Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN

Epilepsi berasal dari kata yunani “epilambanien” yang berarti “serangan” dan
menunjukan bahwa “ sesuatu dari luar tubuh seseorang menimpanya, sehingga dia jatuh”.
Menurut WHO Epilepsi merupakan ganguan neurologis kronis yang dapat terjadi disegala
usia.1
Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya bangkitan
epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi oleh karena
lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai etiologi.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang
berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa
perubahan kesadaran , disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf diotak yang
bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).1
Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang saraf anak,
yang menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan belajar, gangguan tumbuh-
kembang, dan menentukan kualitas hidup anak.1 Insidens epilepsi pada anak dilaporkan dari
berbagai negara dengan variasi yang luas, sekitar 4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain
penelitian dan kelompok umur populasi.2 Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-
1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan
diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak- anak.3 Sebagian besar epilepsi bersifat idiopatik,
tetapi sering juga disertai gangguan neurologi seperti retardasi mental, palsi serebral, dan
sebagainya yang disebabkan kelainan pada susunan saraf pusat.2
Epilepsi merupakan diagnosis klinis, pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan
neurofisiologi yang diperlukan untuk melihat adanya fokus epileptogenik, menentukan
sindrom epilepsi tertentu, evaluasi pengobatan, dan menentukan prognosis.5 Pemeriksaan
pencitraan (neuroimaging) yang paling terpilih adalah magnetic resonance imaging (MRI)
untuk melihat adanya fokus epilepsi dan kelainan struktural otak lainnya yang mungkin
menjadi penyebab epilepsi.3

Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang. Berdasarkan


asumsi bahwa Indonesia termasuk negara yang sedang berkembang, maka kejadian epilepsi
di Indonesia lebih tinggi daripada di negara maju/industri. Dari banyak studi menunjukkan
bahwa rata-rata prevalensi aktif 8,2 per 1.000 penduduk, sedangkan angka insidensi epilepsi
mencapai 50 per 100.000 penduduk. Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka

1
diperkirakan jumlah pasien epilepsi yang masih mengalami bangkitan atau membutuhkan
pengobatan sekitar 1,8 juta. Berkaitan dengan umur, grafik prevalensi epilepsi menunjukkan
pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada
dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok usia lanjut.2

Berikut ini dilaporkan pasien dengan epilepsi yang mendapat perawatan di paviliun
catelia RSUD UNDATA Palu.

2
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir/Usia : 15 juni 2010/7 tahun 8 bulan
Ruangan : Catelia Bawah
Tanggal Masuk : 17 Februari 2018
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang :Pasien anak perempuan umur 7 tahun 8 bulan masuk
rumah sakit dengan keluhan kejang, kejang sebanyak 1
kali dalam sehari dan tidak didahului oleh demam,
menurut orang tua pasien, pasien tiba-tiba kejang yang
terjadi diseluruh tubuh disertai kaku dan tidak sadar. saat
kejang, mata memandang ke atas, lidah tidak tergigit
tapi keluar lendir berbusa dari mulut pasien. kejang
berlangsung kurang dari 15 menit. setelah kejang pasien
langsung tersadar lalu tertidur karena lemas. batuk (-),
flu(-), BAB(+) lancar dan BAK (+) lancar.
Riwayat Penyakit Sebelumny: Riwayat kejang berulang sejak tahun 2017 dan telah di
rawat sebanyak 4 kali.
Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan
yang sama, riwayat HT dan DM disangkal, riwayat
alergi disangkal.
Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan : merupakan anak yang aktif dan di Lingkungan
sekitar tidak ada yang memiliki keluhan yang
serupa.
Riwayat Kehamilan dan Persalinan :Pasien lahir normal cukup bulan di rumah sakit di
bantu bidan, langsung menangis, BBL= 3 kg dan
PBL tidak diingat oleh ibunya
Kemampuan dan Kepandaian Bayi :Pasien mulai merangkak sekitar umur 6 bulan,
belajar berdiri umur 10 bulan, jalan umur 1
tahun, bicara umur 1 tahun lebih.

3
Anamnesis Makanan : tidak ada pemberian ASI, susu formula mulai lahir hingga 2
tahun dan pemberian bubur dari umur 1 tahun sampai 2 tahun
dan dilanjutkan pemberian nasi sampai sekarang.
Riwayat Imunisasi : Imunisasi dasar lengkap

III. PEMERIKSAAN FISIK


- Keadaan Umum : Sakit sedang
- Kesadaran : Komposmentis
- Berat Badan : 21 kg
- Tinggi/Panjang Badan : 122 cm
- Status Gizi : Gizi Baik
- Tanda Vital :
Denyut Nadi : 110 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu : 36.60C
- Kulit : Warna sawo matang, turgor <2 detik, ruam (-)
- Kepala
Bentuk : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-), hiperemis (-), Sklera ikterik (-), mata
cekung (-/-)
Hidung : Rhinorrhea (+)
Mulut : Sianosis (-), lidah kotor (-), T1/T1
Telinga : Otorrhea (-/-)
- Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar
tiroid (-)
- Paru – Paru
Inspeksi : Ekspansi paru simetris bilateral, retraksi (-).
Palpasi : Vokal fremitus kanan=kiri kesan normal
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronchi (-/-), wheezing (-/-)
- Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula sinistra
Perkusi : Batas jantung normal

4
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, murmur (-)
- Abdomen
Inspeksi : Tampak datar, ikut gerak nafas
Auskultasi : Terdengar peristaltik usus (+), kesan normal
Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen
Palpasi : nyeri tekan (-) Organomegali (-), turgor kembali cepat

- Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)


- Genitalia : dalam batas normal

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


WHOLE BLOOD Hasil Rujukan Satuan
Hemoglobin 13,4 13,5-19,5 g/dl
Sel darah merah 4,86 4,00-6,00 106/mm3
Sel darah putih 9,7 10,0-26,0 103/mm3
Hematokrit 41,8 44,0 – 64,0 %
Trombosit 417 150-400 103/mm3

V. RESUME
Pasien anak perempuan umur 7 tahun 8 bulan masuk rumah sakit dengan keluhan
kejang, kejang sebanyak 2 kali dalam sehari dan tidak didahului oleh demam, menurut
orang tua pasien, pasien tiba-tiba kejang yang terjadi diseluruh tubuh disertai kaku dan
tidak sadar. saat kejang, mata memandang ke atas, lidah tidak tergigit tapi keluar lendir
berbusa dari mulut pasien. kejang pertama dan kedua berlangsung kurang dari 15 menit.
setelah kejang pasien langsung tersadar lalu tertidur karena lemas. riwayat kejang
berulang sejak tahun 2017 dan telah di rawat sebanyak 4 kali.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan denyut nadi 110 kali/menit, respirasi 20 kali/menit,
suhu 36,60C,. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin 13,4 g/dl,sel darah
merah 4,86x106/mm3 sel darah putih 9,7x 103/mm3, hematokrit 41,8 %, dan trombosit
417 x 103/mm3.
VI. DIAGNOSIS
Epilepsi
VII. TERAPI

5
Medikamentosa :
- IVFD RL 16 tetes per menit
- Asam valproat syrup 250mg/5ml 2 x 1 cth
Non-medikamentosa:
- Mengawasi anak jika sewaktu-waktu kejang, jangan biarkan bermain sendiri di
daerah ketinggian, daerah yang dekat dengan air
VIII. ANJURAN
- pemeriksaan kadar elektrolit
- pemeriksaan GDS
- Pemeriksaan EEG
IX. FOLLOW UP
Tanggal 18/02/2017
S : Panas (-), kejang (-), batuk (-), flu (-), muntah (-), sesak (-), nafsu makan baik, BAB
biasa, BAK lancar.
O: Tanda vital :
Nadi : 100 kali/menit
Suhu : 36,6,0°C
Respirasi : 20 kali/menit
Kulit : turgor baik
Kepala : normocephali
Leher :Tonsil T1/T1 tidak hiperemis,
Dada : dalam batas normal
Abdomen : Peristaltik usus (+), kesan normal
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)
A: Epilepsi
P: Medikamentosa :
- IVFD RL 20 tetes permenit
- Asam valproat syrup 2 x 1 cth
Non-medikamentosa:
- Mengawasi anak jika sewaktu-waktu kejang, jangan biarkan bermain sendiri di
daerah ketinggian, daerah yang dekat dengan air

6
Tanggal 19/02/2018
S : Panas (-), kejang (-), batuk (-), flu (-), muntah (-), sesak (-), nafsu makan baik, BAB
biasa, BAK lancar
O: Tanda vital :
Nadi : 96kali/menit
Suhu : 36,5°C
Respirasi : 24 kali/menit
Kulit : turgor baik
Kepala : normocephali
Leher :Tonsil T1/T1 tidak hiperemis,
Dada : dalam batas normal
Abdomen : Peristaltik usus (+), kesan normal
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-)
A: Epilepsi
P: Medikamentosa :
- IVFD RL 20 tetes permenit
- Asam valproat syrup 2 x 1 cth
Non-medikamentosa:
- Mengawasi anak jika sewaktu-waktu kejang, jangan biarkan bermain sendiri di
daerah ketinggian, daerah yang dekat dengan air

7
DISKUSI
A. DEFINISI
Epilepsi adalah suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi
yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis,
kognitif,psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya.Sedangkan
bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas
(transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.1
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yaitu:1
a. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya
b. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan
selanjutnya
c. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan
konsekuensi sosial yang ditimbulkan.
Ketiga elemen di atas harus diperhatikan karena dalam mentatalaksana seorang
penyandang epilepsi, tidak hanya faktor bangkitan atau kejang yang perlu diperhatikan
namun konsekuensi sosial yang ditimbulkan juga harus diperhatikan seperti dikucilkan
oleh masyarakat, stigma bahwa penyakit epilepsi adalah penyakit menular, dan
sebagainya.2
Serangan epileptik adalah gejala yang timbul secara tiba-tiba dan menghilang secara
tiba-tiba pula. Serangan yang hanya bangkit sekali saja tidak boleh dianggap sebagai
serangan epileptik, tetapi serangan yang timbul secara berkala pada waktu-waktu tertentu
barulah dapat disebut serangan epileptik.2
B. EPISEMIOLOGI
Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang
hampir sama, walaupun beberapa peneliti menemukan angka yang lebih tinggi di negara
berkembang. Penderita laki-laki lebih banyak daripada penderita wanita, dan lebih sering
dijumpai pada anak pertama.4
Peneliti umumnya memperoleh insiden 20-70 per 100.000 per tahun dan prevalensi
sewaktu 4-10 per 1000 pada populasi umum. Prevalensi total yang dihitung berdasarkan
jumlah penduduk dalam suatu populasi yang pernah menderita epilepsi diperkirakan
sekitar 2-5% sehingga diperkirakan sebanyak 1 diantara 20 penduduk di dalam suatu
populasi akan mengalami kejang pada suatu saat dalam hidupnya dan 1 diantara 200
akan mengalami epilepsi. Pada populasi anak diperkirakan 0,3-0,4% diantaranya
mengalami epilepsi.4

8
Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang. Berdasarkan
asumsi bahwa Indonesia termasuk negara yang sedang berkembang, maka kejadian
epilepsi di Indonesia lebih tinggi daripada di negara maju/industri. Dari banyak studi
menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi aktif 8,2 per 1.000 penduduk, sedangkan angka
insidensi epilepsi mencapai 50 per 100.000 penduduk. Bila jumlah penduduk Indonesia
berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah pasien epilepsi yang masih mengalami
bangkitan atau membutuhkan pengobatan sekitar 1,8 juta. Berkaitan dengan umur, grafik
prevalensi epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-
anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat
lagu pada kelompok usia lanjut.3
C. ETIOLOGI
Etiologi epilepsi dapat dibagi atas 3 kelompok4 :
1. Epilepsi idiopatik yang penyebabnya tidak diketahui meliputi ± 50% dari penderita
Epilepsi anak umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia
> 3 tahun. Biasanya tidak menunjukkan manifestasi cacat otak dn juga tidak bodoh.
Umumnya faktor genetic lebih berperan pada epilepsi idiopatik. Dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat – alat diagnostik yang
canggih kelompok ini makin kecil
2. Epilepsi simptomatik dapat terjadi bila fungsi otak terganggu oleh berbagai kelainan
intracranial maupun ekstrakranial. Penyebab intracranial misalnya anomaly
congenital, trauma otak, neoplasma otak, lesi iskemia, ensefalopati, abses otak,
jaringan parut. Penyebab yang bermula ekstrakranial dan kemudian juga
mengganggu fungsi otak misalnya gagal jantung, gangguan pernafasan, gangguan
metabolism (hipoglikemia, hiperglikemia, uremia), gangguan keseimbangan
elektrolit, intoksikasi obat, gangguan hidrasi.
3. Epilepsi kriptogenik dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus.
D. PATOFISIOLOGI
Serangan epilepsi terjadi apabila prose eksitasi di dalam otak lebih dominan dari
pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, dan
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage- gated ion channel openening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalm hal inisiasi dan perambatan
aktivitas epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang

9
ekstraseluler dan imtraseluler, dan oleh gerakan keluar masuk ion-ion menembus
membran neuron.2
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi
pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik
yang disebabkan oleh adanya potensial membran sel. Potensial membran sel neuron
bergantung pada permeabilitas selektif membran neuron, yakni membran sel mudah
dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali ion Ca, Na,
Cl, sehingga di dalam sel terdapat konsentrasi tinggi ion K dan konsentrasi rendah ion
Ca,Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan
konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran.2
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrit-dendrit dan badan-
badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran neuron
berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang
memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang
menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut
glutamate, aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal
ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis
lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi
dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat,
membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh
sel akan melepas muatan listrik.2,4
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
menganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca
dan Na dari ruangan ekstra ke intraseluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali.
Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan
dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa
saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah
pengaruh neuron-neuron sekitar fokus epileptik. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra
dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus menerus berlepas
muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan

10
epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting
untuk fungsi otak.2,4
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang
tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi
ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara
teori sinkronisasi ini dapat terjadi.2,4
1. Fungsi jaringan neuron penghamabat (neurotransmiter GABA dan Glisin) kurang
optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspirin)
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga. Fungsi neuron
penghambat bisa kurang optimaal antara lain bila konsentrasi GABA (gamma
aminobutyric acid) tdak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi ternyata
kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial
presinaptik (ipsps = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA.
Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik berlebihan hingga terjadi
pelepasan impuls epileptik berlebihan juga. Kemungkinan lain adalah bahwa fungsi
jaringan neuron penghambat normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang
terlalu kuat. Keadaan ini bisa ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di
otak, sampai berapa jauh peran peningkatan glutamat ini pada orang yang menderita
epilepsi belum diketahui secara pasti.
E. KLASIFIKASI
I . Kejang Parsial (fokal)
A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikik
B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
b. Dengan automatisme
2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
a. Dengan gangguan kesadaran saja
b. Dengan automatisme

11
C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik, tonik
atau klonik)
1. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum
2. Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum
3. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi kejang umum
II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)
A. Lena/ absens
B. Mioklonik
C. Tonik
D. Atonik
E. Klonik
F. Tonik-klonik
F. DIAGNOSIS
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu4 :
1. Memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksisimal menuju bangkitan epilepsi
atau bukan epilepsi.

2. Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah bangkitan yang ada
termasuk jenis bangkitan apa (klasifikasi)
3. Pastikan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan tadi, atau epilepsi apa
yang diderita oleh pasien dan tentukan etiologinya.
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam bentuk
bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform
pada EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai
berikut4 :

1. Anamnesis
a. Pola atau bentuk bangkitan
b. Lama bangkitan
c. Gejala sebelum, selama dan pasca bangkitan
d. Frekuensi bangkitan
e. Faktor pencetus
f. Ada atau tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama

12
h. Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan dan perkembangan bayi atau anak
i. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisis umum dan neurologis
Dilakukan pemeriksaan yang meliputi pemeriksaan secara pediatris dan
neurologis. Diperiksa keadaan umum, tanda-tanda vital, kepala, jantung, paru, perut,
hati dan limpa, anggota gerak dan sebagainya. Hal yang perlu diperiksa antara lain
adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, misalnya
trauma kepala, infeksi telinga atau sinusitis, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus, kecanduan alcohol atau obat terlarang dan kanker. Pada
pemeriksaan neurologis diperhatikan kesadaran, kecakapan, motoris dan mental,
tingkah laku, berbagai gejala proses intrakranium, fundus okuli, penglihatan,
pendengaran, saraf otak lain, sistem motorik (kelumpuhan, trofik, tonus, gerakan tidak
terkendali, koordinasi, ataksia), sistem sensorik (parastesia, hipestesia, anastesia)
3. Pemeriksaan penunjang:
a. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)
Merupakan pemeriksaan yang mengukur arus listrik dalam otak. Rekaman
EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur dengan stimulasi fotik,
hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsi
refleks)5.
b. Pemeriksaan pencitraan otak
MRI merupakan prosedur pencitraan pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas
tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. MRI dapat mendeteksi
sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa.
Pemeriksaan MRI diindikasikan untuk epilepsi yang sangat mungkin memerlukan
terapipembedahan.5
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kadar gula, fungsi hati, fungsi ginjal.
d. Pemeriksaan cairan serebrospinal, bila dicurigai adanya infeksi SSP
4. Pengobatan
Penderita epilepsi cenderung untuk mengalami serangan kejang secara spontan,
tanpa faktor provokasi yang kuat atau yang nyata. Timbulnya bangkitan kejang yang
tidak dapat diprediksi pada penderita epilepsi selain menyebabkan kerusakan pada otak,
dapat pula menimbulkan cedera atau kecelakaan. Kenyataan inilah yang membuat

13
pentingnya pemberian antikonvulsan pada pasien epilepsi. Antikonvulsi digunakan
terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi (epileptic seizure). Golongan
obat ini lebih tepat dinamakan anti epilepsi sebab jarang digunakan untuk gejala konvulsi
penyakit lain. Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung pada bentuk
bangkitan dan sindroma epilepsi, selain itu juga perlu dipikirkan kemudahan
pemakaiannya. Penggunaan terapi tunggal dan dosis tunggal menjadi pilihan utama.
Kepatuhan pasien juga ditentukan oleh harga dan efek samping OAE yang timbul
Antikonvulsan Utama:
1. Fenobarbital : dosis 2-4 mg/kgBB/hari
2. Phenitoin : 5-8 mg/kgBB/hari
3. Karbamasepin : 20 mg/kgBB/hari
4. Valproate : 10-40 mg/kgBB/hari
OAE pilihan pertama dan kedua.3
1. Serangan parsial (sederhana, kompleks dan umum sekunder)
OAE I : Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin
OAE II : Benzodiazepin, asam valproat
2. Serangn tonik klonik
OAE I :Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin, asam valproat
OAE II : Benzodiazepin, asam valproat
3. Serangan absens
OAE I : Etosuksimid, asam valproat
OAE II : Benzodiazepin
4. Serangan mioklonik
OAE I : Benzodiazepin, asam valproat
OAE II : Etosuksimid
5. Serangan tonik, klonik, atonik
Semua OAE kecuali etosuksinid
Syarat penghentian obat anti epilepsi:
1. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah
minimal 2 tahun bebas bangkitan
2. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
3. Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE
yang bukan utama
14
Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari
bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali
maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis obat anti terapi),
kemudian dievaluasi kembali. Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas
dari serangan paling sedikit 2 tahun dan bisa lebih dari 5 tahun sesudah serangan
terakhir obat dihentikan, pasien tidak mengalami serangan epilepsi lagi, dikatakan
telah mengalami remisi. Diperkirakan 30% pasien tidak mengalami remisi meskipun

15
minum obat dengan teratur. Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang
paling sering didapat pada sawan tonik-klonik dan epilepsi parsial kompleks.
Demikian pula usia muda lebih mudah mengalami relaps sesudah remisi.3

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Octaviana F. Epilepsi. Medicinus. Vol 21 Desember 2008. Fkui


2. Purba Sj. Epilepsi : Permasalahan Di Reseptor Atau Neurotransmitter. Medicinus.
Vol 21 Desember 2008. Fkui
3. Kusumastuti K. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Edisi V. Aup. 2014
4. Machfoed, Hasan M. Epilepsi Pada Anak:.Http://Www.Journal.Unair.Ac.Id [Diakses
Tanggal 20 Februari 2018
5. Tanto C. Kapita Selekta Kedokteran. Edisis Iv. Jakarta. Media Aesculapius: 2014

17

Anda mungkin juga menyukai