Anda di halaman 1dari 28

Referat

SIFILIS

Oleh
Mentari Faisal Putri, S.Ked
04054821719006

Pembimbing
dr. Sarah Diba, Sp.KK., FINSDV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat
SIFILIS

Oleh:
Mentari Faisal putri, S.Ked
04054821719006

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian Kepaniteraan
Klinik Senior di Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya/Rumah Sakit Umum Pusat dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 19 Februari
2018–25 Maret2018.

Palembang, Februari 2018

dr. Sarah Diba, Sp.KK., FINSDV

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi Allah, atas rahmat dan karunia-Nya, akhirnya referat yang
berjudul “Sifilis” ini dapat diselesaikan dengan baik. Referat ini ditujukan sebagai salah satu
syarat untuk mengikuti ujian kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Dermatolgi dan
Venereologi RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Sarah Diba, Sp.KK., FINSDVselaku
pembimbing dalam referat ini yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu saran
dan kritik yang membangun sangat diharapkan penulis demi kebaikan di masa yang akan
datang. Akhirnya, kepada Allah penulis memohon semoga buah karya sederhana ini ikhlas
karena-Nya, pernuh berkah, dan berguna bagi diri penulis. Serta semoga Allah melimpahkan
manfaat pada setiap orang yang membacanya.

Palembang, Februari 2018

Penulis

iii
SIFILIS
Mentari Faisal Putri, S.Ked
Pembimbing dr. Sarah Diba, Sp.KK., FINSDV
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang

PENDAHULUAN
Sifilis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum subspesies
pallidum. Sifilis biasanya ditularkan melalui hubunganseksual dan dapat juga ditularkan dengan
cara lain secara vertikal dari ibu kepada anak. Sifilis dapat menyebabkan gangguan serius pada
bayi baru lahir, khususnya yang mendapatkan infeksi tersebut sejak dalam kandungan.1
Sifilis juga dikenal sebagai lues, penyakit yang menular secara seksual, dan dikenal
sebagai “the great imitator”. Satu-satunya host penyakit ini adalah manusia. Treponema
pallidum masuk melalui kulit atau selaput lendir, yang kemudian akan menimbulkan
manifestasi klinis. Pada sifilis kongenital, Treponema melintasi plasenta dan menginfeksi janin.
Risiko tertular infeksi sifilis dari kontak seksual dengan pasangan yang terinfeksi dalam 30 hari

sebelumnya adalah antara 16% hingga 30%.2Sifilis dalam perjalanannya dibagi menjadi empat

stadium yaitu sifilis stadium primer, sekunder, laten, dan tersier. Sifilis juga dapat terjadi pada
anak-anak atau yang biasa disebut sifilis kongenital, yang diklasifikasikan menjadi sifilis

kongenital dini, lanjut, dan stigmata.1,2

WHO (World Health Organization) memperkirakan ada sekitar 340 juta kasus baru
infeksi menular seksual, yaitu sifilis, gonore, infeksi klamidia, dan trikomoniasis setiap tahun.
Namun, prevalensi sifilis sesungguhnya tidak diketahui, karena surveilans tidak memadai di
banyak negara, terutama di negara-negara miskin sumber daya, seperti sub-Sahara Afrika, Asia
Tenggara dan Amerika, dimana kesehatan seksualnya paling buruk.3
Prevalensi sifilis di Indonesia berdasarkan laporan Survey Terpadu dan Biologis Perilaku
(STBP) tahun 2015 Kementerian Kesehatan RI pada waria sebesar 17,39%, lelaki suka seks
dengan lelaki (LSL) sebesar 15,71%, wanita pekerja seks sebesar 6,49%, pria risiko tinggi
(seperti sopir truk, pelaut) sebesar 2,69%, narapidana sebesar 2,10%, dan pengguna napza

suntik sebesar 1,46%.4 Akhir-akhir ini, prevalensi sifilis primer dan sekunder semakin

meningkat, diiringi dengan meningkatnya hubungan seks antar sesama pria. Pada tahun 2011,
di Amerika Serikat dilaporkan terdapat 72% kasus sifilis terjadi pada pria yang melakukan
hubungan seks sesama pria. Di San Fransisco dan area urban lainnya juga mengalami

1
peningkatan kasus sifilis pada hubungan seks sesama pria, dimana dua pertiga diantaranya juga

terinfeksi HIV.5

Sifilis stadium 1 dan 2 dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia memiliki kompetensi
4A dimana semua lulusan dokter umum harus dapat mendiagnosis dan menatalaksana sampai
tuntas.6 Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui diagnosa dan tatalaksana sifilis
sehingga dapat bermanfaat pada praktik.

EPIDEMIOLOGI
WHO memperkirakan 12 juta kasus baru sifilis mayoritas terjadi di Afrika, Asia Selatan
dan Asia Tenggara, Amerika Latin, serta Caribbean.9 Sejak tahun 2001 angka kejadian sifilis
primer dan sekunder terus meningkat, dengan epidemik terjadi pada kasus hubungan seksual
sesama pria. Pada tahun 2011, dilaporkan di Amerika Serikat terdapat 13.970 kasus sifilis
primer dan sekunder, dan 72% diantaranya merupakan kasus hubungan seksual sesama pria.5
Pada tahun 2016, dilaporkan terdapat 27.814 kasus sifilis primer dan sekunder. Survey yang
dilakukan CDC selama tahun 2000-2016, angka kejadian sifilis meningkat khususnya pada pria,
terutama yang homoseksual, biseksual, dan melakukan hubungan seksual sesama pria (men sex
men). Pada tahun 2015-2016 angka kejadian sifilis meningkat 14,7% pada pria dan 35,7% pada
wanita.10
Perbandingan jumlah kasus Sifilis laki-laki dengan perempuan antara 2:1 sampai 3:1 dan
cenderung menyerang usia produktif yaitu sekitar 20-40 tahun. Angka kejadian sifilis di
Indonesia berdasarkan laporan Survey Terpadu dan Biologis Perilaku (STBP) tahun 2015
Kementrian Kesehatan RI khususnya pada kasus hubungan seksual sesama pria mengalami
peningkatan dibandingkan tahun 2011, yaitu sebesar 15,71%.4 Di kota-kota besar, salah satunya
Bandar Lampung jumlah kasus infeksi menular seksual termasuk sifilis pada tahun 2012 sebesar
3.153 kasus dengan penderita wanita sebanyak 2.942 kasus dan pria sebesar 419 kasus.10

ETIOPATOGENESIS
Treponema pallidum subspecies pallidum termasuk dalam famili bakteri berbentuk
spiral, Spirochaetaceae (spiroketa), dan berkaitan dengan treponema patogen lain yang
menyebabkan penyakit yang tergolong treponematosis endemik. T. pallidum merupakan
parasit obligat manusia, anggota famili Spirochaetaceae, berbentuk tipis atau pipih, memanjang
seperti kumparan.1 Bentuknya sebagai spiral teratur, dengan panjang sekitar 5-16µm dan
diameter 0,2-0,3 µm.9 Organisme ini tidak dapat dilihat dengan mikroskop cahaya biasa,

2
melainkan harus dengan miskroskop lapangan gelap (dark field illumination).1 Struktur T.
pallidum mirip dengan bakteri negatif-Gram klasik, dengan membran bagian dalam dan luar
serta ruang periplasmik, namun T. pallidum tidak mempunyai lipopolisakarida, yang
merupakan glikolipid proinflamasi kuat, serta tidak menghasilkan protein toksik apapun.
Dengan demikian, sebagian besar keluhan dan kerusakan dari jaringan pada sifilis terjadi akibat
respons imun dan inflamasi penjamu.1,12
Sifilis adalah penyakit kronis, yang ditandai oleh beberapa tahap perkembangan saat tidak
diobati. Perkembangan penyakit ini digolongkan menjadi tahap awal infeksi primer, sekunder,
laten dan tersier.9 Sekitar 35% penderita dengan sifilis laten yang tidak diobati berisiko lanjut
ke sifilis tahap tersier, yang ditandai dengan kardiovaskular, neurologis dan komplikasi
lainnya.9 Beberapa kekhawatiran terbesar berkaitan dengan infeksi T. pallidum termasuk
perubahan progresifitas penyakit pada orang yang terinfeksi HIV ke bentuk akselerasi yang
lebih ganas dan peningkatan risiko infeksi HIV dan sifilis.9 Selain itu, ada risiko infeksi bawaan,
yang dapat mengakibatkan berbagai manifestasi klinis pada anak yang lahir tersebut atau
bahkan dapat mengakibatkan kematian anak yang terlalu dini.9
Rute infeksi
Treponema pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaputlendir, yang
dapat terjadi selama hubungan seksual, secara transplasenta ke janin (sifilis kongenital), selama
transfusi darah atau selama transplantasi organ. Dua yang terakhir adalah rute infeksi yang
jarang. Rute transmisi seksual merupakan yang paling umum muncul pada sifilis stadium
primer dan sekunder serta bergantung pada kontak dengan lesi yang terbentuk pada tahap ini.9
Treponema pallidum masuk melalui selaput lendir yang utuh atau kulit yangmengalami
abrasi, menuju kelenjar limfe, kemudian masuk ke dalam pembuluh darah, dan diedarkan ke
seluruh tubuh. Setelah beredar beberapa jam melalui pembuluh darah, infeksi menjadi sistemik
walaupun tanda-tanda klinis dan serologis belum jelas. Sekitar tiga minggu (10-90 hari) setelah
terinfeksi, timbul lesi primer berupa chancre. Chancre muncul selama satu sampai lima
minggu, lalu akan menghilang. Enam minggu kemudian (dua minggu hingga enam bulan)
timbul erupsi seluruh tubuh pada sebagian kasus sifilis sekunder. Ruam sifilis sekunder ini juga
dapat muncul sebelum chancre menghilang. Ruam sifilis sekunder akan hilang sekitar dua
sampai enam minggu karena terjadi penyembuhan spontan. Kemudian perjalanan penyakit
menuju ke tingkat laten, dimana tidak dijumpai tanda-tanda klinis, kecuali hasil pemeriksaan
serologis yang reaktif.7
Perkiraan risiko infeksi sifilis adalah sekitar 30% per pertemuan seksual. Selama tahap
laten risiko penularan seksual rendah, meskipun T. pallidum ada dalam aliran darah selama

3
periode tersebut. Selama stadium laten, sifilis tidak menampilkan manifestasi klinis, namun
masih menimbulkan risiko infeksi bawaan pada ibu yang tidak diobati. Sifilis laten yang
menular hanya pada kasus yang kurang dari satu tahun (early laten), selanjutnya perjalanan
penyakit menuju sifilis late laten dan sifilis tersier.7,9 Gambar 1 menunjukan onset infeksi pada
tahap perkembangan sifilis.

Paparan

Inkubasi primer
10-90 hari dari paparan

Invasi SSP
Sifilis primer 25-60% Neurosifilis early
Terbentuk chancre

Inkubasi sekunder
4-10 minggu setelah
Timbulnya chancre
Rekurensi Simptomatik
(24%)
(5%)
Sifilis sekunder 10
Meningitis
Asimptomatik Neuritis Kranial
keterlibatan Okular
penyakit
Sifilis early laten Meningovaskular
(asimptomatik)
< 1 tahun setelah infeksi

Sifilis late laten


(asimptomatik)
> 1 tahun setelah infeksi

Sifilis tersier Sifilis tersier

Late Neurosifilis
Sifilis kardiovaskular Penyakit gummatous
(10%) (15%)
Onset 20-30 tahun Onset 1-46 tahun
Setelah infeksi Setelah infeksi

Gambar 1. Onset infeksi pada tiap tahap perkembangan Sifilis.15

4
MANIFESTASI KLINIS
Sifilis diklasifikasikan menjadi sifilis didapat (akuisita) dan sifilis kongenital. Sifilis
didapat dibagi menjadi empat stadium, yaitu primer, sekunder, laten, dan tersier. Sifilis tersier
dapat berlanjut menjadi sifilis kardiovaskular, neurosifilis, dan sifilis gummatosa. Sifilis
kongenital dibagi menjadi sifilis kongenital dini, lanjut, dan stigmata.1,2

SIFILIS PRIMER (SI)


Manifestasi klinis sifilis primer muncul pada minggu pertama hingga bulan ketiga (rata-
rata 21 hari) setelah terpapar infeksi dengan gejala berupa lesi yang tidak nyeri, chancre, dan
limfadenopati regional. Lesi dimulai dengan bentuk papul yang kemudian berkembang secara
cepat membentuk ulkus tanpa eksudatif dengan dasar bersih. Lesi primer biasanya ditemukan
pada genitalia eksterna, tetapi dapat juga ditemukan di area perineum, serviks, anus, rektum,

bibir, orofaring, dan tangan.5

Berdasarkan CDC surveillance case definitions, sifilis primer ditandai oleh adanya satu
atau lebih chancre.2Chancre berbentuk bulat atau oval dengan diameter ≤2 cm, dan tepi yang
berbatas tegas, reguler, meninggi, kenyal, tidak nyeri, dengan dasar bersih. Pada palpasi,
konsistensi chancre teraba seperti kartilago.2Chancre seperti ini disebut „Hunterian chancre‟
atau ulkus durum. Hunterian chancre ditemukan pada 60% kasus. Jika tidak diterapi, chancre
menetap selama 3-6 pekan. Dengan terapi, chancre hilang 1-2 pekan setelah terapi, dan sembuh
tanpa meninggalkan jaringan sikatrik.1
Predileksi chancre di regio genital tersering pada laki-laki adalah glanspenis, sulkus
koronaria, dan preputium. Jika dilakukan tarikan ke belakang(retraksi), chancre di preputium
akan berbalik kembali, disebut dory flop. Pada perempuan, chancre dapat ditemukan di serviks,
labia majora, labia minora, fourchette, dan uretra. Chancre pada perempuan umumnya memiliki
indurasiyang edematosa.1
Chancre atipikal juga biasa ditemukan. Infeksi spiroketa danmikroorganisme lain pada
saat bersamaan dapat menyebabkan chancre atipikal. Chancre campuran disebabkan oleh
infeksi Haemophilus ducreyi dan T. pallidum yang menghasilkan lesi berbeda dari chancroid
dan sifilis primer. Lesi tersebut memiliki karakteristik nyeri yang timbul beberapa hari setelah
paparan (karena masa inkubasi chancroid pendek), kemudian berubah menjadi lesi berindurasi
seperti pada sifilis (Gambar 2). Chancre phagedenic merupakan kombinasi dari chancre sifilis
dan bakteri kontaminatif yang dapat menyebabkan pengrusakan jaringan yang parah,
menghasilkan jaringan parut. Edema indurativum ditandai oleh edema pada labia atau

5
preputium dan glans penis yang menyertai chancre. Chancre redux merupakan chancre yang
kembali muncul akibat terapi yang tidak adekuat, diikuti oleh pembesaran kelenjar getah
bening. Pseudochancre redux adalah gumma yang muncul di lokasi yang sebelumnya
merupakan lokasi chancre. Pseudochancreredux tidak disertai pembesaran kelenjar getah

bening dan pemeriksaanmikroskop lapangan gelap memberi hasil negatif.2,17

A B C

Gambar 2. (A) Chancre yang baru tumbuh, (B) chancrepada sifilis stadium primer, (C) Chancre pada
perempuan, ulkus dilapisi fibrin dan kelupasan nekrotik di liang uretra1

SIFILIS SEKUNDER (SII)


Sifilis sekunder ditandai dengan lesi mukokutaneus yang terlokalisir atau difus, sindroma
seperti flu, dan dapat disertai dengan adenopati general. Penyebaran asimptomatik dari T.
pallidum ke seluruh organ timbul saat chancre sembuh, dan penyakit ini sembuh sekitar 75%
kasus. Lesi sifilis sekunder disebut “sifilid” atau “sifiloderm”. Lesi kutaneus akan diikuti
dengan gejala dari sindrom seperti flu (nyeri tenggorokan, sakit kepala, nyeri otot,
meningismus, dan hilangnya nafsu makan), dan limfadenopati general. Hepatosplenomegali
dapat ditemukan.6,17
Lesi sifilis sekunder timbul 3-12 pekan setelah timbulnya chancre. Pada 25% kasus, lesi
sifilis sekunder berkembang saat chancre masih ada. Rash hampir selalu ada sebagai salah satu
manifestasi sifilis sekunder walaupun bervariasi. Cincin skuama putih (white scaly ring) pada
permukaan lesi papulosquamous disebut ‘Biette’s collerate’, merupakan karakteristik sifilis
sekunder namun bukan pathognomonic sifilis (Gambar 3).1

A B

Gambar 3. (A) Erupsi papulosquamous syphiliticdengan plak eritem, berbatas tegas, datar (flattened) ditutupi
skuama (Biette’s colleratte). (B) Erupsi syphilitic likenoid dengan papul poligonal dari warna merah muda
hingga lembayung yang menyerupai lichen planus1

6
Manifestasi klinis lain adalah patchy nonscarring alopecia, ‘moth eaten’ atau diffuse
alopecia (Gambar 4A). Hilangnya 1/3 lateral alis mata dapat terjadi. Papul anular dan plak
dapat timbul di sekitar mulut dan hidung, jika bergerombol dinamakan ‘nickles and dimes’
(Gambar 4B). Papul dan plak kadang anular, kadang papulosquamous dapat juga timbul pada
penis dan skrotum (Gambar 4C). Mucous patches dapat timbul dimana saja pada rongga mulut,
split papules dengan erosi di tengahnya.

Gambar 4. (A) Alopesia‘moth-eaten’sifilis sekunder, lebih sering di daerah oksipital dan kadang
dapat mengenai alis mata, (B) Plak anular sifilis sekunder di wajah, ‘nickle and dimes’, (C). Papul sifilis
sekunder di penis.1

Manifestasi klinis lain adalah Mucous patches dapat timbul dimana saja pada rongga
mulut, split papules dengan erosi di tengahnya (Gambar 5A). Kondiloma lata timbul lembap
(moist), datar (flat), papul atau plak berbatas tegas dengan permukaan lebih basah (macerated)
dan erosi (eroded) di area intertriginosa, perempuan lebih sering di lipatan labia atau regio
perianal pada semua pasien (Gambar 5B dan 5C). Lembap (moist) di area intertriginosa dapat
menjadi predileksi kondiloma lata, termasuk axilla, sela jari kaki, dan lipatan bawah payudara
atau lipatan perut (abdominal panniculus). Mucous patches dan kondiloma lata dilaporkan 8%
dan 17% dengan sifilis sekunder.1

Gambar 5. (A) Split papule,mucous patchsifilis sekunder timbul di sudut mulut dengankararakteristik slit
transver di tengahnya, (B) Kondilomata lata timbul sebagai papul dan plak di area perianal, (C) Kondilomata
lata timbul lembap (moist), flat plaques di skrotum.1

7
Pasien sifilis sekunder memiliki manifestasi klinis sistemik meliputi sakit tenggorokan
(sore throat), malaise, sakit kepala, penurunan berat badan, demam, nyeri muskuloskeletal,
gangguan penglihatan, dan suara serak (horseness). Faringitis, tonsilitis, laringitis, uveitis,
gastritis, hepatitis, penyakit ginjal (membranous glomerulopathy), dan periostitis dilaporkan
terjadi pada pasiensifilis sekunder. Kelainan hematolologi juga dapat terjadi meliputi
limfopenia, anemia, dan peningkatan sedimen eritrosit.1
Selama tahap sifilis sekunder berlangsung, dapat terjadi invasi T. pallidum ke sistem saraf
pusat, yang asimtomatik dan bermanifestasi sebagai meningitis aseptik, dengan gejala berupa
sakit kepala, kaku kuduk, dan pleositosis limfositik pada cairan serebrospinal. Inflamasi
meningeal biasanya terjadi di basilar, yang menyebabkan abnormalitas pada nervus kranial
unilateral ataupun bilateral, khususnya n. II, III, VI, VII, dan VIII.5

SIFILIS LATEN
Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis, akan tetapi pemeriksaan
serologis reaktif. Dalam perjalanan penyakit sifilis selalu melalui tingkat laten, selama
bertahun-tahun atau seumur hidup. Akan tetapi bukan berarti penyakit akan berhenti pada
tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi sifilis lanjut, berbentuk gumma, kelainan susunan saraf
pusat dan kardiovaskular.1,7
Sifilis Early Laten
Tanpa pengobatan, manifestasi sifilis sekunder umumnya sembuh dalam beberapa minggu.
Penyakit ini kemudian memasuki fase laten, ditandai dengan berkurangnya gejala klinis sifilis
namun tes serologis positif. Studi observasional menunjukkan bahwa gejala klinis sifilis
sekunder dapat timbul lagi pada pasien yang tidak diobati sampai 5 tahun setelah terpapar
infeksi pertama kali, namun umumnya relaps ini terjadi selama tahun pertama. Oleh karena itu
sifilis earlylaten sering disebut sebagai periode asimtomatik selama tahun pertama setelah
infeksi sifilis awal. Diagnosa sifilis early laten dapat ditegakkan jika terdapat: (1) dokumen tes
serologis nonreaktif atau titer tes nontreponemal meningkat empat kali lipat atau lebih; (2)
gejala sifilis primer atau sekunder yang tidak khas; atau (3) pasangan seksual terbukti menderita
sifilis primer, sekunder, atau earlylaten.1,7
Sifilis Late Laten
Sifilis late laten merupakan stadium sifilis asimtomatik yang terjadi lebih dari satu tahun
setelah infeksi sifilis pertama kali. Sifilis stadium ini tidak infeksius (kecuali pada ibu hamil
yangmana dapat terjadi transmisi antara ibu dan bayi), dan membutuhkan terapi dalam jangka
waktu yang lebih lama daripada sifilis early laten.1,7

8
SIFILIS TERSIER (SIII)
Sifilis tersier terjadi pada sepertiga pasien yang tidak diobati, sekitar 20-40 tahun setelah
infeksi sifilis pertama kali. Sifilis tersier terbagi menjadi penyakit gummatous atau late benign
(15% pasien), kardiovaskular (10%), dan komplikasi neurologis (7%).12
Dua tipe lesi yang utama pada sifilis tersier yaitu nodular dan gumma. Lesi nodular
berupa nodul ulseratif, atau tipe tuberkular yang berwarna coklat kemerahan, berbatas tegas,
papula atau nodul berwarna tembaga, diameter 2 mm atau lebih besar.1 Lesi biasanya ditutupi
dengan skuama atau krusta. Lesi cenderung membentuk cincin dan mengalami involusi seiring
terbentuknya lesi baru diatasnya, menghasilkan pola melingkar atau serpigin yang khas.1 Tipe
yang khas adalah lesi berbentuk ginjal, yang biasanya terdapat pada area ekstensor lengan. Lesi
nodular terdiri atas nodul-nodul dengan berbagai stadium perkembangan, sehingga akan
tampak skar dan pigmentasi bersamaan dengan lesi ulserasi.1,17 Lesi nodular pada wajah tampak
sangat mirip dengan lupus vulgaris. Jika tidak diobati, lesi nodular akan bertahan selama
bertahun-tahun, dan perlahan menyebar ke seluruh area kulit. Nodul dapat membesar dan pecah
membentuk ulkus yang bulat, dasar yang halus dengan kedalaman beberapa milimeter, dan
tidak nyeri.1,17 Ulkus yang telah pecah ini akan membentuk suatu ulkus sifilitikserpiginous,
seukuran telapak tangan, dan dapat menetap selama bertahun-tahun.2 Sedangkan gumma
merupakan lesi nodular granulomatosa dengan nekrosis sentral, yang biasanya menyerang kulit
dan membran mukosa. Gumma adalah nodul atau plak dengan berbagai ukuran (diameter:
milimeter hingga sentimeter), berwarna kemerahan hingga dusky-red. Gumma biasanya
terdapat di scalp, dahi, bokong, area presternal, supraklavikula, dan pretibia (Gambar 6).
Seiring proses penyembuhan, dapat terbentuk lesi baru di perifer, membentuk perbatasan yang
bergerigi. Berbeda dengan lesi nodular, gumma terbentuk lebih dalam dan lebih destruktif.1,17

Gambar 6. Gambara gumma infiltrat pada glabella dan dahi dengan ulserasi yang menyebar wanita berusia 60
tahun.1

9
SIFILIS KARDIOVASKULAR
Sifilis kardiovaskular biasa terjadi 15-30 tahun setelah infeksi. Sifilis kardiovaskular
dapat menjadi komplikasi atau simtomatik hanya pada 10% pasien. Area yang paling sering
terkena adalah aorta ascending berupa dilatasi dan regurgitasi katup aorta. Sifilis stadium ini
dapat melibatkan ostia koronaria dan berkembang menjadi aneurisma saccular, namun hal ini
sangat jarang terjadi.11 Manifestasi klinis sifilis tersier dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Manifestasi Klinis Sifilis Tersier.3


Waktu setelah infeksi Tanda dan Gejala
Neurosifilis
Asimtomatik Early / Late CSF abnormal tanpa disetai tanda ataupun gejala klinis
Meningovaskular 2-7 tahun Arteritis fokal termasuk infark / inflamasi mengeal; tanda
tergantung area vaskular yang terlibat
Parenkimosa
- General paresis 10-20 tahun Hilangnya neuron kortikal, fungsi kognitif dan memori menurun
secara bertahap, emosi labil, perubahan kepribadian, psikosis dan
demensia
- Tabes dorsalis 15-25 tahun Inflamasi pada columna dorsal spinalis / nerve root, nyeri,
arefleksia, parestesia, ataxia sensoris, malperforan, atropi optik,
perubahan pupil (contoh: Argyll Robertson pupil)
Kardiovaskular 10-30 tahun Aortitis (biasanya aorta ascending), asimtomatik, nyeri substernal,
regurgitasi aorta, gagal jantung, stenosis koronaria, angina,
aneurisma
Gummatosa 1-46 tahun (rata-rata Lesi destruktif granulomatosa inflamatori. dapat terjadi di organ
15 tahun) manapun tetapi paling sering di tulang dan kulit

NEUROSIFILIS
Neurosifilis dibagi atas tiga jenis, tergantung pada tipe dan tingkat kerusakan susunan
saraf pusat yaitu asimtomatik, meningovaskular, dan parenkimatosa. Neurosifilis
parenkimatosa terdiri atas general paresis dan tabes dorsalis.7,12
Sifilis Meningovaskular biasanya terjadi 5 sampai 10 tahun setelah infeksi. Tanda dan
gejala kerusakan susunan saraf pusat berupa kerusakan pembuluh darah serebrum, infark dan
ensefalomalasia dengan tanda adanya fokus neurologis sesuai dengan ukuran dan lokasi lesi.
Dapat melibatkan gejala prodormal seperti nyeri kepala, emosi labil, dan insomnia.7,12
General Paresis terjadi 10 sampai 25 tahun setelah infeksi sekunder yang mengakibatkan
hilangnya neuron kortikal. Tanda-tanda dan gejala paresis sangat banyak, dan selalu
menunjukkan penyebaran kerusakan parenkimatosa. Gejala berupa mudah lupa dan perubahan
kepribadian yang kemudian menjadi demensia berat. Tahap lanjutnya dapat terjadi kejang dan
hemiparesis.7,12
Tabes dorsalis terjadi 15 hingga 25 tahun setelah infeksi. Tanda dan gejala pertama tabes
dorsalis akibat degenerasi kolumna posterior adalah parestesia, ataksia, arefleksia, gangguan
10
kandung kemih, impotensi, dan perasaan nyeri seperti dipotong-potong. Dapat juga ditemukan
gejala berupa abnormalitas pupil (Argyll-Robertson pupil).7,12

SIFILIS GUMMATOSA (LATE BENIGN)


Gummatosa merupakan klasifikasi sifilis yang paling jarang, berupa lesi destruktif di
kulit, jaringan ikat, dan tulang, organ viseral dan sistem saraf pusat. Walaupun bersifat
destruktif, lesi tersebut dapat membaik secara cepat jika diobati. Diagnosis banding sifilis
gummatosa adalah penyakit Hodgkin, fungoides mikosis, tuberkulosis, systemic lupus
erythematous, infeksi fungal, sarcoid, dan granuloma annulare.5

SIFILIS KONGENITAL
Dua pertiga bayi dengan sifilis kongenital biasanya asimtomatik saat lahir dan baru mulai
menampilkan gejala klinis setelah usia lima minggu.11
Sifilis Kongenital Dini
Tanda dan gejala khas sifilis kongenital dini muncul sebelum umur dua tahun. Kelainan
kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah bula bergerombol, simetris pada telapak
tangan dan kaki, kadang-kadang pada tempat lain di badan. Cairan bula mengandung banyak
T. pallidum. Bayi tampak sakit. Bentuk ini adakalanya disebut pemfigus sifilitika (Gambar 7).
Gejala klinisnya berupa rash, rinitis hemoragik (lendir berdarah), limfadenopati generalisata,
hepatosplenomegali, dan abnormalitas skeletal. Gejala klinis lainnya: kondilomata lata, lesi
vesikulobulosa, osteokondritis, periostitis, pesudoparalisis, patch mukosa, fisura perioral,
hemolisis dan trombositopenia.7,12

A B

Gambar 7. (A) Sifilis prenatal pada bayi baru lahir. Kulitnya kering dan keriput, dengan warna kecoklatan
kekuning-kuningan. Terdapat rinitis hemoragik, (B) erupsi bula pada telapak bayi yang baru lahir. Bula yang
pecah kemudian menjadi erosi (pemfigus sifilis).

Sifilis Kongenital Lanjut


Tanda dan gejala khas sifilis kongenital lanjut muncul setelah umur dua tahun. Tanda
khas stadium ini muncul dengan berlanjutnya perjalanan penyakit yang disebut stigmata, yaitu

11
parut permanen atau kelainan yang disebabkan keterlibatan sebelumnya. Sifilis kongenital
lanjut tidak menular. Tanda klinis sifilis kongenital lanjut berupa keratitis interstitialis, gigi
Hutchinson, molar Mullberry (kelainan pertumbuhan pada mahkota gigi), gangguan saraf pusat
N. VIII, protuberentia mandibula, dan adanya keterlibatan neurologis (disabilitas intelektual,
palsi nervus kranial).7,12

Stigmata Sifilis Kongenital


Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh serta meninggalkan parut dan kelainan
khas, yang merupakan stigmata sifilis kongenital, tetapi hanya sebagian penderita yang
menunjukkan gambaran tersebut. Stigmata sifilis kongenital terdiri dari stigmata lesi dini dan
lanjut.7,12 Gejala klinis stigmata lesi dini berupa saddle nose, gigi insisor Hutchinson, gigi
Mulberry, ragades, atrofi dan kelainan akibat peradangan, koroidoretinitis (membentuk daerah
parut putih dikelilingi pigmentasi pada retina).7,12Gejala klinis stigmata lesi lanjut berupa lesi
pada kornea berupa kekaburan kornea, lesi tulang berupa sabre tibia akibat osteoperiostitis,
atrofi optik tanpa iridoplegia, dan ketulian saraf.7,12

DIAGNOSIS
Diagnosis sifilis tergantung pada manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang.
Manifestasi klinis meliputi pemeriksaan klinis dan status dermatologikus, sedangkan
pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan darah rutin, deteksi T. pallidum, histopatologi,
dan serologi. Pemeriksaan darah rutin, meliputi hemoglobin, eritrosit, leukosit, trombosit,
differential count, dan laju endap darah. Pemeriksaan deteksi T. pallidum meliputi mikroskopi
lapang gelap dan tes antibodi floresensi direk. Tes serologi meliputi nontreponemal dan
treponemal.1,7

DIAGNOSIS BANDING
Sifilis Primer

Tabel 2. Diagnosis Banding Sifilis Primer.1


Infeksius Non Infeksius
1. Herpes simpleks 1. Erosi ulkus traumatik
2. Chancroid 2. Penyakit Behcet
3. Granuloma inguinale 3. Karsinoma sel skuamosa
4. Vaccina 4. Karsin oma sel basal
5. Limfogranuloma venereum 5. Erupsi Obat
6. Ulkus Apthous
7. Vulvitis candidal erosif atau balantis

12
Sifilis Sekunder
Manifestasi yang terjadi pada sifilis sekunder menyebabkan sifilis disebut sebagai “the
great imitator”. Diagnosis banding sifilis sekunder antara lain infeksi virus Epstein-Barr akut,
infeksi HIV akut, dan sindroma viral lainnya, kandidiasis oral, Rocky Mountain spotted fever,
meningococcemia, measles, infeksi coxsackievirus (hand-foot and mouth disease). Kondiloma
lata pada sifilis harus dibedakan dengan kondiloma akuminata yang disebabkan oleh HPV
(ukuran kecil, multipel, predileksi pada alat genital).5
Sifilis Tersier
Diagnosis banding sifilis tersier antara lain sporotrikosis, aktinomikosis, dan tuberkulosis
kutis gumosa. Guma pada SIII mirip dengan TB kutis gumosa, yang dapat dibedakan dengan
pemeriksaan histopatologik. Pada sporotrikosis berbentuk nodus yang sesuai dengan perjalanan
pembuluh getah bening, dan pada pembiakan akan ditemukan jamur penyebabnya.5

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan lapangan gelap dengan bahan pemeriksaan dari bagian dalam lesi untuk
menemukan Treponema pallidum, antara lain:
Pemeriksaan Lapangan Gelap (Dark Field)
Pada semua pasien dengan ulkus di genital yang bersifat akut, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan mikroskopi lapang gelap. Mikroskopi lapang gelap merupakan tes diagnostik
pilihan pada chancre dan lesi basah pada sifilis sekunder, khususnya kondilomata lata dan
mukosa. Tes ini tidak valid untuk lesi di daerah oral karena di dalam mulut biasa terdapat
spiroketa komensal yang tidak bisa dibedakan dengan T. pallidum.9
Ruam sifilis primer, dibersihkan dengan larutan NaCl 0,9%. Serum diperoleh dari bagian
dasar/dalam lesi dengan cara menekan lesi sehingga serum akan keluar. Diperiksa dengan
mikroskop lapangan gelap menggunakan minyak imersi. Pemeriksaan harus dilakukan
secepatnya sebelum apusan kering, sekitar 5- 20 menit. Sensitifitas pemeriksaan ini 74-79%. T.
pallidum berbentuk ramping, gerakan lambat, dan angulasi. 9
Tes direct fluorescent antibody (DFA)
Bahan apusan dari lesi dioleskan pada gelas objek, difiksasi dengan aseton, sediaan diberi
antibodi spesifik yang dilabel fluorescein, kemudian diperiksa dengan mikroskop fluoresensi.1
Treponema yang tampak kehijauan dengan latar belakang hitam pada mikroskop fluoresensi

13
bersifat spesifik untuk T. pallidum. Tes DFA memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskop lapangan gelap.7
Nucleic acid amplification test (NAAT) atau Polymerase chain reactin (PCR)
Terutama untuk lesi oral atau lesi lain yang kemungkinan terkontaminasi oleh
treponema lain yang bersifat komensal. spesimen dapat berasal dari jaringan, cairan
serebrospinal, atau darah. Tes PCR dapat mendeteksi DNA organisme dalam spesimen yang
kurang dari 10, dengan cara mengamplifikasi segmen gen spesifik yang berasal dari DNA T.
pallidum. 7
Pemeriksaan serologi
Tes serologi sifilis dipakai untuk diagnosis presumtif. Tes serologi untuk sifilis dapat
dibagi dalam dua jenis, yaitu tes nontreponemal atau tes reagin (contoh: reaksi Wasserman,
rapid plasma reagin/RPR, Veneral Disease ResearchLaboratory/VDRL, toluidine red
unheated serum test/TRUST) dan tes treponema (contoh: fluorescent treponemal antibody
absorption/FTA-Abs, T. pallidumhaemaglutination assay/TPHA, T. pallidum passive particle
aglutinationassay/TPPA, enzyme immunoassay/EIA, chemiluminescence, dan sebagian besar
rapid test yang tersedia secara komersial).7
Tes Non-treponema
Tes non treponema yang paling sering dilakukan adalah VDRL dan RPR. Tes
nontreponema dapat mendeteksi reagin (campuran antibodi IgM dan IgG dalam serum pasien
sifilis) yang mampu bereaksi dengan antigen kompleks (campuran kardiolipin, lesitin, dan
kolesterol) dalam tes. Tes ini bersifat non spesifik dan dapat menunjukkan hasil positif palsu
pada 0,2-0,8% pemeriksaan. Reaksi positif palsu akut (menetap dalam masa kurang dari 6
bulan) umumnya ditemukan pada penyakit infeksi lain, seperti malaria, hepatitis, cacar air, atau
cacar. Sebaliknya, reaksi positif palsu kronis (menetap lebih dari 6 bulan) dihubungkan dengan
penyakit jaringan ikat, keganasan, infeksi kronis lepra, penuaan, penyalahgunaan obat
intravena.7,14
Serum dengan reaksi positif palsu menunjukkan titer antibodi ≤ 1:4. Untuk kepastian,
harus dilanjutkan dengan tes treponema. Hasil tes negatif palsu sering dijumpai pada infeksi
fase dini atau lanjut dengan titer antibodi yang rendah. Terkadang, hasil tes negatif palsu dapat
ditemukan pada sifilis sekunder dengan titer sangat tinggi. Untuk mencegah kejadian ini, serum
pasien harus di encerkan hingga 1:16, bila diduga kuat sebagai sifilis.7
Tes VDRL dapat dilakukan pada cairan serebrospinalis, sedangkan Rapid Plasma Reagin
(RPR) untuk antibodi antikardiolipin dalam serum. Kadar antibodi ditunjukkan oleh
pengenceran tertinggi yang memberi hasil tes positif pada serum atau cairan serebrospinalis.

14
Secara umum, tingginya kadar antibodi RPR berkaitan dengan aktivitas infeksi sifilis. Tes
nontreponema akan reaktif dalam 10-15 hari sesudah terbentuknya lesi primer (sekitar 6 minggu
setelah infeksi). Tanpa pengobatan, puncak titer dicapai dalam 1 sampai 2 tahun sesudah
infeksi, dan tetap positif dengan titer rendah pada stadium sangat lanjut.7
Tes Treponema
Tes treponema adalah tes serologi sifilis yang mendeteksi antibodi terhadap
T. pallidum. Pada tes ini digunakan antigen berupa T. pallidum. Dibanding tes nontreponemal,
tes ini lebih sulit dilakukan namun memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang lebih tinggi. Tes
treponema dapat mendeteksi antibodi spesifik terhadap T. pallidum namun tidak dapat
membedakan antara sifilis dengan treponematosis lain, karena struktur antigen semua patogen
tersebut hampir sama. Sangat jarang terjadi hasil positif palsu. Sensitivitas berkisar antara 96-
99%. Tes ini tidak dapat digunakan untuk evaluasi terapi karena dapat menetap seumur hidup
meskipun terapi berhasil.2,7
Tes ini digolongkan menjadi 4 kelompok, yaitu tes imobilisasi: T.
pallidumimmobilization test (TPI); tes fiksasi komplemen: reiter protein complementfixation
test (RPCF); tes imunofluoresen: fluorescent treponemal antibodyabsorption test (FTA-Abs),
ada dua: IgM, IgG; fluorescent treponemal antibodyabsorption double staining (FTA-Abs DS);
dan tes hemoglutisasi: T. pallidumhaemoglutination assay (TPHA), solid-phase hemabsorption
assay (19S IgM SPHA), hemagglutination treponemal test for syphilis (HATTS),
microhemagglutination assay for antibodies to T. pallidum (MHA-TP).8
Fluorescent treponemal antibody absorption test (FTA-Abs) adalah tes yang paling
sensitif untuk sifilis primer, reaktif 3 pekan setelah infeksi, namun penggunaannya tidak
sepopuler MHA-TP, karena MHA-TP lebih praktis dan lebih murah.8
Treponema pallidum immobilization test (TPI) merupakan tes yang paling spesifik, tetapi
biayanya mahal dan tidak praktis. Reaksi terbilang lambat, hasil positif baru ditemukan pada
akhir stadium primer. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil terapi. Hasil dapat
negatif pada sifilis dini dan sangat lanjut.8
Reiter protein complement fixation test (RPCF) sering digunakan untuk skrining karena
biayanya murah. Terkadang ditemukan hasil positif semu.8
Treponema pallidum haemoglutination assay (TPHA) dianjurkan karena teknis dan
pembacaan hasilnya mudah, cukup spesifik dan sensitif, serta memberi hasil reaktif dalam
waktu yang cukup dini. Kekurangannya tidak dapat menilai hasil terapi karena tetap reaktif
dalam waktu lama.8

15
Solid-phase hemabsorption assay (SPHA) secara teknis lebih mudah daripada FTAabs
IgM. Tujuan tes ini adalah untuk mendeteksi IgM yang spesifik tehadap T.pallidum secara
cepat. Tes ini memegang peranan penting dalam membantu diagnosis neurosifilis.8
Tes treponema yang dianggap sebagai baku emas adalah FTA-Abs, dengan sensitivitas
terbesar, terutama pada sifilis dini. Spesifisitas FTA-Abs juga tinggi, sehingga hampir tidak
pernah negatif bila tes nontreponema hasilnya reaktif. Secara umum, FTA-Abs sangat sensitif
untuk semua stadium sifilis, namun evaluasi fluoresen bersifat subjektif, kadang-kadang rumit
sehingga tidak cocok untuk skrining namun cocok sebagai tes konfirmasi. Namun, tes
treponema yang paling sering dipakai adalah TPHA dan TPPA. Kedua tes mudah dan praktis
dilakukan, terutama bila spesimen berjumlah banyak.7
Jika hasil RPR reaktif dan TPHA reaktif dan tidak ada riwayat terapi sifilis dalam 3 bulan
terakhir, maka perlu diberikan terapi sesuai stadium. a. Titer RPR ≤ 1:4 (1:2 atau 1:4) dapat
diinterpretasikan dan diterapi sebagai sifilis laten lanjut b. Titer ≥ 1:8 dapat diinterpretasikan
dan diterapi sebagai sifilis aktif dan diterapi. Tiga bulan setelah terapi, evaluasi titer RPR. a.
Jika titer RPR turun 2 tahap (misal dari 1:64 menjadi 1:16) atau lebih, terapi dianggap berhasil.
Ulangi evaluasi tiap tiga bulan sekali di tahun pertama dan 6 bulan di tahun kedua, untuk
mendeteksi infeksi baru. b. Jika titer tidak turun dua tahap, lakukan evaluasi kemungkinan re-
infeksi, atau sifilis laten.7 Tabel 3. menunjukan interpretasi hasil tes serologis sifilis dan
tindakan.

Tabel 3.Interpretasi Hasil Tes Serologis Sifilis dan Tindakan.15


RPR TPHA Titer RPR dan Riwayat Interpretasi Tindakan
Negatif Tidak Tidak dikerjakan - Ulangi tes 3 bulan lagi
perlu
Positif Negatif Tidak dikerjakan Positif palsu Ulangi tes 3 bulan lagi
Positif Posiif Terdapat riwayat terapi sifilis dalam 3 Masa evaluasi Tidak perlu terapi,
bulan terakhir, berapa pun titernya terapi ulangi tes 3 bulan lagi
Tidak ada riwayat terapi dalam 1:2 atau Sifilis laten Terapi sebagai sifilis
3 bulan terakhir 1:4 lanjut laten lanjut. Evaluasi
3 bulan kemudian
> 1:8 Sifilis aktif / Terapi sebagai sifilis
dini dini. Evaluasi 3 bulan
kemudian
Positif Positif Bandingkan dengan titer 3 Jika turun --> Tidak perlu terapi.
atau bulan yang lalu terapi berhasil Observasi dan
negatif evaluasi 6 bulan
kemudian

16
TATALAKSANA
Umum
KIE: Pada umumnya pasien infeksi menular seksual (khususnya sifilis), membutuhkan
penjelasan tentang penyakit, jenis obat yang digunakan, dan pesanpesan lain yang bersifat
umum. Penjelasan dokter diharapkan dapat mendorong pasien untuk mennuntaskan pengobatan
dengan benar, dalam memberikan penjelasan, dokter atau perawat sebaiknya menggunakan
bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti oleh pasien, dan bila perlu dapat digunakan
istilahistilah setempat. Beberapa KIE yang perlu disampaikan antara lain:13
a) mengobati sendiri cukup berbahaya
b) IMS umumnya ditularkan melalui hubungan seksual
c) IMS adalah ko-faktor atau faktor risiko dalam penularan HIV
d) IMS harus diobati secara paripurna dan tuntas
e) Kondom dapat melindungi diri dari penyakit IMS dan HIV
f) Tidak dikenal adanya pencegahan primer terhadap IMS dengan obat
g) Komplikasi IMS dapat membahayakan pasien
Edukasi lain yang dapat diberikan yaitu menjelaskan pilihan perilaku seksual yang aman
dengan cara ABCD:13
A: Abstinence (tidak melakukan hubungan seksual untuk sementara waktu)
B: Be Faithful (setia pada pasangan)
C: Condom (gunakan kondom bila tidak melaksanakan A dan B, termasuk menggunakan
kondom sebelum IMS yang dideritanya sembuh)
D: no Drugs (tidak menggunakan obat psikotropik dan zat adiktif lainya)
Selain itu, juga dapat diberikan edukasi untuk mengganti hubungan seksusal penetratif
berisiko tinggi (hubungan seksual anal maupun vaginal yang tidak terlindung) dengan
hubungan seksual non-penetratif berisiko rendah.13 Perilaku berisiko tinggi adalah perilaku
yang menyebabkan seseorang terpapar dengan darah, semen, cairan vagina yang tercemar
kuman penyebab IMS atau HIV. Yakinkan pasien bahwa mereka telah terinfeksi melalui
hubungan seksual tak terlindung dengan pasangan yang terinfeksi dan bahwa tidak ada
penyebab lainnya.14
Terapi terhadap pasangan seksual dilakukan jika paparan terjadi dalam 90 hari sebelum
pasangan seks didiagnosis sifilis dini (primer, sekunder, laten dini), meski dengan serologis
negatif dan paparan terjadi lebih dari 90 hari sebelum pasangan seks didiagnosis sifilis dini
(primer, sekunder, laten dini), jika fasilitas tes serologi tidak ada. Terapi terhadap pasangan

17
seksual didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis dan serologi. Jika hasil serologi negatif, terapi
seperti sifilis dini, dengan penisilin benzatin G intramuskular dosis tunggal.2,16

Pasangan seksual pasien menderita


sifilis primer, sekunder ataupun laten

Pemeriksaan Klinis
Positif
Pemeriksaan darah untuk Sifilis

Negatif

> 90 hari Pengobatan


Kontak seksual
terakhir? < 90 hari Pengobatan tidak
diindikasikan
Gambar 6. Alur Tatalaksana terhadap Pasangan Seksual. 15

Khusus
Sifilis yang kurang dari 1 tahun (primer, sekunder, laten dini) dapat diterapi dengan
injeksi penisilin benzatin G 2,4 juta unit secara intramuskular, dosis tunggal. Pada penderita
dengan alergi penisilin, dapat diberikan tetrasiklin 4x500 mg/hari peroral atau doksisiklin
2x100mg/hari peroral selama 2 pekan. Seftriakson 1g intramuskular atau intravena selama 8-
10 hari, atau azitromisin 2 gram peroral dosis tunggal dapat menjadi alternatif.2,16
Pengobatan yang di anjurkan oleh Pedoman Nasional Tatalaksana Infeksi Menular
Seksual 2015 yang dikeluarkan oleh kementrian kesehatan RI adalah sebagai berikut :

1. Sifilis primer dan sekunder


a. Benzatin penisilin G dosis total 2,4 juta unit, IM.
b. Alternatif:
- Penisilin prokain 600.000 unit, IM, selama 10-14 hari
- Doksisiklin 2 x 100 mg/hari, per oral, selama 30 hari (tidak boleh untuk
wanita hamil, menyusui dan anak kurang dari 12 tahun)
- Seftriakson 500 mg s/d 1 g / hari. injeksi subkutan atau intravena selama 10
hari
c. Untuk bayi dan anak anak:

18
- Benzatin penisilin G 50.000 unit/KgBB, IM, dosis maksimum sama dengan
dosis dewasa
d. Untuk perempuan hamil:
- Obat pilihan hanya benzatin penisilin G. bila terjadi alergi penisilin harus
dilakukan desentisisasi dan diterapi dengan penisilin
2. Sifilis laten (didapat >1 tahun sebelumnya atau tidak diketahui)
a. Benzatin penisilin G dosis total 7,2 juta unit, IM, 3x 2,4 dengan jarak minggu.
b. Alternatif:
- Penisilin prokain 600.000 unit IM, selama 17-21 hari.
- Doksisiklin 2 x 100 mg/hari per oral selama >30 hari.
c. Untuk bayi dan anak-anak:
- Benzatin penisilin G 50.000 unit/kgBB dosis maksimum sama dengan dosis
dewasa 2,4 juta unit, IM, 3 kali berturut turut, dengan jarak 1 minggu (total
150.000 unit/kgBB dengan dosis maksimum sama dengan dewasa total sebesar
7,2 juta unit)
d. Untuk perempuan hamil:
- Obat pilihan hanya benzatin penisilin G. bila terjadi alergi penisilin harus
dilakukan desentisisasi dan diterapi dengan penisilin
3. Terapi pada neurosifilis
a. Penisilin G kristal dalam akua dengan dosis 18-24 juta unit perhari, diberikan
secara intravena atau dalam bentuk invus 3-4 juta unit setiap 4 jam, untuk 10
hari.
b. alternatif: pensilin G prokain 2,4 juta unit, IM sekali sehari ditambahkan dengan
probeneid 500 mg per oral 4 kali sehari, untuk 10-14 hari.
4. Terapi sifilis kongenital untuk neonatus umur < 30 hari
a. Penisilin G kristal dalam akua dengan dosis 100.000-150.000 unit/kgBB/hari
diberikan sebagai 50.000 unit /kg/ dosis intravena setiap 12 jam dalam usis 7
hari pertama, dan sesudah itu diberikan setiap 8 jam dengan total pengobatan
selama 10 hari.
b. Alternatif: pensilin G prokain 50.000 unit/kg/dosis secara intramuskular dalam
bentuk dosis tunggal harian selama 10 hari.
c. Bila lebih dari 1 hari tidak di suntik, seluruh terapi harus diulang secara penuh.

19
Tabel 4.Penatalaksanaan sifilis.
Klasifikasi Terapi anjuran Alternatif terapi Alternatif terapi pada alergi
sifilis penisilin
Hamil Tidak hamil

Early latent Dewasa : Benzatin Prokain benzilpenisilin, Eritromisin 500 Dosisiklin 100 mg
syphilis (sifilis penisilin G 2,4 juta IU 600.000 IU per hari IM mg oral (4 kali (2 kali sehari) oral
stadium dini), IM dosis tunggal (setiap hari selama 10- sehari selama selama 14 hari atau
sifilis primer, 14 hari berturut-turut) 14 hari). Tetrasiklin 500 mg
sifilis Bayi dan anak: Benzatin oral (4 kali sehari)
sekunder penisilin G 50.000 IU selama 14 hari.
IM (maksimum 2,4 juta
IU), dosis tunggal

Late latent Benzatin penisilin G 2,4 Prokain benzilpenisilin Eritromisisn doksisiklin 100 mg
syphilis (sifilis juta IU (total 7,2 juta 600.000 IU per hari IM 500 mg oral (4 oral (2 kali sehari ),
stadium IU) IM, (Sekali satu (setiap hari selama 17- kali sehari atau Tetrasiklin
lanjut) pekan selama 3 pekan 21 hari berturut turut selama 30 hari) 500 mg (4 kali
berturut turut di hari ke sehari) selama 30
1, 8 dan 15) hari

Kondisi klinis pasien perlu dinilai kembali dan diupayakan untuk kemungkinan
terjadinya reinfeksi dalam periode tahun pertama sesudah pengobatan. Pasien sifilis yang telah
mendapatkan pengobatan benzatin penisilin G dengan dosis dan cara yang adekuat, harus di
evaluasi kembali secara klins dan serologis di bulan 1, 3, 6, dan 12.7,18 Terapi dianggap berhasil
bila titer tes serologi nontreponema menurun hingga 4 kali lipat dalam 6-12 bulan sesudah
terapi. Kasus yang mengalami kambuh serologik atau klinis diberi terapi ulang dengan dosis
dua kali lebih banyak. Terapi ulang juga untuk kasus seroresisten yang tidak terjadi penurunan
titer serologik setelah 6-12 bulan terapi. Pada pasien sifilis laten lanjut dilakukan terapi selama
2 tahun.18

PROGNOSIS
Morbiditas sifilis bergantung pada berat ringannya gejala dan stadium sifilis yang dialami
pasien. Sifilis laten yang bertahan bertahun-tahun dapat meningkatkan morbiditas sifilis tersier
yang kemudian dapat mengakibatkan kematian jika tidak diobati. Angka morbiditas sifilis terus
meningkat seiring meningkatnya kasus AIDS, karena sifilis adalah salah satu kofaktor untuk
penularan HIV secara seksual. Selain itu, pasien yang tidak diobati yang seropositif HIV
memiliki risiko lebih besar untuk mengalami perkembangan atau kambuhan gejala awal
neurosifilis hingga 2 tahun setelah pengobatan dengan penisilin intramuskular atau intravena.13
Data dari suatu studi retrospektif dan dua studi prospektif pada “Sifilis yangTidak Diobati
pada Pria Negro” menunjukkan bahwa sekitar sepertiga pasien yang tidak diobati akan
mengalami komplikasi lanjut, yaitu 10% berkembang menjadi sifilis kardiovaskular, 6%,

20
neurosifilis, dan 16% menjadi sifilis gummatosa. Angka kematian pada umumnya lebih tinggi
pada pasien yang mengalami komplikasi tersebut, dan komplikasi lebih sering terjadi pada pria
daripada wanita.13
Untuk pasien yang didiagnosis dengan sifilis primer atau sekunder (tanpa gangguan
pendengaran/neurologis/okular), prognosisnya baik setelah perawatan yang tepat. T. pallidum
sangat responsif terhadap penisilin, dan penyembuhannya dapat terjadi dengan baik. Sedangkan
pada pasien dengan sifilis tersier, prognosisnya kurang baik. Dua puluh persen pasien dengan
sifilis tersier yang tidak diobati dapat berakibat kematian. Namun, dengan perawatan yang
memadai, 90% pasien neurosifilis memiliki respon klinis yang baik. Prognosis keseluruhan
untuk sifilis tersier tergantung pada tingkat jaringan parut dan kerusakan jaringan, karena
pengobatan menahan kerusakan dan pembengkakan lebih lanjut namun tidak dapat
mengembalikan kerusakan jaringan sebelumnya. Sebagai contoh, prognosis sifilis
kardiovaskular buruk, sedangkan prognosis sifilis gummatosa baik jika segera diatasi dengan
penisilin dosis tinggi.13
Sifilis kongenital adalah akibat yang paling serius dari sifilis pada wanita. Proporsi bayi
untuk menderita sifilis dengan ibu sifilis sekunder yang tidak diobati lebih tinggi dibandingkan
dengan ibu yang menderita sifilis early laten yang tidak diobati. T. pallidum tidak menyerang
jaringan plasenta atau janin sampai bulan kelima masa gestasi sehingga sifilis dapat
menyebabkan late aborsi, lahir mati, atau kematian segera setelah melahirkan lebih dari 40%
pada ibu dengan sifilis yang tidak diobati. Kematian neonatal biasanya terjadi akibat perdarahan
paru, superinfeksi bakteri, atau hepatitis fulminan. Pada pasien yang hamil dan menderita sifilis
stadium primer, kemungkinan ibu untuk melahirkan anak yang tidak terinfeksi sifilis cukup
baik (dengan asumsi ibunya dirawat dengan tepat).13

KOMPLIKASI
Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish-Herxheimer. Reaksi
Jarisch-Herxheimer adalah sindroma klinis bersifat self-limited yang terdiri dari demam, sakit
kepala, flare lesi mukokutan, limfadenopati, faringitis, malaise, myalgia, dan eukositosis.
Reaksi Jarisch-Herxheimer terjadi dalam waktu 12 jam setelah terapi dan sembuh dalam waktu
24-36 jam, demam memuncak 6-8 jam setelah onset, biasanya sekitar 39°C (102,2°F), namun
bisa mencapai 42°C (107,6°F). Tanda-tanda Reaksi Jarish-Herxheimer antara lain (1) terjadi
kenaikan suhu tubuh yang disertai menggigil dan berkeringat; (2) lesi bertambah jelas, misalnya
lesi sifilis lebih merah; (3) perubahan fisiologis yang khas termasuk vasokonstriksi dan
hiperventilasi dan kenaikan tekanan darah dan output jantung.1,7

21
Pada pasien hamil, reaksi Jarisch-Herxheimer dapat menyebabkan kontraksi prematur
atau gerakan janin menghilang dan pasien harus segera dievaluasi. Namun, risiko reaksi
merugikan tidak melebihi manfaat penggunaan penisilin benzathine untuk pengobatan sifilis
ibu dan pencegahan sifilis kongenital. Tidak ada kasus reaksi merugikan yang serius terhadap
benzathine penisilin pada ibu hamil yang dilaporkan dan pada populasi umum kejadiannya
sangat rendah. 7

RINGKASAN
Sifilis merupakan penyakit sistemik yang disebabkan oleh Treponema
pallidum. Sifilis paling sering ditularkan melalui hubungan seksual. Treponema pallidum
subspesies pallidum merupakan penyebab sifilis. Sifilis dalam perjalanannya dibagi menjadi
empat stadium yaitu sifilis stadium primer, sekunder, laten, dan tersier. Pada sifilis primer,
gejala klinis berupa chancre dan limfadenopati. Pada sifilis sekunder, lesi yang timbul
bervariasi meliputi rashmaculopapular rash, moth eaten, dan kondiloma lata disertai
manifestasi klinis sistemik meliputi sakit tenggorokan (sore throat), malaise, sakit kepala,
penurunan berat badan, demam, nyeri muskuloskeletal, gangguan penglihatan, dan suara serak
(horseness). Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa deteksi T. pallidum,
pemeriksaan histopatologi, dan tes serologi. Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada sifilis
primer dan sekunder adalah benzatin penisilin G 2,4 juta unit intramuskular, dosis tunggal. Pada
alergi penisilin diberi tetrasiklin 4x500 mg/hari/oral atau doksisiklin 2x100mg/hari/oral selama
2 pekan. Morbiditas sifilis bergantung pada berat ringannya gejala dan stadium sifilis yang
dialami pasien. Sifilis laten yang bertahan bertahun-tahun dapat meningkatkan morbiditas sifilis
tersier yang kemudian dapat mengakibatkan kematian jika tidak diobati.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Katz KA. Syphilis. In: Goldsmith LA, Katz IS, Gilchrest BA, Paller AS, Lefell DJ, Wolff
K, editors. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 8th ed. Amerika: The McGraw-
Hill Companies, 2012; p. 2471-92.
2. James WD, Berger, TG, Elston DM. Syphilis. Andrew's disease of the skin. 12th ed.
Philadelphia: Elsevier, 2016; p. 343-55.
3. Kinghorn GR. Syphilis and Bacterial Sexually Transmitted Infections. In: Grifith E.
Baker J, Bleiker T, Chalmers R, Creamer D, editors. Rook's Textbook of Dermatology.
8th ed. Massachusetts: Blackwell Publishing, 2010; p. 1571-94.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Survei Terpadu Biologis dan Perilaku
(STBP) 2015. Kementrian kesehatan RI dirjen PP dan PL. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI, 2015; p. 1-72.
5. Cohen SE, Klausner JD, Engelman J, philip S. Syphilis in the modern era: an update for
physicians. Infect Dis Clin. 2013; 27(4):705-22.
6. Rasmin M, Soebono H, Sukarya WS, Yuniadi Y, Soemitro D, Idris F, Toyibi M, Rahardjo
S. Standar kompetensi dokter indonesia. 2nd ed. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia,
2012; p. 54-6.
7. Indriatmi W. Sifilis. in: Daili SF, Nilasari H, Indriatmi W, Zubier F, Romawi R, Pudjiati
RS. Infeksi menular seksual. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2017; p. 103-29.
8. Nyatsanza F, Tipple C. Syphilis: Presentations in general medicine. Clin Med.
2016;16(2):184-8.
9. Jesus MBD, Ehlers MM, Dreyer AW, Kock MM. Mini-review: Syphilis. Formatex. 2013.
p. 1787-98.
10. Sexually Transmitted Disease Treatment Guidelines. Syphilis. Centers for Disease
Control and Prevention. 2015. p. 1-5.
11. Suryani DP, Sibero HT. Syphilis. JMajority. 2014;3(7):7-16.
12. Kingston M, French P, Higgins S, McQuillan O, Sukthankar A, Stott C, McBrien B, et
al. UK national guidelines on the management of syphilis 2015. Int J STD. 2015; 27:1-
26.
13. Chandrasekar PH. Syphilis. Medscape Review. 2017. p. 1-9.
14. Departemen Kesehatan RI. Pedoman nasional penanganan infeksi menular seksual.
Kementrian Kesehatan RI Dirjen PP dan PL. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2011;
p. 61-65.

23
15. Ho EL, Lukehart SA. Syphilis: Using modern approaches to understand an old disease. J
Clin Investig. 2011;121(12):1-21.
16. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). Panduan
praktik klinis bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di indonesia. 2017. p. 372-374.
17. Sparling PF, Swartz MN, Musher DM, Healy BP. Clinical Manifestations of Syphilis. In
Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wasserheit J, Corey L, Cohen MS, Watts
DH editors. Sexually transmitted diseases. 4th ed. New York: McGraw Medical, 2008;
p. 661–684.
18. Djuanda A, Natahusada CE. Sifilis. in: Djuanda A, Hamzan M, Aisah S, editors. Ilmu
penyakit kulit dan kelamin. 6th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2011; p. 392-411.

24
DISKUSI
13 Maret 2018
Pembimbing: dr. Sarah Diba, Sp.KK., FINSDV
Penyaji: Mentari faisal putri

1. Moganashini
Apa kriteria sembuh pada pasien sifilif ?
Pasien dikatakan sembuh jika secara klinis lesi sudah tidak ada, pembesaran KGB regional
ataupun generalisata tidak ada, dan secara pemeriksaan serologi non treponema didapatkan
titer negatif atau < 1:8.

2. Evlyn
Bagaimana jika terjadi reaksi Jarish Herxheimer ?
Reaksi jarish herxheimer terjadi pada 50-80% pada pasien sifilis, dan akan hilang dalam
waktu 24-36 jam setelah injeksi benzatin penisilin G. Tidak perlu menghentikan terapi jika
terjadi reaksi ini terjadi pada pasien sifilis, kecuali jika membahayakan jiwa seperti edema
glotis.

3. Aulia
Bagaimana mekanisme terjadi sifilis kardiovaskular ?
Treponema pallidum akan masuk secara hematogen dan dapat menginfasi lapisan endotel
aorta, sehingga merusak lapisan tunika intima aorta. Akibatnya dapat terjadi aortritis dan
aneurisma aorta dan menyebabkan iskemi pada otot jantung.

4. Ihsan
Kenapa chancre pada stadium 1 dapat hilang tanpa diterapi ?
Treponema pallidum pada chancre akan masuk secara hematogen dan limfogen menuju
kelenjar getah bening dan bermultiplikasi. Akibatnya, treponema pallidum pada chancre
akan berpindah dan lambat laun akan hilang sehingga chancre menjadi sembuh tanpa
diterapi.

25

Anda mungkin juga menyukai