TESIS
RIDHA ROSANDI
0906647381
TESIS
RIDHA ROSANDI
0906647381
v Universitas Indonesia
Background : There are some studies that show blood clotting pathways involved in the
pathogenesis of chronic urticaria . D - dimer is a blood clotting pathway end products can
indirectly be used to assess thrombin in the blood. Thrombin can induce edema because it
can increase capillary permeability , can stimulate mast cell degranulation , and activating
the complement C5a . Objective : Knowing the average levels of D - dimer in chronic
urticaria patients and the correlation between D - dimer levels with severity and disease
duration. Methods : This study is a cross sectional study , the study subjects were 30
chronic urticaria patients. Assessment urticaria activity score ,disease duration and
D – dimer level on all patients. Results : Median of the D - dimer levels in 30 patients is
100 ug / L . In this study there were 5 patients ( 16.67 % ) with elevated levels of
D - dimer . There is a strong positive correlation between D- dimer levels with severity of
chronic urticaria ( r = 0.8 ; p = 0.0000 ) . There is a weak positive correlation between
D - dimer levels with disease duration ( r = 0.05 ; p = 0.979) . Conclusions : There is a
strong positive correlation between D - dimer levels with disease severity and weak
positive correlation between D - dimer levels with disease duration of chronic urticaria.
vi Universitas Indonesia
Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah membantu saya selama menjalani pendidikan dokter spesialis hingga
tersusunnya tesis ini.
Terima kasih saya ucapkan kepada Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM(K), sebagai
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) saat ini. Terima kasih
kepada Prof. Dr. dr. Akmal Taher, SpU(K) sebagai Direktur Utama Rumah Sakit
dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta periode terdahulu dan Dr. dr. C. H.
Soejono, SpPD-K.Ger, M.Epid, FACP, FINASIM sebagai Direktur Utama RSCM
Jakarta saat ini, atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menjalani
pendidikan dokter spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
(IKKK) FKUI RSCM Jakarta.
Saya menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga dan rasa hormat
kepada Dr. dr. Tjut Nurul Alam Jacoeb, SpKK(K) atas kesediannya menerima
saya sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) semasa beliau
menjabat sebagai Ketua Departemen IKKK FKUI RSCM terdahulu. Ucapan
terima kasih juga saya ucapkan kepada dr. Shannaz Nadia Yusharyahya, SpKK,
MHA sebagai Ketua Departemen IKKK FKUI RSCM saat ini, dan kepada seluruh
kepala divisi serta seluruh staf pengajar Departemen IKKK FKUI RSCM Jakarta
yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menimba ilmu dan
pengalaman. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
bimbingan, dukungan, teladan, dorongan dan motivasi yang diberikan kepada
saya selama mengikuti pendidikan. Permohonan maaf saya haturkan sebesar-
besarnya kepada seluruh guru yang saya hormati, apabila terdapat perkataan dan
tindakan saya yang kurang berkenan selama ini. Rasa terima kasih juga saya
ucapkan kepada dr. Herman Cipto, SpKK sebagai mentor akademis, yang
senantiasa memberikan motivasi dan bimbingan dalam menyelesaikan pendidikan
selama ini.
Saya haturkan rasa hormat dan terima kasih yang tiada terhingga kepada
Dr. dr. Wresti Indriatmi, SpKK(K), M. Epid sebagai pembimbing tesis dan
pembimbing statistik, yang telah menyempatkan diri untuk memberikan
bimbingan, asupan yang berharga, dan dukungan sejak penyusunan usulan
penelitian hingga penyelesaian tesis ini.
Rasa hormat dan terima kasih kepada dr. Triana Agustin, SpKK, sebagai
pembimbing tesis yang telah menyediakan waktunya untuk memberikan
bimbingan, memberikan saran dan asupan yang berharga, serta memberi semangat
sejak awal penelitian hingga berakhirnya tesis. Kepada dr. Evita Halim Effendi,
SpKK(K) sebagai pembimbing substansi dan penguji ujian tesis, rasa hormat dan
ucapkan terimakasih atas asupan yang berharga, bimbingan, dan waktu yang telah
diluangkan dalam penyusunan tesis ini.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada Dr. dr. Sri Linuwih M, SpKK(K) sebagai
salah satu penguji proposal dan tesis atas koreksi dan asupan yang sangat
bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih kepada dr. Rahadi
Rihatmadja SpKK, yang telah berkenan menjadi salah satu tim penguji proposal
dan tesis, atas waktu yang diberikan untuk mengoreksi dan memberi asupan yang
diperlukan dalam penyusunan tesis ini. Kepada dr. Endi Novianto, Sp.KK sebagai
penguji tesis saya juga ucapkan terimakasih atas asupan yang diberikan.
Kepada dr. Wresti Indriatmi B Makes, SpKK(K), M. Epid., saat menjabat sebagai
koordinator penelitian Departemen IKKK FKUI dan kepada dr. Sandra Widaty,
SpKK(K) sebagai Koordinator Penelitian Departemen IKKK FKUI saat ini, terima kasih
Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada Prof. Dr. dr. Retno
Widowati S, SpKK(K), dr. Evita Halim Effendi, SpKK(K), dr. Endi Novianto,
SpKK, dr. Windy Keumala B, SpKK, dr. Mardiati Ganjardani, SpKK yang telah
memberikan izin kepada saya untuk melakukan penelitian di Divisi Alergi
Imunologi Departemen IKKK. Terima kasih saya haturkan atas kesempatan,
perhatian dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini.
Ucapan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Rianto Setiabudy, SpFK sebagai ketua Panitia
Tetap Penilai Etik Penelitian FKUI atas persetujuan dan keterangan lolos kaji etik
penelitian ini.
Ungkapan rasa sayang dan terima kasih yang tak ternilai kepada teman satu
angkatan “keluarga kedua” selama saya menjalani pendidikan di Departemen
IKKK FKUI RSCM, dr. Atika Damayanti, dr. Cut Natya Rucitra, dr. Eka
Komarasari, dr. Evelyn Lina Nainggolan, dr. Salma Oktaria, dr. Rani
Rachmawati, dr. Sari Chairunnisa, dr. Stefani Rachel Djuanda, dr. Terlinda C
Barros, dr. Vini Onmaya, dr. Yunira Safitri atas sedih dan tawa bersama,
dukungan, doa, serta persahabatan yang indah. Kepada teman seperjuangan saat
ujian nasional dan ujian lokal serta para sahabat, senior, dan adik-adik yang saya
temui selama masa pendidikan yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu,
terima kasih saya ucapkan sebesar-besarnya atas pertemanan yang indah,
kerjasama, dan dukungan yang diberikan selama menempuh pendidikan ini.
Teman-teman yang yang telah dengan ikhlas membantu dalam penelitian ini,
kepada dr. Jihan Rosita, dr. Zunarsih, dr. Yuda Ilhamsyah yang telah membantu
saya saat mengumpulkan subyek penelitian di Divisi Alergi Imunologi
Departemen IKKK FKUI RSCM. Saya ucapkan rasa terimakasih yang tak
terhingga atas bantuan dan dukungan teman-teman sehingga saya dapat
mewujudkan penelitian ini.
ix Universitas Indonesia
HALAMAN JUDUL………………………………………………………. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.......................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………….. iii
PERNYATAAN PUBLIKASI…………………………………………….. iv
ABSTRAK………………………………………………………………… v
ABSTRACT……………………………………………………………….. vi
UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………….. vii
DAFTAR ISI……………………………………………………………….. xi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….. xiii
DAFTAR GAMBAR……………………………….....…………………… xiv
DAFTAR TABEL …………………………………………………….. xv
DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………….. xvi
BAB 1 PENDAHULUAN.....………………………………………………. 1
1.1 Latar belakang ....…………………………………………….. 1
1.2 Identifikasi masalah ....……………………………………….. 3
1.3 Perumusan masalah ......……………………………………… 4
1.4 Hipotesis penelitian .………………………………………….. 4
1.5 Tujuan penelitian..……………………………………………. 4
1.6 Manfaat penelitian.……………………………………………. 5
2.3 D-dimer……............................................................................... 13
2.3.1 Definisi ....……………………………………………... 13
2.3.2 Struktur dan sintesis D-dimer........…………………...... 13
2.3.3 Peran pemeriksaan D-dimer……………………………. 14
2.3.4 Metode pemeriksaan D-dimer………………………….. 14
2.3.5 Faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan
D-dimer………………………………………………… 16
xi Universitas Indonesia
xv Universitas Indonesia
AT : Arterial thrombosis
PE : Pulmonary embolism
PK : Pre Kallikrein
PENDAHULUAN
Urtikaria adalah lesi kulit berupa edema intrakutan lokalisata yang dikelilingi oleh
area kemerahan (eritema) dan terasa gatal. Lesi kulit dapat menetap 30 menit
hingga 36 jam. Lesi dapat berukuran kecil hanya beberapa milimeter, hingga
berdiameter 15-20 cm. Pada urtikaria terjadi pelebaran pembuluh darah dan
peningkatan permeabilitas vaskular di dermis superfisial dan melibatkan pleksus
vena pada daerah tersebut.1
Urtikaria merupakan penyakit yang cukup sering dijumpai dalam praktek sehari-
hari. Usia, ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografik, dan musim dapat
menjadi faktor predisposisi urtikaria. Urtikaria sering terjadi pada kelompok usia
0-9 tahun dan 30-40 tahun. Dilaporkan di Inggris, 15% - 20% pelajar pernah
mengalami urtikaria.1 Pada tahun 2012, kasus baru urtikaria kronis sebanyak 225
(62%) dari total kasus urtikaria di Poliklinik Alergi Imunologi Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.2
Kasus urtikaria dianggap kronis apabila muncul hampir setiap hari atau paling
kurang dua kali dalam seminggu, selama 6 minggu berturut-turut atau lebih.
Urtikaria kronis dibagi menjadi urtikaria kronis autoimun (45%) dan urtikaria
kronis idiopatik (55%).1,3 Grattan dkk. (2002) membagi urtikaria kronis menjadi
urtikaria kronis autoimun, idiopatik, pseudoalergi, berhubungan dengan infeksi,
vaskulitis dan fisis.4
Sebagian besar penyebab pasti urtikaria kronis masih belum banyak diketahui,
namun, terdapat beberapa studi yang menunjukkan keterlibatan jalur pembekuan
darah dalam patogenesis urtikaria kronis. Penelitian Asero dkk. (2006)
mendapatkan persentase kepositifan tes kulit plasma autolog lebih besar daripada
tes kulit serum autolog (86% vs 53%) pada pasien urtikaria kronis.5 Pada
1 Universitas Indonesia
D-dimer merupakan hasil degradasi fibrin ikat silang yaitu fibrinogen yang diubah
menjadi fibrin monomer dan mengalami polimerisasi menjadi fibrin polimer,
kemudian diaktifkan oleh faktor XIIIA dan merupakan protein yang dikeluarkan
ke dalam sirkulasi selama proses pemecahan fibrin. D-dimer dapat dijadikan
indikator terjadinya trombus yang akan terpecah di dalam tubuh. Pemeriksaan
D-dimer menggunakan antibodi monoklonal (antibodi yang spesifik) merupakan
baku emas untuk mendeteksi produk degradasi fibrin di dalam plasma atau whole
blood.15
Morbiditas urtikaria kronis tergantung kepada durasi (lama sakit) dan keparahan
penyakit. Sekitar 20% pasien dapat menderita urtikaria kronis selama 10 tahun.
Urtikaria kronis dapat menurunkan kualitas hidup sebagai dampak keluhan
gangguan tidur akibat intensitas gatal yang hebat, keletihan, isolasi sosial,
kehilangan energi, serta gangguan emosional dan seksual. Metode baku emas
Universitas Indonesia
untuk menilai derajat keparahan urtikaria adalah urticaria activity score (UAS),
berdasarkan jumlah lesi urtika dan keluhan gatal.16
Sepanjang pengetahuan peneliti belum ada data kadar D-dimer pada pasien
urtikaria kronis serta hubungannya dengan derajat keparahan dan lama sakit di
Indonesia.
Universitas Indonesia
D-dimer yang merupakan produk akhir jalur pembekuan darah secara tidak
langsung dapat digunakan untuk menilai adanya trombin di dalam darah. Adanya
peningkatan kadar D-dimer menandakan adanya peningkatan trombin di dalam
darah. Triwongwaranat dkk. (2013) meneliti 120 pasien urtikaria kronis,
menemukan peningkatan kadar D-dimer plasma yang berkorelasi dengan
keparahan penyakit. Peneliti ingin mengetahui korelasi kadar D-dimer dengan
derajat keparahan dan lama sakit pasien urtikaria kronis di Indonesia.
Universitas Indonesia
Diharapkan penelitian ini dapat memberi data dasar kadar D-dimer pasien
urtikaria kronis di Indonesia yang dapat digunakan pada penelitian selanjutnya
mengenai hubungan D-dimer dengan efektivitas terapi antihistamin dan terapi
antikoagualan pada pasien urtikaria kronis.
Universitas Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 URTIKARIA
Urtikaria adalah reaksi vaskular kulit berupa edema setempat berwarna pucat atau
merah muda, dikelilingi daerah kemerahan disertai rasa gatal, tersengat atau
tertusuk yang bersifat sementara akibat peningkatan permeabilitas vaskular yang
menyebabkan kebocoran plasma ke jaringan. Lesi kulit dapat menetap 30 menit
hingga 36 jam. Lesi dapat berukuran kecil hanya beberapa milimeter, hingga
berdiameter 15-20cm. Urtikaria dapat disertai angioedema, bila reaksi terjadi pada
dermis bagian bawah atau subkutan.1,19,20
Urtikaria merupakan penyakit yang cukup sering dijumpai dalam praktek sehari-
hari. Prevalensi urtikaria di seluruh dunia berkisar 20%. Usia, ras, jenis kelamin,
pekerjaan, lokasi geografi, dan musim dapat menjadi faktor predisposisi
urtikaria.1,21
Berdasarkan durasi penyakit, urtikaria dibagi menjadi urtikaria akut dan urtikaria
kronis. Urtikaria akut adalah urtikaria yang berlangsung kurang dari 6 minggu,
sedangkan urtikaria kronis adalah urtikaria yang muncul hampir setiap hari atau
paling kurang dua kali dalam seminggu selama 6 minggu berturut-turut atau
lebih.1,3,4
2.2.1. Epidemiologi
Urtikaria kronis lebih jarang dibandingkan dengan urtikaria akut.21,22 Urtikaria
kronis ditemukan pada 0,5-1% populasi.23,24 Urtikaria kronis terutama terjadi pada
orang dewasa dengan rasio perbandingan laki-laki : perempuan adalah 1: 2.25
Penyakit ini dapat rekuren dan menetap hingga beberapa tahun. Dilaporkan
6 Universitas Indonesia
sebanyak 40% pasien urtikaria kronis mengalami lesi urtika yang hilang timbul
selama 10 tahun.26
Sel mast merupakan sel efektor utama pada urtikaria. Sel mast kutan berikatan
pada vibronektin, laminin dan vitronektin. Sel mast kutan melepas histamin
sebagai respons terhadap compound 48/80, C5a, morfin dan kodein. Neuropeptida
substansi P, vasoactive intestinal peptide (VIP) dan somatostatin dapat
mengaktifkan sel mast untuk sekresi histamin. Penyuntikan antigen spesifik
intrakutan pada individu yang tersentisisasi membuktikan terdapat peran
imunoglobulin E dan interaksinya dengan sel mast.1 Selain sel mast, terdapat juga
peran sel eosinofil. Eosinofil mengandung granul toksik yaitu major basic protein
(MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP). MBP dapat menyebabkan
degranulasi sel mast secara nonimunologi.1
Urtikaria kronis dibagi menjadi urtikaria kronis autoimun (45%) dan urtikaria
kronis idiopatik (55%).1 Grattan dkk. (2002) membagi urtikaria kronis menjadi
urtikaria kronis autoimun, idiopatik, pseudoalergi, berhubungan dengan infeksi,
vaskulitis dan fisis.4 Sebagian besar penyebab pasti urtikaria kronis masih belum
diketahui, namun terdapat beberapa studi yang menunjukkan keterlibatan jalur
pembekuan darah dalam patogenesis urtikaria kronis.
Metode baku emas untuk menilai derajat keparahan urtikaria adalah urticaria
activity score (UAS). Urticaria activity score merupakan instrumen kuantitatif
yang memungkinkan klinisi membuat perkiraan derajat keparahan urtikaria
dengan menjumlahkan skor jumlah lesi dan skor keparahan gatal. Jumlah skor
Universitas Indonesia
Proses pembekuan darah terdiri dari rangkaian reaksi enzimatik yang melibatkan
protein plasma yang disebut sebagai faktor pembekuan darah, fosfolipid, dan ion
kalsium. Faktor pembekuan darah dinyatakan dalam angka Romawi yang sesuai
dengan urutan ditemukannya.33
Proses pembekuan darah dimulai melalui dua jalur yaitu jalur instrinsik yang
dicetuskan oleh aktivasi kontak dan melibatkan Faktor XII, Faktor XI, Faktor IX,
Faktor VIII, high molecular weight kininogen (HMWK), pre kallikrein (PK),
_________________________________________
*dikutip dari kepustakaan no. 6,17,32
Universitas Indonesia
platelet factor 3 (PF. 3) dan ion kalsium, serta jalur ekstrinsik yang dicetuskan
oleh tromboplastin jaringan dan melibatkan Faktor VII, ion kalsium. Kedua jalur
ini akan bergabung menjadi jalur bersama yang melibatkan Faktor X, Faktor V,
PF.3, protrombin, dan fibrinogen.33
Reaksi pertama pada jalur bersama adalah perubahan Faktor X menjadi Faktor Xa
oleh kompleks yang terbentuk pada jalur instrinsik dan atau Faktor VIIa dari jalur
ekstrinsik. Faktor Xa bersama Faktor V, PF.3, dan ion kalsium membentuk
prothrombin converting complex yang akan mengubah protrombin menjadi
trombin. Reaksi selanjutnya trombin akan mengubah fibrinogen menjadi fibrin.
Plasmin memecah fibrin membentuk fibrin degradation product salah satunya
berupa D-dimer.33 (lihat bagan 1)
Meskipun penyebab pasti urtikaria kronis masih banyak belum diketahui, namun
terdapat beberapa studi yang menunjukkan keterlibatan jalur pembekuan darah
dalam etiopatogenesisnya.34 Penelitian Asero dkk. (2006) mendapatkan persentase
kepositifan tes kulit plasma autolog lebih besar daripada tes kulit serum autolog
(86% vs 53%) pada pasien urtikaria kronis.5 Pada plasma darah masih terdapat
faktor-faktor pembekuan darah, sedangkan pada serum faktor pembekuan darah
sudah dihilangkan. Pada penelitian lainnya, Asero dkk. (2007) mendapatkan
peningkatan faktor VII, D-dimer, dan protrombin fragmen 1 dan 2 pada pasien
urtikaria kronis. Peningkatan protrombin fragmen 1 dan 2 mengindikasikan
aktivasi protrombin menjadi trombin, yang selanjutnya mengubah fibrinogen
menjadi fibrin. Fibrin yang terbentuk akan didegradasi oleh plasmin menjadi
produk degradasinya berupa D-dimer. Penelitian tersebut menyimpulkan terdapat
keterlibatan jalur koagulasi ekstrinsik pada urtikaria kronis.6
Universitas Indonesia
XII VII
HMWK
++
KONTAK Kal Ca
TROMBOPLASTIN
XIIa
JARINGAN
HMWK
XIIa
XI
VIIa
IX IXa
PF3
VIII
++
Ca
JALUR BERSAMA
X Xa
V
PF3
++
Ca
FIBRINOGEN
PROTROMBIN TROMBIN
FIBRIN
PLASMIN
FIBRIN DEGRADATION
PRODUCT (D-DIMER)
_____________________________________
#
dikutip sesuai aslinya dari kepustakaan no. 33
Universitas Indonesia
Produksi trombin diakselerasi oleh tissue factor di dermis. Tissue factor, yang
diinduksi oleh zat-zat kimia, mikroba, atau stres, diduga dapat mengaktifkan jalur
koagulasi pada urtikaria.11 Cugno dkk. (2009) menunjukkan bahwa eosinofil
merupakan sumber utama tissue factor pada lesi urtikaria kronis.12 Selain trombin,
juga dilaporkan adanya peranan plasmin pada lesi urtikaria kronis. Plasmin dapat
mengaktifkan sel mast, sehingga mengeluarkan histamin dan terjadi urtikaria.13,14
URTIKARIA
D-dimer
_____________________________________________
* Dikutip dengan perubahan dari kepustakaan no.12 dan 35
Universitas Indonesia
Eosinofil mengandung granul toksik yaitu major basic protein (MBP) dapat
menyebabkan degranulasi sel mast. Sel mast, merupakan sel yang penting dalam
patogenesis urtikaria kronis menghasilkan GM-CSF (granulocyte-macrophage
colony-stimulating factor) dan PAF (platelet-activating factor). Kedua faktor ini
yang akan menstimulasi eosinofil, menginduksi translokasi tissue factor ke
membran sitoplasma, yang selanjutnya dapat mengaktifkan jalur koagulasi.(lihat
Bagan.2.2.4.2)35
Pada penelitian Takahagi dkk. (2010) didapatkan peningkatan kadar D-dimer pada
35% pasien urtikaria kronis yang menjadi subjek penelitian. Peningkatan kadar
D-dimer menunjukkan adanya proses fibrinolis pada pasien urtikaria kronis.36
Triwongwaranat dkk. (2013) meneliti 120 pasien urtikaria kronis, didapatkan hasil
peningkatan D-dimer pada 48,3% subjek penelitian, dan peningkatan D-dimer ini
berkorelasi dengan derajat keparahan urtikaria kronis.17
Penelitian Asero dkk. (2010) didapatkan hasil pada pasien urtikaria kronis dengan
peningkatan D-dimer, mengalami urtikaria kronis yang lebih berat.18,37 Pasien
urtikaria kronis dengan peningkatan D-dimer didapatkan kurang berespons
dengan terapi antihistamin, namun menunjukkan respons perbaikan dengan
pengobatan heparin dan asam traneksamat.18
Asero dkk. (2013) meneliti 91 pasien urtikaria kronis, dan mendapatkan kadar
D-dimer meningkat pada 88% subjek penelitian yang tidak memberikan respon
terhadap terapi cetirizin dengan dosis 10-30mg/hari selama 7-14 hari. Penelitian
ini menyimpulkan, bahwa pemeriksaan D-dimer plasma dapat menjadi penanda
prognostik keparahan urtikaria kronis dan dapat pula menjadi prediktor terhadap
respons terapi antihistamin.38 Parslew dkk. (2000) melakukan penelitian terhadap
8 pasien urtikaria kronis yang tidak berespon terhadap terapi antihistamin, 6 dari 8
pasien tersebut memberikan perbaikan yang nyata dengan terapi warfarin oral.39
Universitas Indonesia
2.3. D-dimer
2.3.1. Definisi
D-dimer adalah produk akhir degenerasi cross-linked fibrin oleh aktivitas kerja
plasmin dalam sistem fibrinolitik. Sejak 1980, tes D-dimer digunakan untuk
pemeriksaan trombosis. Hasil pemeriksaan yang lebih tinggi dari normal
menunjukkan terdapat trombus, namun tidak menunjukkan lokasi kelainan dan
menyingkirkan berbagai penyebab.33
Dalam proses pembentukan bekuan darah normal, bekuan fibrin terbentuk pada
tahap terakhir proses koagulasi. Fibrin dihasilkan oleh aktivitas trombin yang
memecah fibrinogen menjadi fibrin monomer. Fibrinogen adalah glikoprotein
dengan formula Aα, Bβ, dan γ. Terdiri atas 3 pasang rantai polipeptida yang tidak
identik dan saling beranyaman yaitu 2 rantai Aα, 2 Bβ, dan 2γ. Molekul
fibrinogen adalah dimer yang diikat oleh ikatan disulfida di bagian terminal end.
Pasangan rantai Aα dan Bβ memiliki fibinopolipeptida berukuran kecil di bagian
terminal yang disebut sebagai fibrinopolipeptida A dan B.33
Proses perubahan fibrinogen menjadi fibrin terdiri atas 3 tahap, yaitu tahap
enzimatik, polimerisasi dan stabilisasi. Pada tahap enzimatik, 2 molekul
fibrinopeptida A dan 2 molekul fibrinopeptida B dipecah dan fibrinogen diubah
oleh trombin menjadi monomer fibrin yang larut. Tahap polimerisasi,
fibrinopolipeptida A dilepas yang akan menimbulkan agregasi side to side disusul
dengan penglepasan fibrinopeptida B yang mengadakan kontak dengan unit-unit
monomer dengan lebih kuat dan membentuk bekuan yang tidak stabil. Tahap
selanjutnya adalah stabilisasi dengan penambahan trombin, faktor XIIIa dan ion
kalsium (Ca2+) sehingga terbentuk unsoluble fibrin yang stabil.33,40
Trombin menyebabkan aktivasi faktor XIII menjadi XIIIa yang berperan sebagai
transamidinase. Faktor XIIIa menyebabkan ikatan silang (cross-linked) fibrin
monomer yang saling berdekatan dengan membentuk ikatan kovalen yang stabil
Universitas Indonesia
(fibrin mesh). Rantai α dan γ berperan dalam pembentukan unsoluble fibrin yang
stabil.40-41
Plasminogen yang secara normal terdapat dalam plasma akan diserap oleh fibrin.
Saat di dalam fibrin, plasminogen diubah oleh tissue-plasminogen activator (tPA)
menjadi plasmin.41 Plasmin merupakan enzim fibrinolitik utama yang berfungsi
memecah fibrinogen menjadi fibrin yang menghasilkan bermacam-macam produk
degenerasi fibrin (fibrin degradation product / FDP). Jika plasmin melisiskan
unsoluble fibrin, maka akan meningkatkan jumlah produk degradasi fibrin yang
terlarut.42 Fibrin degradation product (FDP) yang dihasilkan berupa fragmen X,
Y, D dan E. Dua fragmen D dan satu fragmen E akan berikatan dengan kuat
membentuk D-dimer.40
Universitas Indonesia
Metode ELISA sebagai baku emas pemeriksaan kadar D-dimer. Antibodi dengan
afinitas tinggi terhadap D-dimer dilapiskan pada dinding atau microliter well dan
mengikat protein dalam plasma. Metode ini memiliki sensitivitas yang tinggi,
namun, memiliki beberapa kelemahan yaitu membutuhkan biaya yang lebih mahal
untuk reagennya dan waktu pemeriksaan yang lebih lama sekitar 2,5 jam.48
Metode ELISA banyak digunakan pada penelitian, dan metode ELISA ini
dikembangkan metode lain dengan instrumen yang berbeda, yaitu menggunakan
fluoresen, sehingga pemeriksaan lebih cepat dan sensitifitas sama dengan ELISA.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Eosinofil Fibrinogen
Zat kimia, stress, Tissue
mikroba Factor di
dermis
Fibrin
Trombin
Histamin peningkatan
permeabilitas vaskular
URTIKARIA KRONIS
Lama sakit D-DIMER
Derajat keparahan urtikaria:
- Ringan
- Sedang
- Berat
Disseminated intravascular
Autoimun coagulation
Idiopatik Deep vein thrombosis
Pseudoalergi Pulmonary embolism
Berhubungan dengan Venous and arterial thrombosis
infeksi Penyakit jantung koroner
Vaskulitis Antikoagulan
fisis Kehamilan
Usia lanjut
Rheumatoid arthritis
Hemolisis
Universitas Indonesia
URTIKARIA KRONIS
Lama sakit
Derajat keparahan urtikaria
Kadar D-dimer - Ringan
- Sedang
- Berat
Universitas Indonesia
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei 2014 sampai September 2014.
Subjek penelitian (SP) adalah bagian populasi yang terpilih berdasarkan kriteria
penerimaan dan kriteria penolakan.
19 Universitas Indonesia
( )
[ ]
[( ) ( )]
Universitas Indonesia
( )
[ ]
[( ) ( )]
Keterangan :
Universitas Indonesia
d. Kapas alkohol
e. Alat sentrifugasi
f. Sarung tangan karet
g. Pipet 50 µL
h. Alat untuk pemeriksaan kadar D-dimer dengan metode imunofiltrasi, terdiri
atas Nycocard D-dimer dan Nycocard Reader II
Pengumpulan bahan:
Pada area lipat siku dilakukan pengusapan dengan kapas alkohol. Kemudian darah
vena diambil menggunakan tabung vakum sebanyak 5cc dengan perbandingan
sehingga Na citrat : darah vena = 1:9. Darah dikirim ke laboratorium Patologi
Klinik RSCM Jakarta maksimal dalam 4 jam.
Langkah pemeriksaan:
a. Darah disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 2000 rpm lalu diambil
bagian plasma
b. Ditambahkan 50 µL washing solution ke dalam lubang tes, dan dibiarkan
meresap
c. Ditambahkan 50 µL plasma ke dalam lubang tes, dan dibiarkan meresap
d. Conjugate dikocok, lalu ditambahkan 50 µL ke dalam lubang tes, dibiarkan
meresap
e. Ditambahkan 50 µL washing solution ke dalam lubang tes, dan dibiarkan
meresap
f. Hasil dibaca dengan menggunakan Nycocard Reader II
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
6 Lama sakit lama waktu urtikaria kronis telah dialami, yang Anamnesis Numerik (minggu)
dihitung berdasarkan pertama kali gejala muncul
sampai saat penelitian
7. Kadar Konsentrasi D-dimer dalam plasma Nycocard D- - Numerik
D-dimer dimer dan - Kategorik
plasma Nycocard
Reader II Normal: < 300 µg/L
dengan Meningkat: ≥300 µg/L
metode
immunometric
flow-through
Analisis akan dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap deskriptif dan inferensial.
Pada tahap analisis deskriptif, maka setiap variabel akan dijelaskan sesuai dengan
jenis datanya. Data numerik akan dinilai sebarannya dengan menggunakan uji
Skewness dengan batasan p> 0,05 untuk sebaran normal. Apabila sebaran data
normal akan ditampilkan rata-rata dan simpang baku. Untuk data numerik sebaran
tidak normal akan ditampilkan median, minimum dan maksimumnya. Data
kategorikal akan ditampilkan dalam bentuk tabel frekuensi dan persentase. Pada
tahap analitik/inferens akan dilakukan analisis korelasi antara kedua variabel
numerik, yaitu korelasi antara kadar D-dimer plasma dengan lama sakit dan
derajat keparahan penyakit akan dianalisis untuk mendapatkan koefisien korelasi
Pearson (jika sebaran data normal) atau Spearman (jika sebaran data tidak
normal). Korelasi dinyatakan dengan nilai r. Korelasi kuat apabila nilai r = 0,7-
1,0; korelasi sedang r = 0,3-0,69; dan korelasi lemah r =0-0,29.
Universitas Indonesia
Pasien urtikaria
Anamnesis
Pemeriksaan fisis
Bukan urtikaria
Urtikaria kronis
kronis
Seleksi :
Kriteria penerimaan
Kriteria penolakan
Penatalaksanaan urtikaria
kronis
Pengolahan data
dan analisis statistik
Universitas Indonesia
Pada penelitian ini ditemukan distribusi usia tidak normal, didapatkan nilai tengah
usia SP adalah 32,5 tahun, usia termuda adalah 18 tahun dan paling tua 59 tahun.
Urtikaria kronis dapat terjadi pada berbagai usia, terutama pada kelompok usia
antara 20-40 tahun.23 Penelitian Mlynek dkk. (2008), mendapatkan usia rerata
43,7 (simpang baku 15,4) tahun dari 111 pasien urtikaria kronis, dengan rentang
usia 18-83 tahun.28 Penelitian Nizam dkk. (2004), dari 81 pasien urtikaria kronis,
didapatkan usia rerata SP adalah 36,5 (simpang baku 12,78) tahun, dengan
rentang usia 15-69 tahun.54 Pada penelitian ini dipilih rentang usia SP antara 18-
59 tahun. Sesuai dengan kriteria penerimaan, anak-anak tidak dimasukkan dalam
penelitian ini karena urtikaria kronis jarang terjadi pada anak-anak dan
pengambilan darah lebih sulit dilakukan pada anak-anak. Pasien geriatri juga
tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena kadar D-dimer meningkat pada usia
lanjut, hal ini disebabkan karena pembuluh darah mengalami penurunan elastisitas
dan ditambah dengan timbunan lemak serta proses degeneratif pada usia lanjut
26 Universitas Indonesia
Subjek penelitian perempuan pada penelitian ini berjumlah 15 orang (50%), dan
SP laki-laki juga berjumlah 15 orang (50%). Hasil penelitian ini berbeda dengan
penelitian Triwongwaranat dkk. (2013), SP perempuan sebanyak 90 orang (75%)
17
dan SP laki-laki sebanyak 30 orang (25%). Pada penelitian Zhu, dkk. (2012)
dari 20 pasien urtikaria kronis didapatkan 55% SP laki-laki dan 45% SP
perempuan. 27
Nilai tengah lama sakit pada penelitian ini adalah 24 minggu, dengan lama sakit
terpanjang adalah 156 minggu dan lama sakit tersingkat 7 minggu. Penelitian
Zajac, dkk (2014), mendapatkan rerata lama sakit dari 66 pasien urtikaria kronis
adalah 48 minggu, dengan rentang lama sakit 16-208 minggu.57 Urtikaria kronis
dapat terjadi selama 1-5 tahun, dan bisa lebih lama pada kasus yang lebih parah.
Sekitar 50% pasien urtikaria kronis mengalami masa bebas lesi dalam 1 tahun dan
< 5% yang mengalami urtikaria lebih dari 10 tahun.23 Beberapa faktor yang dapat
memengaruhi lama sakit urtikaria kronis antara lain, terdapat angioedema, hasil
tes serum autolog dan antibodi antitiroid yang positif.58 Pada penelitian ini ketiga
faktor di atas tidak dinilai. Kelemahan penilaian lama sakit pada penelitian ini
adalah lama sakit hanya berdasarkan ingatan pasien, sehingga ada kemungkinan
terjadi bias.
Metode baku emas untuk menilai derajat keparahan urtikaria adalah urticaria
activity score (UAS). Urticaria activity score merupakan instrumen kuantitatif
Universitas Indonesia
Derajat keparahan pada penelitian ini yang paling banyak adalah derajat ringan
(43,3%), diikuti oleh derajat sedang (33,3%), dan derajat berat (23,3%). Hasil ini
hanya sedikit berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Triwongwaranat dkk.
(2013) yang mendapatkan derajat keparahan urtikaria kronis yang terbanyak
adalah derajat ringan (52,5%), diikuti derajat sedang (30,8%), dan derajat berat
(16,7%).17
Universitas Indonesia
subjektif berdasarkan gejala yang dirasakan pasien seperti dalam penilaian skor
gatal.
Sebagai data tambahan pada penelitian ini didapatkan faktor yang diduga sebagai
pencetus urtikaria kronis yaitu gigi berlubang 17 SP (56,7%), tekanan pada kulit
sebanyak 5 SP (16,7%), infeksi tenggorokan berulang 2 SP (6,7%), dan sebanyak
6 SP (19,9%) tidak ditemukan faktor pencetus. Hasil ini berbeda dengan
penelitian Brzewski, dkk. (2013) di Polandia, yang hanya menemukan infeksi gigi
sebagai pencetus pada 10,7% SP,59 hal ini dapat disebabkan oleh kebersihan gigi
yang lebih baik pada SP dari negara maju dibandingkan dari negara berkembang.
Pada penelitian ini, pasien dengan faktor pencetus gigi berlubang dikonsulkan ke
Departemen Gigi dan Mulut RSCM dan pasien dengan keluhan infeksi
tenggorokan berulang dikonsulkan ke Departemen Telinga Hidung dan
Tenggorokan (THT) RSCM untuk penanganan lebih lanjut. Mekanisme pasti
peran infeksi dalam mencetuskan urtikaria kronis masih belum diketahui, namun
beberapa penelitian melaporkan adanya hubungan antara urtikaria kronis dengan
infeksi gigi dan THT.60,61
Penentuan batas nilai normal kadar D-dimer berbeda-beda tergantung pada alat
yang digunakan untuk mengukur kadar D-dimer. Nilai batas normal kadar
Universitas Indonesia
D-dimer berbeda pada kedua penelitian ini. Perbedaan ini disebabkan karena
penggunaan antibodi monoklonal yang bervariasi.62
Sepengetahuan peneliti, belum ada penelitian lain yang mengukur kadar D-dimer
pasien urtikaria kronis menggunakan metode immunometric flow-through
( imunofiltrasi ). Peneliti memilih menggunakan metode immunometric flow-
through ( imunofiltrasi ) karena metode tersebut yang tersedia di laboratorium
Patologi Klinik RSCM, Jakarta.
Metode ELISA dianggap sebagai baku emas pemeriksaan D-dimer. Metode ELFA
yang digunakan pada penelitian Triwongwaranat, dkk. merupakan bagian dari
metode ELISA yang hasilnya dibaca dengan fluoresen. Metode ini memiliki
sensitivitas 93-100%, namun memiliki kelemahan, yaitu memerlukan waktu
pemeriksaan yang lebih lama karena memerlukan waktu untuk inkubasi reagen
dengan plasma darah, dan biaya yang lebih mahal. Metode immunometric flow-
through (imunofiltrasi) yang dipakai pada penelitian ini memiliki beberapa
kelebihan, yaitu hasil yang cepat dalam waktu 2 menit, biaya yang relatif lebih
murah, pengerjaan yang cukup mudah, dan sensitivitas sebanding dengan ELISA
(sensitivitas 93-100%).50-52
Pada penelitian ini terdapat 5 SP (16,67%) dengan kadar D-dimer yang meningkat
tanpa penyakit penyerta yang dapat memengaruhi kadar D-dimer, seperti DIC,
DVT, PE, penyakit jantung koroner dan lainnya. Penilaian penyakit penyerta
berdasarkan anamnesis dan catatan rekam medis pasien. Pada penelitian Asero,
dkk. (2010) terdapat peningkatan kadar D-dimer pada 14 dari 68 SP (20%),18
sedangkan pada penelitian Triwongwaranat dkk. (2013) terdapat peningkatan
kadar D-dimer pada 58 dari 120 SP (48,3%).17 Peneliti memikirkan bahwa
peningkatan kadar D-dimer pada penelitian Asero, dkk. dan Triwongwaranat dkk
lebih tinggi daripada penelitian ini karena SP pada kedua penelitian tersebut ada
yang berusia lanjut. Rentang usia SP pada penelitian Asero dkk. (2010) adalah
14-84 tahun,18 dan rentang usia SP pada penelitian Triwongwaranat dkk (2013)
adalah 16-73 tahun.17 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada usia lanjut
kadar D-dimer dapat meningkat, hal ini disebabkan karena elasitas pembuluh
Universitas Indonesia
darah sudah berkurang dan ditambah dengan timbunan lemak serta proses
degeneratif.55
Hasil penelitian menunjukkan korelasi positif kuat yang bermakna antara kadar
D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis (r = 0,8; p = 0,0000) sehingga
hipotesis penelitian ini diterima, berarti semakin tinggi kadar D-dimer, semakin
berat derajat keparahan penyakit urtikaria kronis. Hasil penelitian ini hampir sama
dengan penelitian Asero dkk. (2011), yang mendapatkan korelasi positif kuat yang
bermakna secara statistik antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria
kronis (r = 0,704, p = 0,02).63 Namun hasil penelitian ini berbeda dengan
penelitian Triwongwaranat dkk. (2013), yang mendapatkan korelasi positif sedang
yang bermakna antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis
(r = 0,537, p < 0,05).17
5
4
S
K
3
o
r
2
1
Universitas Indonesia
Pada penelitian ini, dari 7 SP (23,3%) urtikaria kronis dengan derajat keparahan
berat, 5 SP (71,4%) di antaranya terdapat peningkatan kadar D-dimer. Nilai
tengah kadar D-dimer pada SP derajat berat adalah 400 µg/L, dengan nilai
terendah 400 µg/L, dan nilai tertinggi 1700 µg/L.
Sampai saat ini masih belum jelas mekanisme aktivasi jalur pembekuan darah
pada urtikaria kronis merupakan mekanisme primer atau sekunder akibat
pengaruh dari komplemen, histamin, triptase dan sitokin lainnya yang
mengaktifkan jalur koagulasi ekstrinsik melalui ekspresi tissue factor, sehingga
trombin yang dihasilkan merupakan pemeran akhir yang memperparah
peningkatan permeabilitas kapiler.5 D-dimer merupakan produk degradasi fibrin.
Pembentukan fibrin mengaktifkan reaksi proteolitik sehingga plasminogen
berubah menjadi plasmin untuk mencegah koagulasi darah yang berlebihan.
Fibrinolisis terlibat dalam patogenesis urtikaria karena plasmin diikat oleh C1,
selanjutnya mengaktifkan kaskade komplemen untuk menghasilkan anafilatoksin,
yaitu zat yang sangat poten meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga
terbentuklah edema pada urtikaria.64
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
48,3% SP, namun penelitian ini tidak menilai korelasi antara peningkatan kadar
D-dimer dengan lama sakit.17
150
m
100
i
n
g
50
g
u
0
-50
Pada penelitian ini, nilai tengah lama sakit pada 5 SP yang mengalami
peningkatan kadar D-dimer adalah 24 minggu dengan lama sakit tersingkat 8
minggu dan lama sakit terpanjang 48 minggu. Nilai tengah lama sakit pada SP
yang tidak mengalami peningkatan kadar D-dimer juga 24 minggu, dengan lama
sakit tersingkat 8 minggu dan terpanjang 156 minggu. Tidak terdapat perbedaan
lama sakit yang bermakna secara statistik pada SP dengan peningkatan kadar
D-dimer dibandingkan dengan SP yang tidak mengalami peningkatan kadar D-
dimer, p=0,992.
Penelitian Filardi dkk. (2013), yang merupakan telaah sistematis dari 3 penelitian,
dapat disimpulkan bahwa lama sakit urtikaria kronis berkorelasi dengan derajat
keparahan penyakit.65 Pada penelitian ini didapatkan keparahan penyakit
berkorelasi dengan kadar D-dimer, sehingga dipikirkan bahwa lama sakit juga
berkorelasi dengan kadar D-dimer, namun pada penelitian ini hanya didapatkan
korelasi lemah dan tidak bermakna secara statistik. Peneliti memikirkan hal ini
dapat terjadi karena lama sakit urtikaria kronis juga dapat dipengaruhi oleh
Universitas Indonesia
berbagai faktor lain seperti angioedema yang menyertai, hasil tes serum autolog
dan antibodi antitiroid yang positif.58
Pada penelitian Toubi dkk. (2004) yang meneliti 139 pasien urtikaria kronis,
setelah diikuti selama 6 bulan, terdapat 94% SP masih mengalami urtikaria. Pada
bulan ke 12, sebanyak 75% SP masih mengalami urtikaria. Pada bulan ke 24,
masih terdapat 52% SP yang masih didiagnosis urtikaria kronis. Setelah diikuti
selama 36 bulan, terdapat 43% pasien yang masih mengalami urtikaria, dan pada
akhir studi setelah 60 bulan, terdapat 14% SP yang masih terdapat lesi urtikaria.
Pada penelitian Toubi dkk. dinilai hubungan lama sakit urtikaria kronis dengan
adanya angioedema yang menyertai, hubungan lama sakit dengan uji serum
autolog dan hasil tes darah antibodi antitiroid. Didapatkan hasil 40% pasien yang
mengalami angioedema bersamaan dengan urtikaria (minimal 3 kali dalam 1
bulan). Pada tindak lanjut 24 bulan, 64% dari SP yang positif angioedema masih
mengalami urtikaria, sedangkan pada SP yang tidak angioedema 43% yang masih
mengalami urtikaria. Pada akhir penelitian di bulan ke 60, terdapat 45% SP yang
positif angioedema yang masih mengalami urtikaria, sedangkan pada SP yang
tidak ada angioedema hanya 12%, dengan p= 0,002. Pada penilaian hubungan
lama sakit dengan hasil uji serum autolog, didapatkan 28% SP yang positif hasil
uji serum autolog dan terdapat hubungan yang bermakna secara statistik dengan
p=0,004. Pada tindak lanjut 24 bulan, masih didapatkan urtikaria pada 78% SP
dengan uji serum autolog yang positif dan hanya 43% pada SP dengan hasil uji
serum autolog yang negatif. Pada penilitian Toubi dkk. ini juga didapatkan
hubungan antara lama sakit dan hasil tes darah antibodi antitiroid yang bermakna
secara statistik (p= 0,002). Didapatkan 12% SP yang hasil tes darah antibodi
antitiroid yang positif, dan pada akhir penelitian didapatkan 52% SP dengan hasil
tes darah antibodi antitiroid yang positif masih mengalami urtikaria, sedangankan
pada SP yang hasil tes darah antibodi antitiroid yang negatif, hanya 16% SP yang
masih mengalami urtikaria.58
Penilaian lama sakit pada penelitian ini belum dapat menggambarkan lama sakit
yang sesungguhnya, sehingga perlu dipertimbangkan penelitian untuk menilai
Universitas Indonesia
lama sakit seperti pada penelitian Toubi dkk. (2004) yang mengikuti SP sampai
beberapa tahun tertentu.
Universitas Indonesia
5.1 IKHTISAR
Urtikaria adalah lesi kulit berupa edema intrakutan lokalisata yang dikelilingi oleh
area kemerahan (eritema) dan terasa gatal. Lesi kulit dapat menetap 30 menit
hingga 36 jam. Lesi dapat berukuran kecil hanya beberapa milimeter, hingga
berdiameter 15-20 cm. Pada urtikaria terjadi pelebaran pembuluh darah dan
peningkatan permeabilitas vaskular di dermis superfisial dan melibatkan pleksus
vena pada daerah tersebut.1
Urtikaria merupakan penyakit yang cukup sering dijumpai dalam praktek sehari-
hari. Usia, ras, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi geografik, dan musim dapat
menjadi faktor predisposisi urtikaria. Urtikaria sering terjadi pada kelompok usia
0-9 tahun dan 30-40 tahun. Dilaporkan di Inggris, 15% - 20% pelajar pernah
mengalami urtikaria.1 Pada tahun 2012, kasus baru urtikaria kronis sebanyak 225
(62%) dari total kasus urtikaria di Poliklinik Alergi Imunologi Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.2
Kasus urtikaria dianggap kronis apabila muncul hampir setiap hari atau paling
kurang dua kali dalam seminggu selama 6 minggu berturut-turut atau lebih.
Sebagian besar penyebab pasti urtikaria kronis masih belum banyak diketahui,
namun terdapat beberapa studi yang menunjukkan keterlibatan jalur pembekuan
darah dalam patogenesis urtikaria kronis. Penelitian Asero dkk. (2006) didapatkan
persentase kepositifan tes kulit plasma autolog lebih besar daripada tes kulit serum
autolog (86% vs 53%) pada pasien urtikaria kronis.5 Pada penelitian lain oleh
Asero dkk. (2007) didapatkan peningkatan faktor VII, D-dimer, dan protrombin
fragmen 1 dan 2. Peningkatan protrombin fragmen 1 dan 2 menunjukkan aktivasi
protrombin menjadi trombin, yang selanjutnya mengubah fibrinogen menjadi
fibrin. Fibrin yang terbentuk akan didegradasi oleh plasmin menjadi produk
degradasinya berupa D-dimer.6
37 Universitas Indonesia
Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan potong lintang yang
bertujuan untuk mengetahui rerata kadar D-dimer pada pasien urtikaria kronis dan
mengetahui korelasi antara kadar D-dimer dengan derajat keparahan dan lama
sakit pasien urtikaria kronis.
Subjek penelitian terdiri atas 30 pasien urtikaria kronis laki-laki dan perempuan
berusia 18-59 tahun yang dikumpulkan dengan consecutive sampling, sejak bulan
Juni hingga bulan Agustus 2014 di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSCM, Jakarta. Subjek yang diikutsertakan pada penelitian sudah melalui seleksi
berdasarkan kriteria penerimaan dan kriteria penolakan. Pada seluruh subjek
dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, penghitungan skor aktivitas urtikaria,
penilaian derajat keparahan urtikaria, serta pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan kadar D-dimer serum di laboratorium Patologi Klinik RSCM,
Jakarta.
Nilai tengah usia SP adalah 32,5 tahun. Usia SP paling muda adalah 18
tahun dan paling tua 59 tahun. Pendidikan SP paling banyak adalah
tingkat pendidikan menengah (60%), diikuti oleh Pendidikan Tinggi
(40%). Nilai tengah lama sakit pada penelitian ini adalah 24 minggu.
Lama sakit terpanjang adalah 156 minggu dan lama sakit tersingkat 7
minggu.
Universitas Indonesia
5.2 KESIMPULAN
1. Nilai tengah kadar D-dimer pada 30 SP adalah 100 µg/L. Nilai D-dimer
terendah pada penelitian ini adalah 100 µg/L, dan nilai tertinggi 1700 µg/L,
sehingga hipotesis 1 ditolak.
2. Terdapat korelasi positif kuat yang bermakna secara statistik antara kadar
D-dimer dengan derajat keparahan urtikaria kronis, sehingga hipotesis 2
diterima.
3. Terdapat korelasi positif lemah yang tidak bermakna secara statistik antara
kadar D-dimer dengan lama sakit pasien urtikaria kronis, sehingga hipotesis
3 ditolak.
5.3 SARAN
1. Dilakukan penelitian selanjutnya mengenai hubungan kadar D-dimer
dengan efektivitas terapi antihistamin.
2. Dilakukan penelitian selanjutnya mengenai terapi antikoagulan pada
pasien urtikaria kronis dengan peningkatan kadar D-dimer.
3. Dilakukan penelitian selanjutnya untuk mencari faktor-faktor lain yang
mempengaruhi lama sakit dan pasien diikuti untuk menilai lama sakit yang
sesungguhnya.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan AP. Urticaria and angioedema. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, penyunting. Fitzpatrick’s
dermatology in general medicine. Edisi ke 8. New York:The McGraw-Hill
companies; 2012. h. 414-30.
2. Data morbiditas Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM tahun
2012. (tidak dipublikasi)
3. Khan DA. Chronic urticaria: Diagnosis and management. Allergy Asthma
Proc. 2008; 29: 439-46.
4. Grattan CEH, Sabroe RA, Greaves MW. Chronic urticaria. J Am Acad
Dermatol. 2002; 46: 645-57.
5. Asero R, Tedeschi A, Riboldi P, Cugno M. Plasma of patients with chronic
urticaria shows signs of thrombin generation, and its intradermal injection
causes wheal-and-flare reaction much more frequently than autologous
serum. J Allergy Clin Immunol. 2006; 117: 1113-7.
6. Asero R, Tedeschi A, Coppola R, Griffini S, Paparella P, Riboldi P, et al.
Activation of tissue factor pathway of blood coagulation in patients with
chronic urticaria. J Allergy Clin Immunol. 2007; 119: 705-10.
7. Vliagoftis H. Thrombin induces mast cell adhesion to fibronectin : Evidence
for involvement of protease-activated receptor-1. J of Immunol.2002; 169:
4551-8.
8. Nobe K, Sone T, Paul RJ, Honda K. Thrombin-induced force development in
vascular endothelial cells: contribution to alteration of permeability mediated
by calcium-dependent and –independent pathway. J Pharmacol Sci. 2005; 99:
252-63.
9. Lang MH, Sarma JV, Zetoune FS, Rittirsch D, Neff TA, McGuire SR,
Lambris JD, et al. Generation of C5a in the absence of C3: a new
complement activation pathway. Nature Med. 2005; 12: 682-7.
10. Asero R, Riboldi P, Tedeschi A, Cugno M, Meroni P. Chronic urticaria: A
disease at a crossroad between autoimmunity and coagulation. Autoimmunity
Rev. 2007; 7: 71-6.
11. Asero R, Tedeschi A, Cugno M. Markers of autoreactivity, coagulation and
angiogenesis in patients with nonallergic asthma. Allergy. 2011; 66: 1339-44.
12. Cugno M, Marzano AV, Tedeschi A, Fanoni D, Venegoni L, Asero R.
Expression of tissue factor by eosinophils in patients with chronic urticaria.
Int Arch Allergy Immunol. 2009; 148: 170-4.
13. Katayama I, Matsui S, Murota H. Platelet cctivation as a possible indicator of
disease activity in chronic urticaria: Link with blood coagulation and mast
cell degranulation. J Clin Exp Dermatol Res. 2013; 4: 1-6.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
29. Mathias SD, Crosby RD, Zazzali JL, Maurer M, Saini SS. Evaluating the
minimally important difference of the urticaria activity score and other
measures of disease activity in patients with urticaria. Ann Allergy Asthma
Immunol. 2012; 108: 20-4.
30. Maurer M, Magerl M, Metz M, Zuberbier T. Revisions to the international
guidelines on the diagnosis and therapy of chronic urticaria. JDDG. 2013.
971-7.
31. Schoepke N, Doumoulakis G, Maurer M. Diagnosis of urticaria. Indian J
Dermatol.2013; 58: 211-8.
32. Zuberbier T, Asero R, Jensen BC. EAACI/GA²LEN/EDF/WAO Guidelines :
definition, classification, and diagnosis of urticaria. Allergy. 2009; 64: 1417-
26.
33. Setiabudy RD, Silman E. Patofisiologi DIC dan fibrinolisis. Dalam:
Setiabudy RD, penyunting. Hemostasis dan trombosis. Edisi ke 5. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012; h. 110-21.
34. Mlynek A, Maurer M, Zalewska A. Update on chronic urticaria: Focusing on
mechanism. Allergy Clin Immunol. 2008; 8: 433-7.
35. Criado PR, Antinori LCL, Maruta CW, Reis VMS. Evaluation of D-dimer
serum levels among patients with chronic urticaria, psoriasis and urticarial
vasculitis. An Bras Dermatol. 2013; 88: 355-60.
36. Takahagi S, Mihara S, Iwamoto K, Morioke S, Okabe T, Kameyoshi Y, Hide
M. Coagulation/fibrinolysis and inflammation markers are associated with
disease activity in patients with chronic urticaria. Allergy. 2010; 65: 649-56.
37. Asero R, Tedeschi A, Riboldi P, Griffini S, Bonanni E, Cugno M. Severe
chronic urticaria is associated with elevated plasma levels of D-dimer.
Allergy. 2008; 63: 176-80.
38. Asero R. D-dimer: A biomarker for antihistamin-resistant chronic urticaria. J
Allergy Clin Immunol. 2013;132: 1-3.
39. Parslew R, Pryce D, Ashworth J, Friedmann PS. Warfarin treatment of
chronic idiopathic urticaria and angio-edema. Clin Exp Allergy. 2000;30:
1161-5.
40. Ziedins K, Orfeo T, Jenny NS, Everse SJ, Mann KG. Blood coagulation and
fibrinolysis. Dalam: Greer JP, Foerster J, Lubens JN, penyunting. Wintrobe’s
clinical hematology. Edisi ke 11. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. 2003; h. 724-8.
41. Bachmann F. Plasminogen-plasmin enzyme system. Dalam: Colman RW,
Hirsh J, Marder VJ, penyunting. Hemostasis and thrombosis: Basic principles
and clinical practice. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins. 2001; h.
275-320.
42. Castellone D. Overview of hemostasis and platelet physiology. Dalam: Cielsa
B, penyunting. Hematology in practice. Philadelphia : FA Davis Company.
2007; h. 230-40.
Universitas Indonesia
43. Wintrobe MM, Greer JP, Foerster J, Lukens JN. Clinical hematology. Dalam:
Greer JP, Foerster J, Lubens JN, penyunting. Wintrobe’s clinical hematology.
Edisi ke 11. Phiadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2003; h. 722-32.
44. Adam SS, Key NS, Greenberg CS. D-dimer antigen: Current concept and
future prospect. Blood Journal. 2008; 1-38.
45. D-dimer assays. [Internet]. 2013. [Diunduh 31 Desember 2013]. Tersedia dari
www.pathology.vcu.edu/clinical/coag/D-dimer.pdf
46. Educational commentary D-dimer. [Internet]. 2013. [Diunduh 31 Desember
2013]. Tersedia dari www.api-pt.com/Reference/Commentary/2004Bchem.pdf
47. Bakhsi H, Moghaddam MA, Wu KC, Imami M, Banasiri M. D-dimer as an
applicable test for detection of posttraumatic deep vein thrombosis in lower
limb fracture. Am J Orthop. 2012; 41: 78-80.
48. Mavromatis BH, Kessler CM. D-dimer testing: The role of the clinical
laboratory in the diagnosis of pulmonary embolism. J Clin Pathol. 2001; 54:
664-8.
49. D-dimer testing and acute venous thromboembolism. Institute for transfusion
medicine update. [Internet]. 2000. [Diunduh 22 Desember 2013]. Tersedia dari:
http://www.itmx.org/imu2000/tmu2-2000.htm
50. Rustandi, David. Uji kesahihan (validitas) pemeriksaan D-dimer cara
penyaring kekebalan (metode imunofiltrasi) dan cara mengukur
imunoturbidometri. Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory.
2010; 17: 9-11.
51. Gogstad GO, Dale S, Brosstad F, Brandsnes O, Holtlund J, Mork E, Gartner
T, Borch SM. Assay of D-dimer based on immunofiltration and staining with
gold colloids. Clin Chem. 1993; 39: 2070-6.
52. Adam SS, Key NS, Grenberg CS. D-dimer antigen: current concept and
future prospects. Blood. 2009; 113: 2878-87.
53. Pengukuran D-dimer. [Internet]. 2010. [Diunduh 22 Desember 2013].
Tersedia dari www.labkesehatan.blogspot.com/2010/04/pemeriksaanD-dimer
54. Nizam JR. Kepositivan uji kulit serum autolog metode sabroe pada pasien
urtikaria kronik, distribusi dan gambaran klinisnya. Jakarta; 2004: 27-37.
55. Nwa FT, Bos A, Adjei A, Ershles W, Longo DL, Ferrucci L. Correlates of D-
dimer in older persons. Aging Clin Exp Res. 2010; 22: 20-3.
56. DKI. Data penduduk WNI Provinsi DKI Jakarta berdasarkan pendidikan per
November 2011. Jakarta: 2011.
57. Zajac AK, Grzanka A, Jarzab J, Misiolek M, Chlap MW, Kasperski J,
Machura E. The association between platelet count and acute phase response
in chronic spontaneous urticaria. Biomed Res Int. 2014; 1-6.
58. Toubi E, Kessel A, Avshovich N, Bamberger E, Sabo E, Nusem D, Panasoff
J. Clinical and laboratory parameters in predicting chronic urticaria duration:
a prospective study of 139 patients. Allergy. 2004; 59: 869-73.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
(beri tanda v)
Ya Tidak
(Beri tanda v)
Ya Tidak
Universitas Indonesia
( ) ( ) Sedang hamil
Kesimpulan
(Beri tanda v)
Universitas Indonesia
INFORMASI PENELITIAN
Bapak/Ibu Yth,
Saat ini saya sedang melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara
pembekuan darah dengan lama sakit dan derajat keparahan penyakit. Dilakukan
pemeriksaan kadar D-dimer darah di laboratorium untuk mengetahui adanya
pembekuan darah. Manfaat bagi Bpk/Ibu dengan menjadi subjek dalam penelitian
ini adalah diketahuinya apakah terdapat peningkatan D-dimer atau tidak. Apabila
terjadi peningkatan, maka Bapak/Ibu akan dikonsulkan ke Dokter Penyakit Dalam
untuk dipertimbangkan mendapat terapi yang sesuai misalnya penambahan terapi
anti pembekuan darah.
Pada penelitian ini, setelah wawancara dan pengisian kuesioner, akan dilakukan
pemeriksaan fisis untuk menentukan derajat keparahan urtikaria.
Saya akan mengambil darah Bpk/Ibu sebanyak 5 ml (kira-kira 1 sendok teh) pada
daerah lipat siku dengan menggunakan jarum pengambil darah steril.
Pengambilan darah terkadang menimbulkan rasa nyeri ringan, bengkak, atau
warna kebiruan yang akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari. Bila
terjadi keluhan akibat pengambilan darah pada penelitian ini, maka Bpk/Ibu akan
diberi pengobatan secara gratis. Darah yang telah diambil sebagian akan dikirim
ke laboratorium untuk pengukuran kadar D-dimer.
Universitas Indonesia
Seluruh data dari masing-masing pasien merupakan rahasia dan tidak akan
disebarluaskan. Publikasi akan dilakukan pada akhir penelitian, yang hanya
mencantumkan analisa dan kesimpulan dari berbagai data yang didapat.
Penelitian ini tidak dipungut biaya dan keikutsertaan pada penelitian ini bersifat
sukarela, tanpa ada paksaan. Sekiranya tidak berkenan, Bpk/Ibu dapat menolak
atau sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri tanpa mempengaruhi pelayanan
kesehatan yang diberikan. Bila telah mengerti dan menyetujui, dimohon kesediaan
Bpk/Ibu untuk menandatangani formulir persetujuan. Bila keberatan, Bpk/Ibu
dapat menarik diri setiap saat dari penelitian ini tanpa mendapat sanksi apapun
dan tetap mendapatkan pelayanan dan pengobatan sebagaimana mestinya. Apabila
Bpk/Ibu membutuhkan penjelasan, dapat menanyakan segala hal yang
berhubungan dengan penelitian ini kepada saya, dr.Ridha Rosandi, PPDS
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM, Jakarta, di nomor
telepon 085276701273.
Peneliti
Universitas Indonesia
RSCM NRM :
Nama :
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jenis Kelamin :
Tanggal lahir :
Jl. Diponegoro No.71Jakarta 10430 (Mohondiisiatau tempelkan stiker jika ada)
Telp (021) 3918301 Fax (021)3148991
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Setelah mendengarkan penjelasan pada halaman 1 dan 2 mengenai penelitian yang akan
dilakukan oleh dr. Ridha Rosandi dengan judul Korelasi kadar D-dimer plasma dengan
derajat keparahan dan lama sakit pada pasien urtikaria kronis, informasi tersebut telah
saya pahami dengan baik.
Dengan menandatangani formulir ini saya menyetujui untuk diikutsertakan dalam penelitian
di atas dengan sukarela tanpa paksaan dari pihak manapun. Apabila suatu waktu saya merasa
dirugikan dalam bentuk apapun, Saya berhak membatalkan persetujuan ini.
______________________ __________________
_______________________ __________________
Ket: Tanda tangan saksi/wali diperlukan bila subjek tidak bisa baca tulis, penurunan
kesadaran, mengalami gangguan jiwa.
Universitas Indonesia
Saya telah menjelaskan kepada Subjek secara benar dan jujur mengenai maksud penelitian,
manfaat penelitian, prosedur dan faktor risiko, serta ketidaknyamanan yang mungkin timbul.
Saya juga telah menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait penelitian dengan sebaik-baiknya.
_________________ _______________
Universitas Indonesia
Tanggal pemeriksaan :
4. Nomor telepon :
5. Tempat & tanggal lahir :
6. Usia (tahun) :
7. Tingkat pendidikan :
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
_________________________________________
*dikutip dari kepustakaan no. 32
Universitas Indonesia
keterangan tabel:
A: nomer urut
B: usia (tahun)
C: Tingkat pendidikan : 0 tidak sekolah,
1 pendidikan dasar (TK,SD),
2 pendidikan menengah ( SMP< SMU/SMK),
Universitas Indonesia
3 pendidikan tinggi
D: lama sakit (minggu)
E: skor derajat keparahan penyakit
F: derajat keparahan urtikaria: 1. ringan, 2. sedang, 3. berat
G: kadar D-dimer
Universitas Indonesia