Jawaban No. 1docx
Jawaban No. 1docx
Jawaban No. 1docx
Kehadiran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) pada masa reformasi ini haruslah
benar-benar dimaknai sebagai jalan yang diharapkan akan mampu mengantar bangsa Indonesia
menciptakan demokrasi, good governance, negara hukum dan masyarakat sipil yang relevan
dengan tuntutan global. Tentunya ekspektasi ini harus disertai dengan tindakan nyata bangsa
ini, khususnya kalangan Perguruan Tinggi untuk mengapresiasi dan mengimplementasikan
Pendidikan Kewarganegaraan dalam dunia pendidikan. Jadi, hasil pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (civic education) sangat penting artinya bagi penumbuhan budaya
demokrasi di Indonesia. Untuk mencapai tujuan pendidikan kewarganegaraan seperti
tersebutdi atas, sangat dibutuhkan model dan strategi pembelajaran yang humanistik yang
mendasarkan pada asumsi bahwa mahasiswa adalah manusia yang mempunyai potensi dan
karakteristik yang berbeda-beda. Mahasiswa diposisikan sebagai subjek, sementara dosen
diposisikan sebagai fasilitator dan mitra dialog mahasiswa. Materi disusun berdasarkan
kebutuhan dasar mahasiswa, bersifat fleksibel, dinamis dan fenomenologis sehingga materi
tersebut bersifat kontekstual dan relevan dengan tuntutan dan perubahan masyarakat lokal,
nasional, dan global.
1. Kecakapan dan kemampuan penguasaan pengetahuan yang terkait dengan materi inti,
2. Kecakapan dan kemampuan sikap,
3. Kecakapan dan kemampuan mengartikulasikan keterampilan seperti kemampuan
berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik, kemampuan melakukan
kontrol terhadap penyelenggara negara dan pemerintahan.
C. Tantangan Global
Globalisasi dapat dimaknai sebagai proses integrasi dunia disertai dengan ekspansi pasar
(barang dan uang) yang di dalamnya mengandung banyak implikasi bagi kehidupan manusia
(Khor, 2000). Integrasi dunia diperkirakan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) dan
diharapkan dapat merangsang perluasan peluang kerja dan peningkatan upah rielse hingga
kemiskinan berkurang. Bagi negara maju dengan ketersediaan dukungan berbagai keunggulan
(sumber daya manusia dan teknologi) barangkali harapan-harapan itu dapat menjadi kenyataan.
Namun, bagi kebanyakan negara berkembang dengan berbagai kondisi keterbelakangan
merasa khawatir bahwa integrasi dunia hanya menguntungkan pemilik modal (negara maju).
Berangkat dari pemikiran itu, Schiller dalam Nasikun (2005) menyatakan bahwa universitas di
negara-negara Dunia Ketiga semakin tidak memiliki kemampuan untuk mencegah hadirnya
paling sedikit tiga ragam perubahan sangat problematik, yaitu :
1. Universitas harus menyaksikan hadirnya dinamika perkembangan masyarakat yang
semakin dikendalikan oleh “kriteria-kriteria pasar” Sentralitas prinsip-prinsip pasar
pada gilirannya telah menghasilkan terjadinya komodifikasi dan komersialisasi
informasi dan dengan demikian hanya akan menjamin ketersediaan informasi sejauh
ia menghasilkan keuntungan.
2. Globalisasi teknologi informasi juga telahdan akan mengakibatkan masyarakat dan
ekonomi kita semakin tumbuh menjadi sebuah “corporate capitalism” yang akan
semakin didominasi olehinstitusi-institusi korporatis di dalam bentuk organisasi
oligopolis atau bahkan monopolis.
3. Sebagai hasil dari keduanya, yang telah dan akankita saksikan semakin transparan
adalah meningkatnya kesenjangan kelas (class inequality) yang akan semakin
menguasai dinamika perkembangan masyarakat dan ekonomi kita pada masa
mendatang. Tantangan sangat besar yang harus dijawab oleh setiap universitas dimasa
depan adalah bagaimana misinya itu harus dirumuskan dandidefinisikan kembali
dalam bentuknya yang lebih kontekstual untuk menghadapi tekanan perubahan-
perubahan global yang semakin keras saatini dan di masa depan. Misi universitas
harus dikontekstualisasikan dan direvitalisasi sehingga aktualisasinya melalui
tridharma universitas benar-benar memiliki kemampuan untuk menjawab tantangan
perubahan-perubahan global.