Anda di halaman 1dari 4

Kebijakan Moneter

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 13-14 Desember 2017
memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate tetap sebesar 4,25%,
dengan suku bunga Deposit Facility tetap sebesar 3,50% dan Lending Facility tetap
sebesar 5,00%, berlaku efektif sejak 15 Desember 2017. Kebijakan tersebut konsisten
dengan upaya menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta turut mendukung
pemulihan ekonomi domestik dengan tetap mempertimbangkan dinamika perekonomian
global maupun domestik. Bank Indonesia memandang bahwa pelonggaran kebijakan moneter
yang telah ditempuh sebelumnya telah memadai untuk terus mendorong momentum
pemulihan ekonomi domestik di tengah stabilitas makroekonomi yang semakin baik. Ke
depan, Bank Indonesia tetap mewaspadai sejumlah risiko, baik yang bersumber dari global
terkait normalisasi kebijakan moneter di beberapa negara maju dan risiko geopolitik, maupun
dari dalam negeri terutama terkait konsolidasi korporasi yang terus berlanjut dan intermediasi
perbankan yang belum kuat. Bank Indonesia akan mengoptimalkan bauran kebijakan
moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk menjaga keseimbangan antara
stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan dengan proses pemulihan ekonomi yang
sedang berlangsung. Bank Indonesia juga akan terus memperkuat koordinasi kebijakan
bersama Pemerintah untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Bank
Indonesia memandang bahwa di tengah berlangsungnya perbaikan ekonomi global dan
terjaganya stabilitas perekonomian domestik terbuka peluang untuk menciptakan
pertumbuhan ekonomi domestik yang lebih kuat dan berkelanjutan melalui penguatan
pelaksanaan reformasi struktural.
Pemulihan ekonomi global terus berlanjut secara lebih merata diikuti dengan
tetap tingginya harga komoditas. Pertumbuhan ekonomi global 2017 diperkirakan lebih
kuat dibandingkan 2016 dengan sumber pertumbuhan yang lebih merata, baik dari negara
maju maupun negara berkembang. Pertumbuhan PDB AS membaik ditopang investasi yang
meningkat dan konsumsi yang stabil. Sejalan dengan AS, ekonomi Eropa pulih cukup solid
ditopang konsumsi dan ekspor. Perekonomian Tiongkok juga membaik didukung konsumsi
dan ekspor di tengah kebijakan rebalancing yang ditempuh secara gradual. Perkembangan ini
selanjutnya mendorong volume perdagangan dunia dan harga komoditas global, termasuk
minyak, yang lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, kenaikan suku
bunga FFR di AS sebesar 25 bps pada 13 Desember 2017 sesuai dengan perkiraan Bank
Indonesia. Ke depan, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan tetap tinggi disertai
dengan harga komoditas dan volume perdagangan yang tetap kuat. Namun demikian,
sejumlah risiko terhadap perekonomian global tetap perlu diwaspadai, antara lain normalisasi
kebijakan moneter di beberapa negara maju dan faktor geopolitik.
Pemulihan ekonomi Indonesia berlangsung gradual dan belum merata.
Pertumbuhan ekonomi 2017 diperkirakan sekitar 5,10% (yoy), dibandingkan 5,02% (yoy)
pada 2016. Pertumbuhan ekonomi didukung oleh peningkatan ekspor komoditas yang
selanjutnya mendorong peningkatan investasi nonbangunan, khususnya pada korporasi yang
berbasis komoditas. Stimulus fiskal oleh pemerintah terkait pembangunan proyek
infrastruktur juga mendorong investasi bangunan. Di sisi lain, investasi pada sektor-sektor
nonkomoditas belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Konsumsi rumah tangga masih
tumbuh terbatas khususnya pada belanja makanan dan pakaian disertai pergeseran pola
konsumsi ke leisure, serta terjadi preferensi untuk menunda konsumsi pada masyarakat
golongan menengah atas. Pada 2018, pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan membaik
bersumber dari lebih meratanya investasi, berlanjutnya stimulus fiskal Pemerintah, dan
meningkatnya ekspor sejalan dengan berlanjutnya perbaikan ekonomi global. Dengan
perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi 2018 diperkirakan meningkat pada kisaran
5,1-5,5%.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) 2017 diperkirakan mencatat surplus yang
relatif besar dengan defisit transaksi berjalan yang terkendali di bawah 2,0% dari
PDB. Besarnya surplus NPI terutama ditopang oleh transaksi modal dan finansial yang
meningkat dibandingkan 2016, khususnya dalam bentuk investasi langsung dan investasi
portofolio sejalan dengan membaiknya persepsi investor terhadap prospek perekonomian
domestik. Di sisi lain, defisit transaksi berjalan terkendali, terutama didukung oleh kenaikan
surplus nonmigas, di tengah defisit neraca jasa dan neraca pendapatan primer yang masih
cukup besar, antara lain terkait defisit jasa transportasi dan pembayaran repatriasi hasil
investasi asing. Posisi cadangan devisa Indonesia akhir November 2017 tercatat sebesar
125,97 miliar dolar AS, meningkat dari 116,36 miliar dolar AS pada akhir 2016. Cadangan
devisa tersebut cukup untuk membiayai 8,4 bulan impor atau 8,1 bulan impor dan
pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan
internasional sekitar 3 bulan impor. Ke depan, defisit transaksi berjalan pada 2018
diperkirakan masih tetap terkendali dalam batas yang aman meskipun meningkat menjadi
2,0-2,5% dari PDB, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi domestik.
Rupiah cenderung stabil pada 2017 meski sempat mengalami tekanan yang
bersumber dari eksternal pada awal triwulan IV 2017. Nilai tukar rupiah bergerak stabil
hingga September dan melemah pada bulan Oktober dipengaruhi faktor eksternal. Pelemahan
Rupiah tersebut sejalan dengan pelemahan nilai tukar hampir seluruh mata uang dunia
terhadap dolar AS seiring normalisasi kebijakan moneter, meningkatnya ekspektasi kenaikan
suku bunga, dan rencana reformasi pajak di AS. Pada November, Rupiah kembali menguat
seiring dengan stabilitas makroekonomi yang tetap terjaga dan prospek perekonomian yang
tetap baik sehingga secara point-to-point (ptp) Rupiah menguat sebesar 0,27% (mtm) ke level
Rp13.526 per dolar AS. Ke depan, Bank Indonesia tetap melakukan langkah-langkah
stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya dengan tetap menjaga bekerjanya
mekanisme pasar.
Inflasi 2017 terjaga tetap rendah sekitar 3,5% (yoy) dan berada dalam kisaran
sasaran inflasi 4±1%. Terkendalinya inflasi terutama disumbang oleh rendahnya inflasi
volatile food ditopang oleh pasokan yang memadai, kebijakan stabilisasi harga pangan oleh
Pemerintah, dan harga pangan global yang rendah. Inflasi volatile food tersebut merupakan
yang terendah dalam 14 tahun terakhir. Inflasi inti juga menurun sejalan dengan ekspektasi
yang terjangkar, nilai tukar yang stabil, dan terbatasnya permintaan domestik. Sementara itu,
inflasi administered prices meningkat terutama karena kenaikan tarif listrik 900 VA pada
paruh pertama tahun 2017, sebagai bagian dari reformasi subsidi energi. Pada November
2017, inflasi IHK tercatat sebesar 0,20% (mtm) sehingga secara kumulatif (Januari -
November) dan tahunan masing-masing mencapai 2,87% (ytd) dan 3,30% (yoy). Ke depan,
inflasi 2018 diperkirakan akan tetap terkendali pada level yang rendah dalam kisaran sasaran
3,5±1%. Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi kebijakan bersama Pemerintah
Pusat dan Daerah dalam rangka pengendalian inflasi.
Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga di tengah intermediasi perbankan yang
belum kuat. Terjaganya stabilitas sistem keuangan tercermin pada rasio kecukupan modal
(Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan yang cukup tinggi pada level 23,2% dan rasio
likuiditas (AL/DPK) pada level 22,7% pada Oktober 2017. Sementara itu, rasio kredit
bermasalah (Non Performing Loan/NPL) berada pada level 2,96% (gross) atau 1,25% (net).
Transmisi pelonggaran kebijakan moneter melalui jalur suku bunga terus berlangsung,
tercermin dari berlanjutnya penurunan suku bunga deposito dan suku bunga kredit. Namun,
transmisi melalui jalur kredit masih belum optimal, terlihat dari pertumbuhan kredit yang
masih terbatas sejalan dengan permintaan kredit yang belum tinggi dan perilaku bank yang
masih selektif dalam memberikan kredit baru. Pertumbuhan kredit Oktober 2017 tercatat
masih sebesar 8,16% (yoy), meski membaik dibandingkan September sebesar 7,86% (yoy).
Namun demikian, pembiayaan ekonomi melalui pasar keuangan, seperti penerbitan saham,
obligasi, dan medium term notes (MTN), terus tumbuh tinggi hingga mencapai 45,5% (yoy)
pada Oktober 2017. Sementara itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Oktober
2017 tercatat 11,0% (yoy), menurun dibandingkan bulan sebelumnya 11,7% (yoy). Untuk
keseluruhan 2017, DPK dan kredit diperkirakan tumbuh masing-masing sekitar 9,0% (yoy)
dan 8,0% (yoy). Sejalan dengan peningkatan aktivitas ekonomi dan dampak pelonggaran
kebijakan moneter dan makroprudensial yang telah dilakukan sebelumnya serta progres
program konsolidasi korporasi dan perbankan yang ditempuh, Bank Indonesia
memperkirakan pertumbuhan DPK dan kredit akan lebih baik, masing-masing dalam kisaran
9,0-11,0% (yoy) dan 10,0-12,0% (yoy) pada 2018.

Tiga Strategi Fiskal untuk APBN 2018

Pemeritntah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati Anggaran


Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018 (APBN 2018). Adapun tema
kebijakan fiskal tahun 2018 adalah "Pemantapan Pengelolaan Fiskal untuk Mengakselerasi
Pertumbuhan yang Berkeadilan". Untuk menjalankannya terdapat tiga strategi fiskal yang
digunakan. Target pertama ialah optimalisasi pendapatan negara dengan tetap menjaga iklim
investasi. Kedua ialah efisiensi belanja dan peningkatan belanja produktif untuk mendukung
program prioritas serta ketiga ialah mendorong pembiayaan yang efisien inovatif dan
berkelanjutan.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018 (APBN TA


2018) diharapkan dapat menjadi instrumen fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
sekaligus mendukung upaya pengentasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan, serta
penciptaan lapangan kerja, ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat Sidang
Paripurna di Ruang Rapat Paripurna DPR pada Rabu, (25/10).

Dalam sidang paripurna ini, pemerintah dan DPR telah menyepakati asumsi ekonomi makro
dengan pertumbuhan ekonomi 5,4%, tingkat inflasi 3,5% dan nilai tukar Rupiah
Rp13.400/US$.Sedangkan, pendapatan negara disetujui sebesar Rp1.894,7 triliun; belanja
negara sebesar Rp2.220,7 triliun, dan defisit APBN 2,19% terhadap PDB (setara dengan
Rp325,9 triliun).
Menanggapi Fraksi Gerindra yang menyatakan menolak RAPBN 2018 dikarenakan target
belanja dan pertumbuhan terlalu rendah serta ketidakberpihakan anggaran terhadap TNI,
Menkeu menanggapi dengan terus mendengarkan masukan dan tidak pernah lelah bekerja
untuk Indonesia.

Pemerintah dapat memahami apabila ada berbagai pandangan dan kritik masukan yang
membangun dari berbagai fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini akan menjadi
masukan bagi pemerintah untuk terus melakukan perbaikan ke depan dan pemerintah tidak
akan pernah berhenti dan lelah untuk terus bekerja melakukan langkah langkah nyata untuk
pembangunan Negara Republik Indonesia yang kita cintai demi terciptanya kesejahteraan
yang berkeadilan.
Pemerintah berharap kesetaraan dan kerjasama yang telah terjalin dengan baik selama ini
dapat terus ditingkatkan sehingga tugas konstitusional bersama yang dipercayakan kepada
dewan dan pemerintah dalam mengemban amanat rakyat dapat diselesaikan dengan sebaik-
baiknya.

Anda mungkin juga menyukai