Anda di halaman 1dari 22

PENGERTIAN, PEMBAGIAN,

DAN FUNGSI HADIST

MAKALAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama

Dosen Pengampu Drs. Ikhsan

Disusun Oleh :

1. Khoridatun Nuroniyah
2. Listiani
3. Linda Puspita Nuryuana
4. Milla Tusolichah
5. M. Makfi
6. Maskit

Universitas Ronggolawe Tuban

Program Studi Bahasa Inggris

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan
penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang pengertian, pembagian
dan fungsi Hadist. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu
yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh
kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Makalah ini memuat tentang “Ilmu Hadist” yang menjelaskan tentang pengertian,
pembagian dan fungsi Hadist.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah Agama yang telah
membimbing penyusun agar dapat menyelesaikan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran
dan kritiknya. Terima kasih.

Tuban, 16 November 2010

Penulis

ii
DAFTAR ISI

 Kata Pengantar …………………………………………………………………………………………………. ii


 Daftar isi …………………………………………………………………………………………………………… iii
 BAB I ( PENDAHULUAN )
 A. Latar Belakang …………………………………………………………………………………. 1
 B. Tujuan Pembahasan …………………………………………………………………………. 2
 C. Rumusan Masalah ……………………………………………………………………………. 2
 BAB II ( PEMBAHASAN )
 1. Pengertian Hadist ……………………………………………………………………………… 3
 2. Pembagian hadist Secara Umum ………………………………………………………. 3
 3. Fungsi Hadist …………………………………………………………………………………….. 14
 BAB III ( PENUTUP )
 A. Kesimpulan ……………………………………………………………………………………….. 17
 B. Saran dan Kritik …………………………………………………………………………………. 18
 Daftar Pustaka …………………………………………………………………………………………………. 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Umat Islam mengalami kemajuan pada zaman klasik (650-1250). Dalam sejarah,
puncak kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini telah hidup
ulama besar, yang tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam,
filsafat, tasawuf, sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya. Berdasarkan bukti
histories ini menggambarka bahwa periwayatan dan perkembangan pengetahuan hadits
berjalan seiirng dengan perkembangan pengetahuan lainnya.

Menatap prespektif keilmuan hadis, sungguh pun ajaran hadis telah ikut
mendorong kemajuan umat Islam. Sebab hadits Nabi, sebagaimana halnya Al-Qur’an
telah memerintahkan orang-orang beriman menuntut pengetahuan. Dengan demikian
prespektif keilmuan hadits, justru menyebabkan kemajuan umat Islam. Bahkan suatu
kenyataan yang tidak boleh luput dari perhatian, adalah sebab-sebab dimana al-Qur’an
diturunkan. Dalam dunia pengetahuan tentang agama Islam, sebenarnya benih metode
sosio-historis telah ada pengikutsertaan pengetahuan asbab al nuul (sebab-sebab wahyu
diturunakan) untuk memahami al-Qur’an, dan asbab al-wurud (sebab-sebab hadits
diucapkan) untuk memahami al-Sunnah.

Meskipun asbab al-Nuzul dan asbab al –Wurud terbatas pada peristiwa dan
pertanyaan yang mendahului nuzul (turun) Al-Qur’an dan wurud (disampaikannya)
hadits, tetapi kenyataannya justru tercipta suasana keilmuan pada hadits Nabi SAW. Tak
heran jika pada saat ini muncul berbagai ilmu hadits serta cabang-cabangnya untuk
memahami hadits Nabi, sehingga As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua
dapat dipahami serta diamalkan oleh umat Islam sesuai dengan yang dimaksudkan oleh
Rasulullah.

1
B. TUJUAN PEMBAHASAN

Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah:

1. mengetahui definisi Hadits


2. mengetahui macam-macam hadits serta penjelasannya
3. mengetahui kegunaan mempelajari ilmu-ilmu hadits

C. RUMUSAN MASALAH

Adapun batasan-batasan masalah atau batasan pembahasan makalah ini adalah:

1. Apa definisi ilmu hadits?


2. Apa saja pembagian hadits itu?
3. Apa saja kegunaan mempelajari ilmu hadits

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Hadits

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi
Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits
dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam
hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.

Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya
ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi,
Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.

2. Pembagian Hadits Secara Umum

Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya.
Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah
banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.

A. DARI SEGI JUMLAH PERIWAYATNYA

Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber
berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni
hadits mutawatir dan hadits ahad.

1. Hadits Mutawatir

a. Ta'rif Hadits Mutawatir

Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-
turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:

"Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi,
yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."

3
Artinya:
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat
mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad
hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."

Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan
dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat
manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh
orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara
dusta.

Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini
kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW,
maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus
dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para
perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang
melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera,
misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula
banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.

Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui
bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka
penyampaian itu adalah secara mutawatir.

b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir

Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
(daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar
merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan
yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar
atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir
walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk
berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak
memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan
jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para

4
Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan
ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang
dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan firman Allah:

"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)."
(QS. Al-Anfal: 64).

3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun
thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak
banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir
tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah
berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.

Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu
Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan
sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya
sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab
yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-
Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi
al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).

2. Hadis Ahad

a. Pengertian hadis ahad


Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara laian adalah:

Artinya:
"Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis

5
mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan
seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk
ke dalam hadis mutawatir: "

Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:

Artinya:
"Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."

b. Faedah hadis ahad


Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat'i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis
ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan
sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui
bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis
tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus
kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa "Apakah hadis
tersebut maqbul atau mardud". Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau
mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.

Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa
apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan
maka hadis itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita
takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin
dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan,
kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.

Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil
yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya,
bertawaqquflah kita dahulu.

Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau
hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.

B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIS

Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah
rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-
rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan keadaan matan
yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari
6
hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang
rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis
yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis
yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh
rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi
pendusta.

Artinya :
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami)
pada waktu yang telah kami tentukan."

Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi
cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.

Kata-kata (dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir
sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan
oleh sejumlah rawi mutawatir.

Contoh hadis :

Artinya :
"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya."

Awal hadis tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir.
Maka hadis yang demikian bukan termsuk hadis mutawatir.

Kata-kata (dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti


sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para
sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini". Dengan demikian
mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan
tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni,
seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi
pertimbangan adalah akal bukan berita.

Bila dua hadis memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya
seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari
hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran.

7
Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau
palsunya hadis berasal dari Rasulullah.

Hadis yang tinggi tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf
dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah tingkatannya
berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal
dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadis menentukan tinggi rendahnya
kedudukan hadis sebagai sumber hukum atau sumber Islam.

Para ulama membagi hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan
hadis daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi,
dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi hadis
sahih, hasan, dan daif.

1. Hadis Shahih
Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal dari
Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :

Artinya :
"Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi
ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."

Keterangan lebih luas mengenai hadis sahih diuraikan pada bab tersendiri.

2. Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah
:

8
Artinya :
"yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut
kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi
yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang
lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan."

3. Hadis Daif
Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan
yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW.

Para ulama memberi batasan bagi hadis daif :

Artinya :
"Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak
menghimpun sifat-sifat hadis hasan."

Jadi hadis daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak
memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang
menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari
Rasulullah SAW.

C. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan
dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak
mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang
memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan

9
dengan hal tersebut di atas, hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya
terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.

a. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan
menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:

Artinya:
"Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya."

Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang
temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah:

* Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.


* Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.

Kedua macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun
demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis
yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang
telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn
yangjugaditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.

Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadis
nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh.
Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu
dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang
kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh.

Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua)
yakni hadis maqbulun bihi dan hadis gairu ma'mulin bihi.

1. Hadis maqmulun bihi


Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini
ialah:
a. Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan
b. Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin
dikompromikan dengan mudah
c. Hadis nasih
d. Hadis rajih.

2. Hadis gairo makmulinbihi


Hadis gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-

10
hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
a. Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat
ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
b. Hadis mansuh
c. Hadis marjuh.

B. Hadis Mardud

Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf
Muhaddisin, hadis mardud ialah :

Artinya:
"Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki
keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya
bersamaan."

Ada juga yang menarifkan hadis mardud adalah:

Artinya:
"Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbun."

Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima
hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan
tidak boleh diamalkan (harus ditolak).

Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi daif.

D. DARI SEGI PERKEMBANGAN SANADNYA

1. Hadis Muttasil

11
Hadis muttasil disebutjuga Hadis Mausul.

Artinya:
"Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di
atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu' maupun hadis mauquf."

Kata-kata "hadis yang didengar olehnya" mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan
melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah.
Dalam definisi di atas digunakan kata-kata "yang didengar" karena cara penerimaan
demikian ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan,
sehubungan dengan hadis Mu 'an 'an, bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata
'an dalam menyampaikan hadis yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah
menafikan hadis yang bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.

Contoh Hadis Muttasil Marfu' adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi' dari
Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: "Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana
kepada keluarga dan hartanya"

Contoh hadis mutasil maukuf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' bahwa ia
mendengar Abdullah bin Umar berkata:

Artinya:
"Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali
keharusan membayarnya."

Masing-masing hadis di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya
mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.

12
Adapun hadis Maqtu yakni hadis yang disandarkan kepada tabi'in, bila sanadnya
bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadis maqtu termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi
jumhur mudaddisin berkata, "Hadis maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau muttasil
secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadis
mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan "Hadis ini bersambung sampai
kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya ". Sebagian ulama membolehkan penyebutan
hadis maqtu sebagai hadis mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan
kepada kedua hadis mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu
hadis yang berpangkal pada tabi'in dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadis maqtu'
adalah lawan Hadis mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan
menyadarkannya kepada tabi'in.

2. Hadis Munqati'

Kata Al-Inqita' (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa
berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita' merupakan akibatnya, yakni
terputus. Kata inqita' adalah lawan kata ittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di
sini adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat
dalam memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Menurut kami, hal ini
dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin
sampai masa ulama mutaakhirin.

Definisi Munqati' yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu
Abdil Barr, yakni:

Artinya:
"Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang
disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain."

Hadis yang tidak bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur seorang
atau beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu,
penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:

Artinya:
Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk
Hadis Munqati' (terputus) persambungannya."

13
Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadis, An-Nawawi berkata,
"Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr,
dan Muhaddis lainnya". Dengan demikian, hadis munqati' merupakan suatu judul yang
umum yangmencakup segala macam hadis yang terputus sanadnya.

Adapun ahli hadis Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:

Artinya:
"Hadis Munqati adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu
tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat
tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad."

Definisi ini menjadikan hadis munqati' berbeda dengan hadis-hadis yang terputus sanadnya
yang lain. Dengan ketentuan "Salah seorang rawinya" defnisi ini tidak mencakup hadis
mu'dal; dengan kata-kata, "Sebelum sahabat" definisi ini tidak mencakup hadis mursal; dan
dengan penjelasan kata-kata "Tidak pada awal sanad" definisi ini tidak mencakup hadis
muallaq.

3. FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN

Al-Quran menekankan bahwa Rasul SAW. berfungsi menjelaskan maksud firman-


firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak
ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.

Al-qur`an dan hadist merupakan dua sumber yang tidak bisa dipisahkan.
Keterkaitan keduanya tampak antara lain:

1. Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an. Di sini hadits berfungsi memperkuat
dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran. Misalnya, Al- quran menetapkan
hukum puasa, dalam firman-Nya :

Hai orang–orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana


diwajibkan atas orang–orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” . (Q.S Al

14
Baqarah/2:183 )
Dan hadits menguatkan kewajiban puasa tersebut:

Islam didirikan atas lima perkara : “persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah ,
dan Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat , puasa pada bulan
ramadhan dan naik haji ke baitullah.” (H.R Bukhari dan Muslim)

2. Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan Al qur`an yang masih bersifat global.
Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah shalat :

“Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat” (Q.S Al Baqarah / 2:110)
shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya shalat yang
wajib dan sunat. sabda Rasulullah SAW:

Dari Thalhah bin Ubaidillah : bahwasannya telah datang seorang Arab Badui kepada
Rasulullah SAW. dan berkata : “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salat apa yang
difardukan untukku?” Rasul berkata : “Salat lima waktu, yang lainnya adalah sunnat”
(HR.Bukhari dan Muslim)

Al-qur`an tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun
gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadits, misalnya sabda Rasulullah
SAW:“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)

3. Hadits membatasi kemutlakan ayat Al qur`an .Misalnya Al qur`an mensyariatkan


wasiat:

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda maut
dan dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karib
kerabatnya secara makruf. Ini adalah kewajiban atas orang–orang yang bertakwa,” (Q.S Al
Baqarah/2:180)

Hadits memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak
melampaui sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan). Hal ini disampaikan Rasul
dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa`ad bin Abi Waqash yang
bertanya kepada Rasulullah tentang jumlah pemberian harta melalui wasiat. Rasulullah
melarang memberikan seluruhnya, atau setengah. Beliau menyetujui memberikan sepertiga
dari jumlah harta yang ditinggalkan.

4. Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al Qur`an yang bersifat


umum. Misalnya Al-qur`an mengharamkan memakan bangkai dan darah:

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih
atas nama selain Allah , yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan
binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang disembelih untuk
berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu
sebagai kefasikan. (Q.S Al Maidah /5:3)

15
Hadits memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis bangkai
tertentu (bangkai ikan dan belalang ) dan darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana
sabda Rasulullah SAW:

Dari Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda : ”Dihalalkan kepada kita dua bangkai
dan dua darah . Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan dua darah adalah hati
dan limpa.”(HR.Ahmad, Syafii`,Ibn Majah ,Baihaqi dan Daruqutni)

5. Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur`an. Al-qur`an bersifat
global, banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti .Dalam hal ini, hadits
berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-qur`an, misalnya hadits
dibawah ini:

Rasulullah melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang
bercakar (HR. Muslim dari Ibn Abbas)

‘Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi


Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah atau Hadits mempunyai fungsi yang
berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’.
Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi’i dalam Al-Risalah, ‘Abdul Halim menegaskan
bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak
diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan
bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang
terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan
membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan.

Hadits
Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa ucapan (qauly),
perbuatan (fi'ly), ketetapan (taqriry), atau dengan sifat.

Hadits qauly: Adalah hadits yang berisi tentang ucapan Nabi Saw

Hadits fi'ly: Hadist yang berupa perbuatan Nabi Saw yang dideskripsikan oleh Sahabat.

Hadits taqriry: Adalah hadits yang berisi tentang persetujuan atau ketetapan Nabi Saw
terhadap ucapan atau perbutan yang dilakukan oleh Sahabat, termasuk diamnya Nabi Saw
ketika melihat satu perbuatan sahabat di hadapan beliau.

Sanad
Sanad atau isnad (jamak’plural) secara bahasa artinya sandaran, maksudnya:
Mata rantai atau jalan yang bersambung sampai kepada matan (isi hadist) yang terdiri dari
para rawi-rawi yang meriwayatkan matan hadits dan menyampaikannya.
Sanad dimulai dari rawi yang awal (sebelum pencatat hadits) dan berakhir pada orang
sebelum Rasulullah Saw yakni Sahabat.
Misalnya Bukhari meriwayatkan satu hadits, maka Bukhari dikatakan mukharrij atau
mudawwin (yang mengeluarkan hadits atau yang mencatat hadits), rawi yang sebelum
Bukhari disebut sanad pertama sedangkan Sahabat yang meriwayatkan hadits itu dikatakan
sanad terakhir.
Contoh lain: Bukhari meriwayatkan dari A terus B, C, D, E. Dan E dari Nabi Saw.
Si A ini disebut dengan sanad pertama, sedangkan E sanad terakhir. Sedangkan A disebut
rawi, B rawi dan seterusnya. Sedangkan mata rantai yang menghubungkan antara A, B, C,
D,dan E disebut dengan Sanad.

Matan Hadist
Adalah isi, ucapan atau lafazh-lafazh hadits yang yang diriwayatkan atau yang dismpaikan
oleh sanad terakhir.

Kedudukan Hadist Terhadap Al-Qur’an


Bayan tafsir:
Menjelaskan apa yang terkandung dalam Al Qur'an dan penjelasan ini berupa:
1. Menjelaskan Ayat Mujmal (umum):
misalnya, Al Qur'an mewajibkan wudhu bagi orang yang akan sholat. Hadits menjelaskan
rincian wudhu, bilangan membasuh dan batas-batas membasuh.
2. Membatasi Yang Mutlaq:
Misalnya Al Qur'an menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri. Hadits menjelaskan
tentang batasan nilai barang yang dicuri yang menyebabkan terjadinya hukum potong
tangan.

17
3. Mentakhshish atau mempertegas kalimat 'am (kalimat umum)
Misalnya Al Qur'an menjelaskan tentang waris dan orang-orang yang berhak mendapat
warisan. Hadits memberi pengecualian bagi orang yang membunuh tidak berhak mendapat
waris.

Bayan Taqrir:
Menjelaskan ketetapan hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an. Misalnya, menjelaskan
wajibnya wudhu bagi orang yang akan shslat sebagaimana Al Qur'an telah menjelaskan
demikian.

Bayan Tasyri':
Menetapkan ketetapan hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Misalnya,
menetapkan hukum bagi pelaku zina muhshon (orang yang telah berkeluarga).

B. Saran dan Kritik

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata΄ala, karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah pengertian tentang Ilmu hadist. Makalah ini
diajukan guna memenuhi tugas mata Kuliah Agama.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.

Kami pun dari Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
mohon maaf, sekaligus kami berharap saran dan kritik yang membangu dari para pembaca
semua. Semoga makalah ini nantinya bermanfaat untuk kita semua.

18
Daftar Pustaka

Abu Bakar, hasnan. 2009. Perkembangan Ilmu Hadist. PTS ISLAMIKA:Selangor

Rahman, fazlur. Cetakan pertama. 2009. Hadist Rosululloh. PT Tiara Wacana Yogya :
Yogyakarta

Muhammad Ajaj Khotib, H.M Qodirun Nur. 1999.Cetakan Pertama. Fungsi hadist. Badan
Cemerlang : Bandung

M. Hasbi Ash Shiddieqy, 1965. Sedjarah dan pengantar Ilmu hadist. Bulan Bintang :
Universitas Michigan.

Ali Hassan Ahmad Addary (Sjech.). 1980. Ilmu Hadist Praktis. Alma’arif : Medan

19

Anda mungkin juga menyukai