pada pasien dengan terapi gagal jantungm biasanya menandakan
perlunya terapi tambahan, dan perburukan gejala membutuhkan penanganan
medis yang serius. Berikut merupakan tanda dan gejala gagal jantung menurut
ESC yang dikeluarkan ditahun 2012 (McMurray et al, 2012).
Tabel 2.1. Tanda dan gejala tipikal gagal jantung (McMurray et al, 2012).
Tanda Gejala
Tipikal Lebih spesifik
Sesak napas Peningkatan JVP
Ortopneu Reflek hepatojuguler
Paroksismal nocturnal dispneu Bunyi jantung 3 (gallop)
Penurunan toleransi aktivitas Impuls apical yang bergeser kelateral
Kelelahan, letih dan kebutuhan waktu Bising jantung
yang lebih banyak untuk istirahat setelah
aktivitas
Edema tungkai
Kurang tipikal Kurang spesifik
Batuk malam Edema perifer (tungkai, skrotal)
Mengi Krepitasi paru
Peningkatan berat badan > 2kg/ minggu Efusi pleura
Penurunan berat badan (pada gagal Takikardia
jantung lanjut)
Perasaan penuh Pulsasi irregular
Kurang nafsu makan Takipneu (>16 kali/ menit)
Bingung (terutama pada usia tua) Hepatomegali
Depresi Asites
Palpitasi Kakeksia
Sinkop
jantung, fungsi sistoli dan diastolik ventrikel, ketebalan otot, dan fungsi katup
(Paterson et al, 2011). Informasi ini penting dalam menentukan terapi yang
pantas untuk pasien (misal penyekat angiotensin converting enzyme (ACE) dan
penyekat beta untuk disfungsi sistolik atau operasi untuk stenosis aorta). EKG
membantu untuk melihat irama jantung dan konduksi elektrik, misal adanya
penyakit sinoatrial, blok atrioventrikuler, atau konduksi interventrikuler yang
abnormal. Temuan ini juga penting untuk menentukan penatalaksanaan (seperti
kontrol irama untuk pasien dengan fibrilasi atrium, pemacuan untuk
bradikardia, dan terapi resinkronisasi jantung untuk pasien dengan left bundle
branch block (LBBB)). EKG juga menunjukkan bukti adanya hipertrofi
ventrikel kiri atau gelombang Q yang mengindikasikan adanya kehilangan
miokardium yang viabel, yang membantu memberikan bukti tentang
kemungkinan etiologi dari gagal jantung (McMurray et al, 2012).
Informasi yang disajikan oleh 2 pemeriksaan ini sudah mampu untuk
menegakkan diagnosis kerja dan perencanaan manajemen bagi mayoritas
pasien. Pemeriksaan biokimiawi dan hematologi rutin juga penting, sebagai
bagian apakah penyekat sistim renin angiotensin aldosterone (SRAA) dapat
dimulai secara aman (dengan pemeriksaan fungsi ginjal dan kalium) dan untuk
mengekslusi adanya anemia (yang mirip atau dapat memperburuk gagal
jantung). Pemeriksaan penunjang lain secara umum hanya diperlukan bila
diagnosis belum bias ditegakkan (misal bila gambaran ekhokardiografi
suboptimal, atau jika terdapat kausa gagal jantung yang tidak umum) atau jika
ada indikasi untuk mengevaluasi lebih jauh penyebab yang mendasari masalah
jantung pasien (misal pencitraan perfusi atau angiografi pada pasien dengan
kecurigaan PJK atau endomiokardial biopsi pada beberapa penyakit miokard)
(McMurray et al, 2012).
2.1.3.3. Peptida natriuretic
Karena tanda dan gejala gagal jantung kadang tidak spesifik, banyak
pasien yang dicurigai mengalami gagal jantung yang dikirim menjalani
pemeriksaan ekhokardiografi, namun ternyata tidak memiliki abnormalitas
dalam struktur jantung. Ketka kemampuan ekhokardiografi menjadi terbatas,
pendekatan lain untuk mendiagnosis adalah dengan memeriksa konsentrasi
peptida natriuretik darah, keluarga hormon yang disekresikan berlebih bila
terjadi jejas pada jantung atau beban pada salah satu ruang jantung mengalami
10
peningkatan (misal pada fibrilasi atrium, emboli paru dan beberapa kondisi non-
kardiak termasuk gagal ginjal) (Ewald et al, 2008). Kadar peptida natriuretik
juga akan meningkat seiring dengan usia, namun dapat menurun pada pasien
dengan obesitas (Daniels et al, 2006). Kadar peptida natriuretik yang normal
pada pasien yang belum tertangani secara nyata mengeksklusi adanya penyakit
jantung, yang akan menyebabkan pemeriksaan ekhokardiografi tidak
diperlukan lagi (investigasi penyebab non-kardiak mungkin lebih produktif
pada pasien ini) (Maisel et al, 2008).
Banyak penelitian telah meneliti batas konsentrasi dua untuk
mengeksklusi gagal jantung untuk dua macam peptida natriuretik yang biasa
digunakan, B-type natriuretic peptide (BNP) dan N-terminal pro B-type
natriuretic peptide (NT-proBNP). Batasan eksklusi berbeda pada pasien yang
dating dengan awitan akut atau perburukan gejala dan pada psein dengan awitan
yang lebih gradual. Untuk pasien dengan awitan akut atau perburukan gejala,
nilai optimal untuk mengeksklusi adalah 300 pg/mL untuk NT-pro BNP dan100
pg/mL untuk BNP. Untuk pasien non akut, nilai optimal untuk mengeksklusi
adalah 125 pg/mL untuk NT-proBNP dan 35 pg/mL untuk BNP. Sensitifitas
dan spesifisitas dari BNP dan NT-proBNP untuk diagnosis gagal jantung juga
lebih rendah pada pasien-pasien non akut (McMurray et al, 2012).
2.1.3.4. Foto Toraks
Foto toraks memiliki keterbatasan dalam penegakan diagnosis dari
pasien dengan kecurigaan gagal jantung. Hal ini mungkin sangat berguna dalam
mengidentifikasi alternatif keterlibatan paru untuk tanda dan gejala pasien.
Pemeriksaan ini akan menunjukkan kongesti vena pulmonalis atau edema pada
pasien dengan gagal jantung. Penting untuk dicatat bahwa disfungsi sistolik
ventrikel kiri yang signifikan akan memberikan gambaran kardiomegali pada
foto thoraks (McMurray et al, 2012).
2.1.3.5. Pemeriksaan Rutin Laboratorium
Sebagai tambahan untuk pemeriksaan biokimiawi (natrium, kalium,
kreatinin, laju filtrasi gromerolus/ estimated glomerular filtration rate (eGFR))
dan hematologis standar (hemoglobin, hematocrit, ferritin, leukosit dan
platelet), sangatlah berguna untuk memeriksa kadar hormon penstimulasi tiroid,
dikarenakan penyakit tiroid dapat menyerupai atau memperburuk gagal jantung.
Kadar gula darah juga penting untuk diperiksa dalam penegakkan ddiagnosis
11
diabetes pada pasien gagl jantung. Enzim hati juga biasa ditemukan tidak
normal pada pasien dengan gagal jantung, juga pentung untuk pengambilan
keputusan yang menyangkut terapi amiodaron dan warfarin (McMurray et al,
2012).
Gambar 2.1. Mekanisme, korelasi histologi, biomarker dan keluaran dari SKR tipe 1 pada gagal jantung
dekompensasi akut. ADHF = Acute decompensated heart failure; AKI = acute kidney injury (istilah AKI
meliputi istilah ‘WRF’, ‘worsening renal function/ perburukan fungsi ginjal yang biasanya didefinisikan
13
peningkatan kreatinin serum dua kali lipat); AMI = acute myocardial infarction; PE = pulmonary embo-
lism; SVR = systemic vascular resistance; HF = heart failure; CKD = chronic kidney disease; RAS = renal
artery stenosis; GFR = glomerular filtration rate; NGAL = neutrophil gelatinase-associated lipocalin; IL-
18 = interleukin-18; KIM-1 = kidney injury molecule 1; L-FABP = liver-type fatty acid binding protein;
NAG = N-acetylglucosamine (Haase et al, 2013).
Tidak Ya
Kongesti Paru
Gambar 2.2. Profil hemodinamik sistemik pada pasien ADHF dan konsekuensinya pada hemodinamik
ginjal di SKR tipe 1 (Stevenson LW and JK, 1989). Gambar ini merupakan kombinasi profil hemodinamik
sistemik pada ADHF dengan mekanisme hemodinamik ginjal yang dapat menyebabkan SKR tipe 1 pada
masing-masing profilnya. Pada profil dingin, AKI dapat terjadi sebagai konsekwensi dari penurunan aliran
darah ginjal/ renal blood flow (RBF) ketika sistem autoregulasi gagal untuk mempertahankan laju filtrasi
glomerulus. Pada profil basah, peningkatan tekanan vena sentral akan meningkatkan tekanan vena ginjal,
yang akan mengurangi tekanan perfusi ginjal, meningkatkan tekanan interstisial ginjal, dan melawan
tekanan filtrasi sehingga menyebabkan kolaps tubulus. Pada profil hangat, walaupun perfusi sistemik
relatif terjaga, RBF berkurang secara diskonkordan, sebagai akibat gangguan autoregulasi (contoh:
penghambatan sistem RAA, aktivasi sistem saraf simpatis yang berlebihan), berkurangnya mekanisme
umpan balik tubuloglomerular (missal sebagai akibat dari obat anti inflamasi non steroid (OAINS)),
stenosis arteri ginjal atau kondisi predisposisi yang menyebabkan hilangnya nefron. Yang perlu dicatat,
gangguan atau berkurangnya autoregulasi mungkin memainkan peran kunci, yang berakibat penurunan
tekanan perfusi ginjal. Mengingat sebagian besar pasien ADHF memiliki hipertensi, jika SKR tipe 1 terjadi
sebagai akibat dari penurunan RBF (dan/ atau penurunan tekaknan perfusi ginjal), hal ini setidaknya
berkontribusi pada disfungsi autoregulator tubuh (Haase et al, 2013).
AKI dapat sangat mirip tanpa memandang etiologi, sindroma AKI mencakup baik
cedera langsung ke ginjal maupun gangguan akut pada fungsi ginjal (Kellum et al,
2012).
Tabel 2.2. Kriteria AKI menurut klasifikasi AKIN (Mehta, et al, 2007).
Stadium Kreatinin serum Urin output
1 1,5-1,9 kali dari awal <0,5 mL/kg/jam selama 6-12
Atau jam
Peningkatan ≥0,3 mg/dL (≥26,5 μmol/ L)
2 2,0-2,9 kali dari awal <0,5mL/kg/jam selama ≥12
jam
3 3,0 kali dari awal < 0,3 mL/kg/jam ≥12 jam
Atau Atau
Peningkatan kreatinin serum ≥ 4,0mg/dL (≥353,6 μmol/L) Anuria selama >12 jam
Atau
Penggunaan renal replacement therapy/ CRRT
Atau
pada pasien <18 tahun, dengan penurunan eGFR hingga <35
mL/min per 1,73 m2
16
Gambar 2.3. Kriteria AKI menurut klasifikasi RIFLE (Kellum et al., 2012)
proses reabsorbsi dengan loop diuretik inilah yang akan mengganggu kemampuan
ginjal untuk menghasilkan urin terkonsentrasi yang menyebabkan natrium klorida
dan ion kalium tetap berada intralumen dan akan hilang didalam urin (Ernst, 2013).
Selain itu, furosemide memiliki efek venodilatasi yang bertujuan untuk mengurangi
preload pada gagal jantung kiri akut dalam waktu 5 hingga 15 menit, mekanisme
yang mendasari hal ini kemungkinan, terjadi akibat kejadian ikutan paska
vasokonstriksi reaktif (Oppie dan Kaplan, 2009).
2.3.2. Farmakokinetik
Seluruh loop diuretik secara umum berikatan dengan albumin serum (>95%),
dan sebagai konsekwensinya, untuk mendapat akses menuju tempat aksinya, loop
diuretik harus melalui sekresi aktif meuju lumen tubulus melalui transporter anion
organik probenecid-sensitif yang berlokasi di tubulus proksimal. Proses ini
mungkin akan menjadi lambat pada kondisi dimana terjadi peningkatan asam
organik endogen seperti pada GGK dan penggunaan obat-obatan yang juga
mengginakan transporter yang sama, diantaranya salisilat dan OAINS (Ernst,
2013).
2.3.3. Farmakodinamik
Perubahan hemodinamik spesifik pada mikrosirkulasi sistemik dan ginjal
terjadi setelah pemberian loop diuretik. Pertama-tama, pemberian secara intravena
akan menstimulasi SRAA di makula densa, yang akan mengakibatkan
vasokonstriksi, peningkatan afterload, dan penurunan aliran darah ginjal. Hal ini
mungkin disebabkan karena kurangnya rspons terhadap dosis inisial. Respons fase
kedua akan terjadi pada 5-15 menit setelahnya dan ditandai dengan peningkatan
pelepasan vasodilator prostaglandin oleh ginjal, yang akan menyebabkan
venodilatasi dan penurunan preload dan tekanan pengisian ventrikel, hal inilah
yang menyebabkan terjadinya perbaikan gejala walaupun efek diuresis belum
tejadi. Dengan pemberian furosemide jangka panjang, akan terjadi proses adaptasi
kronis yang dikenal sebagai efek “braking”, perubahan ini merupakan kompensasi
alami dalam menjaga volume intravaskuler, yang kemudian akan menyebabkan
toleransi terhadap efek diuretik. Toleransi diuretik harus dibedakan secara klinis
dari resistensi diuretik yang lebih tepat merujuk pada yang terjadi bersamaan
dengan kondisi patologis seperti gagal ginjal, sindroma nefrotik, gagal jantung
kongestif dan sirosis (Ernst, 2013).
2.3.4. Dosis
Dosis diuresis tergantung pada pencapaian ambang diuretik dan spesifik pada
masing-masing pasien. Sekali ambang dosis dilewati, akan terjadi rerata optimal
dari hantaran obat yang berujung pada respons maksimal. Karena respon diuretik
tidak secara linear berhubungan dengan dosis, sekali dosis dan rerata hantaran telah
ditentukan dan mencapai respon maksimal, penambahan pemberian diuretik tidak
akan meningkatkan efek diuresis (Ernst, 2013). Furosemide intravena biasanya
dimulai dengan dosis bolus inisial 40mg (tidak boleh melebihi 4mg/menit untuk
mengurangi resiko ototoksisitas). Saat fungsi ginjal terganggu, seperti pada usia
lanjut, dosis yang lebih tinggi mungkin dibutuhkan, dan dosis yang lebih tinggi lagi
19
pada gagal ginjal dan gagal jantung kronis yang berat. Furosemide oral memiliki
rentang dosis yang lebih lebar (20-240mg/ hari atau lebih), dikarenakan absorbsi
obat yang sangat bervariasi 10%-100% (rata-rata 50%). Pada keadaan oliguria
yang tidak disebabkan karena kekurangan cairan dan GFR kurang dari 20ml/menit,
dosis furosemide dapat ditingkatkan dari 240mg hingga 2000mg, hal ini mungkin
diperlukan karena menurunnya ekskresi luminal (Oppie dan Kaplan, 2009).
SRAA, sistem saraf simpatis, gangguan elektrolit dan perburukan fungsi ginjal
(Felker et al, 2009). Sebagai tambahan beberapa studi obervasional juga telah
menunjukkan hubungan antara diuretik dosis tinggi dan keluaran klinis yang tidak
diinginkan, termasuk gagal ginjal, progresifitas gagal jantung dan kematian.
Beberapa observasi memang saling tumpang tindih, apakah diuretik dosis tinggi
lebih merujuk sebagai penanda keparahan penyakit yang lebih berat atau lebih
kepada mediator terjadinya efek yang tidak diinginkan (Felker et al, 2011).
Gambar 2.4. Kurva Kaplan-Meier untuk gabungan titik akhir klinis dari kematian, rehospitalisasi,
atau kunjungan perawatan gawat darurat dalam jangka waktu 60 hari, pasien yang mendapatkan
bolus tiap 12 jam disbanding dengan pasien degan pemberian kontinyu (panel A) dan pada grup
yang mendapatkan dosis rendah diuretik (ekuivalen dengan dosis harian pasien) disbanding dengan
kelompok yang mendapat diuretik dosis tinggi (2.5 kali dosis oral harian) (panel B) (Felker et al,
2011).
intermiten atau kontinyu dan pemberian dosis tinggi maupun dosis rendah (gambar
2.4) (Felker et al, 2011).
Gambar 2.5. Grafik waktu kejadian AKI pada kondisi gagal jantung dekompensasi akut (Breidthardt et
al, 2012).
ginjal tahap awal, dikarenakan konsentrasi serum sebagian besar dipengaruhi oleh
faktor-faktor non ginjal, seperti berat badan, ras, usia, jenis kelamin, volume total
tubuh, obat-obatan, metabolism otot dan intake protein (Coca et al, 2008).
Penggunaan kreatinin serum bahkan lebih buruk dalam mendeteksi AKI,
dikarenakan pasien tidak dalam kondisi basal, kreatinin serum akan jauh lebih
tertinggal setelah terjadinya cedera ginjal. Hal ini mengakibatkan terjadinya
peningkatan kadar kreatinin serum tidak mampu dimonitor hingga 48 -72 jam paska
terjadinya kerusakan awal di ginjal. Sebagai tambahan, penyakit ginjal signifikan
dapat terjadi dengan perubahan kreatinin yang minimal atau bahkan tidak
mengalami perubahan, dikarenakan karena adanya kemampuan ginjal untuk
meningkatkan sekresi tubular dari kreatinin, atau faktor-faktor lain (Coca et al,
2008). Sebuah penanda biokimiawi dari AKI yang mudah untuk dihitung, tidak
terpengaruh oleh variabel biologis lain, dan memungkinkan untuk dilakukannya
deteksi dini dan stratifikasi resiko akan sangat membantu dalam penegakan
diagnosis AKI.
American Society of Nephrology telah menetapkan pengembangan penanda
biokimiawi sebagai pendeteksi dini kejadian AKI sebagai prioritas. Beberapa
penanda biokimiawi AKI telah berhasil diidentifikasi selama beberapa tahun terakhir
dimana dapat meningkat pada kondisi cedera iskemia ginjal baik pada hewan coba
maupun pada manusia dengan klinis AKI (Coca et al., 2008). Kemampuan penanda
biokimiawi untuk memprediksi AKI telah diteliti secara intens pada beberapa
kondisi klinis. Dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan penunjang, penting
untuk menentukan apakah pemeriksaan tersebut berguna dalam mengkonfirmasi
diagnosis AKI pada pasien yang sudah mengalami AKI, atau sebagai prediktor awal
pada pasien yang sedang mengalami AKI. Hal tersebut merupakan dua entitas yang
memiliki dampak klinis yang berbeda. Dalam aplikasi klinis penanda biokimiawi,
penanda tersebut harus mampu membuktikan dapat lebih akurat dibandingkan baku
emas pemeriksaan dengan menggunakan kreatinin serum (Hilde et al, 2012).
Terdapat empat kategori utama dari penanda biokimiawi AKI yang beberapa banyak
diteliti sebagai penanda diagnosis awal dari AKI (tabel 2.3).
23
Kreatinin serum merupakan hasil degradasi dari sel otot dan mencerminkan
kemampuan glomerulus untuk melakukan filtrasi yang efisien. Kreatinin serum
memiliki akurasi prediksi yang buruk terhadap kejadian cedera ginjal, terutama pada
kejadian awal AKI. Pada kasus penyakit kritis, konsentrasi kreatinin serum sangatlah
berfluktuatif sebagai akibat dari status volume pasien yang dilutif, efek katabolisme
penyakit kritis, dan peningkatan ekskresi tubular yang disertai dengan penurunan
fungsi ginjal. Lebih jauh, setelah kejadian cedera ginjal, peningkatan kreatinin serum
berlangsung lambat (Hilde et al, 2012).
2.4.2. Penanda Biokimiawi AKI Baru: Fokus pada Cystatin-C
Cystatin-C merupakan inhibitor protease cysteine non-glikosilasi yang
berukuran 13 kDa yang diproduksi oleh seluruh sel berinti dengan laju yang
konstan. Pada subyek yang sehat, Cystatin-C plasma diekskresikan melalui filtrasi
glomerular dan dimetabolisme secara sempurna oleh tubulus proksimal. Beberapa
penelitian menyimpulkan superioritas Cystatin-C plasma terhadap kreatinin serum
untuk mendeteksi penurunan kecil dari laju filtrasi glomerulus. Interpretasi kadar
Cystatin-C plasma biasanya memiliki bias pada pasien dengan usia tua, perbedaan
jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, kebiasaan merokok dan tingginya kadar
C-reactive protein (CRP). Dan Kadar Cystatin-C akan dipengaruhi oleh fungsi
tiroid abnormal, penggunaan obat-obatan imunosupresan dan keganasan (Nejat et
al, 2010).
spesifik leukosit. Pada ginjal normal, ekspresi NGAL hanya ditemukan pada
tubulus distal dan ductus kolektivus, sedangkan pada kejadian AKI, protein ini juga
dapat ditemukan pada tubulus proksimal dan filtrat glomerulus (Nejat et al, 2010).
Tabel 2.4. Penelitian Penanda Biokimiawi Diagnosis Awal AKI (Ferna´ndez et al,
2011).
curah jantung
PCWP
ATP metabolisme hipoksia
aerobik
tekanan vena
aktivitas apparatus
aktivitas pompa sentral
juxta glomerolus
Na2+/K+ ATP-ase
onkosis
GFR
AKI
produksi urine 2
jam > 200 cc
2.7 Hipotesis
Furosemide stress test dapat digunakan sebagai penanda diagnosis AKI pada
pasien dengan gagal jantung akut.