II. Sedasi
A. Berbagai skala telah dikembangkan untuk menggambarkan perilaku pasien
dan membantu dokter dalam berkomunikasi dengan tujuan sedasi. Meskipun
tidak ada standar baku emas yang digunakan di ICU, menerapkan berbagai
skala tentang rencana intervensi berdasarkan protokol telah terbukti memiliki
manfaat klinis.
1. Ramsay Sedation Scale ( Skala Sedasi Ramsay) memiliki enam tingkat
agitasi. Meskipun skala ini yang paling umum digunakan sebagai referensi
skala dalam literatur, kategori individual berbeda-beda, yang membuatnya
agak sulit untuk digunakan secara klinis.
2. Richmond Agitation-Sedation Scale (RASS) (Skala Agitasi-Sedasi
Richmond) menguntungkan karena menggambarkan spektrum sedasi dari
tidak respon menjadi agresif dengan deskripsi yang tepat untuk penilaian
yang lebih akurat.
3. Bispectral Index (BIS) (Indeks Bispectral) adalah ukuran non invasif
fungsi otak yang menggunakan algoritma kepemilikan untuk menilai
tingkat sedasi. BIS diletakkan pada dahi pasien dan memberikan
pembacaan terus-menerus menggunakan skala 0 sampai 100, dengan 100
mewakili kesadaran normal, kurang dari 60 terkait dengan sedasi
mendalam, dan kurang dari 40 merupakan indikasi kondisi hipnosis dalam.
Meskipun telah memiliki beberapa kegunaan di ruang operasi, hanya
beberapa studi yang telah meneliti kegunaanya untuk pasien sakit kritis.
Tabel 6-2. Skala Sedasi Ramsay
Level Respon
1 Cemas, gelisah, resah
2 Koperatif, terorientasi, tenang
3 Respon hanya pada perintah
4 Tertidur, cepat respon pada rangsangan
5 Tertidur, lambat respon pada
6 rangsangan
From Ramsay MA,Savege TM. Simpson BR, et al. Controlled sedation with alphaxalone-alphadolone. Br,
Med J 1974:2:656-659. With permission
Prosedur.
1. Observasi pasien. Apakah pasien siaga dan tenang (skor 0) ?
Apakah pasien memiliki perilaku yang konsisten dengan resah atau gelisah (skor
+1 sampai +4 menggunakan kriteria yang tertulis dikolom terakhir) ?
2. Jika pasien tidak sadar, dengan suara yang nyaring, sebut nama pasien dan
perintahkan pasien untuk membuka mata dan melihat pemanggil. Ulang lagi jika
perlu. Dapat mendesak pasien untuk terus melihat kepada pemanggil.
Pasien membuka mata dan memiliki kontak mata, yang bertahan lebih dari > 10
detik (skor -1).
Pasien membuka mata dan memiliki kontak mata, tapi tidak bertahan selama 10
detik (skor -2).
Pasien tidak memiliki pergerakan pada respon suara, termasuk kontak mata (skor
-3).
3. Jika pasien tidak memberi respon pada suara, rangsang fisik pasien dengan
mengguncangkan bahu dan kemudian menekan sternum jika tidak ada respon
dengan mengguncangkan bahu.
Pasien memiliki gerakan terhadap rangsangan fisik (skor -4).
Pasien tidak memiliki respon terhadap suara atau rangsang fisik (skor -5).
B. Obat sedasi. Dengan kehadiran lingkungan ICU yang optimal, banyak pasien
akan menerima beberapa perawatan untuk mengatasi kecemasan, agitasi, atau
delirium. Sebagai catatan, tujuan seharusnya ialah untuk menggunakan jumlah
pengobatan minimum untuk (a) memberikan pasien sebuah pengalaman yang
dapat diterima, (b) mengurangi potensial cedera secara signifikan; dan (c)
memberikan terapi yang sesuai.
1. Benzodiazepin (tabel 6-4) merupakan obat sedatif yang meningkatkan aksi
inhibitor pada reseptor GABA hingga pada aksis neuron. Benzodiazepin
tidak memiliki efek analgetik dan rutin digunakan bersamaan dengan obat
analgetik. Benzodiazepin dimetabolisme oleh sistem enzim mikrosomal
hepatik yang sangat berbeda. Karena metabolit aktif sudah tersebar luas
menyebabkan biotransformasi lebih lambat dibandingkan orang normal,
durasi dari aksi beberapa benzodiazepin berhubungan dengan waktu paruh
eliminasi. Semua benzodiazepin bersifat lipofilik dan dapat berakumulasi
selama terapi cairan lama. Kecemasan paradoksal pernah dikaitkan dengan
penggunaan benzodiazepin dosis kecil dan ini mirip seperti fenomena
disinhibisi yang kebanyakan ditemukan pada pasien dengan defisit
neurologis atau disfungsi kognitif. Infusi long-term benzodiazepine harus
diturunkan secara bertahap karena penghentian mendadak dapat
menyebabkan sindrom withdrawal.
a. Midazolam memiliki masa kerja onset cepat tetapi sering mengalami
perubahan toleransi yang cepat. Akumulasi dari midazolam pernah
dilaporkan terjadi pada pasien di ICU yang menerima terapi cairan lama
dan untuk pasien obesitas. Penghambatan metabolisme secara signifikan
dapat terjadi seiring dengan penyebaran dari inhibitor sitokrom 3A4
seperti antibiotik makrolid, diltiazem, dan propofol.
b. Lorazepam merupakan obat yang paling sering digunakan sebagai obat
sedatif di ICU, dengan masa kerja 8-15 jam dan tidak ada metabolit aktif.
Selain untuk sedasi, diberikan juga untuk mencegah gejala penarikan dari
penggunaan etanol dan untuk penanganan segera pada kejang grandmal.
Propylene dan polyethylene glycol dari obat ini pernah meningkatkan
asidosis anion gap dan nekrosis tubuler akut pada penggunaan lama.
Regimen dosis bervariasi; tetapi umumnya dimulai dengan 1-2 mg setiap
4-8 jam. Lorazepam tersedia dalam sediaan parenteral dan bentuk oral.
c. Diazepam merupakan benzodiazepin kerja cepat dengan metabolit masa
kerja sangat panjang. Masa waktu paruh dari diazepam (40 jam) dan
metabolit aktif mirip diazepam (70 jam), penggunaan diazepam untuk
sedasi singkat hingga menengah.
2. Propofol merupakan sedatif non-analgetik dan agen induksi hipnotik untuk
anestesi umum. Efek menguntungkan lainnya termasuk bronkodilator;
supresi kejang; antiemetik; dan menurunkan tekanan intrakranial melalui
penurunan dosis dependen pada aliran darah otak dan metabolisme oksigen
serebral. Untuk pasien yang diintubasi, obat diberikan secara intravena
melalui efek titrasi cairan. Efek samping umumnya ialah depresi pernapasan
dan hipotensi yang dikaitkan dengan efek vasodilatasi. Meskipun propofol
merupakan obat dengan masa kerja singkat, efek sedasi pada pasien dengan
sakit berat mungkin dapat bertahan hingga beberapa hari sesuai dengan
lamanya penggunaan terapi cairan yang diberikan. Karena obat terformulasi
dengan emulsi lemak, penggunaan jangka panjang dapat memicu terjadinya
hipertrigliseridemia. Berikut beberapa faktor yang meningkatkan terjadinya
“propofol infusion syndrome” ialah asidosis metabolik asam laktat, depresi
miokard, rhabdomiolisis, dan gagal ginjal yang dikaitkan dengan
penggunaan propofol dalam dosis besar. Etiologi pasti masih belum
diketahui namun beberapa hipotesis yang mengatakan peningkatan
metabolisme asam lemak bebas ketika dipicu oleh steroid eksogen dan
pengaruh katekolamin.
3. Opioid merupakan terapi lini pertama ketika nyeri diduga sebagai penyebab
utama kegelisahan. Meskipun memiliki efek sedasi, opiat tidak
menyebabkan penurunan kesadaran dan tidak menyebabkan anemia.
4. α2-agonis mengaktifkan efek simpatis interneuron pada sistem saraf pusat
dan bertindak sebagai feedback mekanisme negatif untuk menurunkan
respon simpatetik. Klonidin ialah prototipikal α2-agonis. Meskipun
digunakan sebagai antihipertensi, obat ini dapat memicu sindrom penarikan
ameliorasi di ICU. Dosis awal 0,1 mg per hari, dapat diberikan 0,3 mg via
enteral atau per kutaneus. Penghentian secara mendadak dapat mencetuskan
rebound hypertension. Dexmedetomidin α2-agonis intravena lebih selektif
dan bekerja sebagai sedatif masa kerja singkat (kurang dari 24 jam). Obat
bersifat ansiolisis dan sedasi tanpa menyebabkan depresi pernapasan.
Loading dose 1µg/kg diberikan selama 10 menit melalui terapi cairan
dengan dosis 0,2 hingga 0,8 µg/kg/jam.