Anda di halaman 1dari 29

MANAJEMEN PEMBELAJARAN INKLUSI

PADA SISWA DENGAN DIAGNOSA

ADHD ( Deficit and HyperactiAttentve Disorder)

Tugas Mata Kuliah Metode Kualitatif

Vinka Emilda

Manajemen Pendidikan kelas Soroako

Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Makassar

Tahun 2010-2011
Bab 1

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diadakan tahun 1989,


telah mendeklarasikan hak-hak anak, dan ditegaskan bahwa semua anak berhak
memperoleh pendidikan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun. Deklarasi
tersebut dilanjutkan dengan The Salamanca Statement and Framework for Action
on Special Needs Education yang memberikan kewajiban bagi sekolah untuk
mengakomodasi semua anak termasuk anak-anak yang memiliki kelainan fisik,
intelektual, sosial, emosional, linguistik maupun kelainan lainnya. Sekolah-
sekolah juga harus memberikan layanan pendidikan untuk anak-anak yang
berkelainan maupun yang berbakat, anak-anak jalanan, pekerja anak, anak-anak
dari masyarakat terpencil atau berpindah-pindah tempat, anak-anak dari suku-suku
yang berbahasa, etnik atau budaya minoritas dan anak-anak yang rawan
termarjinalkan lainnya.

Dr Fasli Jalal, PhD Direktur Jendral Peningkatan Kualitas Guru dan


Tenaga Pendidikan Kementrian Pendidikan Nasional Indonesia menyatakan
bahwa ada dua jenis sekolah yang dibuat pemerintah untuk memenuhi kebutuahn
warga negara Indonesia yang berkebutuhan khusus, yaitu

1) sekolah yang menyediakan pendidikan khusus atau sekolah luar biasa

2) sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan inklusi

Siswa sekolah khusus di Indonesia meliputi tuna netra, tunarungu, tuna


grahita ringan, tunagrahita sedang,tuna daksa ringan,tuna daksa sedang dan
autisme.

Adapun aspek-aspek penting yang harus diperhatikan dalam


menyelenggarakan pembelajaran yang inklusif adalah sebagai berikut: 1) Guru
perlu mengetahui bagaimana cara mengajar anak dengan latar belakang dan
kemampuan yang beragam. 2) Guru menghargai semua anak di kelas 3)Guru
berdialog dengan siswanya 4)Guru mendorong terjadinya interaksi di antara anak-
anak 5) Guru mengupayakan agar sekolah menjadi menyenangkan 6)Guru
mempertimbangkan keragaman di kelasnya 7)Guru menyiapkan tugas yang
disesuaikan untuk anak 8) Guru mendorong terjadinya pembelajaran aktif untuk
semua anak.

Dalam lingkungan pembelajaran yang inklusif, setiap orang berbagi visi


yang sama tentang bagaimana anak harus belajar, bekerja dan bermain bersama.
Mereka yakin, bahwa pendidikan hendaknya inklusif, adil dan tidak diskriminatif,
menghargai semua budaya, serta relevan dengan kehidupan sehari-hari anak.
Lingkungan pembelajaran yang inklusif mengajarkan kecakapan hidup dan gaya
hidup sehat, agar peserta didik dapat menggunakan informasi yang diperoleh
untuk melindungi diri dari penyakit dan bahaya.

Sejak tahun 1997 di Soroako mulai teridentifikasi anak yang menderita


Autisme dan spektrumnya.Mula-mula terdeteksi tiga orang anak.Di mana
ketiganya menderita autisme yang tidak sama tingkatannya. Berdasarkan teori
yang ada autistic memiliki spektrum atau tingkatan yang berbeda sesuai dengan
gangguan otak dan saraf yang dideritanya serta kemampuan intelektual yang
dimilikinya. Sejak itulah diadakan sebuah kelas sebagai tempat terapi anak autis
dan spektrum autis di dalam lingkungan sekolah Yayasan Pendidikan Soroako.
Kelas ini dilengkapi dengan perlengkapa terapi,dokter
spesialis(psikiater),psikolog,terapis dan admint. Dari hasil wawancara penulis
dengan koordinator sekolah khusus Pelita Mandiri Anak berkebutuhan Khusus
(ABK) sebanyak 70 orang anak di Soroako anak berkebutuhan khusus degan
beberapa jenis yaitu spektrum autis ADHD( Attention Deficit and Hyperactive
Disorder ) Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif, dan SL (Slow
Learner). Yang meningkat jumlahnya beberapa tahun terkhir ini adalah jenis
ADHD (Attention Deficit and Hyperactive Disorder ).
Anak-anak berkebutuhan khusus ini mendapatkan terapi di kelas khusus,
mereka juga diberi kesempatan belajar bersama anak-anak normal di
sekolah(kelas) reguler. Dengan tujuan supaya mereka dapat bersosialisasi dengan
anak-anak normal,percaya diri serta dapat mengasah kemampuan/bakat yang
mereka miliki. Anak Berkebutuhan Khusus ketika berada dan belajar di kelas
reguler,mereka diperlakukan dan mendapat pelajaran dengan kurikulum sama
dengan anak-anak normal.Hal ini tidak sesuai dengan keadaan yang seharusnya
terjadi sesuai dengan teori manajemen pembelajaran inklusi. Dimana ABK belajar
bersama anak-anak normal tetapi dalam menerima materi pelajaran yang
sama,kurikulum seharusnya berbeda,sesuai dengan kekhususan yang diderita
anak. Dari informasi yang peroleh ternyata guru yang mengajar ABK di kelas
reguler di Yayasan Pendidikan Soroako pada umumnya tidak memiliki
pengetahuan tentang ABK yang ada di dalam kelas tempat mereka
mengajar,kurangnya komunikasi antara guru kelas khusus Pelita Mandiri dengan
guru kelas reguler,dan kebanyakan orang tua siswa berkebutuhan khusus, kurang
bisa diajak bekerja sama dalam menindak lanjuti kemajuan perkembangan anak
mereka. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian
manajemen pembelajaran siswa berkebutuhan khusus(ADHD) yang ada di
sekolah umum Yayasan Pendidikan Soroako khususnya di SD YPS Singkole.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses pelaksanaan manajemen pembelajaran bagi


siswa yang dengan diagnosa ADHD, di SD YPS Singkole?

C.Tujuan Penelitian
1. Mengetahui proses manajemen pembelajaran
siswa dengan diagnosa ADHD, di SD YPS Singkole
D. Manfaat Penelitian

1. Bagi guru : guru dapat belajar cara mengajar yang baru bagi peserta
didik yang memiliki latar belakang dan kondisi yang beragam
memiliki keterbukaan terhadap masukan dari orangtua dan anak untuk
memperoleh hasil yang positif.

2. Bagi orangtua : orangtua dapat belajar bagaimana cara membimbing


anaknya di rumah dengan lebih baik, yaitu dengan menerapkan teknik
yang digunakan guru di sekolah, orangtua merasa dihargai dan
menganggap dirinya sebagai mitra setara dalam memberikan
kesempatan belajar yang berkualitas untuk anaknya.
Bab II

KAJIAN TEORI DAN KERANGAKA PIKIR

A.Kajian Teori
Pembangunan pendidikan merupakan bagian penting dari upaya
menyeluruh dan sungguh-sungguh untuk meningkatkan harkat dan martabat
bangsa. Keberhasilan dalam membangun pendidikan akan memberikan kontribusi
besar pada pencapaian tujuan pembangunan nasional. Berdasarkan hal tersebut,
pembangunan pendidikan mencakup berbagai dimensi yang luas dan
diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik dengan sistem terbuka dan
multimakna.

Pendidikan secara faktual merupakan pengalaman belajar seseorang


sepanjang hidup. Seperti yang dinyatakan dalam pernyataan resmi Unesco tentang
pendidikan untuk semua (education for all atau EFA) pada tahun 1990.
Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa setiap orang di dunia ini berhak untuk
mendapatkan pendidikan. Pendidikan dapat dilakukan oleh siapa saja, di mana
saja, dan kapan saja. Artinya pendidikan dapat dilakukan dengan tanpa mengenal
batas usia, ruang, dan waktu. Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan
pendidikan dan Pemerintah wajib untuk menyediakan sarana dan prasarana
pendidikan yang menunjang keberlangsungan proses pendidikan. Hal sesuai
dengan apa yang telah digariskan pada Undang-undang Dasar tahun 1945 pasal 31
ayat (1) dan (2). Pendidikan juga tidak mengenal pembatasan bentuk dan
kegiatan, dalam hal ini pendidikan dapat dilakukan di sekolah, luar sekolah,
pondok pesantren, perguruan-perguruan, dan lain sebagainya.

Kesadaran masyarakat (global) terhadap hak azasi manusia (HAM)


semakin tinggi. Hal ini menyebabkan meningkatnya apresiasi terhadap
keberagaman atau perbedaan. Kesadaran tersebut secara tidak langsung mengubah
paradigma penyeragaman dan penyemarataan menjadi sesuatu yang tidak lazim.

Perbedaan tidak lagi dipandang sebagai penyimpangan, melainkan sebagai


sesuatu yang patut disyukuri. Karena dengan adanya perbedaan setiap manusia
dapat berinteraksi untuk saling melengkapi kekekurangannya. Oleh karena itu
adanya perbedaan di antara manusia tidak harus diperlakukan ekslusif.

Pendidikan inklusif lahir sebagai bentuk ketidakpuasan penyelenggaraan


pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus dengan menggunakan sistem
segregasi. Sistem segregasi adalah sistem penyelenggaraan sekolah yang
membedakan antara sekolah reguler dan sekolah bagi anak-anak yang memiliki
kelainan atau anak-anak berkebutuhan khusus. Sistem segregasi dipandang tidak
berhasil. Sistem ini tidak dapat mempersiapkan anak-anak berkebutuhan khusus
untuk dapat hidup secara mandiri. Menurut Budiyanto (2006), sistem segregasi
tidak mampu lagi mengemban misi utama pendidikan yaitu memanusiakan
manusia. Sistem segregatif cenderung diskriminatif, eksklusif, mahal, tidak efektif
dan tidak efisien, serta outputnya tidak menjanjikan sesuatu yang positif.
Disebutkan pula oleh Reynolds dan Birch (1988), bahwa model segregatif tidak
menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal,
karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu,
secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik
untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka
dipisahkan dengan masyarakat normal.

Upaya-upaya tersebut tidak terlepas dari berubahnya pandangan tentang


layanan pendidikan bagi para penyandang cacat atas dasar pendekatan humanistik.
Pendekatan ini sangat menghargai manusia sebagai manusia yang sama (equal)
dan memiliki kesempatan yang sama besarnya (equity) dengan manusia lainnya
untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini sesuai dengan deklarasi universal tentang
hak azasi manusia tahun 1948, bahwa “setiap orang mempunyai hak atas
pendidikan”. Berikutnya konvensi PBB tentang hak anak pasal 28 yang
menyatakan bahwa “pendidikan dasar seyogyanya wajib dan bebas biaya bagi
semua”. Lebih lanjut konvensi tersebut menyatakan non diskriminasi, khususnya
bagi penyandang cacat, hak untuk kelangsungan hidup dan berkembang, hak
untuk mendapatkan yang terbaik, dan hak untuk dihargai pendapatnya.
Inklusi pada hakekatnya adalah sebuah filosofi pendidikan dan sosial yang
menghargai keberagaman, menghormati bahwa semua orang merupakan bagian
yang berharga dari masyarakat dengan tanpa memandang perbedaan. Sopiah
(2006) mengemukakan pendapatnya tentang falsafah inklusi bahwa: inklusi
memandang bahwa manusia sebagai makhluk yang sama sederajat walaupun
berbeda-beda, manusia sebagai individu diciptakan untuk satu masyarakat,
sehingga masyarakat yang normal ditandai dengan adanya keberagaman individu.
Oleh karena itu keberagaman yang terjadi di satu masyarakat adalah sesuatu yang
lumrah (“normal”). Keberagaman individu yang terjadi di masyarakat dapat
berupa perbedaan sosial kultural, sosio-emosional, kelainan fungsi anggota tubuh,
kelainan fungsi mental dan inteketual, dan sebagainya.

Pendidikan Inklusi memerlukan berbagai dukungan dari berbagai aspek,


antara lain pendidik (yang mampu memberikan bantuan layanan khusus bagi
anak-anak yang mengalami hambatan) dan tenaga kependidikan yang relevan,
seperti terapis, tenaga medis, dokter, psikolog, laboran, dan lain-lain. Untuk
mencermati lebih jauh tentang latar belakang, potensi, dan kondisi khusus pada
siswa, sekolah perlu mengadakan asesmen. Ada dua jenis asesmen yang biasa
dilakukan, yaitu asesmen fungsional dan asesmen klinis.

a. Asesmen Fungsional

Asesmen ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dan


hambatan yang dialami peserta didik dalam melakukan aktivitas tertentu.
Asesmen ini dapat dilakukan oleh guru di sekolah.

b. Asesmen Klinis

Asesmen klinis dilakukan oleh tenaga profesional sesuai dengan


kebutuhannya. Contohnya, asesmen untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan melihat seorang anak yang memiliki hambatan visual, sehingga dapat
menentukan alat bantu visual apa yang sesuai dengan anak tersebut agar dapat
dimanfaatkan dalam melakukan tugas sehari-hari, baik di sekolah maupun di
lingkungan masyarakat.
Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional mengeluarkan
Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang : Pendidikan Inklusif bagi peserta didik
yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa.
Permendiknas ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Oktober 2009. Atas dasar
semua inilah pemerintah Indonesia melalui Departemen Pendidikan Nasional
berkomitmen untuk melaksanakan pendidikan inklusif dengan segala konsekuensi
yang ada

Bagi anak-anak berkebutuhan khusus (ABK), sejak tahun 1979 sudah ada
sekolah umum yang menerima ABK untuk belajar bersama-sama anak-anak
normal lainnya karena orang tua menginginkan anak mereka mendapatkan
pelayanan pendidikan di sekolah umum dan bukan di sekolah luar biasa (SLB).
Searah dengan perkembangan pendidikan baik di luar dan di dalam negeri, pada
tahun 2003 Dirjen Dikdasmen menerbitkan SE no. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20
Januari 2003 tentang pendidikan inklusif yang menyatakan bahwa
penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan inklusif di setiap kabupaten/kota
sekurang-kurangnya empat sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK.
Filosofi Inklusi adalah mengenai;kepemilikan, keikutsertaan dalam komunitas
sekolah dan keinginan untuk dihargai. Lawan katanya adalah eksklusi yang berarti
penolakan, keterbatasan dan ketidakberdayaan dan sering mengarah kepada
frustasi dan kebencian. Inklusi dan Pendidikan Inklusif tidak mempermasalahkan
apakah anak dapat mengikuti program pendidikan, namun melihat pada guru dan
sekolah agar dapat mengadaptasi program pendidikan bagi kebutuhan individu.
(Els Heijnen, EENET asia—ENABLING EDUCATION, Versi Bahasa Indonesia,
EDISI 1 JUNI 2005

Sekolah berparadigma inklusif merupakan sekolah yang menghargai


keragamanan semua anak, menggunakan metode, strategi, dan sistem
pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan anak, dan adil, karena semua
anak diuntungkan, termasuk anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan
khusus (ABK) adalah mereka yang mempunyai kebutuhan, baik permanen
maupun sementara (temporer), yang disebabkan oleh kondisi sosial-emosi,
dan/atau, kondisi ekonomi dan/atau, kondisi politik dan/atau, kelainan bawaan
maupun yang didapat kemudian.

Dengan kata lain, kita tidak hanya membicarakan kelompok minoritas


yang disebabkan oleh kelainan/ kecacatan/ keterbelakangan mental saja, tapi
mencakup juga anak-anak autistik, anak dengan hambatan konsentrasi dan atensi
(ADHD = Attention Deficite Hyperactivity Disorders), anak berkesulitan
belajar(SlowLearner), anak yang memiliki bakat dan kecerdasan luar biasa, dan
sejumlah besar anak usia sekolah. Oleh karenanya, sekolah hendaknya
mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial,
emosi, bahasa, ataupun kondisi-kondisi lainnya. Sekolah harus mencari cara agar
berhasil mendidik semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan pendidikan
khusus.
Lebih jauh lagi, Mastropieri dan Scruggs menyatakan bahwa meskipun
dalam inklusi peserta didik berkebutuhan khusus dapat menerima instruksi di
setting yang berbeda seperti di ruang sumber jika diperlukan, tetapi kelas umum
tetap merupakan ruang utama peserta didik berkebutuhan khusus belajar. Dalam
sistem inklusi, dikenal pula inklusi penuh (Full Inclusion), dimana semua peserta
didik berkebutuhan khusus ditempatkan di sekolah umum yang dekat dengan
rumah mereka dan mengikuti pendidikan bersama dengan peserta didik-peserta
didik reguler secara penuh (tidak ada pemisahan atau perpindahan kelas sewaktu-
waktu) dan guru kelas memiliki tanggungjawab utama dalam menangani peserta
didik berkebutuhan khusus tersebut (Hallahan & Kauffman, 2006). Guru kelas
umum (reguler) dibantu oleh Guru Pembimbing Khusus (GPK) atau shadow pada
waktu-waktu tertentu. Peserta didik berkebutuhan khusus mengikuti semua
kegiatan kelas umum (regular) dan menjadi bagian anggota kelas tersebut.
Mendapat tugas yang sama dengan peserta didik reguler dengan modifikasi sesuai
dengan kebutuhan anak.

Manajemen pendidikan inklusi merupakan proses pengaturan dan


pengelolaan sumber daya yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan
inklusif meliputi perencanaan, pelaksanaan, menitoring dan evaluasi serta tindak
lanjut hasil evaluasi. Manajemen pendidikan inklusi merupakan proses yang
terkait erat dengan tujuan dan efektifitas serta efisiensi penyelenggaraan suatu
sistem penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh anak, tanpa kecuali. Pada tataran
mikro manajemen inklusif diartikan sebagai upaya untuk mengelola sumber daya
pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang
kondusif agar peserta didik dapat menunjukkan potensinya secara optimal.

Pengelolaan sumber daya pada satuan pendidikan penyelenggara


pendidikan inklusif hampir tidak berbeda dengan pengelolaan sumberdaya pada
satuan pendidikan lainnya. Sumber-sumber daya tersebut antara lain: (1) peserta
didik, (2) kurikulum, (3) proses pembelajaran, (4) penilaian, (5) pendidik dan
tenaga kependidikan, (6) sarana dan prasarana, (7) pembiayaan, dan (8)
sumberdaya masyarakat.

Menurut Hallahan dan Kauffman (2006) hal yang perlu


diperhatikan dalam membantu partisipasi peserta didik berkebutuhan khusus di
lingkungan sekolah reguler adalah akomodasi dan adaptasi yang efektif, serta
modifikasi dalam pengajaran dan asesmen bagi peserta didik berkebutuhan khusus
termasuk pengajaran/pemberian instruksi yang efektif. Oefsted dalam Ainscow
(Sue Stubbs: 40) menyatakan bahwa sekolah yang efektif adalah sekolah yang
mempraktekkan pendidikan inklusif. Susan Skipper (2006) dalam
http://www.leadership.fau.edu/icsei2006/Papers/ skipper.doc menyatakan, penting
untuk menggabungkan model sekolah yang efektif dengan model sekolah inklusif,
karena dengan menggabungkan keduanya dapat diperoleh suatu gambaran
(framework) untuk sekolah yang efektif bagi semua anak.

Menurut Heneveld & Craig (1996) dalam Susan Skipper (2006),


(http://www.leadership.fau.edu/icsei2006/Papers/skipper.doc) ada empat faktor
utama penting yang dapat mempengaruhi keluaran siswa, yaitu:

1)Masukan yang mendukung dari luar sekolah (supporting inputs


fromoutside the school)
2) Kondisi yang memungkinkan (enabling conditions)
3) Iklim sekolah (school climate)
4) Proses belajar-mengajar (teaching/learning process)
Menurut Larrivee dalam Mastropieri dan Scruggs (2000), guru di sekolah
inklusi dapat membuat peserta didik berkebutuhan khusus memiliki prestasi
akademik yang tinggi harus :

a) efisien dalam menggunakan waktu


b) memiliki hubungan yang baik dengan peserta didik,
c) memberikan sejumlah umpan balik yang positif
d) mempertahankan nilai keberhasilan yang tinggi
e) memberikan respon yang mendukung bagi peserta didik secara umum
f) memberikan respon yang mendukung juga bagi anak yang
berkemampuan rendah (low-ability student).
Model pendidikan inklusif adalah model yang mengasumsikan bahwa inklusi
sama dengan mainstreaming,seperti pendapat Vaughn, Bos & Schumn.(2000).
Penempatan anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai
model sebagai berikut:
1. Kelas reguler (inklusi penuh): Anak berkelainan belajar bersama
anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan
kurikulum yang sama.
2. Kelas reguler dengan cluster: Anak berkelainan belajar bersama anak
lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.
3. Kelas reguler dengan pull out: Anak berkelainan belajar bersama anak
lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik
dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru
pembimbing khusus.
4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out: Anak berkelainan belajar
bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus,
dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang
sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
5. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian: Anak berkelainan
belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam
bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di
kelas reguler.
6. Kelas khusus penuh: Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus
pada sekolah reguler

Kompetensi Guru
Kualifikasi yang diinginkan dan dibutuhkan oleh guru pendidikan
kebutuhan khusus tergantung pada berbagai faktor kontekstual. Hasil dari suatu
program yang mendidik guru pendidikan kebutuhan khusus dipengaruhi oleh
ideologi dan pengalaman yang telah mereka miliki sebelumnya serta jenis
kesempatan belajar yang mereka dapatkan melalui program dan mata kuliah yang
tercantum dalam kurikulum.

Adapun aspek-aspek penting yang harus diperhatikan dalam


menyelenggarakan sekolah yang inklusif adalah sebagai berikut:

1) Guru perlu mengetahui bagaimana cara mengajar anak dengan latar


belakang dan kemampuan yang beragam. Peningkatan kemampuan ini
dapat kita lakukan dengan berbagai cara, seperti: pelatihan, tukar
pengalaman, lokakarya, membaca buku, dan mengeksplorasi/menggali
sumber lain kemudian mempraktekkannya di dalam kelas.

2) Semua anak memiliki hak untuk belajar, tanpa memandang perbedaan


fisik,intelektual, sosial, emosi, bahasa atau kondisi lainnya, seperti yang
ditetapkan dalam Konvensi Hak Anak yang telah ditandatangani
semua Pemerintah di dunia termasuk Indonesia.

3) Guru menghargai semua anak di kelas, guru berdialog dengan


siswanya; guru mendorong terjadinya interaksi di antara anak-anak;
guru mengupayakan agar sekolah menjadi menyenangkan
guru mempertimbangkan keragaman di kelasnya; guru menyiapkan
tugas yang disesuaikan untuk anak; guru mendorong terjadinya
pembelajaran aktif untuk semua anak.

4) Dalam lingkungan pembelajaran yang inklusif, setiap orang berbagi


visi yang sama tentang bagaimana anak harus belajar, bekerja dan
bermain bersama. Merek yakin, bahwa pendidikan hendaknya inklusif,
adil dan tidak diskriminatif, menghargai semua budaya, serta relevan
dengan kehidupan sehari-hari anak.

5) Lingkungan pembelajaran yang inklusif mengajarkan kecakapan hidup


dan gaya hidup sehat, agar peserta didik dapat menggunakan informasi
yang diperoleh untuk melindungi diri dari penyakit dan bahaya.

Di samping itu, di dalam pendidikan inklusif tidak ada kekerasan terhadap


anak, pemukulan atau hukuman fisik. Lingkungan tersebut mendorong guru,
pengelolah/ kepala sekolah, anak, keluarga dan masyarakat untuk membantu
pembelajaran anak, misalnya di kelas peserta didik beserta guru bertanggung
jawab kepada pembelajaran dan secara aktif berpartisipasi didalamnya. Belajar
berkaitan dengan materi apa yang dibutuhkan dan bermakna dalam kehidupannya.
Lingkungan yang inklusif, ramah terhadap pembelajaran juga mempertimbangkan
kebutuhan, minat, dan keinginan kita sebagai guru. Ini berarti memberikan
kesempatan kepada kita untuk belajar bagaimana mengajar yang lebih baik.

Jadi pendidikan inklusif terfokus pada setiap kelebihan yang dibawa anak
ke sekolah daripada kekurangan mereka yang terlihat, dan secara khusus melihat
pada bidang mana anak-anak dapat mengambil bagian untuk berpartisipasi dalam
kehidupan alami dan normal di sekolah atau masyarakat, serta memperhatikan
apakah mereka memiliki hambatan fisik dan sosial karena lingkungan yang tidak
kondusif.(Anita E Woolfol,2004)
ADHD
Gangguan perilaku yang khas disebut dengan ADHD (Attention Deficit
Hyperactivity Disorder) atau Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktifitas
(GPPH). ADHD adalah istilah psikiatrik yang dipakai untuk menyebut gangguan
perilaku yang ditemukan pada anak. V. Mark Durand & David H. Barlow
membagi dua gangguan ini yaitu, (1) perilaku hilang atau beralihnya perhatian,
dan kesulitan mengorganisasi tugas-tugas. Inatensi ini juga sering disebut ADD
(Attention Deficit Disorder). (2) Hiperaktif-impulsive, yaitu perilaku yang tidak
terkendali, dan sikap impulsive atau terburu-terburu yang berlebihan
ADHD merujuk kepada masalah perilaku anak yang berkaitan dengan
gangguan pemusatan perhatian dan perilaku yang berlebihan atau sering
diistilahkan dengan hiperaktif. Sampai saat ini belum jelas faktor apa yang dapat
menyebabkan munculnya ADHD, meskipun banyak penelitian yang dilakukan
dalam bidang neurologi dan ilmu genetika sepertinya menunjukkan sedikit titik
terang. Banyak peneliti mencurigai faktor genetik dan biologis sebagai penyebab
ADHD, meskipun lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang juga
membantu menentukan perilaku anak yang spesifik. Studi terhadap gambar otak
menunjukkan bagian mana dari otak anak-anak ADHD yang tidak berfungsi dan
penyebab tidak berfungsinya disebabkan karena adanya ketidakseimbangan
neurotransmitter atau penghantar sinyal-sinyal saraf pada lobus frontal (salah satu
bagian otak besar), ganglia basal, dan cerebellum (otak kecil).

Selain faktor genetik, terdapat beberapa faktor yang sering dikatakan


memiliki kontribusi dalam munculnya ADHD, diantaranya: kelahiran prematur,
konsumsi alkohol dan tembakau (rokok) saat ibu hamil, terpapar timah dalam
kadar tinggi, dan kerusakan otak sebelum lahir. Beberapa pihak lagi mengklaim
bahwa zat aditif pada makanan, gula, ragi, dan pola asuh yang kering dapat
memunculkan ADHD, namun pendapat ini kurang didukung fakta dan data yang
akurat (Barkley, 1998; NIMH, 1999). Secara umum masalah yang dialami oleh
anak dengan gangguan ADHD adalah pengendalian perilaku, fungsi pelaksanaan
perilaku, pengaturan jadwal dan kesadaran akan waktu, serta perilaku yang
menetap dalam mencapai tujuan.
Penelitian terbaru oleh National Institute on Drug Abuse (NIDA) yang
dipublikasikan di jurnal American Medical Association, September 2008 lalu,
belum berani memastikan penyebab gangguan ini, walau telah berhasil
memetakan lokasi penyebab ADHD di bagian otak. Penelitian soal ADHD
pertama kali dipublikasikan George F. Masih pada 1902 silam. Namun meski
telah lebih dari 1 abad, penyebab pasti ADHD belum sepenuhnya dipahami.
Hasil penelitian menunjukkan, ada banyak faktor mendasar dalam ADHD
diantaranya kurangnya perhatian, impulsif dan hiperaktif. Penyebabnya dikaitkan
dengan masalah genetik dan kerentanan neurobiologis. Tapi masalah dasar
dianggap dalam gangguan neurotransmitter tertentu dalam otak.

Hasil penelitian NIDA menunjukkan bahwa transmisi dopamin, yakni


sejenis zat kimia yang diperlukan untuk fungsi normal dari sistem saraf pusat,
terganggu dalam beberapa jalur otak pada orang dengan ADHD.
Kesimpulan itu diambil Dr. Nora Volkow dan rekan membandingkan 54
foto otak orang dewasa dengan ADHD dan 44 orang dewasa tanpa gangguan.
Para peneliti menemukan bahwa otak dari orang-orang dengan ADHD, memiliki
konsentrasi dopamin reseptor dan transporter yang berkurang, khususnya di
daerah-daerah yang terlibat dengan imbalan dan motivasi, dan gangguan ini
berhubungan langsung dengan keparahan kekurangan perhatian. Temuan ini dapat
menjelaskan mengapa anak-anak dan orang dewasa dengan ADHD mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas, ketika tidak ada hadiah langsung,
namun mampu berkonsentrasi saat kegiatan yang mereka sukai atau yang dapat
diselesaikan dengan mudah. Para peneliti mengatakan hal itu mungkin juga
menjelaskan mengapa pasien ADHD cenderung komplikasi dengan
penyalahgunaan narkoba dan obesitas. “Jalur ini memainkan peran penting dalam
penguatan, motivasi, dan dalam mempelajari bagaimana menghubungkan
berbagai rangsangan dengan imbalan,” kata Volkow.
Dr Andrew Adesman, kepala pediatri perkembangan dan perilaku di
Schneider Children’s Hospital di New York, menyetujui hasil studi tersebut. Ia
menyebutkan, harus dilakukan penelitian lanjutan terhadap hubungan antara
ADHD dan defisit dopamin di daerah tertentu dari otak pertengahan. Namun ia
menyatakan, meskipun ada kemajuan identifikasi penelitian pada otak pasien
dengan ADHD, diagnosis klinis ADHD tetap satu, “ADHD tidak dapat
didiagnosis dengan neuroimaging,” ujarnya. Volkow mengatakan hasil penelitian
mereka juga memperteguh kepercayaan untuk terus menggunakan obat stimulan
dalam pengobatan ADHD, karena hal itu akan memperbaiki jalur dopamin dalam
meningkatkan motivasi dan meningkatkan perhatian pada tugas-tugas kognitif.
“Tapi penelitian ini harusnya juga menggugah semua orang untuk lebih perduli
pada ADHD, terutama para guru dengan murid yang ADHD,” ujarnya. Ia
menyebutkan, salah satu masalah pada anak dengan ADHD adalah masalah
motivasi. Para guru, ujarnya, dapat mencari cara untuk meningkatkan daya tarik
dan relevansi sekolah bagi anak-anak ini. “Ini kesempatan besar untuk
mengembangkan kurikulum yang jauh lebih menyenangkan dan menarik untuk
anak-anak menderita ADHD,” tandasnya. ADHD diperkirakan mempengaruhi
tiga hingga tujuh persen dari anak-anak Amerika. Rata-rata, paling tidak satu anak
di setiap kelas di Amerika Serikat membutuhkan bantuan untuk gangguan ini.
Namun, lebih dari separuh anak-anak ADHD akan terus menampilkan
karakteristik dari gangguan selama masa remaja dan dewasa. (*els/hn/bo)
http://matanews.com/2009/10/08/adhd-bersumber-di-otak/

Selain itu disebutkan bahwa 20-60 % anak dengan ADHD juga mengalami
kesulitan belajar (Sandra F. Rief, 2008). Hubungan antara ADHD dengan
kesulitan belajar sangat bisa dimengerti ketika anak dengan ADHD kehilangan
perhatian dan konsentrasi pada pelajarannya, dan justru beralih perhatian pada
situasi-situasi umum di lingkungan belajarnya, seperti gambar di dinding, suara
kendaraan di lluar kelas, dan sebagainya. Pada siswa hiperaktif-impulsif,
kecenderungan yang selalu bergerak dan berpindah tempat, serta perilaku yang
terburu-buru dan tidak bisa dikendalikan tentunya juga menghambat proses
belajarnya. Secara umum gangguan belajar anak ADHD dalam membaca dan
menulis adalah kehilangan konsentrasi dan tidak bisa fokus. Dalam matematika,
anak ADHD ini seringkali kesulitan dalam membaca tanda operasi hitungan dan
kesulitan dalam memahami dan mengerjakan soal cerita (Sandra F. Rief, 2008).

Manajemen Pembelajaran (ADHD) di kelas reguler


Sesuai perkembangan kebutuhan manusia, pemahaman tentang
manajemen juga mengalami perkembangan secara luas. Manajemen diartikan
sebagai mengelola orang-orang, mengambil keputusan dan mengorganisasi
sumber-sumber untuk menyelesaikan tujuan yang telah ditentukan. Demikian
definisi Ernest Dale dalam buku Manajemen Pendidikan Indonesia yang ditulis
Prof. Dr. Made Pidarta. Pengertian yang lain ialah menekankan pengaturan orang-
orang yang tugasnya mengarahkan usaha ke arah tujuan-tujuan melalui aktivitas-
aktivitas orang lain atau membuat sesuatu dikerjakan oleh orang-orang
lain.(Massie,1973). Sesuatu aktivitas menggerakkan oarang lain, suatu kegiatan
memimpin, atas dasar sesuatu yang telah diputuskan terlebih dahulu (Siagian,
1979) Pada bagian lain buku tersebut Prof. Dr. Made Pidarta mengutip pandangan
Robert N.

Anthony yang mengatakan bahwa para pemimpin organisasi disebut para


manajer, sedangkan secara kolektif mereka disebut manajemen (Anthony, 1976).
Secara umum manajemen diartikan sebagai proses mengintegrasikan sumber-
sumber yang tidak berhubungan menjadi sistem total untuk menyelesaikan suatu
tujuan (Johnson, 1973). Belajar adalah perubahan perilaku, sedangkan
pembelajaran dipandang sebagai proses kegiatan menggerakkan orang-orang
untuk belajar. Dalam kegiatan pembelajaran akan tercipta berbagai teknik-teknik
yang bersifat kelembagaan, artinya disesuaikan dengan lembaga pendidikan
tertentu, seperti 1) teknik menciptakan masyarakat belajar di sekolah, 2) teknik
menciptakan masyarakat ilmiah di perguruan tinggi, 3) teknik mengadakan dan
mengatur sumber belajar, 4) teknik meningkatkan partisipasi alumni dan
masyarakat, 5) teknik meningkatkan kerja sama dengan lembaga-lembaga yang
sejenis, dan 6) teknik ketatausahaan yang tepat waktu dan konsisten.
Beberapa isu yang berhubungan dengan proses belajar mengajar antara
lain: 1) variasi aktivitas belajar cenderung kurang menyeluruh, dan hanya
didasarkan pada minat, perhatian, kesenangan, dan latar belakang guru; 2)
aktivitas pendidikan yang diperoleh siswa terbatas; 3) aktivitas siswa kurang
berorientasi kepada gaya hidup di masa mendatang.
Berdasarkan pemikiran tersebut manajemen pembelajaran dapat diartikan sebagai
usaha ke arah pencapaian tujuan-tujuan melalui aktivitas-aktivitas orang lain atau
membuat sesuatu dikerjakan oleh orang-orang lain berupa peningkatan minat,
perhatian, kesenangan, dan latar belakang siswa (orang yang belajar), dengan
memperluas cakupan aktivitas (tidak terlalu dibatasi), serta mengarah kepada
pengembangan gaya hidup di masa mendatang.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan manajemen


pembelajaran inklusif secara umum:
1. Sosial emosional

􀂾 Mengembangkan interaksi dan komunikasi yang bermakna yang


merupakan dasar bagi semua hubungan sosial dan pembelajaran
􀂾 Mengembangkan hubungan pertemanan yang tulus
􀂾 Mengembangkan harga diri yang baik
2. Pembelajaran dan perkembangan keterampilan
􀂾 Mengembangkan keterampilan bahasa fungsional
􀂾 Memperoleh penguasaan dan kompetensi melalui hubungan teman
sebaya
3. Penyiapan dan penataran para profesional yang bekerja dalam seting inklusif:
􀂾 Memperoleh pengalaman yang cukup
􀂾 Memperoleh pengetahuan baru
􀂾 Dapat berpartisipasi dalam memperkenalkan perubahan yang
diperlukan dalam manajemen kelas dan sekolah agar proses
inklusi dapat berjalan .
􀂾 Memobilisasi kreatifitas yang cukup sehingga dapat benar-benar
memenuhi kebutuhan setiap siswa.
􀂾 Memastikan bahwa semua anak mengembangkan interaksi,
khusus. komunikasi dan bahasa yang fungsional
􀂾 Memperoleh dukungan profesional. (Menuju Inklusi dan Pengayaan
Miriam Donath Skjørten,2001)

Seorang guru kelas reguler harus memahami bahwa bukan ABK tidak
ingin mengikuti aturan, hanya pikiran mereka gagal menginternalisasikan
konsekuensi dari perilaku yang tidak pantas mereka lakukan. Bila guru mendapati
perilaku ABK seperti ini, penting untuk tetap tenang lalu lakukan pendekatan.
Informasikan kepada mereka bahwa jika melakuka perbuatan tidak baik,ada
konsekuensinya.

Guru harus menetapkan standar dan aturan yang jelas di dalam ruang
kelas. Anak dengan ADHD seringkali diperparah oleh perubahan dan gangguan
struktur. Anda tidak harus membuat pengecualian khusus untuk anak dengan
kondisi ini. Hal ini dimungkinkan untuk mengajari mereka benar dan salah, dan
penegakan peraturan kelas adalah cara penting dan efektif untuk melakukan hal
ini. Sistem manajemen kelas yang kuat membantu semua siswa mengembangkan
perilaku kelas yang positif, kebiasaan belajar, dan keterampilan organisasi. Untuk
siswa dengan gangguan kurang perhatian , manajemen perilaku sistem ini sering
memberikan struktur yang mereka butuhkan untuk mengelola perilaku mereka
sendiri setiap hari. Mengurangi gangguan anak-anak dengan ADHD harus
dilakukan dengan hati-hati sehingga harga diri anak dapat dipertahankan,
terutama di depan orang lain. Mengembangkan "bahasa rahasia" dengan anak
dengan ADHD dengan menggunakan gerak tubuh atau kata-kata bijaksana .
Membuat kesepakatan supaya Mereka tidak menyela pembicaraan.

Pujilah prbuatan baik yang mereka lakukan. Metode untuk mengelola


perilaku impulsif yaitu, menegakkan aturan terhadap pelanggaran yang dilakukan
dapat memebuat anak-anak dengan ADHD menumbuhkan kontrol perilaku
terhadap diri mereka.
Beberapa metode tersebut adalah:
1.Aturan dibuat tertulis dan diletakkan dekat ABK.
2. Berikan konsekuensi segera setelah perilaku. Berikan penjelasan yang
spesifik sehingga anak tahu bagaimana mereka bertingkah.
3. Berikan pujian jika anak berperilaku baik.

4. Tulis jadwal setiap hari di papan tulis atau pada selembar kertas dan
mencoret setiap item sudah selesai dilakukani. ABK mendapat
dorongan kontrol terhadap perilaku dan merasa tenang ketika mereka
tahu apa yang dilakukan sesuai dengan yang diharapkan.

Di dalam ruang kelas tempatkan anak dengan ADHD jauh dari pintu dan
jendela. Meja kursi belajar di kelas di posisikan berjajar,sendiri-sendiri tidak
berkelompok. Hal ini dilakukan untuk menghindari gangguan anak lain(normal)
mengganggu ABK atau ABK yang mennganggu temannya.

Menulis informasi penting di mana anak dapat dengan mudah membaca


referensi itu. Ingatkan siswa di mana informasi dapat ditemukan.
Memberikan tugas pada anak ADHD dari yang mudah mereka pahami lalu
meningkat lebih sulit. Guru membantu ADHD mengelola perilaku dengan cara
memberi penguatan positif, penguatan negatif, dan kontinjensi respon sehingga
ABK dapat mencapai potensi akademik yang memuaskan . Kuncinya adalah
konsisten dalam menerapkan konsekuensi positif dan negatif. Orang tua dan
pendidik, bersama konseling, dapat bekerja sama membantu siswa ADHD
menjadi orang dewasa mandiri. Manajemen yang efektif harus mencakup
beberapa komponen berikut:
1.Peningkatan pemahaman ADHD. Unsur paling mendasar yang efektif
mengelola gangguan ini adalah pemahaman tentang ADHD kepada guru,
orang tua, dan para siswa dengan ADHD sendiri. Rasa empati guru dan
orang tua akan meningkatkan kemampuan mereka untuk menjadi efektif
dan melihat kesulitan siswa dalam konteks gangguan daripada
kenakalan. Siswa perlu dibantu untuk mengembangkan sikap positif
tentang belajar daripada bersandar pada label sebagai alasan untuk
kurangnya upaya dan ketidak berdayaan yang dipelajari.
2. Peningkatan Keterampilan untuk Mengelola Siswa dengan ADHD
Ketika pendidik memiliki pemahaman yang menyeluruh tentang strategi
manajemen ADHD, mereka dapat berhasil merencanakan dan
memberikan suatu aktivitas.

Selain belajar tentang pengelolaan gangguan ADHD, guru dapat


mengambil manfaat dari pengalaman orang lain yang telah bekerja dengan siswa
ADHD.
Hubungan antara seorang guru dengan siswa ADHD memberi pengaruh
positif yang paling signifikan. Seringkali, siswa yang kurang memiliki
kemampuan sosial dan mengalami kesulitan belajar menderita merasa kehilangan
harga diri. Siswa ADHD perlu bantuan dengan masalah penerimaan teman
sebaya.

Beberapa kegiatan yang dapat meningkatkan harga diri siswa:


• Partisipasi dalam aktivitas, terstruktur disiplin seperti karate, taruna atau balet,
• Keterlibatan dalam olahraga individu seperti berenang, berlari ataupermainan,
Sebagai contoh kerjasama yang efektif antara guru dan orang tua siawa ADHD,
sebuah buku komunikasi ditandatangani oleh orang tua dapat digunakan untuk
memastikan bahwa orangtua menyadari masalah yang muncul di kelas dan guru
menyadari masalah yang muncul di rumah. Keduanya harus memastikan bahwa
pesan-pesan positif dapat menumbuhkan semangat bagi siswa ADHD. Bagi siswa
dengan kesulitan yang parah, laporan kemajuan harian atau mingguan untuk orang
tua dapat membantu guru untuk melibatkan orang tua dalam memberi dukungan.

Peran Orang Tua


Sekolah menciptakan berbagai tantangan untuk anak-anak ADHD , tetapi
dengan kesabaran dan rencana yang efektif, anak ADHD dapat berkembang di
dalam kelas. Guru dapat membantu menyediakan dukungan tetapi dapat orang
tua bisa membuat memberi pengaruh terbesar dalam pendidikan anak menjadi
sukses.Orang tua dapat bekerja sama dengan guru dalam menerapkan strategi
praktis untuk belajar, baik di dalam dan di luar kelas. Dengan dukungan yang
konsisten dari orang tua, strategi ini dapat membantu anak belajar memenuhi
tantangan dan keberhasilan pengalaman di sekolah.Yang paling membuat frustrasi
adalah sebagian besar anak-anak ini ingin dapat belajar dan berperilaku seperti
rekan-rekan mereka . Defisit neurologis, yang menyebabkan keengganan belajar
dan gangguan perhatian. Sebagai orang tua, dapat membantu anak mengatasi
defisit ini dan memenuhi tantangan di sekolah. Orang tua dapat memberikan
dukungan yang paling efektif yaitu berkomunikasi dengan guru bagaimanan
strategi anak ADHD belajar di kelas . Hal ini sama pentingnya bagi orang tua
untuk mendengarkan apa yang guru dan pegawai sekolah lainnya katakan.

Beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua yaitu:


• Rencana ke depan. Orang tua dapat mengatur untuk berbicara dengan guru
sebelum tahun ajaran dimulai. Jika tahun telah dimulai, berencana untuk
berbicara dengan guru atau konselor setidaknya setiap bulan.
• Membuat tujuan bersama-sama. Diskusikan harapan sebagai orang tua untuk
keberhasila anak
• Memahami tantangan anak ADHD dengan mendengar apa yang anak katakan
adalah kunci untuk menemukan solusi
• Orang tua memiliki banyak informasi tentang kesulitan pemahaman anak
Pengamatan pengalaman orang tua, mendorong guru anak untuk melakukan hal
yang sama.
• Komunikasi hanya dapat bekerja secara efektif jika jujur. Orang tua dapat
membantu dengan mengembangkan rencana perilaku anak dan konsisten.Jika
anakberperilaku baik berikan hadiah kecil untuk kemenangan kecil dan
penghargaan yang lebih besar untuk prestasi yang lebih besar.

Kurikulum inklusi
Di banyak negara, kurikulum dirancang secara terpusat, kaku, hanya
sedikit ruang bagi guru untuk membuat adaptasi lokal dengan mencoba
pendekatan baru. Isinya berbeda jauh dengan kenyataan dimana siswa tinggal,dan
oleh karenanya kurang mengena dan tidak dapat memberikan motivasi.
Kemungkinan juga karena bias jender, meremehkan atau mengasingkan kelompok
sosial budaya tertentu, dan ini membatasi kemajuan dan pengakuan bagi semua
siswa. Pendekatan responsif mengkritik pengajaran berdasarkan kriteria rata-rata.
Pendekatan ini menempatkan siswa pada pusat pembelajaran berdasarkan
apresiasi perbedaannya dalam pemahaman,perasaan, ketrampilan sosial dan
persepsi, serta mendorong guru untuk kreatif, berbagi dan mencari solusi yang
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing siswa. Pengadaptasian
kurikulum inklusif berdasarkan pada:

􀂾 Kebutuhan siswa

􀂾 Pengetahuan tentang teori belajar secara umum

􀂾 Pengetahuan tentang perlunya interaksi dan komunikasi untuk proses


belajar

􀂾 Pengetahuan tentang apa yang harus dipertimbangkan ketika membuat

penyesuaian

􀂾 Pengetahuan tentang bagaimana kondisi khusus dan kecacatan dapat

mempengaruhi belajar

􀂾 Pengetahuan tentang pentingnya melakukan penyesuaian lingkungan

􀂾 Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian

􀂾 Kondisi lingkungan dan budaya setempat(Menuju Inklusi dan


Pengayaan Miriam

Donath Skjørten,2001)
Kurikulum menyajikan informasi, keterampilan, dan kriteria evaluasi
yang dapat digunakan untuk menilai hasil belajar. Sebelum memutuskan jenis
pendekatan instruksional yang akan digunakan siswa ADHD, terlebih dahulu
mempertimbangkan tuntutan kognitif dan linguistik dari bidang kurikulum yang
diajarkan. Selain itu, penting untuk menganalisis keduanya:

•isi dari setiap bidang kurikulum


• tugas-tugas yang digunakan dalam kegiatan belajar dan evaluasi kinerja
Analisis tugas adalah sebuah metode yang digunakan untuk menilai secara
sistematis komponen belajar dan tugas-tugas evaluasi. Oleh karena itu keputusan
instruksional dapat dilakukan dengan memberi dukungan yang diperlukan untuk
melakukan tugas lebih berhasil.
Pertanyaan kunci untuk bertanya ketika merenungkan belajar dan tugas kinerja
termasuk:
• Apa pengetahuan awal atau pra-keterampilan yang dibutuhkan untuk
tugas tersebut?
• Bagaimana tugas yang disajikan?
• Apa saja persyaratan respon tugas?

Anak-anak ADHD mengalami kesulitan dengan jenis kurikulum tertentu


dan tugas belajar karena mereka defisit dalam pengolahan kognitif, memori kerja,
dan kemampuan tingkat bahasa yang tinggi. Anak ADHD mengalami kesulitan
dengan:
• Konsep-konsep abstrak dalam matematika
• Tugas-tugas yang membutuhkan pemprosesan bahasa yang kompleks
dan panjang, baik lisan atau tertulis (misalnya, informasi teks ekspositoris dalam
ilmu pengetahuan, sejarah, atau geografi)
• tugas-tugas yang membutuhkan peraturan ( manajemen waktu) dan
pemantauan diri tugas tertulis)
• tugas-tugas yang melibatkan komponen dipercepat atau waktunya
• tugas-tugas yang memiliki beban kognitif tinggi ( mereka membutuhkan
integrasi informasi atau pemeliharaan ide sekaligus)
Setelah menggambarkan akademik siswa, belajar, dan masalah perilaku, penting
untuk mengidentifikasi tujuan khusus yang menangani perubahan positif pada
kedua kinerja kelas dan produktivitas akademis.
Dalam mengembangkan rencana tindakan, penting untuk:
• Identifikasi kebutuhan khusus siswa pembelajaran
• Pilih sistem pendukung tambahan untuk mendukung pencapaian
• Mengembangkan komponen siswa dari rencana.

Komponen ini memungkinkan siswa untuk membuat pernyataan tujuan


dan berpartisipasi dalam menentukan langkah kunci yang diperlukan untuk
mencapai mereka ( daftar periksa diri dan strategi untuk mengatur dan tugas
catatan).

• Mintalah orang tua siswa untuk sesi perencanaan kolaboratif di mana


mereka saling bisa merencanakan strategi-strategi untuk mendukung
kemajuan anak mereka menuju tujuan.
• Melibatkan siswa lain sebagai sumber daya untuk membantu siswa
• Melibatkan pendekatan tim (guru, orang tua, siswa lain)

B. Kerangka Konsep

Manajemen Pembelajaran Inklusi siswa ADHD

Kompetensi guru Proses pelaksanaan


manajemen pembelajaran
inklusi siswa ADHD

Peran,Tindak lanjut Guru dan Orang tua

Siswa ADHD
BAB III
METODE PENELITIAN

A.Jenis dan Lokasi Penelitian


Jenis penelitian : kualitatif evaluatif
Lokasi : SD YPS Singkole Soroako

B. Fokus Penelitian
(1) Kompetensi guru kelas reguler terhadap siswa ADHD
(2) Pelaksanaan manajemen pembelajaran bagi siswa ADHD di kelas
reguler
(3) Peran guru dan orang tua dalam menindak lanjuti
kemajuan siswa dengan diagnosa ADHD
C. Informan diambil secara purposive(bertujuan) yaitu kepala sekolah,wakil
kepala sekolah
bidang kurikulum,guru-guru sekolah reguler,psikolog,shadow/guru
pendamping ABK dan orang tua ABK.

D. Teknik pengumpulan data: (1) wawancara (2) obsevasi (3) dokumentasi

E. Teknik analisis data : pengumpulan data,mereduksi data dan penyajian data

F. Verifikasi dan penarikan kesimpulan : trianggulasi dan member check


BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Els Heijnen, EDISI 1 JUNI 2005 EENET asia—ENABLING EDUCATION,


Versi Bahasa Indonesia,

Susan Skipper (2006) http://www.leadership.fau.edu/icsei2006/Papers/


skipper.doc

Hidayat,Model dan Strategi Pembelajran ABK, jurnal oktober 2009.


http://puterakembara org/BPP/Makalah1.pdf

Vaughn,S., Bos,C.S.& Schumn,J.S.(2000). Teaching Exceptional, Diverse, and at


Risk Students in the General Educational Classroom. Boston: Allyn Bacon.

Morison, W.F., (2005). Penanganan Anak- anak ADD/ADHD, Dian Rakyat,


Jakarta

Skjørten, Miriam D. (ed). 2001 Introduction to History of Special Needs


Education, Educational: An Introduction. Oslo, Unipub.

Anupam Ahuja, EDISI 1 JUNI 2005—ENABLING EDUCATION, Versi Bahasa


Indonesia EENET asia,

Befring, E. 2001. “The Enrichment Perspective- A Special Educational Approach


in a
Inclusive School”, In: Remedial and Special Education, Vol.18, no 3 1997:182-
187.

Anita E Woolfilk,2004, Mendidik Anak-anak Bermasalah, Inisiasi Press, Jakarta


http://helpguide.org/mental/adhd_add_teaching_strategies.htm,(diunduh 13
januari 2011)

(*els/hn/bo) http://matanews.com/2009/10/08/adhd-bersumber-di-otak/ diunduh


12 Mei 2011

Anda mungkin juga menyukai