Anda di halaman 1dari 194

BAB I

PENDAHULUAN

Mata kuliah ini bertujuan untuk menyediakan atau memperkenalkan dasar-dasar

studi dan analisis tentang politik luar negeri (foreign policy), yang merupakan bidang

aktivitas pemerintahan yang menekankan pada hubungan antar negara dan aktor-aktor

lainnya, khususnya dengan negara-negara lain dalam system internasional. Penekanan

utama dalam hal ini diberikan pada perkenalan beberapa konsep dan ide-ide dasar yang

berhubungan dengan politik luar negeri dan secara garis besar membahas masalah-

masalah yang berhubungan dengan analisis politik luar negeri.

Hal ini diawali dengan saran bahwa politik luar negeri itu sendiri merupakan

sesuatu yang penting, sehingga kemudian pengembangan pemahaman terhadap perilaku

politik luar negeri menjadi sebuah aktivitas yang penting juga. Menganalisa perilaku -

dalam hal ini politik luar negeri- sebuah negara, menghadirkan / berhadapan dengan

sejumlah tantangan intelektual yang sangat luas, mulai dari pendefinisian istilah-istilah

sampai pada masalah-masalah metodologi yang lebih fundamental. Usaha-usaha untuk

memecahkan berbagai masalah itu membawa para analis atau ilmuwan untuk

mengadopsi sejumlah pendekatan dan penyederhanaan terhadap asumsi-asumsi

konvensional tentang perilaku. Asumsi-asumsi ini secara kolektif dihasilkan dari

Pendekatan Tradisional yang sangat berpengaruh. Sejak tahun 1950-an, asumsi-asumsi

tradisional mendominasi kajian politik luar negeri melalui decision making approach.

Untuk mengetahui penyebab terbentuknya politik luar negeri atau berusaha untuk

menemukan penjelasan mengenai proses pembuatan politik luar negeri dan akibat-

akibatnya, berarti berusaha untuk berteori. Dalam teori hubungan internasional

mensyaratkan adanya suatu penataan fenomena nasional dan internasional dengan cara

yang memungkinkan kita untuk mengidentifikasi berbagai sebab dan efek yang mungkin,

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 1


dan untuk menerangkan, menjelaskan dan meramalkan fenomena tersebut pada tingkat

kemungkinan yang agak akseptabel.

Para penstudi politik luar negeri dengan demikian, bisa dibagi dalam dua

kelompok yaitu: yang pro teori dan yang non-teori.1 Para penstudi yang berorientasi teori

lebih suka berbicara melalui abstraksi-abstraksi dan generalisasi untuk

mengklasifikasikan, membandingkan dan mengevaluasi politik luar negeri negara-negara,

dan untuk mencari sebab-sebab munculnya fenomena politik luar negeri. Di lain fihak,

para penstudi yang berorientasi non-teori tidak memiliki kesabaran terhadap generalisasi.

Mereka menemukan bahwa kehidupan riil ini terlalu kompleks untuk dikategorikan secara

abstrak, dan mereka pada umumnya menganggap isu-isu dan politik sebagai entitas yang

unik yang tunduk pada hukum dan dinamikanya sendiri.

Untuk menelaah aneka macam “sebab-sebab utama” yang mungkin ada dalam

pembetukan politik luar negeri, kita dapat menganggap bahwa Keputusan politik luar

negeri sebagai “variable terikat (dependent variable), dan semua faktor yang

mempengaruhi Keputusan tersebut dianggap sebagai “variable bebas” (independent

variable)2 .

A. Alasan-alasan mempelajari Analisis Politik Luar Negeri:

1. Penstudi Hubungan Internasional (HI) maupun kalangan praktisi mempunyai

kepentingan dan keinginan untuk mengerti apa yang terjadi dalam dunia

internasional.

1
Theodore A. Couloumbis & James Wolfe, 1999, Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power,
Bandung: Abardin
2 Variabel, sebagai lawan Konstanta, adalah kuantitas atau pengukuran (misalnya populasi, dentitas,

temperatur, inflasi, pengangguran, tipe pemerintahan dll) yang mempunyai kapasitas atau tendensi untuk
berubah menurut waktu. Yang dimaksud dengan varibel terikat (dependent variables) adalah kuantitas yang
perubahannya bisa berasal dari impak variable eksternalnya. Sedangkan “variable bebas” (independent
variables) adalah kuantitas yang perilakunya bisa ditelaah/dikaji untuk menentukan derajat pengaruhnya
terhadap perubahan-perubahan yang ditunjukan oleh variable terikat.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 2


Perubahan-perubahan penting dalam HI yang melibatkan berbagai aktor, isu-isu

dan kompleksitas proses-proses yang terjadi merupakan hasil dari perilaku satu

atau banyak negara. HI merupakan jaringan interaksi dari politik-politik luar

negeri berbagai negara.

Kasus: untuk melihat krisis Irak: kita bisa melihatnya dari sudut pandang tingkah

laku politik luar negeri AS atau dari sudut pandang apa yang terjadi dan dilakukan

oleh Irak itu sendiri.

2. Alasan yang kedua adalah pengertian atau memahami tentang Politik Luar Negeri

dapat dipakai untuk mencegah krisis atau perang.

Pemahaman terhadap perilaku dan kebijakan luar negeri sebuah negara dapat

dijadikan dasar untuk mencegah atau paling tidak meminimalisir kemungkinan-

kemungkinan terjadinya konflik.

3. Hasil analisis Politik Luar Negeri bisa dipakai untuk keperluan para praktisi

pemerintahan dalam melaksanakan hubungan luar negeri.

Sebagai sebuah cabang dari HI yang mempunyai hubungan yg sangat dekat

dengan bidang pemerintahan, penemuan-penemuan kalangan akademis bisa

dipakai dan dijadikan rujukan oleh praktisi dalam melakukan hubungan luar negeri

dengan negara-negara lain.

Hubungan antara analisis Politik Luar Negeri dengan studi Hubungan

Internasional:

1. Analisis Politik Luar Negeri, dengan focus pada negara dan cara-cara dimana

negara berhubungan dalam lingkungan internasional, menghasilkan apa yang

disebut sebagai micro perspektif (perspektif sebuah negara-bangsa).

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 3


2. Analisis macro perspektif berusaha menjelaskan hubungan internasional dari level

system internasional. Pada prespektif ini, analisis mempunyai kecenderungan

untuk membedakan antara negara-negara dalam terms tingkah laku Politik Luar

Negeri -nya dan juga memperhitungkan lingkungan domestik yang menjadi

determinan dar itingkah laku tersebut. Hal ini berhubungan dengan level analisa .

B. Tujuan mempelajari Analisis Politik Luar Negeri

Kerangka berfikir tentang analisis dalam konteks Politik Luar Negeri adalah untuk

menyediakan kerangka kerja dengan tiga bentuk pertanyaan:

1. What foreign policy analysis is ?

Pertanyaan ini berhubungan dengan pengertian atau definisi : analisa, foreign

policy (politik luar negeri)

2. Why do we study foreign policy ?

Berhubungan dengan alasan-alasan dan tujuan mempelajari Analisis Politik Luar

Negeri

3. How do we study foreign policy ?

Berhubungan dengan cara-cara, metode, approach dan teori tentang Politik Luar

Negeri

C. Definisi / Pengertian

1. Analisa

Menganalisa sesuatu hampir sama dengan ketika kita membongkar atau mempreteli

sebuah mesin, memisahkan berbagai komponen dan kemudian mencoba untuk

menjelaskan kegunaan-kegunaan dari berbagai komponen tersebut dan apa

hubungannya satu dengan yang lain.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 4


Analisis atau Analisa berasal dari kata:

to analyse, analysis : memisahkan, memilahkan, menguraikan, pada hakekatnya

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1990), pengertian analisa:

a. Penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan , perbuatan) untuk mengetahui

keadaan yang sebenarnya (dari sebab musabab, asal-usul, duduk perkara)

b. Penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan atas bagian itu

sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat

dan pemahaman arti keseluruhan

c. Penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya

d. Proses akal sehat yang memecahkan masalah ke dalam bagian-bagiannya

menurut metode yang konsisten dan ilmiah untuk mencapai pengertian tertentu

dari prinsip-prinsip dasarnya.

Menurut William Choplin3:

Analisis merupakan proses pengaplikasian beberapa kerangka penataan (organizing

framework) ke dalam informasi-informasi yang diterima seseorang. Analisis

menyangkut beberapa aktivitas intelektual, termasuk aplikasi logika induktif dan

deduktif.

Studi tentang Politik Luar Negeri telah mengalami kemajuan dalam beberapa tahun

terakhir baik dalam pengembangan konsep-konsep maupun dalam penggunaan data-

data empiris. Walaupun dalam analisis Politik Luar Negeri tidak ada satupun skema

teoritis atau standar metodologi yang disepakati bersama.4 Pendeknya, studi Politik

3
William D. Choplin (Terj. Marsedes Marbun), 1992, Pengantar Politik Internasional : Suatu Telaah Teoritis,
Bandung, Sinar Baru.
4
Howard H. Lentner, 1970, Foreign Policy Analysis: An Comparative and Conceptual Approach, Ohio:
Charles E. Merrill Pub. Co.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 5


Luar Negeri bukanlah sebuah ilmu yang sudah dewasa, sehingga seringkali dijumpai

kesulitan-kesulitan untuk menemukan bidang-bidang persetujuan dan akumulasi dari

pengetahuan. Meskipun para ilmuwan berbeda dalam penekanan dan bidang-bidang

analisis Politik Luar Negeri, ada beberapa kesepakatan bahwa baik karakter

kehidupan internal sebuah negara maupun lingkungan internasional mempunyai

impak atau pengaruh bagi Politik Luar Negeri.

Ada 6 (enam) topik bahasan utama atau Kegiatan Analisis Politik Luar Negeri :

1. Deskripsi dan Eksplanasi

Dalam melakukan analisis berdasarkan Eksplanasi, kita sering berfikir dari Teori X,

maka A ---- B, maka dicari mana Fenomena A dan mana fenomena B. Dari sini

dapat diambil kesimpulan langsung.

2. Klasifikasi

3. Eksplorasi

4. Prediksi

Dalam analisis kita melihat adanya kegiatan yang disebut prediksi

Melalui eksplanasi kita melihat kaitan antara berbagai fenomena.

Misal : Fenomena A ditimbulkan oleh fenomena B

Setelah itu kita akan mampu melakukan prediksi, yang ditandai dengan

pernyataan : “Bila …………., maka,………..”

Bentuk prediksi tersebut diambil berdasarkan eksplanasi yang telah kita buat.

Eksplanasi hanya melihat keterkaitan diantara fenomena yang ada. Prediksi kita

mencari hubungan-hubungan yang ada.

5. Understanding

Proses untuk mengaitkan antar berbagi variabel dan data.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 6


Contoh :

Dalam dunia kepolisian berlaku bahwa tempat kejadian perkara biasanya

berhubungan dengan terjadinya kejahatan.

 Pada kegiatan ini kita mencoba melihat bagaimana keterkaitan berbagai

peristiwa itu terjadi, sehingga dalam proses understanding kita melakukan

kegiatan memahami proses kaitan/hubungan antara variabel yang saling

mempengaruhi antar fenomena yang diamati.

 Melalui understanding kita bisa memahami bahwa dalam suatu fenomena

tidak hanya terdapat dua variabel yang saling mempengaruhi, tapi mungkin

juga ada variabel lain yang mempengaruhinya.

Tidak hanya A ------ B, tetapi mungkin juga ada C. Jadi disini ada variabel

intervening.

6. Kontrol

 Jika ada A maka pasti ada B

Dalam kontrol kita bisa mengendalikan fenomena. B ada atau tidak ada

tergantung pada A.

 Setelah diketahui kaitan dan proses, maka diusahakan agar kita mampu

untuk mengendalikan fenomena itu

 Dalam kegiatan kontrol kita harus tahu bagaimana A bisa menghasilkan B,

atau dibuat tidak bisa menghasilkan B. B dibuat tidak tergantung pada A

saja.

Jadi, dalam Prediksi kita hanya mencari hubungan A---B, sedangkan

dalam kontrol kita dapat menemukan penyebab suatu fenomena,

pencegahan suatu fenomena dan akibat dari suatu fenomena.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 7


Dari ke-6 point di atas, menurut Paul Reynolds dinamakan dengan Scientic Body of

Knowledge. Menurut Reynolds, Analisa adalah suatu bentuk upaya untuk

mendapatkan pengetahuan.

Kegiatan Analisis terdiri dari :

Analisis diuraikan dari suatu bagian yang utuh :

 menguraikan dari keseluruhan menjadi bagian-bagian (to describe ~ description)

 memilahkan ~ membedakan ~ melakukan kegiatan

 mengaitkan (eksplanasi )

Beberapa kegiatan dalam melakukan analisis :

a. Mengurai dari sesuatu yang utuh menjadi bagian-bagian

Analisis dapat diartikan sebagai suatu kegiatan menguasai atau memahami

Dalam Bahasa Inggris : to descript ~ desciption

Mengurai = mendeskripsikan fenomena yang ada.

b. Memilah, dalam pengertian bahwa dengan menganalisa kita menempatkan

sesuatu pada tempatnya/pengelompokan, sehingga dapat dikatakan bahwa

analisis juga mencakup kegiatan memilah ~ membedakan ~ melakukan

pengelompokan sesuai dengan klasifikasi/ordonansi

c. Mengaitkan, dalam arti mencari hubungan antara komponen-komponen. Dapat

pula diartikan sebagai suatu usaha mencari fungsi dari masing-masing komponen

yang akan ditetapkan. Jadi dari fenomena yang ada dihubungkan untuk

mendapatkan suatu kesatuan bidang tertentu. Melalui upaya untuk mengaitkan

konsep yang saling berhubungan, akan timbul upaya ekplanasi dari suatu

fenomena yang ada.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 8


2. Tipe Analisis

Menurut William D. Choplin5

Tipe Analisis dapat dibedakan menjadi 4 (empat) tipe yang dikaitkan dengan 4

(empat) macam tujuan yang hendak dicapai dalam usaha untuk mempelajari suatu

subyek, yaitu:

a. Analisis Deskriptif

Tipe analisis deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan apa

yang ada atau apa yang sudah ada. Dalam analisis deskriptif kita bisa

menerangkan dalam arti menyajikan suatu rekaman dari peristiwa tertentu atau

menjelaskan apa yang telah terjadi (untuk memahami masa lalu dan masa

sekarang)

Biasanya pertanyaan yang digunakan adalah apa atau mengapa (What or Why)

Proses analisis deskriptif meliputi berbagai teknik dan gaya. Analis/penstudi

mungkin menggunakan intuisi atau metode-metode yang lebih sistematis untuk

membangun ide. Penstudi bisa membangun suatu deskripsi dengan menyusun

sekumpulan deduksi yang saling berkaitan dari satu atau lebih penggalan informasi

atau bisa mengambil sejumlah informasi dan kemudian berupaya menyusun

beberapa generalisasi.

Pemaknaan analisis deskripsi bisa menggunakan bentuk pernyataan verbal murni,

atau suatu eksplanasi yang didasarkan atas beberapa data statistik, atau kombinasi

antara kedua bentuk tadi.

b. Analisis Prediktif

5
Ibid

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 9


Tipe analisa prediktif sangat erat berkaitan dengan tipe analisa deskriptif, karena

tujuannya adalah untuk menggambarkan apa yang akan terjadi (exist) di masa

depan. Sumber ramalan seseorang biasanya ditemukan dalam analisa

deskriptifnya. Pengalaman masa lampau merupakan dasar untuk meramalkan

kejadian-kejadian yang akan datang, sehingga sering dibantu dengan metode

histories. Seringkali kedua analisis itu digunakan secara bersamaan. Kadakala

analisis prediktif ditemukan dikemukakan untuk menggambarkan atau menguji

kesahihan analisis deskriptif. Prediksi serinh merupakan tujuan utama penstudi

dalam mempelajari suatu subyek, termasuk pengujiannya.

c. Analisis Normatif

Analisa Normatif bertujuan untuk membuat suatu penilaian –eksplisit atau implisit-

terhadap apa yang eksis/ada atau yang eksis berdasarkan nilai-nilai yang dipunyai.

Informasi yang digunakan dalam analisis normative ditata menurut nilai-nilai

seseorang; gagasan tentang kebaikan (goodness) dan keburukan (badness)

menjadi aspek sentral dalam proses intelektual tipe analisis normative.

d. Analisis Preskriptif

Analisis Preskriptif merupakan perpaduan antara analisis normative dan analisis

predktif, karena tipe analisis preskriptif memunculkan saran atau anjuran

(prescription) tentang langkah-langkah atau tindakan yang harus diambil dalam

merealisasi nilai-nilai (normative).

Tujuan analisis preskriptif adalah mencoba menunjukkan bagaimana cara

mencapai tujuan itu. Analisis preskriptif biasanya didasarkan asumsi seseorang

tentang apa yang akan terjadi. Para analis preskriptif sifatnya memiliki suatu

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 10


gambaran tentang bagaimana obyek/dunia yang diinginkannya dan suatu rencana

tentang cara-cara untuk mencapainya.

Bentuk-bentuk analisis preskriptif:

- analisis preskriptif bisa digunakan sebagai alat ilustrasi untuk menunjukkan

kesimpulan yang diambil dari salah satu atau ketiga tipe analisis lainnya

dengan lebih jelas. (misalnya: saran kebijakan untuk menunjukkan berbagai

implikasi dari tujuan-tujuan tertentu dengan menyajikan berbagai deskripsi

tentang kondisi yang ada).

- analisis preskriptif bisa menyangkut suatu saran kebijakan yang ditujukan

untuk aktor tertentu (misalnya: saran untuk Presiden, Menteri dll).

- analisis preskriptif bisa ditampilkan pada peringkat yang sangat umum tanpa

menspesipikasi kapan, dimana, dan oleh siapa preskripsi tadi harus ditaati

(misalnya; anjuran supaya manusia hidup secara damai dengan sesamanya).

Antara keempat tipe analisis di atas harus ada keterkaitan logis. Analisis deskriptif

harus mampu menyajikan suatu basis bagi ketiga bentuk analisis yang lain.

Seseorang tidak boleh membuat ramalan, penilaian normative atau membuat

preskripsi sebelum dia memahami realitas secara keseluruhan. Selain itu, analisis

preskripsi merupakan produk atau perpaduan dari analisis presdiktif dan normative.

3. Skema Analisis6 :

Interaksi antara Keempat Tipe Analisis:

Deskriptif

6
Baca juga Lentner, Howard. H., 1980, Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach ,
Ohio, Charles E. Merril Pub. Co.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 11


Prediktif Normatif

Preskriptif
Keterangan :

Dari skema di atas: tanda panah menunjukkan arah yang harus dilalui oleh kempat tipe

analisis itu untuk mempengarusi satu dengan yang lain. Jadi seseorang harus terlebih

dahulu memahami realitas (deskripsi) sebelum dia membuat ramalan tentang masa

depan, membuat penilaian atas nilai atau memprediksi tindakan.

Tipe Analisis menurut Mohtar Mas’oed

Menurut Mohtar Mas’oed7 (1990), yang mengutip karya John Lovell:

Pekerjaan analisa melibatkan eksplanasi dan prediksi.

Eksplanasi menjadi basis bagi evaluasi. Prediksi menjadi dasar pembuatan preskripsi

Hubungan antara eksplanasi dan evaluasi analog dengan hubungan antara prediksi

dan preskripsi. Dengan demikian, ada empat tipe analitis, yaitu: Eksplanasi, Evaluasi,

Prediksi dan Preskripsi.

Menurut Lovell, ada hubungan yang jelas antara “tugas” analitis yang dilakukan oleh

analis dengan pertanyaan yang diajukannya.

Pertanyaan yang berbeda akan memerlukan tugas / tipe analitis yang berbeda pula.

Tiga Jenis Pertanyaan dalam Analisis Politik Luar Negeri

1. Analisa tentang Tujuan

7
Mohtar Mas,oed, 1989, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisa dan Teorisasi, Jogjakarta, PAU UGM.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 12


Analis politik luar negeri kadang-kadang tertarik untuk mengetahui maksud dari suatu

program politik luar negeri, misi organisasi, atau motivasi seseorang aktor politik luar

negeri ttt. Dalam mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu, analis pada

dasarnya mencoba mengambil posisi sebagai seorang pembuat keputusan, melihat

fenomena seperti halnya pembuat keputusan, memandang suatu organisasi atau

program dari sudut pandang doktrin resmi organisasi itu. Hal inilah yg disebut sebagai

analisa tujuan atau eksplanasi teleologis atau aksplanasi intensional.

Pertanyaan :

Eksplanasi : “Apa tujuan suatu tindakan?”

Evaluasi : “Apa tujuan program bantuan laur negeri sudah benar?”

Prediksi : “Apa yang hendak dijadikan program bantuan luar negeri padda tahun

yang akan datang?”

Preskripsi : “Apa seharusnya tujuan program bantuan luar negeri tahun depan?”

Analisa tujuan bisa meliputi analisa eksplanatori, evaluatif, prediktif, dam prskriptif.

2. Analisa Sebab-Akibat

Jika seorang analis lebih tertarik pada masalah apa yang secara nyata telah dicapai

atau gagal dicapai oleh, dan akibat dari sebuah program kebijakan luar negeri. Analis

mungkin juga tertarik pada efek-efek atau akibat dari kegiatan organisasi atau

kebijakan politik luar negeri atau dia tertarik pada untuk memgidentifikasikan faktor-

faktor yang menimbulkan tindakan dari seorang aktor politik luar negeri, maka

jawaban atau analisa terhadap pertanyaan dan masalah itu adalah tugas analisa

sebab-akibat.

Analisa sebab-akibat juga bisa meliputi analisa eksplanatori, evaluatif, prediktif, dam

prskriptif.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 13


Pertanyaan :

Apa atau Mengapa kebijakan konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia gagal?

Bagaimana akibat dari kebijakan konrontasi terhadap hubungan RI-Malaysia

Faktor-faktor apa yang menyebabkan Soekarno mengambil kebijakan konfrontasi?

3. Analisa Struktur dan Proses

Analisa Struktur dan Proses lebih tertarik untuk menyelidiki bagaimana hubungan

antara suatu program dengan program-program yang lain, atau tertarik untuk melihat

bagaimana kesesuaian program itu dengan konteks kebijakan yang lebih luas.

Analis lebih tertarik pada bagaimana atau apa fungsi yang dijalankan oleh suatu

organisasi dalam proses politik luar negeri, atau menyelidiki atau mengidentifikasikan

bagaimana posisi aktor itu dalam proses kebijaksanaan atau untuk menggambarkan

fungsi yang dimainkan oleh suatu tinddakan dalam proses politik luar negeri.

Hasil akhir dari pertanyaan-pertanyaan ini adalah analisa fungsional, yaitu analisa

yang memandang hubungan-hubungan antara bagian-bagian.

(lihat Model pembuatan keputusan birokrasi atau organisasional)

Yang harus menjadi perhatian dalam membedakan tipe analisa adalah pembedaan antara

pertanyaan tentang Tujuan, pertanyaan tentang Sebab-akibat dan pertanyaan tentang

fungsi dan struktur.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 14


BAB II

STUDI TENTANG POLITIK LUAR NEGERI

A. Konsep Dasar Politik Luar Negeri

Dalam mempelajari politik luar negeri (foreign policy), pengertian dasar yang harus

kita ketahui yaitu politik luar negeri pada dasarnya merupakan ”Action Theory”, atau

kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai

kepentingan nasional tertentu. Secara umum, politik luar negeri merupakan suatu

perangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan,

mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan dunia

internasional. Suatu komitmen yang pada dasarnya merupakan strategi dasar untuk

mencapai suatu tujuan baik dalam konteks dalam negeri dan luar negeri serta

sekaligus menentukan keterlibatan suatu negara dalam isu-isu internasional atau

lingkungan sekitarnya.

Salah satu cara untuk memahami konsep politik luar negeri adalah dengan cara

memisahkannya ke dalam dua komponen, yaitu :

1. Politik (policy) adalah seperangkat keputusan yang menjadi pedoman untuk

bertindak, atau seperangkat aksi yang bertujuan untuk mencapai sasaran yang

telah ditetapkan sebelumnya. Policy berakar pada konsep ”pilihan” (choices) yaitu

memilih tindakan atau membuat keputusan-keputusan untuk mencapai suatu

tujuan.

Unsur-unsur Policy:

a. Formulation ( perumusan)

b. Execution / Action ( tindakan)

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 15


2. Luar negeri

Gagasan mengenai kedaulatan dan konsep “wilayah” akan membantu upaya

memahami konsep luar negeri (foreign). Kedaulatan berarti kontrol atas wilayah

(dalam) yang dimiliki oleh suatu negara. Jadi, politik luar negeri (foreign policy)

berarti seperangkat pedoman untuk memilih tindakan yang ditujukan ke luar

wilayah suatu negara.

Pemahaman konsep ini diperlukan agar kita dapat membedakan antara politik luar

negeri dan politik domestik (politik dalam negeri). Tidak dapat dipungkiri

bawasanya pembuatan politik luar negeri selalu terkait dengan konsekuensi-

konsekuensi yang ada dalam negeri. Meminjam istilah Henry Kissinger, bahwa

“foreign policy begins when domestic policy end”. Dengan kata lain, studi politik

luar negeri berada pada intersection antara aspek dalam negeri suatu negara

(domestik) dan aspek internasional (eksternal) dari kehidupan suatu negara.

Karena itu studi politik luar negeri tidak dapat menisbikan struktur dan proses

baik dari system internasional (lingkungan eksternal) maupun dari system politik

domestik.

B. Hubungan Internasional, Politik Internasional dan Politik Luar Negeri

1. Hubungan Internasional dan Politik Internasional

Norman D. Palmer & Howard C. Perkin, menjelaskan bahwa istilah Hubungan

Internasional dan Politik Internasional sering digunakan secara bergiliran dalam

pengertian yang sama. Para Penstudi Hubungan Internasional terutama mereka

yang menyelidiki secara khusus tentang perilaku politik internasional, berpendapat

bahwa seharusnya diadakan pembedaan antara kedua istilah tersebut, dan bahwa

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 16


kegagalan para ilmuwan dan praktisi hubungan internasional untuk membuat

perbedaan telah menyebabkan timbulnya kekacauan penggunaan kedua istilah

tersebut dalam pengajaran hubungan internasional.

Para ahli berpendapat bahwa Hubungan internasional adalah istilah yang

mencakup totalitas hubungan-hubungan di kalangan bangsa-bangsa dan

kelompok dalam masyarakat dunia serta mencakup juga kekuatan-kekuatan,

tekanan-tekanan dan proses-proses yang mengakibatkan bagaimana caranya

kelompok manusia hidup, bertindak dan berfikir. Hubungan internasional dengan

demikian mencakup keseluruhan hubungan yang terjadi dengan melampaui batas

kenegaraan. Sedangkan Politik Internasional hanya menyelidiki politik

masyarakat internasional dalam arti yang lebih sempit, yaitu hanya memusatkan

perhatian/ kajian terhadap hubungan-hubungan politik antar negara dan

kesatuan-kesatuan politik lainnya. Politik Internasional mencakup kepentingan

(interest) dan tindakan (action) beberapa atau semua negara serta proses

interaksi antar negara maupun antara negara dan organisasi internasional pada

tingkat pemerintahan.

Umumnya kini disepakati bahwa istilah hubungan internasional adalah istilah

yang lebih luas dari istilah politik internasional. Dalam hal ini, politik internasional

merupakan cabang (sub-category) dari hubungan internasional. Hubungan

internasional sendiri pada mulanya adalah bagian atau cabang dari ilmu politik

dan ilmu sejarah, namun pada akhirnya menjadi suatu ilmu pengetahuan yang

sedang berkembang.

Ruang lingkup Hubungan internasional sangat luas, yang meliputi komponen

hukum, ekonomi, militer, sosial, budaya dan lain-lain. Kelompok-kelompok kajian

dalam Hubungan internasional menurut Quincy Wright sangat beraneka ragam

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 17


termasuk di dalamnya bangsa, negara, pemerintah, rakyat, wilayah, organisasi

internasional, perusahaan-perusahaan internasional/multinasional (MNCs/TNCs),

organisasi kebudayaan dan organisasi keagamaan.

K.J. Holsti memberikan pengertian tentang Hubungan internasional sebagai

segala bentuk interaksi antara anggota masyarakat yang terpisah (melewati

batas-batas wilayah nasional), apakah disponsori oleh pemerintah atau tidak.

Hubungan internasional mencakup segala analisa politik luar negeri atau proses-

proses politik antar bangsa, termasuk di dalamnya Serikat Buruh Internasional,

Palang Merah Internasional, pariwisata, perdagangan internasional, komunikasi

dan pengangkutan.

Politik Internasional tidak tertarik pada hubungan seperti itu, kecuali hubungan-

hubungan itu melibatkan tujuan-tujuan pemerintah dan negara atau digunakan

oleh pemerintah dan negara sebagai alat untuk mencapai tujuan politik. Politik

Internasional hanya menyelidiki kejadian-kejadian atau fenomena yang

mempunyai pengaruh politik dalam hubungan antar negara.

Contoh:

Diplomasi Ping Pong, yang dijadikan RRC sebagai sarana untuk menjalin

hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat, adalah termasuk bidang politik

internasional. Sedangkan pertandingan Ping Pong biasa antara Indonesia dengan

RRC adalah masalah hubungan internasional.

2. Politik Internasional dan Politik Luar Negeri

C.C. Rodee (dkk), mengatakan bahwa jika dalam studi politik luar negeri adalah

mencari jawaban terhadap pertanyaan “bagaimana” dan “kenapa” dirumuskan

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 18


suatu tindakan, maka politik internasional melayani akibat dari pertarungan

politik luar negeri berbagai negara dalam sistem internasional. Harold dan

Margaret Sprout menguraikan bahwa politik internasional sebagai sistem aksi,

reaksi dan interaksi antara dan di kalangan kesatuan politik (aktor-aktor) yang

dikenal sebagai Negara. Sedangkan politik luar negeri diuraikan sebagai skema

atau pola dari cara dan tujuan secara terbuka dan tersembunyi dalam aksi

negara tertentu vis-à-vis negara lain atau kelompok negara lain.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa politik luar negeri adalah cabang

dari politik internasional, politik internasional merupakan cabang dari hubungan

internasional, hubungan internasional merupakan cabang dari ilmu politik.

C. Politik Luar Negeri dalam Studi Hubungan Internasional

1. Pengertian

Politik Luar Negeri merupakan salah satu bidang kajian studi Hubungan Internasional.

Politik Luar Negeri merupakan studi yang kompleks karena tidak saja melibatkan

aspek-aspek eksternal, tetapi juga aspek-aspek internal suatu negara. Negara,

sebagai aktor yang melakukan politik luar negeri, tetap menjadi unit politik utama

dalam system hubungan internasional, meskipun aktor-aktor non-negara semakin

penting perannya dalam hubungan internasional.

Dalam kajian Politik Luar Negeri sebagai suatu system, rangsangan dari lingkungan

eksternal dan domestik sebagai input yang mempengaruhi Politik Luar Negeri suatu

negara dipersepsikan oleh para decision makers dalam suatu konversi menjadi

output. Proses konversi yang terjadi dalam perumusan Politik Luar Negeri suatu

negara ini mengacu pada pemaknaan situasi, baik yang berlangsung dalam

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 19


lingkungan eksternal maupun internal dengan mempertimbangkan tujuan yang ingin

dicapai serta sarana dan kapabilitas yang dimilikinya.

Politik Luar Negeri (PLN) merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh

para pembuat Keputusan suatu negara dalam menghadapi negara lain atau Unit

Politik Internasional lainnya dan dikendalikan untuk mencapai Tujuan Nasional

spesifik yang dituangkan dalam terminologi Kepentingan Nasional. Politik Luar Negeri

yang spesifik dilaksanakan oleh sebuah negara sebagai sebuah inisiatif atau reaksi

terhadap inisiatif yang dilakukan oleh negara lain. Politik Luar Negeri (PLN)

mencakup proses dinamis dan penerapan pemaknaan Kepentingan Nasional yang

relatif tetap terhadap faktor situasional yang sangat fluktuatif di lingkungan

internasional untuk mnengembangkan cara tindakan yang diikuti oleh upaya untuk

mencapai pelaksanaan diplomasi dengan panduan kebijaksanaan yang telah

ditetapkan. Politik Luar Negeri yang spesifik adalah PLN yang dirumuskan secara

khusus karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu / khusus terhadap negara

lain. (Jack. C. Plano, 1999), Lihat H. Lentner, hal. 3-10

Politik Luar Negeri dan Kebijaksanaan Luar Negeri, antara kedua istilah tersebut

sebenarnya tidak ada perbedaan , keduanya mempunyai arti yang sama. Apa yang

disebut dengan Politik Luar Negeri adalah Kebijaksanaan Luar Negeri. Politik Luar

Negeri merupakan serangkaian strategi dan rencana tindakan yang dibuat oleh para

Pembuat Keputusan suatu negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik

internasional lainnya dan dikendalikan untuk mencapai Tujuan nasional spesifik yang

dituangkan dalam terminologi Kepentingan Nasional. Politik Luar Negeri yang spesifik

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 20


dilaksanakan oleh sebuah negara sebagai sebuah inisiatif atau sebagai reaksi terhadap

inisiatif yang dilakukan oleh negara lain.

Politik Luar Negeri mencakup proses dinamis dan penerapan pemaknaan Kepentingan

Nasional yang relatif tetap terhadap faktor situasional yang sangat fluktuatif di

lingkungan internasional dengan maksud untuk mengembangkan suatu cara tindakan

yang diikuti oleh upaya untukmencapai pelaksanaan diplomasi sesuai dengan

panduan kebijaksanaan yang telah ditetapkan.

Menurut C. C. Rodee (dkk), Polltik Luar Negeri adalah strategi dan taktik yang

digunakan oleh suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain. Politik Luar

Negeri merupakan pola perilaku yang digunakan oleh suatu negara ketika

memperjuangkan kepentingannya dalam hubungan dengan negara-negara lain. Dia

berhubungan dengan proses pembuatan keputusan untuk mengikuti pilihan tertentu.

Robert Strausz-Hupe & Stefan T. Possony, Politik Luar Negeri dapat dibagi

dalam dua kategori yaitu Keputusan dan Pelaksanaan.

Cecil V. Crabb Junior mengatakan “... jika diperas sampal ke inti pokoknya politik

luar negeri terdiri dan dua unsur: Tujuan-tujuan Nasional yang ingin dicapai dan

Cara-cara untuk mencapainya,. Interaksi antara sasaran nasional dan sumber-

sumber untuk- mencapainya adalah mata acara negara. Dalam bumbu-bumbunya,

politik luar negeri segala bangsa, besar atau kecil adalah sama.”

Menurut Buku Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar Negeri RI ( 1984 —

1988 ), “Politik Luar Negeri adalah suatu kebijaksanaan yang diambil oleh

pemerintah dalam rangka hubungannya dengan dunia internasional dalam usaha

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 21


mencapai tujuan nasional. Melalui politik luar negeri, pemerintah memproyeksikan

kepentingan nasionalnya ke dalam masyarakat antar bangsa”

Coulumbis dan Wolfe, Politik luar negeri merupakan sintesa dari kepentingan

nasional dengan Power dan Kapabilitas. Sedangkan tujuannya adalah untuk

mewujudkan Kepentingan Nasional.

Gibson mendefinisikan Politik Luar Negeri sebagai rencana komprehensif yang dibuat

dengan baik, didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman, untuk menjalankan

bisnis pemerintahan dengan negara lain. Politik luar negeri ditujukan pada

peningkatan dan perlindungan kepentingan bangsa.

S.L. Roy mengatakan bahwa Politik Luar Negeri sebagai pengejawantahan

kepentingan nasional suatu negara terhadap negara lain.

Menurut Rosenau, pengertian kebijakan luar negeri yaitu upaya negara melalui

keseluruhan sikap dan aktivitasnya untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan

dari lingkungan eksternalnya. Kebijakan luar negeri, menurutnya ditujukan untuk

memelihara dan mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara. Menurut

Rosenau, kajian kebijakan luar negeri merupakan suatu fenomena yang kompeleks

dan luas, meliputi kehidupan internal (internal life) dan kebutuhan eksternal

(eksternal needs) termasuk di dalamnya adalah kehidupan internal dan eksternal

seperti aspirasi, atribut nasional, kebudayaan, konflik, kapabilitas, institusi dan

aktivitas rutin yang ditujukan untuk mencapai dan memelihara identitas sosial,

hukum, dan geografi suatu negara sebagai negara bangsa.

2. Langkah-langkah dalam proses perumusan Politik Luar Negeri :

b. Menjabarkan pertimbangan kepentingan nasional ke dalam bentuk tujuan dan

Sasaran yang spesifik

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 22


b. Menetapkan faktor situasional di lingkungan domestik dan internasional yang

berkaitan dengan tujuan kebijaksanaan luar negeri

c. Menganalisis Kapabilitas Nasional untuk menjangkau / mendapatkan hasil yang

dikehendaki

d. Mengembangkan perencanaan / strategi untuk menggunakan Kapabilitas nasional

dalam menaggulangi variabel tertentu sehingga mencapai tujuan yang telah

ditetapkan

e. Melaksanakan tindakan yang diperlukan

f. Secara periodik meninjau dan melakukan evaluasi terhadap perkembangan yang

telah dan sedang berlangsung dalam mencapai tujuan / hasil yang dikehendaki.

Kapabilitas Nasional berhubungan dengan power dan kekuasaan.

Sementara menurut Holsti, lingkup kebijakan luar negeri meliputi semua tindakan

serta aktivitas negara terhadap lingkungan eksternalnya dalam upaya memperoleh

keuntungan dari lingkungan tersebut, serta hirau akan berbagai kondisi internal yang

menopang formulasi tindakan tersebut.

Secara sederhana, hubungan antara elit-elit politik sebagai decision makers dan

politik luar negeri dapat digambarkan sebagai berikut:

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 23


External Setting
Sist. Int.l.

Persepsi Lingkungan

Elits/ Decision Situasi


Makers

Means
Estimasi Kapabilitas

Internal Setting
Tangible Intangible

National Ends Ways


Interests

Sumber :

3. Tujuan Politik Luar Negeri

Tujuan Politik Luar Negeri sebenarnya merupakan fungsi dari proses dimana tujuan

negara disusun. Tujuan tersebut dipengaruhi oleh sasaran yang dilihat dari masa

lalu dan aspirasi untuk masa depan. Tujuan Politik Luar Negeri dibedakan atas

tujuan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Pada dasarnya

tujuan jangka panjang politik luar negeri adalah mencapai perdamaian, keamanan

dan kekuasaan.

Sementara itu, Jack C. Plano berpendapat bahwa setiap kebijakan luar negeri

dirancang untuk menjangkau tujuan nasional. Tujuan nasional yang hendak

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 24


dicapai melalui kebijakan luar negeri merupakan formulasi konkret dan dirancang

dengan mengaitkan kepentingan nasional terhadap situasi internasional yang

sedang berelangsung serta power yang dimiliki untuk mencapianya. Tujuan

dirancang, dipilih dan ditetapkan oleh pembuat keputusan dan dikendalikan untuk

mengubah kebijakan (revisionist policy) atau mempertahankan kebijakan (status

quo policy) ihwal kenegaraan tertentu di lingkungan internasional.

Tujuan politik luar negeri dapat dikatakan sebagai citra mengenai keadaan dan

kondisi di masa depan suatu negara dimana pemerintah melalui perumus

kebijaksakanaan nasional mampu meluaskan pengaruhnya kepada negara-negara

lain dengan mengubah atau mempertahankan kebijakan dan tindakan negara lain.

Ditinjau dari sifatnya, tujuan politik luar negeri dapat bersifat konkret dan abstrak.

Sedangkan dilihat dari segi waktunya, tujuan Politik Luar Negeri dapat bertahan

lama dalam suatu periode tertentu dan dapat pula bersifat sementara, berubah

sesuai dengan kondisi dan waktu tertentu.

K.J. Holsti memberikan tiga criteria untuk mengklasifikasikan tujuan-tujuan Politik

Luar Negeri suatu negara, yaitu:

a. Nilai (values) yang menjadi tujuan dari para desion makers

b. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan yang telah

ditetapkan. Dengan kata lain, ada tujuan jangka pendek (short-term), jangka

menengah (middle-term), dan jangka panjang (long-term).

c. Tipe tuntutan yang diajukan suatu negara kepada negara lain.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 25


Konsep lain yang melekat pata tujuan Politik Luar Negeri adalah kepentingan

nasional (national interest) yang didefinisikan sebagai konsep abstrak yang

meliputi berbagai keinginan/kategori dari suatu negara yang berdaulat.

Kepentingan nasional terbagi ke dalam beberapa jenis, yaitu:

a. Core/basic/Vital Interest; merupakan kepentingan nasional yang sangat tinggi

nilainya sehingga suatu negara bersedia untuk berperang dalam mencapainya.

Melindungi daerah/wilayahnya, menjaga dan melestarikan nilai-nilai hidup yang

dianut suatu negara merupakan beberapa contoh.

b. Secondary Interest; yang meliputi segala macam keinginan yang hendak

dicapai masing-masing negara, namun mereka tidak bersedia berperang

dimana masih terdapat kemungkinan lain untuk mencapainya melalui jalan

perundingan.

Sementara itu, Morgenthau mengatakan bahwa politik luar negeri ditujukan untuk

mencapai tujuan nasional atau kepentingan nasional. Lebih lanjut dikatakan bahwa

Tujuan Nasional setiap negara terdiri dari :

a. Tujuan Nasional Vital ( merupakan tujuan nasional yang mutlak harus ada,

karena menyangkut hidup dan kehidupan bangsa tersebut.

Terdiri dari :

1. Integrasi Nasional (National Integrity)

- Integrasi Politik : bangsa tersebut harus bebas atau merdeka

- Integrasi Teritorial : adanya kesatuan wilayah

2. Keamanan Nasional ( National Security )

- Dapat dicapai melalui kerjasama Multilateral, Bilateral, Unilateral

3. Kesejahteraan Nasional ( National Welfare / Economic Welfare )

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 26


( ketiga poin; 1,2,3 di atas mutlak harus ada )

4. Tujuan Ideologi / Tujuan Kekuasaan / Tujuan Prestisius

( biasanya tujuan ini dimiliki oleh negara-negara besar )

b. Tujuan Nasional Variabel

merupakan tujuan yang berubah-ubah dan tidak mutlak dan sangat tergantung

pada kepentingan nasionalnya masing-masing. (ex. Pengembangan olah raga,

kebudayaan, pertukaran pelajar dll).

4. Konsep Lingkungan (Millieu) dalam Politik Luar Negeri

Untuk memahami sifat dan tingkah laku politik luar negeri suatu negara,

dibutuhkan pemahaman keterhubungan antara negara dengan lingkungannya baik

lingkungan internal maupun eksternal. Konsep Lingkungan (milieu atau

enviroment) meliputi semua fenomena dimana lingkungan aktivitas unit politik

negara saling berhubungan, termasuk lingkungan psikologis dan lingkungan

operasional. Lingkungan Psikologis diartikan sebagai keadaan yang dipersepsikan

oleh para pembuat keputusan atau aktor lain yang menjadi focus analisis.

Sedangkan Lingkungan Operasional merupakan keadaan politik internasional yang

terjadi pada setiap saat.

Menurut Sprout ada tiga tipe hubungan yang terjadi antara unit kesatuan politik

(negara) dengan lingkungannya, yaitu:

a. Enviromental Possibilism

Lingkungan merupakan sekumpulan ketidakleluasaan/keterbatasan yang

sebenarnya mungkin dibentuk atau dilakukan oleh aktor (negara) di dalam

lingkungannya.

b. Enviromental

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 27


Lingkungan memaksa situasi untuk menjadikan tindakan tertentu menjadi lebih

mungkin atau kurang mungkin.

c. Cognitive Behaviorism

Para pembuat keputusan bertindak sesuai dengan persepsi mereka mengenai

lingkungannya.

Hubungan antara unit-unit kesatuan dan lingkungannya dapat pula diamati dengan

menggunakan dua konsep yang diberikan oleh Harvey Starr yaitu Opportunity dan

Willingness.

Opportunity membutuhkan tiga kondisi keterhubungan, yaitu:

a. Lingkungan internasional memungkinkan interaksi antar negara

b. Negara-negara memiliki sumber-sumber yang memadai untuk mengambil

suatu tindakan tertentu

c. Para pembuat keputusan menyadari luasnya interaksi dan tingkat kapabilitas

yang tersedia bagi mereka.

Willingness merupakan motivasi-motivasi yang mendorong masyarakat untuk

menggunakan kesempatan yang mereka miliki. Willingness terdiri dari tujuan-

tujuan dan motivasi para pembuat keputusan dan menitikberatkan pada mengapa

para pembuat keputusan melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan tertentu.

Willingness didasarkan pada persepsi mengenai lingkungan eksternal dan kondisi

politik dalam negeri. Konsep ini berasal dari perhitungan untung-rugi (costsanad

benefits) serangkaian alternatif tindakan dan didasarkan tidak hanya pada faktor-

faktor obyektif tapi juga paa faktor lainnya seperti persepsi ancaman dan emosi

(rasa ketakutan dan ketidakamanan).

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 28


Menurut Howard H. Lentner, Politik luar negeri berada pada persimpangan antara

aspek-aspek domestik dan internasional dari kehidupan sebuah negara. Fokus dari

studi politik luar negeri harus berdasarkan beberapa criteria yang jelas. Kriteria ini

dapat ditemukan dalam definisi dan konsep-konsep yang dipakai. Konsep-konsep

tersebut adalah:

1. Policy adalah sebuah bentuk aksi atau tindakan yang meliputi:

a. Seleksi dari berbagai tujuan

b. Mobilisasi dari berbagai sarana/alat untuk mencapai tujuan

c. Implementasi atau upaya-upaya dan biaya yang dikeluarkan untuk mengejar

tujuan yang telah ditetapkan.

2. Politik Luar Negeri merujuk pada bagian atau porsi dari kehidupan sebuah

negara yang mencakup lingkungannya. Sejauh ini, sebagai sebuah kebijakan

suatu negara ditekankan pada masalah-masalah yang secara eksklusif berada

dalam jurisdiksinya dan tidak mempengaruhi negara-negara lain sehingga dapat

didefinisikan sebagai domestik. Tetapi apabila kebijakan itu ditujukan kepada

negara-negara lain atau mempunyai pengaruh bagi negara lain, hal itu disebut

sebagai kebijakan luar negeri.

3. Untuk menggambarkan lingkungan (environment), dapat digunakan dua konsep

untuk menganalisanya, yaitu:

a. Sistem Internasional, atau pola-pola interaksi diantara negara yang dibentuk

oleh struktur interaksi diantara atau oleh negara-negara besar

b. Situasi, yang digunakan untuk mengidentifikasi pola-pola interaksi

5. Konsepsi Politik Luar Negeri

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 29


Kebijakan luar negeri mempunyai tiga konsep untuk menjelaskan hubungan suatu

negara dengan kejadian dan situasi di luar negaranya, yaitu:

a. Kebijakan luar negeri sebagai sekumpulan orientasi (as a cluster of

orientation). Politik Luar negeri sebagai sekumpulan orientasi merupakan

pedoman bagi para pembuat keputusan untuk menghadapi kondisi-kondisi

eksternal yang menuntut pembuatan keputusan dan tindakan berdasarkan

orientasi tersebut. Orientasi ini terdiri dari sikap, persepsi, dan nilai-nilai yang

dijabarkan dari pengalaman sejarah, dan keadaan strategis yang menentukan

posisi negara dalam politik internasional.

b. Politik luar negeri sebagai seperangkat komitmen dan rencana untuk bertindak

(as a set of commitments to and plan for action). Dalam hal ini kebijakan luar

negeri berupa rencana dan komitmen konkrit yang dikembangkan oleh para

pembuat keputusan untuk membina dan mempertahankan situasi lingkungan

eksternal yang konsisten dengan orientasi kebijakan luar negeri. Rencana

tindakan ini termasuk tujuan yang spesifik serta alat dan cara untuk

mencapainya yang dianggap cukup memadai untuk menjawab peluang dan

tantangan dari laur negeri.

Dalam kenyataannya, rencana tindakan ini merupakan penerjemahan dari

orientasi umum dan reaksi terhadap keadaan yang konkret (immediate

context). Pada fase ini rencana tindakan politik luar negeri akan memberikan

pedoman bagi :

1) Tindakan yang ditujukan pada situasi yang berlangsung lama, misalnya

kebijakan luar negeri yang berkenaan dengan konflik Palestina-Israel.

2) Tindakan yang ditujukan pada negara-negara tertentu

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 30


3) Tindakan yang ditujukan pada isu-isu khusus, seperti terorisme, perlucutan

senjata dll.

4) Tindakan yang ditujukan pada berbagai sasaran lainnya, misalnya isu

lingkungan hidup, HAM dll.

Politik luar negeri pada fase ini lebih mudah diamati daripada orientasi umum

karena biasanya diartikulasikan dalam pernyataan-pernyataan formal dalm

konferensi pers atau dalam komunitas diplomatic.

c. Kebijakan luar negeri sebagai bentuk perilaku atau aksi (as a form of

behavior). Pada tingkat ini kebijakan luar negeri berada dalam tingkat yang

lebih empiris, yaitu berupa langkah-langkah nyata yang diambil para pembuat

keputusan yang berhubungan dengan kejadian serta situasi di lingkungan

eksternal. Langkah-langkah yang diambil/dilakukan berdasarkan orientasi

umum yang dianut serta dikembangkan berdasarkan komitmen dan sasaran

yang lebih spesifik.

Jadi, setiap negara menghubungkan negaranya kepada peristiwa dan situasi di luar

lingkungannya dengan ketiga bentuk kebijakan luar negeri tersebut di atas.

6. Determinan dan Sumber-Sumber Politik Luar Negeri

Keputusan dan tindakan politik luar negeri dipengaruhi oleh beberapa faktor yang

berasal baik dari external encironment maupun internal enviroment. Howard

Lentner mengklasifikasikan determinan/ politik luar negeri ke dalam dua kelompok,

yaitu:

a. Determinan Luar Negeri/Internasional, mengacu pada keadaan system

internasional dan situasi pada suatu waktu tertentu. Sistem internasional (bi-

polar, multi-polar, uni-polar) didefinisikan sebagai pola interkasi diantara

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 31


negara-negara yang terbentuk/dibentuk oleh struktur interaksi diantara

pelaku-pelaku yang paling kuat (most powerfull actors / dominant powers).

Konsep Situasi diartikan sebagai pola-pola interaksi yang tidak

tercakup/mencakup keseluruhan system internasional. Sebagai contoh, pola

hubungan di antara negara-negara Asia Tenggara yang terlibat dalam ASEAN

dapat dibahas sebagai suatu situasi. Dengan demikian, situasi sebagai suatu

alat analisis (analytical tool) yang dapat dijadikan alat untuk menentukan

lingkungan eksternal yang relevan bagi decision makers. Selain itu, konsep

Situasi juga berfungsi sebagai alat untuk menghubungkan dua unit analisis

yang lain yaitu negara dan system internasional.

Penggunaan dua konsep di atas (system internasional dan situasi)

dimaksudkan sebagai upaya teoritis untuk menyederhanakan Lingkungan

Internasional (eksternal) yang demikian kompleks ke dalam model-model

deskripsi yang sistematis dan utuh. Manfaat penggambaran kondisi

lingkungan eksternal adalah dapat memberikan setting munculnya peristiwa-

peristiwa dalam politik luar negeri, serta dapat membantu peneliti

memunculkan faktor-faktor yang menghambat dan mendukung (constraining

and facilitating faktors) dalam interaksi antar negara.

b. Determinan Domestik, merujuk pada keadaan di dalam negeri yang terbagi ke

dalam tiga kategori berdasarkan waktu untuk berubah, yaitu:

1) Highly stable determinants; terdiri atas luas geografi, lokasi, bentuk

wilayah/ daratan, iklim, populasi, serta sumber daya alam.

2) Moderatly stable determinants; terdiri atas budaya politik, gaya politik,

gaya kepemimpinan, dan proses politik.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 32


3) Unstable determinants; terdiri dari sikap dan persepsi jangka panjang

serta faktor-faktor ketidaksengajaan.

James N. Rosenau mengkategorikan faktor-faktor/sumber politik luar negeri

melalui dua kategori, yaitu:

a. Time Continuum yaitu cara menempatkan sumber-sumber politik luar negeri

paa kontinu waktu, yang meliputi:

1) sumber-sumber yang cenderung bersifat mantap dan berlaku terus

menerus dan tetap (sources that tend to change slowly)

2) sumber-sumber yang dapat dipengaruhi oleh fluktuasi jarak pendek

(short-term fluctuations)

3) sumber-sumber yang dapat berubah (sources that tend to undergo

rapid change)

b. Systemic Agregation Continuum

Menurut Rosenau, Sumber-sumber utama yang menjadi input dalam perumusan

kebijakan luar negeri, yaitu :

a. Sumber Sistemik (Systemic Sources), merupakan sumber yang berasal dari

lingkungan eksternal suatu negara.

Sumber ini menjelaskan struktur hubungan antara negara-negara besar, pola-

pola aliansi yang terbentuk antara negara-negara dan faktor situasional

eksternal yang dapat berupa isu-isu area atau krisis. Yang dimaksud dengan

struktur hubungan antara negara besar adalah jumlah negara besar yang ikut

andil dalam struktur hubungan internasional dan bagaimana pembagian

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 33


kapabilitas diantara mereka. Sementara faktor situasional eksternal

merupakan stimulan tiba-tiba yang berasal dari situasi internasional terakhir.

b. Sumber Masyarakat (Societal Sources), merupakan sumber yang berasal dari

lingkungan internal/domestik.

Sumber ini mencakup faktor kebudayaan dan sejarah, pembangunan

ekonomi, struktur sosial dan perubahan opini publik.

Kebudayaan dan sejarah mencakup nilai-nilai, norma, tradisi, pengalaman

masa lalu yang mendasari hubungan antara anggota masyarakat.

Pembangunan ekonomi mencakup kemampuan suatu negara untuk mencapai

kesejahteraan ekonomi. Hal ini dapat mendasari kepentingan negara tersebut

untuk berhubungan dengan negara lain.

Struktur sosial mencakup sumber daya manusia yang dimiliki atau seberapa

besar konflik dan harmoni internal dalam masyarakat.

Opini publik juga dapat menjadi faktor dimana penstudi dapat melihat

perubahan sentimen masyarakat terhadap dunia luar.

c. Sumber Pemerintahan (Governmental Sources), merupakan sumber internal

yang menjelaskan tentang pertanggungjawaban politik dan struktur dalam

pemerintahan. Pertanggungjawaban politik seperti pemilu, kompetisi partai

politik dan tingkat kemampuan dimana para pembuat keputusan dapat secara

fleksibel merespon situasi eksternal. Sementara struktur kepemimpinan dari

berbagai kelompok dan individu yang terdapat dalam pemerintahan.

d. Sumber Idiosinkratik (Idiosyncratic Sources), merupakan sumber internal yang

melihat nilai-nilai pengalaman, bakat serta kepribadian elit politik yang

mempengaruhi persepsi, kalkulasi, dan perilaku mereka terhadap kebijakan

luar negeri.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 34


Disini tercakup juga persepsi seorang elit politik tentang keadaan alamiah dari

arena internasional dan tujuan nasional yang hendak dicapai.

Selain keempat sumber kebijakan laur negeri tersebut di atas terdapat pula

hirauan/perhatian akan faktor ukuran wilayah negara dan jumlah penduduk,

lokasi geografi, serta teknologi yang dapat terletak pada sumber sistemik atau

masyarakat. Dengan banyaknya faktor yang beraneka ragam, Rosenau

menyarankan untuk memperhatikan atau melakukan cluster of inputs, dimana

penstudi kebijakan luar negeri dapat memilih dan menggabungkan faktor mana

yang paling penting dan patut diberi perhatian yang lebih teliti dalam menjelaskan

politik luar negeri suatu negara.

Model Rosenau tentang sumber-sumber Input Politik Luar Negeri

…… Major Sources of Foreign Policy as Plans and Foreign Policy as Behavior, listed in terms of Their
Location an Time and Systemic Aggregation Continuum
Time Continuum
Systemic
Agreggation Sources that tends to change slowly Sources that tend to undergo rapid change
Continuum
Systemic Great Power Structure Alliances Situational faktors: Internal
Sources Issues Areas & Crises

Size Geography Technology

Societal Economic Development Situational Faktor: Internal


Sources
Culture & History Sosial Structure
Moods of Opinion

Governmental Political Accountability


Sources Governmental Structure

Idiosyncratic Values, Talents, Experience, and


Sources Personalities of Leaders
Sumber : James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thomson. 1976, World
Politics : An Introduction. New York : The Free Press

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 35


7. Faktor-faktor Determinan Pembuatan Politik Luar Negeri:

1. Posisi Geografis

2. Sejarah

3. Penduduk

4. Sumber Daya Alam

5. Kekayaan Kultural/Budaya

6. Situasi Internasional (Lingkungan Internasional)

7. Kualitas Pelaksana Diplomasi

Peter Toma dan Robert F. Gorman menggambarkan determinan pembuatan dan


tindakan politik luar negeri sebuah Negara sbb:

Determinants of Nation-state Behavior


Faktors Characteristic
Objective Systemic
Geographics: International International
Interactions: System Structure
:
Size, location, Diplomatic Major Power,
topography, relations, distance Alliances,
climate transactions, trade, Coalitions, Int’l
travel, cultural Organizations,
exchange, Regional
environmental Arrangements,
cooperations Legal Precedence
(Int’ l Law, or IL)

National Atributs
Demographic: Economic : Military : Governmental :
Size, motivation, Size, wealth, level Defense posture Closed/open
skills, level of of development (expenditures), size politicalsystem,
education, and productivity, of armed forces, bureaucratic
homogeneity of mode or size and type of organizations,
population organization weapons, skill political
levels, research accountability,
and development party politics, sosial
structure, societal
pressure (interest
groups, public
opinion, media,
etc.)

Subjective

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 36


Idiosyncratic Leadership
Personality :
Psychological
environment,
physical and
mental ability,
personality traits,
experiences and
cultural-value
norms, attitudes
and belief systems.
Sumber : Peter A. Toma & Robert F. Goma, 1991, International Relations: Understanding
Global Issues. California : Cole Publishing Co.

8. Tiga Jenis Keputusan Politik Luar Negeri (Choplin: 32-39):

1. Keputusan yang sifatnya umum

Terdiri atas serangkaian keputusan yang diekspresikan melalui pernyataan-

pernyataan kebijakan dan tindakan langsung.

Misalnya: containment policy Amerika Serikat yang meliputi pernyataan-pernyataan

politik yang bersifat luas seperti pernyataan Presiden. Sasaran politik luar negeri

bisa menjangkau lingkungan internasional, sekelompok negara atau hanya satu

negara.

2. Keputusan yang bersifat administrative

Keputusan ini dibuat oleh oleh anggota-anggota birokrasi pemerintahan yang

bertugas melaksanakan hubungan luar negeri negaranya. Misalnya: deplu, Dinas

intelejen, dep. Perdagangan dll.

3. Keputusan yang bersifat krisis

Merupakan kombinasi dari kedua tipe terdahulu. Keputusan yang bersifat Krisis bisa

berdampak luas terhadap kebijakan umum suatu negara. Keputusan ini bisa juga

memperkuat kebijakan yang telah ada, misalnya seperti yang terjadi pada saat

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 37


Amerika Serikat melakukan intervensi dalam krisis Indochina pada tahun 1960an

dan 1970-an.

Keputusan krisis dipandang sebagai kategori tindakan yang bisa juga ditafsirkan

sebagai tindakan perang. Keputusan krisis biasanya terbatas hanya untuk beberapa

negara yang terlibat langsung, an biasanya juga terbatas pada tindakan saat itu

meski mempunyai konsekuensi yang luas.

Kebijakan luar negeri yang bersifat Krisis bia diartikan sebagai suatu kondisi dimana

sedikitnya satu negara merasa bahwa suatu situasi merupakan titik balik dalm

hubungannya dengan satu atau lebih negara dalam system itu. Selain itu,ada

perasaan mendesak dalam situasi tersebut yaitu mengakui adanya kebutuhan untuk

membuat suatu keputusan dalam waktu singkat.

Jadi, pengambilan keputusan politik luar negeri merupakan campuran antara kebijakan

luar negeri secara umum, keputusan-keputusan administrative, serta pengambilan

keputusan yang bersifat krisis.

Coulombis dan Wolfe, membagi politik luar negeri berdasarkan beberapa kategori,

yaitu:

1. Keputusan yang bersifat kritis, penting dan rutin.

2. Berdasarkan Kategori Isyu: isyu militer, politik, ekonomi, lingkungan dll

3. Berdasarkan kategori gorgrafis: hubungan Timur-Barat, Utara-Selatan, Barat-Barat,

selatan-selatan

4. Keputusan yang bersifat :

a. Pragmatis (terencana) adalah keputusan besar yang mempunyai konsekuensi

jangka panjang, membuat studi lanjutan, pertimbangan evaluasi yag mendalam

mengenai seluruh opsi alternatif

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 38


b. Krisis adalah keputusan yang dibuat selama masa-masa terancam berat; waktu

untuk menanggapinya terbatas; dan aa elemen yang mengejutkan yang

membutuhkan respon yang telah direncanakan sebelumnya.

c. Taktis adalah keputusan penting yang biasanya bersifat pragmatis; memerlukan

revaluasi, revisi dan pembalikan.

8. Pendekatan-pendekatan dalam Studi Politik Luar Negeri

Studi politik luar negeri kerapkali melibatkan tinjauan domestik dan internasional.

Banyak anggapan bahwa faktor-faktor domestik sama kuatnya mempengaruhi out

put politik luar negeri. Kerangka teoritis pun selalu mengambil dua pertimbangan

yakni unsur domestik dan elemen eksternal.Jika faktor-faktor domestik itu

menentukan kebijakan luar negeri maka kondisi negara-negara itupun ditinjau dari

segi perkembangan ekonomi memberikan nuansa terhadap perilakunya di dunia

internasional. Klasifikasi sederhana terhadap sebuah negara dalam konteks ekonomi

adalah negara-negara maju dan negara-negara berkembang.

a. Lima kerangka teoritis

Sebuah daftar kerangka teoritis yang dicatat Lyod Jensen (1982) memaparkan

lima model dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri8.

Pertama, model strategis atau rasional. Pendekatan ini sering digunakan oleh

sejarawan diplomatik untuk melukiskan interaksi politik luar negeri berbagai

negara atau tindakan para pemimpin negara-negara itu dalam merespon negara

8
Marshall R Singer,” The Foreign Policies of Small Developing States” dalam World Politics : An Introduction
oleh James N Rosenau, Kenneth W Thompson dan Gavin Boyd. New York, The Free Press, 1980, hal. 275.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 39


lainnya. Negara dan pengambil keputusan dipandang sebagai aktor terpencil yang

memaksimalkan tujuannya dalam politik global. Pendekatan ini memiliki

kelemahan adalah asumsi kalkulasi rasional yang dilakukan para pengambil

kebijakan dalam situasi ideal yang jarang terjadi. Dengan kata lain apa yang

disebut rasional oleh peneliti sering dianggap rasional oleh yang lainnya. Bahkan

ada kelemahan lainnya bahwa model seperti ini menyandarkan pada intuisi dan

observasi.

Model kedua adalah pengambilan keputusan. Penulis terkenal kerangka analisa

ini adalah Richard C Snyder, HW Bruck dan Burton Sapin. Ia menggambarkan

modelnya dalam kerangka yang kompleks dengan meneropong jauh kedalam

“kotak hitam” pengambilan kebijakan luar negeri. Salah salah satu keuntungan

pendekatan ini yakni membawa dimensi manusia kedalam proses politik luar

negeri secara lebih efektif.

Model ketiga yakni politik birokratik. Jensen menyebutkan pendekatan ini

menekankan pada peran yang dimainkan birokrat yang terlibat dalam proses

politik luar negeri. Menurut Jensen, karena peralihan yang signifikan dalam

pemerintahan dan partai-partai politik di banyak negara, maka politik luar negeri

tergantung kepada pelayanan pegawai negeri yang lebih permanen untuk

informasi dan nasihat. Oleh sebab itu birokrat - termasuk di jajaran Departemen

Luar Negeri - mampu mempengaruhi pembentukan politik luar negeri. Namun

demikian peran birokrat ini tak bisa dibesar-besarkan karena keterbatasan

pengaruhnya juga.

Keempat, model adaptif menekankan pada anggapan bahwa perilaku politik luar

negeri seyogyanya difokuskan pada bagaimana negara merespon hambatan dan

peluang yang tersedia dalam lingkungan internasional. Disinilah pilihan politik luar

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 40


negeri tidak dalam kondisi terbatas namun sangat terbuka terhadap segala

pilihan.

Model kelima disebut Jensen sebagai pengambilan keputusan tambahan. Karena

adanya ketidakpastian dan tidak lengkapnya informasi dalam masalah-masalah

internasional, disamping banyaknya aktor-aktor publik dan privat yang terkait

dengan isu-isu politik luar negeri, maka keputusan tak bisa dibuat dalam

pengertian kalkulasi rasional komprehensif.

Sementara itu studi politik luar negeri negara-negara sedang berkembang

disebut-sebut “kurang berkembang” atau “tidak berkembang”. Namun demikian

studi terhadap negara berkembang, untuk membedakan dari negara maju seperi

Amerika Serikat atau Inggris, tetap menarik untuk disimak.

Sejauh ini seperti dikatakan Ali E Hilla Dessouki dan Bghat Korany9, ada tiga

pendekatan yang mendominasi studi politik luar negeri di negara-negara

berkembang baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin. Pertama, pendekatan

psikologis. Pendekatan ini menilai politik luar negeri sebagai fungsi impuls dan

idiosinkratik seorang pemimpin. Menurut pandangan ini, raja-raja dan presiden

merupakan sumber politik luar negeri. Oleh karena itu perang dan damai

merupakan selera pribadi dan pilihan individual. Dalam hal ini politik luar

negeri dipersepsikan bukan sebagai aktivitas yang dirancang untuk mencapai

tujuan-tujuan nasional atau sosietal melainkan seperti ditulis Edward Shill tahun

1962 sebagai “bagian dari hubungan masyarakat”. Tujuannya, memperbaiki citra

negara, meningkatkan popularitas pemimpin dan mengalihkan perhatian dari

kesulitan-kesulitan domestik kepada ilusi-ilusi kemenangan

eksternal. Terhadap pendekatan ini sedikitnya terdapat tiga kritik. Pertama,

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 41


pendekatan ini membuat politik luar negeri tampak seperti sebuah kegiatan

irasional, bukan masalah analisis sistematik. Kritik kedua, pendekatan ini

mengabaikan konteks (domestik, regional dan global) dimana politik luar negeri

diformulasikan dan dilaksanakan. Ketiga, pendekatan seperti ini mengabaikan

fakta bahwa karena kepentingan mereka dalam survival politik, sebagian besar

pemimpin menepiskan sifat eksentriknya yang berlawanan dengan sikap

dominan, perasaan publik dan realitas politik.

Memang sulit mengesampingkan variabel idiosinkratik di kebanyakan negara

berkembang namun yang lebih penting dianalisa bagaimana konteks pembuatan

kebijakan mendorong tipe-tipe kepemimpinan tertentu dan bukan tipe yang

lainnya. Atau bagaimana faktor idiosinkratik pemimpin mungkin mengubah

konteks, mempengaruhi orientasi politik luar negeri pemimpin lainnya.

Kedua, pendekatan negara-negara besar yang dominan di kalangan pakar-pakar

realis seperti Hans J Morgenthau. Pendekatan ini memandang politik luar negeri

sebagai fungsi konflik Timur-Barat. Singkatnya, politik luar negeri negara-negara

berkembang dipandang lemah otonominya. Negara berkembang dipengaruhi

rangsangan eksternal, mereka bereaksi terhadap prakarsa dan situasi yang

diciptakan kekuatan eksternal. Kelemahan utama pendekatan ini mengabaikan

sumber-sumber dalam negeri dalam politik luar negeri.

Ketiga, pendekatan reduksionis atau model-builders. Pendapatnya, politik luar

negeri negara berkembang ditentukan oleh proses yang sama dan perhitungan

keputusan yang membentuk politik luar negeri negara-negara maju. Perbedaan

dasarnya adalah kuantifikasinya. Negara berkembang memiliki sumber-sumber

dan kemampuan yang kecil. Oleh sebab itu, melaksanakan politik luar negeri

9
Lyod Jensen, Explaining Foreign Policy. New jersey, prentice Hall. Inc., 1982, hal. 5-11

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 42


dalam skala yang lebih kecil. Pandangan ini berdasarkan asumsi bahwa perilaku

semua negara (besar dan kecil, kaya atau miskin, berkembang atau maju)

mengikuti model pengambilan keputusan aktor rasional. Dikatakan pula,

semua negara berusaha meningkatkan kekuasaan dan semua negara juga

dimotivasi oleh faktor-faktor keamanan. Oleh karena itulah, politik luar negeri

negara-negara berkembang persis sama seperti negara maju namun dalam level

lebih rendah. Pendekatan ini tidak memperhitungkan karakter khusus seperti

modernisasi, pelembagaan politik yang rendah dan status ketergantungan dalam

stratifikasi sistem global.

Salah satu ciri-ciri kajian baru, berbeda dengan tiga pendekatan tadi, menekankan

kepada sumber-sumber politik luar negeri dan bagaimana proses modernisasi dan

perubahan sosial mempengaruhi perilaku eksternal negara-negara

berkembang.

Misalnya karya Weinstein tentang politik luar negeri Indonesia yang menghasilkan

pandangan adanya tiga tujuan politik luar negeri10. Pertama, mempertahankan

kemerdekaan bangsa melawan ancaman yang dipersepsikan. Kedua, mobilisasi

sumber-sumber eksternal untuk pembangunan dalam negeri. Dan ketiga,

mencapai sasaran-sasaran yang berkaitan dengan politik dalam negeri seperti

mengisolasi salah satu oposisi politik dari dukungan luar negeri, memanfaatka

legitimasi untuk tuntutan-tuntutan politik domestik dan menciptakan simbol-simbol

nasionalisme dan persatuan nasional.

Contoh lain kajian baru politik luar negeri negara berkembang menekankan

sumber-sumber domestik dan bagaimana proses modernisasi dan perubahan

10
Ali E Hillal Dessouki and Baghat Korany, A Literature Survey and a Framework for Analysis dalam The
Foreign Policies of Arab States, Bouleder, Westview Press, 1991, hal. 8.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 43


sosial mempengaruhi perilaku eksterrnal. East dan Hagen menggaris bawahi

faktor sumber-sumber untuk membedakan dengan ukuran-ukuran faktor itu

berupa jumlah absolut sumber-sumber yang tersedia dengan faktor modernisasi

yang artinya kemampuna memobilisasi, mengontrol dan menggunakan sumber-

sumber ini. Modernisasi itu sendiri dipandang sebagai proses dimana negara-

negara meningkatkan kemampuannya untuk mengontrol dan menggunakan

sumber-sumbernya. Ini berarti, negara yang modern punya kemampuan yang

lebih besar dalam bertindak.

Unsur penting lainnya kajian politik luar negeri negara berkembang menekankan

pada posisi ekonomi politik aktor dalam startifikasi sistem global. Johan Galtung

seperti dikutip Marshall R Singer melukiskan dengan jelas tentang stratifikasi

dalam sistem internasional ini11. Galtung memaparkan bahwa sistem politik

internasional mirip dengan sistem feodal yang terdiri dari negara besar alias “top

dog”, negara menengah dan regional serta negara berkembang atau negara

“underdog” yang lebih kecil.Dalam konteks ini, ketidaksederajatan menjadi fokus

utama. Negara berkembang eksis dalam tatanan dunia ini dicirikan dengan

ketidaksederajatan antara negara dalam level pembangunan sosial ekonomi,

kemampuan militer dan stabilitas politik dan prestise. Akibatnya, penetrasi luar

terada proses pengambilan keputusan negara-negara berkembang. Aktor

eksternal berpartisipasi secara otoritatif dalam alokasi sumber-sumber dan

determinasi sasaran-sasaran nasional. Dalam hal ini banyak karya ilmiah sudah

ditulis tentang peranan Dana Moneter Internasional (IMF), perusahaan

multinasional dan bantuan luar negeri negara-negara besar.

11
Marshall R Singer,” The Foreign Policies of Small Developing States” dalam World Politics : An Introduction
oleh James N Rosenau, Kenneth W Thompson dan Gavin Boyd. New York, The Free Press, 1980, hal. 275.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 44


Dari berbagai pendekatan yang ada, tulis Hillal dan Korany, analisis yang

memadai terhadap politik luar negeri negara-negara berkembang semestinya

mempertimbangkan bahwa politik luar negeri adalah bagian dan paket situasi

umum Dunia Ketiga dan merefleksikan evolusi situasi ini. Dengan demikian,

proses politik luar negeri tak dapat dipisahkan dari struktur sosial domestik atau

proses politik domestik. Menurut Hillal dan Korany, untuk memahami politik luar

negeri negara Dunia Ketiga perlu membuka “kotak hitam”. Dunia Ketiga ini banyak

dipengaruhi stratifikasi internasional. Meskipun negara berdaulat namun negara-

negara Dunia Ketiga, dapat dirembesi, dipenetrasi dan bahkan didominasi. Oleh

sebab itu penting pula melihat struktur global yang mempengaruhi proses

pembuatan kebijakan luar negeri. Sedikitnya ada tiga persoalan besar yang

dihadapi negara berkembang dalam melaksanakan politik luar negerinya.

Pertama, dilema bantuan dan independensi. Negara Dunia Ketiga mengalami

dilema anara memiliki bantuan luar negeri atau mempertahankan independensi

nasional.

Kedua, dilema sumber-sumber dan tujuan yang lebih menekan di negara

berkembang dibandingkan negara maju. Dilema ini menyangkut kemampuan para

pengambil kebijakan mengejar tujuan di tengah realisme kemampuan

negaranya.

Keempat, dilema keamanan dan pembangunan yang merupakan versi modern

dari debat lama “senjata atau roti”. Sejumlah pakar menilai politik luar negeri

terutama merupakan proses atau aktivitas yang tujuan utamanya adalah

mobilisasi sumber-sumber eksternal demi pembangunan masyarakat. Dari

paparan teoritis tentang berbagai pendekatan untuk memahami politik luar negeri

sebuah negara dan spesifik lagi untuk mengetahui lebih jauh politik luar negeri

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 45


negara berkembang, penulis menyusun sebuah kerangka analisis sendiri.

Kerangka analisis itu terdiri dari empat pilar yakni, lingkungan domestik, orientasi

politik luar negeri, proses pengambilan keputusan dan perilaku politik luar

negeri.

Ada baiknya unsur-unsur ini diuraikan untuk mengetahui bobot dan rangkaiannya

dalam meneliti input dan outputs politik luar negeri berkembang. Pertama, dalam

unsur lingkungan domestik sejumlah faktor dianalisa untuk mengetahui apakah

yang memperkuat dan menghambat politik luar negeri seperti geografi, struktur

sosial, kemampuan ekonomi, kemampuan militer dan struktur politik. Dalam kajian

struktur politik dibahas sejauh mana elemen ini memberikan peluang atau

menghambat para pengambil keputusan. Menyangkut struktur politik diantaranya

stabilitas, legitimasi, tingkat institusionalisasi dan tingkat dukungan publik.

Faksionalisasi politik dan instabilitas domestik biasanya menghambat

pelaksanaan sebuah politik luar negeri.

Tingkat yang rendah dalam institusionaliasi dan tingginya instabilitas politik di

sebagian besar negara berkembang menghasilkan sejumlah hal. Salah satunya

adalah keutamaan eksekutif, khususnya dalam pengembangan pusat presiden

yang mendominasi proses pengambilan keputusan. Kelembagaan presiden

biasanya menikmati kebebasan relatif karena tiadanya kebebasan pers atau

oposisi yang kuat. Di negara-negara seperti ini hubungan antara kebijakan

domestik dan luar negeri lebih langsung daripada negara maju yakni politik luar

negeri dikerahkan untuk mencapai tujuan domestik.

Orientasi politik luar negeri menyangkut salah satu komponen output politik luar

negeri. Komponen lainnya adalah keputusan dan tindakan. Orientasi adalah cara

elit politik luar negeri sebuah negara mempersepsikan dunia dan peran negaranya

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 46


di dunia. Holsti mendefinisikan orientasi sebuah negara sebagai “sikap umum

(sebuah negara) dan komitmen terhadap lingkungan eksternal, strategi

fundamental untuk mencapai tujuan domestik dan tujuan serta aspirasi

eksternal dan untuk menghadapi ancaman yang ada.” Ia mendefinsikan tiga

orientasi yakni isolasi, nonblok dan koalisi. Orientasi ini biasanya stabil.

Perubahan berlangsung jika terjadi peralihan radikal struktur politik domestik,

keseimbangan regional dan sistem global.

Llyod S Ethredge seperti dikutip Jensen melihat adanya dua orientasi individual

terhadap sistem politik internasional yakni introvert dan ekstrovert. Kemudian ia

membuat matriks dengan mengkaitkannya dengan unsur dominasi. Ia

melukiskannya sebagai berikut :

Introvert Ekstrovert
Dominasi Pemimpin blok Pemimpin (penyatuan)
tinggi(pembentukan ulang) dunia)
Dominasi Mempertahankan Konsiliasi
rendah(memelihara)

Selanjutnya unsur proses pengambilan keputusan yang menekankan

personalisasi karakter proses pengambilan keputusan dan lemahnya

institusionalisasi di negara-negara berkembang. Sebenarnya pengambilan

keputusan tidak sesedehana itu. Seorang pemimpin mungkin mengambil kata

akhir untuk menentukan beberapa alternatif namun ia harus mempertimbangkan

banyak variabel dan harus mengingat respon berbagai kelompok domestik yang

berpengaruh. Dalam banyak contoh unit utama pengambilan keputusan bukanlah

presiden secara individual melainkan presiden sebagai lembaga.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 47


Perilaku politik luar negeri yang merupakan kerangka analisis berikutnya berisi

tindakan dan posisi konkret serta keputusan negara yang diambil atau disahkan

dalam melaksanakan politik luar negeri. Tindak-tanduk politik luar negeri

merupakan ekspresi konkret orientasi dalam tindakan spesifik. Pada umumnya

perilaku politik luar negeri dicirikan dengan dukungan dari PBB.

Sementara itu studi politik luar negeri misalnya Indonesia sudah banyak

dilakukan baik oleh akademisi dalam negeri maupun kalangan peneliti asing. Leo

Suryadinata mengkategorikan kajian politik luar negeri dalam dua pendekatan

yakni studi makro dan mikro12. Ia menyebutkan mereka yang studi makro antara

lain Franklin Weinstein, Anak Agung Gde Agung dan Michael Leifer.

Sedangkan studi skala mikro misalnya dilakukan John M Reinhardt, JAC Mackie,

David Mozingo dan Dewi Fortuna Anwar. Perlu ditambahkan pula studi mutakhir

bersifat mikro terhadap politik luar negeri Indonesia dilakukan Rizal

Sukma13.

Studi terhadap politik luar negeri juga biasanya membaginya berdasarkan periode

Sukarno dan Soeharto. Sebagian besar studi politik luar negeri era Soeharto

diterbitkan tahun 1970-an dan awal 1980-an. Studi yang dilakukan Rizal selesai

dalam bentuk disertasi tahun 1997. Jadi tergolong baru dibandingkan studi

terakhir yang dilaksanakan Leo yang terbit tahun 1996.

Dimensi politik luar negeri negara-negara berkembang lebih kompleks

dibandingkan dengan model untuk studi politik luar negeri negara-negara maju.

12
Leo Suryadinata, Indonesia’s Foreign Policy Under Suharto. Singapura: Times Academic Press,1996, hal.1

13Sukma, Rizal, Indonesia’s Restoration of Diplomatic Relations with China: A Study of Foreign Polici
Making and the Function of Diplomatic Ties. London, Department of International Relations. The London
School of Economics and Political Science, University of London, United Kingdom, 1997.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 48


Lima model yang diajukan Jensen dalam kajian politik luar negeri, tidak

mencukupi untuk menguraikan rangkaian yang terkait dengan politik luar negeri

yang dilakukan negara sedang berkembang.

Unsur-unsur domestik seperti pembangunan ekonomi, politik, struktur sosial serta

instabilitas yang terkandung dalam proses perumusan serta aktualisasi politik luar

negeri sangat besar pengaruhnya. Bahkan dalam skala tertentu, negara

berkembang cenderung memiliki instabilitas tinggi dibandingkan dengan negara

maju sehingga polanya tidak ajeg.

Disamping itu faktor sistem internasional dimana hegemoni negara besar juga

berpengaruh, perilaku politik luar negeri juga mengikuti arus internasional.

Ketergantungan ekonomi dan politik negara berkembang terhadap negara besar

menyebabkan keterbatasan dalam melaksanakan politik luar negerinya.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 49


BAB III

TINGKAT ANALISA

A. Pengertian / Makna Tingkat Analisa

Tantangan / hambatan awal yang dihadapi oleh para analis politik luar negeri atau

hubungan internasional adalah keharusan menemukan sasaran analisa yang tepat, yaitu

persoalan memilih dr berbagai kemungkinan tingkat analisa (apa yang harus diamati atau

apa yang harus dipakai sebagai unit eksplanasi, dan pada tingkat mana analisa harus

ditekankan).

Dalam proses memilih tingkat analisa, kita harus menetapkan:

a. Unit Analisa, yaitu Variabel atau unit yang perilakunya hendak kita deskripsikan,

jelaskan atau ramalkan. Ini disebut Variabel Dependen;

b. Unit Eksplanasi, yaitu Variabel atau unit yang dampaknya / akibatnya terhadap

unit analisa hendak kita amati. Disebut juga Variabel Independen.

Pendapat J.D. Singer:

“dalam setiap bidang keilmuan, selalu terdapat berbagai cara untuk memilah dan

mengatur fenomena yang dipelajari demi analisa yang sistematik………….

pengamat bisa memilih pusat perhatian, pada bagian-bagiannya atau pada

keseluruhan fenomena , pada komponennya atau pada sistemnya. Ia bisa memilih

mau memperhatikan bunganya atau kebunnya, pohon atau hutannya, rumah atau

kampungnya, remaja nakal atau kelompok gengnya, anggota DPR atau

parlemennya, dan sebagainya.

Dengan analogi dari Singer, maka :

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 50


a. kita bisa mempelajari HI atau PLN dari “bagian”nya (bunga, pohon, rumah,

remaja nakal, anggota DPR). Dengan pendekatan ini kita mempelajari politik

dalam negeri suatu negara yang mempengaruhi para pembuat keputusan dalam

memilih berbagai alternatif untuk membuat politik luar negeri.

b. Kita bisa menganalisa atau mempelajari HI atau PLN dari “keseluruhan”nya

(kebun, hutan, kampung, kelompok gang, parlemen). Dengan pendekatan ini kita

mempelajari system intenasional yang merupakan lingkungan besar yang

mempengaruhi proses pembuatan keputusan itu.

B. Pentingnya menentukan tingkat analisa14: ( Mohtar Mas’oed. 1990; 40-41 )

1. Karena untuk menjelaskan satu peristiwa internasional, terdapat lebih dari satu

faktor yang punya kemungkinan menyebabkannya, mulai dari perilaku individual

pemimpin, perilaku kelompok, karekateristik negara, hubungan antar negara dalam

region, struktur hubungan internasional/global, shg kita harus menentukan fokus of

interest.

2. Kerangka berfikir tingkat analisa membantu kita memilah-milah faktor mana yang

harus paling banyak ditekankan.

3. Kerangka berfikir tingkat analisa memungkinkan kita untuk memilah-milah mana

dampak dari sekumpulan faktor tertentu terhadap suatu fenomena itu; dan

kemudian membandingkan dampak dari kedua faktor yang berbeda, sehingga kita

akan mempunyai beberapa penjelasan alternatif

4. Kita harus peka terhadap masalah tingkat analisa karena ada kemungkinan

melakukan kesalahan metodologis yang disebut fallacy of composition, yaitu

kesalahan akibat berasumsi bahwa generalisasi tentang perilaku “bagian” dapat

14
Mohtar Mas’oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Teori dan Metodologi, Jakarta: LP3ES

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 51


juga dipakai untuk menjelaskan “keseluruhan” (contoh: bahwa manusia secara

individual selalu mengejar power dengan segala cara, sehingga negaranya pun

akan mengejar power dengan segala cara pula); ecological fallacy, yaitu kesalahan

akibat memakai generalisasi yang ditarik pada tingkat “keseluruhan” untuk

menjelaskan “bagian” (contoh: kalau kita menemukan bahwa negara-negara

membelanjakan anggaran yang sangat besar untuk pertahanan, kita tidak bisa

menyimpulkan bahwa individu-individu yang kaya juga berbuat sama).

C. Kemungkinan Perspektif Analisa:

Kasus: Kita hendak menjelaskan politik konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia.

Dalam kasus ini kita bisa menjelaskan fenomena tsb dengan tiga perspektif:

1. Analisa Induksionis

Yaitu unit eksplanasinya lebih tinggi tingkatnya dibanding unit analisa

(yang dilakukan oleh Indonesia –unit analisa negara bangsa- sebenarnya

hanyalah memberi tanggapan atau respon terhadap apa yang terjadi dalam

system internasional atau system regional)

Asumsinya, negara-bangsa adalah unit yang perilakunya sekedar menanggapi apa

yang terjadi dalam konteks yang lebih besar. Jadi, unit eksplanasinya adalah

system intenasional-regional atau system global.

2. Analisa Korelasionis

Yaitu unit eksplanasinya dan unit analisa sama tingkatnya

(politik konfrontasi sebagai akibat dari karakteristik proses pembuatan keputusan

pemerintahnya. Disini, unit analisa dan unit eksplanasi sama, yaitu negara

bangsa)

3. Analisa Reduksionis

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 52


Yaitu unit eksplanasinya lebih rendahnya tingkatnya dibanding unit analisa

(Kita bisa menjelaskan perilaku konfliktual itu sebagai perilaku individual Presiden

Soekarno atau sebagai hasil persaingan antara PKI dan TNI AD. Dengan demikian

unit nya adalah negara, sedangkan unit eksplanasinya adalah perilaku individu

atau kelompok).

D. Identifikasi Tingkat Analisa

Dalam studi hubungan internasional secara umum dan studi analisis politik luar negeri

secara khusus, identifikasi tingkat analisa berguna untuk memperjelas proses

pembentukan teori atau untuk menganalisis fenomene hubungan internasional.

Tabel: Unit Analisa dan Unit Eksplanasi

UNIT ANALISA

Individu dan Negara Bangsa Sist. Regional


Kelompok & Global

UNIT Individu dan 2 3 3


Kelompok

EKSPLANASI Negara Bangsa 1 2 3

Sistem Regional & 1 1 2


Global
Sumber : R.F. Hopkins & R.W. Mansbach, 1973, Structure and Process in International
Politics, Harper and Row, dalam Mohtar Mas,oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional:
Teori dan Metodologi, Jakarta: LP3ES

Keterangan :

Nomor 1 : Analisa Reduksionis

Nomor 2 : Analisa Korelasional

Nomor 3 : Analisa Induksionis

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 53


E. Tingkat Analisa dalam analisa Politik Luar Negeri:

Banyak ahli/pakar dalam studi hubungan internasional memberikan pendapat yang

berbeda dalam menentukan peringkat/tingkat analisa untuk mengkaji perilaku Negara

dalam hubungan internasional, diantaranya :

Kenneth Waltz : Individu, Negara, Sistem Internasional

J. David Singer : Negara dan Sistem Internasional

John Spanier: Tingkat Sistemik, Negara Bangsa, Individu Pembuat Keputusan

Bruce Russet & Starr: Individu Pembuat Keputusan, Peranan yang dijalankan oleh

Individu, Struktur Pemerintahan, Masyarakat, Jaringan Hubungan antara pembuat

keputusan dengan aktor internasional, system dunia

Stephen Andriole : Individu, Kelompok Individu, Negara-Bangsa, antar negara

bangsa/multi negara, system internasional

Patrick Morgan : Individu, Kelompok Individu, Negara-Bangsa, Kelompok Negara-

Bangsa, Sistem Internasional

Rosenau : Individu, Peranan, Birokrasi, Societal, Sistem Internasional

Mohtar Mas’oed : Individu, Kelompok Individu, Negara-Bangsa, Kelompok Negara

Bangsa dalam suatu region, system global.

Secara umum tingkat analisa (independent variable) dalam studi hubungan internasional

dan analisis politik luar negeri dapat dikelompokan menjadi :

a. Perilaku Individu

Asumsinya adalah bahwa fenomena hubungan internasional merupakan akibat

dari perilaku individu-individu (tokoh-tokoh utama para pembuat keputusan:

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 54


Kepala pemerintah, Menteri Luar Negeri, Penasehat Keamanan, dll) yang saling

berinteraksi di dalamnya

b. Perilaku Kelompok

Asumsinya adalah bahwa individu umumnya melakukan tindakan internasionalnya

dalam kelompok. Hubungan Internasional sebenarnya adalah hubungan antar

berbagai kelompok kecil di berbagai Negara, artinya, peristiwa internasional

sebenarnya ditentukan bukan oleh individu, tetapi oleh kelompok kecil (seperti

Kabinet, Parlemen, Politibiro, dll) dan oleh organisasi, departemen, badan-badan

pemerintahan.

c. Perilaku Negara Bangsa

Asumsinya adalah semua pembuat keputusan, dimanapun berada, pada dasarnya

berperilaku sama apabila menghadapi situasi yang sama. Karena itu analisa yang

menekankan variasi atau perbedaan antara perilaku sekelompok pembuat

keputusan di suatu Negara dengan sekelompok lain di Negara lain akan sia-sia.

Analisa ini menekankan pada perilaku unti Negara bangsa, karena hubungan

internasional pada dasarnya adalah didominasi oleh perilaku Negara bangsa.

Dengan kata lain, kita harus mempelajari proses pembuatan keputusan tentang

hubungan internasional, yaitu politik luar negeri oleh suatu Negara bangsa

sebagai suatu unit yang utuh.

d. Pengelompokan Negara-negara / Regional

Asumsinya adalah bahwa dalam melakukan hubungan internasional, Negara

bangsa tidak bertindak sendiri-sendiri. Hubungan internasional pada dasarnya

merupakan interaksi yang membentuk pola-pola dan pengelompokan. Karena itu

unit analisa yang harus dikaji adalah pengelompokan regional, aliansi,

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 55


persekutuan ekonomi dan perdagangan, blok ideology, pengelompokan dalam

PBB, dll.

e. Sistem Internasional

Asumsinya bahwa bangsa-bangsa di dunia dan interaksi di antara mereka

merupakan suatu system. Struktur system dan perubahan-perubahan di dalamnya

yang terjadi selama ini menentukan perilaku actor-aktor hubungan internasional

yang terlibat di dalamnya. Sistem sebagai lingkungan telah menentukan perilaku

bangsa-bangsa. Karena system internasional dianggap sebagai penyebab

terpenting terjadinya perilaku Negara bangsa, maka tingkat analisa ini

menenkankan untuk mempelajari system itu dan membuat generalisasi tentang

system itu sebagai suatu keseluruhan.

F. Menetapkan Tingkat Analisa ( Mohtar Mas’oed :1990; 48-58)

Berdasarkan pada dua hal yaitu:

1. Teori

Teori atau prakonsepsi yang kita miliki tentang fenomena yang hendak dianalisa,

yang menuntun kita untuk memilih tingkat analisa. (hal. 55)

2. Tujuan Analisa atau tujuan penelitian. (hal. 55)

Menurut Russett dan Starr, yang mempengaruhi penetapan tingkat analisa adalah

pertimbangan apakah analisa itu hanya untuk kepentingan memperoleh pengetahuan

tentang hubungan internasional atau untuk membuat keputusan.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 56


BAB IV

TINGKAT ANALISA INDIVIDUAL (VARIABEL IDEOSINKRATIK)

A. Makna Pendekatan Mikro

Tingkat analisa individu disebut juga dengan pendekatan Mikro, karena yang dijadikan

unit analisis adalah individu, dalam hal ini variable Kepribadian seseorang individu

(Pemimpin, Presiden) atau juga disebut dengan varibel Ideosincratik dengan

menggunakan pendekatan Psikologi.

Teoritisi yang menerapkan tingkat analisa individu berasumsi bahwa :

1. pengetahuan politik adalah pengetahuan tentang manusia, yaitu pengetahuan

tentang dirinya sendiri, bagaimana mereka memandang dunia dan tempat hidup

di dalamnya, dan apa yang menurut mereka penting dalam hidup ini. Analisis ini

berhubungan dengan kebutuhan, kehendak, citra, nilai dan keyakinan

Premis dasar teoritisi behavioralis: bahwa analisis politik harus didasarkan pada

studi perilaku politik individual, yang melakukan tindakan politik adalah para

pemimpinnya.

2. Keterlibatan seseorang dalam situasi tertentu menimbulkan akibat yang berbeda

3. Kekuatan besar yang mendorong dinamika politik internasional pada akhirnya

datang dari hakekat manusia yang paling dalam.

Masalah teknis dalam pendekatan Mikro adalah kenyataan bahwa karakteristik individu

sangat kompleks. Ia terdiri dari dari unsure-unsur nilai, kepribadian, langgam,

pengalaman masa lalu, keyakinan, citra, persepsi dan lain-lain.

Metode yang digunakan:

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 57


1. studi Psikologis atau psiko-historis: melalui wawancara langsung dengan si tokoh,

penelaahan dokumen resmi, arsip, pidato, makalah dan catatan pribadi. Hal ini

juga menyangkut sejarah kehidupan (biografi atau autobiografi).

2. Analisis Isi (content analysis): melalui bahan-bahan tertulis (surat-surat, naskah

pidato, berita Koran)

3. Eksperimen dalam laboratorium: melalui simulasi.

THE IMPACT OF IDEOSYNCRATIC FACTORS15 :

1. The higher the interest of decision maker in foreign policy matters, the greater the

impact of personality upon foreign policy.

2. The greater the decisional latitude permitted the decision maker, the greater

impact of personality Vriables on foreign policy

3. Personality factors are more important the higher the level of the decision making

structure at which a decision in made.

4. Personality variables are more important in non-routine situations in which

standard operating procedures are inadequate

5. Situations that are highly ambigious, unanticipated, remote or involve

contradictory information provide more opportunities for personality varaibles to

influence the outcome

6. Personality predispositions are more likely to have an impact when information is

either overload or too sparse to provide apropriate clues for rational choice

7. Idiosyncratic inputs are more likely to occur in dealing with long rang planning

than in dealing with current situations

15
Loyd Jensen………………….

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 58


8. A leader may purposefully seek to hold in check basic psychological

predispositions if he or she perceives an issue to be important on involving

national survival

B. Teori-Teori tentang Hubungan karakeristik dengan Perilaku dalam system

internasional (Mohtar Mas’oed : 1989: 4-12)

1. Teori tentang Naluri Manusia (Biological Explanation)

Ilmuwan yang mengembangkan teori ini memandang bahwa perilaku manusia

terutama perilaku sosialnya, lebih banyak ditentukan oleh naluri daripada oleh nalar

atau tradisi cultural. Asumsinya adalah bahwa penyebab terjadinya fenomena

hubungan internasional seperti perang/konflik harus dicari pada hakekat perilaku

manusia.

Benedict Spinoza menyatakan bahwa dari setiap tindakan adalah upaya pelaku

tindakan untuk memelihara keutuhan diri. (Spinoza dalam Mas,oed : 1989: 4-12).

Di sini ada konflik antara nalar dan nafsu. Kalau manusia hidup hanya dengan nalar,

ia bisa belajar hidup berdampingan. Tetapi karena nafsunya mendorong manusia

untuk berusaha menjadi “yang ter…”. Dalam hal ini konflik politik terjadi karena

hakekat manusia yang jahat.

Morgenthau berpendapat sama, yang didasarkan pada asumsi bahwa manusia

terlahir suka mengejar kekuasaan, dan karena tidak ada wewenang yang lebih

tinggi daripadanya, maka tidak ada yang bisa mencegahnya untuk mengejar

kekuasaan dengan menggunakan kekerasan. Selain itu, Morgenthau juga

mengatakan dorongan untuk hidup, memperbanyak dan mendominasi adalah

umum pada setiap manusia. (Morgenthau dalam Mas,oed : 1989: 4-12).

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 59


Konrad Lorenz, berpendapat dalam bukunya On Agression (Konrad Lorenz dalam

Mas,oed : 1989: 4-12), mengatakan bahwa manusia seperti hewan mempunyai

naluri ( instinct ). Naluri adalah perilaku bawaan sejak lahir, bukan perilaku yang

dipelajari kemudian. Diantara naluri yang ditemukan Lorenz adalah Naluri Agresif.

Ini berarti bahwa apabila manusia ditantang oleh manusia lain, maka ia akan

bereaksi dengan marah dan siap berkelahi bukannya melarikan diri. Naluri ini

mempunyai tiga fungsi: pertama, naluri agresif membuat anggota-anggota suatu

rumpun menyebar secara merata dalam suatu wilayah, sehingga menjamin setiap

anggota mempunyai ruang yang cukup untuk bertahan hidup; kedua, naluri agresif

memungkinkan penentuan siapa yang paling kuat dan berhak menjadi pemimpin

suatu rumpun melalui adu kekuatan; ketiga, naluri agresif juga memungkinkan bagi

orang tua untuk melindungi anak dan keturunannya sementara mereka masih

lemah dan tak berdaya.

Proposisi yg terkait dg Perilaku Agresif Manusia (Konrad Lorenz) ;

1. Humans, like alls animals, have inherent aggressive drive for which there is no

outlet.

2. Animal have built in mechanisms that prevent them from killing their own kind,

for it would mean the destruction of the species. Those with poor defense

mechanisms are able to escape easily.

3. Humans lack the natural weapon to kill big prey, including their own kind and,

as a result, have failed through the evolutionary process mechanisms that

would prevent destruction of the species.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 60


4. At the same time, humans have developed instruments that allow them to kill

their fellows, as they have been prone to do since the discovery of rocks,

tools, and fire

5. Although humans can reason and have consequently developed greater moral

responsibility than animals, push-botton warfare makes killing over lng distance

easy and tends not to evoke the moral repugnance elicated by face-to-face

battle. As a result, the innate aggresiveness of human beings creates a

fundamental problem as far as human survival is concerned.

2. Teorisasi tentang Kepribadian

Asumsinya bahwa perilaku politik adalah akibat dari sifat-sifat manusia yang sangat

dasar, yang disebut Kepribadian (personality). Perilaku manusia bukanlah hasil

perhitungan tentang tujuan dan cara mencapai tujuan itu, tetapi lebih merupakan

akibat dari ciri-ciri kepribadian si pelaku politik yang terbentuk sejak masa kanak-

kanak dan tetap melekat sepanjang hidupnya.

Menurut Teori Kepribadian, kita tidak bisa secara langsung mengamati “kepribadian”

seseorang, yang bisa diamati adalah dengan jalan melakukan inferensi tentang pola

dan substansi kepribadian seseorang dengan mengamati perilakunya. Kepribadian

merupakan construct (istilah metodologis) yang dibangun dari penafsiran kita

tentang manifestasinya dalam bentuk tingkah laku. Jadi, dalam pengamatannya, kita

memusatkan perhatian pada segi-segi atau ungkapan-ungkapan kepribadian yang

dianggap paling berguna untuk menjelaskan perilaku politik si pemilik keperibadian.

Ada dua contoh tentang teorisasi kepribadian, yaitu:

a. Psikobiografi dengan menggunakan pendekatan psikoanalisis.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 61


Salah satu bentuk penerapan teori kepribadian adalah psikobiografi yang

merupkan studi mendalam tentang pemimpin politik yang terkenal. Asumsinya

bahwa manusia adalah faktor yang membedakan hasil suatu kejadian dan bahwa

kepribadian adalah determinan pokok perilaku pemimpin. Keuntungan dari

psikobiografi adalah adanya kesempatan untuk memahami secara mendalam

kehidupan politik seseorang. Kerugiannya adalah ketidakmampuan untuk

membuat generalisasi kasus tunggal.

Penerapan psikoanalisis dalam studi politik dipelopori oleh Harold Lasswell pada

tahun 1930-an. Argumentasinya bahwa perilaku politik adalah hasil dari upaya

kepribadian actor politik memproyeksikan dirinya pada suatu obyek public dan

kemudian merasionalisasikan tindakan itu dengan dalih kepentingan public.

Perilaku politik actor juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan dan masa lalu dari

actor tersebut.

Menurut Lasswell, dalam diri manusia terdapat kepribadian politik dasar, yang

diwarnai dorongan kuat untuk memperoleh kekuasaan, yaitu kesempatan untuk

menerapkan kekuasaan dan mengendalikan orang lain. (Bandingkan dengan

pendapat Machiavelli dan Morgenthau)

Ilmuwan politik dengan pendekatan mikro menemukan beberapa faktor

pendorong kterlibatan orang dalam politik, kehendak untuk berprestasi dan

kebutuhan untuk berafiliasi dengan orang lain.

b. Klasifikasi tipe-tipe atribut kepribadian

Tipologi Pemimpin menurut Barber :

b) Aktif-Positif, ciri-cirinya :

1. Memperoleh kepuasan dalam politik karena kegiatan itu memberi mereka

kesempatan untuk berprestasi dan mencapai tujuan.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 62


2. Jabatan sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah, mencapai keberhasilan

3. Mempunyai perasaan humor pada saat krisis

4. mampu tetap luwes dan mencari kompromi dalam menghadapi lawan

5. Dia tidak memandang masalah-masalah kenegaraan sebagai masalah pribadi

6. Contoh: F.D. Roosevelt, Harry Truman, John F. Kennedy

c) Aktif-Negatif, ciri-cirinya :

1. Politik dan kekuasaan berjalan seiring, dan walaupun mungkin tidak disadari,

kesempatan untuk mengendalikan orang lain itulah yang dikejar.

2. Bersikap selalu serius tanpa rasa humor

3. Berperilaku sangat kaku dan tanpa kompromi karena situasi politik penting

dianggap sebagai ujian untuk mengukur kapabilitasnya

4. Krisis dan masalah kenegaraan dan politik dianggap sebagai masalah pribadi

5. Setiap situasi dianggap sebagai kesempatan untuk meningkatkan self-pride

Contoh : Wodroow Wilson, Herbert Hoover, Lyndon B. Johnson, Richard

Nixon.

Barber menunjukkan bahwa setiap presiden dengan kepribadian aktif-negatif

mengalami krisis besar yang tidak dapat diselesaikannya dan akhirnya

menghancurkan karir politiknya.

d) Pasif-Positif, ciri-cirinya :

1. Politik dianggap sebagai sarana yang sangat efektif untuk memenuhi harapan

akan penghormatan

2. Adanya kebutuhan akan penghormatan, bukan karena kesengsaraan tetapi

karena kasih sayang yang berlebihan

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 63


3. Menangani pekerjaan kepresidenan tidak dengan mental yang aktif dan tidak

berusaha mengejar tujuan.

Contoh : William H. Taft, Warren G. Harding

e) Pasif-Negatif, ciri-cirinya :

Tidak menikmati jabatan kepresidenan dan karenanya tidak aktif

Contoh : Calvin Coolidge, D. Eisenhower

Pendekatan yang digunakan untuk mengkaji Variabel Ideosinkratik adalah Psikoanalisis.

Tipe 1 dan 2 sama-sama aktif tetapi dengan motivasi berbeda.

3. Teorisasi tentang Persepsi

Naluri dan kepribadian adalah segi-segi individual yang bersifat static, sedangkan

persepsi atau citra yang dimiliki individu bersifat dinamik, karena persepsi seringkali

berubah.

Persepsi memainkan peranan dalam menentukan perilaku suatu Negara. Thomas Franc &

Edward Wiesband, bahwa cara dua Negara saling “melihat” satu sama lain seringkali

menentukan cara mereka berinteraksi. Suatu pola kerja sama yang sistematik tidak

mungkin berkembang diantara Negara-negara yang masing-masing menganggap lawan

sebagai jahat, agresif dan tidak bermoral. Jadi, orang melakukan tindakan berdasarkan

apa yang mereka “ketahui” / situasi, atau tergantung pada bagaimana ia mendefinisikan

situasi itu.

Contoh : Soekarno melakukan politik konfrontasi dengan Malaysia, karena ia

“memandang kenyataan” bahwa Malaysia merupakan proyek imperialismenya Inggris dan

Amerika Serikat.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 64


Hubungan antara Citra, Persepsi dan Perilaku Politik Internasional menurut Russet :

Dalam proses pembuatan politik luar negeri adalah timbulnya suatu situasi, yaitu

timbulnya suatu masalah karena adanya :

b. Trigger event

c. Upaya mempersepsi stimulus

d. Upaya penafsiran stimulus (tergantung pada citra yang ada dalam pikiran decision

makers)

Keterangan :

Citra seseorang mempengaruhi persepsinya tentang dunia, dimana prose situ teerjadi

sbb:

Nilai dan keyakinan seseorang membantunya menetapkan arah perhatian, yaitu

menentukan apa stimulusnya, apa yang dilihat dan apa yang diperhatikan. Kemudian

berdasarkan sikap dan citra yang dipegangnya, stimulus itu dinterpretasikan.

Citra berfungsi sebagai saringan.

Gambar : Hubungan antara Sistem Keyakinan dengan Pembuatan Keputusan


Politik Luar Negeri menurut Ole R. Holsti

Input

Sistem Keyakinan
Citra ttg Apa yg telah, sedang dan akan
terjadi (FAKTA)

Persepsi ttg Realitas Keputusan


Citra ttg Apa yang seharusnya terjadi
(NILAI)

Sumber: Ole R. Holsti. The Belief System and National Images: A Case Study, dikutip
dalam Bruce Russet & Harvey Starr. 1985. World Politics, New York: Freeman.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 65


Keterangan :

Pada awalnya nilai dan keyakinan seseorang membantu menetapkan perhatiannya, yaitu

menentukan apa stimulusnya, apa yang dilihat dan apa yang diperhatikannya. Kemudian

berdasar sikap dan citra yang telah dipegangnya selama ini, stimulus itu

diinterpretasikan.

Citra berfungsi sebagai saringan. Ada dua jenis citra yaitu Terbuka dan Tertutup. Citra

terbuka menerima semua informasi walaupun mungkin bertentangan dengan citra yang

diyakini. Citra tertutup (karena alas an psikologis) menolak berbagai perubahan dan

mengabaikan informasi yang masuk.

Persepsi, yang didasarkan pada citra yang dipegang, adalah proses seleksi, sedangkan

siste keyakinan adalah sekumpulan keyakinan, citra atau “model” tentang dunia yang

dianut oleh seseorang.

Holsti menyatakan system keyakinan terdiri dari serangkaian citra yang membentuk

keseluruhan kerangka acuan atau sudut pandang seseorang. Citra-citra ini meliputi

realitas masa lalu, masa kini, dan realitas yang diharapkan di masa depan, dan preferensi

nilai tentang apa yang “seharusnya terjadi”.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 66


BAB V

TINGKAT ANALISA KELOMPOK

A. Makna Pendekatan Kelompok

Pendekatan Kelompok dalam studi ilmu politik (analisis politik luar negeri) diperkenalkan

oleh Arthur Bentley dalam buku “The Process of Government” tahun 1908. Analisis

kelompok merupakan reaksi terhadap dua kecenderungan atau pendekatan dalam ilmu

politik pada saat itu yaitu kecenderungan pendekatan institusional dan legalistic

tradisional, dan kecenderungan analisis politik yang menekankan segi normative.

Asumsi : bahwa aktor politik menemukan dirinya dalam berbagai posisi, mulai dari posisi

sebagai presiden, menteri, anggota legislative atau warga negara biasa, yang masing-

masing posisi itu memiliki perilaku tersendiri.

Teorisasi pendekatan kelompok memusatkan perhatian pada perilaku politik dan unsur-

unsur empirik dalam kehidupan politik. Menurut Bentley, studi ilmu politik tidak dapat

ditemukan dalam undang-undang, konvensi, konstitusi dll, tetapi dalam kenyataan

empirik. Pendekatan ini kemudian dikembangkan oleh teoritisi behavioralis; Samuel

Eldersveld, G. Almond, Mancur Olson, J. LaPalombara, Myron Weiner, S.W. Riggs dll.

Tingkat Analisis Kelompok memusatkan perhatian pada kumpulan individu yang

berinteraksi demi mengejar tujuan politik yang sama. Perhatian diarahkan pada kelompok

karena alasan dua hal,

a. Kelompok dianggap lebih mempengaruhi individu daripada sebaliknya

b. Pengaruh kelompok thd proses politik dianggap lebih besar drpd pengaruh

individu.

(Kasus: seseorang yang menjadi pencuri, karena pengaruh lingkungan)

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 67


Dengan demikian, individu hanya berarti ketika berada dalam kelompok.

Karakteristik kelompok dianggap sangat berpengaruh terhadap perilaku individu.

Individu menyesuaikan diri dg kelompok.

Para teoritisi kelompok cenderung melihat masyarakat tidak lebih dr jaringan raksasa

yang terdiri dr kelompok-kelompok yang saling berinteraksi. Menurut mereka, Politik

internasional sebenarnya adalah hasil interaksi berbagai kelompok kecil yang ada

diberbagai negara.

Misal: hubungan AS-US sebenarnya adalah hubungan antara kelompok-kelompok

disekitar pucuk pimpinan kedua negara. Karena itu, unit/tingkat analisa yang harus

mendapat perhatian adalah Kelompok.

Kelompok didefinisikan sebagai sekumpulan individu yang saling berinteraksi demi

mengejar kepentingan bersama. Dengan memusatkan analisis pada kelompok yang

terlibat dalam proses politik, teoritisi kelompok berusaha mengungkapkan kekuatan

sebenarnya dibalik kehidupan politik dan hubungan internasional. Pertanyaan-pertanyaan

yang diajukan berkisar pada kaitan antara karakteristik kelompok dengan proses

pembuatan keputusan politik luar negeri. Karakterisitik kelompok didalamnya mencakup

struktur pengelompokan, struktur kompetisi antar-kelompok, pola konflik dan kerja sama

antar-kelompok, hubungan antara kelompok kepentingan dengan struktur pemerintahan

formal dll.

1. Teori Peranan (Role theory)

 Perilaku harus dipahami dalam konteks sosial. Kita tidak akan dapat menjelaskan

fenomena politik kalau kita hanya melihat individu terlepas dari konteks sosialnya.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 68


Misalnya, perilaku pembuat keputusan politik luar negeri ( foreign policy decision

makers) selalu dibatasi oleh lingkungannya.

 Peranan (role) adalah perilaku yang diharapkan akan dilakukan oleh seseorang atau

kelompok yang menduduki posisi tertentu.

 Teori Peranan menegaskan bahwa, “perilaku politik……. adalah perilaku dalam

menjalankan peranan politik”

 Teori Peranan berasumsi bahwa sebagaian besar perilaku politik adalah akibat dari

tuntutan atau harapan seseorang/masyarakat terhadap peran yang dipegang oleh

seorang aktor politik.

 Memang kepribadian dan sikap orang yang menjadi menteri luar negeri, misalnya,

mempengaruhi keputusan yang dibuatnya, tetapi yang jelas keputusan itu dibuat

ketika dia menjalankan suatu peranan atau serangkaian peranan, dan fakta inilah

yang menurut teoritisi peranan, paling penting untuk diperhatikan.

 Menurut John Wahlke, teori peran memiliki dua kemampuan bagi analis politik:

a. Pertama, Ia menunjukkan bahwa aktor politik umumnya berusaha menyesuaikan

perilakunya dengan norma perilaku yang berlaku dalam peran yang

dijalankannya.

Jadi, kegiatan politik individu selalu ditentukan konteks sosialnya. Individu

dipandang sebagai seseorang yang tergantung pada dan bereaksi terhadap

perilaku orang lain.

b. Kedua, teori peranan mempunyai kemampuan mendeskripsikan institusi secara

behavioral.

Dalam pandangan teoritisi peranan, institusi politik adalah serangkaian pola

perilaku yang berkaitan dengan peranan. Model teori peranan menunjukkan segi-

segi perilaku yang membuat suatu kegiatan sebagai institusi.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 69


Dengan demikian, teori peranan menjembatanai jurang yang memisahkan

pendekatan individualistic dengan pendekatan kelompok. Dalam teoritisi peranan

kita masih bisa membahas perilaku individu tetapi dalam arti peranan. Dan peran-

peran itulah yang membentuk institusi.

Dalam kata lain, institusi adalah sebagai serangkaian peran yang saling berkaitan

yang berfungsi mengorganisasikan dan mengkordinasikan perilaku demi mencapai

tujuan.

Asumsi teoritisi peranan bahwa aktor politik menemukan dirinya dalam berbagai posisi,

mulai dari posisi sebagai presiden, menteri, anggota legislative atau warga negara biasa,

yang masing-masing posisi itu memiliki perilaku tersendiri. Jadi, peranan berhubungan

dengan harapan atau dugaan.

Menurut Alan Isaak, ada dua jenis sumber harapan, yaitu:

a. Pertama, berasal dari harapan yang dipunyai orang lain terhadap seorang aktor

politik. Artinya, setiap masyarakat pasti punya harapan atau gagasan tentang apa

yang harus dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh seorang aktor politik.

“Gagasan masyarakat” ini dinyatakan dalam konstitusi, UU, opini publik dan

norma-norma cultural.

b. Kedua, harapan bisa muncul dari cara si pemegang peran menafsirkan peranan

yang dipegangnya; yaitu harapannya sendiri tentang apa yang harus dan apa

yang tidak boleh dilakukan, tentang apa yang bisa dan apa yang tidak bisa

dilakukan. Dalam proses ini si pemegang peran selalu dalam proses belajar

(learning), mempertimbangkan dan memutuskan. (Mas’oed, 1989; 45-46)

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 70


Teoritisi peranan menunjukkan bahwa setiap peranan berkaitan dengan peranan lain.

Karena itu dikenal konsep “Jaringan peranan” untuk menggambarkan hubungan antar

berbagai peranan itu. Misalnya, seorang yang berperan sebagai menlu juga berperan

sebagai “kolega’ bagi sesama menteri, “bawahan’ bagi presiden, atasan bagi dubes-dubes

dll (Mas’oed, 1989;48)

2. Teori Kelompok Kecil (small group theory)

Asumsi: bahwa perilaku aktor politik tidak bisa dipahami tanpa melihat konteks sosialnya.

Perbedaan dengan teori peranan: teori peranan cendrung menekankan dampak posisi

institusi resmi terhadap perilaku individu; sedangkan teori kelompok kecil lebih

menekankan dampak dari konteks sosial yang tidak resmi.

Teori kelompok kecil hanya tidak bisa diterapkan untuk segala situasi politik. Ia hanya

bissa dipakai untuk menjelaskan tipe situasi pembuatan keputusan ttt, yaitu situasi

kelompok kerja (task group). Gagasan pokok teori kelompok kecil adalah bahwa ketika

sekelompok pembuatan keputusan berkumpul, keputusan yang mereka buat seringkali

merupakan hasil interaksi diantara berbagai individu, bukan hasil perilaku individu itu

sendiri. (Mas’oed, 1989; 48-50)

Proses pembuatan keputusan yang melibatkan upaya menekan anggota kelompok agar

mau menerima consensus inilah yang digambarkan oleh Graham T. Allison sebagi “Model

Governmental Politics” atau “Model Bereaucratic politics’, yaitu pembuatan keputusan

dilihat sebagi proses sosial, bukan proses intelektual atau mekanik. (Mas’oed, 1989;52)

3. Teori Elit Politik

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 71


Dalam tingkat analisis kelompok terdapat juga studi tentang politik luar negeri yang

menekankan padda dominasi elit politik.

Elit adalah sejumlah kecil orang (biasanya kurang dari 0,5 persen jumlah penduduk) yang

memiliki paling tidak satu nilai dasar dalam jumlah yang jauh lebih banyak daripada rata-

rata penduduk umumnya. Nilai dasar = sumber daya yang dipunyai, contoh; elit

ekonomi, elit politik, elit ilmuwan dll.

Menurut Gaetano Mosca: “Dalam setiap masyarakat……….. terdapat dua kelas penduduk

– kelas pertama, yang jumlahnya selalu lebih kecil, menjalankan semua fungsi politik,

memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu ,

- sedangkan kelas kedua, yang jumlahnya jauh lebih besar, diatur dan dikendalikan oeh

kelas pertama itu.”

Menurut Vilpredo Varetto, Robert Michels, terdapat azas-azas umum teori elit, yaitu;

a. Kekuasaan politik, seperti halnya barang-barang sosial lainnya didistribusikan

dengan tidak merata

b. Pada hakekatnya, orang hanya dikelompokan dalam dua kelompok, yatiu mereka

yang memiliki kekuasaan politik “penting” dan mereka yang tidak memilikinya

c. Secara internal, elit itu bersifat homogen, bersatu dan memilki kesadaran

kelompok. (3K : kesadaran, keutuhan, kebulatan tujuan kelompok)

d. Elit itu mengatur diri sendiri kelangsungan hidupnya (self perpetuating) dan

keanggotaannya berasal dari suatu lapisan masyarakat yang sangat terbatas

(exclusive)

e. Kelompok elit itu pada hakekatnya bersifat otonom, kebal terhadap gugatan

siapapun di luar kelompoknya mengenai keputusan-keputusan yang dibuatnya.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 72


Menurut Teori Elit Politik: kebijaksanaan pemerintah mencerminkan kehendak dan nilai-

nilai yang dianut oleh elit yang memerintah. Pendapat yang menyatakan bahwa

kebijakan publik adalah pengejawantahan kehendak rakyat sebenarnya hanya mitos

daripada kenyataan. Rakyat atau publik itu sebenarnya apatis dan tidak banyak tahu

tentang kebijaksanaan pemerintah. Karena itu, kebijaksanaan publik yang muncul

sebenarnya adalah kebijaksanaan yang memenuhi kehendak kaum elit politik. Pegawai

pemerintah semata-mata hanya menjalankan kebijaksanaan yang diputuskan oleh kaum

elit. Kebijaksanaan berasal ddari elit ke massa, bukan sebaliknya (top-down)

Argumen-argumen teori elit:

a. Masyarakat terbagi alam dua kelompok, yaitu sekelompok kecil orang yang

memiliki kekuasaan, yang disebut elit,dan sekelompok besar orang yang tidak

punya kekuasaan.

b. Kelompok elit mempunyai karakteristik yang berbeda dengan massa yang

diperintahnya

c. Perpindahan dari posisi non-elit ke posisi elit politik diatur secara ketat demi

memelihara stabilitas dan mencegah revolusi

d. Tuntutan massa tidak relevan dengan proses pembuatan keputusan publik.

e. Elit yang memerintah sedikit sekali dipengaruhi secara langsung oleh massa yang

memang apatis.

Implikasi Teori Elit Politik dalam analisis politik luar negeri:

- teori elit menegaskan bahwa politik luar negeri lebih mencerminkan kepentingan

kaum elit yang memerintah daripada kepentingan rakyat. Karena itu, perubahan

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 73


yang terjadi dalam politik luar negeri sebenarnya adalah akibat dari perubahan

kepentingan atau pandangan elit itu sendiri.

Contoh: Apakah RI perlu berhubungan dengan Israel, RRC atau aktor yang lain,

sebenarnya hal itu bukan merupakan pemikiran atau pandangan dari rakyat biasa,

tetapi mungkin secara langsung menyangkut kepentingan elit politik Indonesia.

Kaum elit-lah yang mendorong dan menentukan bahwa Indonesia perlu

berhubungan dengan aktor-aktor internasional lainnya.

- Teori elit juga menunjukkan bahwa massa pada umumnya pasif, apatis dan tidak

memiliki cukup banyak informasi untuk berkomentar tentang masalah

kebijaksanaan pemerintah, apalagi kebijakan internasional. Dalam perumusan

politik luar negeri jauh lebih sering elit politik memanipulasi massa rakyat

daripada massa rakyat mempengaruhi elit.

Kasus: Ketika Presiden Soekarno mencanangkan “politik konfrontasi” dengan

mengganyang Malaysia, ia memanipulasi sentimen massa dengan

menggambarkan bahwa Indonesia dikepung oeh imperialis Barat.

Atau ketika George W. Bush memanipulasi massa rakyat AS dan juga dunia

bahwa dunia terancam oleh teroris dan senjata pemusnah massal yang dipunyai

oleh Irak, sehingga Bush menyerang Irak untuk menjatuhkan rejim saddam

husein.

- Teori elit juga menegaskan bahwa adanya consensus nilai-nilai fundamental

diantara kelompok elit. Yaitu consensus tentang “aturan main” dasar system demi

memelihara stabilitas system itu. Karena itu hanya alternatif kebijaksanaan yang

termauk dalam consensus itu yang akan dipertimbangkan dengan sungguh-

sungguh dalam pembuatan keputusan. (Mas’oed, 1989; 57-60)

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 74


Teori hubungan internasional yang didasarkan pada pandangan atau argumentasi teori

elit bahwa politik luar negeri suatu negara dimanipulasi oleh kepentingan elit adalah

Teori Military-Industrial Complex dan Teori Imperialisme Kapitalis.

a. Teori Military-Industrial Complex

Konsep “Military-Industrial complex” dikembangkan oleh teoritisi elit berdasarkan

pengamatan atas perpolitikan dalam penentuan kebijaksanaan militer luar negeri AS.

Thomas Dye & l. Harmon Zeigler dalam bukunya The Irony of Democracy, 1975,

mencatat bahwa keterlibatan AS dalam Perang Vietnam atau masalah internasional yang

lain adalah karena adanya koalisi elit yang kuat yang selalu mendukung peningkatan

anggaran belanja pertahanan. Mereka adalah para Jenderal dalam angkatan bersenjata

dan departemen pertahanan, para birokrat sipil dan para anggota kongres yang

berhaluan “elang” (julukan bagi mereka yang pro-politik luar negeri yang menekankan

kekuatan militer), dan para industrialis yang menghasilkan barang-barang keperluan

perang (kontraktor yang memasok keperluan peralatan militer untuk pemerintah, seperti

Boeing, Grumman Aircraft, general Dinamics, Lockheed, McDonnel Douglas, Northorp dan

Rockwell).

Kelompok ini diikat kuat oleh kepentingan yang sama yaitu peningkatan anggaran belanja

militer, didukung oleh kekuatan lobby yang ampuh dan hampir selalu berhasil menembus

Kongres. Hubungan pribadi diantara para elit juga sangat erat. Bahkan diantara elit itu

sering berganti kedudukan.

b.Teori Imperialisme-Kapitalis

Teori Imperialisme-Kapitalis dapat dipakai untuk menganalisa kecenderungan politik luar

negeri yang cenderung bersifat ekspansionis dan agresif. Pada Kasus kebijakan luar

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 75


negeri AS, dinyatakan bahwa anggaran belanja militer yang besar dan politik luar negeri

AS yang agresif,seperti di Vietnam (atau kasus terbaru serangan AS terhadap Irak),

sangat erat berkaitan dengan kepentingan para anggota koalisi “Elang” (ditambah

dengan kepentingan dari perusahaan-perusahaan minyak bumi AS).

Anggaran belanja militer yang besar tidak hanya memberi kesempatan bagi kalangan

industrialis yang memproduksi barang-barang keperluan perang untuk mengembangkan

diri, yang berarti juga mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi juga

memperkuat posisi AS di luar negeri untuk menghantam musuh-musuhnya. Program

militer besar-besaran juga mendapat pendukung di dalam negeri karena bisa

dimanipulasi sebagai program “welfare state” yaitu memakai anggaran pemerintah untuk

mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan lapangan kerja. Peningkatan

ekonomi dan kekuatan militer akan membutuhkan pasaran ekspor di luar negeri, karena

itu dengan kekuatan ekonomi dan militernya, AS dapat menjadi negara imperialis-

kapitalis modern.

Catatan:

Kedua teori di atas pada dasarnya menyatakan dua hal, yaitu, pertama, kelompok elit-lah

yang bertanggung-jawab atas haluan politik luar negeri suatu negara. Walaupun

sebagaian besar rakyat tidak menghendaki politik luar negeri yang ekspansionis-agresif

terhadap negara lain, kalau elit politiknya berkepentingan dalam tindakan agresif itu,

maka kehendak elit inilah yang menjadi kebijakan. Kedua, keanggotaan dalam kelompok

elit menentukan perilaku para individu yang terlibat didalamnya. Umumnya kelompok elit

politik diikat kuat oleh consensus kelompok. (Mas’oed, 1989; 59-60)

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 76


c. Teori Ikatan Alumni

Teori lain yang berasal dari pendekatan / teori elit adalah Teori Ikatan Alumni.

Dalam teori ikatan alumni, yang ditekankan bukan pada pengaruh kelompok terhadap

anggota-anggotanya yang ada sekarang ini, tetapi terhadap bekas anggota, kawan

atau kolega pada masa lalu.

Argumen pendekatan/teori ini adalah bahwa orang-orang yang berasal dari satu

sekolah, satu partai politik, satu bidang profesi, kesatuan tentara atau semacamnya

cenderung memiliki pandangan dan cara kerja yang sama. Sehingga kalau dalam satu

unit birokrasi terdapat banyak orang dengan kesamaan “alumni”, bisa diduga akan

mudah tercapai keserasian kerja.

Pendekatan ini diterapkan oleh Henry Kissinger dalam analisanya tentang elit politik

luar negeri AS dan US. Ia mengatakan bahwa karena sebagian besar pemimpin AS

adalah “alumni” dari bidang profesi hukum dan bisnis, pendekatan mereka dalam

menyelesaikan maslah adalah khas ahli hukum dan pengusaha. Karena itulah,

menurut Kissinger, kebanyakan keputusan politik luar negeri AS merupakan hasil

kompromi. Singkatnya, menurut Kissinger, “kelompok-kelompok pemimpin AS

menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam menangani masalah-maslah teknis, dan

kurang kelihaian untuk menangani suatu proses historic”.

Kissinger juga menerapkan analisis yang sama terhadap US dan memperoleh

kesimpulan yang sama. Bagi para pemimpin US menaiki tangga karir sampai ke

puncak adalah upaya yang berbahaya, penuh hambatan dan perangkap, persaingan

yang sengit dan kadang-kadang tidak fair. Karena itu, menurut Kissinger, seseorang

yang berhasil sampai ke puncak kepemimpinan partai komunis US pastilah orang

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 77


yang single-minded, tidak emosional, berdedikasi dan terutama sekali, didorong oleh

keinginan yang besar untuk memperoleh kekuasaan. (Mas’oed, 1989; 60)

Bandingkan dengan elit politik Inggris yang berasal dari kelompok “Ox-Bridge” yaitu

alumni universitas elit Oxford dan Cambridge, atau elit politik Jepang yang berasal

dari Universitas Tokyo dan Waseda.

Dalam kasus di Indonesia, kita bisa lihat ketika pada masa Orde Baru, elit ekonomi

dan politik hampir semuanya berasal dari UI dan alumnus Universitas Berkeley AS,

sehingga terkenal dengan sebutan “Mafia Berkeley” (lihat John James MacDougall,

yang melihat teknokrat Indonesia pada masa Orde Baru)

4. Teori Dinamika Organisasi dan Decision Making Process

Asumsi : mesin pemerintahan modern tidak bisa diatur sepenuhnya oleh individu yang

ada didalamnya, bahkan juga tidak oleh pucuk pimpinan sekalipun.

Mesin pemerintahan mempunyai dinamika sendiri, bekerja sendiri dengan perilaku dan

tujuan sendiri. Kebijakan luar negeri dibentuk oleh dinamika suatu oraganisasi

tertentu- seperti deplu atau dephan- atau oleh proses perpolitikan yang terjadi ketika

berbagai birokrasi pemerintah saling berebut kekuasaan, posisi dan pengaruh.

Birokrasi mengendalikan persepsi dan perspektif anggota-anggotanya. Model Proses

Organisasi menggambarkan birokrasi sebagai memiliki pengaruh lebih besar daripada

individu yang ada didalamnya, terhadap terjadinya peristiwa-peristiwa atau kebijakan.

Menurut David Singer, kemungkinan pengaruh kepribadian para pembuat keputusan

terhadap terjadinya kebijakan memang tidak boleh diabaikan, tetapi kita juga harus

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 78


mengakui bahwa dalam proses pembuatan keputusan yang semakin birokratis dewasa

ini, pengaruh variable kepribadian terhadap jalannya diplomasi dan hubungan

internasional sangat kecil.

Analisis politik luar negeri yang menerapkan perspektif ini biasanya memanfaatkan

studi ttg bekerjanya birokrasi yang besar dan rumit serta interaksi antar berbagai

birokrasi itu, yaitu dalam literature ttg Teori Dinamika Organisasi , untuk memahami

perilaku birokrasi, misalnya perilaku birokrasi di deplu. Ini adalah analisis tentang

bagaimana dinamika organisasi atau perpolitikan antar organisasi pemerintahan bisa

mempengaruhi proses pembuatan keputusan politik luar negeri.

Dalam studi seperti ini, pertanyaan yang diajukan antara lain; “bagaimana birokrasi

membentuk keputusan dan tindakan politik luar negeri suatu negara?” Dalam

menjawab pertanyaan tersebut, muncul dua model yaitu Model Proses Organisasi dan

Model Politik Birokratik

1. Model Proses Organisasi

Gambaran Model Proses Birokrasi:

Suatu pemerintahan adalah sejumlah birokrasi. Karena itu keputusan dan tindakan

suatu pemerintah bisa dipandang sebagai suatu output dari proses dinamis yang

terjadi dalam organisasi-organisasi besar pemerintahan itu. Sebagian besar pekerjaan

dalam organisasi itu adalah pekerjaan rutin, dan akibat dari sifatnya, untuk

mengerjakan segala sesuatu setiap organisasi mengembangkan prosedur kerja baku

(standard operating procedures), yang harus dipatuhi oleh individu yang terlibat dalam

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 79


organiasi itu. Dengan demikian, oraganisasi berfungsi menurut pola perilaki yang

ajeg/tetap dan bisa diramalkan.

Orang yang bekerja dalam organisasi itu kemudian mengembangkan sikap yang

mengidentifikasikan dirinya dengan kepentingan organisasi itu. Keputusan apapun

yang muncul dari organisasi itu bisa diduga mencerminkan loyalitas itu dan kebiasaan

yang ada dalam organisasi itu.

1. Model Proses Organisasi:

- mengakui keterbatasan kemampuan manusia dalam mempertimbangkan semua

kemungkinan pilihan yang ada sebelum mengambil keputusan (Mas’oed: 1989:

62);

- didasarkan pada gagasan tentang rasionalitas terbatas (bounded rationalitiy)

- Menurut Herbert Simon, dalam organisasi orang cenderung menerapkan criteria

satisficing, artinya orang tidak berusaha mencari kemungkinan pilihan kebijakan

yang paling optimum dalam arti antara sarana-tujuan. Tetapi, dalam menelusuri

pilihan-pilihan kemungkinan penyelesaian persoalan , mereka akan menghentikan

penelusuran itu begitu mereka menemukan pilihan yang cukup baik. Mereka lebih

cendeung mencari pilihan yang cukup ideal, tetapi mungkin tidak bisa dicapai.

Dalam pandangan Simon, perilaku organisasi cenderung menghindari

ketidakpastian.

Hal ini menimbulkan beberapa implikasi:

Pertama, sebagian besar keputusan luar negeri dibuat menurut prosedur baku

yang ditetapkan jauh sebelum timbulnya situasi ttt atau berdasarkan preseden.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 80


Prosedur seperti itu dirancang untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan

situasi; dan di dalam nya telah dirumuskan petunjuk tentang bagaimana

menanggapi setiap jenis situasi. (Mas’oed; 1989: 63)

Kedua, karena begitu besarnya volume masalah yang dihadapi oleh birokrasi

pemerintah, prosedur rutin seperti itu diperlukan, namun menimbulkan implikasi

kedua bagi pimpinan puncak pembuat keputusan, yaitu bahwa sebagian besar

keputusan yang dibuat, walaupun mungkin dilakukan dalam kerangka prosedur

yang sudah disepakati dan tidak menyeleweng dari kebijaksanaan umum,

dilakukan tanpa sepengetahuan dia. Ini berarti bahwa, pimpinan eksekutif tidak

dilibatkan dalam proses pembuatan keputusan sehari-hari dan seringkali harus

menghadapi fait accompli

Contoh Kasus: Keputusan yang dibuat pada tingkat bawah yang punya dampak

yang sangat penting, yaitu pada masa pemerintahan Eisenhower, tetang

keputusan penerbangan pesawat mata-mata U-2 yang oleh CIA dianggap sebagai

kegiatan rutin berdasarkan petunjuk umum yang diberikan Presiden. Pada tahun

1960, sebuah pesawat U-2 ditembak jatuh di wilayah Uni Sovyet. Hal ini

menimbulkan krisis yang cukup besar antara AS-US

Implikasi Ketiga, adalah kecenderungan mematikan inisiatif dan inovasi.

Keputusan yang dibuat cenderung keputusan yang aman dan sesuai dengan

prosedur yang ada. Para pembuat keputusan tidak memperoleh kesempatan

untuk mempertimbangkan gagasan-gagasan baru. (Mas’oed; 1989: 64-65)

- Kurangnya inovasi dan keharusan kompromi mendorong timbulnya penyakit

lesu darah/malas dalam birokrasi. Akhirnya banyak pimpinan eksekutif yang

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 81


tidak saba dan mem-bypass birokrasi politik luar negeri apabila menghadapi

masalah yang kritis.

- Dalam model yang menggambarkan perilaku pemerintah dalam hubungan

internasional seperti ini, peranan individu sangat kecil. Bahkan kadang-kadang

pimpinan puncak eksekutif dalam moel ini digambarkan sebagai tidak banyak

berkuasa atas birokrasi. Dalam model ini birokrasi digambarkan sebagai aktor

yang menetapkan jalannya sendiri pemerintah dan sedikit sekali

mempedulikan sesuatu di luar dirinya.

Graham T. Allison menggunakan model proses Organisasi untuk menjelaskan teka-

teki yang ada di sekitar Krisis Kuba 1960-an.

- Unit analisanya adalah tindakan pemerintahan sebagai output organisasi.

Kejadian dalam politik internasional adalah ouput dari proses organisasi yang

berjalan dalam negara-negara yang terlibat.

- Aktor penting dalam model ini adalah berbagai organisasi yang saling berkaitan

yang dibawahi oleh para pemimpin pemerintahan. (Mas’oed; 1989: 66),

(Mas’oed: 1990: 275-288), (Coulumbis & wolfe: 1999: 137-138, 142-145)

2. Model Politik Birokratik

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 82


BAB VI

TINGKAT ANALISA NEGARA BANGSA

A. Model State Centrism dan Pendekatan Realism

Sejak abad ke-17, yang ditandai dengan berakhirnya Perang 30 Tahun di Eropa

(Perang Agama) konsep negara bangsa (nation state) mulai muncul sebagai bahan

kajian dan aktor dalam hubungan antar bangsa (Hubungan Internasional).

Berakhirnya Perang 30 Tahun ditandai dengan adanya Perjanjian Westphalia 1648,

yang isinya antara lain adalah:

a. Konsep nation state sebagai aktor dalam HI, yang ditandai dengan

ditentukannya batas-batas negara secara jelas

b. Munculnya system balance of power dalam mengelola hubungan dan

keamanan di Eropa

Studi dan praktek HI pada masa tersebut muncul dengan asumsi :

a. bahwa perilaku bangsa atau negara adalah unit utama dalam system

internasional

b. bahwa pengetahuan tentang hubungan antar bangsa atau negara cukup

untuk memahami dan menjelaskan perilaku negara dalam system

internasional

Menurut Karl Kaiser dan Joseph Nye16, bahwa pentingnya negara bangsa adalah:

a. secara tradisi para ilmuwan dan praktisi politik internasional memusatkan

perhatian pada hubungan antara negara

16
Karl Kaiser dan Joseph Nye, Trans-National Relations and World Politics

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 83


b. negara dipandang sebagai aktor yang memiliki tujuan dan kekuasaan yang

otonom

c. negara adalah unit dasar dalam politik internasional yang bertindak melalui

wakil-wakilnya yaitu para diplomat dan prajurit

Dalam hal ini, interaksi berbagai politik luar negeri ini membentuk suatu pola

perilaku yang coba dipahami dan dikendalikan oleh para praktisi

Menurut Robert Mansbach17, implikasi dari asumsi-asumsi state-centric :

a. politik global didasarkan pada interaksi berbagai negara-bangsa, dimana

negara menjadi pelaku dan juga sasaran pelaku

b. Setiap negara-bangsa mempunyai kedaulatan yang sama

c. Setiap negara-bangsa diperlakukan sebagai suatu system politik yang

homogen dengan suatu pemerintah pusat yang memiliki sarana pemaksa

(kekuasaan)

d. Setiap negara-bangsa adalah independen, dapat dibedakan satu sama lain

dan tidak tunduk pada wewenang negara lain di dunia

e. Setiap negara-bangsa secara ekslusif mengendalikan suatu wilayah yang

mempunyai batas-batas wilayah, penduduk secara jelas, dunia dibagi

secara goegrafis

f. Partisipan dalam politik internasional hanya terdiri dari para pelaksana

politik luar negeri pemerintah berbagai negara yaitu para diplomat dan

para jenderal/prajurit. Kelompok lain yang berkepentingan dengan politik

internasional menyampaikan kepentingannya melalui pemerintah

17
Robert Mansbach, The Web of World Politics

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 84


g. Setiap negara-bangsa merupakan tempat untuk mengarahkan kesetiaan

sekuler yang tertinggi.

Pentingnya pemikiran state-centrism dan negara-bangsa dalam kajian politik

internasional mendasari lahirnya pemikiran-pemikiran atau Aliran/Pendekatan

Tradisionalis. Menurut aliran/pendekatan tradisionalis18, studi HI adalah studi tentang

pola-pola aksi dan reaksi (action-reaction / stimulus-respons) diantara negara-negara

yang berdaulat yang diwakili oleh elit-elit pemerintahnya (diplomat dan prajurit). Bagi

kaum tradisionalis, HI dianggap sama dengan dengan diplomasi dan strategi serta

kerjasama dan konflik (studi tentang perang dan damai)

Bagi aliran/pendekatan tradisionalis, aktor dan unit analisis dalam HI adalah negara

dan perilakunya. Konsep-konsep yang digunakan dalam pendekatan tradisionalis

untuk menjelaskan perilaku negara adalah kepentingan nasional, power, balance of

power, prudence, ekuilibrium.

Dalam perkembangannya, pendekatan / kaum tradisionalis melahirkan teori-teori

realis seperti dari Morgenthau, Raymond Aron, Reinhold Neirbuhr, Arnold Wolfers.

Salah satu teori realis yang banyak dipakai untuk mengkaji negara adalah Teori

Realisme Politik dan Morgenthau. Menurut Morgenthau, realisme politik mampu

meramalkan bahwa perilaku negara akan merefleksikan tindakan rasional para

diplomat dan tentara yang berusaha memaksimalkan keuntungan bagi negaranya

dalam mencapai kepentingan nasionalnya dalam batas-batas prudensial yang

terbentuk karena adanya kebutuhan kelangsungan hidup politik dan bangsa. (adanya

tujuan nasional dan kepentingan nasional).

18
Couloumbis & Wolfe, Introduction to International Relations : Power and Justice

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 85


Morgenthau mengangkat konsep power, yaitu kapabiltas politik luar negeri suatu

elit/negara untuk mendominasi atau menguasai pemikiran dan tindakan orang/negara

lain. Bahwa setiap negara secara rasional akan mengejar kepentingan nasionalnya

yaitu mendapatkan, memperbesar dan mempertahankan power atau kekuasaan.

Morgentahau memberikan prinsip-prinsip Politik Realis19, yaitu:

a. Politik realis percaya bahwa politik seperti masyarakat pada umumnya

diperintah oleh hukum-hukum yang obyektif yang berakar pada manusia.

b. Petunjuk utama yang membantu politik realis untuk menemukan jalan melalui

penglihatan politik internasional adalah konsep kepentingan (nasional) yang

didefinisikan dengan istilah power (kekuatan)

c. Aliran realis memberi kunci, konsep kepentingan (nasional) yang didefinisikan

sebagai kekuasaan yang tidak dapat diartikan sebagai sesuatu yang tetap

untuk selamanya.

d. Aliran realis menyatakan bahwa ketidakstabilan yang ekstrim, dan terjadinya

kekerasan terbesar yang pernah terjadi dapat diubah. Keseimbangan

kekuatan (balance of power) misalnya merupakan suatu elemen yang abadi

dari seluruh system masyarakat majemuk.

e. Aliran realis menolak adanya aspirasi moral dari suatu negara-bangsa tertentu

bersumber dari aturan-aturan moral yang mengatur alam raya. Aliran realis

memelihara otonomi dunia politik. Dia berfikir tentang kepentingan yang

didefinisikan sebagai kekuasaan. Aturan Moral dapat terbentuk karena adanya

kekuasaan.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 86


B. Tingkat Analisis Negara Bangsa

Alasan-alasan mengapa memusatkan perhatian pada Tingkat Analisa Negara-Bangsa:

a. Kenyataan bahwa obyek studi utama ilmu HI adalah perilaku negara-bangsa.

Menurut Stanley Hoffman : bahwa aktor paling penting dan bermakna dalam

politik internasional adalah negara-bangsa. Secara realistic dapat dikatakan

bahwa kekuasaan politik terutama berada pada lembaga-lembaga pembuatan

keputusan dalam berbagai negara-bangsa itu.

Jika politik domestik mempengaruhi politik dunia, tidaklah secara langsung

tetapi terlebih dahulu mempengaruhi para pembuat keputusan politik luar

negeri dan kemudian eksternal pemerintah itu mempengaruhi politik dunia,

dan demikian sebaliknya.

b. Karena Nasionalisme adalah fakta sentral dalam politik internasional dan cara

untuk memahami nasionalisme adalah dengan cara menelaah perilaku

komunitas yang diciptakannya yaitu negara-bangsa

Identitas pribadi seseorang erat terkait dengan negara-bangsanya, sehingga

jika seseorang meninggalkan bangsanya dan menjadi warga negara bangsa

lain dianggap sebagai perbuatan tidak bertanggung jawab atau dicap sebagai

penghianat.

c. Karena negara-bangsa merupakan atom dari suatu jagad raya politik

internasional;

- dunia terdiri dari berbagai negara-bangsa

- individu dan kelompok individu dalam organisasi hanya bermakna

jika terkait dengan negara-bangsa

19
Morgentahau, Politics Among Nations dalam Frans Bona Sihombing (Ed.), Ilmu Politik Internasional:
Teori, Konsep dan Sistem, Jakarta, Ghalia Inddah.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 87


Kita dapat memandang bahwa masing-masing negara-bangsa itu saling

berbeda, sehingga politik internasional dapat digambarkan sebagai suatu

“jigsaw puzzle” raksasa yang tercerai berai, dan tugas kita adalah

mempertautkan dan merangkai potongan-potongan “jigsaw” itu, sehingga

menjadi gambar yang bermakna.

Setiap negara-bangsa yang ada merupakan obyek yang menarik untuk

dikaji, walaupun beberapa diantaranya lebih menarik daripada yang lain.

Sebaliknya, kita juga dapat memandang semua negara-bangsa itu sebagai

aktor yang menghadapi serangkaian masalah dan kondisi yang sama, dan

tugas kita adalah membuat generalisasi tentang proses bagaimana mereka

menghadapi situasi itu. Dalam hal ini negara-bangsa tertentu dipelajari

terutama sebagai sample tentang negara-negara lain.

- Bahwa negara-bangsa merupakan unit analisis fundamental dalam studi

politik internasional

d. Karena memungkinkan kita menelaah tentang proses bagaimana keputusan

dibuat dalam suatu masyarakat dan menggambarkan dengan rinci perilaku

pembuat keputusan politik luar negeri.

Hasilnya antara lain pemahaman yang lebih mendalam dan rinci tentang

fenomena hubungan internasional.

C. Makna Negara-Bangsa

Istilah politik luar negeri, secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk

kebijaksanaan atau tindakan yang diambil dalam hubungan dengan situasi atau aktor

yang ada di luar batas wilayah negaranya. Contoh : Politik Luar Negeri Indonesia

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 88


adalah tindakan yang dilakukan oleh Indonesia berkenaan dengan situasi atau aktor

diluar batas wilayah Indonesia.

Apa yang dimaksud dengan “Indonesia” ? Ini dapat menyangkut hal, yaitu :

a. Indonesia adalah suatu wilayah geografis dengan batas tertentu dan secara

umum diakui.

b. Indonesia adalah sekelompok (250 juta ) orang yang tinggal dalam wilayah

itu.

Kedua hal di atas, praktis tidak mungkin melakukan tindakan. Dalam praktek tindakan

itu dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang atas nama kelompok secara

keseluruhan, tetapi kelompok itu dan semua orang yang diwakilinya kemudian terikat

pada tindakan itu. Proses pembuatan keputusan itu hanya melibatkan beberapa

orang tetapi konsekuensinya melibatkan semua penduduk yang ada.

Contohnya: kalau Indonesia menandai perjanjian internasional, mengandung makna

bahwa: “beberapa orang yang bertindak atas nama 250 juta orang yang tinggal di

wilayah Indonesia menandatangani perjanjian itu, dan karena itu negara (penduduk)

Indonesia terikat (setelah diratifikasi) untuk mematuhi isi perjanjian itu.

Dalam tindakan ini terkandung suatu komitmen legal yang ditanggung oleh negara:

- Negara tidak memiliki eksistensi konkrit; ia adalah suatu abstraksi; merupakan

unit legal yang mewakili orang-orang yang mendiami suatu wilayah tertentu

dan yang memiliki lembaga-lembaga untuk mengendalikan penduduk dan

wilayah itu dengan proses tertentu (memiliki kewenangan dan kekuasaan

untuk memaksa); negara adalah analog dengan perusahaan.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 89


- Negara adalah unit legal-formal tetapi tidak punya eksistensi konkrit. Dalam

HI status legal negara (atau kedaulatannya) tergantung pada pengakuan oleh

negara-negara lain ( pengakuan de jure)

- Peranan negara dalam HI ditentukan oleh Pemerintah, yang digambarkan

sebagai suatu jaringan berbagai lembaga yang di dalamnya terdiri dari orang-

orang yang mengelola berbagai organisasi.

Penggunaan Konsep Negara, Pemerintah, Bangsa dan Negara-Bangsa

- Negara adalah suatu abstraksi yang mewakili suatu penduduk dalam suatu

wilayah tertentu yang mempunyai kekuasaan. Dalam HI, negara merupakan

aktor yang terlibat dalam jaringan hubungan diplomatic legal-formal

- Pemerintah adalah badan yang membuat dan menerapkan kebijaksanaan atas

nama negara.

- Bangsa merujuk pada sekelompok orang yang diikat oleh kesamaan identitas

etnik, cultural dan mungkin histories.

- Nation-state merujuk pada sekelompok masyarakat yang homogen secara

sosial dan cultural serta memiliki organisasi resmi untuk berpartisipasi di

dalam hubungan internasional.

Yang menjadi perhatian utama dalam HI (terutama menurut kaum realis) adalah

hubungan antar-negara atau antar-pemerintah bukan antar-bangsa. Karena bangsa

tidak mempunyai lembaga dan prosedur untuk melakukan hubungan itu.

Mengapa memperhatikan masalah Bangsa ?

Bangsa dapat menjadi aktor penting karena 2 (dua) hal, yaitu :

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 90


a. aspirasi dan antipati kelompok etnik dapat mempengaruhi perilaku

pemerintahnya.

b. Hubungan antar bangsa dapat melintasi batas

wilayah negara. Dalam hal ini, menegaskan perbedaan antara konsep “negara”

dengan konsep “bangsa” :

- konsep “negara” mewakili “wilayah politik”

- konsep ‘bangsa” mewakili “wilayah cultural”

Misalnya : bangsa Arab tersebar luas dalam berbagai negara di Timur Tengah (di

wilayah Timur Tengah “wilayah cultural” lebih luas daripada “wilayah politik”.

Uni Sovyet (Rusia, sekarang) meliputi berbagai bangsa (“wilayah cultural” lebih

sempit daripada “wilayah politik”)

Konsep negara-bangsa menggambarkan suatu ideal bahwa orang-orang yang tinggal

dalam satu negara, berketetapan hati untuk menciptakan identitas yang sama.

Ilmuwan politik menggunakan istilah negara-bangsa untuk menunjukkan suatu unit

yang timbul akibat proses fusi atau peleburan secara gradual antara wilayah politik

dan wilayah cultural setelah adanya penyatuan dan pengendalian oleh wewenang

terpusat atas suatu wilayah dan penduduk tertentu. Aktor-aktor HI seperti Amerika

Serikat dan Uni Sovyet (dulu), walaupun terdiri dari berbagai bangsa dapat dianggap

sebagai “unit yang utuh”.

D. Perspektif /Pendekatan Strategi dalam Studi Politik Luar Negeri

1. Model Rasionalitas Strategis

Asumsi :

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 91


- bahwa perilaku para pembuat suatu keputusan luar negeri adalah rasional, yaitu

bahwa pemilihan suatu strategi sungguh-sungguh didasarkan pada pertimbangan

untung-rugi dalam pencapaian suatu tujuan yang jelas.

- Bahwa umumnya perancangan strategi politik luar negeri tidak didasarkan pada

pertimbangan moral, keyakinan atau hal-hal emosional. Perancangan strategi

adalah tindakan yang penuh perhitungan; bukan tindakan untung-untungan.

- Bahwa para pembuat keputusan adalah aktor otonom dan bernalar dalam

menghadapi persoalan politik internasional

- Memandang sifat khas individu, kelompok dan organisasi umumnya akan hilang

dalam proses mempertimbangkan apa yang harus dilakukan demi negara bangsa.

Kita akan dapat meramalkan apa yang akan dilakukan oleh setiap negara sebagai

aktor yang rasional.

John Lovell, strategi adalah serangkaian langkah-langkah (moves) atau keputusan-

keputusan yang dirancang sebelumnya dalam situasi kompetitif dimana hasil akhirnya

tidak semata-mata bersifat untung-untungan.

Analisis politik luar negeri yang menerapkan perspektif strategis menafsirkan

fenomena politik terutama dalam pengertian suatu rancangan yang dibuat secara

sadar oleh para pembuat keputusan untuk mencapai tujuan-tujuan yang

diperebutkan oleh berbagai negara lain.

Patrick Morgan, menggambarkan kegiatan analisis politik luar negeri tidak berbeda

dengan perilaku kibitzer, dimana analisis strategis politik luar negeri sama dengan

praktek kibitzing, yaitu si analis berrpikir dan bertindak seolah-olah sebagai salah satu

pemain dalam permainan politik luar negeri, ia mulai dengan asumsi-asumsi :

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 92


1. perilaku politik luar negeri suatu negara-bangsa diarahkan untuk mencapai

satu atau beberapa tujuan internasional dan setiap tindakan yang diambil

dimaksudkan sebagai langkah ke arah tercapainya tujuan itu

2. para pengambil keputusan berusaha memaksimalkan perolehan bagi

negaranya dengan cara menelaah berbagai alternatif tindakan yang masing-

masing dinilai berdasarkan analisis biaya dan hasil. Alternatif tindakan yang

diambil adalah yang memenuhi criteria efesiensi.

3. dalam dunia yang saling tergantung, para pembuat keputusan harus juga

memperhitungkan tujuan dan strategi berbagai negara lain.

Sering terjadi perbedaan pendapat tentang apa atau mana yang logis atau rasional.

Menurut Patrick Morgan; adanya perbedaan itu adalah karena adanya dua cara

berbeda dalam analisis strategi, yaitu :

1. Analisis bersifat Induktif ; analisis ini dimulai dengan menelaah kasus-kasus

tunggal atau khusus secara seksama sampai ia menemukan suatu pola dalam

banyak kasus-kasus tunggal itu kemudian mengembangkan suatu prinsip

hubungan kausal. Dalam strategi induktif, ilmuwan mulai dengan fakta untuk

kemudian membangun teori.

2. Analisis bersifat Deduktif; yaitu kita mulai menelaah fenomena dari suatu

prinsip umum (teori) kemudian menggunakannya untuk kasus-kasus khusus.

Contoh kasus : kalau kita ingin mengetahui reaksi Thailand jika terjadi konflik dengan

Vietnam; apakah akan mundur, berperang, berbicara keras tapi berusaha menghindari

perang ? Untuk menjawabnya, kita dapat menggunakan kedua strategi di atas.

a. Penerapan perspektif Induktif

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 93


Dalam kasus ini analis akan melakukan langkah-langkah :

1. mengamati pengalaman Thailand dalam konfrontasi di masa lalu dengan

Vietnam

2. Mencari asumsi dasar, tujuan dan pandangan ideologis serta hal-hal serupa

yang diperkirakan menjadi sumber perilaku internasional Thailand

3. Mengajukan pertanyaan : berhubung dengan cara pandang Thailand tentang

Vietnam itu, strategi mana yang paling masuk akal untuk diterapkan oleh

Thailand dalam Konflik dengan Vietnam.

Dalam perspektif induktif ini, kita mulai dengan kasus-kasus khusus tentang

hubungan Thialand-Vietnam di masa lalu untuk diterapkan secara umum.

b. Penerapan perspektif Deduktif

1. Analis akan mulai dengan argumen bahwa dalam situasi konflik, hanya jenis-

jenis perilaku tertentu yaitu strategi dan taktik tertentu yang rasional yang

dipakai untuk menjelaskan. (mulai dengan sebuah proposisi atau teori, sesuatu

hal yang umum)

2. Pertanyaan yang muncul adalah logika apa yang ada dalam situasi konflik?

3. Jika logika itu diketahui, dan Thailand diasumsikan berperilaku rasional maka

perilaku Thailand dalam konflik dengan Vietnam dapat dideduksikan.

c. Induksi dan Studi Strategi

Analisis tentang politik luar negeri banyak dilakukan oleh berbagai kalangan dan

akademisi dengan teknik Introspeksi

Introspeksi berarti pengamatan dan analisis terhadap diri sendiri. Kalau seseorang

menganggap dirinya sama dengan orang lain, maka dengan menganalisis

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 94


pemikirannya sendiri ia bisa memahami orang lain. Proses ini bisa berjalan dengan dua

cara :

1. cara pertama adalah merumuskan kondisi-kondisi yang melingkupi orang lain

itu (bersifat Induktif).

- Cara ini banyak dipergunakan oleh para ahli sejarah dan diplomasi serta

spesialis studi wilayah.

- Walter Jones memakai teknik ini untuk menyusun buku “Logika HI”

- Dephan AS menggunakan “game” untuk mensimulasikan perang kepada

para pejabat di Dephan.

- Kelemahan teknik introspeksi adalah dalam hal kesulitan untuk menjadi

orang lain.

2. cara kedua adalah dengan menetapkan bahwa orang lain itu memang sama

dengan dirinya (bersifat deduktif).

Retrospeksi merupakan teknik studi sejarah diplomasi untuk menjelaskan tindakan

para pembuat keputusan dengan mengungkapkan penalaran mereka.

Argumennya adalah bahwa kalau perilaku negara-bangsa itu memang rasional dan

berorientasi pada tujuan, maka logika dibalik perilaku itu akan bisa ditemukan kalau

kita mempelajari perilaku mereka selama jangka waktu yang lama dan tidak sepotong-

potong.

Norman Graebner memakai pendekatan ini untuk menjelaskan dan membagi

perilaku politik luar negeri AS dalam dua periode, yaitu :

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 95


1. periode sebelum 1898 : yang lebih menekankan pada pengejaran kepentingan

nasional yang dirumuskan berdasarkan faktor-faktor posisi geografisnya dan

kebutuhan akan keamanan;

2. periode sesudah 1898 : politik luar negeri lebih diarahkan pada pengejaran

kepentingan nasional yaitu pengejaran kepentingan ideology. Dalam hal ini

tujuan diplomasi dirumuskan berdasarkan nilai-nilai dominan masyarakatnya,

seperti demokrasi, liberalisme dan kapitalisme.

Cara lain menggunakan sejarah dengan pendekatan induktif adalah dengan

menelaah kasus-kasus tentang suatu fenomena (misalnya Konsep ”deterrens”), dan

mencoba mengembangkan proposisi teoritik tentang fenomena yang berdasarkan

temuan dalam studi kasus tsb.

Alexander George : Hasil dari pendekatan ini adalah Teori “Policy Relevant”,

yaitu teori untuk membantu pembuat keputusan mengetahui situasi apa yang

dihadapinya dan bagaimana menangani situasi itu.

d. Deduksi dan Studi Strategi

Introspeksi : dalam teori realis dari Morgenthau, bahwa politik adalah perjuangan

untuk memperoleh kekuasaan.

Bagaimana cara kita menganalisis ? kata Morgenthau, “kita menempatkan diri kita

dalam posisi sebagai negarawan yang harus menangani masalah politik luar negeri

tertentu dalam keadaan tertentu, dan tanyakan kepada diri kita sendiri alternatif-

alternatif rasional apa yang akan dipilih oleh seorang negarawan yang harus

menangani masalah itu (dengan selalu menganggap bahwa negarawan itu beertindak

dengan cara rasional).

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 96


Pendekatan ini bersifat deskriptif dan juga preskriptif.

2. Studi Perilaku Rasional dalam Konflik

Alasan mempelajari perilaku rasional dalam konflik :

1. bertindak rasional dalam suatu konflik akan bisa memaksimalkan kemungkinan

kita untuk menang, untuk kita harus merancang strategi yang rasional

sebelumnya

2. mempelajari perilaku rasional dalam studi konflik berkaitan dengan

kemungkinan malapetaka nuklir.

Teori yang dihasilkan adalah Teori "Game”

Ciri-ciri politik Internasional yang sama dengan ciri permainan:

1. para pemainnya memiliki kepentingan yang berbeda atau bertentangan

2. langkah dan tindakan dalam politik internasional maupun dalam permainan

saling berkaitan dalam suatu rangkaian, tidak terpisah

3. strategi mengharuskan masing-masing pemain untuk memperhitungkan

kepentingan dan tindakan lawan.

a. Teori Game (Game Theory)

Teori Game adalah satu bidang dalam matematika yang bertujuan untuk

menggambarkan strategi yang paling rasional bagi masing-masing pemain dalam

suatu permainan.

Asumsi :

1. setiap pemain rasional dalam memilih strategi yang paling menguntungkan

dan atau paling tidak yang tidak merugikan

2. nilai dari setiap hasil permainan bagi masing-masing pemain dapat dihitung

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 97


3. Probabilitas keberhasilan mencapai masing-masing hasil bisa diketahui.

Contoh teori Game adalah model “Dilemma Tahanan” (Prisoner’s Dilemma),

permainan ini menggambarkan suatu situasi jalan buntu (dead-lock), dimana dua

orang yang berpotensi sebagai teman tidak bisa melakukan kerja sama karena tidak

adanya sikap saling percaya.

Untuk itu, model ini menganalogkan dengan perilaku dua tahanan yang

menghadapi dilemma.

Contoh model yang lain adalah Model Chicken ( Si Pengecut)

Model Prisoner’s Dilemma

Permainan ini menggambarkan situasi jalan buntu (deadlock) dimana dua orang

yang berpotensi sebagai teman tidak bisa mengadakan kerjasama karena tidak

adanya sikap saling percaya. Untuk memahami situasi ini, maka para ahli membuat

analogi perilaku “dilemma tahanan” (prisoner’s dilemma):

Model / Skema Prisoner’s Dilemma :

Bush : Mengaku
Tidak Ya
Tidak +1 +10
tidak
Saddam: Mengaku +1 -10
-10 -1

Ya +10 -1
Keterangan :

Bayangkanlah situasi sebagai berikut :

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 98


Ada 2 (dua) orang tahanan yang dituduh melakukan pengeboman di Jakarta, dan

diinterogasi di dua tempat terpisah sehingga tidak bisa berkomunikasi :

 Polisi mengakui bahwa tidak cukup bukti untuk menghukum para tawanan itu,

sehingga kalau kedua tahanan itu tidak mengaku maka keduanya bisa bebas (

diberi nilai +1)

 Tetapi polisi juga memberi tahu mereka bahwa bila salah satu tahanan itu mau

mengakui kejahatannya maka yang mengaku itu akan dibebaskan dan diberi

hadiah besar ( Nilai +10)

 Yang tidak mengaku akan dihukum mati (nilai –10)

 Kalau keduanya mengaku pada hari yang sama, masing-masing akan menjalani

hukuman 20 tahun (nilai –1)

Masing-masing tahanan punya dua pilihan, yaitu mengaku atau tidak mengaku. Maka

strategi manakah yang paling rasional dari sudut para tahanan itu. Harus diingat bahwa

keduanya dianggap berperilaku rasional, yaitu berusaha memaksimalkan perolehan dan

meminimalkan kerugian.

Dalam situasi seperti ini, strategi yang paling rasional adalah strategi “Minimax”, yaitu

meminimalkan kemungkinan kerugian maksimum (minimizing the maximum possible

loss).

 Kalau saja keduanya serempak tidak mengaku, maka keduanya akan

mendapatkan keuntungan (nilai +1, yaitu berupa kebebasan)

 Tetapi tidak mengaku secara sepihak, yaitu sementara yang lain mengaku, berarti

menghadapi kemungkinan yang paling buruk (Nilai –10).

 Strategi yang bisa meminimalkan kemungkinan kerugian maksimum adalah

apabila keduanya mengaku (nilai –1)

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 99


Strategi tidak mengaku menjanjikan imbalan antara kebebasan dan hukuman mati.

Strategi mengaku menghadapi kemungkinan antara hukuman 20 tahun dan

kebebasan plus hadiah besar. Inilah dilemma-nya. Walaupun mereka menyadari

bahwa keduanya akan sama-sama memperoleh keuntungan kalau keduanya tidak

mengaku, masing-masing tahanan berdasarkan perhitungan rasional akan memilih

strategi yang bisa membuat mereka menjalani hukuman 20 tahun, yaitu keduanya

mengaku. Inilah strategi minimax, karena dihukum 20 tahun lebih ringan daripada

dihukum mati.

Model Prisoner’s Dilemma dalam Perlombaan Senjata

Dilema yang sama juga dihadapi oleh dua negara yang saling bersaing dalam

perlombaan senjata nuklir. Misalnya, Amerika Serikat dan Rusia punya potensi

bermusuhan satu sama lain tetapi sangat ingin mempertahankan perdamaian.

Keduanya menyadari bahwa beban pembiayaan persenjataan nuklir sangat berat dan

sebetulnya, kalau saja ancaman serangan dari lawan bisa dihilangkan, maka

pengurangan pengurangan persenjataan akan menguntungkan kedua belah fihak.

Karena itu, dalam kondisi seperti ini, pengurangan persenjataan atau bahkan

perlucutan senjata secara bilateral akan menguntungkan keduanya. Masing-masing

menganggap bahwa pengurangan senjata secara bersama-sama itu lebih

menguntungkan ( Nilai +1) daripada saling berlomba (nilai –1). Tetapi bisa diduga

bahwa pengurangan senjata secara sefihak akan merugikan negara yang

melakukannya.

Andaikan pada mulanya kedua negara memiliki persenjataan nuklir. Marilah kita lihat

bagaimana pengurangan senjata dalam situasi itu bisa dilakukan (Nilai +1).

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 100


Andaikan lagi, keduanya tidak bisa saling berkomunikasi, sehingga masing-masing

harus membuat keputusan untuk menambah atau mengurangi pemilikan senjatanya

tanpa mengetahui apa yang diputuskan lawannya (Nilai –1).

Melihat sudut pandang Bush, maka akan diketahui penalaran Bush sebagai berikut:

“Kalau Putin melakukan pengurangan senjata, jelas menguntungkan bagi


kita/AS untuk tetap mempertahankan tingkat persenjataan kita/AS, karena
dengan demikian AS bisa memaksa Rusia memberi konsesi politik penting.
Sebaliknya, kalau Rusia tidak mengurangi tingkat pemilikan persenjataannya,
AS juga jangan mengurangi persenjataannya, sebab kalau AS melakukan, AS
akan mudah didikte oleh Rusia. Akibatnya, apapun yang dilakukan oleh Rusia,
menambah atau mengurangi senjatanya, demi kepentingan kita sendiri, AS
harus tetap menambah persenjataan nuklir dan melanjutkan perlombaan
persenjataan”.

Rusia, dengan penalaran yang persis sama, sampai pada kesimpulan yang sama.

Akibatnya, baik AS maupun Rusia yakin bahwa demi kepentingan nasionalnya sendiri

mereka harus tetap melakukan perlombaan senjata, walaupun sebenarnya keduanya

akan lebih beruntung kalau masing-masing mengurangi persenjataannya.

Sekarang, andaikan kedua negara itu bisa saling berkomunikasi, maka bisa diduga

bahwa mereka sepakat untuk mengurangi persenjataan secara bilateral (dengan

demikian kedua negara akan mendapat keuntungan) kalau ada sarana untuk

memaksakan ditaatinya perjanjian. Tanpa adanya prosedur pemaksaan pelaksanaan

perjanjian secara efektif atau rasa saling percaya, pengurangan senjata tidak akan

terwujud.

Model Prisoner’s Dilemma menggambarkan apa yang secara actual dilakukan oleh

orang atau negara apabila dihadapkan pada situasi dilematis seperti itu. Teori Game

menunjukkan betapa dilemma atau deadlock terjadi akibat ketidaksesuaian antara

kepentingan individual dan kepentingan kolektif. Tujuan memaksimalkan keuntungan

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 101


dan meminimalkan kerugian maksimumdet dan prinsip rasionalitas membuat dua

aktor sama-sama memilih strategi menolak kerjasama, yang berarti sama-sama

merugi. Model ini juga menunjukkan bahwa ketidakpastian dan ketidaktahuan

tentang perilaku lawan membuat negara-negara cenderung bersikaf defensif dan

non-kooperatif.

Gambar : Model Prisoner’s dilemma dalam Perlombaan Senjata Nuklir:

Bush : Berlomba Senjata


Tidak Ya
Tidak +1 +10
tidak
Putin: Berlomba +1 -10
Senjata -10 -1

Ya +10 -1

2. Teori Deterens (deterrence)

Teori lain yang terkenal dalam studi perilaku rasional dalam situasi konflik adalah Teori

Deterens (Teori Penggetar).

Deterens adalah hubungan psikologis dimana satu fihak meyakinkan fihak lain agar

tidak menyerang karena serangan itu akan mengundang pembalasan yang setimpal.

Asumsi teori deterens : bahwa pemerintah pada umumnya cukup rasional dalam

menanggapi ancaman pembalasan.

Berdasarkan asumsi itu bisa ditarik kesimpulan bahwa suatu ancaman pembalasan akan

berhasil apabila ancaman itu bisa meyakinkan lawan bahwa kalau ia menyerang maka

kerugian yang dideritanya akan jauh melebihi keuntungan yang diperolehnya. Harap

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 102


diingat bahwa yang ingin dilakukan adalah ancaman (threat) bukan pembalasannya itu

sendiri. Ini adalah masalah kredibilitas ancaman.

Kasus :

Kalau ancaman deterens India terhadap Pakistan tidak mempan, yaitu tidak dipercaya

oleh Pakistan, dan Pakistan mendahului menyerang India, maka India akan harus

menunjukkan kesungguhan ancamannya dengan balas menghancurkan Pakistan.

Suatu ancaman bisa tidak mempan karena yang diancam tidak percaya bahwa si

pengancam mampu melaksanakan ancaman itu. Untuk mengatasi hal itu si pengancam

akan menambah kekuatan/persenjataannya. Untuk membangun diri agar dianggap

atau dihargai oleh negara lain adalah membangun reputasi sebagai aktor yang

menepati janji atau komitmen ( ini masalah citra )

Salah satu cara untuk membangun reputasi sebagai aktor yang ”memegang teguh

janji” adalah dengan menunjukkan reaksi yang keras terhadap gangguan atas

komitmen-komitmennya.

Kasus : inilah yang melatarbelakangi keterlibatan AS di Vietnam pada decade 1970-

an, dan dalam kasus AS ke Irak baru-baru ini.

Teori deterens sangat memperhatikan masalah kemampuan untuk meloloskan diri

ketika terjadi serbuan. Upaya deterens hanya mungkin sangat kredibel kalau ia bisa

lolos dari suatu serbuan yang sangat mendadak; kalau tidak seseorang atau negara

akan terus mencoba dan mungkin berhasil.

Teori deterens juga mempunyai konsekuensi lain. Dalam logika pertahanan, semakin

lemah lawan kita semakin baik posisi kita. Akan tetapi dalam logika deterens, ini tidak

selalu benar. ( Mas’oed : 1989; 106-107)

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 103


BAB VII

TINGKAT ANALISA KELOMPOK NEGARA BANGSA (REGIONAL)

A. Makna Tingkat Analisa Kelompok Negara Bangsa

Pemusatan analisa pada kumpulan negara bangsa / region yang tinggal dalam suatu

wilayah geografis tertentu dimulai dengan asumsi :

1. Pemusatan perhatian pada negara bangsa sebagai unit analisis utama adalah

tidak memadai, karena negara bangsa sebagai aktor utama dalam hubungan

internasional dianggap lebih banyak merugikan daripada menguntungkan.

2. Pendukung perspektif regional menunjukkan banyak bukti bahwa (terutama pada

abad 20) bangsa-bangsa di dunia secara ekonomi dan kultural semakin saling

tergantung.

3. Nasionalisme –suatu gagasan yang mendasari pembentukan negara bangsa-

adalah penyebab utama dari dua perang dunia pada abad 20

4. Nasionalisme dianggap sebagai penghambat rasionalisme dalam hubungan

internasional antar berbagai negara di belahan dunia.

5. Teori-teori yang digunakan sebagai tool of analyzes adalah teori aliansi, teori

sub-sistem internasional, collective security, teori integrasi regional, teori

fungsional, teori komunikasi (cyber communication).

B. Dasar-dasar Teori tentang Kawasan / Region

1. Pengertian Region dan Perspektif Regional

Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk menganalisa peranan region dalam

politik internasional saat ini. Region merupakan area/wilayah dari dunia dimana

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 104


memuat secara geografis negara-negara dan bentuknya, system politik dan

pemerintahan, politik luar negeri, hubungan timbal balik antar unit/negara. Untuk

setiap negara/partisipan, aktivitas masing-masing anggota dalam kawasan (kerja

sama atau konflik) merupakan faktor determinan dalam kebijakan luar negerinya.

Pada umumnya, region didefinisikan secara geografis, karena geografi dianggap

sebagai faktor yang lebih permanen daripada banyak faktor yang lain. Dalam hal

ini kedekatan geografis atau teritorial dianggap sebagai unsur utama. Jadi di

dunia ini, misalnya ada region seperti Asia Tenggara, Timur Tengah, Eropa,

Amerika Latin dll.

Suatu region secara politik didefiniskan sebagai terdiri dari negara-negara yang

memiliki sistem politik atau menjalankan politik luar negeri yang kurang lebih

sama.

Suatu region secara ekonomi digambarkan terbentuk dari pola perdagangan dan

berbagai ikatan ekonomi lain secara rekatif intensif yang terjadi diantara negara-

negara yang ada di dalamnya.

Bruce Russet mendefinisikan sebuah region dengan dua cara20, yaitu :

a. Metode Taksonomi Induktif, dimana pengertian kawasan dimulai dengan

pengumpulan data menurut berbagai criteria yang sama dan kemudian

mengkaji apa yang muncul dari berbagai kriteria itu.

Kriteria yang dipakai untuk melihat sekumpulan Negara-negara adalah :

1) Kemiripan sosio-kultural, yang diukur dari tingkat pendidikan, afiliasi

keagamaan, persamaan budaya dll.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 105


2) Sikap politik atau perilaku eksternal yang mirip, yang tercermin dalam

voting pada sidang-sidang PBB

3) Keanggotaan yang sama dalam organisasi-organisasi supra-nasional atau

antar pemerintah

4) Interdependensi ekonomi, yang diukur dengan criteria perdagangan

sebagai proporsi pendapatan nasional

5) Kedekatan Geografik, yang diukur dengan jarak terbang antara ibukota-

ibukota Negara-negara yang ada disuatu wilayah ttt.

Metode yang digunakan oleh Russet dalam menentukan definisi region adalah

suatu bentuk analisa faktor yang dikenal sebagai analisis Q. Cara kerjanya

adalah sbb:

Misal untuk faktor ”kemiripan sosio-kultural”

Ada berbagai cara untuk mengukurnya, yaitu jumlah siswa sekolah, tingkat

GNP, afiliasi keagamaan yang dominan, distribusi pemilikan pesawat TV,

tingkat APBN pemerintah, angkatan kerja dsb. (Russet menggunakan sekitar

45 indikator). Untuk menganalisanya faktor yang banyak tersebut dipakai

analisa faktor untuk menemukan indikator-indikator yang saling berkaitan

erat.

b. Cara kedua untuk mendefinisikan eksistensi suatu region adalah dengan

membuat suatu definisi tentang “region” dan kemudian menggunakan definsi

itu untuk menentukan negara-negara mana yang bisa dikelompokan bersama-

sama.

20
Bruce Russet, International Regions and the International System, dalam Mohtar Mas,oed. 1989. Studi

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 106


Michael Brecher menggambarkan politik internasional sebagai suatu system

dominant (yaitu, blok-blok yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Uni

Sovyet) dan sekumpulan system sub-ordinat, atau region-region21.

Suatu system sub-ordinate terdiri dari :

1) memiliki ruang lingkup yang terbatas (terutama geografi)

2) memiliki paling kurang tiga Negara sebagai anggota

3) diakui oleh fihak lain sebagai suatu region tersendiri

4) diakui oleh anggota-anggotanya sebagai suatu region tersendiri

5) secara relative lebih rendah dibanding dengan system dominant

6) lebih banyak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam system

dominant daripada sebaliknya.

Untuk mendeskripsikan suatu sub-sistem, Brecher memberikan kerangka

analisis sbb:

1) Ruang; menyangkut anggota-anggota sub-sistem dan lokasi mereka.

Anggota-anggota diklasifikasikan sebagai core, peripheri, lingkaran luar.

2) Waktu ; Tahun ketika sub-sistem itu mulai berjalan

3) Struktur; Distribusi kekuatan dalam region, integrasi organisasional antar

anggota dalam region, karakter dan frekuensi interaksi, kaitan dengan

system dominant, interupsi eksternal

4) Texture; intensitas komunikasi dan transport diantara anggota,

persamaan dan perbedaan ideology serta nilai, keanekaragaman system

politik, stabilitas internal para anggota.

Hubungan Internasional: Tingkat Analsisi dan Teorisasi, Jogjakarta, PAU-UGM.


21
Michael Brecher dalam Mohtar Mas’oed, Ibid

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 107


Ada beberapa pertimbangan dalam melakukan identifikasi sebuah Kawasan22,

yaitu:

a. Setiap Negara (besar-kecil / kuat-lemah) merupakan anggota hanya satu

kawasan

b. Ukuran ( luas, kekuatan, jumlah penduduk dll) bukan merupakan faktor

determinan dari keberadaan/keanggotaan dalam suatu region

c. Dalam boundaries kawasan, terjadi interaksi yang kompleks; politik, ekonomi,

sosial, budaya dll.

d. Hubungan perpolitikan asli (konflik, kerja sama), faktor-faktor geografis,

hubungan sosial, latar belakang budaya dan sejarah membantu untuk

mendefinisikan sub-system kawasan

e. Kekuatan-kekuatan eksternal dapat memainkan peranan dalam membentuk

kawasan

f. Batas-batas geografis dan sosial relative tetap dan stabil, sedangkan

batas/faktor politik dan ideology mungkin berubah-ubah.

Dengan demikian, kita dapat mendefinisikan region sebagai sebuah sub-ordinat

system yang terdiri dari dua atau lebih Negara-negara yang berdekatan dan

melakukan interaksi serta mempunyai beberapa persamaan kepentingan, etnis,

bahasa, budaya, sosial, latar belakang sejarah, dan mereka mempunyai identitas

yang dapat meningkat melalui aksi-aksi dan sikap terhadap pengaruh eksternal.

Dalam sebuah kawasan, dapat dibedakan dalam tiga sub-divisi:

a. Core Sector (Sektor induk/utama, atau negara-negara besar/domain powers).

Negara-negara di Kawasan Amerika yang termasuk dalam core sector:

Amerika Serikat, Kanada, Argentina, Bolivia, Brazil, Chile, Columbia, Costa

22
Louis J Cantori & Steven L Speigel. 1970. The International Politics of Regions: A Comparative

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 108


Rica, Republik Dominika, Ekuador, Elsalvador, Guetemala, Honduras, Mexico,

Nikaragua, Panama, Paraguay, Peru, Uruguay, Venezuela.

b. The Peripheral Sector (Negara-negara yang ada dalam sebuah kawasan tetapi

tidak mempunyai peranan yang cukup besar dalam kawasan itu); Kuba,

Trinidad & Tobago, Jamaika, Barbados, Haiti, Suriname, Guyana Perancis

c. The Interusive System ( campur tangan dari Negara-negara luar/eksternal

yang berpengaruh besar dalam interaksi di kawasan itu); Amerika Serikat,

Kanada, Rusia, Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol, Portugal.

Atau dalam pengertian yang diberikan oleh Louis J Cantori & Steven L Speigel,

dalam politik internasional, sebuah system merupakan keseluruhan hubungan

yang ada diantara Negara-negara/unit-unit yang berdaulat atau otonom dalam

berbagai arena. Ada tiga sistem dalam arena politik internasional23, yaitu:

a. The Dominant System, dalam arena global merupakan pertentangan dan kerja

sama dari Negara-negara dengan kekuatan yang paling besar (powerful of

nations)

b. The Sub-ordinate System, dalam system regional, merupakan jumlah interaksi

dari hubungan-hubungan dalam sebuah region.

c. The Internal System, dalam sebuah Negara, adalah jumlah hubungan-

hubungan dalam sebuah organisasi Negara yang membentuk politik domestic.

Ketiga system itu saling berhubungan satu dengan yang lain dan saling

mempengaruhi bekerjanya ketiga system itu.

Interaksi dalam sebuah kawasan, didasarkan pada 4 patern variables, yaitu

kategori umum dimana terjadi hubungan antara beberapa faktor yang terkait,

Approach. New Jersey: Prentice Hall Inc.


23
Ibid

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 109


misalnya patern variables sosial, ekonomi, politik, organisasi, yang dapat dikaji

dari hal-hal sbb :

a. Keadaan dan tingkat kohesi (the nature and level of cohesion)

Level Kohesi dapat diartikan sebagai tingkat kesamaan atau saling melengkapi

dalam berbagai bidang dari entitas politik yang ada dan tingkat interaksi antar

unit. Konsep kohesi dalam lingkup region punya peran dan pengertian yang

hampir sama dengan konsep integrasi dalam analisis Negara bangsa.

Konsep kohesi terbagi dalam berbagai bidang, seperti :

1) sosial cohesiveness; yang meliputi kesamaan etnis, ras, bahasa,

agama, budaya, sejarah dan kesadaran terhadap warisan bersama.

2) Economic cohesiveness; adanya fokus komplementary dan distribusi

dari sumber-sumber ekonomi, seperti sumber daya alam, perdagangan

antar Negara dll

3) Political cohesiveness; adanya focus pada pola dan tingkat

komplementari dari berbagai rejim yang ada yang dapat memberikan

kontribusi kepada terjadinya stabilitas maupun konflik antara Negara.

4) Organizational cohesion; ditekankan pada efek-efek yang mungkin ada

dalam kohesi yang terjadi di PBB atau dalam organisasi regional

lainnya.

b. Keadaan Komunikasi (the nature of communications)

The nature of communications dibagi dalam empat aspek; personal

komunikasi (e-mail, phone, fax, dll); media massa (Koran, radio, TV);

pertukaran antar relit (exchange among elits: pertukaran pelajar/pendidikan,

turis, kunjungan diplomatic); transportasi (jalan, kereta api, pesawat dll).

c. Tingkat Power (the level of power)

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 110


Power dapat didefinisikan sebagai keadaan dan potensi kemampuan, dan

kehendak dari satu Negara untuk merubah proses pembuatan keputusan

Negara lain sesuai dengan keinginannya. Ada tiga aspek dari kemampuan

nasional suatu Negara yaitu:

1) Material; meliputi letak geografis, sumber daya alam, jumlah, kualitas,

struktur penduduk, kapasitas ekonomi dan industri, pemerintahan.

2) Militer; meliputi jumlah tentara, persenjataan, efesiensi, dan termasuk

kemampuan untuk menjadi pemimpin dan meningkatkan kemampuan dan

pengaruh militer kepada Negara-negara yang lebih lemah.

3) Motivational; merupakan salah satu eleman power yang utama yang

berpusat pada keinginan Negara untuk mencari prestise dan status dalam

hubungan internasional. Aspek motivasional dipengaruhi oleh ideology,

karakter dan moral nasional, nasionalisme, sejarah, kemampuan dan

kepribadian negarawan, keahlian diplomatic.

Berdasarkan ketiga aspek power tersebut, maka tipe Negara-negara dapat dibagi

dalam 7 tipe, yaitu:

1. Primary Power (Amerika Serikat dan Uni Sovyet)

2. Secondary Power (Inggris, Perancis, Jerman, RRC, Jepang)

3. Middle Power (Italia, Kanada, Australia, Spanyol, Brasil, India)

4. Minor Power (Kuba, Korea Selatan, Indonesia, Argentina, Meksiko, Turki dll)

Keempat tipe tersebut di atas, didasarkan pada peranan dan keaktifan Negara

tersebut dalam politik internasional.

5. Regional State merupakan Negara yang secara umum lebih lemah

dibandingkan dengan minor power dalam kemampuan material, militer dan

motivasional tetapi masih mempunyai pengaruh (walaupun kecil) dalam

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 111


hubungan internasional di kawasan. (Yunani, Hungaria, Kolumbia, Korea

Utara, Suriah dll)

6. Micro State merupakan Negara yang punya pengaruh sangat terbatas atau

bahkan tidak punya peran dalam hubungan internasional (Kebanyakan

Negara-negara di Amerika Latin masuk dalam tipe Negara micro state)

7. Negara-negara jajahan.

d. Struktur Hubungan (the structure of relations)

Merupakan karakter atau sifat hubungan diantara Negara-negara yang

membentuk sub-ordinat system/region, yang terdiri dari dari :

1) the spectrum of relations merupakan struktur hubungan antar negara-

negara mulai dari paling dekat sampai kepada bentuk hubungan yang

bersifat konflik atau konfrontasi militer.

Blok – aliansi – kerjasama terbatas =equilibrium= tidak bersahabat

(stalemate/jalan buntu/tidak ada penyelesaian) – Krisis berkepanjangan –

perang. Kebanyakan Negara-negara di Amerika latin ada dalam keadaan

stalemate karena masalah-masalah perbatasan.

2) the causes of relations (dasar untuk saling menghargai atau

pertentangan, yang bias disebabkan oleh berbagai alasan, perbatasan,

ideology, ekonomi dll, yang menyebabkan terbentuknya hubungan

kerjasama atau konflik).

3) the means of relations: tipe persenjataan, cara untuk menyelesaikan

konflik, metode kerja sama (instrument yang digunakan dalam

melaksanakan hubungan; diplomasi, perang, gerilya dll.)

BAB VII

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 112


TINGKAT ANALISA SISTEM INTERNASIONAL

A. PROSES PEMBUATAN KEPUTUSAN SEBAGAI SISTEM

Pendekatan system terutama yang menekankan analisis input-output sangat tepat

untuk menelaah perilaku negara dalam membuat keputusan politik luar negeri,

terutama kalau proses politik luar negeri didefinisikan sebagai :

Suatu mekanisme bagi suatu system politik untuk beradaptasi dengan lingkungan

geopolitiknya dan untuk mengendalikan lingkungan itu demi mencapai tujuannya.

Dalam konteks ini, politik luar negeri didefinisikan dalam pengetian fungsi-fungsi yang

dijalankan oleh proses politik luar negeri demi system politik nasional.

B. Perspektif Pembuatan Keputusan

Menelaah politik luar negeri dari sudut pandang pembuatan keputusan berarti

menempatkan suatu keputusan politik luar negeri tertentu atau serangkaian

keputusan politik luar negeri sebagai sasaran analitis. Pelopor pendekatan system

adalah Richard C. Snyder pada tahun 1960-an. Pendekatan ini menempatkan individu

dalam konteks sosial yang berbeda, dan memandang keputusan atau hasil tindakan

para individu itu sebagai fungsi atau dipengaruhi oleh konteks itu.

Tujuan utama dari pendekatan pembuatan keputusan, seperti yang dikatakan oleh

James Robinson dan Richard C. Snyder adalah, maksud utama penelaahan proses

pembuatan keputusan adalah untuk mengetahui apakah dan bagaimana proses

keputusan itu mempengaruhi isi keputusan yang dihasilkan.

Dengan kata lain, pendekatan keputusan memusatkan perhatian pada berbagai

rangsangan atau stimulus yang mempengaruhi proses pembuatan keputusan itu

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 113


sendiri. Pendekatan ini berusaha mengetahui apakah proses pembuatan keputusan

yang berbeda menghasilkan keputusan yang berbeda, dan apakah “kombinasi situasi,

individu, dan organisasi yang berbeda menghasilkan keputusan yang berbeda”.

Pendekatan pembuatan keputusan berusaha mengumpulkan informasi tentang

variable-variabel independen yang dianggap mempengaruhi keputusan final atau

proses pembuatan keputusan dan kecenderungannya.

C. Pendekatan Sistem

Untuk mengkonseptualisasikan beragamnya unit-unit yang saling berinteraksi dalam

menghasilkan keputusan politik luar negeri, dapat dipakai konsep system politik.

Konsep ini dipakai untuk menggambarkan bagaimana proses pembuatan keputusan

berlangsung dengan cara memandang orang-orang yang secara bersama-sama

terlibat dalam proses politik luar negeri shg membentuk suatu system.

Menurut John Lovell, suatu system memiliki unsure-unsur utama sebagai berikut :

1. Serangkaian bagian-bagian yang secara bersama-sama mampu melakukan

kegiatan untuk mencapai suatu tujuan

Soal “tindakan berorientasi tujuan” penting dalam analisis politik luar negeri. Dan

studi tentang system pembuatan keputusan luar negeri dilihat sebagai upaya untuk

mengidentifikasikan tujuan-tujuan yang dikejar oleh politik luar negeri.

Keputusan-keputusan yang menyangkut tujuan-tujuan negara di lingkungan

eksternal, sarana dan sumberdaya yang digunakan untuk mengejar tujuan itu, dan

yang memuat tanggapan system politik itu terhadap tuntutan dari lingkungan

eksternal adalah keputusan politik luar negeri.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 114


2. Adanya hubungan fungsional antar-bagian

Dalam suatu system, setiap bagian menjalankan fungsi yang mempengaruhi

efektivitas kerja suatu system. Karena itu setiap bagian adalah penting. Satu

bagian tidak berfungsi, maka seluruh system akan terganggu atau tidak jalan.

3. Adanya hubungan antara system dengan lingkungannya

Sebagai suatu system terbuka, system politik berhubungan terus menerus dangan

lingkungannya melalui penerimaan input, dalam bentuk tuntutan (demand) dan

dukungan (support) dari lingkungan, dan melalui output, yang berupa upaya

system untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan atau untuk mengendalikannya.

Proses input menjadi output itulah proses pembuatan keputusan. Dalam hal ini,

system selalu memantau lingkungannya, memberi tanggapan terhadap lingkungan

itu, dan berusaha mempengaruhinya.

Pendekatan system memungkinkan kita untuk memahami esensi kenyataan politik

dengan konsep-konsep sederhana. Karena itu pendekatan ini sering digunakan dan

berpengaruh dalam ilmu-ilmu sosial. Dalam politik internasional, konsep system bisa

diterapkan pada setiap tingkat analisis. Individu, organisasi (misalnya deplu),

pemerintah suatu negara (misalnya Indonesia), pengelompokan negara-negara (missal

ASEAN), dan interaksi diantara semua negara di dunia (system intenasional)

Ada beberapa jenis pendekatan system yang berpengaruh dalam studi politik

internasional. Yang dianggap paling tepat untuk menggambarkan politik luar negeri

adalah analisis “input-output”

Konsep yang diterapkan dalam analisis ini adalah :

1. Input adalah pemasukan informasi atau sumber daya ke dalam system

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 115


2. Memory terdiri dari fasilitas dan proses menyimpan dan memanggil kembali

informasi

3. Keputusan adalah komitmen, berdasar analisis tentang informasi yang ada dan

kemempuan yang dipunyai untuk melakukan tindakan terhadap lingkungan.

4. Output adalah tindakan suatu system

5. Tujuan adalah apa saja yang dimaksud akan dikejar melalui tindakan itu.

6. Feedback adalah informasi baru tentang akibat dari tindakan yang telah dilakukan,

yaitu menjadi dasar bagi system itu untuk memulai siklus kembali.

Analoginya adalah “movie camera”

Pendekatan system biasa digunakan dalam analisis politik luar negeri. Analis bisa

memakai untuk membedakan suatu system dari lingkungannya, dan dalam hal negara-

bangsa batas itu jelas: disini kita, disana orang asing. Dalam proses politik luar negeri

input itu bisa dihitung, misalnya angka anggaran belanja, statisitik militer, suara dalam

pemilu dll. Input juga bisa berujud berita tentang apa yang terjadi di dunia melalui

jumlah telepon, telegram, telex, fax yang masuk setiap hari ke deplu.

Outpun politik luar negeri : mulai nota diplomatik sampai perang

Memory : buku sejarah, arsip, kebudayaan, tradisi, ingatan pribadi para pemimpin dll.

Analisis input-ouput sering juga menerapkan teori komunikasi dan sibernetika yang

menekankan bahwa pemerintah dalam berhubungan internasional merupakan jaringan

komunikasi, karena itu analis mengumpulkan informasi tentang dan meneliti secara

seksama arus komunikasi yang berkaitan dengan suatu system.

 Contoh kasus : Kegagalan pemerintah AS dan Israel dalam menginterpretasikan data

intelejen tentang gerakan pasukan Mesir dan Arab.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 116


Konsep dasar Pendekatan Sistem dari Gabriel Almond:

ENVIRONMENT

INPUT : PROSES/ OUTPUT/


1. DEMAND KONVERSI POLICY
2. SUPPORT

FEEDBACK

ENVIRONMENT

D. Proses Ideal Pembuatan Keputusan

John Lovell menggambarkan proses pembuatan keputusan politik luar negeri dengan

membuat model ideal, yang diberi nama “Mesin Ideal Imajiner Pembuat Kebijakan

(MIIPK), yaitu sbb: Keputusan polugri dibuat sebagai tanggapan terhadap kejadian

dan masalah yang terjadi atau yang diantisipasi akan terjadi di lingkungan dunia.

Menurut Lovell, analogi atau model ini mempunyai dua maksud analitik, yaitu:

1. untuk menunjukkan tugas-tugas yang dilakukan dalam membuat keputusan

polugri

2. untuk menunjukkan keterbatasan manusia dalam melaksanakan tugas-tugas in

dengan menetapkan patokan-patokan ideal yang harus dipenuhi dalam dunia

imajiner.

Ciri-ciri MIPK :

1. Harus bisa melakukan scanning secara komprehensif

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 117


2. Harus bisa melakukan coding yang meyakinkan dan luwes

3. Mentransmisi data dengan segera tanpa ada yang hilang atau berubah

4. Menyediakan storage untuk menyimpan data atau memori dengan jumlah tak

terbatas dan siap untuk di recall kapan saja

5. Mempertimbangkan secara menyeluruh semua alternatif haluan tindakan

6. Mempunyai rasionalitas sempurna dalam memilih berbagai alternatif

7. Mempunyai kemampuan menerapkan keputusan dengan segera dengan

penggunaan biaya secara efesien

8. Memiliki suatu system feedback yang bisa bekerja seketika.

E. Proses pembuatan Keputusan Polugri dalam Praktek Nyata

Gambar : Proses pembuatan keputusan dalam system politik

Input Scanning, Transmisi Referensi Output


coding
Kejadian Sumber intelejen/ Komisi parlemen/ Badan pembuat Keputusan
Eksternal Deplu / Kedubes Lower Decision keputusan
makers / Deplu tertinggi

Tuntutan opini dr Kelompok Birokrasi sipil, Penetapan


Luar negeri kepentingan militer alokasi sumber
daya
Kebutuhan dan Partai politik Komunikasi,
Kepentingan Parlemen koordinasi
internal Media Massa
Memori storagge dan Recall

Catatan : Lihat Mas’oed (1989: 127 – 135)

F. Model Alternatif: Proses Non-Rasional

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 118


Dalam istilah Graham T. Allison, model ideal yang diajukan oleh Lovell disebut sebagai

model Aktor Rasional, dimana proses pembuatan keputusan dalam model ini

digambarkan sebagai proses intelektual, yang penuh penalaran dan terkordinasi.

Model rasional ditentang oleh penganut model non-rasional, seperti model proses

organisasi. Model ini menunjukkan bahwa proses pembuatan keputusan adalah proses

mekanik, yaitu keputusan umumnya dibuat dengan merujuk pada keputusan-

keputusan yang telah dibuat pada masa lalu, pada preseden, pada prosedur rutin yang

berlaku atau dengan kata lain merujuk pada prosedur operasi baku.

Teori organisasi dikembangkan oleh Herbert Simon untuk menunjukkan kelemahan

asumsi rasionalitas yang menggambarkan manusia dan organisasi sebagai selalu

mencari penyelesaian paling baik terhadap suatu masalah yaitu keputusan optimal.

Menurut Simon “ sebagaian besar pembuatan keputusan, baik oleh individu maupun

organisasi, bertujuan menemukan dan memilih alternatif yang cukup memuaskan;

jarang sekali bertujuan menemukan dan memilih alternatif yang optimal”

Para pembuat keputusan bukan “maximizer” atau pengejar keuntungan/sesuatu yang

maksimum, tetapi mereka adalah “satisficer”, yaitu sekedar mencari sesuatu yang

cukup memuaskan. Ia lebih menekankan pencarian apa yang rasional berhubung

dengan keterbatasan manusia atau ”bounded rationality” yaitu rasionalitas yang

terbatas, dimana pencarian dan pemilihan alternatif itu terbatas.

Pemikiran serupa juga dikemukakan oleh David Baybrooke dan Charles Lindblom, yang

menganjurkan analis polugri untuk memperhatikan keputusan politik dalam pengertian

derajat perubahan yang akan diakibatkan oleh keputusan itu. Sebenarnya derajat

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 119


perbedaan itu tidak bisa ditetapkan dengan tegas, sehingga yang kita bicarakan

adalah suatu kontinuum:

Gambar :

Perubahan incremental Perubahan menyeluruh

Menurut Lindbolm, jenis keputusan yang paling banyak dihasilkan adalah keputusan

yang hanya melibatkan perubahan kecil, yang dibuat oleh pejabat rendahan yang

menghadapi situasi yang sangat tidak pasti. Dan itu adalah ‘inkrementalisme’, yaitu

proses pembuatan keputusan yang lamban, sepotong-sepotong dan konservatif; yang

jelas tidak rasional.

G. Kerangka konseptual Komprehensif dalam Studi Pembuatan Keputusan

Polugri

Pada dasarnya kerangka ini berujud daftar faktor-faktor yang dianggap relevan untuk

menjelaskan apa yang akan dijelaskan. Pelopor teori ini adalah Richard Snyder, H.W.

Bruck dan Burton Sapin. Menurut aliran ini bahwa keputusan adalah suatu tipe

perilaku atau proses, dan bahwa walaupun keputusan-keputusan itu menunjukkan

perbedaan, sebenarnya mengandung banyak kesamaan yang bisa diperbandingkan.

Analis polugri harus memusatkan perhatian pada perilaku pembuat pejabat yang

secara actual terlibat keputusan dalam proses pembuatan keputusan. Analis harus

membangun analisanya atas dasar pandangan para pembuat keputusan itu tentang

dunia. Apakah lingkungan eksternal itu relevan atau tidak, tergantung pada persepsi

pembuat keputusan itu. Dengan demikian analis polugri menjadi spesifik, jelas dan

sederhana.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 120


Gambar : Model Snyder ttg Proses Pembuatan Keputusan
A LINGKUNGAN INTERNAL E LINGKUNGAN EKSTERNAL
PEMBUATAN KEPUTUSAN PEMBUATAN KEPUTUSAN
1 Lingkungan Non Manusia 1 Lingkungan Non Manusia
2 Masyarakat 2 Budaya-budaya lain
3 Lingkungan Manusia 3 Masyarakat-masyarakat lain
- Budaya
- Penduduk
4 Masyarakat yang terorganisir
dalam dan berfungsi sbg
negara; tindakan pemerintah

B STRUKTUR SOSIAL DAN


PERILAKU
1 Orientasi-orientasi nilai
utama
2 Pola-pola pengembangan C
utama
3 Ciri-ciri utama organisasi - Proses Pembuatan keputusan
sosial - Pembuatan Keputusan
4 Diferensiasi dan Spesialisasi
Peranan
5 Jenis-jenis Fungsi D
Kelompok
6 Proses-proses sosial yang Tindakan
relevan
(a) Pembentukan opini
(b) Sosialisasi org dewasa
(c) Proses Politik

tipe

 Kalau kelompok A dan B digabungkan, maka akan terdapat tiga kelompok faktor :

lingkup internal, lingkup eksternal dan proses keputusan. Dalam kelompok C terdapat

unsure-unsur sbb:

1. Definisi pembuat keputusan tentang situasi; yang berarti persepsi mereka

2. Ruang lingkup kompetisi, yaitu semua unsure yang mempengaruhi partisipasi

dalam keputusan tertentu oleh individu

3. Komunikasi dan informasi, yaitu jaringan komunikasi dalam suatu organisasi

4. Motivasi, yaitu tujuan keseluruhan unit pembuat keputusan, norma, nilai yang

dianut oleh mereka yang ada dalam unit, dan nilai-nilai masyarakat.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 121


Glenn Paige menggunakan kerangka Snyder untuk mengkaji keputusan polugri AS di

Korea Selatan dalam menghadapi serbuan Korea Utara. Penemuan Paige adalah

bahwa kelompok pembuat keputusan dalam suatu krisis nasional umumnya terdiri dari

12-15 orang, dan bahwa suatu keputusan krisis seperti keputusan AS berperang di

Korea sebetulnya terdiri dari berbagai keputusan yang dikelompokan menjadi satu

Proposisi-proposisi yang diberikan oleh Paige:

1. Semakin gawat suatu krisis, para pembuat keputusan semakin terdorong untuk

menekankan keakraban di antara mereka

2. Semakin gawat suatu krisis, semakin banyak upaya atasan untuk meminta nasehat

bawahan

3. Semakin gawat suatu krisis, semakin besar tekanan pada reliabilitas atau

keandalan sumbenya

4. Semakin gawat suatu krisis, semakin besar kecenderungan para pembuat

keputusan untuk menambahi informasi tentang keadaan yang sebenarnya dengan

informasi yang berasal dari pengalamannya sendiri pada masa lalu

5. Semakin gawat suatu krisis, pengamatan terhadap lingkungan internasional demi

memperoleh informasi semakin diarahkan

Ilmuwan lain yang masuk dalam kategori kerangka konseptual komprehensif adalah

James N. Rosenau. Dalam analisanya Rosenau mengelompokkan variable-variabel itu

ke dalam lima kategori: ideosinkretik, peran, birokratik, nasional dan sistemik.

Untuk melihat kaitan antara variable ini dengan keputusan politik luar negeri, kita

dapat membagi keputusan itu dalam tiga kategori: (Baca juga Colulumbis & Wolfe)

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 122


1. Keputusan Pragmatik, yaitu keputusan besar dengan konsekuensi jangka panjang,

yang dibuat berdasarkan studi mendetail, pertimbangan matang, dan evaluasi

seksama terhaddap semua pilihan alternatif yang ada.

2. Keputusan Krisis, yaitu keputusan yang dibuat ketika terdapat ancaman yang

gawat; hanya tersedia waktu pendek untuk memberi tanggapan, dan ada unsure

pendadakan yang memerlukan tanggapan ad hoc, dalam arti tidak ada tanggapan

yang sudah dirancang terlebih dahulu.

3. Keputusan Taktis, yaitu keputusan penting yang biasanya berasal dari tingkat

pragmatic; yang bisa dievaluasi, direvisi dan dibatalkan.

PENGERTIAN SISTEM INTERNASIONAL


A. MODEL HOWARD LENTNER

Faktor
Eksternal
Proses / Output
Konversi
Faktor
Internal

Feedback

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 123


B. MODEL LINGKUNGAN (SWOT) dari Harvey Starr dan Maria Papadikis

Peringkat-
peringkat
Lingkungan : Kesempatan/ Kesempatan/
Hambatan Hambatan
1. Sist. Intl.
2. Hub-hub. Intl.
3. Pemerintah
1. Negara Keputusan-
4. Individu Perilaku Politik
2. Institusi & Struktur Keputusan Politik
5. Peranan Pembuatan Politik Luar Negeri
6. Society Luar Negeri
Luar Negeri (1) (1)

Persepsi Thd (2) PLN sbg “Output” (3) PLN sbg


Lingkungan implementasi
dr output
Pembuatan Keputusan
Politik Luar Negeri, sbg “outcome”
Individu, Struktur dan
Proses
(1)
(2) PLN sbg “Proses”

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 124


C. THE MICRO-MACRO LINKAGE APPROACH
Input Output
International Constraints plus Domestic Foreign Policy
Determinants

Tabel : THE MICRO-MACRO LINKAGE APPROACH


Input Output
Macro – Level : Foreign Policy
International Constraints Domestic Determinants
(Structure and System) (Society and Institutions)

Micro – Level :
Decision-Makers
(Psychological and Ideological stateFaktors)

Tabel : Single Level Analysis Approach

Tipe Input Output


Tipe A International Constraints Foreign Policy
(Structure and System)
Tipe B Domestic Determinants Foreign Policy
(Society and Institutions)
Tipe C Decision-Makers Influence Foreign Policy
(Psychological and Ideological Faktors)

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 125


POLA PERUBAHAN POLUGRI

Tugas utama analis kebijakan luar negeri adalah untuk memberikan penjelasan engenai

cara-cara dengan menyatakan usaha untuk mengubah atau berhasil dalam mengubah

perilaku negara lain (Modelski, 1962: 7). Banyak sarjana telah mengusulkan beberapa

cara yang digunakan kebijakan asing yang dapat dikembangkan lebih jauh. Modelski

(1962) menggambarkan kebijakan luar negeri sebagai suatu sistem kegiatan. Dalam

perspektif ini, karena kebijakan luar negeri dipandang sebagai suatu sistem di mana

kebijakan luar negeri merupakan keputusan yang dirumuskan dan direncanakan untuk

dieksekusi. Melihat dari sudut pandang ini, keputusan pembuat kebijakan amat penting

dalam proses perumusan kebijakan luar negeri. Sebagai sistem aktivitas yang berkaitan

dengan kegiatan lingkungan internasional, dua elemen lain tertanam dengan kebijakan

luar negeri, yaitu kemampuan (kekuatan) negara untuk menerapkan dan konteks di mana

kebijakan luar negeri dirumuskan serta diimplementasikan. Selain itu, catatan Modelski

menjelaskan bahwa kebijakan dirumuskan di bawah bimbingan prinsip-prinsip tertentu

dan harus dibuat dengan tujuan tertentu. Konsep-konsep dasar dalam kebijakan luar

negeri, adalah: (1) kebijakan pembuat, (2) tujuan, (3) prinsip-prinsip, (4) kekuasaan untuk

melaksanakan, dan (5) konteks di mana kebijakan luar negeri dirumuskan dan

diimplementasikan (Modelski, 1962: bagian satu).

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 126


Perspektif lain memandang kebijakan luar negeri sebagai hasil dari interaksi kompleks

antara negara orientasi, komitmen dan rencana tindakan, dan perilaku terhadap negara-

negara lain. Dalam perspektif ini, Rosenau (1976) berpendapat bahwa pada dasarnya

kebijakan luar negeri terdiri dari (1) sekelompok orientasi, (2) satu set komitmen dan

rencana tindakan, dan (3) suatu bentuk perilaku (Rosenau, 1976: 16). Sekelompok

orientasi mengacu pada sikap, persepsi, dan nilai-nilai, yang berasal dari pengalaman

sejarah negara dan kondisi strategis yang menandai tempatnya di dunia politik. Berfungsi

sebagai pedoman bagi pejabat negara ketika mereka dihadapkan dengan kondisi

eksternal yang mengharuskan mereka untuk membuat keputusan dan mengambil

tindakan. Dengan kata lain, ini adalah prinsip-prinsip yang mendasari perilaku negara-

negara di arena internasional politik. Komitmen dan rencana tindakan adalah terjemahan

dari sekelompok orientasi. Ini menggabungkan beberapa strategi, keputusan nyata, dan

diamati kebijakan yang diambil ketika negara mendapatkan link ke lingkungan eksternal,

dan terdiri dari tujuan spesifik dan berarti melalui apa yang mereka tercapai. Perilaku

mengacu pada fase empiris untuk kebijakan pemerintahan yang terdiri kegiatan, yang

merupakan terjemahan orientasi umum kebijakan luar negeri. Dilihat dari sudut ini,

dengan kata lain, kebijakan luar negeri muncul sebagai perilaku eksternal negara-negara.

Berbeda dengan dua perspektif sebelumnya, melihat ketiga kebijakan luar negeri sebagai

kombinasi orientasi, peran nasional, tujuan, dan tindakan (Holsti, 1983: 97 -144).

Orientasi umum merujuk kepada sikap dan komitmen terhadap lingkungan eksternal, dan

itu menggabungkan strategi dasar untuk mencapai tujuan domestik dan eksternal,

terutama bertahan dalam menghadapi ancaman. Strategi dan orientasi ini jarang

diungkapkan dalam salah satu keputusan, tetapi hasil dari serangkaian keputusan

kumulatif negara menyesuaikan objektif, nilai, dan kepentingan dengan kondisi dan

karakteristik dari lingkungan domestik dan eksternal. Peran nasional adalah pembuat

keputusan ‘definisi dari keputusan umum, komitmen, aturan, dan tindakan yang sesuai

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 127


dengan negara mereka dan persepsi tentang bagaimana seharusnya negara tampil

dalam berbagai masalah geografis dan pengaturan. Tujuannya adalah gambar atau

kondisi yang diharapkan untuk mencapai di masa depan dengan memegang pengaruh

luar negeri dan dengan mengubah atau mempertahankan perilaku negara lainnya.

Tindakan kebijakan yang sebenarnya pemerintah suatu negara lakukan untuk negara-

negara lain. Sementara tiga komponen pertama merupakan gambar dalam pikiran

kebijakan pembuat, sikap terhadap dunia luar, keputusan, dan aspirasi, keempat

komponen (tindakan) adalah diambil untuk mempengaruhi orientasi tertentu, memenuhi

peran, atau mencapai dan mempertahankan tujuan. Dari tiga cara pandang yang

berbeda-beda kebijakan luar negeri yang disebutkan sebelumnya, dapat dikatakan

bahwa setidaknya ada tiga aspek utama dari kebijakan luar negeri, yaitu kebijakan asing,

proses produksi menjadi sumber kebijakan, dan tindakan yang diambil untuk

menerapkannya. Ada tiga label yang berbeda yang digunakan untuk membedakan tiga

aspek utama. Pertama, mereka yang digunakan untuk membedakan sebagai sumber

perilaku eksternal, proses yang membuat sumber-sumber ini terpadu ke dalam tindakan,

dan tindakan itu sendiri. Kedua, istilah tiga aspek masing-masing sebagai independen,

campur tangan, dan variabel dependen kebijakan asing. Lebih suka ketiga nama mereka

disebut sebagai input, pengambilan keputusan, dan output dari kebijakan luar negeri.

Mengingat bahwa kebijakan luar negeri terdiri dari tiga aspek utama, upaya untuk

menganalisis perubahan kebijakan luar negeri, harus fokus pada tiga aspek utama;

sumber kebijakan luar negeri, proses yang mengubah produksi menjadi sumber

kebijakan, dan tindakan yang diambil untuk menerapkannya. Karena kebijakan luar

negeri memiliki tiga aspek utama, teori analisis kebijakan luar negeri dapat diatur ke

dalam tiga kategori; sistemik teori, teori-teori sosial, dan negara-sentris teori (Barkdull &

Harris, 2002: 63-90). Kategori pertama mengacu pada teori-teori yang sedang berusaha

menganalisis dan menjelaskan kebijakan luar negeri dengan menekankan pentingnya

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 128


dan pengaruh sistem internasional. Kategori kedua menunjuk kebijakan luar negeri

sebagai produk dari kombinasi antara politik domestik dan budaya dari suatu negara.

Teori-teori ini menekankan pada pentingnya esensi dan faktor-faktor politik domestik di

kebijakan luar negeri. Kategori ketiga adalah teori-teori yang mengejar jawaban atas

pertanyaan mengenai kebijakan luar negeri dalam struktur negara, dan ini juga

memasukkan individu-individu yang mengirim dan melaksanakan kebijakan luar negeri

atas nama negara mereka.

Pola dari Perubahan Politik Luar Negeri

“Foreign policy is a goal oriented action taken by authoritative government towards

entities outside state’s boundaries.” (Dugis, n.d) Dengan berbagai definisi yang telah

dikemukakan demikian, politik luar negeri suatu negara bukanlah sesuatu yang statis dan

tetap sepanjang negara itu berdiri. Perubahan dalam politik luar negeri akan selalu kerap

terjadi dan pada kenyataannya menjadi cermin dari kualitas pembuat kebijakan itu sendiri

dalam hal ini pemerintah.

Secara umum, perubahan politik luar negeri sebagai proses pembuatan keputusan itu

dibedakan menjadi perubahan akibat perubahan rezim atau pemerintahan atau

perubahan akibat pemerintah yang berkuasa berusaha merubah haluan politik luar

negerinya sendiri. (Dugis, n.d) Kedua perubahan ini berdasarkan alasan terjadinya

perubahan politik luar negeri itu sendiri, akan tetapi pada kenyataannya dapat pula

membawa pada perubahan lain.

Menurut Hermann (1990), dalam perubahan politik luar negeri itu ada empat level

perubahan yang dapat dianalisis.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 129


Pertama, adjustment change, sebagai level perubahan pertama, perubahan yang terjadi

hanya mencakup cara dan tujuan dari politik luar negeri itu sendiri. Sebagai contoh,

ketika Indonesia mengalami gagal panen berturut-turut, maka pemerintah akan segera

melakukan penyesuaian kebijakan luar negeri dengan melakukan impor beras lebih

banyak dari Thailand.

Kedua, program changes, perubahan ini mencakup perubahan teknis kebijakan secara

lebih jauh akibat perubahan target asal. Perubahan ini dapat juga mencakup perubahan

instrumen yang dipakai. Seperti ketika penambahan kuota impor beras dari Thailand

masih dirasa kurang, maka pemerintah akan mengambil kebijakan untuk mengimpor alat-

alat pertanian atau metode pertanian modern dari luar negeri untuk memacu

meningkatan produksi beras.

Pada level ketiga, perubahan yang terjadi lebih kepada problem or goal changes.

Perubahan ini berpengaruh cukup signifikan dalam pembuatan keputusan, karena

masalah utama yang dihadapi kemudian berubah. Hal ini terlihat ketika dalam upaya

menanganan krisis beras itu, Indonesia dilanda masalah terorisme, maka pembuatan

kebijakan luar negeri yang ada akan berubah dan lebih terfokus pada masalah yang baru

muncul itu.

Level keempat mencakup international orientation changes, yang dapat mengakibatkan

perubahan politik luar negeri suatu negara secara ekstrim. Hal ini terjadi karena

perubahan yang ada bukan hanya pada level negara, melainkan juga pada level sistem

internasional. Contoh yang dapat dilihat adalah pada masa krisis finansial global, ketika

negara-negara Atlantik masih terfokus pada war on terror, hantaman ekonomi membawa

perubahan yang signifikan dalam relasi dan peran negara-negara tersebut.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 130


Sedikit berbeda dari pandangan sebelumnya, menurut Holsti (1982) perubahan pada

politik luar negeri dapat disebabkan oleh masalah-masalah seperti, tingkat keterlibatan

faktor eksternal, kebijakan dalam menghadapi faktor luar itu, arah dari keterlibatan faktor

luar, dan komitmen militer dan diplomasi dalam urusan luar negeri. Hal ini membedakan

pandang Holsti dengan Hermann dalam melihat perubahan politik luar negeri suatu

negara. Jika Hermann memulai dengan melihat faktor domestik suatu negara kemudian

baru keluar, maka Holsti lebih mengkaji faktor-faktor eksternal secara langsung.

Dari perpektif masalah eksternal ini, Holsti juga memberikan empat tipologi dari

perubahan politik luar negeri suatu negara.

Pertama, isolasi, ketika faktor-faktor eksternal tidak dapat sama sekali mempengaruhi

kebijakan luar negeri yang dibuat. Di satu sisi hal ini dapat mengurangi kepentingan

politik luar negeri suatu negara serta menghindari peran militer dan diplomasi.

Kedua, self-reliance, ditandai dengan lebih maju dari tipe isolasi, dengan adanya relasi

dengan faktor eksternal. Akan tetapi, peranan militer dan diplomasi masih sedikit.

Ketiga, ketergantungan, yaitu suatu entitas negara yang mulai sangat tergantung pada

faktor-faktor “luar negeri” sehingga berbagai hubungan dan urusan luar negeri menjadi

faktor yang cukup dominan dalam kehidupan politik suatu negara.

Non-alignment diversification menjadi tipe terakhir yang menunjukkan besarnya pengaruh

dari faktor luar yang secara langsung mengarahkan interaksi yang ada.

Perspektif-perspektif di atas lebih melihat dari faktor-faktor domestik dan eksternal,

namun tidak melihat sistem politik yang ada.

Menurut Boyd (1987), “the former strongly influences the way in which changes in that

system affect foreign policy”, yang menunjukkan bahwa level sistem juga memberikan

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 131


pengaruh yang lebih. Hal ini juga dikembangkan oleh Goldmann yang melihat ada tiga

dimensi yang dapat mempengaruhi perubahan politik luar negeri suatu negara.

Pertama, the degree of institutionalization, mengkaji seberapa jauh sistem politik suatu

negara menaruh perhatian terhadap masalah luar negeri.

Kedua, the degree of support, menunjukan bagaimana faktor politik domestik turut

mendukung atau melawan sistem politik yang ada terutama dalam kaitannya dengan

masalah luar negeri.

Ketiga, the degree of salience points to the significance of issues in the domestic power

struggle, atau seberapa jauh pengaruh suatu isu permasalahan terhadap politik domestik.

(Goldmann, 1988).

Ketiga hal yang mempengaruhi perubahan arah politik luar negeri itu membawa pada

beberapa dinamika politik luar negeri seperti yang dikemukakan oleh Goldmann. Masalah

kekuatan politik domestik menjadi pusat perubahan politik luar negeri suatu negara.

Contoh yang dapat mewakili ini adalah masalah di Uni Eropa. Ketika Inggris dan Perancis

masing-masing ingin berperan sebagai hegemon di kawasan itu, maka yang terjadi

adalah masing-masing baik dari level individu maupun kelompok akan berusaha

mengubah arah politik luar negerinya untuk semakin mendekatkan pada kepentingan itu.

Masalah kepercayaan dan perilaku aktor dominan juga dapat menunjukan perubahan

arah politik luar negeri. Seperti kepercayaan diri negara China setelah berhasil membawa

negaranya keluar dari krisis, akan membawa perubahan pada kebijakan luar negeri yang

diambil. Transformasi dari sistem politik suatu negara juga dapat membawa berbagai

perubahan terutama menyangkut politik luar negeri. Seperti pada sistem politik di

Indonesia, yang sempat diperintah oleh setidaknya tiga era besar, Soekarno, Soeharto

dan masa reformasi yang juga membawa perubahan pada arah kebijakan luar negeri

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 132


Indonesia.

Diawali dengan konsep kebijakan luar negeri, Letus menetapkan bahwa itu adalah

berorientasi tujuan atau masalah-program berorientasi policymarkers otoritatif diarahkan

policymarkers entitas di luar yurisdiksi politik. dengan kata lain, ini adalah program yang

dirancang untuk mengatasi beberapa masalah atau mengejar tujuan tertentu yang

memerlukan tindakan terhadap entitas asing. mungkin program menentukan kondisi dan

kenegaraan.

Dengan definisi ini, kebijakan luar negeri dapat dilihat sebagai subjek untuk lulus

setidaknya empat tingkat perubahan:

1. Penyesuaian Perubahan

perubahan terjadi di tingkat usaha dan atau dalam lingkup penerima seperti perbaikan di

kelas target. Apa yang dilakukan, bagaimana hal itu dilakukan, dan tujuan yang dilakukan

tetap tidak berubah.

2. Perubahan Program

Perubahan yang dibuat dalam metode atau cara dengan mana tujuan atau masalah yang

dibahas kontras dengan penyesuaian perubahan, yang cenderung kuantitatif, program

perubahan yang kualitatif dan melibatkan instrumen baru kenegaraan. Apa yang

dilakukan dan bagaimana hal itu dilakukan perubahan, tujuan sendiri yang harus diganti.

3. Perubahan Orientasi Internasional

Bentuk paling ekstrim dari perubahan kebijakan luar negeri melibatkan para aktor

pengalihan seluruh orientasi terhadap urusan dunia. Kurang kontras dengan bentuk-

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 133


bentuk perubahan yang menyangkut pendekatan aktor satu masalah atau spesifik

mengatur aktor-aktor lain, perubahan orientasi melibatkan perubahan mendasar dalam

peran para aktor internasional dan kegiatan. tidak satu kebijakan tetapi banyak aremore

atau kurang secara bersamaan berubah.

Pada waktu yang berbeda, US mengilustrasikan kebijakan Vietnam menjadi empat

tingkat perubahan. Setelah kekalahan Prancis di Indochina, pemisahan Vietnam Utara

dan Selatan, dan pemerintah Amerika Serikat mengejar tujuan agar independen Vietnam

Selatan dari Vietnam Utara, termasuk penasihat militer dari orang-orang amerika.

Sehingga peningkatan bantuan militer selama periode ini akan ditetapkan sebagai

penerapan perubahan. Dengan pengenalan pasukan tempur Amerika di tahun 1965,

terjadi perubahan program, diikuti dengan penerapan lebih lanjut perubahan sebagai

tingkat upaya militer amerika meningkat. Tekad untuk mengembalikan secara bertahap

untuk memerangi tentara Vietnam dan menarik pasukan Amerika menandai program

kedua perubahan. Tujuan perubahan itu terjadi ketika para pembuat kebijakan Amerika

menyimpulkan bahwa kemampuan pasukan Vietnam Selatan melawan pasukan Utara itu

dipertanyakan, dan ketika terpilih AS untuk menerima bahwa hasil daripada Amerika

memperkenalkan Combat Forces.

dalam esai ini rediction utama kebijakan luar negeri akan didefinisikan sebagai tiga

bentuk perubahan yaitu, perubahan berarti, berakhir atau keseluruhan orientasi empiris

yang dapat diandalkan diferensiasi notv selalu mudah. dalam perubahan program,

bagaimanapun, orang akan berharap untuk menemukan perubahan dalam konfigurasi

instrumen. semua perkembangan ini, ditambah pernyataan kebijakan dan langkah-

langkah kebijakan sesuai dengan tujuan atau masalah sebelum perubahan. reorientasi

internasional melibatkan perubahan dramatis baik dalam perkataan dan perbuatan di

beberapa daerah isu yang berkaitan dengan hubungan aktor dengan entitas eksternal.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 134


biasanya, reorientations melibatkan pergeseran sejalan dengan negara lain atau

perubahan peran utama dalam sebuah kesejajaran.

setidaknya empat bidang beasiswa, sampai taraf tertentu di berbagai bidang akademik

penyelidikan atau disiplin, dapat berpotensi menyebabkan eksplorasi ini. mereka

1.domestic sistem politik, 2.bureaucratic pengambilan keputusan, 3.cybernetics,

4.learning.

Dasar bagi perubahan perspektif kebijakan luar negeri tergantung pada aturan dan rezim

yang berkuasa pada saat itu. Jadi para pembuat keputusan tergantung pada

kelangsungan dukungan yang mengalir, yaitu berasal dari entitas yang mengabsahkan

berkuasanya rezim tersebut, yang bisa berasal dari kelompok kepentingan, asosiasi,

pemimpin sektor sosial kunci, militer, kelompok etnis pemilik lahan, kelompok agama

yang dominan, partai politik, dan lain – lain.

Perubahan pilihan kebijakan, atau sifat dari kebijakan itu sendiri kiranya memicu

perubahan pada sistem kebijakan luar negerinya sendiri. Boyd (1987) menyatakan

bahwa perubahan dari sifat kebijakan tersebut pasti terjadi pada negara – negara dunia

ketiga :

> sistem komunis,

> demokrasi industrialisasi (post-industrial societies, pluralistic political economies,

neocorporatis political economies)

Yang paling sering jadi sorotan adalah dinamika di Amerika, misalnya tentang tekanan –

tekanan dari opini publik, kelompok kepentingan, partai koalisi, elit politik, atau pada level

yang berbeda, koalisi maupun perpecahan sosial atau ekonomi. (Almond, 1950. Cohen,

1973; Hughes, 1978; Holsti dan Rosenau 1984) (Coba buka lagi mata kuliah interest

groupnya amerika serikat & opini publiknya di SPAS).

Goldmann (1988 : 44) setelah membahas tentang tiga negara (AS, Jerman Barat, dan

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 135


Uni Soviet) menyimpulkan bahwa setidalnya terdapat 3 dimensi yang perubahan

kebijakan :

• Bagaimana pemerintah menjalankan kebijakan (derajat institusionalisasi)

• Derajat dukungan, termasuk aktor yang mungkin mendukung kebijakan dalam negeri,

memiliki pandangan yang berbeda, atau bersifat oposisi

• Signifikansi isu dalam usaha kekuatan domestic

Politik Luar Negeri mempengaruhi politik luar negeri melalui :

• Isu menjadi bagian yang utama dalam struggle for political power. Biasanya para

petinggi politik yang bertarung memperebutkan kekuasaan mereka memakai kebijakan

luar negeri sebagai yang membedakan mereka dari rivalnya. Jika mereka berhasil

memperoleh kepentingannya, maka rezim yang baru akan berkuasa dan kebijakan luar

negeri akan berubah. Misalnya : Di Indonesia, SBY, Mega, dan JK memiliki perbedaan

dalam kebijakan luar negeri. Kalau menurut saya pribadi, mungkin saja kebijakan luar

negeri suatu negara tidak akan berubah jika, dalam pemilihan, incumbent berhasil

kembali menduduki jabatannya namun tidak merubah arah kebijakan luar negerinya,

namun meneruskan kembali kebijakan yang telah dilaksanakan sebelumnya.

• Sifat atau kepercayaan dari para pemilih dominan.

• Revolusi atau transformasi pada elemen esensial dimana kebijakan itu ada. Misalnya

ada transformasi di bidang ekonomi, kebijakan pun pasti berubah.

Dalam menganalisis perubahan dari kebijakan, harus ditinjau juga dari aspek

birokratiknya. Holsti (1982b :211) menyatakan bahya yang paling penting adalah the

decisionmaking variables of personality and perseption. Variabel decisionmaking menjadi

sumber utama perubahan, termasuk pada perubahan stuktur oragnisasi dan perubahan

sifat dari personality pemimpin. Dengan adanya perubahan struktur pasti terjadi

resistensi, misalnya pada prosesnya, administratifnya, dan lain – lain. Hal tersebut

berkaitan erat dengan perepsi dan personaliti individunya. Untuk mengatasinya

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 136


diperlukan individu – individu kunci yang berkualitas, berkompeten, dan cukup

pengetahuan untuk menghadapi situasi perubahan tersebut.

Meringkas kesimpulan luas dari berbagai macam literatur dapat mengakibatkan

penyajian atau penggambaran yang keliru. Namun bentuk penelitian seperti ini mungkin

berguna dalam menawarkan perspektif personal. Dalam sistem politik domestik

diperlukan 2 hal untuk memengaruhi perubahan kebijakan luar negeri. Pertama, harus

ada perubahan dalam sebuah sistem dan kedua, perubahan sistem tersebut juga harus

memicu sebuah perubahan lagi dalam kebijakan luar negeri suatu negara. Salah satu

yang penting adalah perubahan mendasar pada sikap keseluruhan anggota komunitas

politik yang terkait. Ada banyak cara lain dimana perubahan sistem politik memengaruhi

kebijakan luar negeri. Diantaranya perubahan sistem politik secara keseluruhan termasuk

sistem politik-ekonomi, contohnya saat sistem ekonomi pertanian berubah menjadi

perindustrian.

Dalam apa yang telah dikarakteristikkan sebagai studi decision-making birokratis, muncul

perubahan kebijakan luar negeri yang tergantung pada dikerahkannya seorang spesialis

untuk menguasai struktur organisasi dan proses pemeliharaan kebijakan. Para pakar

politik dan lainnya mengadopsi pemikiran ini dan menyimpulkan bahwa suatu kebijakan

luar negeri berubah seiring dengan pergantian pemimpin. Para pemimpin baru terkadang

mampu menciptakan perubahan organisasi.

Sumber-sumber utama dalam perubahan kebijakan luar negeri ada 4 yaitu:

- Leader driven

Merubah hasil usaha yang ditentukan oleh pembuat keputusan yang berwenang,

seringkali kepala pemerintahan, yang mengemukakan pandangan dasarnya dalam

kebijakan luar negeri. Pemimpin harus memiliki pendirian, kekuatan, dan energi untuk

dapat mendorong pemerintahannya berubah arah.

- Bureaucratic advocacy

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 137


Sebagai agen perubahan, dapat menjadi sebuah kontradiksi pada apa yang telah

digambarkan sebagai perlawanan terhadap organisasi birokratis. Bukanlah keseluruhan

pemerintahan yang meraih kebutuhan akan perubahan namun sebuah grup dalam

pemerintahan yang menjadi penyokong arah. Grup ini ditempatkan pada satu agensi atau

tersebar diantara organisasi-organisasi yang berbeda, namun tetap dalam interaksi

reguler. Agar efektif, mereka harus ditempatkan dengan baik dan memiliki akses ke

official utama.

- Domestic restructuring

Mengarah pada komunitas politik terkait yang mendukung pada sebuah rezim untuk

memerintah , dan kemungkinan komunitas ini berpotensi juga sebagai agen perubahan.

- External shocks

Merupakan sumber perubahan kebijakan luar negeri yang dihasilkan dari suatu peristiwa

internasional. Rupanya kebanyakan perubahan ini berangkat dari persepsi pemimpin

atau lingkungan eksternal. External shocks merupakan peristiwa besar dan berdampak

langsung terhadap si penerima. Mereka tidak bisa diabaikan dan dapat memicu

perubahan kebijakan luar negeri.

Sumber-sumber di atas saling memengaruhi satu sama lain. Asumsi dasar yang kita

dapat adalah pemerintah merubah kebijakannya melalui proses keputusan. Dari poin ini

kita menyadari berbagai tingkat perubahan yang perlu dijelaskan dan kita mengusulkan

berbagai agen perubahan. Di lain kata, agen harus bertindak dalam proses keputusan

pemerintah. Proses itu sendiri dapat menghalangi atau memudahkan perubahan.

Referensi:
Hermann, Charles F. Changing Course: When Governments Choose to Redirect
Foreign Policy. Blackwell Publishing. International Studies Quarterly, Vol. 34, No. 1
(Mar., 1990), pp. 3-21. The International Studies Association Stable URL:
http://www.jstor.org/stable/2600403. [accessed: 15/06/2009 09:15].

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 138


CASE STUDY :

Kebijakan Politik Luar Negeri Gordon Brown-UK dan Angel Merkel-


Germany dalam menghadapi krisis finansial global: A
comparative study
Abstrak

Global Financial Crisis yang dimulai sejak 2008 hingga memuncak Oktober 2008 membawa dampak
cukup signifikan dalam perkembangan politik luar negeri. Pengambilan kebijakan luar negeri negara-

negara di dunia saat itu sangat dipengaruhi oleh isu ekonomi yang mengemuka akibat krisis supreme

mortgage di Amerika Serikat. Salah satu dampak yang cukup signifikan terlihat dari pengambilan
kebijakan luar negeri di Jerman dan Inggris sebagai sekutu dan partner Amerika Serikat serta

sebagai dua kekuatan utama Eropa dalam bidang perekonomian. Baik pemerintahan Inggris maupun

Jerman berusaha mengeliminir akibat dari krisis finansial yang dapat membawa dampak negatif bagi

perekonomian dalam negeri. Kedua negara ini pada awalnya mempunyai kebijakan yang berbeda

mengenai bagaimana masing-masing negara akan menghadapi resesi ekonomi yang terjadi di negara

mereka. Merkel dan Brown sebagai kepala pemerintahan juga memberikan pengaruh yang cukup besar

dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Namun, pasca London Summit pada bulan April 2009,

pemerintah Inggris dan Jerman menyekapati sebuah kebijakan ekonomi global untuk menanggulangi

dampak krisis finansial global ini.

Melalui paper ini, aspek-aspek yang menyebabkan perubahan kebijakan luar negeri kedua negara akan

dibandingkan melalui perspektif neo-realis secara khusus melalui game theory. Pendekatan yang

digunakan terutama merujuk kepada pendekatan ekonomi kedua negara dalam mengambil kebijakan.

Introduction

The outset of global financial commenced as equal as the rapid expansion of international finance raise

as well as the raise of global information revolution (Allen, 1999). The expansion and globalization of

financial markets that has caused rapid expansion and globalization of financial markets shadows most

other recent developments in international economics. This hypothesis is defined by what caused it:

developments in information-processing technologies; government deregulation; and the more global

nature of all economic activity.

An understanding of these structural changes and new equilibrium provides necessary introduction

subsequently, where it will be argued that the financial globalization processes have increased the risk

of economic crises. It will also be argued that financial market globalization has been a driving force

behind the large US trade deficits and other controversial new trade patterns. As a part of this global

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 139


nature of economic activity, it is not all surprising that such global success (as one can argue) of

economy can actually become a global disaster as what we have seen with the experience of Great

Depression. The huge amount of various actors involve with very close financial link sees that the

global economy has the possibility of actually failing if one of the links break and spread like a chain

reaction.

The 2008 Global Financial Crisis proves this assumption with the failure from one economic actor and

the spread towards many area and thus becoming a global disaster. Interestingly, the way that each

actors, especially state, behave in the face of a crisis or disaster becomes a fascinating case to study.

Comparative foreign policy analysis often chooses case study in which certain situation forces actors to

behave differently as what they have previously. As a comparative research, this paper will look at the

affects of the global financial crisis between United Kingdom and Germany, how they respond to this

crisis, what policies have been put out, and most important, why, if there’s any, is there a change of

policy between two countries.

1. 1. Background

1.1Global Financial Crisis: What it Means and To What Extent[GER1]

The global financial crisis started in the United States, most believed. The condition begin where the

export surplus by China and the oil-exporting Arab countries invested in western financial institutions,

particularly in the United States. This provided the countries of the West with limitless credit, enabling

them to keep interest rates exceptionally low. This gives the opportunity for the public to borrow

above their capacity, especially since the banks in US enabled subprime mortgage. When the US

Federal Reserve increased interest rate due to sharply rising costs of living, including that of oil (caused

in part by the wars in Iraq and Afghanistan), millions of borrowers could not pay their mortgages. The

banks which had lent money to them could not recover their assets. The situation had reached a point

where the economy was operating on the basis of lending. The consumers purchased goods and

services by borrowing money from financial institutions (banks) even without much reference to their

earning capacity. When the lending was no longer available, the capacity of consumers to buy goods

and services produced in the economy was reduced sharply. The crisis affected not only the banking

sector, but the economy as a whole. Factories producing such goods (e.g. cars), and businesses buying

and selling those goods, were unable to trade. Unemployment began to rise, further reducing the

demand for goods and services, thereby accelerating economic decline. This scenario was not confined

to the United States. It spread around the world. In fact, the same process was at work in other

countries, particularly in the West (Fazal, 2009).

Western Europe proved especially vulnerable to the 2008 global financial crisis. This is due to the fact

that finance and real estate typically make up between a fifth and a third of GDP of Western European

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 140


economies (Eghbal, 2009). The sector employed an average 12.8% of the employed population in

Western Europe in 2007. Thus, financial losses and layoffs had a considerable impact on the region’s

economy. Due to the crisis in the financial sector, consumers and businesses are having difficulties

obtaining credit and so demand and investments are softening. In countries with falling housing

markets, such as the UK, Spain and Ireland, difficulties in obtaining credit reinforce the downward

trend of housing prices. The damage to the real economy was almost immediate. The region’s major

economies, Germany, UK, Italy, and Spain contracted in the third quarter of 2008, with France growing

by a mere quarterly 0.1%. Most major economies in the region entered recession in 2008-2009

(Eghbal, 2009).

1.2Crisis Effect on Germany and England

As mentioned above, the crisis hit very badly in Western Europe. Two major economy in Europe, United

Kingdom and Germany, are among the worst hit by the crisis. [GER2] Historically, these two countries
have had their share in economic crisis. Frankel (1989) has shown that domestic versus international

own-currency interest rate differentials for Germany collapsed in 1974 when most capital inflow

restrictions were removed. Also, Artis and Taylor (1989) have shown that this differential tended

toward zero in the United Kingdom after inward and outward capital controls were removed in October

1979 (Allen, 1999). So how did the global financial crisis affected United Kingdom and Germany?

1. United Kingdom

UK is expected to be among the worst hit by the crisis, mainly due to its bursting housing bubble, high

household debt, a large government budget deficit and overdependence on the troubled financial

sector. The UK’s problems have been exacerbated in Q4 (fourth quarter) 2008 by the depreciation of

the Sterling. The currency depreciation increases the price of imports, thus burdening consumers and

businesses who are already suffering because of the recession. The UK economy is expected to shrink

by -1.3% in 2009.

1. Germany

The German economy is heavily dependent on its exports, and these would clearly suffer if world

economic activity declined. Furthermore, as we have seen, the fallout from the US credit crunch can

affect the balance sheets of German banks. Germany’s economy, while in ‘technical recession’ after

shrinking -0.4% in Q2 (second quarter) 2008 and -0.5% in Q3 (third quarter) 2008, remained less

troubled by the mortgage crisis and consumer confidence is higher than in other economies. Yet

Germany’s dependence on exports puts it in a weak position and its economy is expected to contract

by -0.8% in 2009

1. 2. Problematique

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 141


2.1Initial Policy of Britain and Germany

After the economic collapsed since the global financial crisis, both states, United Kingdom and Germany

which effected worst, tend to isolate their policy in order to recover the

domestic [GER3] [GER4] economic. This initial policy could be examined by the first phase after the

financial crisis. The first phase has been intervention to contain the contagion and strengthen financial

sectors in countries (Nanto, 2009). Both of states, on the macroeconomic level made the policy action

include lowering interest rates and expanding money supply. On the micro level, the action to resolve

the crisis were guaranteeing the banks deposits, infection of capital, and restructuring debt. Passing

the “panic” phase, the second phase of the crisis is less uncommon except that the severity of the

macroeconomic downturn confronting countries around the world is the worst since the Great

Depression of the 1930s. (Nanto, 2009). The real economic sectors started the negative phase and

force the countries to resolve the pulled down capital stock market and the failure of export and

commodity prices. The governments’ role in the economy and financial part of the countries continued

to be more specific and returned to the traditional policy in order to avoid the declining of tax revenue

and rising unemployment. The third and forth phase of the crisis examine the progress of the global

economic fluctuation after the G20 London Summit which would be explain later. The third phase of the

crisis, was tend to make changes in the financial system in order to reduce risk and prevent future

crises, and the forth is dealing with political, social, and security effect of the financial turmoil.

Examining the initial policy from both government, there was similarity that both governments have

responded to this financial market and real economy crisis with fresh money and propositions for new

rules both nationally and globally. (Schirm, 2009). There were three major ways to face and resolve the

crisis at first. The first one were rescuing the trouble financial institution (such as Northern Rock in UK

and Hypo Real Estate in Germany) with high injection and being guaranteed by the government. The

second, government gave high stimulus to resolve the real economy problem with the stimulus

program reach 1,5% in UK and 3,4% in Germany of GDP. The last one, government of each state

engaged in multilateral consultation to make a new deal in order to avoid and prevent the future

global financial crisis, as we know that both states are joining the G-7 and G-20 which regularly held

summit and other meeting to finish the problem[GER5] .

At the beginning, Germany who strongly recommended for the strict financial regulation criticizes the

“Anglo-American” economic model. Knowing this fact, it is needed to make a “new order” which is

hoped to avoid the crisis in the future. Besides, Germany together with France who tend to have

industrial economic system tried to make a new formal regulation which could concern about the

financial system [GER6] as a whole. In Great Britain, at first, just did the same as Germany

administration in order to resolve the domestic problem. But, if Germany tried to make new rules to

border the market fluctuation, and since Brown avoided making UK as an isolationist state, UK

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 142


considered that the regulation and coordination of economic sector would decrease the market

efficiency. Also, UK which is usually based on the US-centris in making the policy, saw the open market

would give more benefit and would responsible more to face the crisis rather than the regulation which

made by Germany.

2.2[GER7] The Result of London Summit

As the main turning point of the changing policy of United Kingdom and Germany, it is important to

have an understanding of what is actually happening in the London Summit. The London Summit is a

G20 meeting which occurred in April of 2009 as a part of the third phase of the financial crisis. As

mentioned at the previous section, the second phase of the crisis sees that Germany and United

Kingdom are heading different ways in terms of the policy they use to improve their economy.

Germany, along with France and other western european countries, chose to regulate the market

(China View, 2009). This policy lies by the belief that crisis originated in USA happens because of the
lack of regulation by the US government. On the other hand, United Kingdom chose the path which US

led. UK proposes the policy of stimulus by cutting taxes to increase the consumption of the public,

which is to restore confidence and invigirate growth (China View, 2009). UK and US believes that the

way to revive the economy is by boosting the consuming capability of the public and market. The

problem raised in this paper is the changing policy of UK and Germany between the second phase and

the third phase marked by the result of the London Summit. Below is the summary of key points from

the G20 commitment at London Summit (BBC News, 2009) :

Financial Regulation

 A new Financial Stability Board, with a strengthened mandate, will replace the
Financial Stability Forum
 Financial regulation and oversight will be extended to all financial institutions,
instruments and markets
 This includes bringing hedge funds within the global regulatory net for the first
time
 Members are committed to implementing tough new rules on pay and bonuses at a
global level
 International accounting standards will be set
 Credit rating agencies will be regulated in order to remove their conflicts of
interest
 A common approach to cleaning up banks’ toxic assets has been agreed

Tax Havens

 There will be sanctions against tax havens that do not transfer information on
request
 The Organisation for Economic Co-operation and Development has published a

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 143


list of countries assessed by the Global Forum against the international standard for
exchange of tax information

IMF

 Resources available to the International Monetary Fund will be trebled to $750


billion
 This includes a new overdraft facility, or special drawing rights allocation, of $250
billion
 Additional resources of $6 billion from agreed IMF gold sales will be made
available for lending to the poorest countries
 The G20 also supports increased lending to the world’s poorest countries of at least
$100 billion by the multilateral development banks

Global Trade

 There will be a commitment of $250 billion of support for trade finance made over
the next two years
 This will be made available through export credit and investment agencies, as well
as through multilateral development banks
 National regulators will be asked to make use of available flexibility in capital
requirements for trade finance

Protectionism

 The G20 has pledged to resist protectionism


 There will be a commitment to naming and shaming countries that breach free
trade rules
 The G20 will notify the World Trade Organization (WTO) of any measures that
constrain worldwide capital flows
 The G20 has called on the WTO to monitor and report publicly on these
undertakings on a quarterly basis

Fiscal Stimulus

 Although there is no new fiscal stimulus, Gordon Brown said G20 countries are
already implementing “the biggest macroeconomic stimulus the world has ever
seen” – an injection of $5 trillion by the end of next year

With all these points stated in the communique of the London Summit, the main point in this concensus

is that a large part of deal agreed by the world leaders is destined to the International

Monetary Fund (IMF). However, this money is does not function for this leaders to direct use for the

recession but it is to become loans which will be used to offer more loans. The big IMF member

countries are offering to lend money to the IMF. The IMF will then have more resources available to

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 144


help countries if they are hit by the crisis. The commitment for IMF include: 1) $500 billion for the IMF

to lend to struggling economies. 2) $250 billion to boost world trade. 3) $250 billion for a new IMF

“overdraft facility” countries can draw on 4) $100 billion that international development banks can lend

to poorest countries. 5) IMF will raise $6 billion from selling gold reserves to increase lending for the

poorest countries (Walker, 2009).

With this deal, ultimately question the intentions of the members of G20 and also how this will affect

the function of IMF itself. One of the headline in the news even mentioned that would this deal be an

attempt to create a new world economic order? Be that as it may, with this deal, IMF will play a bigger

in the global economy. IMF will have bigger power such as the power to regulate foreign exchange

rates. However, what is most disturbing in this turn of events is the change of policy between UK and

Germany. The very fact that these two country opposed each other in their understanding of economy

and their policy (both of which were more concerned on the domestic recovery of crisis), is very much

surprising for many. At one point, before the summit is held, Angela Merkel along with Nicholas

Sarkozy wanted to boycott the Summit (Chrissafis, 2009). [GER8] Knowing this it is a very

problematique phenomenon when in the end, UK , Germany, and the other G-20 contries agreed to a

global concensus at the London Summit.

The Change of Policy: UK and Germany

One of the ways to analyze the foreign policy of a state is to look at the changes of such policy.

Changes can happen from the source of policy, the process of policy making or even the

implementation of policy making (Dugis, 2008). Foreign policy analysis sees that these changes can be

thoroughly seen by comparing the policy of one state as opposed to another state. United Kingdom and

Germany, as the two major power in Europe, as mentioned previously, has also been affected by the
crisis. Each government have put out policies in regard to containing the crisis and even to heal the

domestic economy. When UK and Germany show a shift in their policy making, this become the basis

of this research. Why did UK and Germany, which had very opposing policy previously, concluded to a

consensus in the London Summit and agreed to the same policy?

1. 3. Research Methodology

3.1Level of Analysis

3.1.1 Individual

3.1.1.1 Gordon Brown

James Gordon Brown born on February 20th, 1951 in Scotland. As the son of a Church of Scotland

minister, Brown has many talked about what he called a moral compass. He becomes The Prime

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 145


Minister of the United Kingdom on June 2007 and the Leader of the Labor Party. In 1983 he gained a

reputation as a serious politician with a powerful intellect and a passion for detail. In education world,

he had been known as the rector of Edinburg University and in 1976 worked as a lecturer in politics at

Glasgow College Technology. This is simply saying that he is acknowledgeable on technology matters.

He has been experienced also as the chief secretary to the Treasury. Once he ever became as the

trade and industry spokesman.

Due to Kirkaldy, Scotland where Brown once grew up, it makes Brown aware about the poverty and

unemployment and it is hugely affect Gordon political beliefs (Pettinger, 2007). Kirkady was formerly

known to have a long history of mining and heavy industry but as the young Gordon was growing up

these industries were closing down, it had created a massive unemployment. And this perhaps had

urged Gordon to join a Labor party. Graduated in University of Edinburg, he was the television

journalist and has been a Member of Parliament since 1983. Perhaps ironically, Gordon Brown took a

great interest in the early founders of the Labor party and their ideology. He wrote a book about James

Maxton, one of the early founders of the Labor Party. His book “Values, visions and Voices” was an in

depth look at the Socialist ideology of the first Labor MPs. In 1997, New Labor won a landslide victory

creating a real sense of optimism and sense of change. Tony Blair, the charismatic figurehead,

captured the imagination of the public and became the symbol of what New Labor stood for. Gordon

Brown, on the other hand, took more of a background role. However, as chancellor of the exchequer

he wielded tremendous influence over the economy of the UK.

On the problem of the global financial crisis, Mr Brown said the reality was that without working at an

international level the recovery would be much slower (Crichton, 2009). The British prime minister is

nothing if not ambitious and fervently believes great things can be achieved at the G20 summit in

London. The prime minister is a long-standing enthusiast for beefed-up international regulation – a

cause he promoted after the Asian financial crash – and global institutions. Completing the Doha world

trade round is “an obsession” according to aides. In London Summit, Mr Brown has talked about the

need for “a new Bretton Woods” and perhaps sees himself as a latter day John Maynard Keynes, the

great British economist who helped to create the new post-war economic order.

Mr Brown has thrown himself into summit preparations with almost missionary zeal, last week taking

his message on a 17,000 mile trip to the European parliament in Strasbourg, business leaders in New

York, and to Sao Paulo and Santiago in South America.

Politically weakened at home and facing a general election by June 2010, he wants the British

electorate to see him as he is sometimes perceived abroad. There are seceral international parameters

restricts Brown’s ambition to be a hero in the summit of London and Washington.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 146


Just before the London summit is held, Brown was travelling a lot between UK and US to invite US join

the summit meeting. Facing the economic crisis by himself, he seems to be little bit frustrated because

not everyone sees the urgent of G20 summit as he is seriously. During the meeting, Mr Brown will also

have to contain tensions between western leaders and those from the developing world, who feel their

views in the economic crisis have often been overlooked (ignored). President Lula of Brazil told Mr

Brown: “This is a crisis that was caused by white people with blue eyes.” (ft.com, 2009).

But the prime minister knows the political risks if the summit is deemed a failure. Images of violent

anti-capitalism demonstrations across the City while politicians frame empty communiqués behind the

barbed wire would be a presentational disaster. Mr Brown may want to save the world, but he also

wants to save his own job, as George Parker Says (http://www.ft.com/cms/s/0/2bf18b92-

1ade-11de-8aa3-0000779fd2ac.html, 2009)

3.1.1.2 Angela Merkel

On the contrary, Angela Merkel has won German’s highest position as a chancellor in 2005 and

subsequently reelected. Her political party is largely shaped by Christian Democratic Union in which

she begins her career as politician (BBC, 2009). Her political views are dominantly realistic. For

example, Mrs. Merkel was outlining her new coalition government’s policies in a speech to parliament.

She said her focus was on stimulating growth in Europe’s biggest economy, but added that “the

problems will get bigger before things can get better (BBC News, 2009). She’s delivering courage in

possibility for Germany that German jobless figures will rise despite her new government’s focus on

tackling the financial downturn.

The German Chancellor’s personal popularity is said to comfortably exceed that of her party.

Supporters wave posters that say simply “Angie.” This year Angela Merkel came top in Forbes list of the

100 most powerful women in the world for the fourth year running (Egan and Schoenberger, 2009).

But she has a reputation for being uncharismatic, boring and dowdy to the point of frumpiness.

However, discussion by Labor MP Gisela Stuart and journalist Anne McElvoy in BBC Radio for women,
stated that in fact what many ordinary people called Angela as a boring personality, she implied that

Angela has a strong character and suited with a growing statue as a chancellor (BBC Radio, 2009). She

has very different style while making herself more appealing in front of public. She’s known as a

conventional politician. Therefore, some critics directed to Angela say she’s really boring is quite

different with the way she manages herself in front of public.

She’s very obvious to put a head of her country. The fact that she came from and her birth is on East

Germany, she had been educated well in West Germany and travelled either for physical science

purpose or politic between East and West Germany. Therefore, Labour MP, Gisela Stuart stated that it

didn’t play a huge matter on Angela political thought based on wherever she was originally came from

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 147


(BBC Hall of Fame, 2009). Some other politician say that Angela is capable to make herself in the right

may and the right place. According to majority of Germans assume her as the mother of national.

As Tony Barber says in Financial Times (http://www.ft.com/cms/s/0/fff92242-a7d8-11de-

b0ee-00144feabdc0.html, 2009) the affect of her political background to her visions individually

leads her to second term of German Chancellor. Social Democrats or, as she prefers, form a

government with the liberal Free Democrats. The identity of the CDU’s coalition partner is important for

economic policy, because the Free Democrats stand for tax reform and extended use of nuclear power

in a way that distinguishes them from the SPD. On the other hand, a Merkel-led government of

whatever complexion will redouble Germany’s commitment to fiscal discipline. It will also aim to

strengthen the overleveraged banking system and to restore the nation’s traditional model of export-

led economic growth .

3.1.2 State

Second level analysis is a state level analysis which focusses on internal factors. to the state as those

that compel states to engage in certain foreign policy behaviors. Such analysis include the relationships

between the executive and legislativebranches of government; the organization of the

government bureaucracy; whether a state is democracy; domestic consitutuencies (such as interest

groups, ethnic groups or public opinion more generally); economic conditions, and also the state’s

national history and culture. At this level of analysis, the emphasis is on how factors internal of the

state influence the behavior of that state on the global stage. From a decision making perspective,

these factors are often characterized as constraints that determine the parameters of the possible for

the leaders. Of course the relationship between leaders and the domestic encironment is much more

complicated than this simple characterization suggests (Breuning, 2005)

3.1.2.1 United Kingdom

As we know before US placed as the hegemonic state, UK was one of the most influence states in the

world during the colonialism era. Since there were many territory was owned by UK, the language,

culture, and political system could influence in every territory in the world. During that era, the foreign

policy of UK was to enlarge the territory in order to improve their industry. It was because the

Industrial Revolution just came up. After the America’s independence, their role as hegemon of the

global world started to end. But, the influence of UK still remained. Since most of the people in the new

world, United States came from the Britain, and also the next hegemon would be this states.

UK’s global posture and priorities in the global society are to stay close to the US; cautious linkage with

Europe; rhetorical homage to multilateral institutions; a wariness towards Russia; ambivalence about

Afghanistan; a polite increase in economic pressure on Iran; and general encomiums about

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 148


development, democracy and human rights, and free trade. (Inboden, 2009). By this, we could

examine since the Second World War, UK always stayed by the US side. Another things from the

foreign policy making of UK is not always based on the party which dominante the House. That is why

the direction of the policy tend to be the same.

In facing the global financial crisis, again, UK’ foreign policy is in line with US. The British economy

shrank 0.4% in the third quarter, surprising forecasters and dashing hopes the country would follow

France and Germany out of recession. The disappointing figure leaves Britain in the grip of the worst

downturn since official records began in 1955. The British economy shrank 0.4% in the third quarter

which leaves Britain in the grip of the worst downturn since official records began in 1955 and piles

pressure on Prime Minister Gordon Brown’s government ahead of next year’s general election. Britain

was hit particularly hard by the global credit crunch because of its huge financial sector, where the

government was forced to carry out a multibillion pound bailout of major banks, and higher levels of

personal debt among consumers. Like the U.S., it also faces a collapsed real estate bubble. Like many

other forecasters, Capital Economics believes that Britain will struggle to reach growth in gross

domestic product, which measures the total amount of goods and services produced by a country, of

1% next year (Wardell, 2009).

3.1.2.2 Germany

In the age of globalization, foreign policy is, more than ever before, the world’s domestic policy. States,

societies and economic zones are all becoming networked. The end of the East-West conflict has

opened up new opportunities for German foreign policy–both within Europe and worldwide. Germany

has accepted the international responsibility that has evolved for the country in the wake of dramatic

changes with regard to world politics, and, together with its European and transatlantic partners, is
deeply committed to the causes of democracy, human rights and the dialog between cultures. The

prime objective of Germany’s foreign policy is to maintain peace and safety in the world (Facts about

Germany, 2009). One of the key features of Germany’s political culture has always been its focus on

maintaining a broad consensus on foreign policy issues and on maintaining continuity in specific areas.

German foreign policy takes into account the far greater international responsibility which Germany

now has at the request of the world community: In this context Germany is pushing for a

comprehensive reform of the UN’s organizational structures, including a wish for a permanent seat in

the Security Council.

By means of common policy, Germany has forged firm links to partners who are its neighbors and with

Europe it has both once again achieved unification and also gained respect and a voice in the world.

For the Germans, the peaceful balancing of interests with its neighbors and the world has thus become

the recipe for success in European integration, the importance of which was re-emphasized by the

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 149


German Presidency of the Council of the European Union in first-half 2007. Federal Chancellor Merkel

and Foreign Minister Steinmeier skillfully used Germany’s respect and trust in Europe to solve the

institutional crisis. The strength of German foreign policy has laid in ensuring Franco-German relations

were firmly aligned to EU policy, on the one hand, and the close ties specifically to the smaller member

states, on the other. Repeatedly, numerous hurdles to decisions have been overcome and key stages in

the history of the EU have been successfully tackled as a result of Germany’s efforts and its willingness

to compromise.

3.2Scope of Research

This research will analyze the events between the time frame of the second phase of the crisis on 23

October 2008 until the third phase on 2 April 2009.

1. 4. Theoritical Framework

4.1Economy as the main power of state

Post World War II trade system originated from the conflict between US and UK in the Bretton Woods

conference in 1944. US wanted a free market and opening the foreign market as soon as possible. UK

also committed to free market, however UK gave more attention to the dollar shortage. In 1948, US

established General Agreement on Tarriffs and Trade (GATT) to introduce freer and fairer trade. The

most important change, of course, has been the end of Cold War. The Cold War and its alliances

structure provided the framework within which the world economy functioned. With the end of Cold

War, US leadership and the close economic cooperation among the capitalist powers grew larger.

Simultaneously, the market oriented world grew even more as formerly communist and Third World

countries became more willing to participate in the market system, shown by the increasing number of

less developed countries becoming member of the World Trade Organization (Gilpin, 2001).

This description gives a perspective of how deeply involved states are in the market.[GER9] This

means that economy plays an important role in the livelyhood of state. Hegemonic capability theory

sees that a hegemon’s capability rests upon the likes of a large, growing economy, dominance in a

leading technological or economic sector, and political power backed up by projective military power.

Economy becomes one of the main power of state in should be thoroughly considered as one of the

main variable that affect the foreign policy of states especially regarding the eagerness of states to the

dominant state in their region. UK and Germany, being the two major economy in Europe, certainly

understands the importance of economy as their bargaining power in the international system. With

this theoritical framework, an analysis of the relation between the economy of Germany and UK and

the policy making will see to the arrangements of politics and economy especially as the main driving

force for a foreign policy to be made, considered or implemented.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 150


4.2Crisis situation factor in the foreign policy decision maker (Valerie Hudson)

In the individual level of decision maker, Hudson (2007) explained eight hypotheses to examine the

leader characteristic. One of the hypotheses is about the crisis situation. During this

condition, psychology of an individual decision maker could be examined by how he or she reacts to

resolve the situation. Since, the leader matters the most in decision making process, how a leader

handled a crisis situation is always becoming important factor. If the crisis is so extreme that that the

country’s survival is stake, a leader may try to keep his or her psychological predispositions in check in

order to avoid making unnecessary mistakes. (Hudson, 2007)

This paper would like to examine how both of Merkel and Brown’s decision making to face the global

financial crisis during their administrations. Based on the facts and administration program from each

personal, the similarities and the differences of each could be understood. Since the global financial

crisis happened to be one of the crisis situation during their administration, the paper would analyze
how Merkel and how Brown resolve and recover their states’ economic situation.

4.3State’s rationality in determining its foreign policy

The assumption of state rationality has a long history in the study of international relation. One of the

main arguments of realism and neo-realism theories (as the mainstream theory in international

relations) is the belief that state act rationality in their interaction in the anarchial world system. Game

theory, as one of the product of neo-realism, tries to give logic to this thought by defining this

rationality into a more concrete manner and by showing the predictability of this rationality.

Game theory is a decision-making approach based on the assumption of actor rationality in a situation

of competition. Each actor (in this case Germany and United Kingdom) tries to maximize gains or

minimize losses under conditions of uncertainty and incomplete information, which requires each actor

to rank order preferences, estimate probabilities, and try to discern what the other actor is going to

do In a two-person zero-sum game, what one actor wins the other lose. In a two-person non-zero or

variable sum game, gains and losses are not necessarily equal; it is possible that both sides may gain.

This is sometimes referred to as a positive-sum game. In some games, both parties can lose, and by

different amounts or to a different degree (Viotti, P. dan M. Kauppi, 1987).

Game theory has contributed to the development of models of deterrence and arms race spirals, but it

is also the basis for work concerning the question of how collaboration among competitive states in an

anarchic world can be achieved. With this model of rationality, it will become the basis of answering the

problem of the change of policy by UK and Germany. The central problem is that the rational decision

for UK and Germany may to taking a chance on collaboration with another state actor as opposed be to

defect and go it alone (Viotti, P. dan M. Kauppi, 1987).

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 151


1. 5. Problem Analysis

Before we begin to analyze the problem, we need to give clear difference of the initial policy between

Germany and UK. This is important because we need to see a clear shift of policy for the purpose of a

thorough foreign policy analysis. Previous section have started the differences of the initial policy

between Germany and UK. However, in this part, we will try to conceptualize the differences of these

policies.

Firstly, at the second phase of the crisis, UK decided to follow US’s path through stimulus by cutting

taxes to increase comsumption. This sort of policy is what we call as a short-term policy. How so?

Because it has a short term goal which is to boost the market initial. On the other hand, Germany

followed the path of France to regulate the market and impose tighter rules. This kind of policy is seen

as a long-term policy. It is because this policy works at a mone higher goal; to create a safer market.

These different approaches by UK and Germany sees that they have different goals in mind. However,

it needs to be underlined that these goals (from UK and Germany) are strictly domestic and region

based approaches.

After we have clarified the initial difference, the section below gives analysis of problem based on the

three theories describe of the theoritical describe at the theoritical framework.

5.1 Economic Factor: Liberalism System and Dominancy

Basically economy is one of the the most powerful yet crucial instrument for a state for a mean of

success in this global world. As in Europe, British and Germany can be taken into account in

representing the growth and advance of most developed country.

British has developed into the center of education, lifestyle, and fashion as well as Germany is broadly

known as the center of technology and innovation. This progression never went far from the the

economic history experienced by one another. British and German Economy have had a very long

history from old imperialism and colonialism, 1933 great depression until a current 2008 financial global

crisis. Thus has enabled British and Germany attain a firm economic growth. They confidently embrace

a neoliberalism as their fundamental economic platform.

The fact that has brought about a 2008 financial crisis was one of the clash economic system between

what British-US and Germany-France has brought up about. Previously their objective was economic

within their border of European region. However, the fact that what global financial has caused and

swept almost the significant world economic in the entire world had made them more aware that an

opportunity to secure their economic system is to handle the impact of global financial crisis further

than their region, so it won’t continously hit their economy and their economic system.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 152


In doing so, their contribution is taken place within the London Summit meeting and Washington

summit particularly disscussing regarding IMF matter. As one of the hegemon in Europe, they see no

need to overlook within their region. This literally means that their economic region will only be secured

whenever outter world is being taken into account. IMF as one on the international finance organization

becomes a perfect tool to ensure the continuance of the free market system we are seeing right now.

They must secure their economical foundation by letting it ‘spread’ to other states. The key point is to

allow another country see the benefit of neoliberalism as they do. Their primarily national interest have

shifted which is for their economic system to not be seriously challenged by the presence of other

economic paradigm such what has already emerged such as the presence of Chinese economic

isolationism which is increasing stronger and firmer. The lure of this other paradigm to developing

countries might caused a further crash on the current trade and finance neoliberalist system. To

prevent the decrease of their dominancy in the international trade and finance, it is important for

Germany and UK to ensure to existence of the very system that become the basis of their economy.

5.2Decision Making Brown and Merkel: Influence of Perception of Strength and Weakness

In crisis situation theory (Hudson, 2007) how a leader’s psychological aspect should be able to avoid

making unnecessary mistake. This part of paper would analyze how both, Brown and Merkel individual

traits and the policy which they made in order to bring their state to resolve the crisis. Both of them

have different background and point of view during their administration. With their differences, we

could also examine some similarities between them.

Brown, who came from the Labor Party, also continued from the preview prime minister, Tony Blair.

From this background of politics, we could conclude that Brown tends to continue the US-centrism in

decision making policy. This tendency also supported by the democratic ideology which brought by

Brown’s party. It is because during the administration, most leader of the democratic party would focus

better in international affairs. Then the domestic issue usually would not get very special attention. This

could be seen from the role of two last leaders of UK, Tony Blair and Gordon Brown. Both of them tend
to have the same characteristic with the US president from Democrat Party, such as Bill Clinton and

Barrack Obama, which is both of them also, have good track in international relation and a conducive

foreign policy. It is different from the era of Bush (senior and junior one) who tend to have a well-built

in domestic policy than foreign one.

Also during the fight of global financial crisis, the decision making by Brown more less was influenced

by the decision making in US. At the same time, the foreign policy which made by US’ administration

was to give stimulus to the financial aspect and cut down the tax in order to increase the people’s

economic capability to move the economic wheel as the framework. Economically, this action was

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 153


based on a short term interest only. It could be because Brown’s economic focus is boosting the growth

of the economy.

On the contrary, Angela Merkel who came from realist perspective gave more long term solution.

Together with France, Merkel’s economic work is focusing on the macro economic development.

Besides, during her second campaign to get her second chance to be Germany Prime Minister, her

solution and focus economic was tackling the financial downturn. Especially, in this new coalition era

during her second administration, she was on the track to stimulate the growth in Europe’s biggest

economy.

Both of them might have a different background and different policy especially foreign policy, but at the

end of phase two or after the London Summit both of the highest decision maker of UK and Germany

started to join the agreement to make the regulation and new deal in global economic by IMF as a

regulator and stabilizator .

5.3Rational Choice: Between Domestic Recovery and International Hegemony

Previously in London Summit and Washington Summit meeting; British and Germany both have

different perspectives in managing global financial crisis. As before London summit meeting, British has

come up with its short term in solving its financial crisis. Meanwhile Germany has presented its

importance acquaintance and its role in Europe by bringing up the long term economic plan. Though

their objectives are slightly clear, their thought basically rested on domestic competition because in

which each of state tends to solve their own economic problem independently to secure their economic

system.

British and US both arrange their short term economic plan by giving an economic stimulus and cutting

taxes. While Germany chooses to arrange its long term economic plan onto set of regulations to

prevent this crisis occurred in the future.

Separately from London summit, The Washington Summit meeting has come up with a new

arrangement where British and Germany have agreed to provide an economic stimulus package

embedded with expectations that global financial crisis will be managed well and fully by monetary

interantional organization namely IMF. Some expertise called either in optimistic and pessimistic way

towards this shifting agreement. However, the shifting is no of concideration if it is occupied with

rational economic excuses.

Certainly, this decision is taken without no excuses. Several countries that has develop into British and

Germany big concern. Those countries are Argentina, Mexico, and Iceland which currently fall into

crisis. As IMF will supposedly operate as an economic referee, a further economic plan within IMF

proposal is to provide an economic aid for them, so those three countries won’t exercise foreign policy

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 154


of isolationism as China does. German and British put the same concern regarding this matter, if those

countries were not given an accessible economic funding and turned to isolationism, it would threat

their neoliberalism.

Additionally, within a frame of British and Germany national interest which particularly then is

conducted into their basic initial asumption to foreign policy making; both concidered the third world as

the primary consumer of Germany export oriented. Therefore, Germany has encouraged other

European industrial countries to make a similar agreement allowing third world out off global financial

crisis larger impact as soon as possible. This germany effort has been interpreted into economic

stimulus for IMF (International Monetary Fund) to make realized.

1. Conclusion

In the study of international relations, foreign policy is approached in many different ways. For states,
as the main actor in international relations, it is crucial for them to define and construct what the

states’ foreign policy will be. This is inherent with the fact that foreign policy is the manifest of states’

national interest at the world politics. World politics itself, is ever changing due to the dynamics of the

interaction in the international system. Therefore, to analyze the foreign policy of one state, it is

important to look at the changes of the variable itself. These changes may occur in the form of the

issues, the regime, the policy makers, the support, etc. In comparative foreign policy, one of the ways

to analyze the foreign policy is by looking at these changes by comparing or contrasting them.

Therefore, for this comparative foreign policy paper, it has been compared between the policies of

Germany and Britain during the global financial crisis.

After we have spread out the problem and analyze the problem, we have come to a conclusion. On the

problem of the changing policy of Germany and United Kingdom during the global financial crisis is

basically due to the fact that both countries wanted to take the problem solving from region level into

problem solving at the international level. The different opinions between Germany and United

Kingdom were accomodated through the global deal at the London Summit. Germany, who wanted

tighter regulations, achieved this goal by giving IMF a bigger role in international finance to regulate

the comings and goings of money flow between states. United Kingdom, who wanted to boost the

growth and consumption, achieved its goal by giving IMF more money to lend to developing countries,

which in turn will boost confidence thus boosting the consumption.

Importantly noted here is the role of both Germany and United Kingdom leaders and especially, the

foundations of the free trade system. Firstly, with both leaders, Merkel and Brown, having direct focus

and the issues of economy, Germany and United Kingdom have been very present on the making and

implementation of policy at the international level. Secondly, the foundations of free trade system is

important for Germany and United Kingdom to keep strong. The economic dominance of Germany and

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 155


United Kingdom relies heavily on the sustainance of the system. The weighing of rational choices in the

face of economic prosperity become the main factor in the change of policy between United Kingdom

and Germany.

In conclusion, the change of policy in United Kingdom and Germany is highly driven by economic

needs, leadership, and rationalization of choices and problems. This becomes the basis of change of

foreign policy from a regional based policy into an international level policy making.

SUMBER REFERENSI

Choplin, William D. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis.


Bandung: Sinar Baru

Coulumbis & Wolfe. 1992. Pengantar Hubungan Internasional, Bandung: Abardin

Holsti, K.J. 1990. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Jakarta: Erlangga

Lawrence S Falkowski (Ed.). 1979. Psychlogical Models in International Politics. Colorado:


Westview Press

Lentner, Howard. 1996. Foreign Policy Analysis, New York: Barruch College

Lovell, John. Foreign Policy Analysis

Mohtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
LP3ES

--------------------, 1989, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi.


Jogjakarta, PAU-UGM

Quansheng, Zao. 1996, Interpreting Chinesse Foreign Policy: The Micro-Macro Linkage
Approach. New York: Oxford University Press

Rousenau. The Scientific Study of Foreign Policy

Russet, Bruce & Harvey Starr. 1996. World Politics: The Menu for Choice. New York

White, Brian & Clark (Eds). 1992. Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy
System Approach. New England, Edward Elgar Publ.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 156


Daftar Pustaka

Anderson, Benedict and Audrey Kahin (eds), Interpreting Indonesian Politics: Thirteen
Contribution to the Debate. New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1982.

Anwar, Dewi Fortuna, Indonesia in Asean: Foreign Policy and Regionalism. Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies, 1994.

Agung, Ide Anak Agung Gde, Twenty Years Indonesian Foreign Policy 1945-1965. Paris:
Mouton, 1973.

Brackman, Arnold C., Indonesia: Suharto’s Road. New York: American-Asian Educational
Exchange, 1972.

Bandoro, Bantarto (ed), Hubungan Luar Negeri Indonesia Selama Orde Baru. Jakarta:
CSIS, 1994.

Crouch, Harold, The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press,
1978

Hill, Hall, Indonesia’s New Order: the Dynamics of Socio-Economic Transformation


Honolulu: University of Hawaii Press, 1994.

Leifer, Michael, Indonesia’s Foreign Policy. London: George Allen & Unwin, 1983.

Nicolson, Harold, Diplomacy. Oxford, Oxford University Press, 1969

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 157


Suryadinata, Leo, Indonesia’s Foreign Policy Under Suharto: Aspiring to International
Leadership Singapore: Times Academic Press, 1996.

Vatikiotis, Michael R.J., Indonesian Politics Under Suharto: Order, Development, and
Pressure for Change London: Routledge, 1993.

Vatikiotis, Michael R.J., Political Change in Southeast Asia: Trimming the Banyan Tree.
London: Routledge, 1996.

Van Der Kroef, J.M., Indonesia After Sukarno. Van Couver: Univ. of British Columbia
Press, 1971.

Weinstein, Franklin B., Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From
Sukarno to Soeharto . Ithaca: Cornell University Press, 1976.

Sukma, Rizal, Indonesia’s Restoration of Diplomatic Relations with China: A Study of Foreign Polici Making
and the Function of Diplomatic Ties. London, Department of International Relations. The London School of
Economics and Political Science, University of London, United Kingdom, 1997.

[1]
Marshall R Singer,” The Foreign Policies of Small Developing States” dalam World Politics : An
Introduction oleh James N Rosenau, Kenneth W Thompson dan Gavin Boyd. New York, The Free Press,
1980, hal. 275.
Lyod Jensen, Explaining Foreign Policy. New jersey, prentice Hall. Inc., 1982, hal. 5-11.
Ali E Hillal Dessouki and Baghat Korany, A Literature Survey and a Framework for Analysis dalam The
Foreign Policies of Arab States, Bouleder, Westview Press, 1991, hal. 8.
Marshall R Singer,” The Foreign Policies of Small Developing States” dalam World Politics : An Introduction
oleh James N Rosenau, Kenneth W Thompson dan Gavin Boyd. New York, The Free Press, 1980, hal. 275.
Leo Suryadinata, Indonesia’s Foreign Policy Under Suharto. Singapura: Times Academic Press,1996, hal. 1.

[1]
Lyod Jensen, Explaining Foreign Policy. New jersey, prentice Hall. Inc., 1982, hal. 5-11.
[2]
Ali E Hillal Dessouki and Baghat Korany, A Literature Survey and a Framework for
Analysis dalam The Foreign Policies of Arab States, Bouleder, Westview Press, 1991,
hal. 8.
[3]
Franklin B Weinstein, Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence:
From Sukarno to Soeharto (Ithaca: Cornel University Press, 1976).
[4]
Marshall R Singer,” The Foreign Policies of Small Developing States” dalam World
Politics : An Introduction oleh James N Rosenau, Kenneth W Thompson dan Gavin Boyd.
New York, The Free Press, 1980, hal. 275.
[5]
Leo Suryadinata, Indonesia’s Foreign Policy Under Suharto. Singapura: Times
Academic Press,1996, hal. 1.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 158


[6]
Disertasi Rizal Sukma, Indonesia’s Restoration of Diplomatic Relations with China: A
Study of Foreign Polici Making and the Function of Diplomatic Ties. Department of
International Relations. The London School of Economics and Political Science,
University of London, United Kingdom, 1997.

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

NAMA MATA KULIAH : Analisis Politik Luar Negeri


KODE MATA KULIAH : HI 354
BOBOT : 2 Sks
WAKTU SATU KALI
PERTEMUAN : 100 Menit
TUJUAN INSTRUKSIONAL
UMUM (TIU) : Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mahasiswa memahami konsep, teori, model dan kerangka
analisa dalam studi Politik Luar Negeri.
2. Mahasiswa memahami perilaku dan kebijakan negara dalam
hubungannya dengan negara lain.
3. Mahasiswa memahami model-model pendekatan, konsep,
teori-teori dalam studi Hubungan Internasional.
4. Mahasiswa memahami model-model analisa dalam studi
politik luar negeri
5. Mahasiswa memahami dan mampu menerapkan berbagai
teori, pendekatan, konsep dan model analisa dalam studi
politik luar negeri.
6. Mahasiswa mampu menganalisa dan menevaluasi kebijakan
dan perilaku luar negeri suatu negara.

PERTEMUAN KEGIATAN MENGAJAR METODE DAFTAR


POKOK BAHASAN SUB-POKOK PUSTAKA
BAHASAN

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 159


1 Introduction 1. Pembahasan SAP Ceramah
2. Tujuan dan alasan
kajian analisis PLN
3. Pengertian/Definisi
Analisis,
4. Politik Luar Negeri
5. Tipe Analisis
2 Tingkat Analisa 1. Unit analisa dan Unit Ceramah
eksplanasi
2. Analisa reduksionis,
korelasional, induksionis
3. 3. Penetapan tingkat
analisa
3 Politik Luar Negeri 1. Jenis Keputusan PLN Ceramah
2. 2. Determinan Politik Luar
Negeri.
3. 3.Organisasi/lembaga
pembuat politik luar
negeri
4 Tingkat Analisa 1. Variable Ideosinkerik Ceramah/diskusi
Individu 2. Model Psikologi
5 Tingkat Analisa 1. Makna Pendekatan Ceramah
Kelompok Kelompok
2. Teori Peran
3. Teori Elit Politik

6 Tingkat Analisa 4. Teori Ikatan Alumni Ceramah/


Kelompok 5. Dinamika Organisasi & diskusi
Decision Making
process
6. Model Proses
Organisasi
7. Model Politik Birokrasi
7 Tingkat Analisa 1. Model State Centrism Ceramah/
Negara-Bangsa dan Pendekatan diskusi
Realism
2. Makna Negara-Bangsa

8 Ujian Tengah Tertulis


Semester
9 Tingkat Analisa 3. Model Rasional Ceramah
Negara-Bangsa strategis
4. Induksi dan deduksi
dalam model rasional
strategis
5. Studi Perilaku Rasional
dalam Konflik

10 Tingkat Analisa 6. Model Game Teori, Ceramah/


Negara-Bangsa Prisoner Dillema, Teori diskusi
deterent
11 Tingkat system 1. Sistem Ceramah

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 160


Internasional Internasional
2. Skema system int.
12 Proses Pembuatan 1. Pendekatan Sistem Ceramah
Keputusan sbg Sistem 2. Proses ideal
pembuatan system

13 Proses Pembuatan 3.Model Snyder Ceramah/


Keputusan sbg Sistem 4.Model Alison diskusi
14 Micro-Macro Linkage 1.Faktor Domestik Ceramah
Approach 2.Faktor
Internasional
15 Mahasiswa dapat Review Materi + diskusi Presentasi
mengetahui dan Kelompok /
memahami Analisis diskusi
Politik Luar Negeri
dalam tingkatan
Negara dan Bangsa
secara mendetil
16 Ujian Akhir Semester Tertulis

EVALUASI :
DAFTAR RUJUKAN :
1. Choplin, William D. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah
Teoritis. Bandung: Sinar Baru
2. Coulumbis & Wolfe. 1992. Pengantar Hubungan Internasional, Bandung:
Abardin
3. Holsti, K.J. 1990. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Jakarta:
Erlangga
4. Lawrence S Falkowski (Ed.). 1979. Psychlogical Models in International
Politics. Colorado: Westview Press
5. Lentner, Howard. 1996. Foreign Policy Analysis, New York: Barruch College
6. Lovell, John. Foreign Policy Analysis
7. Mohtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi.
Jakarta: LP3ES
8. --------------------, 1989, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan
Teorisasi. Jogjakarta, PAU-UGM
9. Quansheng, Zao. 1996, Interpreting Chinesse Foreign Policy: The Micro-Macro
Linkage Approach. New York: Oxford University Press
10. Rousenau. The Scientific Study of Foreign Policy
11. Russet, Bruce & Harvey Starr. 1996. World Politics: The Menu for Choice. New
York
12. White, Brian & Clark (Eds). 1992. Understanding Foreign Policy: The Foreign
Policy System Approach. New England, Edward Elgar Publ.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 161


SATUAN ACARA PERKULIAHAN

NAMA MATA KULIAH : Analysis Politik Luar Negeri


KODE MATA KULIAH : HI-354
BOBOT : 2 Sks
WAKTU PERTEMUAN : 100 Menit
PERTEMUAN KE :I
TUJUAN INSTRUKSIONAL
UMUM (TIU) : Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mahasiswa memahami konsep, teori, model dan kerangka
analisa dalam studi Politik Luar Negeri.
2. Mahasiswa memahami perilaku dan kebijakan negara dalam
hubungannya dengan negara lain.
3. Mahasiswa memahami model-model pendekatan, konsep,
teori-teori dalam studi Hubungan Internasional.
4. Mahasiswa memahami model-model analisa dalam studi
politik luar negeri
5. Mahasiswa memahami dan mampu menerapkan berbagai
teori, pendekatan, konsep dan model analisa dalam studi
politik luar negeri.
6. Mahasiswa mampu menganalisa dan menevaluasi kebijakan
dan perilaku luar negeri suatu negara.

TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS (TIK) : Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tujuan
dan alasan kajian Analisis Politik luar Negeri

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 162


POKOK BAHASAN : Introduction
SUB-POKOK BAHASAN : 1. Pembahasan SAP
2.Tujuan dan alasan kajian analisis PLN
3. Pengertian/Definisi Analisis,
4. Politik Luar Negeri
5. Tipe Analisis
KEGIATAN BELAJAR –
MENGAJAR :

KEGIATAN KEGIATAN MENGAJAR KEGIATAN MAHASISWA MEDIA


Pendahuluan Absensi dan Pengenalan Menyimak & mencatat -
Mata Kuliah
Penyajian Menjelaskan dengan cara Menyimak, mencatat dan Papan Tulis
ceramah tentang : bertanya OHP
Pendahuluan/ Kontrak
Belajar
Penutup Bertanya kepada Mahasiswa Menjawab -
tentang garis besar uraian
maupun detail materi

Menjawab pertanyaan bertanya -


mahasiswa atas materi yang
kurang dipahami

EVALUASI : Menilai keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) melalui


pertanyaan-pertanyaan atau quiz materi perkuliahan di akhir
pertemuan.

DAFTAR RUJUKAN :
1. Choplin, William D. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis.
Bandung: Sinar Baru
2. Coulumbis & Wolfe. 1992. Pengantar Hubungan Internasional, Bandung: Abardin
3. Holsti, K.J. 1990. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Jakarta: Erlangga
4. Lawrence S Falkowski (Ed.). 1979. Psychlogical Models in International Politics.
Colorado: Westview Press
5. Lentner, Howard. 1996. Foreign Policy Analysis, New York: Barruch College
6. Lovell, John. Foreign Policy Analysis
7. Mohtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi.
Jakarta: LP3ES
8. --------------------, 1989, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi.
Jogjakarta, PAU-UGM
9. Quansheng, Zao. 1996, Interpreting Chinesse Foreign Policy: The Micro-Macro
Linkage Approach. New York: Oxford University Press
10. Rousenau. The Scientific Study of Foreign Policy
11. Russet, Bruce & Harvey Starr. 1996. World Politics: The Menu for Choice. New York
12. White, Brian & Clark (Eds). 1992. Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy
System Approach. New England, Edward Elgar Publ.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 163


SATUAN ACARA PERKULIAHAN

NAMA MATA KULIAH : Analysis Politik Luar Negeri


KODE MATA KULIAH : HI-354
BOBOT : 2 Sks
WAKTU PERTEMUAN : 100 Menit
PERTEMUAN KE : II
TUJUAN INSTRUKSIONAL
UMUM (TIU) : Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mahasiswa memahami konsep, teori, model dan kerangka
analisa dalam studi Politik Luar Negeri.
2. Mahasiswa memahami perilaku dan kebijakan negara dalam
hubungannya dengan negara lain.
3. Mahasiswa memahami model-model pendekatan, konsep,
teori-teori dalam studi Hubungan Internasional.
4. Mahasiswa memahami model-model analisa dalam studi
politik luar negeri
5. Mahasiswa memahami dan mampu menerapkan berbagai
teori, pendekatan, konsep dan model analisa dalam studi
politik luar negeri.
6. Mahasiswa mampu menganalisa dan menevaluasi kebijakan
dan perilaku luar negeri suatu negara.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 164


TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS (TIK) : Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami
Tingkat Analisa kajian Analisis Politik luar Negeri
POKOK BAHASAN : Tingkat Analisa
SUB-POKOK BAHASAN : 1.Unit analisa dan Unit eksplanasi
2.Analisa reduksionis, korelasional, induksionis
3.Penetapan tingkat analisa
KEGIATAN BELAJAR –
MENGAJAR :

KEGIATAN KEGIATAN MENGAJAR KEGIATAN MAHASISWA MEDIA


Pendahuluan Absensi dan review materi Menyimak dan mencatat -
pertemuan sebelumnya
Penyajian Menjelaskan dengan Menyimak, mencatat dan Papan tulis OHP
ceramah materi : bertanya
1.Unit analisa
dan Unit
eksplanasi
2.Analisa
reduksionis,
korelasional,
induksioni
3.Penetapan tingkat analisa
Penutup Bertanya kepada mahasiswa Menjawab -
tentang garis besar uraian
maupun detail materi

Menjawab pertanyaan bertanya


mahasiswa atas materi yang
kurang dipahami

EVALUASI : Menilai keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) melalui pertanyaan-


pertanyaan atau quiz materi perkuliahan di akhir pertemuan.
DAFTAR RUJUKAN :
1. Choplin, William D. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis.
Bandung: Sinar Baru
2. Coulumbis & Wolfe. 1992. Pengantar Hubungan Internasional, Bandung: Abardin
3. Holsti, K.J. 1990. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Jakarta: Erlangga
4. Lawrence S Falkowski (Ed.). 1979. Psychlogical Models in International Politics.
Colorado: Westview Press
5. Lentner, Howard. 1996. Foreign Policy Analysis, New York: Barruch College
6. Lovell, John. Foreign Policy Analysis
7. Mohtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
LP3ES
8. --------------------, 1989, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi.
Jogjakarta, PAU-UGM

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 165


9. Quansheng, Zao. 1996, Interpreting Chinesse Foreign Policy: The Micro-Macro Linkage
Approach. New York: Oxford University Press
10. Rousenau. The Scientific Study of Foreign Policy
11. Russet, Bruce & Harvey Starr. 1996. World Politics: The Menu for Choice. New York
12. White, Brian & Clark (Eds). 1992. Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy
System Approach. New England, Edward Elgar Publ.

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

NAMA MATA KULIAH : Anallysis Politik Luar Negeri


KODE MATA KULIAH : HI-354
BOBOT : 2 Sks
WAKTU PERTEMUAN : 100 Menit
PERTEMUAN KE : III
TUJUAN INSTRUKSIONAL
UMUM (TIU) : Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mahasiswa memahami konsep, teori, model dan kerangka
analisa dalam studi Politik Luar Negeri.
2. Mahasiswa memahami perilaku dan kebijakan negara dalam
hubungannya dengan negara lain.
3. Mahasiswa memahami model-model pendekatan, konsep,
teori-teori dalam studi Hubungan Internasional.
4. Mahasiswa memahami model-model analisa dalam studi
politik luar negeri
5. Mahasiswa memahami dan mampu menerapkan berbagai
teori, pendekatan, konsep dan model analisa dalam studi
politik luar negeri.
6. Mahasiswa mampu menganalisa dan menevaluasi kebijakan
dan perilaku luar negeri suatu negara.

TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS (TIK) : Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Tingkat Analisa kajian
Analisis Politik luar Negeri
POKOK BAHASAN : Politik Luar Negeri
SUB-POKOK BAHASAN : 1. Jenis Keputusan PLN
2. Determinan Politik Luar Negeri.
3. Organisasi/lembaga pembuat politik luar negeri
KEGIATAN BELAJAR –
MENGAJAR :

KEGIATAN KEGIATAN MENGAJAR KEGIATAN MAHASISWA MEDIA


Pendahuluan Absensi dan review materi Menyimak dan mencatat -
pertemuan sebelumnya

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 166


Penyajian Menjelaskan dengan cara Menyimak, mencatat dan Papan tulis
ceramah tentang bertanya OHP
sifat/katagori, kerangka
analisa, interaksi dan pola
politik luar negeri
Penutup Bertanya kepada mahasiswa Menjawab
tentang garis besar uraian
maupun detail materi

Menjawab pertanyaan Bertanya


mahasiswa atas materi yang
kurang dipahami

EVALUASI : Menilai keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) melalui pertanyaan-


pertanyaan atau quiz materi perkuliahan di akhir pertemuan.
DAFTAR RUJUKAN :
1. Choplin, William D. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis.
Bandung: Sinar Baru
2. Coulumbis & Wolfe. 1992. Pengantar Hubungan Internasional, Bandung: Abardin
3. Holsti, K.J. 1990. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Jakarta: Erlangga
4. Lawrence S Falkowski (Ed.). 1979. Psychlogical Models in International Politics.
Colorado: Westview Press
5. Lentner, Howard. 1996. Foreign Policy Analysis, New York: Barruch College
6. Lovell, John. Foreign Policy Analysis
7. Mohtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
LP3ES
8. --------------------, 1989, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi.
Jogjakarta, PAU-UGM
9. Quansheng, Zao. 1996, Interpreting Chinesse Foreign Policy: The Micro-Macro Linkage
Approach. New York: Oxford University Press
10. Rousenau. The Scientific Study of Foreign Policy
11. Russet, Bruce & Harvey Starr. 1996. World Politics: The Menu for Choice. New York
12. White, Brian & Clark (Eds). 1992. Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy
System Approach. New England, Edward Elgar Publ.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 167


SATUAN ACARA PERKULIAHAN

NAMA MATA KULIAH : Analysis Politik Luar Negeri


KODE MATA KULIAH : HI-354
BOBOT : 2 Sks
WAKTU PERTEMUAN : 100 Menit
PERTEMUAN KE : IV
TUJUAN INSTRUKSIONAL
UMUM (TIU) : Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mahasiswa memahami konsep, teori, model dan kerangka
analisa dalam studi Politik Luar Negeri.
2. Mahasiswa memahami perilaku dan kebijakan negara dalam
hubungannya dengan negara lain.
3. Mahasiswa memahami model-model pendekatan, konsep,
teori-teori dalam studi Hubungan Internasional.
4. Mahasiswa memahami model-model analisa dalam studi
politik luar negeri
5. Mahasiswa memahami dan mampu menerapkan berbagai
teori, pendekatan, konsep dan model analisa dalam studi
politik luar negeri.
6. Mahasiswa mampu menganalisa dan menevaluasi kebijakan
dan perilaku luar negeri suatu negara.

TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS (TIK) : Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Tingkat Analisa kajian
Analisis Politik luar Negeri
POKOK BAHASAN : Tingkat Analisa Individu
SUB-POKOK BAHASAN : 1. Variable Ideosinkerik
2. Model Psikologi
KEGIATAN BELAJAR –
MENGAJAR :

KEGIATAN KEGIATAN MENGAJAR KEGIATAN MAHASISWA MEDIA


Pendahuluan Absensi dan review materi Menyimak dan mencatat
pertemuan sebelumnya
Penyajian Menjelaskan dengan cara Menyimak, mencatat dan Papan tulis
ceramah tentang : Variable bertanya OHP
Ideosinkretik dan Model

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 168


Psikologi
Penutup Bertanya kepada mahasiswa Menjawab
tentang garis besar uraian
maupun detail materi

Menjawab pertanyaan Bertanya


mahasiswa atas materi yang
kurang dipahami

EVALUASI : Menilai keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) melalui pertanyaan-


pertanyaan atau quiz materi perkuliahan di akhir pertemuan.

DAFTAR RUJUKAN :
1. Choplin, William D. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis.
Bandung: Sinar Baru
2. Coulumbis & Wolfe. 1992. Pengantar Hubungan Internasional, Bandung: Abardin
3. Holsti, K.J. 1990. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Jakarta: Erlangga
4. Lawrence S Falkowski (Ed.). 1979. Psychlogical Models in International Politics.
Colorado: Westview Press
5. Lentner, Howard. 1996. Foreign Policy Analysis, New York: Barruch College
6. Lovell, John. Foreign Policy Analysis
7. Mohtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
LP3ES
8. --------------------, 1989, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi.
Jogjakarta, PAU-UGM
9. Quansheng, Zao. 1996, Interpreting Chinesse Foreign Policy: The Micro-Macro Linkage
Approach. New York: Oxford University Press
10. Rousenau. The Scientific Study of Foreign Policy
11. Russet, Bruce & Harvey Starr. 1996. World Politics: The Menu for Choice. New York
12. White, Brian & Clark (Eds). 1992. Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy
System Approach. New England, Edward Elgar Publ.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 169


SATUAN ACARA PERKULIAHAN

NAMA MATA KULIAH : Analysis Politik Luar Negeri


KODE MATA KULIAH : HI-354
BOBOT : 2 Sks
WAKTU PERTEMUAN : 100 Menit
PERTEMUAN KE :V
TUJUAN INSTRUKSIONAL
UMUM (TIU) : Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mahasiswa memahami konsep, teori, model dan kerangka
analisa dalam studi Politik Luar Negeri.
2. Mahasiswa memahami perilaku dan kebijakan negara dalam
hubungannya dengan negara lain.
3. Mahasiswa memahami model-model pendekatan, konsep,
teori-teori dalam studi Hubungan Internasional.
4. Mahasiswa memahami model-model analisa dalam studi
politik luar negeri
5. Mahasiswa memahami dan mampu menerapkan berbagai
teori, pendekatan, konsep dan model analisa dalam studi
politik luar negeri.
6. Mahasiswa mampu menganalisa dan menevaluasi kebijakan
dan perilaku luar negeri suatu negara.

TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS (TIK) : Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Tingkat dan teori-teori
Analisa kajian Analisis Politik luar Negeri
POKOK BAHASAN : Tingkat Analisa Kelompok
SUB-POKOK BAHASAN : 1. Makna Pendekatan Kelompok
2.Teori Peran
3.Teori Elit Politik

KEGIATAN BELAJAR –
MENGAJAR :

KEGIATAN KEGIATAN MENGAJAR KEGIATAN MAHASISWA MEDIA


Pendahuluan Absensi dan review materi Menyimak dan mencatat
pertemuan sebelumnya
Penyajian Menjelaskan dengan cara Menyimak, mencatat dan Papan tulis
ceramah tentang : Makna bertanya OHP
dan Teori-Teori pendekatan

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 170


kelompok
Penutup Bertanya kepada mahasiswa Menjawab
tentang garis besar uraian
maupun detail materi

Menjawab pertanyaan Bertanya


mahasiswa atas materi yang
kurang dipahami

EVALUASI : Menilai keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) melalui pertanyaan-


pertanyaan atau quiz materi perkuliahan di akhir pertemuan.

DAFTAR RUJUKAN :
1. Choplin, William D. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis.
Bandung: Sinar Baru
2. Coulumbis & Wolfe. 1992. Pengantar Hubungan Internasional, Bandung: Abardin
3. Holsti, K.J. 1990. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Jakarta: Erlangga
4. Lawrence S Falkowski (Ed.). 1979. Psychlogical Models in International Politics.
Colorado: Westview Press
5. Lentner, Howard. 1996. Foreign Policy Analysis, New York: Barruch College
6. Lovell, John. Foreign Policy Analysis
7. Mohtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
LP3ES
8. --------------------, 1989, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi.
Jogjakarta, PAU-UGM
9. Quansheng, Zao. 1996, Interpreting Chinesse Foreign Policy: The Micro-Macro Linkage
Approach. New York: Oxford University Press
10. Rousenau. The Scientific Study of Foreign Policy
11. Russet, Bruce & Harvey Starr. 1996. World Politics: The Menu for Choice. New York
12. White, Brian & Clark (Eds). 1992. Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy
System Approach. New England, Edward Elgar Publ.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 171


SATUAN ACARA PERKULIAHAN

NAMA MATA KULIAH : Analysis Politik Luar Negeri


KODE MATA KULIAH : HI-354
BOBOT : 2 Sks
WAKTU PERTEMUAN : 100 Menit
PERTEMUAN KE : VI
TUJUAN INSTRUKSIONAL
UMUM (TIU) : Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mahasiswa memahami konsep, teori, model dan kerangka
analisa dalam studi Politik Luar Negeri.
2. Mahasiswa memahami perilaku dan kebijakan negara dalam
hubungannya dengan negara lain.
3. Mahasiswa memahami model-model pendekatan, konsep,
teori-teori dalam studi Hubungan Internasional.
4. Mahasiswa memahami model-model analisa dalam studi
politik luar negeri
5. Mahasiswa memahami dan mampu menerapkan berbagai
teori, pendekatan, konsep dan model analisa dalam studi
politik luar negeri.
6. Mahasiswa mampu menganalisa dan menevaluasi kebijakan
dan perilaku luar negeri suatu negara.

TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS (TIK) : Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Tingkat dan teori-teori
serta Model-model Analisa kajian Analisis Politik luar Negeri
POKOK BAHASAN : Tingkat Analisa Kelompok (Lanjutan )
SUB-POKOK BAHASAN : 4.Teori Ikatan Alumni
5.Dinamika Organisasi & Decision Making process
6.Model Proses Organisasi
7.Model Politik Birokrasi
KEGIATAN BELAJAR –
MENGAJAR :

KEGIATAN KEGIATAN MENGAJAR KEGIATAN MAHASISWA MEDIA


Pendahuluan Absensi dan review materi Menyimak dan mencatat
pertemuan sebelumnya
Penyajian Menjelaskan dengan cara Menyimak, mencatat dan Papan tulis
ceramah tentang : Makna bertanya OHP
dan Teori-Teori serta
Model pendekatan
kelompok

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 172


Penutup Bertanya kepada mahasiswa Menjawab
tentang garis besar uraian
maupun detail materi

Menjawab pertanyaan Bertanya


mahasiswa atas materi yang
kurang dipahami

EVALUASI : Menilai keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) melalui pertanyaan-


pertanyaan atau quiz materi perkuliahan di akhir pertemuan.

DAFTAR RUJUKAN :
1. Choplin, William D. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis.
Bandung: Sinar Baru
2. Coulumbis & Wolfe. 1992. Pengantar Hubungan Internasional, Bandung: Abardin
3. Holsti, K.J. 1990. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Jakarta: Erlangga
4. Lawrence S Falkowski (Ed.). 1979. Psychlogical Models in International Politics.
Colorado: Westview Press
5. Lentner, Howard. 1996. Foreign Policy Analysis, New York: Barruch College
6. Lovell, John. Foreign Policy Analysis
7. Mohtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
LP3ES
8. --------------------, 1989, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi.
Jogjakarta, PAU-UGM
9. Quansheng, Zao. 1996, Interpreting Chinesse Foreign Policy: The Micro-Macro Linkage
Approach. New York: Oxford University Press
10. Rousenau. The Scientific Study of Foreign Policy
11. Russet, Bruce & Harvey Starr. 1996. World Politics: The Menu for Choice. New York
12. White, Brian & Clark (Eds). 1992. Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy
System Approach. New England, Edward Elgar Publ.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 173


SATUAN ACARA PERKULIAHAN

NAMA MATA KULIAH : Analysis Politik Luar Negeri


KODE MATA KULIAH : HI-354
BOBOT : 2 Sks
WAKTU PERTEMUAN : 100 Menit
PERTEMUAN KE : VII
TUJUAN INSTRUKSIONAL
UMUM (TIU) : Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mahasiswa memahami konsep, teori, model dan kerangka
analisa dalam studi Politik Luar Negeri.
2. Mahasiswa memahami perilaku dan kebijakan negara dalam
hubungannya dengan negara lain.
3. Mahasiswa memahami model-model pendekatan, konsep,
teori-teori dalam studi Hubungan Internasional.
4. Mahasiswa memahami model-model analisa dalam studi
politik luar negeri
5. Mahasiswa memahami dan mampu menerapkan berbagai
teori, pendekatan, konsep dan model analisa dalam studi
politik luar negeri.
6. Mahasiswa mampu menganalisa dan menevaluasi kebijakan
dan perilaku luar negeri suatu negara.

TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS (TIK) : Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Tingkat dan makna serta
Model-model Analisa kajian Analisis Negara - Bangsa

POKOK BAHASAN : Tingkat Analisa Negara-Bangsa

SUB-POKOK BAHASAN : 1. Model State Centrism dan Pendekatan Realism


2. Makna Negara-Bangsa
KEGIATAN BELAJAR –
MENGAJAR :

KEGIATAN KEGIATAN MENGAJAR KEGIATAN MAHASISWA MEDIA


Pendahuluan Absensi dan review materi Menyimak dan mencatat
pertemuan sebelumnya
Penyajian Menjelaskan dengan cara Menyimak, mencatat dan Papan Tulis
ceramah tentang : Makna bertanya OHP
dan Teori-Teori serta
Model pendekatan
kelompok
Penutup Bertanya kepada mahasiswa Menjawab
tentang garis besar uraian
maupun detail materi

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 174


Menjawab pertanyaan Bertanya
mahasiswa atas materi yang
kurang dipahami

EVALUASI : Menilai keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) melalui pertanyaan-


pertanyaan atau quiz materi perkuliahan di akhir pertemuan.

DAFTAR RUJUKAN :
1. Choplin, William D. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis.
Bandung: Sinar Baru
2. Coulumbis & Wolfe. 1992. Pengantar Hubungan Internasional, Bandung: Abardin
3. Holsti, K.J. 1990. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Jakarta: Erlangga
4. Lawrence S Falkowski (Ed.). 1979. Psychlogical Models in International Politics.
Colorado: Westview Press
5. Lentner, Howard. 1996. Foreign Policy Analysis, New York: Barruch College
6. Lovell, John. Foreign Policy Analysis
7. Mohtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
LP3ES
8. --------------------, 1989, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi.
Jogjakarta, PAU-UGM
9. Quansheng, Zao. 1996, Interpreting Chinesse Foreign Policy: The Micro-Macro Linkage
Approach. New York: Oxford University Press
10. Rousenau. The Scientific Study of Foreign Policy
11. Russet, Bruce & Harvey Starr. 1996. World Politics: The Menu for Choice. New York
12. White, Brian & Clark (Eds). 1992. Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy
System Approach. New England, Edward Elgar Publ.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 175


SATUAN ACARA PERKULIAHAN

NAMA MATA KULIAH : Analysis Politik Luar negeri


KODE MATA KULIAH : HI-354
BOBOT : 2 Sks
WAKTU PERTEMUAN : 100 menit
PERTEMUAN KE : IX
TUJUAN INSTRUKSIONAL
UMUM (TIU) : Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mahasiswa memahami konsep, teori, model dan kerangka
analisa dalam studi Politik Luar Negeri.
2. Mahasiswa memahami perilaku dan kebijakan negara dalam
hubungannya dengan negara lain.
3. Mahasiswa memahami model-model pendekatan, konsep,
teori-teori dalam studi Hubungan Internasional.
4. Mahasiswa memahami model-model analisa dalam studi
politik luar negeri
5. Mahasiswa memahami dan mampu menerapkan berbagai
teori, pendekatan, konsep dan model analisa dalam studi
politik luar negeri.
6. Mahasiswa mampu menganalisa dan menevaluasi kebijakan
dan perilaku luar negeri suatu negara.

TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS (TIK) : Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tingkat Analisa
Negara-Bangsa dalam kajian Analysis Politik Luar Negeri
POKOK BAHASAN : Tingkat Analisa Negara-Bangsa
SUB-POKOK BAHASAN : 3. Model Rasional Strategis
4. Induksi dan Deduksi dalam model rasional strategis
5. Studi Perilaku
KEGIATAN BELAJAR –
MENGAJAR :

KEGIATAN KEGIATAN MENGAJAR KEGIATAN MAHASISWA MEDIA


Pendahuluan Absensi dan review materi Menyimak dan mencatat
pertemuan sebelumnya
Penyajian Menjelaskan dengan cara Menyimak, mencatat dan Papan Tulis
ceramah tentang : Makna bertanya OHP
dan Teori-Teori serta
Model pendekatan
kelompok
Penutup Bertanya kepada mahasiswa Menjawab
tentang garis besar uraian
maupun detail materi

Menjawab pertanyaan Bertanya


mahasiswa atas materi yang

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 176


kurang dipahami

EVALUASI : Menilai keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) melalui pertanyaan-


pertanyaan atau quiz materi perkuliahan di akhir pertemuan.

DAFTAR RUJUKAN :
1. Choplin, William D. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis.
Bandung: Sinar Baru
2. Coulumbis & Wolfe. 1992. Pengantar Hubungan Internasional, Bandung: Abardin
3. Holsti, K.J. 1990. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Jakarta: Erlangga
4. Lawrence S Falkowski (Ed.). 1979. Psychlogical Models in International Politics.
Colorado: Westview Press
5. Lentner, Howard. 1996. Foreign Policy Analysis, New York: Barruch College
6. Lovell, John. Foreign Policy Analysis
7. Mohtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
LP3ES
8. --------------------, 1989, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi.
Jogjakarta, PAU-UGM
9. Quansheng, Zao. 1996, Interpreting Chinesse Foreign Policy: The Micro-Macro Linkage
Approach. New York: Oxford University Press
10. Rousenau. The Scientific Study of Foreign Policy
11. Russet, Bruce & Harvey Starr. 1996. World Politics: The Menu for Choice. New York
12. White, Brian & Clark (Eds). 1992. Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy
System Approach. New England, Edward Elgar Publ.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 177


SATUAN ACARA PERKULIAHAN

NAMA MATA KULIAH : Analysis Politik Luar Negeri


KODE MATA KULIAH : HI-354
BOBOT : 2 Sks
WAKTU PERTEMUAN : 100 Menit
PERTEMUAN KE :X
TUJUAN INSTRUKSIONAL
UMUM (TIU) : Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mahasiswa memahami konsep, teori, model dan kerangka
analisa dalam studi Politik Luar Negeri.
2. Mahasiswa memahami perilaku dan kebijakan negara dalam
hubungannya dengan negara lain.
3. Mahasiswa memahami model-model pendekatan, konsep,
teori-teori dalam studi Hubungan Internasional.
4. Mahasiswa memahami model-model analisa dalam studi
politik luar negeri
5. Mahasiswa memahami dan mampu menerapkan berbagai
teori, pendekatan, konsep dan model analisa dalam studi
politik luar negeri.
6. Mahasiswa mampu menganalisa dan menevaluasi kebijakan
dan perilaku luar negeri suatu negara.

TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS (TIK) : Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tingkat Analisa
Negara-Bangsa dalam kajian Analysis Politik Luar Negeri
POKOK BAHASAN : Tingkat Analisa Negara-Bangsa
SUB-POKOK BAHASAN : 6. Model Game teori, Prisoner Dillema, Teori deterent
KEGIATAN BELAJAR –
MENGAJAR :

KEGIATAN KEGIATAN MENGAJAR KEGIATAN MAHASISWA MEDIA


Pendahuluan Absensi dan review materi Menyimak dan mencatat
pertemuan sebelumnya
Penyajian Menjelaskan dengan cara Menyimak, mencatat dan Papan tulis
ceramah tentang : Makna bertanya OHP
dan Teori-Teori serta
Model pendekatan
kelompok
Penutup Bertanya kepada mahasiswa Menjawab
tentang garis besar uraian
maupun detail materi

Menjawab pertanyaan Bertanya


mahasiswa atas materi yang
kurang dipahami

EVALUASI : Menilai keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) melalui pertanyaan-


pertanyaan atau quiz materi perkuliahan di akhir pertemuan.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 178


DAFTAR RUJUKAN :
12. Choplin, William D. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis.
Bandung: Sinar Baru
13. Coulumbis & Wolfe. 1992. Pengantar Hubungan Internasional, Bandung: Abardin
14. Holsti, K.J. 1990. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Jakarta: Erlangga
15. Lawrence S Falkowski (Ed.). 1979. Psychlogical Models in International Politics.
Colorado: Westview Press
16. Lentner, Howard. 1996. Foreign Policy Analysis, New York: Barruch College
17. Lovell, John. Foreign Policy Analysis
18. Mohtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
LP3ES
19. --------------------, 1989, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi.
Jogjakarta, PAU-UGM
20. Quansheng, Zao. 1996, Interpreting Chinesse Foreign Policy: The Micro-Macro Linkage
Approach. New York: Oxford University Press
21. Rousenau. The Scientific Study of Foreign Policy
22. Russet, Bruce & Harvey Starr. 1996. World Politics: The Menu for Choice. New York
12. White, Brian & Clark (Eds). 1992. Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy
System Approach. New England, Edward Elgar Publ.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 179


SATUAN ACARA PERKULIAHAN

NAMA MATA KULIAH : Analisis Politik Luar Negeri


KODE MATA KULIAH : HI- 354
BOBOT : 2 sks
WAKTU PERTEMUAN : 100 menit
PERTEMUAN KE : XI
TUJUAN INSTRUKSIONAL
UMUM (TIU) : Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mahasiswa memahami konsep, teori, model dan kerangka
analisa dalam studi Politik Luar Negeri.
2. Mahasiswa memahami perilaku dan kebijakan negara dalam
hubungannya dengan negara lain.
3. Mahasiswa memahami model-model pendekatan, konsep,
teori-teori dalam studi Hubungan Internasional.
4. Mahasiswa memahami model-model analisa dalam studi
politik luar negeri
5. Mahasiswa memahami dan mampu menerapkan berbagai
teori, pendekatan, konsep dan model analisa dalam studi
politik luar negeri.
6. Mahasiswa mampu menganalisa dan menevaluasi kebijakan
dan perilaku luar negeri suatu negara.

TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS (TIK) : Mahasiswa dapat menggetahui dan memahami Tingkat System
Internasional dalam kajian analisis politik luar negeri
POKOK BAHASAN : Tingkat system Internasional
SUB-POKOK BAHASAN : 1. Sistem Internasional
2. Skema system int.
KEGIATAN BELAJAR –
MENGAJAR :

KEGIATAN KEGIATAN MENGAJAR KEGIATAN MAHASISWA MEDIA


Pendahuluan Absensi dan review materi Menyimak dan mencatat
pertemuan sebelumnya
Penyajian Menjelaskan dengan cara Menyimak, mencatat dan Papan tulis
ceramah tentang : Makna bertanya OHP
dan Teori-Teori serta
Model pendekatan
kelompok
Penutup Bertanya kepada mahasiswa Menjawab
tentang garis besar uraian
maupun detail materi

Menjawab pertanyaan Bertanya


mahasiswa atas materi yang
kurang dipahami

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 180


EVALUASI : Menilai keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) melalui pertanyaan-
pertanyaan atau quiz materi perkuliahan di akhir pertemuan.

DAFTAR RUJUKAN :
1. Choplin, William D. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis.
Bandung: Sinar Baru
2. Coulumbis & Wolfe. 1992. Pengantar Hubungan Internasional, Bandung: Abardin
3. Holsti, K.J. 1990. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Jakarta: Erlangga
4. Lawrence S Falkowski (Ed.). 1979. Psychlogical Models in International Politics.
Colorado: Westview Press
5. Lentner, Howard. 1996. Foreign Policy Analysis, New York: Barruch College
6. Lovell, John. Foreign Policy Analysis
7. Mohtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
LP3ES
8. --------------------, 1989, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi.
Jogjakarta, PAU-UGM
9. Quansheng, Zao. 1996, Interpreting Chinesse Foreign Policy: The Micro-Macro Linkage
Approach. New York: Oxford University Press
10. Rousenau. The Scientific Study of Foreign Policy
11. Russet, Bruce & Harvey Starr. 1996. World Politics: The Menu for Choice. New York
12. White, Brian & Clark (Eds). 1992. Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy
System Approach. New England, Edward Elgar Publ.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 181


SATUAN ACARA PERKULIAHAN

NAMA MATA KULIAH : Analisis Politik Luar Negeri


KODE MATA KULIAH : HI- 354
BOBOT : 2 sks
WAKTU PERTEMUAN : 100 menit
PERTEMUAN KE : XII
TUJUAN INSTRUKSIONAL
UMUM (TIU) : Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mahasiswa memahami konsep, teori, model dan kerangka
analisa dalam studi Politik Luar Negeri.
2. Mahasiswa memahami perilaku dan kebijakan negara dalam
hubungannya dengan negara lain.
3. Mahasiswa memahami model-model pendekatan, konsep,
teori-teori dalam studi Hubungan Internasional.
4. Mahasiswa memahami model-model analisa dalam studi
politik luar negeri
5. Mahasiswa memahami dan mampu menerapkan berbagai
teori, pendekatan, konsep dan model analisa dalam studi
politik luar negeri.
6. Mahasiswa mampu menganalisa dan menevaluasi kebijakan
dan perilaku luar negeri suatu negara.

TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS (TIK) : Mahasiswa dapat Mengetahui dan memahami Tingkat proses
pembuatan keputusan sebagai sistem
POKOK BAHASAN : Proses Pembuatan Keputusan sebagai sistem
SUB-POKOK BAHASAN : 1. pendekatan Sistem
KEGIATAN BELAJAR – 2. Proses ideal pembuatan system
MENGAJAR :

KEGIATAN KEGIATAN MENGAJAR KEGIATAN MAHASISWA MEDIA


Pendahuluan Absensi dan review materi Menyimak dan mencatat
pertemuan sebelumnya
Penyajian Menjelaskan dengan cara Menyimak, mencatat dan Papan tulis
ceramah tentang : Makna bertanya OHP
dan Teori-Teori serta
Model pendekatan
kelompok
Penutup Bertanya kepada mahasiswa Menjawab
tentang garis besar uraian
maupun detail materi

Menjawab pertanyaan Bertanya


mahasiswa atas materi yang
kurang dipahami

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 182


EVALUASI : Menilai keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) melalui pertanyaan-
pertanyaan atau quiz materi perkuliahan di akhir pertemuan.

DAFTAR RUJUKAN :
1. Choplin, William D. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis.
Bandung: Sinar Baru
2. Coulumbis & Wolfe. 1992. Pengantar Hubungan Internasional, Bandung: Abardin
3. Holsti, K.J. 1990. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Jakarta: Erlangga
4. Lawrence S Falkowski (Ed.). 1979. Psychlogical Models in International Politics.
Colorado: Westview Press
5. Lentner, Howard. 1996. Foreign Policy Analysis, New York: Barruch College
6. Lovell, John. Foreign Policy Analysis
7. Mohtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
LP3ES
8. --------------------, 1989, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi.
Jogjakarta, PAU-UGM
9. Quansheng, Zao. 1996, Interpreting Chinesse Foreign Policy: The Micro-Macro Linkage
Approach. New York: Oxford University Press
10. Rousenau. The Scientific Study of Foreign Policy
11. Russet, Bruce & Harvey Starr. 1996. World Politics: The Menu for Choice. New York
12. White, Brian & Clark (Eds). 1992. Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy
System Approach. New England, Edward Elgar Publ.

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 183


NAMA MATA KULIAH : Analisis Politik Luar Negeri
KODE MATA KULIAH : HI – 354
BOBOT : 2 sks
WAKTU PERTEMUAN : 100 menit
PERTEMUAN KE : XIII
TUJUAN INSTRUKSIONAL
UMUM (TIU) : Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mahasiswa memahami konsep, teori, model dan kerangka
analisa dalam studi Politik Luar Negeri.
2. Mahasiswa memahami perilaku dan kebijakan negara dalam
hubungannya dengan negara lain.
3. Mahasiswa memahami model-model pendekatan, konsep,
teori-teori dalam studi Hubungan Internasional.
4. Mahasiswa memahami model-model analisa dalam studi
politik luar negeri
5. Mahasiswa memahami dan mampu menerapkan berbagai
teori, pendekatan, konsep dan model analisa dalam studi
politik luar negeri.
6. Mahasiswa mampu menganalisa dan menevaluasi kebijakan
dan perilaku luar negeri suatu negara.

TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS (TIK) : Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Tingkat proses
pembuatan keputusan sebagai sistem
POKOK BAHASAN : proses pembuatan keputusan sebagai sistem
SUB-POKOK BAHASAN : 3. Model Snyeder
KEGIATAN BELAJAR – 4. Model Alison
MENGAJAR :

KEGIATAN KEGIATAN MENGAJAR KEGIATAN MAHASISWA MEDIA


Pendahuluan Absensi dan review materi Menyimak dan mencatat
pertemuan sebelumnya
Penyajian Menjelaskan dengan cara Menyimak, mencatat dan Papan Tulis
ceramah tentang : Makna bertanya OHP
dan Teori-Teori serta
Model pendekatan
kelompok
Penutup Bertanya kepada mahasiswa Menjawab
tentang garis besar uraian
maupun detail materi

Menjawab pertanyaan Bertanya


mahasiswa atas materi yang
kurang dipahami

EVALUASI : Menilai keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) melalui pertanyaan-


pertanyaan atau quiz materi perkuliahan di akhir pertemuan.

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 184


DAFTAR RUJUKAN :
12. Choplin, William D. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis.
Bandung: Sinar Baru
13. Coulumbis & Wolfe. 1992. Pengantar Hubungan Internasional, Bandung: Abardin
14. Holsti, K.J. 1990. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Jakarta: Erlangga
15. Lawrence S Falkowski (Ed.). 1979. Psychlogical Models in International Politics.
Colorado: Westview Press
16. Lentner, Howard. 1996. Foreign Policy Analysis, New York: Barruch College
17. Lovell, John. Foreign Policy Analysis
18. Mohtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
LP3ES
19. --------------------, 1989, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi.
Jogjakarta, PAU-UGM
20. Quansheng, Zao. 1996, Interpreting Chinesse Foreign Policy: The Micro-Macro Linkage
Approach. New York: Oxford University Press
21. Rousenau. The Scientific Study of Foreign Policy
22. Russet, Bruce & Harvey Starr. 1996. World Politics: The Menu for Choice. New York
12. White, Brian & Clark (Eds). 1992. Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy
System Approach. New England, Edward Elgar Publ.

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

NAMA MATA KULIAH :


KODE MATA KULIAH :

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 185


BOBOT :
WAKTU PERTEMUAN :
PERTEMUAN KE :
TUJUAN INSTRUKSIONAL
UMUM (TIU) :
TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS (TIK) :
POKOK BAHASAN :
SUB-POKOK BAHASAN :
KEGIATAN BELAJAR –
MENGAJAR :

KEGIATAN KEGIATAN MENGAJAR KEGIATAN MAHASISWA MEDIA

EVALUASI :
DAFTAR RUJUKAN :

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 186


NAMA MATA KULIAH : Analisis Politik Luar Negeri
KODE MATA KULIAH : HI – 354
BOBOT : 2 sks
WAKTU PERTEMUAN : 100 menit
PERTEMUAN KE : XIV
TUJUAN INSTRUKSIONAL
UMUM (TIU) : Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mahasiswa memahami konsep, teori, model dan kerangka
analisa dalam studi Politik Luar Negeri.
2. Mahasiswa memahami perilaku dan kebijakan negara dalam
hubungannya dengan negara lain.
3. Mahasiswa memahami model-model pendekatan, konsep,
teori-teori dalam studi Hubungan Internasional.
4. Mahasiswa memahami model-model analisa dalam studi
politik luar negeri
5. Mahasiswa memahami dan mampu menerapkan berbagai
teori, pendekatan, konsep dan model analisa dalam studi
politik luar negeri.
6. Mahasiswa mampu menganalisa dan menevaluasi kebijakan
dan perilaku luar negeri suatu negara.

TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS (TIK) :Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Micro – Macro
Linkage
POKOK BAHASAN : Micro – Macro Linkage Approach
SUB-POKOK BAHASAN : 1. Faktor Domestik
2. Faktor Internasional
KEGIATAN BELAJAR –
MENGAJAR :

KEGIATAN KEGIATAN MENGAJAR KEGIATAN MAHASISWA MEDIA


Pendahuluan Absensi dan review materi Menyimak dan mencatat
pertemuan sebelumnya
Penyajian Menjelaskan dengan cara Menyimak, mencatat dan Papan tulis
ceramah tentang : Makna bertanya OHP
dan Teori-Teori serta
Model pendekatan
kelompok
Penutup Bertanya kepada mahasiswa Menjawab
tentang garis besar uraian
maupun detail materi

Menjawab pertanyaan Bertanya


mahasiswa atas materi yang
kurang dipahami

EVALUASI : Menilai keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) melalui pertanyaan-


pertanyaan atau quiz materi perkuliahan di akhir pertemuan.

DAFTAR RUJUKAN :

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 187


1. Choplin, William D. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis.
Bandung: Sinar Baru
2. Coulumbis & Wolfe. 1992. Pengantar Hubungan Internasional, Bandung: Abardin
3. Holsti, K.J. 1990. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Jakarta: Erlangga
4. Lawrence S Falkowski (Ed.). 1979. Psychlogical Models in International Politics.
Colorado: Westview Press
5. Lentner, Howard. 1996. Foreign Policy Analysis, New York: Barruch College
6. Lovell, John. Foreign Policy Analysis
7. Mohtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
LP3ES
8. --------------------, 1989, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi.
Jogjakarta, PAU-UGM
9. Quansheng, Zao. 1996, Interpreting Chinesse Foreign Policy: The Micro-Macro Linkage
Approach. New York: Oxford University Press
10. Rousenau. The Scientific Study of Foreign Policy
11. Russet, Bruce & Harvey Starr. 1996. World Politics: The Menu for Choice. New York
12. White, Brian & Clark (Eds). 1992. Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy
System Approach. New England, Edward Elgar Publ.

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

NAMA MATA KULIAH : Analisis Politik Luar Negeri


KODE MATA KULIAH : HI – 354
BOBOT : 2 sks

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 188


WAKTU PERTEMUAN : 100 menit
PERTEMUAN KE : XV
TUJUAN INSTRUKSIONAL
UMUM (TIU) : Setelah mengikuti perkuliahan ini, mahasiswa diharapkan :
1. Mahasiswa memahami konsep, teori, model dan kerangka
analisa dalam studi Politik Luar Negeri.
2. Mahasiswa memahami perilaku dan kebijakan negara dalam
hubungannya dengan negara lain.
3. Mahasiswa memahami model-model pendekatan, konsep,
teori-teori dalam studi Hubungan Internasional.
4. Mahasiswa memahami model-model analisa dalam studi
politik luar negeri
5. Mahasiswa memahami dan mampu menerapkan berbagai
teori, pendekatan, konsep dan model analisa dalam studi
politik luar negeri.
6. Mahasiswa mampu menganalisa dan menevaluasi kebijakan
dan perilaku luar negeri suatu negara.

TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS (TIK) : Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Analisis politik
luar negeri dalam tingkatan Negara dan bangsa secara mendetil
POKOK BAHASAN : Review + diskusi
SUB-POKOK BAHASAN : Materi I - 13
KEGIATAN BELAJAR –
MENGAJAR :

KEGIATAN KEGIATAN MENGAJAR KEGIATAN MAHASISWA MEDIA


Pendahuluan Absensi dan review materi Menyimak dan mencatat
pertemuan sebelumnya
Penyajian Menjelaskan dengan cara Menyimak, mencatat dan Papan Tulis
ceramah tentang : Makna bertanya OHP
dan Teori-Teori serta
Model pendekatan
kelompok
Penutup Bertanya kepada mahasiswa Menjawab
tentang garis besar uraian
maupun detail materi

Menjawab pertanyaan Bertanya


mahasiswa atas materi yang
kurang dipahami

EVALUASI : Menilai keberhasilan Proses Belajar Mengajar (PBM) melalui pertanyaan-


pertanyaan atau quiz materi perkuliahan di akhir pertemuan.

DAFTAR RUJUKAN :

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 189


1. Choplin, William D. 1992. Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis.
Bandung: Sinar Baru
2. Coulumbis & Wolfe. 1992. Pengantar Hubungan Internasional, Bandung: Abardin
3. Holsti, K.J. 1990. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Jakarta: Erlangga
4. Lawrence S Falkowski (Ed.). 1979. Psychlogical Models in International Politics.
Colorado: Westview Press
5. Lentner, Howard. 1996. Foreign Policy Analysis, New York: Barruch College
6. Lovell, John. Foreign Policy Analysis
7. Mohtar Mas’oed. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta:
LP3ES
8. --------------------, 1989, Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi.
Jogjakarta, PAU-UGM
9. Quansheng, Zao. 1996, Interpreting Chinesse Foreign Policy: The Micro-Macro Linkage
Approach. New York: Oxford University Press
10. Rousenau. The Scientific Study of Foreign Policy
11. Russet, Bruce & Harvey Starr. 1996. World Politics: The Menu for Choice. New York
12. White, Brian & Clark (Eds). 1992. Understanding Foreign Policy: The Foreign Policy
System Approach. New England, Edward Elgar Publ.

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

NAMA MATA KULIAH :


KODE MATA KULIAH :
BOBOT :
WAKTU PERTEMUAN :
PERTEMUAN KE :
TUJUAN INSTRUKSIONAL
UMUM (TIU) :
TUJUAN INSTRUKSIONAL

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 190


KHUSUS (TIK) :
POKOK BAHASAN :
SUB-POKOK BAHASAN :
KEGIATAN BELAJAR –
MENGAJAR :

KEGIATAN KEGIATAN MENGAJAR KEGIATAN MAHASISWA MEDIA

EVALUASI :
DAFTAR RUJUKAN :

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

NAMA MATA KULIAH :


KODE MATA KULIAH :
BOBOT :
WAKTU PERTEMUAN :
PERTEMUAN KE :
TUJUAN INSTRUKSIONAL
UMUM (TIU) :
TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS (TIK) :
POKOK BAHASAN :

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 191


SUB-POKOK BAHASAN :
KEGIATAN BELAJAR –
MENGAJAR :

KEGIATAN KEGIATAN MENGAJAR KEGIATAN MAHASISWA MEDIA

EVALUASI :
DAFTAR RUJUKAN :

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

NAMA MATA KULIAH :


KODE MATA KULIAH :
BOBOT :
WAKTU PERTEMUAN :
PERTEMUAN KE :
TUJUAN INSTRUKSIONAL
UMUM (TIU) :
TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS (TIK) :
POKOK BAHASAN :
SUB-POKOK BAHASAN :
KEGIATAN BELAJAR –

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 192


MENGAJAR :

KEGIATAN KEGIATAN MENGAJAR KEGIATAN MAHASISWA MEDIA

EVALUASI :
DAFTAR RUJUKAN :

Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 193


Diktat Kuliah: Foreign Policy Analysis/ Smt. VI/HI-FISIP UNJANI/yngnurdin 194

Anda mungkin juga menyukai