Anda di halaman 1dari 16

ANALGETIK, SEDASI DAN BLOKADE NEUROMUSCULAR

Ketidaknyamanan pasien di unit perawatan intensif (ICU) dapat disebabkan oleh


beberapa faktor. Nyeri dapat timbul dari beban fisik yang disebabkan oleh
penyakit berat, luka operasi, luka traumatis dan indwelling kateter. Stimulasi yang
terus menerus dari peralatan dapat dengan cepat mengganggu irama sirkardian
normal, agitasi dan delirium. Perlakuan yang hati-hati memberi kontribusi pada
individu yang sakit, kecemasan dan delirium penting dalam strategi pengobatan
yang memaksimalkan kenyamanan pasien sekaligus meningkatkan tujuan klinis.
Walaupun masih terdapat tumpang tindih, berkaitan dengan efek klinis dari obat,
sebuah pemahaman menyeluruh tentang indikasi dan efek samping dari obat
adalah penting atas dasar tuntutan pengobatan yang efektif.
Survei di ICU, berhasil mengakui control yang buruk dari agitasi dan
nyeri. Nyeri meningkatkan aktivasi sistem saraf simpatik dan meningkatkan
sirkulasi katekolamin. Respon hipermetabolik untuk penyakit kritis ini diperburuk
oleh rasa nyeri dan menghasilkan gangguan penyembuhan luka, peningkatan
kebutuhan oksigen, hiperkoagulabilitas dan imunosupresi yang dapat
berkontribusi pada retensi sekresi pulmo dan atelektasis menghasilkan hipoksemia
dan infeksi. Di samping itu, nyeri agitasi mungkin memiliki efek psikologis
jangka panjang dan penggunaan berlebihan obat sedatif dan analgetik yang dapat
menyebabkan efek yang tidak diinginkan termasuk distres pernsapasan dan
perawatan di ICU yang lama.

I. Nyeri dan Analgetik


A. Penilaian nyeri adalah dengan menentukan kecukupan pengendalian nyeri.
Nyeri dapat diutarakan secara langsung atau dengan bantuan alat-alat
sederhana seperti Visual Analog Scale atau sistem rating numerik. Namun
penilaian analgetik perlu melalui interaksi langsung dengan pasien, namun
sulit pada pasien yang menggunakan ventilator mekanik, pasien dengan
penurunan kesadaran, dan pasien dengan penyakit berat. Dengan tidak adanya
tanggapan pasien secara langsung, perawat dan anggota keluarga dapat
direkrut untuk membuat penilaian pengganti mengenai kenyamanan pasien.
1. VAS (Visual Analog Scale) terdiri dari 10 nilai batasan nyeri seperti
“tidak sakit” dan “rasa sakit yang lebih parah” dan menempatkan tingkat
rasa nyeri yang dirasakan pasien saat ini.VAS telah diuji validitas dan
reabilitas pada banyak populasi non ICU dan dianggap sebagai alat standar
penilaian analgetik. VAS efektif digunakan pada pasien yang memiliki
aktifitas motorik terarah dan kemampuan untuk memahami dan mengikuti
petunjuk.
2. Numeric Rating System adalah alat penilaian yang mirip dengan VAS
tetapi menggunakan bilangan bulat diskrit untuk mengukur intensitas
nyeri, dalam perbedaan dengan skala analog. Skala rating (biasanya dari 0
sampai 10) dapat diberikan secara lisan atau tertulis, dan membutuhkan
koordinasi motorik minimal. Telah secara independen divalidasi dan
berkorelasi baik dengan VAS pada pasien bedah jantung.
3. Skala wajah (senang hingga mengerutkan kening untuk meringis) tidak
memerlukan kemampuan verbal dan telah digunakan secara tradisional
sebagai alat pelaporan diri untuk orang dewasa dan anak–anak.
B. Pengobatan Nyeri
1. Pendekatan nonfarmakologis untuk analgetik awalnya harus
dioptimalkan untuk mengurangi kebutuhan analgetik dan sedasi. Posisi
pasien yang tepat yang berhubungan dengan cedera atau tempat insisi,
pelepasan kateter yang berhubungan dengan iritasi, dan posisi tabung
endotrakeal yang tepat pada pasien yang menggunakan ventilator mekanik
dapat berdampak pada kenyaman pasien.
2. Analgetik Regional
a. Analgetik epidural adalah teknik manajemen nyeri regional yang
sesuai untuk pasien ICU meskipun studi prospekif belum
menunjukkan manfaat hasil secara keseluruhan. Manfaat yang sudah
diketahui berupa kontrol nyeri yang baik, fasilitas pengeluaran pulmo
sekunder untuk analgetik, dan peningkatan tingkat aktivitas post
operasi. Kombinasi anestesi local dan opioid sebagai komponen
individu. Komplikasi umum yang terkait dengan penempatan epidural
adalah hasil dari aktivitas anestesi lokal: hipotensi sekunder karena
blokade simpatik dan paresis/paralisis ekstremitas bawah karena
inhibisi pusat neuron motorik. Hipovolemia, disfungsi miokard, dan
penyebab lain harus selalu dipertimbangkan sebelum menyetujui
epidural sebagai penyebab hipotensi. Kesamaan abses epidural dan
hematoma, meskipun peristiwa langka, harus dikesampingkan pada
pasien ICU yang memiliki kesulitan bergerak pada ekstremitas bawah.
Depresi pernafasan sekunder untuk penyerapan sistematis dari opioid
epidural dapat terjadi dan dapat dikoreksi dengan menghilangkan
narkotika dalam larutan epidural. Penggunaan nalokson kadang-
kadang diperlukan.
b. Interkostal dan paravertebral analgetik. Blok paravertebral atau
letak kateter dapat memberikan kontrol nyeri post operasi yang cukup
pada prosedur operasi yang melibatkan dada, perut bagian atas.
Kateter atau suntikan intermiten diberikan pada di vertebra thorakal
dan medial ke pleura parietal. Efek samping jarang terjadi serta
hipotensi dan retensi urin dilaporkan kurang dibandingkan dengan
penggunaan analgetik epidural. Analgetik ini selalu dikaitkan dengan
blok saraf. Suntikan kostovertebral dapat memberikan analgetik yang
efektif selama 6 sampai 24 jam tergantung pada pilihan anestesi
lokal; blok ini dilakukan sama pada injeksi paravertebral tetapi lebih
lateral dan merupakan alternatif untuk rasa nyeri akibat patah tulang
rusuk.
c. Antikoagulan dan analgetik regional. Dalam deep vein thrombosis
dan terapi antikoagulan dapat berdampak baik penempatan dan
pelepasan kateter epidural. Kateter epidural dapat dengan aman
ditempatkan dan dilepas karena pasien dengan heparin subkutan dan
setelah penggunaan infus heparin selama 4 jam. Sebaliknya, kateter
tidak boleh dimanipulasi dalam waktu 12 jam dari pemberian heparin
dengan berat molekul rendah. Inhibisi trombosit Hb IIIa memiliki
waktu paruh panjang yang memerlukan penghapusan epidural
sebelum memulai obat ini pada periode postoperasi.
C. Obat-obatan pengontrol nyeri
1. Analgetik nonnarkotik
a. Acetaminofen. Asetaminofen adalah analgetik dan antipiretik, pereda nyeri
ringan-sedang. Sebagai tambahan pada terapi opioid, acetaminofen dapat
meningkat efek pereda nyeri dibandingkan dengan pemberian tunggal
opioid dengan dosis lebih tinggi. Obat ini sebaiknya tidak digunakan pada
pasien dengan gangguan hati.
b. Non-Steroid Antiinflammatory Drugs (NSAIDS). NSAID meredakan
nyeri melalui inhibisi selektif siklooksigenase, sebuah enzim yang
bertanggung jawab dalam sintesis prostaglandin dalam kaskade asam
arakidonat. Reduksi produksi prostaglandin tidak spesifik dan reduksi
mediator proinflamasi merupakan complement dari penurunan jumlah
prostaglandin PGI2 dan PGE3 dalam asam lambung serta PGX di renal
aferen sehingga dapat meningkatkan resiko perdarahan gastrointestinal,
gagal ginjal dan disfungsi platelet. Sejak ditemukan, NSAID menurunkan
penggunaan opioid pada postoperatif, walaupun peran tepat NSAID di ICU
belum diteliti secara sistematis.
2. Opioid Agonis. (Tabel 6-1) produksi analgetik melalui interaksi reseptor µ dan
ƙ, yang mengakibatkan mediasi melalui interaksi tipe reseptor tambahan. Uji
perbandingan opioid kurang pada pasien ICU, di mana agen spesifik telah
dipilih berdasarkan efek farmakologi dan efek sampingnya. Di ICU, pemberian
infus opioid sering digunakan pada pasien yang terintubasi sebagai analgetik
tambahan. Patients Controlled Analgetik (PCA) memberikan kualitas
analgetik, efek sedasi rendah, rendah penggunaan opioid dan kurang efek
samping, termasuk depresi pernapasan. Sering digunakan pada pasien
postoperatif dengan durasi perawatan di ICU yang singkat. Efek samping yang
dapat terjadi termasuk perubahan status mental, depresi pernapasan, hipotensi,
hambatan motilitas sistem gastrointestinal. Kesadaran harian dari analgetik dan
sedatif didapatkan melalui efektifitas titrasi analgetik, dosis kumulatif mofin
yaang rendah, dan durasi penggunaan ventilator dan perawatan ICU yang lebih
singkat.
Dosis
Lama aksi Faktor
Nama obat Dewasa Metabolisme Keterangan
(jam) konversi
(mg)
Codein 30/300 4 Hepar Batas maksimal acetaminofen
/Acetaminophen 4 g/hari
(tylenol 3)
Parenteral - 0.08
Oral 15-60 0.05
Fentanyl 0.5-2 Hepar Pemberian iv cepat dapat
mengakibatkan kekakuan otot
dan dinding dada
Parenteral 0.05-0.1 80
Transdermal - 80 25,50,75, atau 100 µg/h
patch
Hydromorphone 4 Hepar, dieliminasi di Tidak dapat digunakan pada
(dilaudid) urin sebagai conjugat anak-anak
glukoronida
Perenteral 1-4 4
Oral 1-4 1.33
Meperidin 3-4 Hepar, akumulasi Digunakan hati-hati pada
(demerol) normepheridine pasien dengan gangguan hepar,
tergantung fungsi ginjal, gagal ginjal, gangguan kejang,
dapat terakumulasi dosis noermeperidine (stimulan
tinggi pada pasien CNS) dapat terakumulasi dan
dengan penurunan mencetuskan twitching,
fungsi ginjal tremor, kejang; MAO-
inhibitor, fluoxetine, dan SSRI
lainnya dapat meningkatkan
efek meperidin
Parenteral 50-150 0.1
Methadone 4-12, 22- Fenitoin, pentazocine, dan
(dolophine) 48 j pada rifampisin, dapat
pemberian meningkatkan metabolisme
ulangan metadone dan memicu
peningkatan toksisitas, depresi
CNS; fenotiazin, tricyclic
antidepresan, dan MAO
inhibitor dapat meningkatakan
efek samping metadone.
Parenteral 2-10 1.0
Oral 2-10 0.7
Morphine 4-5 Hepar melalui conjugat Peleasan histamin, dapat
glukoronida, ekresi di menyebabkan hipotensi pada
urin pasien AMI
Parenteral 5-10 1.0
Oral 10-30 0.33
Oxycodone/ 6
Acetaminophen
(percocet)
Oral 5/325 0.33 Hepar Batas dosis maksimal
acetaminophen 4g/hari

a. Morfin merupakan salah satu narkotik standar di antara narkotik lain.


Waktu puncaknya dicapai dalam 10 sampai 30 menit setelah pemberian
parenteral dengan pengaruh mencapai 4 sampai 5 jam. Morfin 6-
glukoronida merupakan metabolit aktif yang dapat terakumulasi di ginjal.
b. Fentanyl memiliki potensi 100 kali lipat dibandingkan morfin dengan
waktu puncak segera dicapai setelah pemberian dan durasi mencapai 30
sampai 60 menit. Seiring dengan meningkatnya waktu saat penyutikan
intravena, efek analgetik juga menurun dan secara sekunder disimpan
kembali di jaringan lemak. Pelepasan histamin secara signifikan jarang
terjadi dalam penggunaan fentanyl.
c. Hydromorphone memiliki potensi 50 sampai 70 kali lipat dibandingkan
morfin, dengan waktu puncak dicapai dalam 15 menit dan durasi analgetik
mencapai 4 sampai 6 jam. Metabolit hidromorphone merupakan metabolit
inaktif dan pelepasan histamin tidak terkait dengan obat ini.
d. Meperidine memiliki potensi 60 sampai 80 kali lipat dibandingkan morfin.
Karena metabolit aktifnya, normeperidin, memiliki waktu paruh yang
panjang, ambang kejang rendah, dan terakumulasi di ginjal, meperidin
jarang digunakan di ICU.
e. Methadone memiliki potensi yang sama dengan morfin setelah diberikan
secara perenteral, di mana pada pemberian oral potensinya mencapai satu
setengah kali lipat. Durasi analgetiknya mencapai 15 sampai 40 jam dengan
properti tambahan berupa reseptor antagonis N-methyl-D-aspartat. Kami
telah mengobservasi analgetik metadone dengan dosis yang sama pada
penggunaan hydromorphone dan morfin yang gagal. Dosis perenteral
methadone manjur pada pasien dengan NGT, penggunaan opiat dalam
jumlah tinggi, dan akan dialihkan pada dasar tempat tidur rumah sakit.
f. Acetaminophen (APAP) dengan Oxycodone atau codein merupakan
analgetik oral yang berguna ketika narkotik parenteral tidak lagi
dibutuhkan. Seperti pada analgetik parenteral, efek samping yang dapat
terjadi berupa, depresi pernapasan, sedasi, utamanya pada pasien yang lebih
tua. Dosis maksimum dari kedua obat ini didasarkan pada conten
acetaminophen, di mana tidak melebihi 4 g/hari. APAP dengan Oxycodone
(Percocet) tersedia dalam formula 2.5, 5, 7.5 dan 10 mg narkotik
dikombinasikan dengan 325, 500, atau 650 mg APAP dan dapat diberikan
tiap 6 jam. APAP dengan codein (Tylenol dengan codeine) terdiri dari 30
atau 60 mg codeine dan 300 mg APAP, dan dapat diberikan setiap 4 jam.
3. Ketamine merupakan obat rapid-acting, terkait secara struktural dengan
phenyciclidine, yang menghasilkan status anestetik yang ditandai dengan
analgetik dalam, refleks faring-laring normal, normal atau peningkatan
ringan tonus otot, stimulasi kardiovascular dan respirasi. Efek samping
lain dari obat ini berupa halusinasi yang dapat diblok dengan pemberian
benzodiazepin. Ketamin berguna untuk mengurangi nyeri pada
debridemen dan dressing-change pada pasien luka bakar.

II. Sedasi
A. Berbagai skala telah dikembangkan untuk menggambarkan perilaku pasien
dan membantu dokter dalam berkomunikasi dengan tujuan sedasi. Meskipun
tidak ada standar baku emas yang digunakan di ICU, menerapkan berbagai
skala tentang rencana intervensi berdasarkan protokol telah terbukti memiliki
manfaat klinis.
1. Ramsay Sedation Scale ( Skala Sedasi Ramsay) memiliki enam tingkat
agitasi. Meskipun skala ini yang paling umum digunakan sebagai referensi
skala dalam literatur, kategori individual berbeda-beda, yang membuatnya
agak sulit untuk digunakan secara klinis.
2. Richmond Agitation-Sedation Scale (RASS) (Skala Agitasi-Sedasi
Richmond) menguntungkan karena menggambarkan spektrum sedasi dari
tidak respon menjadi agresif dengan deskripsi yang tepat untuk penilaian
yang lebih akurat.
3. Bispectral Index (BIS) (Indeks Bispectral) adalah ukuran non invasif
fungsi otak yang menggunakan algoritma kepemilikan untuk menilai
tingkat sedasi. BIS diletakkan pada dahi pasien dan memberikan
pembacaan terus-menerus menggunakan skala 0 sampai 100, dengan 100
mewakili kesadaran normal, kurang dari 60 terkait dengan sedasi
mendalam, dan kurang dari 40 merupakan indikasi kondisi hipnosis dalam.
Meskipun telah memiliki beberapa kegunaan di ruang operasi, hanya
beberapa studi yang telah meneliti kegunaanya untuk pasien sakit kritis.
Tabel 6-2. Skala Sedasi Ramsay
Level Respon
1 Cemas, gelisah, resah
2 Koperatif, terorientasi, tenang
3 Respon hanya pada perintah
4 Tertidur, cepat respon pada rangsangan
5 Tertidur, lambat respon pada
6 rangsangan
From Ramsay MA,Savege TM. Simpson BR, et al. Controlled sedation with alphaxalone-alphadolone. Br,
Med J 1974:2:656-659. With permission

Tabel 6-3. Skala Agitasi-Sedasi Richmond

Skor Istilah Deskripsi


+4 Aktif Sangat agresif dan kasar, berbahaya bagi orang
sekitar
+3 Sangat Gelisah Menarik atau mengeluarkan selang atau
kateter atau memiliki perilaku agresif terhadap
orang sekitar
+2 Gelisah Pergerakan tanpa tujuan yang sering atau
pasien – ventilator yang tidak sinkron
+1 Resah Cemas atau khawatir tetapi gerakan tidak
agresif atau kuat
0 Siaga dan tenang
-1 Mengantuk Tidak sepenuhnya siaga, tetapi tetap sadar
(>10 detik), dengan kontak mata dan suara
-2 Sedasi Ringan Mudah terbangun (<10 detik) dengan kontak
mata dan suara
-3 Sedasi Sedang Setiap gerakan (tidak ada kontak mata)
terhadap suara
-4 Sedasi Dalam Tidak ada respon terhadap suara, tetapi pada
setiap gerakan dan rangsangan fisik
-5 Tidak Respon Tidak ada respon terhadap suara dan
rangsangan fisik

Prosedur.
1. Observasi pasien. Apakah pasien siaga dan tenang (skor 0) ?
Apakah pasien memiliki perilaku yang konsisten dengan resah atau gelisah (skor
+1 sampai +4 menggunakan kriteria yang tertulis dikolom terakhir) ?
2. Jika pasien tidak sadar, dengan suara yang nyaring, sebut nama pasien dan
perintahkan pasien untuk membuka mata dan melihat pemanggil. Ulang lagi jika
perlu. Dapat mendesak pasien untuk terus melihat kepada pemanggil.
Pasien membuka mata dan memiliki kontak mata, yang bertahan lebih dari > 10
detik (skor -1).
Pasien membuka mata dan memiliki kontak mata, tapi tidak bertahan selama 10
detik (skor -2).
Pasien tidak memiliki pergerakan pada respon suara, termasuk kontak mata (skor
-3).
3. Jika pasien tidak memberi respon pada suara, rangsang fisik pasien dengan
mengguncangkan bahu dan kemudian menekan sternum jika tidak ada respon
dengan mengguncangkan bahu.
Pasien memiliki gerakan terhadap rangsangan fisik (skor -4).
Pasien tidak memiliki respon terhadap suara atau rangsang fisik (skor -5).

Tabel 6-4. Benzodiazepine yang biasa digunakan di intensive care unit

Obat Dosis Dewasa Waktu Paruh Metabolik Aktif


Alprazolam 0.75-4mg/d 12-15 Tidak ada
(Xanax)
Diazepam 6-40 mg/d 20-50 N-
(Valium) desmethyldiazepam
N-methyloxazepam
(temaxepam)
Lorazepam 2-6 mg/d 10-20 Tidak ada
(Ativan)
Midazolam 2.5-30 mg/d 1-4 Alpha-
(Versed) hydroxymidazolam
Oxazepam (Serax) 30-120 mg/d 3-6 Tidak ada

B. Obat sedasi. Dengan kehadiran lingkungan ICU yang optimal, banyak pasien
akan menerima beberapa perawatan untuk mengatasi kecemasan, agitasi, atau
delirium. Sebagai catatan, tujuan seharusnya ialah untuk menggunakan jumlah
pengobatan minimum untuk (a) memberikan pasien sebuah pengalaman yang
dapat diterima, (b) mengurangi potensial cedera secara signifikan; dan (c)
memberikan terapi yang sesuai.
1. Benzodiazepin (tabel 6-4) merupakan obat sedatif yang meningkatkan aksi
inhibitor pada reseptor GABA hingga pada aksis neuron. Benzodiazepin
tidak memiliki efek analgetik dan rutin digunakan bersamaan dengan obat
analgetik. Benzodiazepin dimetabolisme oleh sistem enzim mikrosomal
hepatik yang sangat berbeda. Karena metabolit aktif sudah tersebar luas
menyebabkan biotransformasi lebih lambat dibandingkan orang normal,
durasi dari aksi beberapa benzodiazepin berhubungan dengan waktu paruh
eliminasi. Semua benzodiazepin bersifat lipofilik dan dapat berakumulasi
selama terapi cairan lama. Kecemasan paradoksal pernah dikaitkan dengan
penggunaan benzodiazepin dosis kecil dan ini mirip seperti fenomena
disinhibisi yang kebanyakan ditemukan pada pasien dengan defisit
neurologis atau disfungsi kognitif. Infusi long-term benzodiazepine harus
diturunkan secara bertahap karena penghentian mendadak dapat
menyebabkan sindrom withdrawal.
a. Midazolam memiliki masa kerja onset cepat tetapi sering mengalami
perubahan toleransi yang cepat. Akumulasi dari midazolam pernah
dilaporkan terjadi pada pasien di ICU yang menerima terapi cairan lama
dan untuk pasien obesitas. Penghambatan metabolisme secara signifikan
dapat terjadi seiring dengan penyebaran dari inhibitor sitokrom 3A4
seperti antibiotik makrolid, diltiazem, dan propofol.
b. Lorazepam merupakan obat yang paling sering digunakan sebagai obat
sedatif di ICU, dengan masa kerja 8-15 jam dan tidak ada metabolit aktif.
Selain untuk sedasi, diberikan juga untuk mencegah gejala penarikan dari
penggunaan etanol dan untuk penanganan segera pada kejang grandmal.
Propylene dan polyethylene glycol dari obat ini pernah meningkatkan
asidosis anion gap dan nekrosis tubuler akut pada penggunaan lama.
Regimen dosis bervariasi; tetapi umumnya dimulai dengan 1-2 mg setiap
4-8 jam. Lorazepam tersedia dalam sediaan parenteral dan bentuk oral.
c. Diazepam merupakan benzodiazepin kerja cepat dengan metabolit masa
kerja sangat panjang. Masa waktu paruh dari diazepam (40 jam) dan
metabolit aktif mirip diazepam (70 jam), penggunaan diazepam untuk
sedasi singkat hingga menengah.
2. Propofol merupakan sedatif non-analgetik dan agen induksi hipnotik untuk
anestesi umum. Efek menguntungkan lainnya termasuk bronkodilator;
supresi kejang; antiemetik; dan menurunkan tekanan intrakranial melalui
penurunan dosis dependen pada aliran darah otak dan metabolisme oksigen
serebral. Untuk pasien yang diintubasi, obat diberikan secara intravena
melalui efek titrasi cairan. Efek samping umumnya ialah depresi pernapasan
dan hipotensi yang dikaitkan dengan efek vasodilatasi. Meskipun propofol
merupakan obat dengan masa kerja singkat, efek sedasi pada pasien dengan
sakit berat mungkin dapat bertahan hingga beberapa hari sesuai dengan
lamanya penggunaan terapi cairan yang diberikan. Karena obat terformulasi
dengan emulsi lemak, penggunaan jangka panjang dapat memicu terjadinya
hipertrigliseridemia. Berikut beberapa faktor yang meningkatkan terjadinya
“propofol infusion syndrome” ialah asidosis metabolik asam laktat, depresi
miokard, rhabdomiolisis, dan gagal ginjal yang dikaitkan dengan
penggunaan propofol dalam dosis besar. Etiologi pasti masih belum
diketahui namun beberapa hipotesis yang mengatakan peningkatan
metabolisme asam lemak bebas ketika dipicu oleh steroid eksogen dan
pengaruh katekolamin.
3. Opioid merupakan terapi lini pertama ketika nyeri diduga sebagai penyebab
utama kegelisahan. Meskipun memiliki efek sedasi, opiat tidak
menyebabkan penurunan kesadaran dan tidak menyebabkan anemia.
4. α2-agonis mengaktifkan efek simpatis interneuron pada sistem saraf pusat
dan bertindak sebagai feedback mekanisme negatif untuk menurunkan
respon simpatetik. Klonidin ialah prototipikal α2-agonis. Meskipun
digunakan sebagai antihipertensi, obat ini dapat memicu sindrom penarikan
ameliorasi di ICU. Dosis awal 0,1 mg per hari, dapat diberikan 0,3 mg via
enteral atau per kutaneus. Penghentian secara mendadak dapat mencetuskan
rebound hypertension. Dexmedetomidin α2-agonis intravena lebih selektif
dan bekerja sebagai sedatif masa kerja singkat (kurang dari 24 jam). Obat
bersifat ansiolisis dan sedasi tanpa menyebabkan depresi pernapasan.
Loading dose 1µg/kg diberikan selama 10 menit melalui terapi cairan
dengan dosis 0,2 hingga 0,8 µg/kg/jam.

III. Agitasi, kegelisahan dan delirium


A. Dapat merupakan hasil dari gangguan metabolik, kelainan neurologis, infeksi
dan ketidaknyamanan yang berhubungan dengan adanya gangguan, dan
rangsangan dekat – konstan. Agitasi adalah aktivitas motorik yang berlebihan
akibat hasil dari ketidaknyamanan dari dalam/internal. Kecemasan adalah
perubahan suasana hati yang tidak menyenangkan dengan kesadaran yang
utuh. Delirium, sebaliknya, ditandai oleh disfungsi kognitif dengan
perubahan suasana hati yang tidak menyenangkan. Selain menjadi tidak
menyenangkan bagi pasien dan keluarga, perilaku ini mungkin memiliki
konsekuensi yang merugikan termasuk ekstubasi diri, pemindahan arteri dan
vena kateter, meningkatnya pemakaian oksigen miokard sistemik, dan
kegagalan untuk bekerja sama dalam intervensi terapeutik. Delirium di ICU
baru-baru ini terbukti menjadi prediktor independen dari peningkatan 6 bulan
mortalitas dan rawat di rumah sakit. Meskipun terapi farmakologis adalah
andalan pengobatan dan subjek baru dari pedoman konsensus, identifikasi
dan koreksi dari tanggung jawab etiologi untuk perubahan status mental
adalah yang terpenting dan utama. Diferensial diagnosis agitasi dan delirium
harus dilakukan secara agresif dengan skrining obat, pengobatan nyeri, tes
laboratorium, dan gambaran radiografi untuk menyingkirkan penyebab yang
berpotensi mengancam jiwa.
B. Agitasi memiliki penyebab multifaktorial dari interaksi faktor medis,
lingkungan, dan pasien yang terkait.
1. Nyeri. Analgetik yang tidak memadai sering menjadi penyebab agitasi
pada pasien kritis. Meskipun biasanya dipertimbangkan dalam periode
postoperasi, kontrol nyeri merupakan komponen penting dari perawatan
menyeluruh pada banyak pasien medis termasuk mereka dengan
pankreatitis, kondisi rematologi, dan dekubitus.
2. Terapi obat seperti natrium nitroprusside dapat menyebabkan
kebingungan ketika digunakan selama beberapa hari pada pasien lanjut
usia.
3. Kelainan metabolik: hipoksia, hiperkarbonat, CNS hipoperfusi, uremia,
ensefalopati hepatik, dan hipoglikemi.
4. Infeksi dan demam
5. Keadaan neurologi: perdarahan, infeksi, atau fenomena emboli
(termasuk trombus dan udara)
6. Faktor lingkungan: kebisingan terus menerus dan cahaya yang
berkenaan dengan lingkungan, frekuensi ukuran tanda vital, kurangnya
mobilitas, suhu kamar yang kurang baik, dan kurang tidur.
7. Sindrom penarikan terkait dengan narkoba, alkohol dan penggunaan
nikotin.
C. Delirium adalah gangguan global kognisi dan perhatian yang mungkin terjadi
pada 80% pasien sakit kritis dan sering tidak diakui. Itu bermanifestasi seperti
penurunan tingkat kesadaran, aktivitas psikomotor yang abnormal (baik
peningkatan dan penurunan), dan terganggunya siklus tidur-bangun. Berpikir
yang kacau dan membingungkan; adalah kemampuan untuk membedakan
perumpamaan dan mimpi dari fakta yang lemah, dan delusi atau halusinasi
visual atau pendengaran dapat sering terjadi.
1. Faktor etiologi. Faktor etiologi untuk delirium hampir serupa seperti
agitasi termasuk penyakit primer intrakranial, penyakit sistemik sekunder
yang mempengaruhi otak (ensefalopati metabolik toksik), agen eksogen
beracun termasuk sindrom obat, sindrom kecanduan/penarikan, dan
riwayat psikosis sudah ada. Delirium metabolik toksik umumnya pada
orang tua, dan orang-orang yang cenderung terhadap delirium dicetuskan
oleh obat dengan sifat antikolinergik.
2. Pengobatan delirium dengan agen anti psikotik yang tidak memiliki sifat
depresi pernafasan. Obat ini terkait dengan ketergantungan dosis yang
meningkat pada interval QT, mengakibatkan peningkatan risiko aritmia
ventrikel, terutama torsades de pointes. Efek yang memburuk ketika
diberikan bersamaan dengan banyak obat yang akan memperpanjang
interval QT. Adalah bijaksana untuk mendapatkan EKG pada awal dan
setiap hari mengukur Qtc untuk menjamin bahwa itu tidak meningkat
dengan cepat atau lebih besar dari 500 detik. Harus ada survei konstan
untuk adanya sindrom neuroleptik ganas (lihat bab 13), yang mungkin
berhubungan dengan obat-obatan ini.
a. Haloperidol berguna untuk pengelolaan ICU terkait delirium. Dosis
awal adalah 1 mg intravena (IV). Sedasi yang memadai akan terjadi
dalam waktu sekitar 1 jam. Jika pengobatan delirium memadai,
setiap dosis berturut-turut harus 2x lipat yang diperlukan
berdasarkan pengaruh pengobatan dan QTc. Karena waktu paruh
eliminasi adalah 13 – 35 jam, sedangkan puncak tingkat serum setiap
dosisnya dalam waktu 20 menit, oversedasi pasien, terutama orang
tua, dapat terjadi. Oleh karena itu, hal ini berguna untuk memiliki
total dosis target (mis. 20mg) dan menghentikan pemberian obat
sekali dosis ini tercapai. Dosis pemeliharaan berkisar dari 1 sampai 2
mg IV setiap 4 – 8 jam. Efek samping ekstrapiramidal jarang terjadi
dengan haloperidol IV tapi mungkin sulit untuk membedakan dari
agitasi.
b. Quetiapine (Seroquel) adalah agen antipsikotik atipikal oral
tersedia secara struktural terkait dengan olanzapine dan clozapine.
Dosis awal yang dianjurkan quetiapine adalah 25 mg 2x sehari,
dengan peningkatan tambahan hingga 300 – 400 mg sehari-hari.
Puncak konsentrasi serum dicapai dalam waktu 1,5 jam administrasi.
Quetiapine secara ekstensif dimetabolisme oleh sistem enzim
mikrosomal di hati, dan penyesuaian dosis harus dilakukan untuk
pasien dengan disfungsi hati serta pasien usia lanjut; tidak ada
penyesuaian yang diperlukan pada gagal ginjal.

IV. Blockade Neuromuskular (NMB)


A. Blokade neuromuskular saat ini terjadi sekitar 10% dari kasus ICU pada
pasien dengan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik, peningkatan
tekanan intrakranial (TIK), untuk prosedur dan untuk mengurangi ketegangan
dari dinding perut.
1. Ventilasi mekanik. Walaupun sedasi dan analgetik yang adekuat,
inhibisi neuromuskular mungkin diperlukan sehingga pasien dapat
mentolerir ventilasi mekanik dan pertukaran gas yang dapat meningkat.
2. Intubasi endotrakeal dapat digunakan pada pasien ICU dengan
penghambatan neuromuskular. Hati-hati penggunaannya dengan
suksinilkolin.
3. Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dapat meningkatkan
morbiditas cedera saraf. Terjadinya blokade neuromuskular telah
dibuktikan untuk mencegah kenaikan tekanan intrakranial yang
berhubungan dengan suction trakeobronkial.
4. Prosedur/diagnostic seperti trakeostomi, percutaneous endoscopic
gastrostomy (PEG), bronkoskopi, dan penempatan akses vena sentral
dapat mempercepat terjadinya penghambatan neuromuskular.
B. Komplikasi inhibisi neuromuskular antara lain kesadaran, terlambat
diagnosa, kelemahan otot yang berkepanjangan.
1. Kesadaran. Memonitoring tingkat kesadaran dan obat yang digunakan
pasien di ICU sulit karena pasien menunjukan agitasi dan tidak adanya
nyeri dan hanya bergantung pada tanda otonom yang dapat dihilangkan
dengan pemberian obat. Penggunaan indeks bispectral setidaknya akan
memberikan beberapa indikasi objektif yang cocok dengan pasien selama
blockade neuromuskular, walaupun data yang mendukung tidak ada.
2. Kelemahan berkepanjangan merupakan akibat adanya blokade
neuromuskular dengan efek kumulatif dari penyakit inflamasi, critical
illness neuropathy, critical illness myopathy, dan kortikosteroid.
3. Pemeriksaan fisik pada pasien dengan penghambatan neuromuskular
terbatas dan bisa menunda diagnosa abnormalitas neurologi yang baru
(seperti ketidakmampuan mendiagnosa perubahan neurologi fokal).
C. Agen penghambat neuromuskular
1. Suksinilkolin terutama digunakan untuk intubasi endotrakeal.
Kontraindikasi pada pasien yang mengalami cedera, luka bakar,
imobilisasi/keterbatasan karena risiko hyperkalemia sekunder. Salah satu
yang tidak bisa diremehkan dalam pemberian suksinilkolin pada pasien
yang mengkonsumsi obat dalam waktu yang lama.
2. Cisatrakurium merupakan benzylisoquinoline yang digunakan untuk
pasien yang sakit parah karena metabolisme eliminasi Hoffmann, dimana
tidak tergantung pada fungsi organ. Dosis awal yang digunakan adalah
0,15 mg/kg diikuti dengan infus.
3. Vekuronium dan pankuronium merupakan obat steroid untuk kelemahan
otot yang lebih dari benzylisoquinoline. Obat ini dimetabolisme di hati
untuk metabolit dengan penghambat neuromuscular yang dieliminasi
oleh ginjal. Infus pankuronium dapat mengakibatkan paralise sekunder
dari reseptor asetilkolin. Dosis bolus awal vekuronium 0,1 mg/kg dan
pankuronium 1 mg/kg.
D. Monitoring penghambatan neuromuskular melalui respon otot untuk
simulasi persarafan ulna. Pemahaman perawat terhadap teknik, penempatan
yang tepat, ekstremitas dingin, pesarafan, dan edema akan memberikan
gambaran untuk penilaian yang akurat. Respon orbicularis oculi terhadap
stimulasi persarafan wajah dapat berguna pada pasien edema.
E. Pembalikan blockade neuromuscular dengan neostigmine/glicopirrolate
atau edroponium/atropine adalah lebih baik untuk pemulihan spontan
terhadap pasien post operasi. Sebagian kasus paralisis dikaitkan pada pasien
dengan kecemasan, hipertensi, takikardi, dan pernapasan yang terbatas.

Anda mungkin juga menyukai