Anda di halaman 1dari 46

BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Pengertian Belajar

Belajar adalah modifikasi atau memperkuat kelakuan melalui pengalaman

dan latihan. Menurut pengertian ini belajar adalah merupakan suatu proses atau suatu

kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat akan

tetapi belajar yaitu mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan

melainkan perubahan kelakuan atau tingkah laku. Belajar juga dapat diartikan sebagai

suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan

lingkungannya. Perubahan seseorang dikatakan sudah belajar apabila perilakunya

menunjukkan perubahan dari awalnya tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa

menjadi bisa, dari tidak mampu menjadi mampu, dari tidak terampil menjadi

terampil.

Beberapa pendapat pengertian belajar sebagaimana yang disampaikan para

ahli sebagai berikut:

1. Menurut Bell-Gredler belajar adalah proses yang dilakukan oleh manusia

untuk mendapatkan aneka ragam kemampuan (competencies), keterampilan

(skills), dan sikap (attitude) yang diperoleh secara bertahap dan berkelanjutan.

Menurut Gagne belajar merupakan sebuah sistem yang didalamnya terdapat


berbagai unsur yang saling terkait sehingga menghasilkan perubahan perilaku.

(H.Karwono Dkk, 2017:13).

2. Sedangkan Henry E.Garret berpendapat bahwa belajar merupakan proses yang

berlangsung dalam jangka waktu lama melalui latihan maupun pengalaman

yang membawa kepada perubahan diri. (Syaiful Sagala 2013:13)

3. Kemudian Lester D.Crow mengemukakan belajar ialah upaya untuk

memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan, dan sikap-sikap. Belajar

dikatakan berhasil manakala seseorang mampu mengulang kembali materi

yang telah dipelajarinya , maka belajar seperti ini disebut “rote learning”.

Kemudian, jika dipelajari mempu disampaikan dan diekspresikan dalam

bahasa sendiri maka belajar disebut “overlearning”. (Syaiful Sagala 2013:13)

Tingkah laku memiliki unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif

adalah unsur motoric atau unsur jasmaniah, sedangkan unsur subjektif adalah unsur

rohaniah. Unsur objektif inilah yang tampak, sedangkan unsur subjektif tidak tampak

kecuali berdasarkan tingkah laku yang tampak. Misalnya, seseorang yang sedang

berfikir dapat kita lihat pada raut mukanya bahwa dia sedang berfikir sedangkan

proses berfikirnya itu sendiri tidak tampak. Tingkah laku manusia terdiri dari

sejumlah aspek. Hasil belajar akan tampak pada setiap perubahan pada aspek-aspek

tertentu. Adapun aspek-aspek tersebut adalah: pengetahuan, pemahaman, kebiasaan,

keterampilan, apresiasi, emosional, hubungan social, jasmani, budi pekerti (etika) dan

sikap. Seseorang melakukan perubahan dalam belajar maka terjadi perubahan pada

salah satu aspek tingkah laku. (dalam Oemar Hamalik 2017:38)


Adapun teori belajar dari sudut pandang psikologi belajar yaitu psikologi

behaviorisme, psikologi kognitif, dan psikologi humanisme (Karwono 2017)

1) Teori belajar yang bepijak pada pandangan psikologi behaviorisme dan

aplikasinya dalam pembelajaran.

Menurut pandangan ini bahwa belajar merupakan akibat adanya interaksi antara

stimulus dan respon. Seseorang dinggap telah belajar sesuatu jika yang

bersangkutan dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini yang

penting dalam belajar adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa

respons. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru pada peserta didik,

sedangkan respons berupa reaksi atau tanggapan peserta didik terhadap stimulus

yang diberikan oleh guru tersebut. Kegiatan yang dapat diamati adalah stimulus

dan renspons, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa

yang diterima oleh peserta didik (respons) harus dapat diamati dan diukur.

2) Teori belajar yang berpijak pada pandangan psikologi kognitif dan aplikasinya

dalam pembelajaran.

Menurut teori kognitif belajar merupakan suatu proses atau aktivitas mental yang

terjadi dalam akal pikiran manusia. Jadi belajar adalah suatu proses kegiatan

yang melibatkan aktivitas mental terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari

proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan

dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, keterampilan dan sikap

yang bersifat relatif dan berbekas.

3) Teori belajar yang berpijak pada pandangan kontruktivisme dan aplikasinya

dalam pembelajaran.
Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia

kenyataan yang ada. Perubahan tingkah laku merupakan hasil dari konstruksi

kognitif melalui kegiatan individu dengan membuat struktur, kategori, konsep,

dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.

Kontruktivisme menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang

mendalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat peserta didik. Jika

seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya meskipun usianya tua tetap

tidak akan berkembang pengetahuannya. Suatu pengetahuan dianggap benar bila

pengetahuan itu berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau

fenomena yang sesuai. Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja melainkan

harus diinterprestasikan sendiri oleh masing-masing individu. Pengetahuan juga

bukan sesuatu yang sudah ada melainkan suatu proses yang berkembang terus

menerus. Dalam proses itu keaktifan seseorang sangat menentukan dalam

mengembangkan pengetahuannya.

Berdasarkan uraian yang dipaparkan maka dapat disimpulkan bahwa

belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan sesorang untuk memperoleh perubahan

apabila perilakunya menunjukkan perubahan dari awalnya tidak tahu menjadi tahu,

dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mampu menjadi mampu, dari tidak terampil

menjadi terampil melalui interaksi dengan lingkungannya.


2.1.2 Aktivitas Belajar

Menurut Anton M. Mulyono mengungkapkan “Aktivitas artinya kegiatan

atau keaktifan”. Jadi segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan yang

terjadi baik fisik maupun non fisik, merupakan suatu aktivitas. Aktivitas belajar

merupakan segala jenis dan bentuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh segenap

jiwa dan raga seseorang untuk memahami, ingin mengetahui, atau mempelajari

seseuatu dari hasil kegiatan yang dilakukannya tersebut. Istarani Dkk (2017:2-6)

Mengajar merupakan suatu upaya yang dilakukan seorang guru agar peserta

didik dapat belajar dengan maksimal. Dalam pengajaran peserta didik merupakan

subjek yang akan melakukan kegiatan belajar. Disaat pembelajaran peserta didik

berperan aktif dalam kegiatan belajar, oleh karena itu seorang guru hendaknya dapat

merencanakan pengajaran yang menuntut peserta didik banyak melakukan aktivitas

belajar. Sardiman (dalam Lily Dkk 2013) mengungkapkan tanpa aktivitas

pembelajaran tidak akan mungkin berlangsung dengan baik. Aktivitas belajar

merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan individu untuk mencapai perubahan

tingkah laku. Aktivitas merupakan faktor yang penting pada kegiatan belajar

mengajar, karena menyediakan kesempatan bagi siswa untuk belajar sendiri dan

memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan aspek-aspek tingkah laku lainnya serta

mengembangkan ketrampilan yang mereka miliki.

Aktivitas belajar banyak macamnya. Sardiman (dalam Lily, Dkk 2013)

mengelompokkan aktivitas belajar siswa menjadi delapan bagian yaitu: (1) Visual

activities, yang termasuk di dalamnya yaitu membaca, memperhatikan gambar

demontrasi, percobaan, dan memperhatikan pekerjaan orang lain. (2) Oral activities,
misalnya menyatakan, merumuskan, bertanya, memberikan saran, mengeluarkan

pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interprestasi, dan sebagainya. (3)

Listening activities, misalnya mendengarkan uraian, percakapan, diskusi dan pidato.

(4) Writing activities, misalnya menulis cerita, karangan, laporan, angket, dan

rangkuman. (5) Drawing activities, misalnya membuat gambar, membuat grafik,

menggambar peta dan membuat diagram. (6) Motor activities, contohnya seperti

melakukan percobaan, membuat kontruksi, model dan lain sebagainya. (6) Mental

activities, contohnya menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis,

melihat hubungan dan mengambil keputusan. (7) Emotional activities, adalah

menaruh minat, merasa bosan, gembira, ber semangat, berani, tenang dan sebagainya.

Menurut Syaiful (dalam Wem Wewa 2015:36), aktivitas belajar siswa

sebagai berikut. (1) Siswa belajar secara individual untuk menerapkan konsep, prinsip

dan generalisasi. (2) Siswa belajar dalam bentuk kelompok untuk memecah masalah.

(3) Setiap siswa berpartisipasi dalam melaksanakan tugas belajarnya melalui berbagai

cara. (4) Siswa berani mengajukan pendapat. (5) Ada aktivitas belajar analisis,

sintesis, penilaian dan kesimpulan. (6) Antar siswa terjalin hubungan sosial dalam

melaksanakan kegiatan belajar. (7) Setiap siswa bisa mengomentari dan memberikan

tanggapan terhadap pendapat siswa lainnya. (8) Setiap siswa berkesempatan

menggunakan berbagai sumber belajar yang tersedia. (9) Setiap siswa berupaya

menilai hasil belajar yang dicapainya. (10) Ada upaya dari siswa untuk bertanya

kepada guru dan meminta pendapat guru dalam upaya kegiatan belajarnya.
Asas aktivitas dapat diterapkan dalam semua kegiatan dan proses

pembelajaran. Untuk memudahkan guru dalam melaksanakan asas ini, maka dalam

hal ini dipilih empat alternatif pendayagunaan saja, yakni :

a) Pelaksanaan aktivitas pembelajaran dalam kelas.

Asas aktivitas dapat dilaksanakan dalam setiap tatap muka dalam kelas yang

terstruktur, baik dalam bentuk komunikasi langsung, kegiatan kelompok,

kegiatan kelompok kecil, belajar independen.

b) Pelaksanaan aktivitas pembelajaran sekolah masyarakat.

Dalam pelaksanaan pembelajaran dilakukan dalam bentuk membawa kelas

kedalam masyarakat, melalui Pembelajaran karyawiasata, survei, keja lapangan,

pelayanan masyarakat, dan sebagainya. Cara lain, mengundang nara sumber

dari masyarakat ke dalam kelas, dan pelatihan diluar.

c) Pelaksanaan aktivitas pembelajaran dengan pendekatan Cara Belajar Siswa

Aktif (CBSA)

Pembelajaran dititik beratkan pada keaktifan siswa dan guru bertindak sebagai

fasilitator dan nara sumber, yang memberikan kemudahan bagi siswa untuk

belajar.

Penggunaan asas aktivitas dalam proses pembelajaran memiliki manfaat

tertentu, antara lain:

1. Siswa mencari pengalaman sendiri.

2. Siswa dapat berbuat sendiri akan mengembangkan seluruh aspek kongnitif,

afektif, dan psikomotorik.


3. Memupuk kerjasama yang harmonis dikalangan para siswa.

4. Siswa belajar dan bekerja berdasarkan minat dan kemampuan sendiri.

5. Memupuk disiplin belajar dan suasana belajar yang demokratis, kekeluargaan,

musyawarah, dan mufakat.

6. Membina dan memupuk kerjasama anatara sekolah dan masyarakat, hubungan

antara guru dan orang tua siswa.

7. Pembelajaran dan belajar dilaksanakan secara realistic dan kongkrit sehingga

mengembangkan pemahaman dan berfikir kritis.

8. Pembelajaran dan kegiatan belajar menjadi hidup dan sebagaimana halnya

kehidupan dalam masyarakat yang penuh dinamika.

Slameto (dalam Kedariah 2015) mengemukakan faktor-faktor yang

mempengaruhi aktivitas belajar adalah sebagai berikut: (a) faktor internal: faktor

jasmaniah, yang termasuk dalam faktor jasmaniah yaitu faktor kesehatan dan cacat

tubuh. Jika hal ini terjadi hendaknya peserta didik tersebut belajar pada lembaga

pendidikan khusus atapu diusahakan alat bantu untuk memperlancar proses belajar

peserta didik yang mempunyai cacat tubuh tersebut (berkebutuhan khusus). faktor

psikologis, faktor yang tergolong dalam faktor psikologis yaitu antara lain:

intelejensi, perhatian, minat, bakat, motif dan kematangan. (b) faktor eksternal :

faktor keluarga, faktor keluarga merupakan faktor pertama dan utama yang

membentuk kepribadian peserta didik di sekolah. faktor Sekolah, lingkungan sekolah

yang mendukung proses belajar adalah lingkungan yang kondusif dan nyaman untuk

proses belajar. faktor Masyarakat, masyarakat membentuk perilaku dan kebiasaan


peserta didik. Lingkungan masyarakat yang baik akan membentuk kepribadian yang

penuh kerja keras.

Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar merupakan aktivitas belajar

yang dilakukan siswa pada saat proses pembelajaran berlangsung. Adapun aktivitas

belajar yang akan diteliti oleh calon peneliti yaitu berdasarkan jenis-jenis aktivitas

menurut Sardiman (dalam Lily, Dkk 2013) adalah (1) Visual Activities, (2) Oral

Activites, (3) Listening Activities, (4) writing Activities, (5) Drawing Activities, (6)

Motor Activities, (7) Mental Activities, (8) Emosional Activities. Jenis-jenis aktivitas

merupakan pencapaian keberhasilan dalam belajar.

2.1.3 Pemahaman Konsep Matematika

Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan

penting dalam pendidikan, hal ini dapat dilihat dari waktu jam pelajaran sekolah lebih

banyak dibandingkan pelajaran lainnya. Matematika adalah segala sumber dari ilmu

yang lain. Dengan kata lain, banyak ilmu-ilmu lain yang penemuan dan

perkembangannya bergantung dari matematika. Matematika adalah ilmu dasar yang

berkembang pesat baik materi maupun kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari.

Matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan kemampuan berpikir, karena itu

matematika sangat diperlukan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Oleh karena itu, matematika

perlu diajarkan pada semua jenjang pendidikan, mulai dari SD sampai Perguruan

Tinggi.

Soedjadi (dalam Tatag dan Nanang 2016:69) menyatakan

matematika adalah pengetahuan eksak dengan objek abstrak meliputi konsep, prinsip,
dan operasi yang berhubungan dengan bilangan. Matematika merupakan suatu ilmu

yang berhubungan atau menelaah bentuk-bentuk atau struktur-struktur yang abstrak

dan hubungan-hubungan diantara hal itu. Untuk dapat memahami struktur-struktur

serta hubungan-hubungan, tentu saja diperlukan pemahaman tentang konsep-konsep

yang terdapat di dalam matematika itu.

Belajar matematika pada dasarnya adalah belajar konsep yang artinya

dalam mempelajari matematika siswa harus memahami konsep matematika terlebih

dahulu agar dapat menyelesaian soal-soal dan mampu mengaplikasikan pembelajaran

tersebut dalam dunia nyata. Hal ini juga dikarenakan matematika berhubungan

dengan ide-ide dan konsep-konsep yang abstrak yang tersusun secara hieraki, maka

dalam belajar matematika tidak boleh ada langkah-langkah/tahapan konsep yang

terlewati. Konsep menurut Bell (Tatag 2016:70) dapat diartikan sebagai suatu ide

abstrak tentang suatu objek atau kejadian yang dibentuk dengan memandang sifat-

sifat yang sama dari sekumpulan objek, sehingga seseorang dapat mengelompokkan

atau mengklasifikasikan objek atau kejadian sekaligus menerangkan apakah objek

tersebut merupakan contoh atau bukan contoh dari pengertian tersebut.

Pemahaman konsep terdiri dari dua kata yaitu pemahaman dan konsep.

Menurut Sudijono (dalam Nur Vadlilah 2014) mengemukakan pemahaman adalah

kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah diketahui dan

diingat. Menurut Purwanto ( dalam Any Mulyani Dkk 2013) pemahaman adalah

tingkat kemampuan yang mengharapkan siswa mampu memahami arti atau konsep,

situasi atau fakta yang diketahuinya .


Salah satu kecakapan (proficiency) dalam matematika yang penting

dimiliki oleh siswa adalah pemahaman konsep (conceptual understanding).

Pemahaman konsep adalah yang berupa penguasaan sejumlah materi pembelajaran,

dimana siswa tidak sekedar mengenal dan mengetahui, tetapi mampu

mengungkapkan kembali konsep dalam bentuk yang lebih mudah dimengerti serta

mampu mengaplikasikannya, Rosmawati (Putri, dkk. 2012:68). Sedangkan menurut

Saltifa, dkk. (2012:73) mengemukakan pemahaman konsep merupakan tingkat

kemampuan siswa yang paham tentang konsep matematika serta dapat menjelaskan

dan menyatakan ulang dengan bahasa mereka sendiri konsep-konsep tersebut.

Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pemahaman

konsep matematika adalah suatu kemampuan yang paham tentang konsep dan

struktur-struktur matematika yang abstrak sehingga mampu menggungkapkan

kembali konsep dengan bahasa sendiri yang lebih mudah dimengerti dan mampu

mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun indikator-indikator pemahaman konsep (Noor Fajriah dan Desnalia

Sari 2016) antara lain adalah:

1. Menyatakan ulang sebuah konsep

Indikator pertama yang digunakan pada penelitian ini adalah indikator

pemahaman konsep matematis yang mengukur kemampuan siswa dalam

menyatakan ulang sebuah konsep dengan bahasanya sendiri, artinya kemampuan

siswa untuk menyatakan kembali konsep kesebangunan dan kekongruenan

dengan bahasa sendirinya.


2. Mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan

konsepnya

Indikator kedua yang digunakan dalam penelian adalah kemampuan siswa dalam

mengelompokkan suatu masalah bersadarkan sifat-sifat yang dimiliki dan terdapat

pada materi kesebangunan dan kekongruenan.

3. Memberi contoh dan noncontoh dari konsep

Indikator yang ketiga dalam penelitian ini adalah indikator yang mengukur

kemampuan siswa dalam membedakan mana yang termasuk contoh dan bukan

contoh konsep kesebangunan dan kekongruenan.

4. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis,

Indikator yang keempat yang digunakan dalam penelitian ini adalah menyajikan

konsep dalam berbagai representasi matematis, yaitu indikator yang mengukur

kemampuan siswa dalam menyajikan konsep kedalam bentuk gambar secara

berurutan yang bersifat sistematis.

5. Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup suatu konsep

Indikator yang kelima dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur

kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal sesuai dengan prosedur berdasarkan

syarat perlu atau syarat cukup yang telah telah diketahui.

6. Menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu dan,

Indikator yang keenam dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur

kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal dengan menggunakan,

memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi yang telah ditetapkan.

7. Mengakplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah


Indikator ketujuah dalam penelitian ini gunakan untuk mengukur kemampuan

siswa dalam mengaplikasikan suatu konsep dalam pemecahan masalah

berdasarkan langkah-langkah yang benar.

2.1.4 Model Pembelajaran Auditory Intellectualy Repetition (AIR)

Suprijono mengungkapkan “model merupakan interpretasi terhadap hasil

observasi dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem dan pola yang

digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun

tutorial”. Joyce & Weil (Rusman, 2012) berpendapat bahwa model pembelajaran

adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum

(rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan

membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain.

Model pembelajaran menurut Harjanto didefinisikan sebagai kerangka

konseptual yang digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam melakukan kegiatan

pembelajaran. Senada dengan definisi menurut Murtadlo menjelaskan bahwa model

pembelajaran dapat diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai

pedoman melakukan pembelajaran. Model pembelajaran adalah bentuk pembelajaran

yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh pendidik di

dalam kelas. Dalam model pembelajaran terdapat strategi, pendekatan, metode, dan

teknik pembelajaran. (dalam dalam Zainal Aqib dan Ali Murtadlo 2016:2)

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah

kerangka konseptual yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar

untuk mencapai tujuan belajar tertentu dalam bentuk penbelajaran yang tergambar
dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh calon pendidik di dalam kelas.

Jadi, model pembelajaran sangat diperlukan untuk memandu proses belajar secara

efektif. Salah satu yang dapat dilakukan oleh calon peneliti dalam memperbaiki latar

belakang adalah dengan memilih model pembelajaran Auditory, Intellectually,

Repetition (AIR).

Model pembelajaran AIR merupakan singkatan dari Auditory,

Intellectually, Repetition. Belajar bermodel Auditory yaitu belajar mengutamakan

berbicara dan mendengarkan. Menurut Erman Suherman Auditory bermakna bahwa

belajar haruslah melalui mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi,

mengemukakan pendapat dan menanggapi. Menurut Dave Meier intellectually

menunjukkan apa yang dilakukan pembelajaran dalam pemikiran suatu pengalaman

dan menciptakan hubungan makna, rencana, dan nilai dari pengalaman tersebut.

Intelellectually juga bermakna belajar haruslah menggunakan kemampuan berfikir

(mind-on), haruslah dengan konsentrasi pikiran dan berlatih menggunakannya melalui

bernalar, menyelidiki, mengidentifiasi, menemukan, mencipta, mengonstruksi,

memecahkan masalah, dan menerapkan. (dalam Aris Shoimin 2014:29)

Menurut Erman Suherman (dalam Aris Shoimin 2014:29) repetition

merupakan pengulangan dengan tujuan memperdalam dan memperluas pemahaman

siswa yang perlu dilatih melalui pengerjaan soal, pemberian tugas, dan kuis.

Pengulangan dalam kegiatan pembelajaran dimaksudkan agar pemahaman siswa

mendalam disertai pemberian soal dalam bentuk tugas latihan atau kuis. Dengan

pemberian tugas diharapkan siswa lebih terlatih dalam menggunakan pengetahuan

yang didapat dalam menyelesaikan soal dan mengingat apa yang telah diterima.
Sementara pemberian kuis dimaksudkan agar siswa siap menghadapai ujian atau tes

yang dilaksanakan sewaktu-waktu serta melatih daya ingat.

Model pembelajaran AIR (Arini Viola Burhan Dkk 2014:6-7) adalah

model pembelajaran yang terdiri dari tiga hal, yaitu auditory, intellectually, dan

repetition. Model pembelajaran AIR mirip dengan model pembelajaran Somatis

Auditory Visual Intellectually (SAVI) dan Visual Auditory Kinetis (VAK), bedanya

hanyalah pada repetition yaitu pengulangan yang bermakna pendalaman, perluasan,

pemantapan dengan cara siswa dilatih melalui pemberian tugas atau kuis. Teori yang

mendukung model pembelajaran AIR adalah aliran psikologi tingkah laku serta

pendekatan pembelajaran matematika berdasarkan paham konstruktivisme. Thorndike

mengemukakan hukum latihan (law of exercise) yang pada dasarnya menyatakan

bahwa stimulus dan respons akan memiliki hubungan satu sama lain secara kuat jika

proses pengulangan sering terjadi. Pendekatan konstruktivisme menekankan bahwa

pada saat belajar matematika yang terpenting adalah proses belajar siswa, guru

sebagai fasilitator yang mengarahkan siswa, meluruskan, dan melengkapi sehingga

konstruksi pengetahuan yang dimiliki siswa menjadi benar.

Model AIR terdiri dari tiga aspek yang terdiri dari Auditory, Intelectualy,

dan Repetition. Berikut ini masing-masing penjelasan dari tiga aspek pada model

pembelajaran AIR yang akan digunakan pada penelitian antara lain sebagai berikut:

1. Auditory

Auditory yang artinya belajar dengan berbicara, mendengarkan, menyimak,

presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi. Dengan belajar


Auditory guru mampu mengkondisikan siswa agar mengoptimalkan indera

telinganya, sehingga koneksi antara telinga dan otak dapat dimanfaatkan secara

optimal. Dalam kegiatan pembelajaran sebagian besar proses interaksi siswa dengan

guru dilakukan dengan komunikasi lisan dan melibatkan indera telinga. Salah satu

kegiatan yang dapat menunjang dalam auditory adalah membentuk siswa ke dalam

beberapa kelompok dan kemudian masing–masing kelompok diminta menampilkan

hasil diskusi secara bergantian. Dalam presentasi tersebut ada kelompok yang

berbicara dan ada juga kelompok yang mendengarkan sehingga auditory terlaksana.

Baban Sarbana (dalam Siti Khadijah Dkk 2013:70), berpendapat bahwa

auditory adalah salah satu modalitas belajar yaitu bagaimana menyerap informasi saat

berkomunikasi ataupun belajar dengan cara mendengarkan. Pada kegiatan ini siswa

dapat saling menukar informasi yang didapatnya dan siswa dapat mengeluarkan ide

mereka secara verbal atau guru mengajak siswa membicarakan tentang apa yang

dipelajari, diantaranya menerjemahkan pengalaman mereka dengan suara, mengajak

mereka berbicara saat memecahkan, membuat model, mengumpulkan informasi, dan

sebagainya sehingga mereka akan melahirkan gagasan yang kreatif.

2. Intellectually

Intellectualy merupakan kegiatan pikiran siswa secara internal ketika

mereka menggunakan kecerdasan untuk merenungkan pengalamannya. Aspek

intellectually dalam belajar akan terlatih jika guru mengajak siswa terlibat dalam

aktivitas seperti memecahkan masalah, menganalisis pengalaman, mengerjakan

perencanan kreatif, melahirkan gagasan kreatif, mencari dan menyaring informasi,

merumuskan pertanyaan, menciptakan model mental, menerapkan gagasan baru pada


pekerjaan, menciptakan makna pribadi, dan meramalkan implikasi suatu gagasan. Hal

ini menunjukkan bahwa intellectually adalah pencipta makna dalam berpikir.

Menurut Meier (dalam Siti Khadijah Dkk 2013:70), aspek intelektual dalam

belajar akan terlatih jika guru mengajak siswa terlibat dalam aktivitas seperti : (1)

memecahkan masalah, (2) menganalisis masalah, (3) mengerjakan perencanaan

strategis, (4) melahirkan gagasan kreatif, (5) mencari dan menyaring informasi, (6)

merumuskan pertanyaan, (7) menerapkan gagasan baru pada pekerjaan, (8)

meramalkan implikasi suatu gagasan.

3. Repetition (pengulangan)

Repetition merupakan pengulangan yang diperlukan dalam pembelajaran

agar pemahaman lebih mendalam dan luas. Masuknya informasi ke dalam otak yang

diterima melalui proses penginderaan akan masuk ke dalam memori jangka pendek.

Oleh karena itu, dengan adanya repetition diharapkan informasi tersebut ditransfer ke

dalam memori jangka panjang. Pengulangan yang dilakukan tidak berarti dengan

bentuk pertanyaan ataupun informasi yang sama, melainkan dalam bentuk informasi

yang bervariatif sehingga tidak membosankan. Dengan pemberian soal dan tugas,

siswa akan mengingat informasi–informasi yang diterimanya dan terbiasa dalam

permasalahan – permasalahan matematis.

Menurut Syaiful Bahri Djamarah (dalam Alvi Rohmayati 2014:86) dengan

cara pengulangan (repetition), membantu anak didik dalam menyerap pelajaran

dengan mudah, semakin lama semakin jelas, tahan lama dan tak mudah terlupakan.

Pengulangan dalam kegiatan pembelajaran dimaksudkan agar pemahaman siswa

lebih mendalam, disertai pemberian soal dalam bentuk tugas latihan atau kuis.
Menurut Huda (dalam Anisa Fatmawati 2014), “repetisi bermakna pengulangan”.

Pengulangan merujuk pada pendalaman, perluasan, dan pemantapan siswa dengan

cara pemberian tugas atau kuis. Ketika guru menjelaskan suatu konsep matematika, ia

harus mengulangnya dalam beberapa kali karena terkadang siswa mudah lupa. Dalam

pembelajaran, guru melakukan pengulangan untuk pemantapan ingatan siswa dengan

memberikan kuis.

Pada model pembelajaran Auditory, Intellectually Repetition, peserta didik

ditempatkan sebagai pusat perhatian utama dalam pembelajaran untuk secara aktif

membangun pengetahuannya secara sendiri maupun kelompok. Sedangkan guru,

bertugas sebagai fasilitator yaitu memberikan kemudahan belajar kepada peserta

didik agar dapat membentuk kompetensi dan mencapai tujuan secara optimal,

memberikan kesempatan pada peserta didik untuk berlatih menerapkan konsep atau

keterampilan yang telah dipelajari dan memberikan umpan balik. Peran guru sebagai

fasilitator yaitu mengelolah kelas agar mendukung pembelajaran. Model

pembelajaran Auditory Intellectually Repetition diharapkan lebih efektif dan peserta

didik bisa berlatih untuk bertanggung jawab. Dalam pembelajaran, model AIR di

katakan efektif tentunya apabila memperhatikan tiga hal tersebut yaitu auditory,

intellectually dan repetition.

Langah-langkah model pembelajaran Auditory Intellectualy Repetition (AIR)

menurut Aris Shoimin (2014:30) adalah sebagai berikut:


1) Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing kelompok 4-5

anggota

2) Siswa mendengarkan dan memperhatikan penjelasan dari guru

3) Setiap kelompok mendiskusikan tentang materi mereka pelajari dan menuliskan

hasil diskusi tersebut dan selanjutnya untuk dipresentasikan didepan kelas

(auditory)

4) Saat diskusi berlangsung siswa mendapat soal atau permaslahan yang berkaitan

dengan materi

5) Masing-masing kelompok memikirkan cara menerapkan hasil diskusi serta

dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk menyelesaiakan masalah

(intellectually)

6) Setelah selesai berdiskusi siswa mendapat pengulangan materi dengan cara

mendapatkan tugas atau kuis untu tiap individu (repetition).

Adapun kelebihan dan kelemahan dalam model pembelajaran auditory

intellectualy repetition (AIR) Menurut Aris Shoimin (2014:30-31).

Kelebihan model pembelajaran Auditory Intellectually Repetition (AIR)

1. Siswa lebih berpartisipasi aktif dalam pembelajaran dan sering

mengekspresikan idenya.

2. Siswa memiliki kesempatan lebih banyak dalam memanfaatkan pengetahuan

dan keterampilan secara komprehensif.

3. Siswa dengan kemampuan rendah dapat merespons permasalahan dangan cara

mereka sendiri.

4. iswa secara instrinsik termotivasi untuk memberikan bukti atau penjelasan


5. Siswa memiliki pengalaman banyak untuk menemukan sesuatu dalam

menjawab permasalahan.

Kelemahan model pembelajaran Auditory Intellectualy Repetition (AIR)

antara lain:

1. Membuat dan menyiapkan masalah yang bermakna bagi siswa bukanlah

pekerjaan mudah. Upaya memperkecilnya guru harus mempunyai persiapan

yang lebih matang sehingga dapat menemukan masalah tersebut.

2. Mengemukakan masalah yang langsung dapat dipahami siswa sangat sulit

sehingga banyak siswa mengalami kesulitan bagaimana merespons

permasalahan yang diberikan.

3. Siswa dengan kemampuan tinggi bisa merasa ragu atau mencemasakan

jawaban mereka.

2.1.5 Materi Pelajaran Kesebangunan dan Kekongruenan

A. Dua Bangun Datar yang Kongruen

1. Syarat Dua Bangun Datar Yang Kongruen

a. Dua bangun datar dikatakan kongruen jika kedua bangun datar tersebut

mempunyai sisi-sisi yang bersesuaian sama panjang dan sudut-sudut yang

bersesuaian sama besar.

b. Jika dua bangun datar kongruen maka:

 Sisi-sisi yang bersesuaian sama panjang, dan

 Sudut-sudut yang bersesuaian sama besar.

Contoh Soal 1.1


1. Persegi panjang ABCD dan persegi panjang EFGH

Penyelesaian:

Diketahui persegi panjang ABCD dan persegi panjang EFGH. Sudut-sudut yang

bersesuaian adalah ∠DAB bersesuaian dengan ∠HEF, ∠ABC bersesuaian dengan

∠EFG, ∠BCD bersesuaian dengan ∠FGH, dan ∠CDA bersesuaian dengan ∠GHE.

Berikut adalah besar sudut dari sudut-sudut yang bersesuaian.

∠DAB = ∠HEF = 90° (sudut siku-siku),

∠ABC = ∠EFG = 90° (sudut siku-siku),

∠BCD = ∠FGH = 90° (sudut siku-siku), dan

∠CDA = ∠GHE = 90° (sudut siku-siku).

Ternyata, diperoleh sudut-sudut yang bersesuaian sama besar. Sisi-sisi yang

bersesuaian adalah AB bersesuaian dengan EF, BC bersesuaian dengan FG, CD

bersesuaian dengan GH, dan DA bersesuaian dengan HE. Berikut adalah panjang sisi-

sisi yang bersesuaian.

AB = EF = 3 cm,

BC = FG = 2 cm,

CD = GH = 3 cm, dan

DA = HE = 2 cm.
Ternyata, diperoleh panjang sisi-sisi yang bersesuaian adalah sama. Oleh karena

sudut-sudut yang bersesuaian sama besar dan sisi-sisi yang bersesuaian sama panjang

maka persegi panjang ABCD dan persegi panjang EFGH kongruen.

2. Menentukan Panjang Sisi pada Dua Bangun yang Kongruen

Setelah memahami syarat dua bangun datar kongruen, kali ini kamu akan

mempelajari penerapannya. Dengan demikian, syarat dua bangun datar kongruen

dapat digunakan untuk menentukan panjang sisi pada dua bangun datar yang

kongruen sebagaimana contoh berikut.

Contoh Soal 1.2

Pada gambar berikut, trapesium ABCD dan trapesium EFGH kongruen.

Panjang AB = 6 cm, CD = 10 cm, dan EH = 8 cm. Tentukan panjang GH, EF, dan

AD.

Penyelesaian:

Sisi-sisi yang bersesuaian adalah AB bersesuaian dengan EF, BC bersesuaian dengan

FG, CD bersesuaian dengan GH, dan AD bersesuaian dengan EH. Oleh karena

trapesium
ABCD dan trapesium EFGH kongruen maka:

Panjang GH = CD = 10 cm,

Panjang EF = AB = 6 cm, dan

Panjang AD = EH = 8 cm.

3. Segitiga-Segitiga yang Kongruen

a. Syarat Dua Segitiga Kongruen

Jika suatu benda digeser maka bentuk maupun ukuran benda tersebut akan

tetap sama. Demikian juga bentuk dan ukuran dari benda dan bayangannya pada

cermin datar adalah sama. Untuk memahami syarat dua segitiga kongruen, kamu juga

dapat melakukan pergeseran atau pencerminan dari bangun datar segitiga tersebut.

Coba kamu perhatikan Gambar 1.3 untuk kasus pergeseran segitiga.

Gambar 1.3

Kekongruenan dalam segitiga dengan pergeseran.

Jika ΔABC digeser ke samping sejauh AE maka ΔABC akan berimpit atau menutupi

dengan tepat ΔEFG. Jadi, ΔABC kongruen dengan ΔEFG, ditulis ΔABC ≅ ΔEFG.

Karena ΔABC ≅ ΔEFG maka:

∠CAB = ∠GEF,

∠ABC = ∠EFG,

∠BCA = ∠FGE,
AB = EF,

BC = FG, dan

AC = EG.

Berdasarkan hasil dari pergeseran maupun pencerminan bangun datar

segitiga pada uraian tadi maka dapat disimpulkan syarat dua segitiga kongruen

sebagai berikut. Jika dua segitiga kongruen maka:

 Sisi-sisi yang bersesuaian (seletak) sama panjang, dan

 Sudut-sudut yang bersesuaian (seletak) sama besar.

b. Sifat-Sifat Dua Segitiga Kongruen

Pada pembahasan sebelumnya, telah diperoleh kesimpulan bahwa jika dua

segitiga kongruen maka sisi-sisi yang bersesuaian (seletak) sama panjang dan sudut-

sudut yang bersesuaian (seletak) sama besar. Apakah pernyataan sebaliknya juga

berlaku, yaitu jika dua segitiga yang mempunyai sisi-sisi yang bersesuaian (seletak)

sama panjang dan sudut-sudut yang bersesuaian (seletak) sama besar maka kedua

segitiga tersebut kongruen?

Untuk membuktikannya, coba kamu perhatikan Gambar 1.5.

Dua segitiga yang mempunyai sudut-sudut yang bersesuaian sama besar dan

sisi-sisi yang bersesuaian sama panjang adalah kongruen.


Diberikan ΔABC dan ΔKLM yang mempunyai sisi-sisi yang bersesuaian

(seletak) sama panjang dan sudut-sudut yang bersesuaian (seletak) sama besar. Jika

ΔABC diimpitkan dengan ΔKLM maka:

∠CAB dan ∠MKL saling menempati karena ∠CAB = ∠MKL,

∠ABC dan ∠KLM saling menempati karena ∠ABC = ∠KLM,

∠BCA dan ∠LMK saling menempati karena ∠BCA = ∠LMK,

AB dan KL saling menempati karena AB = KL,

BC dan LM saling menempati karena BC = LM, dan

AC dan KM saling menempati karena AC = KM.

Ternyata, jika ΔABC dan ΔKLM yang mempunyai sisi-sisi yang

bersesuaian sama panjang dan sudut-sudut yang bersesuaian (seletak) sama besar

ketika diimpitkan akan saling menutupi. Jadi, ΔABC ≅ ΔKLM. Berdasarkan sifat dua

segitiga kongruen tersebut, kamu dapat menurunkan syarat-syarat lain untuk

menentukan dua segitiga kongruen. Berikut akan dijelaskan tentang kondisi dari

unsur-unsur segitiga (sisi dan sudut) yang dapat menentukan dua segitiga kongruen.

1. Menentukan Dua Segitiga Kongruen Dilihat dari Ketiga Sisinya (sisi, sisi,

sisi)

Perhatikan gambar berikut.


Gambar 1.6

Kekongruenan dalam segitiga dilihat dari ketiga sisinya (sisi, sisi, sisi).

Jika ΔPQR diimpitkan pada ΔUVW maka:

PQ dan UV saling menempati karena PQ = UV,

QR dan VW saling menempati karena QR = VW, dan

PR dan UW saling menempati karena PR = UW.

Jadi, ΔPQR dan ΔUVW saling menempati sehingga ΔPQR ≅ ΔUVW. Maka dapat

disimpulkan bahwa jika dua segitiga yang mempunyai sisi-sisi bersesuaian yang sama

panjang diimpitkan maka akan saling menutupi dengan tepat. Dengan kata lain, kedua

segitiga tersebut kongruen.

Jika pada dua segitiga ketiga sisi (sisi, sisi, sisi) yang bersesuaian sama
panjang maka kedua segitiga tersebut kongruen.

2. Menentukan Dua Segitiga Kongruen Dilihat dari Dua Sisi dan Sudut

Apitnya (sisi, sudut, sisi).

Perhatikan gambar Berikut.


Gambar 1.7

Kekongruenan dalam segitiga dilihat dari dua sisi dan sudut apitnya (sisi, sudut, sisi).

Jika ΔABC diimpitkan pada ΔDEF maka:

AB dan DE saling menempati karena AB = DE,

∠CAB dan ∠FDE saling menempati karena ∠CAB =∠FDE, dan

AC dan DF saling menempati karena AC = DF.

Jadi, ΔABC dan ΔDEF saling menempati, sehingga ΔABC ≅ ΔDEF.

Jika dua segitiga dua sisinya yang bersesuaian sama panjang dan sudut
apit kedua sisi tersebut sama besar (sisi, sudut, sisi) maka kedua segitiga
tersebut kongruen.

3. Menentukan Dua Segitiga Kongruen Dilihat dari Dua Sudut dan Sisi yang

Merupakan Persekutuan Dua Sudut (sudut, sisi, sudut)

Perhatikan gambar berikut.


Gambar 1.8

Kekongruenan dalam segitiga dilihat dari dua sudut dan sisi persekutuan dua sudut

(sudut, sisi, sudut).

Jika ΔPQR diimpitkan pada ΔUVW maka:

∠RPQ dan ∠WUV saling menempati karena ∠RPQ = ∠WUV,

PQ dan UV saling menempati karena PQ = UV, dan

∠PQR dan ∠UVW saling menempati karena ∠PQR = ∠UVW.

Jadi, ΔPQR dan ΔUVW saling menempati sehingga ΔPQR ≅ ΔUVW.

Dari persoalan di atas, diperoleh bahwa jika dua segitiga yang mempunyai

dua sudut yang bersesuaian sama besar dan sisi yang merupakan persekutuan kedua

sudut tersebut sama panjang diimpitkan maka kedua segitiga tersebut saling menutupi

dengan tepat.

Dengan kata lain, kedua segitiga tersebut kongruen.

Jika dua segitiga mempunyai dua sudut yang bersesuaian sama besar dan
sisi yang merupakan persekutuan kedua sudut tersebut sama panjang
(sudut, sisi, sudut) maka kedua segitiga tersebut kongruen.

4. Menentukan Dua Segitiga Kongruen Dilihat dari Satu Sisi dan Dua Sudut

(sisi, sudut, sudut)


Pada subbab kali ini akan belajar menentukan dua segitiga kongruen dilihat

dari satu sisi dan dua sudut (sisi, sudut, sudut), yaitu satu sudut terletak di sisi tersebut

dan sudut yang lain terletak di depan sisi tersebut.

Perhatikan gambar berikut.

Gambar 1.9

Kekongruenan dalam segitiga dilihat dari satu sisi dan dua sudut (sisi, sudut, sudut).

Karena jumlah sudut-sudut dalam segitiga adalah 180° maka berlaku:

∠ABC + ∠BCA + ∠CAB = 180°

⇔∠ABC = 180° – ∠BCA – ∠CAB

Karena diketahui ∠BCA = ∠EFD dan ∠CAB = ∠FDE maka berakibat,

∠ABC = 180° – ∠BCA – ∠CAB

⇔∠ABC = 180° – ∠EFD – ∠FDE

⇔∠ABC = ∠DEF

Sampai di sini, kamu telah memperoleh:


1. ∠ABC = ∠DEF,

2. AB = DE, dan

3. ∠CAB = ∠FDE.

Kamu dapat mengamati bahwa ketiga keadaan tersebut memenuhi syarat (sudut, sisi,

sudut). Jadi, ΔABC ≅ ΔDEF. Apa yang dapat kamu simpulkan? Ternyata, syarat (sisi,

sudut, sudut) dapat dibawa ke bentuk syarat (sudut, sisi, sudut) sehingga diperoleh

kekongruenan dalam segitiga.

ke bentuk syarat (sudut, sisi, sudut) sehingga diperoleh kekongruenan dalam segitiga.

Jika dua segitiga satu sisinya yang bersesuaian sama panjang dan dua
sudut yang bersesuaian, yaitu satu sudut terletak di sisi tersebut dan sudut
yang lain terletak di depan sisi tersebut adalah sama besar (sisi, sudut,
sudut) maka kedua segitiga tersebut kongruen.

5. Menentukan Segitiga Kongruen Dilihat dari Satu Sudut dan Dua Sisi (sudut,

sisi, sisi)

Kali ini, kamu akan memahami cara menentukan dua segitiga kongruen dilihat dari

satu sudut dan dua sisi (sudut, sisi, sisi), yaitu satu sisi tempat terletaknya sudut

tersebut dan sisi yang lain terletak di depan sudut tersebut.

Perhatikan Gambar 1.10.


Kekongruenan dalam segitiga dilihat dari satu sudut dan dua sisi (sudut, sisi, sisi).

Karena RP dan US merupakan sisi-sisi yang bersesuaian dari ΔPQR dan

ΔSTU maka sudut-sudut di depan kedua sisi tersebut merupakan sudut-sudut yang

bersesuaian juga, yaitu ∠PQR dan ∠STU, dengan catatan ∠PQR dan ∠STU

merupakan sudut sejenis (sudut yang sama lancip atau sudut yang sama tumpul).

Diketahui bahwa RP = US (sama panjang) maka diperoleh ∠PQR = ∠STU (sama

besar). Oleh karena jumlah sudut-sudut dalam segitiga adalah 180° maka berlaku:

∠QRP + ∠RPQ + ∠PQR = 180°

⇔∠QRP = 180° – ∠RPQ – ∠PQR

Karena diketahui ∠RPQ = ∠UST dan telah diperoleh bahwa ∠PQR = ∠STU maka

berakibat,

∠QRP = 180° – ∠RPQ – ∠PQR

⇔∠QRP = 180° – ∠UST – ∠STU

⇔∠QRP = ∠TUS

Sehingga diperoleh:

1. QR = TU,
2. ∠QRP = ∠TUS, dan

3. RP = US.

Kamu dapat mengamati bahwa ketiga keadaan tersebut memenuhi syarat (sisi, sudut,

sisi). Jadi, ΔPQR ≅ ΔSTU. Apa yang dapat kamu simpulkan? Ternyata, syarat (sudut,

sisi, sisi) dapat dibawa ke bentuk syarat (sisi, sudut, sisi) sehingga diperoleh

kekongruenan dalam segitiga.

Jika dua segitiga satu sudutnya yang bersesuaian sama besar dan dua sisi yang
bersesuaian, yaitu satu sisi tempat terletaknya sudut tersebut dan sisi yang lain
terletak di depan sudut tersebut adalah sama panjang (sudut, sisi, sisi) maka
kedua segitiga tersebut kongruen.

B. Dua Bangun Datar yang Sebangun

1. Syarat Dua Bangun Datar Sebangun

Dua bangun datar dikatakan sebangun jika:

a. Sudut-sudut yang bersesuaian (seletak) pada kedua bangun datar sama besar, dan

b. Perbandingan panjang sisi-sisi yang bersesuaian (seletak) pada kedua bangun

datar sama.

Oleh karena pada dua bangun datar yang kongruen berlaku perbandingan

panjang sisi-sisi yang bersesuaian adalah sama dan nilai perbandingannya 1 : 1 maka

pada dua bangun datar yang sebangun berlaku perbandingan panjang sisi-sisi yang

bersesuaian adalah sama dan nilai perbandingannya tidak hanya 1 : 1.

2. Menentukan Panjang Sisi pada Dua Bangun yang Sebangun

Contoh Soal 1.10


1. Sebuah gudang mempunyai lebar bagian depan 12 m dan tinggi 8 m. Jika maket

gudang tersebut dibuat dengan lebar 6 cm, berapakah tinggi maket gudang

tersebut?

Penyelesaian:

Diketahui lebar bagian depan gudang adalah 12 m (1.200 cm), tinggi gudang adalah 8

m (800 cm), dan lebar maket adalah 6 cm. Misalnya, tinggi maket adalah x cm.

Dengan menggunakan pengertian perbandingan pada dua bangun yang sebangun

diperoleh:

Jadi, Tinggi Maket Lebar Maket


=
Tinggi Sebenarnya Lebar Sebenarnya

𝑥 6
=
800 1.200

1.200𝑥 = 6𝑥800

1.200𝑥 = 4.800

𝑥=4 Jadi, tinggi maket gudang tersebut adalah 4 cm.

2. Diberikan trapesium ABCD dan trapesium PQRS sebangun seperti gambar

berikut. Tentukan panjang CD dan PQ.


Penyelesaian :

Diketahui trapesium ABCD sebangun dengan trapesium PQRS sehingga berlaku:

AD CD AB AD CD AB
= = = =
PS RS PQ PS RS PQ

AD CD AD AB
= =
PS RS PS PQ

10 CD 10 12
= =
15 9 15 PQ

15CD = 10x9 10PQ = 12x15

15CD = 90 10PQ = 180

90 180
CD = CD =
15 10

CD = 6 CD = 18

Jadi, panjang CD adalah 6 cm dan panjang PQ adalah 18 cm.

3. Segitiga-Segitiga yang Sebangun

a. Syarat Dua Segitiga Sebangun


Syarat dua segitiga sebangun:

1. Jika sudut-sudut yang bersesuaian pada dua segitiga sama besar maka kedua

segitiga tersebut sebangun.

2. Jika perbandingan panjang sisi-sisi yang bersesuaian pada dua segitiga sama

maka kedua segitiga tersebut sebangun.

3. Jika dua segitiga mempunyai satu sudut yang sama besar serta perbandingan

panjang sisi-sisi yang bersesuaian yang mengapit sudut tersebut sama maka kedua

segitiga tersebut sebangun.

Jika dua segitiga sebangun maka:

1. sudut-sudut yang bersesuaian pada kedua segitiga tersebut sama besar,

2. perbandingan panjang sisi-sisi yang bersesuaian pada kedua segitiga tersebut

sama, dan

3. perbandingan panjang sisi-sisi yang bersesuaian yang mengapit satu sudut yang

sama besar pada kedua segitiga tersebut adalah sama.

b. Menghitung Panjang Sisi pada Segitiga yang Sebangun

Contoh Soal 1.12


1. Diberikan ΔPQR dan ΔXYZ sebagai berikut.

a. Apakah ΔPQR dan ΔXYZ sebangun?

b. Tentukan panjang YZ.

Penyelesaian:

a. Perhatikan ΔPQR dan ΔXYZ.

∠RPQ = ∠ZXY = α,

∠PQR = ∠XYZ = β.

Karena dua sudut pada ΔPQR dan ΔXYZ sama besar maka sudut yang lain juga

sama besar. Jadi, ∠QRP = ∠YZX. Karena ketiga sudut yang bersesuaian pada

ΔPQR dan ΔXYZ sama besar maka ΔPQR dan ΔXYZ sebangun.

b. Ambillah pasangan perbandingan panjang sisi-sisi yang bersesuaian mengandung

YZ.

𝑄𝑅 𝑃𝑄
=
𝑌𝑍 𝑋𝑌
12 6
=
𝑌𝑍 8

6𝑌𝑍 = 12𝑥8

6𝑌𝑍 = 96
96
𝑌𝑍 =
6

𝑌𝑍 = 16

Jadi, panjang YZ adalah 16 cm.

2. Pada gambar berikut, AD // CB, panjang AD = 6 cm, CB = 4 cm, dan BE = 6 cm.

Tentukan panjang AE dengan terlebih dahulu membuktikan bahwa ΔAED dan

ΔBEC sebangun.

Penyelesaian :

Perhatikan ΔAED dan ΔBEC.

∠DAE = ∠CBE (sudut dalam berseberangan), ∠AED = ∠CEB (sudut bertolak

belakang), dan ∠EDA = ∠ECB (sudut dalam berseberangan). Karena sudut-sudut

yang bersesuaian sama besar maka ΔAED dan ΔBEC sebangun. Jadi, dengan

mengambil perbandingan panjang sisi-sisi yang bersesuaian yang mengandung AE

diperoleh:

𝐴𝐷 𝐴𝐸
=
𝐵𝐶 𝐵𝐸

6 𝐴𝐸
=
4 6
4𝐴𝐸 = 6𝑥6

4𝐴𝐸 = 36

36
𝐴𝐸 =
4

𝐴𝐸 = 9

Jadi, panjang AE adalah 9 cm.

c. Memecahkan Masalah yang Melibatkan Konsep Kesebangunan

Contoh Soal 1.13

1. Pada suatu siang, seorang siswa yang tingginya 160 cm berdiri di samping

menara. Jika pada saat yang sama panjang bayangan siswa tersebut adalah 2 m,

sedangkan panjang bayangan menara adalah 8 m, berapakah tinggi menara?

Penyelesaian :

Sketsa masalah tersebut tergambar seperti di atas. Tinggi siswa adalah 160 cm,

panjang bayangan siswa adalah 2 m (200 cm), dan panjang bayangan menara adalah

8 m (800 cm). Coba kamu perhatikan bahwa sisi-sisi yang bersesuaian pada sketsa

gambar tersebut di antaranya adalah tinggi siswa bersesuaian dengan tinggi menara,

panjang bayangan siswa bersesuaian dengan panjang bayangan menara sehingga

perbandingan sisi-sisi yang bersesuaian di antaranya adalah:


Tinggi Menara panjang banyangan menara
=
Tinggi Siswa panjang bayangan siswa

Misalnya, tinggi menara adalah t cm maka dengan menggunakan perbandingan dalam

kesebangunan di peroleh:

𝑡 800
=
160 200

200𝑡 = 800𝑥160

200𝑡 = 128.00

128.000
𝑡=
200

𝑡 = 640

Jadi, tinggi menara adalah 640 cm (6,4 m)

2.2 Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan diantaranya sebagai berikut:

1. Penelitian Teti Misnawati (2017) dengan judul “Meningkatkan hasil belajar dan

aktivitas siswa melalui model pembelajaran Auditory Intellectualy Repetition

(AIR) pada materi segi empat kelas VII SMPN 9 HARUAI tahun pelajaran

2016/2017”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelima subjek penelitian

menunjukkan peningkatan perilaku pada indikator-indikator tanggung jawab.

Hasil Aktivitas siswa dari siklus 1 hingga siklus 2 mengalami peningkatan.

Dimana pada siklus pertama, siswa berada pada kriteria Cukup Aktif. Kreteria

tiap kategori dengan presentase pada siklus 1ertemuan 1 yaitu sangat aktif 5%

meningkat menjadi 10% dan pada siklus 2 dan kriteria Sangat Aktif yaitu 35%
meningkat menjadi 60%. Setiap pertemuan mengalami peningkatan aktivitas

siswa dan mencapai indikator yang ditetapkan. Hasil belajar dari siklus I

pertemuan 1 hanya mencapai 25% meningkat menjadi 55% dan pada siklus II

pertmemuan 1 memperoleh meningkat menjadi 60% dan pada pertemuan ke 2

ketuntasan siswa mencapai 90%. Diharapkan dengan hasil penelitian ini, bisa

menjadi masukan bagi guru agar dapat melaksanakan pembelajaran yang

memfasilitasi peserta didik sehingga karakter tanggung jawab dan pemecahan

masalah dapat terbentuk. Salah satunya dengan menerapkan model pembelajaran

Auditory Intellectually Repetition (AIR).

2. Penelitian Rully Eka Safriani, Dkk (2016) dengan judul “Peningkatan

pemahaman konsep pecahan melalui penggunaan model pembelajaran kooperatif

tipe Auditory Intellectualy Repetitio (AIR)” Hasil penelitian menunjukkan bahwa

model pembelajaran kooperatif tipe Auditory Intellectually Repetition (AIR) dapat

meningkatkan pemahaman konsep pecahan pada siswa kelas IV SD Negeri I

Kedungrejo Nguntoronadi Wonogiri tahun ajaran 2015/2016. Hal itu dapat

ditunjukkan dengan meningkatnya kemampuan siswa dari sebelum dan sesudah

tindakan. Berdasarkan penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

matematika dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Auditory

Intellectually Repetition (AIR) dapat meningkatkan pemahaman konsep pecahan

pada siswa kelas IV siswa SD Negeri I Kedungrejo tahun ajaran 2015/2016.

3. Anisa Fatmawati (2014) dengan Judulu”Penerapan pendekatan Auditory

Intellectualy Repetition (AIR) pada materi Pertidaksamaan Dikelas X-C SMAN 1

Kauman Tulu ngagung” Peneliti mengungkapkan bawa penelitian ini merupakan


penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan pengelolaan

pembelajaran oleh guru, aktivitas siswa, hasil belajar siswa, dan respons siswa

terhadap pembelajaran menggunakan pendekatan Auditory Intellectually

Repetition (AIR) pada materi pertidaksamaan di kelas X-C SMAN 1 Kauman

Tulungagung. Subjek dalam penelitian ini adalah guru dan siswa kelas X-C

SMAN 1 Kauman Tulungagung tahun ajaran 2013-2014. Delapan siswa dipilih

secara acak dari kelas X-C sebagai subjek pengamatan aktivitas siswa. Adapun

rancangan penelitian yang digunakan adalah one-shot case study, dilaksanakan

selama dua pertemuan untuk pembelajaran dengan pendekatan Auditory

Intellectually Repetition (AIR) dan satu pertemuan untuk pengerjaan tes dan

pengisian angket respons siswa. Selama pembelajaran tersebut diamati

pengelolaan pembelajaran oleh guru dan aktivitas siswa. Hasil analisis data

menunjukkan: (1) pengelolaan pembelajaran oleh guru secara keseluruhan dapat

dikategorikan baik; (2) siswa tergolong aktif selama pembelajaran dengan rata-

rata persentase aktivitas siswa adalah 67,715%, selanjutnya aktivitas siswa yang

dominan adalah mendengarkan penjelasan guru atau teman; (3) nilai rata-rata

hasil belajar siswa adalah 75,15; dan (4) respons siswa terhadap pembelajaran

dengan menggunakan pendekatan Auditory Intellectually Repetition (AIR) adalah

positif.

Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan penelitian yang relevan pada

sebelumnya suadah pernah ada penelitian bahwa penerapan model pembelajaran

Auditory Intellectualy Repetition (AIR) sangat baik di terapkan dalam pembelajaran

di sekolah untuk meningkatkan aktivitas dan pemahaman konsep matematika.


Dengan penerapan model pembelajaran Auditory Intellectualy Repetition (AIR)

terjadi peningkatan belajar siswa dari siklus I ke siklus II.

2.3 Kerangka Berfikir Penelitian

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang berfungsi

mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur dan menggunakan rumus

matematika yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Pembelajaran matematika

sangat penting bagi setiap pendidikan mulai dari tingkat SD sampai pendidikan

Perguruan Tinggi. Salah satu tujuan dari pembelajaran matematika adalah

mengembangkan kemampuan pemahaman konsep siswa. Sistem pembelajaran yang

dilaksanakan di sekolah harus memperhatikan agar konsep dapat tertanam dengan

baik kepada siswa.

Untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika harus ada dukungan dan

kerjasama antara guru dan siswa. Guru harus selalu menciptakan proses pembelajaran

yang mampu membuat siswa aktif dalam belajar dengan menerapkan model

pembelajaran yang sesuai. Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang

memuat strategi, metode dan teknik pembelajaran. Belajar mengajar merupakan

interaksi antara siswa dengan guru. Seorang guru berusaha untuk mengajar dengan

sebaik-baiknya, sehingga siswa dapat memahami materi dengan baik sesuai tujuan

pembelajaran.

Berdasarkan observasi yang dilaksanakan oleh calon peneliti di kelas VIII

SMP ADVENT 2 MEDAN bahwa pada prakteknya proses pembelajaran matematika

di dalam kelas guru menggunakan metode ceramah dimana guru menjadi sumber

utama dalam kegiatan belajar mengajar dan setiap siswa hanya mendengar dan
mencatat apa yang disampaikan oleh guru sehingga membuat siswa kurang terlibat

dalam kegiatan pembelajaran. Dengan menggunakan metode ceramah terlihat jelas

aktivitas siswa pada proses pembelajaran yaitu sebagian besar siswa tidak

memperhatikan, mendengarkan, menyimak, mengemukakan pendapat, bertanya, dan

menanggapi. Siswa melakukan kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan

pelajaran matematika yaitu siswa membuat pesawat dari buku tulis , bahkan masih

banyak siswa yang ngobrol dengan teman sebangkunya. Siswa berpindah-pindah

tempat duduk, mengganggu teman sebangkunya, jalan-jalan ke depan, bolak balik

permisi ke kamar mandi dan ada pula siswa beryanyi dibelakang. Dari paparan

tersebut maka terbukti bahwa interaksi antara siswa dan guru kurang sehingga

aktivitas belajar dalam proses pembelajaran sangat tergolong rendah.

Aktivitas belajar rendah akan mengakibatkan pemahaman konsep

matematika siswa juga rendah. Untuk mengetahui mengetahui pemahaman konsep

rendah calon peneliti memberikan soal minites yang merupakan dari indikator

pemahaman konsep tersebut. Dari pekerjaaan siswa terbukti bahwa hamper

seluruhnya tidak dapat menjawab soal dengan benar. Siswa masih beranggapan soal

tersebut susah untuk di kerjakan. Dengan demikian dari kondisi awal yang di ketahui

melalui observasi, calon peneliti berkeinginan untuk memperbaiki masalah yang ada

di dalam kelas yakni dengan menggunakan model pembelajaran Auditory

Intellectualy Repetition (AIR) seabagaiman untuk meningkatkan aktivitas belajar dan

pemahaman konsep matematika.

Model pembelajaran Auditory Intellectualy Repetition (AIR) merupakan

model pembelajaran yang efektif dimana akan bekerjasama dengan beberapa aspek
yaitu Aditory, Intellectualy, Repetition (AIR). Auditory yang bermakna bahwa belajar

haruslah dengan melalui mendengarkan, menyimak, berbicara, presentasi,

argumentasi, mengemukakan pendapat, menanggapi dan mengajukan pertanyaan.

Intellectualy yang bermakna bahwa belajar haruslah menggunakan kemampuan

berpikir (minds-on) dan belajar haruslah dengan konsentrasi pikiran dan berlatih

menggunakannya melalui bernalar, menyelidiki, mengidentifikasi, menemukan,

mencipta, mengkonstruksi, memecahkan masalah, dan menerapkan. Dan repetition

yang berarti pengulangan yang bermakna pendalaman, perluasan, pemantapan dengan

cara siswa dilatih melalui pemberian tugas atau kuis. Adapun skema kerangka

berfikir yang disajikan pada gambar.

SKEMA KERANGKA BERFIKIR PENELITIAN

Proses pembelajaran masih berpusat pada guru


dimana siswa tidak mendengarkan, menyimak, Rendahnya
Observasi awal
di kelas VIII mengemukakan pendapat, bertanya, aktivitas
SMP ADVENT menanggapi, dan hampir seluruhnya siswa fokus belajar
2 MEDAN dengan kegiatanya masing-masing. Soal minites siswa dan
yang diberikan oleh calon peneliti yang pemahaman
merupakan indikator pemahaman konsep konsep
matematika tidak ada siswa yang mampu matematika
menjawab dengan benar.
Penerapan model pembelajaran Siklus 1:
Tindakan Auditory Intelectualy Repetition (AIR)
Penerapan model
dengan menggunakan ketiga aspek
pembelajaran Auditory
model tersebut yaitu Auditory,
Intelectualy Repetition
Inteectualy, dan repetition untuk
(AIR) pada Materi
meningkatkan aktivitas belajar dan
Kesebangunan dan
pemahaman konsep matematika
kekongruenan.

Siklus 2
Siklus selanjutnya
Dalam pembelajaran pada materi
kesebangunan dan kekongruenan, Dalam pembelajaran pada materi
guru masih menggunakan model kesebangunan dan
pembelajaran Auditory kekongruenan, guru masih
Itellectually Repetition (AIR) menggunakan model
dengan melakukan perbaikan- pembelajaran Auditory
perbaikan pada siklus 1 Intellectually Repetition (AIR)
dengan melakukan bila
adaperbaikan pada siklus 2.

Diduga dengan menerapkan


model pembelajaran Auditory Aktivitas belajar
Intellectualy Repetition (AIR) dan pemahaman
dapat meningkatkan aktivitas konsep
Kondisi belajar dan pemahaman konsep matematika
Akhir matematika siswa kelas VIII meningkat
SMP ADVENT 2 MEDAN T.A (tidak rendah)
2018/2019 pada materi
Kesebangunan dan
Kekongruenan.

2.4 Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kajian teori tersebut dapat dirumuskan hipotesis penelitian

yaitu “ melalui Model pembelajaran Auditory Intellectualy Repetitio (AIR) dapat


meningkatkan aktivitas belajar dan pemahaman konsep matematika siswa kelas IX

SMP ADVENT 2 MEDAN

Anda mungkin juga menyukai