Anda di halaman 1dari 34

PRA PLANNING HOME VISIT

KELUARGA Tn. R DENGAN GANGGUAN SENSORI PERSEPSI : HALUSINASI

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa

Disusun Oleh :

1. Desy Apriyana
2. Githa Fidelia Olga
3. Irfan Taufik
4. Novita Dwi
5. Pipit Fitriya

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2015
Pra Planning Home Visit

1. Latar Belakang
Dalam rangka meningkatkan pelayanan keperawatan pada klien
dengan gangguan jiwa, dukungan dari pihak keluarga merupakan unit
yang paling dekat dengan klien serta keluarga berperan dalam
menentukan cara atau asuhan yang diperlukan bagi klien dengan
gangguan jiwa kepada keluarga mengenai masalah yang sedamg
dihadapi oleh klien dan mencegah terjadinya kekambuhan.
Berdasarkan hasil pengkajian kepada pasien yang bernama Tn.
Robi dengan no medrec 044366 masalah keperawatan yang didapatkan
adalah halusinasi pendengaran, waham dan resiko perilaku kekerasan.
Data yang didapat dari keluarga di status mengatakan kurang lebih 3 hari
sebelum masuk rumah sakit jiwa klien bicara sendiri, menyiksa diri
sendiri, mencakar diri, kurang tidur, curiga terhadap orang lain, mondar-
mandir, klien sudah kurang lebih 4 tahun mengalami gangguan jiwa dan
pernah dirawat 3 kali di Rumah Sakit Jiwa Cisarua. Klien post rawat inap
4 hari yang lalu, kondisi klien pada saat dikaji bicara klien logorea, flight
of ideas, isi pikir klien meyakini bahwa dirinya memiliki kemampuan
yang mustahil contohnya klien berkata “saya itu bisa melihat dajjal, saya
bisa membedakan mana manusia dan mana yang dajjal” klien juga
mengatakan “saya adalah titisan Nabi Isa AS dan saya berteman dengan
Judas”.
Dari hasil pengkajian tersebut klien merasa perlu dilakukan home
visit karena klien sering keluar masuk rumah sakit dengan jarak waktu
yang sebentar, selain perawatan di Rumah sakit Jiwa, keluarga pun harus
turut berperan serta merawat klien dirumah agar tidak terjadi
kekambuhan.
2. Tujuan
a. Mengklarifikasi data yang didapat dari klien dan keluarga
1) Melakukan intervensi penkes kepada keluarga tentang penyakit
yang dialami klien dan cara mengatasinya
2) Mengajukan kepada keluarga untuk siap dan dapat menerima
klien sebagai anggota keluarga untuk memenuhi kebutuhan
klien
3) Menganjurkan kepada keluarga untuk memberikan kesempatan
kepada klien mencurahkan perasaannya
4) Menganjurkan kepada keluarga untuk memberikan
aktivitas/kesibukan sesuai dengan kemmpuan klien
5) Menganjurkan keluarga agar terus berkomunikasi dan
berinteraksi dengan keluarga dengan mengunjungi klien.
b. Mengidentifikasi riwayat penyakit yang diderita pasien baik sebelum
maupun setelah dirawat di RSJ.
c. Mengidentifikasi riwayat kesehatan keluarga apakah ada yang
menderita gangguan jiwa atau tidak
d. Mengidentifikasi tentang klien apakah klien mempunyai masalah
dalam keluarga, lingkungan, masyarakat tempat kerja.
3. Waktu
Hari : Sabtu, 05 September 2015
Pukul : 10.00 WIB
Tempat : Citeureup cimahi

4. Strategi pelaksanaan
a. Perkenalan
1) Menyebutkan nama, asal pendidikan dan tujuan
2) Menanyakan identitas keluarga
b. Intervensi
1) Mengidentifikasi riwayat kesehatan klien yaitu:
a) Mengidentifikasi riwayat penyakit yang diderita pasien baik
sebelum maupun setelah dirawat di RSJ
b) Mengidentifikasi riwayat kesehatan keluarga apakah ada
yang menderita gangguan jiwa atau tidak
c) Mengidentifikasi tentang klien apakah klien mempunyai
masalah dalam keluarga, lingkungan, masyarakat tempat
kerja.
2) Mengklarifikasi data yang didapat dari klien dan keluarga
a) Melakukan intervensi penkes kepada keluarga tentang
penyakit yang dialami klien dan cara mengatasinya
b) Mengajukan kepada keluarga untuk siap dan dapat
menerima klien sebagai anggota keluarga untuk memenuhi
kebutuhan klien
c) Menganjurkan kepada keluarga untuk memberikan
kesempatan kepada klien mencurahkan perasaannya
d) Menganjurkan kepada keluarga untuk memberikan
aktivitas/kesibukan sesuai dengan kemmpuan klien
e) Menganjurkan keluarga agar terus berkomunikasi dan
berinteraksi dengan keluarga dengan mengunjungi klien.
c. Evaluasi
1) Keluarga dapat menyebutkan kembali definisi, penyebab, tanda
dan gejala halusinasi klien dirumah.
2) Keluarga dapat menerima klien apa adanya dirumah
3) Keluarga dapat membina hubungan yang baik dengan klien
4) Keluarga dapat mengenal tentng halusinasi yang terjadi pada
anggota keluarganya
5) Keluarga dapat membantu anggota keluarga dalam mengontrol
halusinasinya
6) Keluarga dapat memanfaatkan obat dengan baik.
SATUAN ACARA PENYULUHAN

(SAP)

Pokok pembahasan : Kesehatan Jiwa

Sub pokok pembahasan : Halusinasi dan Resiko perilaku kekerasan

Hari/tanggal : Sabtu, 04 September 2015

Tempat : Rumah Klien

Pukul : 10.00

Sasaran : Keluarga pasien Tn. R

A. Tujuan
 Tujuan Umum
Setelah dilakukan penyuluhan selama 45 menit tentang halusinasi,
waham, dan resiko perilaku kekerasan diharapkan keluarga pasien
dapat mengetahui dan dapat membantu mengontrol halusinasi
 Tujuan Khusus
Setelah diberikan penyuluhan selama 45 menit diharapkan keluarga
pasien mampu :
1. Mengidentifikasi masalah keluarga dalam merawat pasien.
2. Mengetahui cara merawat pasien dengan halusinasi.
3. Mengetahui cara merawat pasien dengan resiko perilaku
kekerasan.

B. Latar Belakang
Halusinasi merupakan persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya
rangsangan dari luar. Walaupun tampak sebagai suatu yang khayal
halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan mental
penderita yang teresepsi. Halusinasi dapat terjadi karena dasar-dasar
organic, fungsional, psikotik maupun histerik (Yosep,2007).
Persepsi adalah kemampuan dan menginterprestasikan stimulus
yang diterima melalui panca indera, halusinasi merupakan salah satu
respon neurobiologis, orientasi realitis yang maladaptif, persepsi klien
terhadap lingkungan tanpa ada stimulus yang nyata.
Timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya
diawali dengan seseorang yang menarik diri dari lingkungan karena
orang tersebut menilai dirinya rendah. Bila klien mengalami halusinasi
dengar dan lihat atau salah satunya yang menyuruh pada kejelekan maka
akan berisiko terhadap perilaku kekerasan.
Menurut (Towsend, 1998) perilaku kekerasan merupakan suatu
keadaan dimana seseorang individu mengalami perilaku yang dapat
melukai secara fisik baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Dalam rangka meningkatkan pelayanan keperawatan dengan
gangguan jiwa, persepsi sensori : halusinasi dan resiko perilaku
kekerasan dukungan dari pihak keluarga merupakan unit yang paling
penting karena dekat dengan klien serta keluarga berperan dalam
menentukan cara atau asuhan yang diperlukan bagi klien. Keluarga lebih
mengerti mengenai masalah yang sedang dihadapi oleh klien sehingga
perlu adanya penyuluhan tentang halusinasi dan resiko perilaku
kekerasan serta teknik-teknik mengontrol untuk mencegah terjadinya
kekambuhan.
Dalam hal ini, keluarga adalah faktor yang sangat berpengaruh
dalam proses pelaksanaan asuhan keperawatan sehingga klien
mendapatkan perhatian dan perawatan dari keluarga sehingga klien
merasa diterima baik dilingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat.
C. Strategi penyuluhan
1. Kegiatan Penyuluhan
No Waktu Kegiatan Penyuluhan Respon Peserta

1 Pembukaan 1. Memberi salam 1. Menjawab salam


(5 menit) 2. Memperkenalkan diri 2. Mendengarkan dan
3. Menggali pengetahuan memperhatikan
tentang halusinasi dan 3. Menjawab
resiko perilaku pertanyaan
kekerasan 4. Mendengarkan dan
4. Menjelaskan tujuan memperhatikan
Penyuluhan 5. Menyetujui kontrak
5. Membuat kontrak waktu
waktu
2 Kegiatan Inti 1. Menjelaskan tentang : 1. Mendengarkan dan
(30 menit)  Pengertian memperhatikan
halusinasi dan penjelasan
perilaku kekerasan Penyuluh
 Tanda gejala pasien
mengalami
halusinasi dan
resiko perilaku
kekerasan
 Cara merawat
pasien halusinasi
dan resiko perilaku
kekerasan, cara
berkomunikasi,
pemberian obat
dan pemberian
aktivitas kepada 2. Aktif bertanya
pasien
2. Memberikan
kesempatan untuk
bertanya 3. Mendengarkan

3. Menjawab pertanyaan
peserta
3 Penutup 1. Menyimpulkan materi 1. Mendengarkan dan
(10 menit) yang disampaikan Memperhatikan
oleh penyuluh
2. Mengevaluasi peserta 2. Menjawab
atas penjelasan yang pertanyaan yang
disampaikan dan diberikan
penyuluh
menanyakan kembali
mengenai materi
penyuluhan 3. Menjawab salam
3. Salam Penutup
1. Metode Penyuluhan
 Diskusi
 Ceramah
 Demonstrasi
 Tanya jawab
2. Media
 Leaflet
3. Pengorganisasian
Pembawa Acara : Novita
Pembicara : Pipit
Fasilitator : Irfan dan githa
Observer : Desy Apriana
D. Evaluasi
1. Evaluasi Struktur
a. Peserta hadir ditempat penyuluhan.
b. Penyelenggaraan dilaksanakan di Rumah klien
c. Pengorganisasian penyelenggaraan penyuluhan dilakukan
sebelumnya.
2. Evaluasi Proses
a. Ketepatan waktu pelaksanaan.
b. Peran serta aktif keluarga
c. Kesesuaian peran dan fungsi dari penyuluhan.
d. Faktor pendukung dan penghambat kegiatan.
e. Peserta mendengarkan materi penyuluhan dengan baik dan ada
respon positif dari peserta.
f. Keluarga mengajukan pertanyaan dan mampu menjawab
pertanyaan secara benar.
g. Peserta mampu :
1) Memahami dan menyebutkan pengertian halusinasi dan
resiko kekerasan
2) Memahami dan menyebutkan tanda gejala halusinasi dan
resiko perilaku kekerasan
3) Memahami dan menyebutkan Cara merawat pasien halusinasi
dan resiko perilaku kekerasan, cara berkomunikasi,
pemberian obat dan pemberian aktivitas kepada pasien

3. Evaluasi Hasil
Keluarga yang mengikuti pendidikan kesehatan memahami tentang
pentingnya mengetahui tentang halusinasi dan resiko perilaku
kekerasan
Terkait dengan tujuan yang ingin dicapai:
a. Tes Lisan
1) Penyaji mengajukan beberapa pertanyaan secara langsung
kepada keluarga tentang materi penyuluhan yang akan
dijelaskan.
2) Bila keluarga dapat menjawab 60% dari pertanyaan yang
diajukan, maka dikategorikan pengetahuan baik.

E. Setting tempat
Tempat penyuluhan dengan pengaturan tempat sebagai berikut :

2 2 1 1

2 2 2 1

Keterangan:
1. Penyuluh
2. Keluarga
F. Daftar Pustaka
Aziz R, dkk, 2003 ,Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD
Dr. Amino Gonohutomo,
Balitbang. 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor
Fitria, Nita. 2009. Aplikasi Dasar dan Aplikasi penulisan Laporan
Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP
dan SP). Jakarta: Salemba Medika.
Keliat, B,A. 1998. Askep Pada Klien Gangguan Orientasi Realitas. Jakarta.
_________, 1999, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC,
_________, 1999, Gangguan Konsep Diri, Edisi I, Jakarta : EGC,
Maramis, F, W. 1998. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga
University Press.
Stuart & Sundeen. 1998. Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
Stuart GW, Sundeen, 1995, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5
th ed.). St.Louis Mosby Year Book,
Townsend C. Mary , 1998, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3,
Penerbit Buku Kedokteran,EGC;Jakarta.
Lampiran Materi
GANGGUAN SENSORI PERSEPSI : HALUSINASI

A. KASUS (MASALAH UTAMA)


A. Pengertian
Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai
adanya rangsang dari luar. Walaupun tampak sebagai suatu yang
“khayal”, halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan
mental penderita yang “terepsesi”. Halusinasi dapat terjadi karena
dasarr-dasar organik fungsional, psikotik, maupun histerik (Yosep,
2007).
Menurut Cook dan Fontaine (1987) perubahan persepsi
sensori: halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana
klien mengalami perubahan persepsi sensori, seperti merasakan
sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau
penghiduan. Klien merasakan stimulasi yang sebetulnya tidak ada.
Selain itu, perubahan persepsi sensori: halusinasi bisa juga diartikan
sebagai persepsi sensori tentang suatu objek, gambaran, dan pikiran
yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar meliputi
semua sistem penginderaan (pendengaran, penglihatan, penciuman,
perabaan, atau pengecapan).
Individu menginterpretasikan stresor yang tidak ada stimulus
dari lingkungan (Depkes RI, 2000).
Suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan pada
pola stimulus yang mendekat (yang diprakarsai secara internal dan
eksternal). Disertai dengan suatu pengurangan berlebih-lebihan atau
kelainan berespon terhadap stimulus (Towsend, 1998).
Kesalahan sensori persepsi dari satu atau lebih indra
pendengaran, penglihatan, taktil, atau penciuman yang ada stimulus
eksterna (Antai Otong, 1995).
Gangguan penyerapan/persepsi pancaindra tanpa adanya
rangsangan dari luar. Gangguan ini dapat terjadi pada sistem
pengindraan pada saat kesadaran individu tersebut penuh dan baik.
Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat
menerima rangsangan dari luar dan dari individu sendiri. Dengan
kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang
hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan (Wilson,
1983).

B. Tanda dan gejala halusinasi


Menurut Hamid (2000) perilaku klien yang terkait dengan halusinasi
adalah sebagai berikut :
1) Bicara, senyum dan ketawa sendiri
2) Menggerakan bibir tanpa suara
3) Pergerakan mata yang cepat
4) Respon verbal yang lambat
5) Menarik diri dari orang lain
6) Berusaha menghindari orang lain
7) Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata
8) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan
darah
9) Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa
detik
10)Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori
11)Sulit berhubungan dengan orang lain
12)Ekspresi muka tegang
13)Mudah tersinggung, jengkel, marah
14)Tidak mampu mengikuti perintah dan perawat
15)Tampak tremor dan berkeringat
16)Perilaku panic
17)Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkunga
18)Ketakutan.
C. Tingkatan/ tahapan halusinasi
1) Fase I (Comforting)
Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian,
rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada
pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Disini
klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakan
lidah tanpa suara pergerakan mata cepat diam dan asik sendiri.
2) Fase II (Condemning)
Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan, klien mulai
lepas kendali dan mungkinmencoba untuk mengambil jarak
dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi
peningkatan tanda-tanda system saraf otonom akibat ansietas
seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung,
permafasan dan tekanan darah) asik dengan pengalaman sensori
dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dan
realita.
3) Fase III (Controling)
Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi
dan meyerah pada halusinasi tersebut. Disini klien sukar
berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak
mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam
kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan
berhubungan dengan orang lain.
4) Fase IV (Conquerin)
Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti
perintah halusinasi. Disini terjadi perilaku kekerasan, agitasi,
menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang
kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang,
kondisi klien sangat membahayakan.

D. Teori yang Menjelaskan Halusinasi


1. Teori Biokimia
Terjadi sebagai respon metabolisme terhadap stres yang
mengakibatkan terlepasnya zat halusinogenik neurotik
(buffofenon dan dimethytransaferase).

2. Teori Psikoanalisis
Merupakan respon pertahanan ego untuk melawan rangsangan
dari luar yang mengancam dan ditekan untuk muncul dalam alam
sadar.
E. Jenis – jenis Halusinasi
Jenis Halusinasi Data Objektif Data Subjektif
Halusinasi Dengar  Bicara atau  Mendengar suara-
tertawa sendiri. suara atau
(Klien mendengar
 Marah-marah kegaduhan.
suara/bunyi yang tidak
tanpa sebab.  Mendengar suara
ada hubungannya
 Mendekatkan yang mengajak
dengan stimulus yang
telinga ke arah bercakap-cakap.
nyata/lingkungan).
tertentu.  Mendengar suara
 Menutup telinga. menyuruh
melakukan
sesuatu yang
berbahaya.

Halusinasi  Menunjuk- Melihat bayangan,


Penglihatan nunjuk ke arah sinar, bentuk
tertentu. geometris, kartun,
(Klien melihat
 Ketakutan pada melihat hantu, atau
gambaran yang
situasi yang monster.
jelas/samar terhadap
tidak jelas.
adanya stimulus yang
nyata dari lingkungan
dan orang lain tidak
melihatnya).
Halusinasi Penciuman  Mengendus- Membauai bau-
endus seperti bauan seperti bau
(Klien mencium bau
sedang membaui darah, urin, feses,
yang muncul dari
bau-bauan dan terkadang bau-
sumber tertentu tanpa
tertentu. bau tersebut
stimulus yang nyata).
 Menutup hidung. menyenangkan bagi
klien.

Halusinasi  Sering meludah. Merasakan rasa


Pengecapan  Muntah. seperti darah, urin,
atau feses.
(Klien merasakan
sesuatu yang tidak
nyata, biasanya
merasakan rasa yang
tidak enak).
Halusinasi Perabaan  Menggaruk-  Mengatakan ada
garuk serangga di
(Klien merasakan
permukaan kulit. permukaan kulit.
sesuatu pada kulitnya  Merasa seperti
tanpa ada stimulus yang tersengat listrik.
nyata)
Halusinasi Kinestetik  Memegang Mengatakan
kakinya yang badannya melayang
(Klien merasa badannya
dianggapnya di udara.
bergerak dalam suatu
bergerak sendiri.
ruangan/anggota
badannya bergerak)
Halusinasi Viseral  Memegang Mengatakan
badannya yang perutnya menjadi
(Perasaan tertentu
dianggap mengecil setelah
timbul dalam tubuhnya)
berubah bentuk minum softdrink.
dan tidak
normal seperti
biasanya.

Sumber : Stuart dan Sundeen (1998)

F. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi
jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu
untuk mengatasi stress. Diperoleh dari klien atau keluarga. Faktor
predisposisi meliputi:
1. Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan
interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami stress
dan kecemasan.
2. Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang
merasa disingkarkan, sehingga orang tersebut merasa kesepian di
lingkungan yang membesarkannya.
3. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika
seseorang mengalami stres yang berlebihan, maka di dalam
tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat
halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan
dimethytransferase (DMP).
4. Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran
ganda bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan
mengakibatkan stres dan kecemasan yang tinggi dan berakhir
pada gangguan orientasi realitas.
5. Faktor Genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi
hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

G. Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan,
ancaman/tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping.
Adanya rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi
klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang
ada dilingkungan juga suasana sepi/isolasi adalah sering sebagai
pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapat
meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh
mengeluarkan zat halusinogenik.
H. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut,
tidak aman, gelisah dan bingung, berperilaku yang merusak diri,
kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, serta tidak
dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Rawlins dan
Heacock (1993) mencoba memecahkan masalah halusinasi
berlandaskan atas hakikat keberadaan individu sebagai makhluk
yang dibangun atas unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga
halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu:
1. Dimensi fisik
Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi
ransangan eksternal yang diberikan oleh lingkungannya.
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti:
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam
hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan tidur dalam
waktu lama.
2. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan karena masalah yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi terjadi. Isi dari halusinasi
dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan, sehingga klien
tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga berbuat
sesuatu terhadap ketakutannya.
3. Dimensi intelektual
Individu yang mengalami halusinasi akan memperlihatkan adanya
penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha
dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, tetapi
pada saat tertentu menimbulkan kewaspadaan yang dapat
mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan
mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi sosial
Dimensi sosial menunjukkan individu cenderung untuk mandiri.
Individu asik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan
tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol
diri, dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi
halusinasi dijadikan sistem kontrol, sehingga jika perintah
halusinasi berupa ancaman, maka hal tersebut dapat mengancam
dirinya atau orang lain. Dengan demikian intervensi keperawatan
pada klien yang mengalami halusianasi adalah dengan
mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan
penngalaman interpersonal yang memuaskan, serta
mengusahakan agar klien tidak menyendiri.
5. Dimensi spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga
interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang
mendasar. Klien yang mengalami halusiansi cenderung
menyendiri dan cenderung tidak sadar dengan keberadaanya
serta halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut.
I. Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang.
Individu dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan
sumber koping dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal
untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan
budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman
yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang
berhasil.
J. Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk
upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan
yang digunakan untuk melindungi diri.
K. Tahapan Halusinasi
1. Tahap I ( non-psikotik )
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada
klien, tingkat orientasi sedang. Secara umum pada tahap ini
halusinasi merupakan hal yang menyenangkan bagi klien.
Karakteristik :
a. Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan
ketakutan
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan
kecemasan
c. Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam control
kesadaran
Perilaku yang muncul :
a. Tersenyum atau tertawa sendiri
b. Menggerakkan bibir tanpa suara
c. Pergerakan mata yang cepat
d. Respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi
2. Tahap II ( non-psikotik )
Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan
mengalami tingkat kecemasan yang berat. Secara umum,
halusinasi yang ada dapat menyebabkan antipasti.
Karakteristik :
a. Pengalaman sensori menakutkan atau merasakan dilecehkan
oleh pengalaman tersebut
b. Mulai merasa kehilangan kontrol
c. Menarik diri dari orang lain
Perilaku yang muncul :
a. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan
darah.
b. Perhatian terhadap lingkungan menurun
c. Konsentrasi terhadap pengalaman sensori menurun
d. Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara
halusinasi dan realita
3. Tahap III ( psikotik )
Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat
kecemasan berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi.
Karekteristik:
a. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya
b. Isi halusinasi menjadi atraktif
c. Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir
Perilaku yang muncul :
a. Klien menuruti perintah halusinasi
b. Sulit berhubungan dengan orang lain
c. Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat
d. Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata
e. Klien tampak tremor dan berkeringat
4. Tahap IV ( psikotik )
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien
terlihat panic
Perilaku yang muncul :
a. Resiko tinggi menciderai
b. Agitasi atau kataton
c. Tidak mampu merespon rangsangan yang ada
Timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya
diawali dengan seseorang yang menarik diri dari lingkungan karena
orang tersebut menilai dirinya rendah. Bila klien mengalami
halusinasi dengar dan lihat atau salah satunya yang menyuruh pada
kejelekan maka akan berisiko terhadap perilaku kekerasan.
L. Pohon Masalah
Effect Resiko tinggi perilaku kekerasan

Core Problem Perubahan sensori persepsi : Halusinasi

Causa Isolasi Sosial

Harga diri rendah

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN


A. Perubahan persepsi sensori : halusinasi
Data Mayor :
 DS : Mengatakan mendengar suara, bisikan/melihat
bayangan
 DO : Bicara sendiri, tertawa sendiri, marah tanpa sebab

Data Minor :
 DS : Menyatakan kesal, menyatakan senang dengan suara-
suara
 DO : Menyendiri, melamun

B. Isolasi sosial
Data Mayor :
 DS : Klien mengatakan malas berinteraksi, mengatakan orang
lain tidak mau menerima dirinya, merasa orang lain
tidak selevel.
 DO : Menyendiri, mengurung diri, tidak mau bercakap-
cakap dengan orang lain.
Data Minor :
 DS : Curiga dengan orang lain, mendengar suara/melihat
bayangan, merasa tak berguna
 DO : Mematung, mondar-mandir tanpa arah, tidak
berinisiatif berhubungan dengan orang lain

C. Harga diri rendah kronik


Data Mayor :
 DS : Klien hidup tak bermakna, tidak memiliki kelebihan apapun,
merasa jelek
 DO : Kontak mata kurang, tidak berinisiatif berinteraksi dengan
orang lain
Data Minor :
 DS : Klien mengatakan malas, putus asa, ingin mati.
 DO : Klien malas-malasan, produktivitas menurun

D. Risiko tinggi perilaku kekerasan


Data Mayor :
 DS : Mengatakan pernah melakukan tindakan kekerasan,
informasi dari keluarga tindak kekerasan yang dilakukan oleh
pasien
 DO : Ada tanda/jejas perilaku kekerasan pada anggota tubuh
Data Minor :
 DS : Mendengar suara-suara, merasa orang lain mengancam,
menganggap orang lain jahat
 DO : Tampak tegang saat bercerita, pembicaraan kasar jika
menceritakan marahnya
PERILAKU KEKERASAN

A. KASUS (MASALAH UTAMA)


A. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik
terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut
dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang
tidak konstruktif (Stuart dan Sundeen, 1995).
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk
perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis (Berkowitz dalam Harnawati, 1993).
Sementara, menurut (Towsend, 1998) perilaku kekerasan
adalah suatu keadaan dimana seseorang individu mengalamai
perilaku yang dapat melukai secara fisik baik terhadap diri sendiri
maupun orang lain. Suatu keadaan di mana klien mengalami perilaku
yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk orang
lain dan barang – barang (Maramis, 1998).
Perilaku kekerasan dapat dibagi dua menjadi perilaku
kekerasan scara verbal dan fisik (Keltner et al, 1995).

B. Tanda dan Gejala


1. Fisik : Muka merah, Pandangan tajam/mata melotot, tangan
mengepal, otot tegang, rahang mengatup, serta postur
tubuh kaku.
2. Verbal : Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor,
berbicara dengan nada keras, kasar dan ketus.
3. Perilaku : Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain,
merusak lingkungan, amuk/agresif
4. Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa
terganggu, dendam, jengkel, tidak berdaya,
bermusuhan, ngamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual : Mendominasi, cerewet, cenderung suka meremehkan,
berdebat, kasar, dan tidak jarang mengeluarkan
kata-kata bernada sarkasme
6. Spiritual : Merasa diri kuasa, merasa diri benar, keragu-raguan,
tak bermoral, kreativitas terhambat
7. Sosial : Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan,
ejekan sindiran, memperlihatkan permusuhan, mendekati oran
lain dengan ancaman, memberikan kata-kata ancaman dengan
rencana melukai menyentuh orang lain dengan cara yang
menakutkan, mempunyai rencana untuk melukai

C. Rentang Respon
Respon Adaptif Respo Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan


Keterangan :
1. Asertif : Individu dapat mengungkapkan marah tanpa
menyalahkan orang lain dan memberikan ketenangan
2. Frustasi : Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah
dan tidak dapat menemukan alternative
3. Pasif : Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya
4. Agresif : Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan
untuk menuntut tetapi masih terkontrol
5. Kekerasan : Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta
hilangnya control.
Perbandingan antara perilaku Asertif, Pasif dan
Agresif/Kekerasan
Pasif Asertif Agresif
Isi Negatif dan Positif dan Menyombongkan
Pembicaraan merendahkan diri, menawarkan diri, diri. Merendahkan
contohnya perkataan contohnya orang lain,
: perkataan : contohnya
“Dapatkah saya?” “Saya dapat…” perkataan :
“Dapatkah kamu?” “Saya akan….” “Kamu selalu…”
“Kamu tidak
pernah…”
Tekanan Cepat lambat, Sedang Keras dan ngotot
suara mengeluh
Posisi badan Menundukan kepala Tegap dan santai Kaku, condong
kedepan
Jarak Menjaga jarak Mempertahankan Siap dengan jarak
dengan sikap acuh/ jarak yang akan menyerang
mengabaikan nyaman orang lain
Penampilan Loyo, tidak dapat Sikap tenang Mengancam, posisi
tenang menyerang
Kontak mata Sedikit/sama sekali Mempertahankan Mata melotot dan
tidak kontak mata dipertahankan
sesuai dengan
hubungan

Sumber : Keliat (1999) dalam Fitria (2009)


D. Faktor Predisposisi
Menurut Townsend (1996) terdapat beberapa teori yang dapat
menjelaskan tentang factor predisposisi perilaku kekerasan
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Teori Biologik
Berdasarkan teori biologic, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu
sebagai berikut :
a. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen system
neurologis mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Sistem limbic sangat terlibat
dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan
respons agresif
b. Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend
(1996) menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter
(epinefrin, norepinefrin, dopamine, asetil kolin dan serotinin)
sangat berperan dalam memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif. Peningkatan hormone androgen dan
norepinefrin serta penurunan serotonin dan GABA (6 dan 7)
pada cairan serebrospinal merupakan factor predisposisi
penting yang menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada
seseorang.
c. Pengaruh genetic, menurut penelitian perilaku agresif sangat
erat kaitannya dengan genetic termasuk genetic tipe kariotipe
XYY, yang umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku
tindak criminal (narapidana)
d. Gangguan otak, sindrom otak organic berhubungan dengan
berbagai gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada
limbic dan lobus temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis,
epilepsi (epilepsi lobus temporal) terbukti berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2. Teori Psikologik
a. Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak
terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan
tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang
rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan
dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta
memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya
berasumsi bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan
merupakan pengungkapan secra terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri pelaku tindak
kekerasan.
b. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku
yang dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologic
terhadap perilaku kekerasan lebih cenderung untuk
dipengaruhi oleh contoh peran eksternal dibandingkan anak-
anak tanpa factor predisposisi biologic.
3. Teori Sosiokultural
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima
perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam
masyarakat ,erupakan factor predisposisi terjadinya perilaku
kekerasan
E. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi factor internal dan
eksternal :
1. Internal adalah semua factor yang dapat menimbulkan
kelemahan, menurunya percaya diri, rasa takut sakit, hilang
kontrol dan lain-lain.
2. Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang
dicintai, krisis dan lain-lain.
Menurut Shives (1998) hal-hal yang dapat menimbulkan perilaku
kekerasan atau penganiayaan antara lain sebagai berikut :
1. Kesulitan kondisi social ekonomi
2. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu
3. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang
yang dewasa
4. Pelaku mungkin mempuanyai riwayat anti sosial seperti
penyalahgunaan obat dan alkohol serta tidak mampu mengontrol
emosi pada saat menghadapi rasa frustasi
5. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan
tahap perkembangan keluarga.
F. Mekanisme Koping
Mekanisme yang umum digunakan adalah mekanisme
pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represif,
denial, dan reaksi formasi.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka
yang berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang
dianggap sangat berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut
tidak teratasi, maka dapat menyebabkan seseorang rendah diri (Harga
diri rendah), sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila
ketidakmampuan bergaul dengan orang lain ini tidak diatasi akan
memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau bayangan yang
meminta klien untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut dapat
berdampak pada keselamatan dirinya dan orang lain (resiko tinggi
mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan,
dukungan keluarga yang kurang baik dalam menghadapi kondisi klien
dapat mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga tidak
efektif). Hal ini tentunya menyebabkan klien sering keluar masuk RS
atau menimbulkan kekambuhan karena dukungan keluarga tidak
maksimal (regimen teurapeutik inefektif).

G. Pohon Masalah
Resiko Tinggi Mencederai diri, orang lain dan lingkungan

Perilaku kekerasan GPS : Halusinasi

Regimen Teurapeutik
Inefektif
HDR Kronis Isolasi social
Koping keluarga
Tidak Efektif Berduka disfungsional

H. Faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah perilaku


kekerasan, antara lain sebagai berikut :
1. Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah
2. Stimulus lingkungan
3. Konflik interpersonal
4. Status mental
5. Putus obat
6. Penyalahgunaan narkoba/alcohol

II. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN


A. Perilaku kekerasan
Data Mayor :
 DS : Mengancam, mengumpat, bicara keras dan kasar
 DO : Agitasi, meninju, membanting dan melempar

Data Minor :
 DS : mengatakan ada yang mengejek dan mengancam,
mendengar suara yang menjelekkan, merasa orang lain
mengancam dirinya
 DO : menjau dari orang lain, katatonia

B. Perubahan sensori persepsi : halusinasi


Data Mayor :
 DS : Mengatakan mendengar suara, bisikan/melihat
bayangan
 DO : Bicara sendiri, tertawa sendiri, marah tanpa sebab
Data Minor :
 DS : Menyatakan kesal, menyatakan senang dengan suara-
suara
 DO : Menyendiri, melamun
C. Harga diri rendah kronis
Data Mayor :
 DS : Klien hidup tak bermakna, tidak memiliki kelebihan apapun,
merasa jelek
 DO : Kontak mata kurang, tidak berinisiatif berinteraksi dengan
orang lain
Data Minor :
 DS : Klien mengatakan malas, putus asa, ingin mati.
 DO : Klien malas-malasan, produktivitas menurun

D. Isolasi sosial
Data Mayor :
 DS : Klien mengatakan malas berinteraksi, mengatakan orang
lain tidak mau menerima dirinya, merasa orang lain
tidak selevel.
 DO : Menyendiri, mengurung diri, tidak mau bercakap-
cakap dengan orang lain.
Data Minor :
 DS : Curiga dengan orang lain, mendengar suara/melihat
bayangan, merasa tak berguna
 DO : Mematung, mondar-mandir tanpa arah, tidak
berinisiatif berhubungan dengan orang lain

E. Berduka disfungsional
Data Mayor :
 DS : Mengungkapkan tak berdaya dan tak ingin hidup lagi
 DO : mengungkapkan sedih karena tidak naik kelas/kehilangan
seseorang
Data Minor :
 DS : Ekspresi wajah sedih
 DO : Tidak ada kontak mata ketika diajak bicara

F. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif


Data Mayor :
 DS : Mengatakan tidak ada perubahan, mengatakan bosan minum
obat, mengatakan takut keracunan.
 DO : Membuang obat, perilaku tidak berubah, waktu menunggu
efek obat lama
Data Minor :
 DS : Tidak yakin obat bisa menyembuhkan, mempercayai
pengobatan alternative
 DO : Ada obat yang yang seharusnya diminum, kemajuan klien
kurang

G. Koping keluarga tidak efektif


H. Risiko mencederaidiri sendiri, orang lain dan lingkungan

Anda mungkin juga menyukai