Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

“PEMBERONTAKAN G 30S/PKI”

Disusun Oleh:

- Arfan Ardian Milyatama (16360010)


- Rizky Akbar Septo Yudiro (16330126)
- Muhammad Wildan (16330155)
- Muhammad Reza (16360036)

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL


KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya telah menyelesaikan tugas ini dengan lancar dan sesuai
dengan ketentuan yang diberikan oleh bapak Drs.Aswin selaku guru Sejarah.

Tugas makalah ini merupakan salah satu tugas di bidang mata pelajaran
Sejarah kami yang bertujuan untuk memperoleh informasi tentang “G30S/PKI”.
Makalah ini berisikan tentang informasi Pemberontakan G 30S/PKI yang terjadi
pada masa PKI merajalela di Indonesia dan usaha penumpasannya. Diharapkan
Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang
pemberontakan PKI ini.
Dengan terselesaikannya tugas makalah saya ini, maka saya berharap telah
memenuhi tugas Sejarah dan mendapatkan nilai yang baik. Serta bermanfaat bagi
teman-teman sekalian. Saya menyadari bahwa Makalah ini masih jauh
darisempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan Makalah ini.

Jakarta, 21 April 2017


DAFTAR ISI
1. KATA PENGANTAR……................................................................................
2. DAFTAR ISI…………………………………………………………………....
3. BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………
 Latar belakang……………………………………………………………
 Rumusan masalah……………………………………………….............
 Tujuan penulisan…………………………………………………………
4. BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………......
 Peristiwa G30S/PKI………………………………………………….......
 Pelaksanaan G30S/PKI………………………………………………......
 Penumpasan G30S/PKI…………………………………………………..
5. BAB III PENUTUP……………………………………………………………..
 Kesimpulan…………………………………………………………….....
6. DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia yang berideologi
komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan pemberontakan melawan
pemerintah kolonial Belanda pada 1926, mendalangi pemberontakan PKI Madiun pada tahun
1948, serta dituduh membunuh 6 jenderal TNI AD di Jakarta pada tanggal 30 September 1965
yang di kenal dengan peristiwa G30S/PKI. Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik
di Indonesia yang berideologi komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan
pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada 1926, mendalangi pemberontakan
PKI Madiun pada tahun 1948, serta dituduh membunuh 6 jenderal TNI AD di Jakarta pada
tanggal 30 September 1965 yang di kenal dengan peristiwa G30S/PKI.

B. Rumusan masalah

1. Apa sebab terjadinya G30S/PKI?


2. Bagaimana proses terjadinya peristiwa G30S/PKI?
3. Bagaimana proses Penumpasan G 30S/PKI?
4. Bagaimana Proses Peralihan Kekuasaan Politik Setelah Peristiwa G30S/PKI?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui sebab terjadinya G30S/PKI.
2. Untuk mengetahui proses pelaksanaan G30S/PKI dan proses penumpasan G30S/PKI.
3. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan para siswa tentang G30S/PKI.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Peristiwa G30S/PKI
PERISTIWA G30S/PKI yang lebih dikenal dengan peristiwa pemberontakan yang
dilakukan PKI, bertujuan untuk menyebarkan paham komunis di Indonesia. Pemberontakan ini
menimbulkan banyak korban, dan banyak korban berasal dari para Jendral AD. Gerakan PKI ini
menjadi isu politik untuk menolak laporan pertanggungjawaban Presiden Soekarno kepada MPRS.
Dengan ditolaknya laporan Presiden Soekarno ini, maka Indonesia kembali ke pemerintahan yang
berazaskan kepada pancasila dan UUD 1945.
Sebab-sebab G30S/PKI
a. PKI merupakan partai terbesar di Indonesia
Dengan melakukan pendekatan kepada kaum berjunis, PKI berhasil menarik anggota
cukup besar, tercatat pada tahun 1965, anggota PKI sudah mencapai 3,5 juta. Hal ini membuat PKI
menjadi partai yang besar dan kuat.
PKI melakukan beberapa cara untuk mengembangkan diri, antara lain :
- Melakukan gerakan gerilia dipedesaan dan melakuan prapaganda-prapaganda menyesatkan.
- Melakukan gerakan revosioner oleh kaum buruh di perkotaan.
- Membentukan pekerja intensif dikalangan ABRI.
- Menyusup ke berbagai organisasi lain untuk mentransparansikan organisasi PKI.
- Mendekati Presiden Soekarno.
b. Politik luar negeri Indonesia yang lebih condong pada blok timur
Pada masa demokrasi terpimpin, indonesia menganut politik NEFO, sehingga PKI dapat
memperoleh dukungan dari Cina dan Unisoviet.
c. Konsep Naskom (Nasionalis, Agama, Komunis)
Dengan konsep ini, PKI dapat memperkuat kedudukannya di Indonesia, sehingga PKI memiliki
kekuatan yang sangat besar untuk mengadakan aksi kudeta.

Sejarah singkat pemberontakan PKI


PERISTIWA Madiun (Madiun Affairs) adalah sebuah konflik kekerasan atau situasi chaos
yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948. Peristiwa ini diawali dengan
diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun
oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri
Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin.
Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun Affairs),
dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di era
Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan pemberontakan PKI.
Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun, baik itu
tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa PKI yang
mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan sebagian pelaku
Orde Lama).

Tawaran bantuan dari Belanda


Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk
menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik
Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera
memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata
Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah
membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak
kepada AS.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai
organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri dan golongan sosialis.
Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga
terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh
Dayno, yang tinggal di Patuk, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari
kalangan sipil seperti D.N. Aidit, Syam Kamaruzzaman, dll., melainkan kemudian juga dari
kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Joko Suyono, Letkol
Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III.
Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis III, dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan,
Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Untung Samsuri.
Pada bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari
Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali
posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan
bergabung dengan Musso, antara lain Mr. Amir Sjarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok
diskusi Patuk, dll.
Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan,
bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama, pondok
pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh.
Tanggal 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo) dan
mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ketiga orang tersebut dibunuh dan
mayatnya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Muwardi dari golongan kiri, diculik dan
dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya. Di antara yang
menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen
yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.
Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI saat itu, termasuk Wakil
Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk
menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS
yang mengeluarkan gagasan Domino Theory. Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara
jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke
tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih
dalam memerangi komunis di seluruh dunia.
Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio
menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Musso-Amir Syarifuddin atau
Soekarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun
Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru terutama di buku-buku pelajaran sejarah
kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI Madiun.

B. Pelaksanaan G30S/PKI
PELAKSANAAN G30S/PKI 1965 Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal
senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para
pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh
Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian
mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.Tahunya Aidit akan jenis sakitnya Sukarno
membuktikan bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan PKI untuk memicu ketidakpastian di
masyarakat. Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan
Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari
Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri
dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai
politik pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak
jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah
yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing
aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di
Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian
digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya. Keributan antara PKI dan islam
(tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiya) itu pada dasarnya terjadi di hampir
semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di propinsi-propinsi lain juga terjadi
hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan
disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI
mengetahui rencana kudeta 30 September tersebut).

Isu Dewan Jenderal


Pada saat-saat genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal, yang
mengungkapkan bahwa para petinggi Angkatan Darat tidak puas terhadap Soekarno dan berniat
untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno memerintahkan pasukan Cakrabirawa
untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili. Namun secara tak terduga, dalam operasi
penangkapan tersebut para jenderal tersebut terbunuh.
Isu Dokumen Gilchrist
Dokumen Gilchrist diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia, Andrew Gilchrist.
Beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini oleh beberapa
pihak dianggap pemalsuan. Di bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, dokumen
ini menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira
Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat. Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberi
daftar nama anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti".

Isu Keterlibatan Soeharto


Menurut isu yang beredar, Soeharto saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (Panglima Komando
Strategis Cadangan Angkatan Darat) tidak membawahi pasukan.

Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
- Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi
Tertinggi)
- Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
- Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan
dan Pembinaan)
- Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
- Brigjen TNI Donald Issac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
- Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya
pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan beliau, Lettu
CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut. Selain itu beberapa orang
lainnya juga turut menjadi korban:
- Bripka Karel Satsuin Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II
dr.J.Leimena)
- Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
- Letkol Sugiyanto Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal
sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

Pasca Kejadian
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI Angkatan Darat, PKI mampu menguasai dua sarana
komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang
terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan
30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan
mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang
diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso
(Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem
072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh
karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965
Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para
"pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari
perlindungan. Pada tanggal 6 Oktober, Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan
nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya untuk penghentian
kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan
organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan
angkatan bersenjata.

C. Penumpasan G30S/PKI
PENUMPASAN G30S/PKI 1965 Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota
dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai
kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau
dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini
terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan
Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang
konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juga
orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan
yang mengikuti kudeta itu. Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari
organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI
melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada
laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di
tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat". Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu
juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan
ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama
sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan
pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji.

Peringatan
Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya

Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30


September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa
pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di
seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa
Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan
dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak
era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang
dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk
mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok
Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi
kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain
civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan
1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, Sasuke, dan Putmainah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Peristiwa G 30S/PKI yang lebih dikenal dengan peristiwa pemberontakan yang dilakukan
PKI, bertujuan untuk menyebarkan paham komunis di Indonesia. Pemberontakan ini
menimbulkan banyak korban, dan banyak korban berasal dari para Jendral AD. Gerakan PKI ini
menjadi isu politik untuk menolak laporan pertanggungjawaban Presiden Soekarno kepada
MPRS. Dengan ditolaknya laporan Presiden Soekarno ini, maka Indonesia kembali ke
pemerintahan yang berazaskan kepada pancasila dan UUD 1945. Peristiwa G30S/PKI 1965 yang
terjadi di Indonesia telah memberi dampak negatif dalam kehidupan sosial dan politik
masyarakat Indonesia yaitu Dampak politik dan Dampak Ekonomi. Setelah supersemar
diumumkan, perjalanan politik di Indonesia mengalami masa transisi. Kepemimpinan Soekarno
kehilangan supermasinya. MPRS kemudian meminta Presiden Soekarno untuk mempertanggung
jawabkan hasil pemerintahannya, terutama berkaitan dengan G30S/PKI. Dalam Sidang Umum
MPRS tahun 1966, Presiden Soekarno memberikan pertanggung jawaban pemerintahannya,
khususnya mengenai masalah yang menyangkut peristiwa G30S/PKI.
DAFTAR PUSTAKA
 Drs. C.T.R.Kansil,SH. 1992. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.
Jakarta :Erlangga
 http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September
 http://www.indonesiaindonesia.com/f/2390-indonesia-era-orde-baru/
 http://soeharto.co/mengungkap-fakta-g-30-spki
 http://www.kumpulansejarah.com/2012/11/sejarah-peristiwa-g30s-
pki.html
 http://integralkuadrat.blogspot.com/2011/04/sejarah-dan-kronologis-
peristiwa-g-30.html

Anda mungkin juga menyukai