Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah sebagai salah satu sumber daya alam merupakan salah karunia Tuhan Yang
Maha esa. Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar sebagai
sumber penghidupan dan mata pencaharian, bahkan tanah dan manusia tidak dapat
dipisahkan dari semenjak manusia lahir hingga manusia meninggal dunia. Manusia hidup
dan berkembang biak serta melakukan aktivitas di atas tanah, sehingga setiap manusia
berhubungan dengan tanah. Begitu urgennya tanah dalam hubungannya dengan kehidupan
manusia, maka oleh Ter Haar dijelaskan bahwa tanah merupakan tempat tinggal, tanah
memberikan kehidupan dan penghidupan, tanah dimana manusia dimakamkan dan
hubungannya bersifat magis-religius.

Seiring perkembangan yang terjadi dengan berkembang pesatnya pembangunan dan


banyak terpakainya lahan-lahan pertahanan di jaman ini, maka banyak terjadi
permasalahan kepemilikan hak atas tanah, seperti tanah sengketa, tanah warisan dan masih
banyak lagi yang terjadi mengenai permasalahan-permasalahan hak atas tanah.

Hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi yang berbatas,
karenanya hak atas tanah bukan saja memberikan wewenang untuk mempergunakan
sebagian tertentu permukaan bumi yang disebut tanah. Tetapi juga sebagian tubuh bumi
yang dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya dengan pembatasan. Tetapi tubuh
bumi dibawah tanah dan ruang angkasa yang ada di atsanya sendiri bukan merupakan
obyek hak atas tanah. Bukan termasuk obyek yang dipunyai pemegang hak atas tanah. Hak
atas tanah yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan salah satu hal yang diatur dalam
Hukum Agraria dan didasarkan pada keberadaan hukum adat.

Dalam hukum positif Indonesia, hukum tanah nasional berpedoman pada Undang
Undang Pokok Agraria. Undang-Undang Pokok Agraria yang disingkat dengan UUPA,
merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pertanahan di
Indonesia, adapun tujuan dari UUPA itu sendiri sebagaimana yang dicantumkan dalam
Penjelasan Umumnya adalah :

1
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam
hukum pertanahan;
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Berdasarkan tujuan pokok UUPA tersebut di atas diatur macam-macam hak atas tanah
yang dapat diberikan dan dipunyai oleh setiap orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama-
sama dengan orang lain ataupun badan hukum. Menurut Pasal 16 UUPA, hak-hak atas
tanah yang dapat dipunyai dan diberikan kepada setiap orang dan atau badan hukum adalah
hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain-lain sebagainya.

Yang dimaksud dengan hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah (Pasal 20 UUPA), sedangkan hak guna usaha adalah hak
untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu
tertentu (paling lama enampuluh tahun), guna perusahaan pertanian (perkebunan),
perikanan atau peternakan (Pasal 28), dan hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu
paling lama 30 tahun (Pasal 35).

Terhadap hak-hak atas tanah tersebut di atas, undang-undang mewajibkan kepada


pemegang hak untuk mendaftarkannya. Menurut Pasal 19 UUPA, untuk menjamin
kepastian hukum, oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.
Pendaftaran tersebut meliputi pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah; pendaftaran
hak-hak atas tanah dan peralihan haknya, serta pemberian surat tanda bukti hak (sertifikat)
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Berbagai permasalahan timbul mengenai implementasi dari UUPA tersebut. Hak-hak


tanah pada khususnya hak milik seringkali terjadi perselisihan karena adanya berbagai
kasus yang kerap kali terjadi di kalangan masyarakat. Salah satunya memberikan
kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataanya
penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain.

2
Dan yang mesti kita ketahui bahwa dalam hak Milik harus dilandasi oleh aspek-aspek
keimanan dan moral, serta dijabarkan ke dalam aturan-aturan hukum, agar ada keadilan
dan kepastian. Benar pernyataan bahwa hukum tanpa moral dapat jatuh kepada kedzaliman,
dan moral tanpa hukum dapat menimbulkan ketidakpastian.

Islam telah menetapkan adanya hak milik perseorangan maupun kelompok terhadap
harta yang dihasilkan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum syara’. Islam juga
menetapkan cara-cara melindungi hak milik ini, baik melindungi dari pencurian,
perampokan, perampasan yang disertai dengan sanksinya. Oleh karena itu, dalam makalah
ini penulis akan membahas mengenai ‘Hak Milik’.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Hak Milik
2. Bagaimana kronologi kasus mengenai Hak Milik
3. Bagaimana analisis dari kasus hak milik tersebut

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui secara substansial dari hak milik
2. Untuk mengetahui contoh kasus mengenai hak milik
3. Untuk mengetahui metode menganalisis suatu kasus

D. Manfaat Penulisan

Adapun kegunaan penelitian yang penulis lakukan adalah:

a. Secara teoris, Makalah ini bermanfaat untuk membawa para pembaca dan dapat
di jadikan refrensi untuk kasus selanjutnya dengan metode yang serupa.
b. Secara praktis, bagi para keluarga yang bermasalah atas tana, Makalah ini dapat
bermanfaat sebagai bahan efaluasi secara baik sesuai aturan negara yang sudah di
terapkan selama ini.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hak Milik

Ketentuan Umum mengenai Hak Milik diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a, 20 s/d
27, 50 ayat (1), 56 UUPA. Pengertian Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan memperhatikan fungsi sosial tanah.
Turun temurun artinya Hak Milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya
masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka Hak Miliknya dapat dilanjutkan
oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik. Terkuat artinya
Hak Milik atas tanah lebih kuat dibandingkan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai
batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari gangguan pihak lain, dan tidak mudah
hapus. Terpenuh artinya Hak Milik atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya
paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat menjadi induk bagi
hak atas tanah yang lain, tidak berinduk pada hak atas tanah yang lain, dan penggunaan
tanahnya lebih luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain.

1. Hak-hak atas tanah

Dalam hukum agraria di kenal konsep hak atas tanah, di dalamnya terdapat pembagian
antara hak tanah primer dan hak tanah sekunder. Hak tanah atas primer ialah hak tanah
yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh badan hukum ataupun perorangan
yang bersifat lama dan dapat di wariskan, adapun hak tanah yang bersifat primer meliputi
: hak milik atas tanah (HM), Hak Guna Usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB) dan hak
pakai (HP).

Sedangkan yang dimaksud dengan hak atas tanah sekunder ialah hak atas tanah yang
memiliki sifat hanya sementara saja, seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak
menumpang, dan hak menyewa atas tanah pertanian. Dalam hak atas tanah juga diatur
mengenai perlindungan dan kepastian hokum yang memiliki mekanisme tersendiri yang
disebut dengan Recht Kadaster

2. Hak Milik Atas Tanah

Yang di maksud dengan hak milik atas tanah di jelaskan dalam pasal 20 ayat 1 dan 2
UUPA yang berbunyi : “ hak milik adalah turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat

4
dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan pasal 6. Hak milik dapat beralih
dan dialihkan kepada orang lain.

Dalam penjelasannya hak milik dikatakan yang terkuat hal ini untuk membedakannya
dengan hak atas tanah yang lain, karena memiliki kedudukan yang penting pemerintah
memberikan perhatian lebih atasnya yang dapat diperhatikan dari berbagai peraturan yang
ada seperti peraturan MENDAGRI No. 6 tahun 1972 tentang wewenang memberikan ha
katas tanah namun pada tahun 1999 peraturan tersebut diganti dengan peraturan Menteri
Agraria No. 3 yang berisi ;

1. Pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha
(hektar)
2. Pemberian hak milik atas atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari
2.000 kecuali mengenai tanah bekas hak guna usaha
3. Pemberian hak milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program :
a. Transmigrasi
b. Redistribusi daerah
c. Konsolidasi tanah
d. Pendaftaran tanah secara masal baik dalam rangka pelaksanaan secara
sistematik ataupun sporondik.

Hak milik atas tanah tidak hanya diberikan pada perorangan namun juga pada lembaga
hukum sesuai peraturan pemerintah yang di perlihatkan pada PP No. 38 Tahun 1963 yang
mengatur badan hukum yang dapat memiliki hak atas tanah yaitu ;

1. Bank yang didirikan oleh Negara


2. Perkumpulan koperasi yang pertanian yang didirikan berdasarkan UU. No. 79
tahun 1958
3. Badan keagamaan yang ditunjuk oleh BPN atas persetujuan menteri agama
4. Bedan social yang ditunjuk oleh BPN atas persetujuan Menteri Kesejahteraan
social

Perlindungan hak atas tanah menjadi sesuatu yang dianggap penting oleh pemerintah
Indonesia yang di laksanakan dengan peraturan yang ketat agar dalam tataran masyarakat
terjadi pemerataan tanah bagi setip orang, bahkan hak tanah tidak dapat berpindah dengan
proses perkawinan antara warga Negara Indonesia dengan warga Negara asing.

5
3. Subjek Hukum Hak Milik Atas Tanah
Yang dapat mempunyai (subjek hak) tanah Hak Milik menurut UUPA dan peraturan
pelaksaannya adalah:
a. Perseorangan
Hanya warga negara indonesia yang dapat memunyai Hak Milik (Pasal 21 ayat (1)
UUPA)Ketentuan ini menentukan perseorangan yang hanya berkewarganegaraan
Indonesia yang dapat memiliki tanah Hak Milik.
b. Badan-badan hukum
Pemerintah menetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik
dan syarat-syaratnya (Pasal 21 ayat (2) UUPA).

Menurut Pasal 8 ayat (1) Permen Agraria/Kepala BPN Np. 9 Tahun 1999 tentang Tata
Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, badan-
badan hukum yang dapat mempunyai tanah Hak Milik adalah bank pemerintah, badan
keagamaan, dan badan sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah.
Bagi pemilik tanah yang tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas tanah,
maka dalam waktu 1 tahun harus melepaskan atau Mengalihkan Hak Milik atas tanahnya
kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka tanahnya
hapus karena hukum dan tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara (Pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) UUPA).

4. Cara Memperoleh Hak Milik


Pengertian Hak Milik Atas Tanah dan Landasan Hukumnya. Pasal 20 berbunyi:
ayat (2): “Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”: Juga ayat ini
menjelaskan sifat “zakelijk" dari hak milik. Karena tak bersifat pribadi (persoonlijk) maka
hak ini dapat dialihkan dan beralih kepada pihak lain. Hak milik ini boleh dipandang
seolah-olah bekerja terhadap semua orang. Karena bersifat kebendaan, maka hak milik ini
perlu didaftarkan. Satu dan lain supaya dapat bekerja terhadap pihak lain itu.
Dengan singkat Ali Achmad Chomzah mengemukakakan,berdasarkan pasal 20
UUPA, bahwa sifat-sifat hak milik sebagai berikut:
a. Turun-temurun. Artinya hak milik atas tanah dimaksud dapat beralih karena
hukum dari seorang pemilik tanah yang meninggal dunia kepada ahli waris.
b. Terkuat. Artnya hak milik atas tanah tersebut yang paling kuat di antara hak-hak
yang lain atas tanah.

6
c. Terpenuh. Artinya hak milik atas tanah tersebut dapat digunakan untuk usaha
pertanian dan juga untuk mendirikan bangunan.
Adapun cara Memperoleh Hak Milik Atas Tanah diatur dalam Pasal 22 UUPA
berbunyi:
a. Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
b. Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, hak milik
terjadi karena:
 Penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
 Ketentuan undang-undang

Jadi hak milik terjadi karena ;


a. Menurut ketentuan Hukum Adat;
Atas dasar ketentuan Hukum Adat, Hak Milik dapat terjadi karena proses
pertumbuhan tanah di tepi sungai di pinggir laut. Pertumbuhan tanah ini
menciptakan tanah baru yang disebut "lidah tanah". Lidah tanah ini biasanya
menjadi milik yang punya tanah yang berbatasan. Dengan demikian, maka
terjadilah Hak Milik atas tanah hasil pertumbuhan itu. Selain itu dapat juga terjadi
Hak Milik karena "pembukaan tanah". Misalnya tanah yang semula hutan, dibuka
atau dikerjakan oleh seseorang. Tetapi dengan dibukanya tanah itu saja, Hak Milik
atas tanah itu. belumlah tercipta. Yang membuka, baru mempunyai "hak utama"
untuk menanami tanah itu. Kalau tanah itu sudah ditanami, maka terciptalah "Hak
Pakai". Hak Pakai ini lama-kelamaan bisa bertumbuh menjadi "Hak Milik, kalau
usaha atau modal yang ditanam oleh orang yang membuka tadi di atas tanah itu
terjadi terus-menerus dalam waktu lama. Di sini "Hak Pakai" bisa bertumbuh
menjadi "Hak Milik", yang sekarang diakui sebagai Hak Milik menurut UUPA.
Terlihatlah bahwa terjadinya Hak Pakai menjadi Hak Milik itu memerlukan
waktu. Lagi pula memerlukan penegasan yang berupa pengakuan dari pemerintah.

b. Karena ketentuan Undang-undang;


Terjadilah Hak Milik yang kedua ini adalah atas dasar ketentuan konversi menurut
Undang-undang Pokok Agraria. Kita mengetahui bahwa pada tanggal 24
September 1960, semua hak-hak atas tanah yang ada, diubah menjadi salah-satu
hak yang baru. Perubahan itu disebut"konversi".

7
Begitulah, maka ada hak-hak yang dikonversi menjadi Hak Milik, yaitu yang
berasal dari:
 Hak Eigendom kepunyaan badan-badan Hukum yang memenuhi syarat;
 Hak Eigendom yang pada tanggal 24 September 1960, dipunyai oleh WNI
tunggal dan dalam waktu 6 bulan datang membuktikan kewarganegaraan-nya
di Kantor KPT.
 Hak Milik Indonesia dan hak-hak semacam itu, yang pada tanggal 24
September 1960, dipunyai WNI atau Badan Hukum yang mempunyai syarat
sebagai subjek Hak Milik.
 Hak gogolan yang bersifat tetap; Cara terjadinya Hak Milik atas kekuatan
Undang-undang Pokok Agraria ini, tidak melalui suatu pertumbuhan, tetapi
terjadi seketika pada tanggal 24 September 1960. Begitu UUPA berlaku
terciptalah Hak Milik baru.

c. Menurut penetapan Pemerintah


Cara terjadinya Hak Milik yang lazim, adalah cara yang ketiga ini, yaitu yang
diberikan oleh Pemerintah dengan suatu penetapan. Yang boleh memberikan Hak
Milik hanya pemerintah. Seorang pemegang hak atas tanah lainnya tidak boleh
memberikan Hak Milik. Yang boleh dilakukannya ialah mengalihkan Hak
Miliknya. Tanah yang boleh diberikan oleh pemerintah dengan Hak Milik itu,
ialah Tanah Negara, yaitu tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Jadi tidak
ada hak fihak lain selain negara di atasnya. Lahirnya Hak Milik berdasarkan
penetapan pemerintah memerlukan suatu proses yang berangkai. Proses itu dapat
kita bagi sebagai berikut:
 Mengajukan permohonan,
 Pemeriksaan tanah;
 Pengeluaran "Surat Keputusan Pemberian Hak Milik",
 Memberi batas tanah;
 Membayar "uang pemasukan";
 Mendaftarkan hak;
 Membuat "buku tanah"
 Menyerahkan "sertifikat”

8
5. Jangka Waktu Hak Milik
Hak milik adalah satu-satunya hak primer yang mempunyai kedudukan paling kuat di
bandingkan dengan hak atas tanah lainnya. Yang di paparkan dalam pasal 20 ayat (1)
UUPA yaitu: “hak milik adalah hak turun temurun , terkuat , terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah “
Dalam pasal tersebut dapat diketahui bahwa kata turun temurun artinya hak milik atas
tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan apabila pemiliknya
meninggal dunia maka hak milik dapat di lanjutkan oleh ahli warisnya selama masih
memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat dalam pasal tersebut juga dapat
diartikan bahwa hak milik atas tanah lebih kuat dari batas waktu lainnya, tidak memilik
batas waktu, mudah di pertahankan dan tidak mudah di hapus. Dan kata terpenuh dapat
diartikan bahwa hak milik atas tanah memberi kewenangan pada pemilikinya lebih luas
dari hak atas tanah lainnya.

6. Hapusnya Hak Milik


Pasal 27 UUPA menetapkan bahwa faktor-faktor penyebab hapusnya Hak Milik atas
tanah dan berakibat tanahnya jatuh kepada negara, yaitu:
a. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18;
b. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;
c. Karena ditelantarkan;
d. Karena subjek hak nya tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas tanah;
e. Karena peralihan hak yang menhgakibatkan tanahnya berpindah kepada lain tidak
memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas tanah.
f. Hak Milik atas tanah juga dapat hapus karena tanahnya musnah, misalnya karena
adanya bencana alam.

B. Kronologi Kasus Mengenai Hak Milik

Penggugat mempunyai sebidang tanah pekarangan dengan status Hak Milik seluas
2.455 M2 atas nama ASRI SUMARDJONO (Ibu Penggugat) yang terletak di Jl.Timoho
No.30 RT.81 RW.19 Baciro Gondokusuman, Yogyakarta sebagaimana tersebut dalam
daftar Sertifikat Tanah Hak Milik No.01583/Baciro, Surat Ukur No.1 Tanggal 14-01-1998
yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta pada tanggal 14 Januari 1998
No.Sertifikat 13.05.03.04.1.91583; Tanah Pekarangan milik Penggugat tersebut diatas,

9
diatasnya berdiri 3 (tiga) Bangunan rumah milik Penggugat yang terpisah, yakni Bangunan
I seluas kurang lebih 150 M2, Bangunan II seluas 20 M2 dan Bangunan III seluas 100 M2,
yang ketiga bangunan milik Penggugat tersebut terletak pada sisi bagian barat dari posisi
tanah Pekarangan milik Penggugat tersebut, dan bangunan-bangunan tersebut saat ini
ditempati oleh Penggugat.

Pada tahun 2007, Tergugat I mendatangi Penggugat dengan maksud untuk bekerja
sama membuat usaha dan mendirikan Rumah Toko (Ruko) yang rencananya akan dibangun
Ruko diatas tanah milik Penggugat tersebut diatas (posita No.1 diatas) pada bagian
depan/sisi timur dari tanah milik Penggugat, dengan rencana kesepakatan pada waktu itu,
Tergugat I akan membangunkan ruko kemudian disewakan kepada pihak ketiga dengan
pembagian keuntungan, Penggugat mendapatkan 20% dari harga sewa selama 10 tahun,
setelah jangka waktu 10 tahun bangunan Ruko tersebut menjadi hak milik Penggugat dan
pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMBB) adalah tanggung jawab Pihak Tergugat I.

Sebelum rencana kesepakatan itu dituangkan dalam Akta Kesepakatan, ternyata oleh
Tergugat I tanpa ijin Penggugat pada tahun 2007 tersebut serta-merta memulai
pembangunan Bangunan Ruko dimaksud dan hanya berselang sekitar 3 (tiga) bulan
bangunan Ruko telah selesai dan Tergugat I menyatakan kesanggupannya untuk segera
menguruskan proses Izin Mendirikan Bangunan (IMBB) pada Pemerintah kota Yogyakarta
berdasarkan kesanggupan dan kesepakatan bersama bahwa Tergugat I akan bertanggung
jawab untuk mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMBB).

Pada waktu itu masih dalam tahun 2007 dengan adanya kekhawatiran dari Penggugatt
akan timbul permasalahan dikemudian hari, maka Penggugat menawarkan kepada
Tergugat I untuk dibuatkan secara formal Akta Perjanjian Kerja Sama melalui Notaris,
sehingga disepakati membuat Akta Perjanjian Kerjasama melalui Notaris yang ditunjuk
yakni Notaris Tri Agus Heryono, SH, ternyata setelah konsep Perjanjian Kerjasama itu
sudah selesai didraf, tinggal akan dilakukan penandatanganan Perjanjian, dengan Itikad
Tidak Baik dari Tergugat I sampai saat ini Surat Perjanjian Kerjasama tersebut belum
ditandatangani dan difinalkan oleh Tergugat I, padahal pada waktu itu Bangunan Ruko
sudah jadi, malahan oleh Tergugat I telah Menyewakan kepada Tergugat III dan Tergugat
IV; Bangunan Ruko tersebut menjadi 3 (tiga) bagian bangunan yang masing-masing bagian
dengan ukuran dan luas kurang lebih 27 M2 yang luas keseluruhan Bangunan Ruko
tersebut seluas 81 M2, setelah Penggugat mengetahui bahwa dari ketiga bagian bangunan

10
Ruko tersebut telah disewakan kepada pihak Tergugat III dan Tergugat IV, maka
Penggugat mendesak kepada Tergugat I untuk segera mengurus Izin Mendirikan Bangunan
(IMBB) dimaksud dan segera memformalkan kesepakatan Kerjasama tersebut melalui
Notaris, ternyata oleh Tergugat I mengatakan pada waktu itu bahwa yang membuka usaha
itu adalah anaknnya yang bernama Windarto (Tergugat II) sehingga meminta tanda tangan
Penggugat dalam rangka pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMBB) pada Pemerintah
Kota Yogyakarta.

Pada tahun 2008, Penggugat baru mengetahui bahwa Permohonan Izin Mendirikan
Bangunan (IMBB) yang dimohonkan oleh Tergugat II yakni anak dari Tergugat I Ditolak
oleh Pemerintah Kota Yogyakarta berdasarkan Surat Dinas Perizinan Pemerintah Kota
Yogyakarta Nomor: 640/7949 tanggal 6 September 2007 dengan dasar alasan bahwa diatas
bangunan berdiri didalam Garis Sempadan Bangunan (GSB) atau melanggar 100%,
sehingga Permohonan IMBB tidak dapat diproses/ditolak. Setelah Penggugat mengetahui
ditolaknya Permohonan IMBB tersebut, Penggugat mendesak kepada Para Tergugat-I dan
II untuk Segera Membongkar Bangunan Ruko Tersebut, namun Tergugat-I dan II tidak
mau membongkarnya, malahan terus menerus menyewakan ruko tersebut yang dibangun
diatas tanah milik Penggugat, maka Penggugat berusaha membuat surat kepada Pemerintah
Kota Yogyakarta agar melalui Pemerintah Kota Yogyakarta yang membongkar paksa
bangunan ruko tersebut, berdasarkan Surat Penggugat berturut-turut tertanggal 12 Maret
2008, tanggal 15 Desember 2008, tanggal 27 Mei 2010 dan tanggal 3 September 2010,
malahan telah berulangkali difasilitasi oleh Pemerintah Kelurahan Baciro untuk
menyelesaikan kasus ini, namun oleh para Tergugat-I dan II sampai saat ini Tidak Mau
Untuk Membongkar Bangunan Ruko tersebut.

Disamping Tergugat I dan Tergugat II dihukum untuk membongkar bangunan Ruko


tersebut, juga Tergugat I dan Tergugat II dihukum untuk menutup/menyegel bangunan
ruko tersebut dan atau tidak ada bentuk usaha apapun yang dilakukan oleh pihak manapun
sebelum adanya Putusan Akhir atas Gugatan ini, guna menghindari kerugian yang lebih
banyak lagi yang diderita oleh Penggugat, Hingga Penggugat memanggil Para Tergugat-I
dan II melalui Kuasa Hukum Penggugat, yakni pada tanggal 28 Februari 2011 untuk
mencari solusi penyelesaian perkara ini, namun Tergugat I dan Tergugat II Tidak Hadir
dan Sampai Saat Ini Para Tergugat I dan Tergugat II Belum Membongkar Bangunan Ruko
Tersebut, malahan terus-terusan menyewakan Bangunan Ruko tersebut kepada Pihak
Tergugat III dan Tergugat IV, sehingga Penggugat Sangat Dirugikan atas Perbuatan

11
Tergugat I dan Tergugat II karena Tanpa Hak Dan Melawan Hukum telah mengambil
keuntungan dari Sewa Bangunan Ruko tersebut yang didirikan diatas Tanah Milik
Penggugat Tanpa Hak dan Melawan Hukum.

Disamping Para Tergugat-I dan II menguasai Tanah milik Penggugat secara melawan
Hukum dan Tanpa Hak, juga Para Tergugat-I dan II telah wanprestasi atas kesanggupannya
guna mengurus IMBB dan telah Beritikad Tidak Baik tidak berkehendak untuk membuat
kesepakatan Perjanjian Kerjasama, padahal dapat diketahui bahwa sejak tahun 2007 sampai
gugatan ini didaftarkan kepada Pengadilan, para Tergugat-I dan II telah mengambil
keuntungan atas sewa bangunan ruko tersebut dari Tergugat-III dan IV, sehingga
Penggugat dirugikan secara meteriil dan immaterial; sehubungan dengan Pembangunan
Bangunan Ruko tersebut yang dilakukan oleh Para Tergugat-I dan II diatas Tanah Milik
Penggugat Melawan Hukum dan Tanpa Hak, maka dihukum kepada Para Tergugat-I dan
II untuk membongkar dan Mengosongkan Bangunan diatas tanah milik Penggugat tersebut,
jika perlu dengan bantuan Pihak Aparat Kepolisian; sehubungan dengan Penguasaan Tanah
milik Penggugat itu dilakukan oleh Tergugat-I dan II secara Melawan Hukum dan Tanpa
Hak, maka hubungan hukum dalam bentuk sewa-menyewa antara para Tergugat-I dan II
dengan pihak Tergugat III dan IV, dinyatakan TIDAK SAH, karena pihak yang
menyewakan yang dalam hal ini Para Tergugat-I dan II adalah pihak yang tidak berhak dan
pihak yang beretikad tidak baik. Sehingga Para Tergugat-III dan IV dihukum harus
mengosongkan dan pindah dari Tanah millik Penggugat tersebut; sehubungan Tergugat-I
dan II telah menguasai Tanah Milik Penggugat tersebut secara melawan hukum dan tanpa
hak sejak Tahun 2007.

C. Analisis Kasus

Dari kasus diatas dapat diambil kesimpulan bahwa tergugat I melakukan pelanggaran
menggunakan tanah yang bukan hak miliknya, beritikad tidak baik dengan menolak
penandatanganan akta perjanjian di notaris dan melakukan wanprestasi.

Menggunakan tanah yang bukan hak miliknya dalah pelanggaran hukum, maka
Tergugat I dikaitkan dengan Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi “Tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

12
Berdasarkan pasal 579 KUHPerdata yang berbunyi “Tiap-tiap pemegang kedudukan
berkuasa dengan itikad buruk, berkewajiban sebagai berikut :

1. Dalam mengembalikan kebendaan itu kepada si pemilik, ia harus mengembalikan


pula segala hasil kebendaan, bahkan hasil-hasil itulah diantaranya, yang mana
kendati sebenarnya tidak dinikmati olehnya, namun yang sedianya dapatlah si
pemilik menikmatinya.
2. Ia harus mengganti segala biaya, rugi dan bunga.

Wanprestasi, sebagaimana dikatakan Subekti, berarti kelalaian atau kealpaan


seorang debitur, kelalaian itu berupa :

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.


2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimna yang dijanjikan.
3. Melakukan apa yang dijanjikan akan tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjin tidak boleh dilakukannya.\

Dalam kasus Tergugat I, wanprestasi yang dilakukannya sesuai dengan pernyataan


pertama diatas itu tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan, dengan tidak
memenuhi kesanggupannya mengurus Izin mendirikan bangunan (IMBB).

Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman
atau sanksi sebagai berikut :

1. Debitur diwajibkan membayar kerugian yang diderita kreditur (Pasal 1243


KUHPerdata).
2. Apabila perikatan itu timbale balik, kreditur dapat menuntut pemutusan atau
pembatalan perikatan melalui hakim (pasal 1266 KUHPerdata).
3. Dalam perikatan untuk meberikan sesuatu, resiko beralih pada debitur sejak terjadi
wanprestasi (pasal 1237 ayat 2 KUHPerdata).
4. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan atau
pembayaran disertai pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUHPerdata).

5. Debitur wajib membayar biaya perkara jika perkara diperkarakan di muka


pengadilan.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:

Bahwa Segala sesuatu yang terjadi mengenai Hak penguasaan atas tanah berisi
serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk
berbuat sesuatu mengenai tanah yang di hakinya. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang
untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak
ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.

B. Saran
Adapun saran dari penulis yaitu;

Jika hendak disewakan pihak penyewa harus membuat perjanjian terlebih dahulu
mengenai batas luas tanah dan jangka waktunya, jangan sampai merugikan pemilik atau
pemilik merugikan penyewa. Apalagi jika warga berhubungan dengan oknum pemerintah
maka warga pasti dikalahkan karena dianggap pihak lemah.

Pemerintah seharusnya bijak membela yang benar bukan membela yang bayar, jangan
sampai masyarakat kecil dianggap tidak tahu apa-apa dan haknya tidak lebih berharga dari
kepentingan Negara.

Pemegang hak tanah jangan menyalahartikan kepemilikan, wajib perhatikan


batasannya, boleh memanfaatkan asal tidak merugikan pihak lain dan boleh menggunakan
hanya sesuai kebutuhan sesuai Pasal 7 dan Pasal 6 UUPA yang menyebutkan bahwa semua
ha katas tanah mempunyai fungsi sosial.

14

Anda mungkin juga menyukai