SERIAL KASUS
NPM : 1206326655
Tanda tangan :
ii
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Jakarta
iii
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
perkenan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan Dokter Spesialis-1,
Program Studi Ilmu Gizi Klinik dan serial kasus ini.
Terimakasih saya sampaikan kepada kedua orang tua saya, yang telah
mendidik dan membesarkan saya, membimbing dengan penuh kasih sayang,
disertai doa, dorongan dan harapan.
Dalam menempuh pendidikan, melakukan penelitian dan menyusun
disertasi ini, mustahil dapat terlaksana, tanpa asupan, arahan, dukungan, dorongan,
koreksi, dan nasihat dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini saya
mengucapkan terimakasih:
Kepada Dr. dr. Samuel Oetoro, MS, SpGK yang telah berkenan menjadi
pembimbing saya. Beliaulah yang dengan sabar telah mendukung, mendampingi,
membimbing, mengarahkan, memberikan suri tauladan, juga kebaikan hati, dan
kecepatan beliau berespon terhadap semua masalah yang timbul dalam pendidikan
ini.
Kepada Penguji, Dr. dr. Johana Titus, MS, SpGK, dan dr. Ida Gunawan,MS,
SpGK, saya sampaikan ucapan terimakasih yang tulus, penuh rasa hormat atas
semua saran, masukan, dan kritik yang diberikan, serta kesediaannya untuk menguji
dan menilai serial kasus saya.
Kepada Ketua Departemen Ilmu Gizi FKUI/RSCM, Dr. dr. Fiastuti
Witjaksono MSc, MS, SpGK saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan
saya, atas dukungan, dorongan dan semua fasilitas yang saya dapatkan dari
Departemen Ilmu Gizi FKUI/RSCM.
Kepada Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu Gizi
Klinik, dr. Sri Sukmaniah, MSc, SpGK, saya mengucapkan banyak terimakasih,
hormat dan penghargaan saya atas semua bimbingan, perhatian , kebaikan hati dan
dorongan penyemangat, yang telah saya terima selama ini.
Kepada para guru Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu Gizi
Klinik yang sangat saya hormati, dr. Widjaja Lukito, PhD, SpGK, dr. Victor
iv
Dibuat di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 2014
Yang menyatakan
vi
Pendahuluan:
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah kondisi hilangnya fungsi ginjal progresif dan
ireversibel yang sangat mungkin mengancam jiwa pasien. Penyebab terbanyak
PGK adalah diabetes mellitus (DM) dan hipertensi (HT) yang juga memiliki efek
terhadap organ lain terutama jantung. Hal ini mengakibatkan disfungsi ginjal berat
pada pasien seringkali ditemukan bersama dengan disfungsi jantung. Tata laksana
nutrisi optimal diperlukan untuk mendapatkan hasil klinis yang baik.
Presentasi kasus:
Empat pasien perempuan, usia 49-67 tahun dengan riwayat DM dan HT, datang
ke RS dengan keluhan sesak nafas, penurunan kesadaran, dan edema. Pasien
didiagnosis dengan congestif heart failure (CHF), PGK (G5, G4, G4, dan G3),
HT, DM tipe 2. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang didapatkan bahwa pasien berisiko malnutrisi, anemia, hiperuricemia,
dan dislipidemia. Selama perawatan, pasien mendapatkan nutrisi secara bertahap
sampai mencapai kebutuhan energi total, protein 0,8 g/kg BB, minyak ikan 2
g/hari, multivitamin, dan kalsium, disertai pembatasan asupan garam. Hasil
pemantauan menunjukkan bahwa keempat pasien mengalami perbaikan klinis,
namun tetap mengalami peningkatan kreatinin.
Kesimpulan:
Tata laksana nutrisi pasien PGK membutuhkan strategi pemberian nutrisi yang
lebih komprehensif, tidak hanya dengan melakukan pembatasan asupan protein.
Kata kunci :
Penyakit ginjal kronik, CHF, DM, HT, diet DM.
vii
Introduction:
Chronic kidney disease (CKD) is life threathening condition caused by lost of
kidney function progressively and irreversibly. Diabetes Mellitus (DM) and
hypertension (HT) are the most common etiology of CKD, which also have impact
to other organs such as heart. It make clinical manifestation in CKD patients
often found with heart dysfunction, named as cardiorenal syndrome. Optimal
nutrition therapy is needed to achieve good clinical outcomes.
Case presentation:
Four female patients, ages 49-67 years old with history of DM and HT, came to
hospital with chief complain dyspneu, decreased conciousness, and oedema
anasarca. Patients had diagnose with CHF, PGK, anemia, DM, and HT. Data
from anamnesis, physical, and laboratorium examination showed that all pasien
have malnutrition risk, anemia, dyslipidemia, and hiperuricemia. During
hospitalization, nutrition had given gradually to reach total energy needs, protein
0,8 g/kg BW, fish oil 2 g/day, multivitamin, calcium and salt restriction to
recommended daily intake value. Monitoring result show that all patients have
clinically improvement, but not creatinin level which act as marker of kidney
damage.
Conclusion:
Nutrition management in CKD patients need comprehensif strategy, not only with
restriction protein intake.
Keywords :
Chronic kidney disease, CHF, DM, HT, DM diet.
viii
3. KASUS ........................................................................................................ 42
3.1 Kasus 1 ................................................................................................. 42
3.2 Kasus 2 ................................................................................................ 46
3.3 Kasus 3 ................................................................................................ 50
3.4 Kasus 4 ................................................................................................. 54
4. PEMBAHASAN ....................................................................................... 58
4.1 Persamaan dan perbedaan klinis kasus ................................................ 58
4.2 Kerangka teori patofisiologi penyakit pada pasien serial kasus ........ 68
4.3 Tata laksana nutrisi .............................................................................. 69
ix
Tabel 2.11 Kriteria untuk diagnosis klinis PEW pada AKI atau PGK ............. 24
Tabel 2.12 Alat potensial untuk assessment PEW pada pasien PGK atau
AKI ................................................................................................ 25
Tabel 2.13 Perubahan lipid, lipoprotein, dan apo A-IV pada PGK .................. 32
Tabel 2.15 Rekomendasi vitamin D, mineral , dan cairan pada PGK ............. 41
Tabel 4.2 Tujuan tata laksana nutrisi pasien selama perawatan di RS ............. 70
Tabel 4.3 Tujuan dan edukasi untuk tata laksana nutrisi di rumah ................... 71
Tabel 4.9 Perbandingan komposisi Elkana sirup dengan AKG 2013 .............. 85
xi
Gambar 2.2 Prognosis PGK berdasarkan kategori GFR dan albuminuria ...... 8
Gambar 2.13 Konsep etiologi PEW pada PGK dan implikasi klinis ............... 22
Gambar 2.16 Patofisiologi penyakit mineral dan tulang pada PGK ................. 31
Gambar 3.1 Analisis asupan pasien kasus 1 sebelum assessment gizi ............ 43
Gambar 3.3 Hasil analisis asupan pasien kasus 1 selama pemantauan ............ 46
Gambar 3.4 Gambar analisis asupan pasien kasus 2 sebelum assessment ........ 47
xii
Gambar 3.8 Analisis asupan pasien kasus 3 sebelum assessment gizi .............. 51
Gambar 3.11 Analisis asupan pasien kasus 4 sebelum assessment gizi ............ 55
Gambar 4.1 Kerangka teori patofisiologi penyakit pasien serial kasus ........... 69
xiii
xvii
Lampiran 12 Potential renal acid loads dari beberapa bahan makanan .......... 144
Lampiran 13 Kebijakan pelayanan gizi Rumah Sakit Umum Tangerang ........ 146
xviii
BAB 1
PENDAHULUAN
1 Universitas Indonesia
disfungsi pada ginjal. Pada sindrom kardiorenal tipe 3 dan 4, gangguan ginjal
mengakibatkan disfungsi pada jantung, sedangkan pada sindrom kardiorenal tipe
5 gangguan jantung dan ginjal didasari oleh penyakit sistemik. Hal ini dapat
menjadi dasar perbedaan tata laksana farmokologi dan nutrisi pada pasien,
sehingga timbul pertanyaan bagaimana tata laksana nutrisi pada pasien dengan
PGK yang memiliki gangguan pada fungsi jantung dan penyakit sistemik lain
secara bersamaan. Apakah patofisiologi yang mendasari gangguan fungsi ginjal
tersebut juga akan mempengaruhi tata laksana nutrisi pada pasien tersebut.
Berdasarkan pertanyaan tersebut, maka makalah serial kasus ini disusun
untuk menjelaskan pengaruh patofisiologi pada empat kasus dengan diagnosis
PGK derajat 4 dan 5, disertai dengan penyakit kardiovaskular dan DM pada tata
laksana nutrisi pasien. Pada laporan ini juga akan diuraikan mengenai
rekomendasi tata laksana nutrisi yang dibandingkan dengan pelaksanaan yang
dapat dilakukan selama pasien di rawat inap, serta kendala yang dihadapi dalam
melaksanakan tata laksana nutrisi bagi pasien.
1.2 TUJUAN
Mengetahui tata laksana nutrisi yang baik pada pasien PGK dengan
gangguan jantung (sindrom kardiorenal) yang memiliki riwayat penyakit
DM.
1.2.2 Tujuan Khusus
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
MDRD eGFR (IDMS aligned) 175 x [Kreatinin plasma (μmol/L) x 0.0011312] -1.154 x
[usia (tahun)] -0.203 x [0.742 jika perempuan] x [1.212
jika ras kulit hitam]
Cockcroft and Gault {[(140usia)xBB]/[72xSCr(mg/dl)]}x(0.85jika
perempuan)
Berdasarkan analisis dari data yang telah dipublikasikan, maka KDIGO 2012
merekomendasikan rumus CKD-EPI sebagai rumus yang memiliki bias paling
sedikit dalam menghitung estimasi GFR (Tabel 2.4, 2.5, 2.6).6
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 2.8 Beberapa mekanisme yang dianggap berperan terhadap terjadinya injuri
glomerulus.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
terjadi karena hemodilusi akibat retensi cairan, blokade transport besi, defisiensi
eritropoetin yang diinduksi inflamasi, resistensi insulin, malnutrisi, kakeksia,
defisiensi vitamin. Kondisi tersebut meningkat beberapa kali apabila didapatkan
kondisi PGK. Kejadian injuri ginjal akut berulang yang sebelumnya tidak
terdeteksi karena kemampuan ginjal untuk mengkompensasi aliran darah dan
filtrasi, dapat mengakibatkan injuri berulang pada nefron. Sebagian nefron
mengalami pemulihan, dan sebagian lagi mengalami kerusakan permanen yang
mengarah pada terjadinya PGK.7
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
cairan sebagai akibat dari pemberian cairan resusitasi yang agresif nampak
sebagai faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya sindrom kardiorenal tipe 5.
Overload cairan menyebabkan kongesti vena pasif yang secara bersamaan
meningkatkan tekanan dinding ventrikel kiri. Hal ini mengakibatkan terjadinya
injuri akut pada ginjal dan dekompensasi kardiak pada pasien yang memiliki
predisposisi terjadinya gagal jantung sistolik dan diastolik.
Universitas Indonesia
Gambar 2.13 Konsep etiologi PEW pada PGK dan implikasi klinis
Sumber: daftar referensi no. 10.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 2.11 Kriteria untuk diagnosis klinis PEW pada AKI atau PGK
Kriteria
Kimia serum
Albumin serum <3,8 g/100 mL (*)
Prealbumin serum (transtiretin) < 30 mg per 100 mL (untuk pasien dialisis; derajat
kelainan bervariasi tergantung pada derajat GFR untuk pasien PGK derajat 2-5 (*)
Kolesterol serum <100 mg per 100 mL (*)
Massa tubuh
IMT <23 kg/m2 (**)
Penurunan BB 5% dalam 3 bulan atau 10% dalam 6 bulan
Persentase lemak total tubuh <10%
Massa otot
Muscle wasting: penurunan massa otot 5% dalam 3 bulan atau 10% dalam 6 bulan
Berkurangnya ligkar lengan atas (***): berkurang > 10% dari persentil 50% referensi
populasi
Kreatinin (****)
Asupan harian
Asupan rendah protein <0,8 g/kg BB/hari selama minimal 2 bulan pada pasien
dialisis atau <0,6 g/kg Bb/hari pada pasien PGK derajat 2-5
Asupan energi rendah <25 kkal/kg BB/hari selama minimal 2 bulan
* Tidak valid jika kadar berhubungan dengan kehilangan protein urin atau dar gastrointestinal
sangat besar, penyakit hati, penggunaan obat-obat kolesterol.
** IMT dapat lebih rendah untuk populasi Asia, BB harus bebas edema
*** Pengukuran harus dilakukan oleh ahli.
****Kreatinin dipengaruhi oleh massa otot dan asupan daging.
Sumber: daftar referensi no.11.
Alat potensial yang dapat digunakan untuk assessment PEW pada pasien
PGK derajat 3-5 atau AKI dapat dilihat pada Tabel 2.12
Universitas Indonesia
Tabel 2.12 Alat potensial untuk assessment PEW pada pasien PGK atau AKI
Nafsu makan, asupan makanan, energy expenditure
Kuesioner assessment nafsu makan
Food frequency questionnaires
Pengukuran energy expenditure menggunakan kalorimetrik indirek dan direk
Marker laboratorium
Biokimia serum : transferin, urea, trigliserida, bikarbonat
Hormon: leptin, ghrelin, growth hormone
Marker inflamatori: CRP, IL-6, TNF-, IL-1, SAA
Hitung sel darah perifer: hitung leukosit atau persentase leukosit
Universitas Indonesia
jaringan. Apabila terjadi penurunan oksigenasi jaringan, sel ini akan memproduksi
eritropoetin. Pada erithroid islands, reseptor permukaan progenitor sel darah
merah dan erythroid colony-forming units (CFU-Es), berikatan dengan
erythropoietin. Ikatan eritropoietin dengan erythropoietin receptors salvages
CFU-Es dan produksi eritroblas dari preprogrammed cell death (apoptosis)
kemudian akan menyebabkan sel dapat bertahan dan mengalami ekspansi
eritropoiesis. Jika hal ini terjadi, maka produksi retikulosit meningkat sehingga
memperbaiki massa sel darah merah dalam sirkulasi dan memperbaiki hipoksia
jaringan.12
Penelitian saat ini menunjukkan bahwa kelebihan hepsidin merupakan
kontributor utama gangguan hemostasis zat besi dan anemia pada PGK dengan
cara mengganggu absorpsi zat besi dan mobilisasi zat besi dari cadangan tubuh
(Gambar 2.14).13
Universitas Indonesia
Availabilitas zat besi dikontrol oleh hepsidin yang diproduksi hepar. Hepsidin
meregulasi absorpsi zat besi dari makanan dan daur ulang zat besi makrofag dari
sel darah merah. Terdapat beberapa jalur umpan balik yang mengontrol kadar
hepsidin antara lain kadar zat besi dan EPO. Pada pasien PGK, kadar hepsidin
diketahui sangat tinggi yang diduga berhubungan dengan penurunan clearance
ginjal dan induksi oleh inflamasi. Hal ini mengakibatkan iron-restricted
erythropoiesis. Kondisi PGK juga menghambat produksi EPO, menyebabkan
hambatan eritropoiesis akibat uremia sirkulasi, memperpendek waktu hidup SDM,
dan meningkatkan hilangnya darah.13
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
kondisi ini, pasien sering belum merasakan adanya gejala sehingga belum datang
untuk memeriksakan diri. Sebenarnya pada saat tersebut, proses gangguan mineral
dan tulang sudah terjadi yang justru berakhir dengan terjadinya vaskular
kalsifikasi. Berdasarkan hal tersebut, istilah osteodistrofi ginjal tidak digunakan
lagi untuk menunjukkan gangguan mineral dan tulang pada PGK. Istilah yang
diajukan oleh NKF tahun 2006 untuk menunjukkan sindrom gangguan mineral
dan tulang pada PGK adalah CKD-mineral and bone disorder (CKD-MD). Istilah
ini mencakup gangguan mineral, tulang, dan abnormalitas kalsifikasi vaskular
pada PGK.17
Pada saat fungsi ginjal menurun, terjadi perubahan pada homeostasis
mineral dan tulang, perubahan kadar PTH, 25-hidroksivitamin D, 1,25-
dihidroksivitamin D, dan fibroblast growth factor-23 (FGF-23). Patofisiologi
penyakit mineral dan tulang pada PGK dapat dibagi menjadi dua jalur yaitu low
turnover adynamic disease dan high-turnover osteitis fibrosa (Gambar 2.16). Pada
jalur high-turnover osteitis fibrosa, massa ginjal dan GFR menurun yang
menyebabkan retensi fosfat. Hal ini dapat terjadi mulai dari PGK derajat II yang
menyebabkan peningkatan adaptif sekresi PTH sehingga meningkatkan ekskresi
fosfat. Peningkatan ekskresi fosfat ini menyebabkan kadar fosfat dalam serum
tidak meningkat sampai saat GFR menurun menjadi 20 mL/menit/1,73 m2.
Retensi fosfat ini memicu hiperparatiroidisme sekunder dan peningkatan ikatan
dengan kalsium bebas dalam serum sehingga kalsium bebas serum menurun.
Hiperparatiroidisme sekunder pada kondisi retensi fosfat terjadi melalui
mekanisme peningkatan ekspresi gen PTH. Selain retensi fosfat, peningkatan
PTH juga berhubungan dengan perubahan metabolisme 1,25-dihidroksivitamin D
yang menyebabkan peningkatan sekresi PTH yang berpengaruh terhadap absorpsi
kalsium intestinal. Peningkatan PTH juga mengakibatkan downregulation pada
reseptor PTH di tulang sehingga meningkatkan resistensi tulang terhadap PTH,
meningkatkan resorpsi tulang dan turnover sehingga menyebabkan kalsifikasi
ekstra tulang (arteri, sendi, dan viseral).17
Asidosis metabolik pada PGK juga memperberat penyakit tulang dengan
cara meningkatkan aktivitas osteoklas dan disolusi tulang. Berkurangnya massa
ginjal juga menyebabkan pembentukan 1,25-dihidroksivitamin D dan konversi 25-
Universitas Indonesia
Gambar 2.16 Patofisiologi penyakit mineral dan tulang pada PGK (telah diolah
kembali)
Sumber: daftar referensi no. 17.
Universitas Indonesia
2.4.6 Dislipidemia
Dislipidemia pada pasien PGK berbeda dengan dislipidemia yang terjadi pada
populasi secara umum. Dislipidemia pada pasien PGK terjadi pada semua jenis
lipoprotein (Tabel 2.13).19
Tabel 2.13 Perubahan lipid, lipoprotein, dan apo A-IV pada PGK
Parameter PGK derajat 1-5 Hemodialisis Peritoneal dialisis
Kolesterol total
LDL
HDL
Non HDL
TG
Lp(a)
Apo A-I
Apo-A IV
Apo B
Non HDL: LDL, VLDL, IDL, kilomikron.
Penjelasan arti tanda panah:
normal; tinggi; sangat tinggi; rendah jika dibandingkan dengan subyek non
uremik; meningkat, menurun sesuai dengan penurunan GFR
Sumber: daftar referensi no. 19.
2.4.6.1 Hipertrigliseridemia
Trigliserida (TG) plasma mulai meningkat pada PGK stadium awal. Akumulasi
TG terjadi akibat laju produksi yang tinggi dan laju katabolisme rendah.
Peningkatan produksi TG ini disebabkan karena toleransi karbohidrat terganggu,
sedangkan laju katabolisme yang rendah terjadi akibat menurunnya aktivitas
endothelium-associated lipase (lipoprotein lipase/LPL dan hepatic triglyceride
lipase).19,20
Penurunan aktivitas lipase pada kondisi uremia diduga terjadi akibat
menurunnya cadangan enzim yang diinduksi oleh heparinisasi pada hemodialisis,
peningkatan rasio apo C III/apoC-II, dan adanya inhibitor lipase pada plasma.
Apo C-II adalah aktivator LPL, sedangkan apoC-III adalah inhibitor LPL.
Gangguan pada aktivitas LPL dapat terjadi akibat sintesis LPL yang menurun
yang disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder atau kadar insulin yang
rendah.19
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
asupan protein dan penurunan tekanan darah (TD) dapat memperlambat progresi
penyakit ginjal. Penelitian ini terdiri atas dua randomized clinical trial (RCT)
yang melibatkan 840 pasien non diabetik dengan berbagai derajat PGK selama
18-45 bulan (rerata 2,2 tahun) pada periode 1989-1993. Subyek pada penelitian
pertama adalah 585 pasien dengan GFR 22-55 mL/menit/1,73 m2 yang dibagi
menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama diberikan asupan protein 1,3 g/kg BB
dan kelompok kedua 0,58 g/kg BB. Penelitian pertama ini mendapatkan bahwa
pada empat bulan pertama, penurunan GFR kelompok kedua lebih cepat daripada
kelompok pertama, namun selanjutnya penurunan GFR terjadi lebih lambat. Pada
tahun ketiga pemantauan, rerata penurunan nilai GFR antara kedua kelompok
tidak berbeda signifikan. 26 Pemantauan jangka panjang dilakukan selama periode
1993-2000. Hasil pemantauan menemukan bahwa tidak ada efek menguntungkan
yang signifikan dari LPD selama 2-4 tahun dalam memperlambat gagal ginjal atau
kematian. Terdapat efek menguntungkan yang lebih besar pada 6 tahun pertama
pemantauan dan pada laki-laki dibandingkan perempuan.27
Penelitian kedua dilakukan pada 255 pasien dengan GFR 13-24 mL/
menit/1,73 yang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diberikan
protein sebesar 0,58 g/kg BB/hari sedangkan kelompok kedua diberikan 0,28 g/kg
BB/hari ditambah suplementasi asam keto. Hasil penelitian mendapatkan bahwa
pada kelompok kedua terjadi penurunan GFR lebih lambat dibanding kelompok
pertama, namun tidak ada perbedaan dalam saat terjadinya ESRD dan kematian.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pada pasien dengan insufisiensi PGK sedang,
restriksi protein memberikan sedikit efek positif yang terjadi setelah bulan
keempat pemberian restriksi protein. Sedangkan pada pasien dengan insufisiensi
ginjal berat, pemberian VLPD dan LPD tidak mempunyai efek yang berbeda
terhadap perlambatan progresi PGK.26 Pemantauan jangka panjang (1993-2000)
dari penelitian ini dilakukan dengan menilai outcome berupa gagal ginjal (inisiasi
terapi dialisis atau transplantasi), mortalitas, dan kombinasi gagal ginjal dengan
kematian. Penelitian yang dipublikasikan pada tahun 2009 ini mendapatkan
bahwa VLDP (0,28 g/kg BB) dengan atau tanpa penambahan asam keto, tidak
menunjukkan adanya efek menguntungkan dibandingkan dengan LPD (0,6 g/kg
Universitas Indonesia
BB).28 Compliance asupan protein subyek dalam studi MDRD ini adalah 0,73-
0,77 g/kg BB/hari pada LPD dan 0,48 g/kg BB/hari pada VLPD.29
Fouque dkk.30 melakukan review terhadap lebih dari 40 penelitian untuk
mengetahui efikasi LPD dalam memperlambat kebutuhan untuk dialisis pada
pasien PGK non diabetik. Kriteria penelitian yang dipilih dalam review ini adalah
penelitian yang melakukan intervensi LPD atau VLPD selama ± 12 bulan. Review
ini mendapatkan bahwa restriksi protein baik dengan LPD maupun VLPD
memiliki efek yang lebih sedikit terhadap terjadinya kematian dibandingkan
asupan protein tinggi.
Pan dkk.31 melakukan meta analisis terhadap delapan penelitian yang
memberikan preskripsi LPD sebesar 0,6-0,8 g/kg BB/hari pada pasien DM dengan
GFR baseline 43,9 131 mL/menit/1,73 m2. Asupan protein aktual subyek adalah
0,71 1,1 g/kg BB/hari. Hasil analisis mendapatkan bahwa LPD berhubungan
signifikan dengan penurunan weighted mean differences (WMD) HbA1C, namun
tidak berhubungan dengan penurunan WMD GFR. Didapatkan pula efek
menguntungkan LPD terhadap proteinuria yang signifikan, namun terdapat
heterogenisitas yang besar. Pada analisis subgroup didapatkan pula bahwa LPD
menyebabkan kadar albumin serum lebih rendah.
Nezu dkk.32 tahun 2013 mempublikasikan meta analisis terhadap 13
penelitian yang melakukan intervensi berupa preskripsi LPD sebesar 0,6-0,8 g/kg
BB/hari pada pasien DM dengan GFR 38 126 mL/menit/1,73 m2. Penelitian ini
mendapatkan bahwa LPD dapat memperbaiki GFR hanya jika compliance asupan
cukup. Compliance asupan protein ditentukan dengan menghitung actual protein
intake ratio (APIR) antara kelompok LPD dengan kontrol. Nilai cut off APIR
adalah 0,9. Compliance asupan protein cukup jika APIR <0,9.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang ada tersebut, maka besarnya
restriksi protein yang harus diberikan pada pasien PGK masih kontroversial
sehingga para ahli menyusun guideline untuk membantu klinisi dalam melakukan
manajemen nutrisi pada pasien PGK. Terdapat beberapa guideline yang dapat
dijadikan rujukan pemberian protein pada pasien PGK. Pasien PGK stadium awal
dianjurkan untuk tetap mengkonsumsi protein 0,75-1 g/kg BB/hari dengan asupan
energi adekuat.23, 33 Berdasarkan rekomendasi ESPEN 2006, pasien dengan GFR
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gambar 2.17 Skema pemberian suplementasi vitamin D pada PGK (telah diolah
kembali).
Sumber: daftar referensi no.36.
Pada PGK derajat 2 dan 3, jika didapatkan peningkatan PTH maka status vitamin
D perlu dievaluasi dengan melakukan pengukuran 25-hidroksivitamin D. Jika
kadar <30 ng/mL maka perlu diberikan ergokalsiferol untuk meningkatkan kadar
25 hidroksi vitamin D menjadi >30 ng/mL.36
Asupan natrium yang direkomendasikan adalah <90 mmol (<2 g) per hari
atau setara dengan 5 g NaCl.6 Mengatur asupan natrium ini terutama ditujukan
untuk tata laksana pasien PGK dengan hipertensi tanpa tergantung pada derajat
23
PGK. Asupan kalium yang direkomendasikan untuk pasien PGK stabil adalah
1500-2000 mg/hari, sedangkan pada pasien hemodialisis (HD) atau peritoneal
dialisis (PD) adalah 2000-2500 mg/hari.21 Pasien dengan PGK derajat awal
dianjurkan untuk mengkonsumsi cairan sebanyak 2-2,5 L/hari baik dari minuman
maupun makanan yang disesuaikan dengan kebutuhan harian pasien.23 Asupan
cairan pada pasien HD atau PD yang dianjurkan mengikuti besarnya volume
urin/hari ditambah dengan 1000 mL.22 Pemberian suplemen serat dan diet tinggi
serat pada pasien yang menjalani PD dengan konstipasi sebanyak 6-12 g/hari
dalam bentuk guar gum terhidrolisa, terbukti efektif sebagai laksatif. 23
Universitas Indonesia
Sumber: daftar referensi no.21, 22, 23, 24, 33, 34, 35.
2.5.3 Indikasi nutritional support
Nutritional support diberikan pada pasien HD rutin yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan energi dan protein melalui asupan makanan harian untuk periode
tertentu (beberapa hari sampai dua minggu) tergantung pada derajat beratnya
kondisi klinis pasien dan derajat malnutrisi. Nutritional support dapat diberikan
dalam bentuk suplemen nutrisi oral (oral nutrition support) atau melalui tube
feeding, nutrisi parenteral intradialitik, dan asam amino intraperitoneal. Pemberian
nutritional support ini harus diikuti dengan pemantauan kondisi uremia pasien.2
Universitas Indonesia
BAB 3
KASUS
3.1 KASUS 1
Pasien pertama adalah Ny D, usia 51 tahun datang ke RSUT tanggal 21 Agustus
2014 (jam 18:58) dengan keluhan sesak nafas. Sesak mulai dirasakan hilang
timbul sejak dua bulan SMRS dan sering diawali dengan batuk. Sejak satu
minggu SMRS sesak bertambah berat terutama jika pasien berjalan. Selama sesak,
pasien tidak dapat tidur dengan posisi mendatar. Pasien juga merasakan mual
namun tidak muntah, dan bengkak pada kedua tungkai yang semakin membesar.
Bengkak pada tungkai dimulai sejak satu tahun terakhir yang masih dapat kembali
normal jika pasien berjalan atau mengubah posisi duduk. Dua bulan SMRS,
bengkak pada tungkai semakin memberat dan tidak dapat hilang meskipun sudah
mengubah posisi duduk, selain itu pasien masih dapat buang air kecil (BAK) dua
sampai tiga kali per hari sebanyak ± ½ gelas air mineral setiap kali BAK. Satu
minggu terakhir, BAK semakin kurang. Pasien memiliki riwayat DM sejak 15
tahun yang lalu dan rutin minum glibenklamid 5 mg dan pada satu tahun terakhir
obat ditambah dengan glurenom 30 mg 1x per hari. Pasien juga menderita tekanan
darah tinggi sejak 4 tahun SMRS dan minum amlodipin 1 x 5 mg. Sejak 6 bulan
terakhir, pasien hanya BAB 1 kali per minggu.
Satu tahun terakhir pasien mulai merasakan sesak, asupan makanan hanya
12 kali per hari. Sejak dua bulan terakhir, asupan makanan pasien berkurang
menjadi satu kali per hari (1 x 1 porsi), lauk 1 potong kadang ayam atau tahu dan
tempe, sayuran 3-4 porsi per hari, dan tidak mengkonsumsi makanan ringan. Lauk
kadang digoreng kadang dimasak bersama sayuran. Satu minggu terakhir porsi
makan berkurang menjadi setengah porsi dan 24 jam terakhir mengkonsumsi
bubur sumsum satu kali setengah porsi dan minum air putih sebanyak dua gelas
(Gambar 3.1 dan Lampiran 5).
42 Universitas Indonesia
cm sehingga didapatkan BB estimasi 43,5 kg dan indeks massa tubuh (IMT) 17,8
kg/m2. Hasil pemeriksaan laboratorium adalah Hb 8,4 (12-16) g/dL, leukosit 10,2
(5-10) ribu/µL, Ht 26 (3747) %, trombosit 338000 ribu/µL, CKMB 18 (<25)
U/L, GDS 173 (<180) mg/dL, ureum 123 (10-50) mg/dL, kreatinin 6,4 (<1,4)
mg/dL, Na 146 (137150) mmol/L, 5,32 (3,55,5) mmo/L, Cl 110 (99111)
mmol/L. Estimasi GFR (eGFR) menggunakan rumus Cockcroft-Gault didapatkan
7,5 ml/menit/1,73 m2. Analisis asupan 24 jam terakhir 104,7 kkal, protein 0,9 g,
lemak 2,7 g, KH 20 g. Analisis cairan input oral 500 mL, output urin 900 mL,
balans negatif 1050 mL. Pasien didiagnosis oleh DPJP dengan cardiorenal
anemia syndrome, hipertensi heart disease (HHD) dengan HT derajat II, PGK G5,
dan DM tipe 2. Pasien diberikan terapi furosemid drip 5 mg/jam (dosis titrasi
sampai dengan 10 mg/jam), isosorbid dinitrat (ISDN) 3 x 10 mg, valsatran 2 x 40
mg, amlodipin 1 x 5 mg, serta dikonsultasikan ke teman sejawat penyakit dalam.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka assessement gizi
adalah malnutrisi, hipermetabolisme sedang pada pasien cardiorenal anemia
syndrome, HHD dengan HT stage II, PGK G5, dan DM tipe 2. Menggunakan
rumus Harris Benedict didapatkan kebutuhan energi basal (KEB) pasien 1098,1
dengan faktor stres 1,4 maka kebutuhan energi total (KET) menjadi 1500 kkal.
Target pemberian protein adalah 0,8 g/kg BB/hari (35 g; 9,5 %), lemak 25% (42
g), KH 245,5 g (65,5%). Nutrisi diberikan secara bertahap dan dimulai dari 80%
KEB yaitu 800 kkal, protein 35 g (0,8 g/kgBB, 17,5%, N:NPC= 1:117), lemak
25% (22 g), KH 115 g (57,5 %). Dalam bentuk kombinasi makanan cair melalui
jalur per oral. Preskripsi nutrisi berupa bubur sumsum 300 kkal (1 kali) dan
MCRS 4 x 125 kkal, dan satu buah putih telur. Pasien diberikan mikronutrien
berupa multivitamin sirup 1 x 10 mL, kalsium laktat 1 x 500 mg, asam folat 1 x 1
mg, serta minyak ikan 2 x 1 g.
Pemantauan dilakukan selama delapan hari. Pasien mengalami perbaikan
kondisi klinis berupa berkurangnya keluhan sesak nafas, penurunan tekanan
darah, dapat tidur dengan posisi tubuh mendatar, namun didapatkan ureum dan
kreatinin darah yang meningkat (Gambar 3.2 dan Lampiran 1). Pada hari
pemantauan ke-5 didapatkan hasil pemeriksaan ultrasonography (USG) abdomen
berupa gambaran penyakit ginjal kronik bilateral (echo korteks meninggi).
Universitas Indonesia
Asupan makan pasien meningkat dari 538 kkal (49% KEB) pada hari pemantauan
pertama menjadi 1368 kkal (90% KET) disertai dengan perubahan bentuk
makanan dari dominan makanan cair menjadi dominan makanan lunak. Pasien
disarankan untuk hemodialisis, namun menolak dan meminta untuk rawat jalan.
Hasil analisis asupan selama pemantauan dapat dilihat pada Gambar 3.3.
Universitas Indonesia
menderita DM, hipertensi, dan kadar kolesterol yang tinggi. Sejak saat itu pasien
berobat dan minum obat teratur. Sebelum sakit sampai saat sakit tiga hari sebelum
masuk RS SA, pasien makan nasi 7 porsi per hari, ayam 4 porsi/hari, tahu/tempe 3
porsi/hari, sayur 3 porsi/hari, buah 2 porsi/hari, dan sering mengkonsumsi
makanan selingan berupa goreng-gorengan 3 potong per hari. Selama sakit di
rumah 3 hari SMRS RS SA pasien mengkonsumsi havermouth 5 sendok makan,
tiga kali per hari. Saat perawatan di RS SA, pasien diberikan nutrisi melalui
selang NGT sebanyak 6 kali. Dalam 24 jam terakhir pasien masih dipuasakan
(Gambar 3.4).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Riwayat penyakit keluarga berupa DM, HT, bengkak seluruh tubuh, penyakit
jantung, penyakit ginjal disangkal.
Riwayat asupan makan sebelum sakit (sebelum Oktober 2013) adalah
makan tiga kali sehari berupa nasi 2 porsi dengan lauk ikan atau ayam di goreng
2 porsi, sayur 1 porsi, gorengan 2 potong, singkong rebus 0,5 kg/.hari (malam
hari), minum teh manis satu kali per hari dengan gula pasir 2 sendok makan.
Setelah mengetahui menderita penyakit DM dan HT, pasien mengurangi porsi
nasi menjadi 1 porsi setiap kali makan, sedangkan kebiasaan lainnya tetap.
Selama sakit dalam periode Januari-September 2014 pasien makan bubur atau
nasi 3 x 1/2 porsi biasa, dengan ikan 1/2 potong, sayur 1 mangkuk, ditambah
dengan biskuit ½ bungkus dan minum air mineral 2 gelas/hari. Asupan 24 jam
terakhir sebelum assessment gizi dilakukan adalah nasi ¾ porsi makanan RS
dengan lauk, sayuran, makanan selingan dan buah dapat dihabiskan (Gambar 3.8).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
daging/ayam berganti-ganti 2 potong, tahu atau tempe 1 potong, sayur 1 porsi per
hari, buah pepaya ¼ buah. Minum teh manis (2 sendok makan gula pasir) satu kali
per hari, kopi sachet satu kali per hari, minuman kemasan lain 2 kali per hari.
Pasien juga mengkonsumsi krupuk 1 kaleng ukuran 1 liter/hari. Setelah
mengetahui menderita DM dan HT, pasien mengurangi jumlah nasi menjadi ½
porsi biasa, namun makanan lainnya tetap sama. Selama dua bulan terakhir
SMRS, nafsu makan pasien berkurang sehingga pasien hanya mengkonsumsi nasi
2-3 sendok makan, lauk ikan 1 potong ditambah tahu atau tempe, sayur dan buah
3 porsi per hari, serta mengurangi makanan kecil yang asin. Asupan makanan 24
jam terakhir, pasien makan makanan RS berupa nasi tiga sendok makan (tiga kali
makan) dengan lauk, sayur, dan makanan selingan dapat dihabiskan (Gambar
3.11). Pasien memiliki riwayat keluarga paman menderita DM dan ayah HT.
Universitas Indonesia
Analisis asupan selama dirawat adalah 1618 kkal, protein 35 g (9%), lemak 39 g
(22%), karbohidrat 69%. Selama perawatan, pasien tidak mengeluh adanya rasa
lapar, mual, ataupun muntah. Pasien dipulangkan pada H 12 dengan diberikan
edukasi nutrisi.
11 11
Universitas Indonesia
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1.1 Usia
Pasien serial kasus ini dipilih pasien dengan jenis kelamin perempuan dan rentang
usia dewasa. Usia mempengaruhi nilai GFR. GFR meningkat selama periode
infan dan menurun pada proses penuaan. Oleh karena itu penurunan ringan dari
nilai GFR pada usia ekstrim dan tanpa adanya kerusakan ginjal dapat berarti
fungsi ginjal masih “normal” sehingga tidak dapat dianggap sebagai penyakit
58 Universitas Indonesia
ginjal kronik. Rencana terapi klinis berdasarkan nilai GFR harus memiliki
pengetahuan mengenai nilai normal GFR sesuai usia. Nilai normal GFR pada
perempuan 8% lebih rendah dibandingkan laki-laki. Rerata nilai GFR pada
dewasa muda usia 20-30 tahun adalah 120-130 mL/menit/1,73 m2. Nilai rerata
GFR menurun sesuai pertambahan usia, dengan rerata penurunan 1
mL/menit/1,73 m2 per tahun. 37 Pasien serial kasus ini dipilih pasien dengan jenis
kelamin perempuan dan rentang usia dewasa sehingga dapat dianggap bahwa
perbedaan penurunan nilai GFR yang terjadi pada pasien serial kasus tidak
dipengarui oleh perbedaan usia dan jenis kelamin.
Universitas Indonesia
tinggi atau rendah protein dan obat anti hipertensi (efek terhadap nilai GFR
bervariasi tergantung jenis obat antihipertensi).37
Asupan daging yang dimasak memiliki efek signifikan terhadap kadar
kreatinin serum dan GFR. Kapasitas ginjal untuk meningkatkan aliran darah ginjal
dan GFR setelah mengkonsumsi protein disebut dengan renal functional reserve.
Peningkatan GFR setelah diet tinggi protein berhubungan dengan peningkatan
kadar kreatinin serum dan peningkatan GFR postprandial. Protein hewani
memiliki efek terhadap GFR yang berbeda dibandingkan protein nabati.
Konsumsi protein hewani lebih menyebabkan peningkatan GFR dibandingkan
dengan protein nabati. Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa pasca diet
tinggi protein hewani, kadar valin, lisin, dan IGF-1 dalam plasma lebih tinggi
daripada setelah diet tinggi protein nabati, sedangkan hormon pertumbuhan dan
glukagon tidak berbeda signifikan. Vegetarian sehat secara statistik memiliki GFR
baseline lebih rendah, namun kemampuan meningkatkan GFR setelah diet tinggi
protein tetap ada. Hal ini berbeda pada pasien dengan jumlah nefron fungsional
menurun yang tidak memiliki renal functional reserve.39,40
Kerusakan struktur ginjal dapat diketahui dengan beberapa jenis
pemeriksaan penunjang. Pasien kasus pertama telah menjalani pemeriksaan USG
dengan hasil adanya peningkatan ekogenisitas kortek ginjal. Peningkatan
ekogenisitas korteks ginjal dapat menunjukkan adanya penyakit kistik ginjal.37
Pasien kasus kedua dilakukan pemeriksaan urinalisis lengkap dan didapatkan
adanya proteinuria. Pemeriksaan urinalisis lengkap telah disarankan untuk
dilakukan kepada keempat pasien, namun ternyata tidak semua pasien dilakukan
pemeriksaan tersebut. Proteinuria tidak hanya sebagai tanda kerusakan ginjal,
namun juga berpartisipasi sebagai faktor independen terhadap progresifitas
penyakit ginjal. Secara klinis, glomerular proteinuria adalah tanda yang paling
sering diobservasi dan berhubungan dengan anomali struktur dan fungsi
glomerular filtration barier (sel endotelial kapiler pada lapisan dalam, membran
basal seluler, dan sel epitel viseral pada lapisan luar). Namun, penelitian terkini
menunjukkan bahwa defek pada DNA mitokondria, beberapa faktor dalam
sirkulasi seperti angiotensin II, vascular endothelial growth factor (VEGF),
fibroblast growth factor 21 (FGF 21), jalur sinyal mammalian target of rapamycin
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
30-40% kadar AGEs serum. Pasien diabetes dan insufisiensi ginjal yang
melakukan diet restriksi asupan AGEs mengalami penurunan injuri jaringan yang
berhubungan dengan AGEs.44
Pasien kasus pertama dan ketiga didiagnosis sebagai cardiorenal anemia
syndrome, sedangkan pasien kedua dan keempat tidak terdapat diagnosis sindrom
kardiorenal oleh DPJP. Jika mengacu pada definisi mengenai sindrom
kardiorenal, keempat pasien dapat dimasukkan ke dalam sindrom kardiorenal
karena adanya gangguan kardiovaskular bersamaan dengan gangguan ginjal
meskipun tipe sindrom belum dapat ditentukan.4,5 Secara garis besar hubungan
antara gangguan jantung dan ginjal yang terjadi pada sindrom kardiorenal adalah
melalui mekanisme renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS), keseimbangan
antara nitric oxide (NO) dan reactive oxygen species (ROS), inflamasi, dan sistem
saraf simpatis.47 Sehingga, nutrisi yang memiliki efek sebagai antioksidan,
prekursor NO, dan antiinflamasi dapat berpengaruh terhadap gangguan jantung
dan ginjal pada keempat pasien ini.
Laki-laki:
BB= (0,98 x lingkar betis) + (1,16 x knee height) + (1,73 x LLA) + (0,37 x subscapular) - 81,69
Perempuan:
BB= (1,27 x lingkar betis) + (0,87 x knee height) + (0,98 x LLA) + (0,40 x subscapular) - 62,35
Rumus tersebut didapat dari hasil penelitian pada populasi usia lanjut di Amerika
sehingga aplikasi penggunaannya pada populasi lain tidak dianjurkan.48
Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian mengenai ukuran
Universitas Indonesia
4.1.4 Hiperuricemia
Hiperuricemia ditemukan pada pasien kasus kedua dan ketiga. Hiperuricemia
tidak hanya merupakan marker disfungsi ginjal, namun juga berperan dalam
progresifitas penyakit ginjal.50,51 Hiperuricemia didefinisikan sebagai akumulasi
asam urat serum melebihi batas kelarutan dalam air yang terjadi akibat produksi
asam urat berlebihan, under secretion, atau keduanya. Pada kondisi normal, dua
pertiga asam urat yang diproduksi dieliminasi melalui urin dan sepertiga sisanya
melalui sistem bilier. Urat difiltrasi oleh glomerulus dan direabsorpsi di sel
tubulus proksimal ginjal.52 Peningkatan kadar asam urat pada pasien PGK tidak
hanya disebabkan akibat insufisiensi fungsi ginjal namun juga disebabkan oleh
faktor lain seperti obesitas, sindrom metabolik, dan hipertensi.53 Diet tinggi
daging, gula (fruktosa), dan bir merupakan faktor risiko hiperuricemia.
Universitas Indonesia
4.1.5 Anemia
Sirkulasi darah bertujuan untuk memberikan oksigen ke jaringan dan organ.
Determinan suplai oksigen ke jaringan atau organ (arterial oxygen delivery/DO2)
adalah cardiac output (CO) dan arterial content in oxygen (CaO2). Komponen
CaO2 terdiri atas jumlah oksigen yang terikat pada hemoglobin (Hb) dan dissolved
oksigen yang tergantung pada tekanan parsial oksigen arterial (PaO2). Jumlah
oksigen yang terikat pada Hb tergantung pada konsentrasi Hb, afinitas Hb
terhadap O2, dan saturasi O2 (SaO2). Berdasarkan hal tersebut, jumlah oksigen
yang dibawa ke jaringan dapat dihitung menggunakan rumus:55
Universitas Indonesia
besi heme terdapat pada produk hewani terutama daging sapi, ikan, unggas, organ
dalam seperti hati, dan makanan yang telah difortifikasi.57 Pasien pada serial
kasus ini, pembatasan asupan protein mengakibatkan bahan makanan sumber zat
besi heme dari daging tidak dapat digunakan secara berlebihan. Hal ini
mengakibatkan perlunya pemilihan bahan makanan sumber zat besi heme lain,
seperti makanan yang telah difortifikasi (susu atau sereal).
4.1.6 Dislipidemia
Gangguan profil lipid ditemukan pada pasien kasus kedua dan ketiga,
dengan jenis yang berbeda. Pada kasus kedua, gangguan profil lipid yang didapat
adalah hipertrigliseridemia. Hipertrigliseridemia terjadi akibat peningkatan
produksi TG, berkurangnya katabolisme TG, atau keduanya. Bentuk TG yang
paling sering adalah hipertrigliseridemia yang terjadi akibat penambahan usia dan
BB, pola hidup sedentari, dan resistensi insulin. Hal ini menyebabkan
hipertrigliseridemia paling sering ditemukan pada pasien dengan sindroma
metabolik dan DM tipe 2.58 Peran hipertrigliseridemia sebagai faktor risiko
independen stroke masih dipertanyakan, meskipun didapatkan hubungan antara
peningkatan trigliseridemia dengan stroke iskemik berulang. Hipertrigliseridemia
adalah salah satu gambaran sindroma metabolik yang merupakan faktor risiko
aterosklerosis dan kondisi protrombotik yang berhubungan dengan peningkatan
risiko stroke.59 Hipertrigliseridemia yang terjadi pada pasien PGK dapat terjadi
karena penurunan clearence lipoprotein rich tryglyiceride akibat dari
berkurangnya aktivitas LPL dan lipase hepatik.58
Pasien ketiga mengalami hiperkolesterolemia. Telah diketahui bahwa kadar
kolesterol total meningkat saat menopause dengan distribusi partikel LDL
bergeser ke arah densitas partikel yang lebih rendah dan kolesterol LDL
cenderung meningkat. Kolesterol non HDL merupakan parameter yang baik
sebagai faktor risiko penyakit jantung kronik pada perempuan.
Produksi TG dan VLDL berhubungan dengan asupan karbohidrat terutama
glukosa, fuktosa, dan sukrosa. Glukosa makanan mengalami metabolisme menjadi
glycerol-3-phosphate di dalam hati yang akan bereaksi dengan fatty acyl CoA di
dalam jalur pembentukan TG. Ambilan fruktosa dari makanan terutama dilakukan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
iskemik dengan prognosis yang lebih buruk dibandingkan pasien non diabetik.
Risko terjadi stroke lebih tinggi pada perempuan diabetes dibandingkan laki-
laki.63 Mekanisme efek glukosa terhadap sistem kardiovaskular dapat secara
langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, hiperglikemia
memperburuk kondisi dislipidemia terutama yang bersifat aterogenik dan
disfungsi sistem saraf simpatis. Secara langsung, hiperglikemia dapat
menyebabkan disfungsi endotel yang selanjutnya mengakibatkan vasokonstriksi
serta berperan sebagai proinflamatori dan protrombotik dalam proses
pembentukan plak. Meskipun demikian, patofisiologi penyakit kardivaskular pada
DM belum dapat disimpulkan dengan lebih jelas karena masih terdapat penelitian
yang tidak menemukan adanya hubungan antara DM dengan stroke iskemik.64
Kondisi PGK juga diketahui berhubungan dengan kejadian stroke.
Shimizu dkk.65 melakukan penelitian kohort prospektif untuk mengetahui
hubungan antara PGK dengan risiko stroke pada subyek laki-laki dan perempuan
usia 40-69 tahun. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara PGK
dengan peningkatan risiko stroke hemoragik pada laki-laki dan stroke iskemik
pada perempuan. Jika berdasarkan referensi ini, maka hal ini sesuai dengan yang
terjadi pada pasien kedua yang mengalami SNH.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 4.2 Tujuan dan tata laksana nutrisi pasien selama perawatan di RS
Tujuan umum Upaya selama perawatan di RS
Mengendalikan Membatasi asupan KH sederhana
komorbiditas Membatasi asupan natrium
Perhitungan kalori dengan BB adjusted untuk obes
Tujuan edukasi saat pasien pulang dapat dilihat pada Tabel 4.3. Pasien
pertama, ketiga, dan keempat diberikan contoh menu dan cara pemilihan bahan
makanan, sedangkan pasien kedua diberikan contoh formula makanan cair
(Lampiran 9 dan 10).
Universitas Indonesia
Tabel 4.3 Tujuan dan edukasi untuk tata laksana nutrisi di rumah
Universitas Indonesia
Dari Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa keputusan penggunaan jenis BB yang
dilakukan pada awal assessement tidak berbeda jauh dengan kondisi BB aktual
saat pulang dari RS pada pasien pertama dan ketiga. Sedangkan pada pasien
keempat didapatkan bahwa BBA saat pulang dari RS >125% BBI, sehingga
keputusan menggunakan BB adjusted pada awal assessment sesuai dengan
rekomendasi. BB adjusted pada pasien keempat ini tidak berbeda jauh dengan
BBI pasien.
4.3.2.2 Komposisi nutrisi
Komposisi nutrisi yang diberikan pada keempat pasien ini berpedoman pada
beberapa rekomendasi yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan pasien,
sedangkan besarnya energi diberikan berdasarkan perhitungan KEB dan KET
(Tabel 4.5).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pasien mendapatkan jenis diet RS yang sama yaitu diet DM, jantung (DJ),
rendah protein (RP), dan rendah garam (RG). Paket diet ini ditulis dalam
preskripsi untuk memudahkan pengelola instalansi gizi dalam menyediakan
makanan pasien. Pada diet DM, jumlah dan bentuk makanan sama dengan diet
biasa, namun ditambah dengan 1 porsi serat (1 porsi sayur). Terdapat dua jenis
diet RP yaitu protein 30 g dan 40 g. Apabila pasien memerlukan diet yang
berbeda dengan dengan paket diet RP yang ada, maka kebutuhan tersebut dapat
disampaikan pada ahli gizi yang mengatur menu. Pada diet RG, DJ, DH, DL, cara
memasak lauk hewani dan nabati adalah dengan perebusan. Minyak hanya
digunakan untuk menumis bumbu saja sekitar 3 sendok makan untuk masakan
sebanyak ± 300 porsi. Pada diet RG, satu jenis sayuran tidak diberikan garam.
Pasien pertama juga diberikan nutritional support dalam bentuk makanan cair
(ONS), sedangkan pasien ketiga dan keempat tidak diberikan ONS. Pasien kedua
karena mengalami masalah penurunan kesadaran, maka pemberian nutrisi
diberikan secara enteral melalui nasogastric tube (NGT).
Perbandingan komposisi nutrisi yang diberikan selama perawatan dengan
rencana yang disusun berdasarkan guideline dapat dilihat pada Tabel 4.6. Hasil
analisis asupan menunjukkan bahwa pasien kasus pertama dengan status nutrisi
malnutrisi (berdasarkan IMT), KET yang dihitung dengan menggunakan rumus
Harris-Benedict dan faktor stres sama dengan perhitungan sesuai guideline jika
menggunakan BBe dibandingkan menggunakan BBI. Sedangkan pada ketiga
pasien lainnya yang memiliki status nutrisi obes atau dalam kondisi edema, KET
yang dihitung dengan menggunakan rumus Harris-Benedict dan faktor stres sesuai
dengan rekomendasi jika menggunakan BBI. Berdasarkan perhitungan tersebut,
maka pada pasien serial kasus ini perhitungan cepat kebutuhan kalori pada pasien
dengan tampilan klinis malnutrisi dapat menggunakan BBe, sedangkan pada
pasien dengan klinis edema anasarka dapat menggunakan BBI.
Komposisi makronutrien juga tidak sesuai dengan rencana. Jumlah lemak
lebih rendah sedangkan KH lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena tidak terdapat
preparat MUFA yang dapat ditambahkan ke dalam diet pasien. Preparat yang
tersedia adalah lemak jenis SAFA (minyak kelapa sawit dan lemak hewani).
Terdapat sediaan PUFA dalam bentuk kapsul minyak ikan, namun adanya
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
terdapat laktosa dengan jumlah kecil (90 mg/100 kkal). Meskipun jumlah laktosa
yang terdapat dalam Nutren Diabetes sangat kecil, perbaikan diare terjadi setelah
menggantinya dengan makanan cair RS tanpa susu. Makanan cair tanpa susu
diberikan agar dapat mengurangi diare, mempertahankan asupan protein rendah,
dan memberikan asupan serat pada pasien.
Pada ketiga pasien lainnya, nutrisi diberikan dalam bentuk makanan biasa
untuk pasien DM (nasi biasa DM/NBDM). Meskipun sudah diberikan tambahan 1
porsi sayuran, pasien ketiga dan keempat masih merasakan rasa lapar. Rasa lapar
pasien keempat dapat diatasi dengan penambahan 1 porsi buah pada malam hari
yang disediakan oleh keluarga. Pasien ketiga, rasa lapar dirasakan setiap saat
bahkan setelah makan porsi besar RS. Penambahan porsi buah sudah dilakukan
oleh keluarga, namun pasien tetap merasakan rasa lapar. Pemberian suplementasi
serat komersial dapat menjadi alternatif untuk mengatasi rasa lapar berlebihan
pada pasien kasus ketiga ini.
Berdasarkan guideline WHO tahun 2002, asupan karbohidrat dalam
bentuk gula yang dianjurkan adalah ≤10% dari kebutuhan total energi. Formulasi
draft guideline WHO tahun 2014 mengajukan pengurangan asupan gula di bawah
5% untuk kesehatan.74 Asupan gula sebanyak 5% pada pasien serial kasus setara
dengan 19 g (± 5 sendok teh/hari) pada pasien pertama, ketiga, dan keempat,
sedangkan pasien kedua 22,5 g (sekitar 6 sendok teh gula/hari). Jumlah ini harus
disampaikan kepada pasien pada saat pasien pulang. Aplikasi pembatasan asupan
gula ini adalah dengan menjelaskan bahwa asupan gula sebesar 5-6 sendok teh
hanya digunakan sebagai bumbu dalam memasak makanan, sehingga asupan gula
dari makanan lain seperti kue dan minuman kemasan harus dihindari.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Diet in Renal Disease Study menunjukkan bahwa restriksi protein yang terlalu
rendah justru memberikan dampak negatif. 76
Pemberian protein sebesar 0,8 g/kgBB ditentukan berdasarkan
rekomendasi KDOQI 2012. Pada asupan protein rendah, terjadi perubahan
metabolisme tubuh berupa berkurangnya oksidasi asam amino, penurunan
degradasi dan sintesis protein. Pasien PGK yang memiliki gangguan kemampuan
mengaktivasi mekanisme tersebut dapat mengakibatkan gangguan konservasi N
saat diberikan asupan rendah protein. Pasien pertama dan ketiga mengalami
peningkatan ureum kreatinin yang signifikan meskipun analisis asupan pasien
pertama mendapatkan bahwa selama perawatan, target protein sebesar 0,8
g/kgBBA hanya terpenuhi pada 2 hari terakhir perawatan. Hal ini menunjukkan
bahwa pada pasien pertama progresi PGK tidak dapat diperlambat dengan asupan
protein yang rendah. Pasien ketiga didapatkan peningkatan ureum dan kreatinin
dalam 19 hari perawatan dengan asupan protein sebesar 0,98 g/kgBB. Pasien
kedua dan keempat mengalami penurunan ureum dan peningkatan kreatinin.
Pasien kedua mengalami peningkatan kreatinin sebesar 0,2 point dalam 14 hari
perawatan dengan asupan protein dalam 8 hari terakhir sebanyak 0,8 g /kgBBI.
Pasien keempat mengalami peningkatan kreatinin 0,3 point dalam 8 hari
perawatan dengan asupan protein sebesar 0,87 g/kgBBI. Hal yang terjadi pada
keempat pasien mungkin menunjukkan bahwa efek asupan protein sangat
tergantung pada derajat PGK dan derajat penyakit komorbid yang ada.
Berdasarkan hal tersebut, maka pemberian asupan protein rendah harus
disertai dengan strategi terapi lain antara lain penambahan asam amino esensial
atau asam keto pada diet protein rendah, pemilihan bahan makanan yang dapat
menambah rasa makanan (palatable), strategi menghambat absorpsi komponen
makanan yang bersifat nefrotoksik, dan intervensi untuk mengkoreksi kondisi
defisiensi seperti hipokalemia atau asidosis metabolik. Beberapa komponen dalam
makanan dapat bersifat nefrotoksik pada PGK antara lain fosfor, indol, cresol,
phenol, dan AGEs yang merupakan produk dari katabolisme protein di intestinal.
Produk ini berhubungan dengan peningkatan stres oksidatif, inflamasi, dan
toksisitas vaskular. 76
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
tersebut, restriksi cairan dianggap dapat memperbaiki kadar natrium serum. Pada
kondisi udara yang panas atau kelembapan yang rendah, restriksi cairan harus
dipantau karena restriksi yang berlebihan dapat meningkatkan risiko terjadinya
heat stroke pada pasien gagal jantung.75
Pasien pertama, ketiga, dan keempat terdiagnosis CHF dengan manifestasi
klinis edema. Terapi DPJP berupa pemberian diuretik dan restriksi cairan untuk
mengurangi gejala edema. Tidak disebutkan besarnya restriksi cairan yang
diharapkan pada ketiga pasien tersebut, namun DPJP memiliki target balans
negatif per hari. Hal ini menyebabkan penetapan kebutuhan cairan pasien pada
pasien tidak dapat menggunakan rumus perhitungan kebutuhan biasa. Pemberian
cairan harus mempertimbangkan dosis furosemid, respon diuresis yang terjadi,
dan kadar elektrolit pasien. Pada pasien dengan target balans negatif, pemantauan
kondisi klinis dan balans cairan sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya
dehidrasi.
Suplementasi omega 3
Kondisi PGK dikatakan sebagai kondisi mikroinflamasi karena didapatkan
peningkatan marker inflamasi pada pasien PGK. Kondisi inflamasi ini dianggap
memegang peran penting terhadap risiko penyakit kardiovaskular pada pasien
PGK. Peningkatan inflamasi berkaitan dengan stres oksidatif dan akumulasi
produk AGE.79 Asam lemak diperlukan untuk sintesis membran sel serta
modifikasi protein dan KH. Komposisi asam lemak tersebut berbeda pada setiap
kondisi klinis.
Berdasarkan beberapa penelitian didapatkan bahwa suplementasi omega-3
berpengaruh terhadap komposisi asam lemak membran sel eritrosit pada pasien
penyakit kardiovaskular dan PGK.79 Omega-3 juga diketahui memiliki efek
terhadap metabolisme lipid, meningkatkan kadar vitamin D, dan mencegah
kalsifikasi vaskuler pada pasien PGK, meskipun masih diperlukan penelitian lebih
lanjut untuk mendapatkan mekanismenya yang lebih jelas.79 Zhu dkk.80
melakukan metaanalisis mengenai efek suplementasi minyak ikan pada profil
lipid pasien yang menjalani HD. Hasil penelitian mendapatkan bahwa
suplementasi minyak ikan dapat menurunkan kadar TG dan kolesterol total, serta
meningkatkan HDL tanpa berpengaruh terhadap kadar LDL. Pemberian minyak
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
terhadap nilai laboratoris seperti kadar TG tidak dapat dinilai karena belum
dilakukannya pemeriksaan kembali profil lipid.
Universitas Indonesia
Hal ini sesuai dengan berbagai rekomendasi yang ada, termasuk rekomendasi
TLC, AHA, DASH, dan lain-lain. Makanan yang dimasak dengan cara seperti
mengkukus dan merebus mengakibatkan kandungan AGEs dalam daging dapat
berkurang sebanyak ± 50%.84,85 Meskipun demikian belum terdapat kesimpulan
yang jelas, mengenai besarnya restriksi asupan AGEs yang direkomendasikan
terutama pada pasien dengan gagal ginjal. Review beberapa penelitian oleh
Kellow dan Savige mengenai efek restriksi asupan AGEs terhadap resistensi
insulin, stres oksidatif, dan disfungsi endotel menyimpulkan bahwa efek restriksi
AGEs jangka panjang masih perlu penelitian lebih lanjut. Meskipun masih banyak
terdapat kesenjangan pada penelitian mengenai efek restriksi AGEs, saran untuk
mengurangi asupan makanan yang dipanaskan dengan suhu tinggi perlu
dianjurkan pada pasien PGK.86
Keempat pasien telah mendapatkan preskripsi berupa diet rendah protein
sehingga asupan bahan makanan sumber AGEs dari hewani telah berkurang. Cara
pemasakan makanan RS untuk diet pasien jantung dan DM adalah dengan
perebusan. Namun, tidak diketahui derajat suhu selama pemasakan.
Pemberian vitamin
Pasien PGK sering mengalami penurunan asupan makan pada awal terjadinya
PGK. Menurunnya asupan makan dapat berpengaruh terhadap terjadinya
defisiensi nutrisi pada pasien PGK. Keempat pasien mendapatkan suplementasi
multivitamin berupa Elkana syrup yang mengandung vitamin D (Tabel 4.9 )
sebanyak satu kali 10 mL. Tidak terdapat rekomendasi mengenai pemberian
vitamin dan mineral pada pasien PGK, namun terdapat referensi yang
menganjurkan pemberian vitamin dan mineral untuk memenuhi kebutuhan
harian.24,87
Universitas Indonesia
Tabel 4.9 Perbandingan komposisi Elkana sirup dengan AKG 2013 (usia 50-64
tahun)
Nutrisi Elkana Pasien AKG 2013 Modern
(5 mL) Nutrition24
Vitamin A (IU) 2400 4800 500 mcg 1666 Tidak ada
IU penambahan
Vitamin B1(mg) 4 8 1 1,5 mg
Vitamin B2 (mg) 1,2 2,4 1,1 1,8
Vitamin B6 (mg) 1,2 2,4 1,5 5 mg
Vitamin B12 (mcg) 4 8 2,4 3
Vitamin C (mg) 60 120 75 70 mg
Vitamin D (IU) 400 800 20 mcg 800
IU
Nikotinamid (mg) 16 32 10 20 (Niacin)
Ca pantothenate (mg) 6 mg 12 -
Ca hypophosphite 20 mg 40 -
(mg)
Ca gluconate (mg) 300 mg 600 56 mg -
kalsium
elemental
Inositol (mg) 12 mg 24 -
L-Lysine HC (mg)l 200 mg 400 -
Na hypophosphite 20 mg 40 -
(mg)
Asam folat 1 mg 1 mg
Kalsium laktat 500 mg 65
mg kalsium
elemental
Kalsium (mg) 1000 mg 800 mg
Universitas Indonesia
Probiotik
Pada kondisi uremia, terjadi peningkatan kadar urea, kreatinin, dan metabolit
nitrogen lain yang mencapai intestinal dan menjadi subyek metabolisme mikroba.
Pasien uremia menunjukkan adanya peningkatan jumlah bakteri aerob dan
anaerob dalam duodenum dan yeyunum. Bakteria intestinal sangat berpengaruh
terhadap pembentukan toksin uremik seperti indoxyl sulphate dan p-cresol. Pada
pasien dengan kondisi uremia dapat terjadi gangguan barier intestinal. Konstipasi
yang sering ditemukan pada pasien uremia juga dapat menginduksi pertumbuhan
bakteri berlebihan yang selanjutnya dapat meningkatkan permeabilitas barier
intestinal sehingga terjadi translokasi bakteri. Strategi untuk menurunkan
permeabilitas intestinal dan mencegah translokasi bakteri pada pasien uremia
Universitas Indonesia
adalah dengan memberikan nutrisi yang dapat melindungi GI. Glutamin, arginin,
zinc, vitamin A, probiotik, dan prebiotik adalah beberapa jenis nutrisi yang
dianggap dapat melindungi GI. 93
Pemberian probiotik pada hewan coba (tikus) yang mengalami nefrektomi
menunjukkan adanya perbaikan kondisi azotemia.94 Penelitian pendahuluan
pemberian probiotik pada 13 pasien PGK derajat 3 dan 4 dengan desain penelitian
crossover, placebo-controlled selama 6 bulan (3 bulan menerima placebo, 3 bulan
menerima probiotik) bulan, mendapatkan hasil adanya perbedaan bermakna pada
perubahan kadar blood urea nitrogen (BUN) tanpa adanya komplikasi gangguan
GI dan infeksi.95 Penelitian kemudian dilakukan kembali pada 46 pasien PGK
derajat 3 dan 4 di empat negara (Amerika, Kanada, Nigeria, dan Argentina)
dengan metode penelitian yang sama. Hasil penelitian menunjukkan adanya
penurunan BUN, perbaikan kualitas hidup tanpa adanya kejadian yang tidak
diinginkan.96 Probiotik diberikan dalam bentuk kapsul sebanyak 3 x 2 kapsul (1,5
x 1010/kapsul, 9 x 1010/hari). Jenis probiotik dalam kapsul adalah L. acidophillus,
B. longum, S. thermophilus.96
Produk makanan yang mengandung strain probiotik terutama berasal dari
susu (dairy based) seperti susu fermentasi, keju, es krim, buttermilk, susu bubuk,
dan yogurt.97 Produk susu secara umum dianggap sebagai bahan makanan sumber
protein kualitas tinggi, kalsium, kalium, fosfor, magnesium, zinc, dan vitamin B.98
Pada pasien PGK asupan protein dan fosfor harus dibatasi. Rasio fosfor terhadap
protein (mg fosfor/g protein) digunakan untuk mengevaluasi kandungan fosfor
dalam makanan.Semakin rendah nilai rasio, semakin dapat dimasukkan ke dalam
rencana diet pasien PGK.99 Berdasarkan hal ini pemilihan probiotik dari produk
yang berasal dari susu, harus mempertimbangkan rasio fosfor terhadap protein.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Asetil salisilat
Efek asetil salisilat pada GI yaitu distres epigastrik, nausea, dan vomitus.
Hambatan terhadap prostaglandin dapat menginduksi perdarahan gaster.
Pemberian vitamin C dapat merupakan terapi tambahan terhadap pasien dengan
terapi aspirin jangka panjang. Konsumsi jangka panjang dapat mengakibatkan
injuri hepatik dengan gejala seperti nyeri kuadran kanan atas dan peningkatan
enzim hati. Efek terhadap ginjal dapat berupa retensi garam dan cairan serta
penurunan fungsi ginjal. Asupan garam dan cairan harus disesuaikan terutama
Universitas Indonesia
pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Dosis besar asetil salisilat dapat
mempengaruhi metabolisme karbohidrat, menginduksi hiperglikemia dan
glikosuria, serta menekan cadangan glikogen otot dan hati. Salisilat juga
menurunkan lipogenesis dengan cara mengganggu penggabungan asetat dengan
asam lemak, menghambat liposis sehingga meningkatkan uptake dan utilisasi asal
lemak bebas oleh otot dan hati.100
Simvastatin
Simvastatin merupakan obat golongan inhibitor hidroksimetilglutaril koenzim-A
(HMG-CoA) reductase. Reaksi reduktase HMG-KoA pada jalur sintesis
kolesterol merupakan reaksi mengawali jalur sintesis koenzim Q10 sehingga
inhibisi terhadap enzim ini dapat menghambat pembentukan koenzim Q10.
Metabolisme simvastatin mengalami perubahan apabila diminum bersama
dengan jus grapefruit. Jus Grapefruit menghambat enzim sitokrom P450 (CYP)
3A4 di mukosa GI dan hati sehingga meningkatkan absorpsi simvastatin.100
Omeprazole
Omeprazole adalah obat golongan proton pump inhibitors (PPI) untuk terapi
gastritis, refluks gastroesofageal, dan mencegah ulkus yang diinduksi non steroid
anti inflammation drugs (NSAID). Omeprazole tablet diformulasikan dalam
bentuk enteric-coated granules dan dianjurkan untuk diminum bersama dengan
cairan asam seperti jus aple atau orange. Omeprazole juga termasuk obat yang
dapat menyebabkan disgeusia.100,102
Pasien kasus kedua dan keempat diberikan terapi omeprazole dengan
tujuan untuk mencegah terjadinya ulkus yang dapat diinduksi oleh pemberian
asetil salisilat. Omeprazole diberikan secara intravena sehingga tidak terdapat
interaksi dengan nutrisi di gastrointestinal.
Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Berdasarkan tinjauan pustaka, pemaparan empat kasus PGK dan tata
laksana nutrisi yang diberikan serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Disfungsi ginjal berat pada pasien serial kasus ini ditemukan bersama dengan
penyakit kardiovaskular yang berhubungan dengan riwayat penyakit DM dan
HT sehingga dapat mengakibatkan sindrom kardiorenal. Hal ini dapat
menjadi petunjuk patofisiologi penyakit pada keempat pasien serial kasus
sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam menyusun preskripsi diet sesuai
kebutuhan pasien.
2. Preskripsi nutrisi pada pasien serial kasus ini dilakukan berdasarkan beberapa
guidelines dan referensi untuk PGK, CHF, DM, dan HT.
3. Tata laksana nutrisi yang dapat diberikan selama perawatan di RSUT adalah
berupa diet DM, diet jantung, diet rendah garam, dan rendah protein.
4. Tata laksana nutrisi yang baik pada pasien serial kasus ini harus
mempertimbangkan patofisiologi penyakit, kondisi klinis, status nutrisi, dan
terapi yang diberikan DPJP.
5. Terdapat kendala dalam pemberian tata laksana nutrisi pada keempat pasien
ini berupa tidak tersedia bahan makanan sumber MUFA, tidak dapat
melakukan modifikasi snack untuk pasien DM di luar paket menu yang telah
ditentukan, dan tidak diketahui jumlah garam yang terdapat dalam paket
makanan RG.
91 Universitas Indonesia
5.2 SARAN
5.2.1 Saran bagi mahasiswa program pendidikan dokter spesialis gizi
klinik
1. Pasien serial kasus sebaiknya memiliki derajat PGK yang sama untuk
melihat ada tidaknya perbedaan respon terhadap tata laksana nutrisi.
2. Perlu adanya kerjasama dengan DPJP agar pemeriksaan penunjang
yang diperlukan untuk melakukan evaluasi respon tata laksana nutrisi
dapat dilakukan.
5.2.2 Untuk RS penyelenggara pelayanan gizi
Evaluasi ketersediaan bahan makanan sumber yang dapat ditambahkan ke
dalam paket menu makanan RS perlu dilakukan agar pemberian nutrisi
dapat sesuai dengan kebutuhan setiap pasien.
5.2.3 Untuk Institusi
Perlu adanya kerjasama dengan DPJP secara formal dan penekanan topik
pembahasan serial kasus yang diharapkan agar pembahasan serial kasus
dapat lebih mendalam.
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
10. Carrero JJ, Stenvinkel P, Cuppari L, Ikizler TA, Zadeh KK, Kaysen G, Mitch
WE, et al. Etiology of the Protein-Energy Wasting Syndrome in Chronic
Kidney Disease: A Consensus Statement From the International Society of
Renal Nutrition and Metabolism (ISRNM). J Renal Nutr 2013; 23: 77-90.
13. Babitt JL, Lin HY. Mechanism of Anemia in CKD. J Am Soc Nephrol
2012;23: 1631-34.
14. Chen W, Abramowitz MK. Metabolic acidosis and the progression of chronic
kidney disease. BMC Nephrol 2014; 15: 55.
15. Gennari FJ, Segal AS. Hyperkalemia: an adaptive response in chronic renal
insufficiency. Kidney Int 2002;62: 1-9.
18. Juppner H. Phosphate and FGF-23. Kidney Int 2011; 79: S24–S27.
24. Kopple JD. Nutrition, diet, and the kidney. Dalam: Ross CA, Caballero B,
Cousins RJ, Tucker KL, Ziegler TR, editor. Modern nutritrion in health and
disease. Edisi ke-11. Lippincott Williams & Wilkins, 2014. Hal. 1330-71.
25. Ikizler TA. Dietary protein restriction in CKD: the debate continues. Am J
Kidney Dis 2009; 53: 189-91.
Universitas Indonesia
26. Klahr S, Levey AS, Beck GJ, Caggiula AW, Hunsicker L, Kusek JW, Striker
G. The effects of dietary protein restriction and blood-pressure control on the
progression of chronic renal disease. N Eng J Med 1994; 330: 877-84.
27. Levey AS, Greene T, Sarnak MJ, et al. Effect of dietary protein restriction on
the progression of kidney disease: long term follow-up of the Modification of
Diet in Renal Disease (MDRD) study. Am J Kidney Dis 2006; 48: 879-88. 32.
28. Menon V, Kopple JD, Wang X, Beck GJ, Collins AJ, Kusek JW, Greene T, et
al. Effect of a very low-protein diet on outcomes: long term follow up of the
modification of diet in renal disease (MDRD) study. Am J Kidney Dis 2009;
53: 208-17.
30. Fouque D, Laville M. Low protein diets for chronic kidney disease in non
diabetic adults. Cohcrane Database of Systematic Reviews 2009: Issue 3. Art.
No.: CD001892. DOI: 10.1002/14651858. CD001892.pub3.
31. Pan Y, Guo LL, Jin HM. Low protein diet for diabetic nephropathy: meta
analysis of randomized controlled trials. Am J Clin Nutr 2008; 88: 660-666.
34. National Kidney Foundation. Clinical practice guidelines and clinical practice
recommendations for diabetes and chronic kidney disease. Am J Kidney Dis
2007;49:S1-183.
36. Al-Badr W, Martin KJ. Vitamin D and Kidney disease. Clin J Am Soc
Nephrol 2008; 3: 1555-60.
39. Martin W, Armstrong LE, Rodriguez NR. Dietary protein intake and renal
function. Nutrition & Metabolism 2005; 2: 25.
40. Lohsiriwat S. Protein diet and estimated glomerular filtration rate. Open
Journal of Nephrology 2013;3:97-100.
42. Iqbal S, Alam A. Renal disease in diabetes mellitus: recent studies and
potential therapies. J Diabetes Metab 2013; S9: 006.
43. Campbell NRM, Gilbert RE, Leiter LA, Larochelle P, Tobe S, Chockalingam
A, Ward R, Morris D, et al. Hypertension in people with type 2 diabetes.
Update on pharmacologic management. Can Fam Physician 2011;57:997-
1002.
44. Goldin A, Beckman JA, Schmidt AM, Creager MA. Advanced glycation end
products: sparking the development of diabetic vascular injury. Circulation
2006;114: 597-605.
45. Ghanayem NM, Aziz WFA, El-ghobashi YAE, El-Shazly RMA, Wahb
AMSE. Endogenous secretory receptor of advanced glycated end products of
type II diabetis and hypertensive patients. Menoufia Medical Journal 2014;
27: 395-400.
46. Goh SY, Cooper ME. The role of advanced glycation end products in
progression and complication of diabetes. J Clin Endocrinol Metab 2008; 93:
1143-1152.
48. Gibson RS. Principles of Nutritional Assessment. Edisi ke-2. Oxford 2005.
Universitas Indonesia
52. Jalal DI, Chonchol M, Chen W, Targher G. Uric acid as target of therapy in
CKD. Am J Kidney Dis 2013; 61: 134-46.
53. Johnson RJ, Nakagawa T, Jalal D, Sánchez-Lozada LG, Kang DH, Ritz E.
Uric acid and chronic kidney disease: which is chasing which? Nephrol Dial
Transplant 2013; 28: 2221-8.
57. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. Advanced Nutrition and Human
Metabolism. Edisi ke-5. Wadsworth 2009.
61. Fried SK, Rao SP. Sugars, hypertriglyceridemia, and cardiovascular disease.
Am J Clin Nutr 2003; 78: 873S-80S.
64. Hewitt J, Guerra LC, Moreno MCF, Sierra C. Diabetes and stroke prevention:
a review. Stroke Research and Treatment 2012, Article ID 673187.
Universitas Indonesia
66. National Cholesterol Education Program National Heart, Lung, and Blood
Institute National Institutes of Health. Third Report of the National
Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult
Treatment Panel III)NCEP ATP III, 2001
68. National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI). What is the DASH
eating plan? http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/dash/
71. Thilly N. Low protein diet in chronic kidney disease: from questions of
effectiveness to those feasibility. Nephrol Dial Transplant 2013;0:1-3.
72. Kopple JD. Do low-protein diets retard the loss of kidney function in patients
with diabetic nephropathy? Am J Clin Nutr 2008; 88: 593-94.
73. Piccoli GB, Vigotti FN, Leone F, Capizzi I, Daidola G, Cabiddu G, Cabiddu
G et al. Low protein diets in CKD: how can we achieve them? A narrative,
pragmatic review. Clin Kidney J 2014; 0: 1-10.
74. WHO opens public consultation on draft sugars guideline. Diunduh dari:
www.who.int/mediacentre/news/notes/2014/...sugar-guideline/en/
Universitas Indonesia
76. Kovesdy CP. Traditional and Noverl Dietary Interventions for Preventing
Progression of Chronic Kidney Disease. J Renal Nutr 2013; 23: 241-45.
77. Salmean YA, Segal MS, Langkamp-Henken B, Canales MT, Ello GA, Dahl
WJ. Foods with added fiber lower serum creatinine levels in patients with
chronic kidney disease. J Renal Nutr 2013; 23: e29-32.
79. Lee ML, An WS. Cardioprotective effects of -3 PUFAs in chronic kidney
disease. BioMed Research International Volume 2013, Article ID 712949.
83. Evert AB, Boucher JL, Cypress M, Dunbar SA, Franz MJ, Mayer-Davis EJ,
Neumiller JJ, et al. Nutrition therapy recommendations for the management
of adults with diabetes. Diabetes Care 2013; 36: 3821-3842.
84. Uribarri J, Tuttle KR. Advanced glycation end products and nephrotoxicity of
high-protein diets. Clin J Am Soc Nephrol 2006; 1: 1293-99.
86. Kellow NJ, Savige GS. Dietary advanced glycation end product restriction for
the attenuation of insulin resistance, oxidative stress, and endothelial
dysfunction: a systemic review. Eur J Clin Nutr 2013; 67: 239-48.
87. Steiber AL, Kopple JD. Vitamin status and needs for people with stages 3-5
chronic kidney disease. J Ren Nutr 2011; 21: 355-68.
88. Griz LHM, Bandeira F, Gabbay MAL, Dib SA, Freese de Carvalho E.
Vitamin D and diabetes mellitus: an update 2013. Arq Bras Endocrinol
Metab 2014; 5B: 1-8.
Universitas Indonesia
89. Boxer RS, Kenny AM, Schmotzer BJ, Vest M, Fiutem JJ, Pina IL. A
randomized controlled trial of high-dose vitamin D3 in patients with heart
failure. J Am Coll Cardiol HF 2013; 1: 84-90.
92. Schwalfenberg GK. The alkaline diet: is there evidence that an alkaline pH
diet benefits health? Journal of Environmental and Public Health 2012,
Article ID 727630.
98. Adolfsson O, Meydani SN, Russell R. Yogurt and gut function. Am J Clin
Nutr 2004; 80: 245-56.
99. Stall S. Considering Greek yogurt for chronic kidney disease. J Ren Nutr
2012; 22: e57-e62
100. Poblete HM. Talucci RC. Cardiac drugs and nutritional status. Dalam:
Boullata JI, Armenti VT, editor. Handbook of Drug-Nutrient Interactions.
Humana Press 2004. Hal. 257- 270.
Universitas Indonesia
102. Gervasio JM. Drug-induced changes to nutritinal status. Dalam: Boullata JI,
Armenti VT, editor. Handbook of Drug-Nutrient Interactions. Humana Press
2004. Hal. 243-256.
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 1
PEMANTAUAN KASUS 1 Ny D
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tanda vital TD 120/70 mmHg, HR 70 x/mnt, RR 16 TD 140/80 mmHg, HR 88x/mnt, RR TD 120/80 mmHg, HR 90 x/mnt, RR 20
x/menit, suhu 36,6C 24x/mnt, Suhu 36,6 C x/menit, suhu 35,9C.
Pemeriksaan fisik
- Paru Ronkhi - Ronkhi ++ Ronkhi +
- Ekstremitas Edema + minimal, akral hangat Edema -
Analisis asupan E P L KH E P L KH E P L KH
(kkal) (g) (g) (g) (kkal) (g) (g) (g) (kkal) (g) (g) (g)
Nefrisol 400 8 9,6 75 Nefrisol 750 15 18 141 Nefrisol 1000 20 24 188
2x200 3x250 4x250
MCRS 400 20 9,6 60 MCRS 250 12,5 6 40 BB 300 6 - 69
2x200 1x250 sumsum
BB 150 3 - 34 Putih 20 5 - - Putih 20 5 - -
sumsum telur 1 telur 1
½p buah buah
Minyak 18 - 2 - Omega 18 - 2 - Omega 18 - 2 -
ikan 3 3
Total 968 31 21,2 (20 169 Total 1038 32,5 26 181 Total 1338 31 g 26 257
22 0,7 %) (67%) 23,8 0,75 (22,5%) (65% 30,7 0,7 17% 74 %
kkal/kg g/kgB kkal/k g/kgBB ) kkal/kg g/kg/
BBe B gBB (12,5%) BB) hr
(13%) Asam folat 1x1 mg 9%
Kalsium laktat 1x 500 mg Asam folat 1x1 mg
Asam folat 1x1 mg Kalsium laktat 1x 500 mg
Elkana syrup 1 x 10 mL
Kalsium laktat 1x 500 mg Elkana syrup 1 x 10 mL
Elkana syrup 1 x 10 mL
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
HASIL LABORATORIUM
LAMPIRAN 2
PEMANTAUAN KASUS 2 Ny S
Universitas Indonesia
Output:urin 1500 + IWL 1200=2700 mL Balans /24 jam: + 190ml/24 jam Balans /24 jam: ml/24 jam
Balans /24 jam: -1200 ml/24 jam Diuresis: 1 mL/kg BB/jam Diuresis: 0,87 mL/kg BB/jam
Diuresis:0,76 mL/kg BB/jam
IPD Lanjut sliding scale insulin
ASSESSMENT
Obes 2, hipermetabolisme sedang, CKD, pada stroke non hemoragik, DM tipe 2, hipertensi, hiperkolesterolemia
PLANNING
Hari ke-1 Hari ke-4 Hari ke-6
E P L KH Plan H4 E P L KH Plan H4 E P L KH
(kkal) (g) (g) (g) (kkal) (g) (g) (g) (kkal) (g) (g) (g)
Nefrisol 1560 30 36 282 Nefrisol 1560 30 36 282 Nefrisol 1560 30 36 282
5x300 5x300 5x300
Peptisol 300 16,8 3,6 50,4 Peptisol 300 16,8 3,6 50,4 Peptisol 300 16,8 3,6 50,4
1x300 1x300 1x300
Minyak 18 - 2 - Minyak 18 - 2 - Minyak 18 - 2 -
ikan ikan ikan
Total 1878 46,8 41,6 332,4 Total 1878 46,8 41,6 332,4 Total 1878 46,8 41,6 332,4
(23 (0,85 (20% (70%) (23 (0,85 (20% (70%) (23 (0,85 (20% (70%)
kkal/kg g/kgB ) kkal/kg g/kgB ) kkal/kg g/kgB )
BBadj, BI) BBadj, BI) BBadj, BI)
34 10% 34 10% 34 10%
kkal/kg kkal/kg kkal/kg
BBI) BBI) BBI)
Asam folat 1x1 mg Asam folat 1x1 mg Asam folat 1x1 mg
Elkana syrup 1 x 10 mL Elkana syrup 1 x 10 mL Elkana syrup 1 x 10 mL
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Balans cairan 24 jam Input: NGT 500 mL + obat + IV 1000= Input: NGT 2000 mL + IV 1000= 3000 Input: 3000 mL
terakhir 1500 Output:urin 2000 + IWL 810=2810 mL Output:urin 1500 + IWL 810=2310 mL
Output:urin 1500 + IWL 1200=2700 mL Balans /24 jam: + 190ml/24 jam Balans /24 jam: ml/24 jam
Balans /24 jam: -1200 ml/24 jam Diuresis: 1 mL/kg BB/jam Diuresis: 0,76 mL/kg BB/jam
Diuresis: 0,76mL/kg BB/jam
ASSESSMENT
Obes 2, hipermetabolisme sedang, CKD, pada stroke non hemoragik, DM tipe 2, hipertensi, hiperkolesterolemia
PLANNING
Plan E P L KH E P L KH
E kkal P L KH H11 (kkal) (g) (g) (g) (kkal) (g) (g) (g)
G g G Nefrisol 1200 24 28,8 230 Nefrisol 1200 24 28,8 230
Nefrisol 1248 24 28,8 230 4x300 4x300
4x300 TPS 566 31 18 69 TPS 566 31 18 69
Nutren 600 23 26,6 67,4 (tanpa (tanpa
diabetik telur) telur)
2x300 2x300 2x300
Minyak 18 - 2 - Minyak 18 - 2 - Minyak 18 - 2 -
ikan ikan ikan
Total 1866 47 57,4 297, 1784 55 46,8 299 1784 55 46,8 299
23 (0,85 (27% 4 22 1 (24% (64% 22 1 (24% (64%
kkal/k g/kgB ) (63% kkal/kg g/kgB ) ) kkal/kg g/kgB ) )
gBBad BI) ) BBadj B BBadj B
j 10% 32 (12%) 32 (12%)
34 kkal/kg kkal/kg
kkal/k BBI BBI
gBBI Asam folat 1x1 mg Asam folat 1x1 mg
Asam folat 1x1 mg Elkana syrup 1 x 10 mL Elkana syrup 1 x 10 mL
Elkana syrup 1 x 10 mL
Universitas Indonesia
HASIL LABORATORIUM Ny S
Universitas Indonesia
Hasil KGDH:
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 3
KASUS KE-3 Ny R
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
PLANNING
E P L KH E P L KH Edukasi
(kkal) (g) (g) (g) (kkal) (g) (g) (g)
NT DM 1500 30 35 266 NT DM 1500 30 35 266
1500 1500
Rp 30 Rp 30
Putih 20 5 Putih 20 5
telur telur
Minyak 18 - 2 - Minyak 18 - 2 -
ikan ikan
Total 1538 35 37 266 Total 1538 35 37 266
(32,7 (0,74) (22% (69% (32,7 (0,74) (22% (69%
kkal/k g/kgB ) ) kkal/k g/kgB ) )
gBBI) BI) 9% gBBI) BI) 9%
Elkana syrup 1x 10 mL, asam folat
1x1 mg, kalsium laktat 1x500 mg
Universitas Indonesia
HASIL LABORATORIUM Ny R
1/9/14 2/9/14 5/9/14 6/9/14 9/9/14 10/9/14 11/9/14 14/9/14 16/9/14 19/9/14 20/9/14 23/9/14 Nilai normal
Hb 13,6 11,1 10,1 9,3 9,9 12-16 g/dL
Leukosit 8,6 7,9 11,1 9,4 12,2 5-10 ribu/uL
Ht 39 34 30 29 30 37-47 %
Trombosit 164000 190000 265000 294000 349000 150-450 ribu/uL
PT 15,7 12,7 12-18 detik
Kontrol 13,4 12,3-17,7
14,1
INR 1,04 0,85
APTT 42,2 27-43 dtk
Kontrol 29,4-42,3
36,4
Fibrinogen 561 150-450 mgdL
D-dimer 1398 <500 mg/dL
CKMB <25 U/L
GDS <180 mg/dL
HbA1C 6,4 Baik 4-6
Sedang 6-8
Buruk>8
Protein 4,3 4,9 4,4 5,3 5,2 6,6-8,7 g/dL
Albumin 2,2 3 2,7 2,4 3,1 3,2 3,2-5,2 g/dL
Globulin 2,1 1,9 2 2,2 2 1,5-3 g/dL
TG 109 35-160 mgdL
Kol total 227 <200 mg/dL
HDL 43 >35 mg/dL
koletserol
LDL 162 < 140 mg/dL
kolesterol
Universitas Indonesia
1/9/14 2/9/14 5/9/14 6/9/14 9/9/14 10/9/14 11/9/14 14/9/14 16/9/14 19/9/14 20/9/14 23/9/14 Nilai normal
Asam urat 9,5 2,4-5,7 mg/dL
HbsAg Negatif Negatif
Anti HCV Negatif Negatif
Ureum 129 164 171 202 10-50 mg/dL
Kreatinin 2,9 4,4 4,8 5,2 <1,4 mg/dL
Na 142 147 143 137 136 134 137-150 mmol/L
K 4,7 4,3 4 3,7 3,73 4,02 3,5-5,5 mmol/L
Cl 107 108 104 99 97 99 99-111 mmol/L
Kalsium 9,6 9,4 8,1-10,4 mg/dL
Fosfor 4,7 2,5-4,8 mg/dL
anorganik
Magnesium 1,8 1,9 2,3 1,9-2,5 mg/dL
Hasil KGDH:
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 4
KASUS KE-4 Ny E
Tanda vital TD 150/90 mmHg, HR 90x/mnt, RR TD 140/90 mmHg, HR 92 x/mnt, RR 20 TD 140/80 mmHg, HR 84 x/mnt, RR 20
19x/mnt, Suhu 36,7 C x/menit, suhu C x/menit, suhu C
Pemeriksaan fisik
- Abdomen buncit, supel, BU+N, asites
- Ekstremitas Edema + + tungkai, akral hangat
Analisis asupan E P L KH E P L KH E P L KH
(kkal) (g) (g) (g) (kkal) (g) (g) (g) (kkal) (g) (g) (g)
NT DM 1500 30 37 240 NT DM 1500 30 37 240 NT DM 1500 30 37 240
1500 1500 1500
Rp 30 Rp 30 Rp 30
Putih 20 5 - - Putih 20 5 - - Putih 20 5 - -
telur telur telur
Buah 80 - - 20 Buah 80 - - 20 Buah 80 - - 20
Minyak 18 - 2 - Minyak 18 - 2 - Minyak 18 - 2 -
ikan ikan ikan
Total 1618 35 39 260 Total 1618 35 39 260 Total 1618 35 39 260
35 (0,76g/ (22% (69% 35 (0,76g/ (22% (69% 35 (0,76g/ (22% (69%
kkal.kg kgBBI) ) ) kkal.kg kgBBI) ) ) kkal.kg kgBBI) ) )
BBI 9% BBI 9% BBI 9%
Balans cairan 24 jam Input: 850 mL Input: oral 750 mL+obat 250 =1000 Input: oral 750 mL+obat200 =950
terakhir Output: urin 2100 mL +IWL 930=3030 Output:urin 2100 mL+ IWL 930=3030 Output:urin 3200 mL+ IWL 930=3930
Balans /24 jam: - 2180 ml/24 jam Balans /24 jam: -2030ml/24 jam Balans /24 jam: - 2980 ml/24 jam
Diuresis: 1,4 mL/kg BB/jam Diuresis: 1,4 mL/kg BB/jam Diuresis: 2,1 mL/kg BB/jam
Universitas Indonesia
Terapi DPJP Amlodipine 1x10 mg, Valsatran 1x80 mg, Amlodipine 1x10 mg, Valsatran 1x80 mg, Amlodipine 1x10 mg, Valsatran 1x80 mg,
lasix 2x2 amp, ascardia 1x80 mg, OMZ lasix drip 5mg/jam, ascardia 1x80 mg, lasix drip 5mg/jam, ascardia 1x80 mg,
1x20 mg, sliding scale 3 U, KSR 2x600 OMZ 1x20 mg, sliding scale 3 U, KSR OMZ 1x20 mg, Aldactone 1x100 mg
mg, konsul jantung 2x600 mg, KGDH Senin-Jumat, USG
abdomen, konsul jantung
Hasil konsul Dx CHF ec HHD, CKD. Saran: Lasix
drip 5 mg/jam, stop KSR, transfusi
PRC sd Hb> 10 g/dL
ASSESSMENT
Hipermetabolisme sedang, anemia pada Hipermetabolisme sedang, anemia pada Hipermetabolisme sedang, anemia pada
CHF, CKD st 3, DM tipe 2 CHF, CKD st 3, DM tipe 2 CHF, CKD st 3, DM tipe 2
PLANNING
E P L KH E P L KH E P L KH
(kkal) (g) (g) (g) (kkal) (g) (g) (g) (kkal) (g) (g) (g)
NT DM 1500 30 35 256 NT DM 1500 30 35 256 NT DM 1500 30 35 256
1500 1500 1500
Rp 30 Rp 30 Rp 30
Putel 20 5 - - Putel 20 5 - - Putel 20 5 - -
Minyak 18 - 2 - Minyak 18 - 2 - Minyak 18 - 2 -
ikan ikan ikan
Ekstra 50 - - 12,5 Ekstra 50 - - 12,5 Ekstra 50 - - 12,5
1x 1x 1x
sayur/.b sayur/.b sayur/.b
uah uah uah
Total 1588 35 37 268, Total 1588 35 37 268, Total 1588 35 37 268,
34,5 0,76g/k 21% 5 34,5 0,76g/k 21% 5 34,5 0,76g/k 21% 5
kkal/k gBBI (70% kkal/k gBBI (70% kkal/k gBBI (70%
gBBI 9% ) gBBI 9% ) gBBI 9% )
Universitas Indonesia
Tanda vital TD 150/90 mmHg, HR 90x/mnt, RR TD 150/90 mmHg, HR 92 x/mnt, RR 20 TD 140/90 mmHg, HR 80 x/mnt, RR 20
19x/mnt, Suhu 36,7 C x/menit, suhu 37 C x/menit, suhu 37C
Pemeriksaan fisik H5: LP 113; BB 77 kg H12: LP 106; BB: 60 kg
H9: LP 108;
- Abdomen buncit, supel, BU+N, asites Asites berkurang Asites minimal
- Ekstremitas Edema + tungkai, akral hangat Edema nampak berkurang mulai hari ke 5 Edema tungkai minimal
Analisis asupan E P L KH E P L KH E P L KH
(kkal) (g) (g) (g) (kkal) (g) (g) (g) (kkal) (g) (g) (g)
NT DM 1500 30 37 240 NT DM 1500 30 37 240 NT DM 1500 30 37 240
1500 1500 1500
Rp 30 Rp 30 Rp 30
Putih 20 5 - - Putih 20 5 - - Putih 20 5 - -
telur telur telur
Buah 80 - - 20 Buah 80 - - 20 Buah 80 - - 20
Minyak 18 - 2 - Minyak 18 - 2 - Minyak 18 - 2 -
ikan ikan ikan
Total 1618 35 39 260 Total 1618 35 39 260 Total 1618 35 39 260
35 (0,76g/ (22% (69% 35 (0,76g/ (22% (69% 35 (0,76g/ (22% (69%
kkal.kg kgBBI) ) ) kkal.kg kgBBI) ) ) kkal.kg kgBBI) ) )
BBI 9% BBI 9% BBI 9%
Balans cairan 24 jam Input: 500+250= 750 mL Input: oral 500 mL+obat200 =700 Input: oral 500 mL+obat200 =700
terakhir Output: urin 3000 mL +IWL 930=3930 Output:urin ± 2200 mL+ IWL 930=3130 Output:urin ± 2200 mL+ IWL 930=3130
Balans /24 jam: - 2180 ml/24 jam Balans /24 jam: -2430 ml/24 jam Balans /24 jam: -2430 ml/24 jam
Diuresis: 2mL/kg BB/jam Diuresis: 1,47 mL/kg BB/jam Diuresis: 1,47 mL/kg BB/jam
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
LAMPIRAN 5
ANALISIS ASUPAN KASUS 1
LAMPIRAN 6
ANALISIS ASUPAN PASIEN KASUS KEDUA
1. Analisis asupan sebelum sakit
==========================================================
Makanan Jumlah Energi KH
__________________________________________________________________
nasi putih 700 g 1264.8 kkal 278.6 g
ayam 400 g 1139.6 kkal 0.0 g
tahu goreng 150 g 173.2 kkal 3.8 g
tempe goreng 150 g 531.0 kkal 23.0 g
pisang goreng 100 g 158.0 kkal 17.5 g
risoles 100 g 246.9 kkal 33.3 g
sayur bayam jagung 200 g 74.1 kkal 16.6 g
Melon 200 g 76.5 kkal 16.6 g
LAMPIRAN 7
ANALISIS ASUPAN PASIEN KASUS KETIGA
LAMPIRAN 8
LAMPIRAN 9
CONTOH MENU
1. Pasien pertama
LAMPIRAN 10
Pemilihan bahan makanan yang dianjurkan pada pasien dengan PGK dengan
dislipidemia
Buah dan sayur Buah segar atau buah kaleng rendah Buah atau sayuran yang
natrium disajikan dengan cream
Makanan manis Gula, sirup, madu, selai, permen Permen terbuat dari coklat,
(direstriksi pada tanpa lemak krim, butter
diabetik & Sorbet, es buah rendah lemak atau Es krim
hipertrigliseridemia) tanpa lemak Biskuit, cake, cream, pie
Kue, pie dengan putih telur komersial
Donat komersial
Whipped cream
Sumber: daftar referensi no. 54.
LAMPIRAN 11
LAMPIRAN 12
LAMPIRAN 13
Riwayat pekerjaan :
Dokter UGD RS Sahid Sahirman Memorial
Hospital (2008-2012)
Dokter UGD RSU St. Antonius, Pontianak,
Kalimantan Barat (2006-2008)
Dokter PTT Puskesmas Perawatan Kubu,
Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat (2004-
2006)
Research and Scientific Officer PT Indocare Citra
Pacific (2003-2004)
Dokter jaga beberapa klinik di Jakarta (2002-
2003)