Anda di halaman 1dari 8

Latar belakang

Udara ambient atau yang lebih mudah dipahami sebagai udara yang berada di sekitar kita
memiliki kualitas udara yang mudah berubah. Rendahnya kualitas udara di lingkungan berakibat
langsung dengan penurunan kondisi kesehatan masyarakat. Penyebab utama tingkat pencemaran
yang melebihi batas ambang di beberapa bagian dari bumi ini adalah adanya kegiatan yang
dilakukan manusia secara terus menerus namun kurang memperhatikan dampak dari kegiatan
tersebut terhadap lingkungan hidup sekitarnya, salah satunya adalah industri.

Menurut kepputusan menteri negara lingkungan hidup nomor 17 tahun 2001, pembangunan
PLTGU berpotensi menimbulkan dampak pada kualitas udara. Kontaminan seperti karbon
monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), oksida belerang (SOx), senyawa karbon dan debu dapat
ditimbulkan dari pemakaian batubara sebagai bahan bakar.

PLTGU adalah gabungan antara PLTG dengan PLTU, dimana panas dari gas buang dari PLTG
digunakan untuk menghasilkan uap yang digunakan sebagai fluida kerja di PLTU. Dan bagian yang
digunakan untuk menghasilkan uap tersebut adalah HRSG (Heat Recovery Steam Generator). PLTGU
merupakan suatu instalasi peralatan yang berfungsi untuk mengubah energi panas (hasil
pembakaran bahan bakar dan udara) menjadi energi listrik yang bermanfaat.

Dari proses yang terjadi di PLTGU terdapat pencemar yang dapat menurunkan kualitas
udara. Agar dapat mengetahui kualitas udara tersebut baik atau tidak, maka harus dialakukan
analisa terhadap sumber pencemar. Dari analisa tersebut akan didapatkan beberapa data yang
dapat digunakan untuk mengetahui kualitas udara ambient yang di sekitar PLTGU. Jika udara
ambient tersebut tercemar maka perlu diadakan upaya dalam pengendalian pencemaran. Salah satu
upayanya adalah dengan memantau kadar zat pencemar yang dibuang melalui cerobong asap dari
fasilitas industri. Pemantauan ini dapat dilakukan secara manual ataupun continuous emission
monitoring system (CEMS).

Tinjauan pustaka

Definisi PLTGU

Modul 5 c PLTGU

2.1 Prinsip kerja PLTGU

2.2 Baku mutu sumber emisi pada PLTGU

2.3 Pemantauan emisi

2.4 Pelaporan hasil pemantauan emisi

2.5 Teknik pengambilan sampel

2.6 Parameter setiap sumber emisi

2.7 Metode analisa sampel


2.1 Definisi PLTGU
PLTGU merupakan pembangkit listrik yang memanfaatkan tenaga gas dan uap. Jadi
disini sudah jelas ada dua mode pembangkitan. Yaitu pembangkitan dengan turbin gas
dan pembangkitan dengan turbin uap. Turbin gas lebih dikenal dengan istilah GTG (Gas
Turbin Generator) sedangkan turbin uap dikenal dengan STG(Steam Turbin Generator).
Tidak hanya itu saja, terdapat juga bagian yang namanya HRSG (Heat Recovery Steam
Generator).
Untuk GTG, Gas yang digunakan bukanlah gas alam, melainkan gas hasil pembakaran
bahan bakar High Speed Diesel (HSD) danMarine Fuel Oil (MFO) sehingga menghasilkan
emisi sisa pembakaran.Emisi ini diolah sedemikian rupa sehingga kadar zat berbahayanya
tidak melebihi standar yang ditetapkan pemerintah. Bahan bakar ini disuplai ketangki-
tangki penampungan bahan bakar melalui pipa bawah laut.
Turbin gas ini dapat dioperasikan dalam dua mode, yaitu konfigurasi simple cyle dan
konfigurasi combined cycle. Dalam keadaan simple cycle turbin gas atau biasa dikenal
Gas Turbin Generator (GTG) bekerja sendiri sehingga tidak ada pemanfaatan kembali sisa
energi dari gas panasyang terbuang. Gas buang langsung dialirkan ke atmosfir. Pada
keadaan combined cycle pada umumnya terdiri dari beberapa turbin gas dimana energi
sisa pada gas buangnya akan dimanfaatkan kembali untuk pemanasan air di Heat
Recovery Steam Generator (HRSG) untuk menghasilkan uap yang akan digunakan untuk
pembangkitan turbin uapatau Steam Turbin Generator (STG).

2.2 Prinsip kerja PLTGU


 Pertama, turbin gas berfungsi menghasilkan energi mekanik untuk memutar
kompresor dan rotor generator yang terpasang satu poros, tetapi pada saat start up
fungsi ini terlebih dahulu dijalankan oleh penggerak mula (prime mover). Penggerak
mula ini dapat berupa diesel, motor listrik atau generator turbin gas itu sendiri yang
menjadi motor melalui mekanisme SFC (Static frequency Converter). Setelah
kompresor berputar secara kontinu, maka udara luar terhisap hingga dihasilkan udara
bertekanan pada sisi discharge (tekan) kemudian masuk ke ruang bakar.
 Kedua, proses selanjutnya pada ruang bakar, jika start up menggunakan bahan bakar
cair (fuel oil) maka terjadi proses pengkabutan (atomizing) setelah itu terjadi proses
pembakaran dengan penyala awal dari busi, yang kemudian dihasilkan api dan gas
panas bertekanan. Gas panas tersebut dialirkan ke turbin sehingga turbin dapat
menghasilkan tenaga mekanik berupa putaran. Selanjutnya gas panas dibuang ke
atmosfir dengan temperatur yang masih tinggi. Proses seperti tersebut diatas
merupakan siklus turbin gas, yang merupakan penerapan Siklus Brayton. Siklus
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Siklus seperti gambar, terdapat empat langkah:
· Langkah 1-2 : Udara luar dihisap dan ditekan di dalam kompresor, menghasilkan udara
bertekanan (langkah kompresi)
· Langkah 2-3 : Udara bertekanan dari kompresor dicampur dengan bahan bakar, terjadi
reaksi pembakaran yang menghasilkan gas panas (langkah pemberian panas)
Langkah 3-4 : Gas panas hasil pembakaran dialirkan untuk memutar turbin (langkah
ekspansi)
· Langkah 4-1 : Gas panas dari turbin dibuang ke udara luar (langkah pembuangan)

Salah satu kelemahan mesin turbin gas (PLTG) adalah efisiensi termalnya yang rendah.
Rendahnya efisiensi turbin gas disebabkan karena banyaknya pembuangan panas pada gas
buang. Dalam usaha untuk menaikkan efisiensi termal tersebut, maka telah dilakukan
berbagai upaya sehingga menghasilkan mesin siklus kombinasi seperti yang dapat kita
jumpai saat ini.

2.3 Baku mutu sumber emisi pada PLTGU

Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) menghasilkan emisi. Baku mutu emisi
ini diatur dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pembangkit Tenaga
Listrik Termal. Pembangkit Listrik tenaga termal ini terdiri dari PLTU, PLTG, PLTGU, PLTD,
dan PLTP.
Baku mutu emisi untuk PLTGU di spesifikkan lagi, untuk baku mutu emisi sumber tidak
bergerak bagi usaha dan/atau kegiatan PLTGU sebagaimana tercantum dalam Lampiran III A
dan Lampiran III B;
2.4 Pemantauan emisi
Pemantauan emisi untuk PLTGU ini telah diatur dalam peraturan menteri negra
lingkungan hidup nomor 13 tahun 2009 tentang baku mutu emisi sumber tidak bergerak
bagi usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas bumi. Pada pasal 9 dalam peraturan tersebut
menyebutkan bahwa, pemantauan emisi dilakukan dengan :
a. CEMS; atau
b. manual.

2.4.1 pemantauan secara CEMS


pemantauan secara CEMS ini telah diatur dalam peraturan menteri tersebut dalam
pasal 10.
(1) Usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas yang:
a. sudah beroperasi atau sedang dalam tahap konstruksi pada saat ditetapkannya
Peraturan Menteri ini, wajib memasang dan mengoperasikan CEMS pada salah satu
cerobong dengan beban pencemaran tertinggi yang berasal dari sumber emisi
proses pembakaran dengan kapasitas diatas 25 MW, yang penetapannya dihitung
berdasarkan beban emisi pada tahap awal perencanaan pemasangan;
b. akan dibangun sesudah ditetapkannya Peraturan Menteri ini, wajib memasang
dan mengoperasikan CEMS pada cerobong sumber emisi dengan:
1. proses pembakaran berbahan bakar fosil yang beroperasi secara kontinyu
dengan kapasitas diatas 25 MW;
2. proses pembakaran berbahan bakar fosil dengan kapasitas diatas 25 MW atau
kapasitas kurang dari 25 MW dengan kandungan Sulfur dalam bahan bakar
lebih dari 2% dan beroperasi secara kontinyu;
3. regenerator katalis unit perengkahan katalitik alir, unit pengolahan ulang
sulfur, dan carbon adsorber pada sistem pengolahan air limbah untuk
kegiatan unit pengolahan minyak dan Kilang LNG; dan
4. unit pentawaran pada kegiatan pemprosesan gas yang memisahkan H2S di
daratan (onshore natural gas processing).
(2) Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemantauan
emis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a wajib:
a. memasang alat pada CEMS yang dapat memantau dan mengukur parameter:
1. SO2, NOx, Opasitas, O2, CO dan laju alir serta menghitung CO2 dan Total
Partikulat untuk sumber emisi proses pembakaran;
2. SO2, NOx, Opasitas, O2, CO dan laju alir serta menghitung CO2 dan Total
Partikulat untuk sumber emisi regenator katalis unit perengkahan katalitik
alir;
3. SO2 dan laju alir untuk sumber emisi unit pengolahan ulang Sulfur sistem
claus;
4. hidrokarbon dan laju alir untuk sumber emisi proses carbon adsorber pada
sistem pengolahan air limbah untuk kegiatan unit pengolahan minyak dan
kilang LNG; atau
5. laju alir untuk sumber emisi dari unit pentawaran pada kegiatan pemrosesan
gas yang memisahkan H2S di daratan (onshore natural gas processing).
b. menyediakan dan mengoperasikan sarana pemantauan dan/atau pengambilan
sampel dengan memperhatikan aspek kemudahan pengambilan data,
keterwakilan sampel yang diambil, kesahihan data, dan keselamatan kerja;
c. menyusun dan memelihara dokumen manual kontrol kualitas (Quality Control)
dan jaminan mutu (Quality Assurance) untuk menjamin kualitas data CEMS yang
dihasilkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
d. menghitung rata-rata hasil pemantauan dalam rata-rata jam dengan satuan yang
disesuaikan dengan satuan baku mutu untuk parameter SO2, NOx, O2, CO, dan
Laju Alir;
e. menghitung rata-rata hasil pemantauan dalam rata-rata jam dengan satuan yang
disesuaikan dengan satuan baku mutu untuk parameter opasitas dan
temperatur dirata-ratakan per menit;
f. menyimpan dan mendokumentasikan catatan asli yang berkaitan dengan aktifitas
kalibrasi, perbaikan dan pemeliharaan, serta penyesuaian yang dilakukan
termasuk rekaman digital dan/atau chart record;
g. mendokumentasikan kondisi tidak normal dengan menjelaskan tanggal mulai
kejadian, nama lapangan, fasilitas/unit, penyebab kejadian, keluhan masyarakat
dan upaya penanganannya paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah terjadinya
kondisi tidak normal; dan
h. menyimpan data sebagaimana dimaksud dalam huruf f dan huruf g paling singkat
5 (lima) tahun.
Data yang didapat dari pemantauan CEMS harus absah, ketentuan data yang dianggap
absah diatur dalam peraturan menteri tersebut dalam pasal 11.

(1) Data hasil pemantauan CEMS dianggap sahih apabila:


a. CEMS dioperasikan sesuai dengan spesifikasi kinerja seperti yang tertulis dalam
manual;
b. CEMS dioperasikan sesuai dengan kriteria quality assurance yang ditulis dalam
manual;
c. Ttidak terdapat bagian dari CEMS yang tidak berfungsi;
d. Kalibrasi atau zero drift dari alat pengukuran tidak melebihi 2 x calibration drift
performance specification;
e. kalibrasi atau pengecekan zero drift check alat pemantauan dilakukan sesuai dengan
jadual yang ditulis dalam manual;
f. sumber emisi beroperasi atau menghasilkan bahan pencemar sesuai parameter yang
dipantau;
g. data rata-rata dihitung berdasarkan data yang sah;
h. data rata-rata 1 (satu) menit terdiri paling sedikit 75 persen hasil pembacaan data
yang sah;
i. data rata-rata 1 (satu) jam terdiri paling sedikit 75 persen hasil pembacaan data yang
sah; dan
j. data rata-rata harian terdiri paling sedikit 18 data rata-rata satu jam yang sah.
(2) Data hasil pemantauan CEMS memenuhi baku mutu apabila 95% atau lebih data hasil
pengukuran rata-rata harian selama 3 bulan memenuhi baku mutu.

2.4.2 pemantauan secara manual


pemantauan secara manual telah diatur dalam peraturan menteri tersebut dalam
pasal 12.
(1) Pemantauan emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b
berlaku untuk emisi yang bersumber dari:
a. proses pembakaran dengan kapasitas desain:
1. lebih kecil atau sama dengan 570 KW atau satuan lain yang setara, dilakukan paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun;
2. 570 KW sampai dengan 3 MW atau satuan lain yang setara, dilakukan paling sedikit 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun;
3. lebih besar dari 3 MW atau satuan lain yang setara, dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali
dalam 6 (enam) bulan;
b. proses produksi, dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
(2) Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemantauan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. mencatat dan mendokumentasikan data aktivitas kondisi operasi fasilitas atau
sumber emisi seperti jumlah bahan bakar yang digunakan per satuan waktu, jumlah
daya listrik yang dihasilkan per satuan waktu jika berkaitan dengan proses
pembakaran untuk menghasilkan listrik, kandungan sulfur bahan bakar (% berat),
nilai kalori netto bahan bakar, waktuoperasional, dan heat input jika sumber emisi
berkaitan dengan proses pembakaran;
b. mengukur kandungan sulfur dalam bahan bakar fosil 1 (satu) kali dalam 6 (enam)
bulan bagi sumber emisi yang tidak menggunakan baku mutu emisi SO2 tetapi
menggunakan parameter kandungan Sulfur dalam bahan bakar sebagai baku mutu;
c. mendokumentasikan kondisi tidak normal dengan menjelaskan tanggal mulai
kejadian, nama lapangan, fasilitas/unit, penyebab kejadian, keluhan masyarakat dan
upaya penanganan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah terjadinya kondisi tidak
normal;
d. menyediakan dan mengoperasikan sarana pemantauan dan/atau pengambilan
sampel dengan memperhatikan aspek kemudahan pengambilan data, keterwakilan
sampel yang di ambil, kesahihan data dan keselamatan kerja;
e. mendokumentasikan tanggal sampling, laboratorium yang melakukan sampling,
nama petugas yang bertanggung jawab terhadap sampling atau analisis; dan
f. menyimpan hasil analisa laboratorium dan dokumen metode pengambilan sampel
dan/atau metode yang digunakan laboratorium untuk menganalisis sampel.

2.5 Pelaporan hasil pemantauan emisi


Pelaporan hasil pemantauan emisi harus dilaporkan berdasarkan ketentuan yang
telah ditentukan. Ketentuan tersebut sudah di tetapkan dalam peraturan menteri
tersebut pada pasal 13.
(1) Pelaporan hasil pemantauan emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d
meliputi laporan:
a. hasil inventarisasi emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d dan huruf f;
b. hasil pemantauan CEMS sesuai dengan format pelaporan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran V.b., yang mencakup:
1. laporan hasil pemantauan rata-rata harian;
2. laporan lama waktu dan besaran kadar parameter hasil pengukuran yang
melebihi baku mutu;
3. laporan penyebab terjadinya hasil pengukuran yang melebihi baku mutu;
4. laporan lama waktu CEMS tidak beroperasi;
5. laporan ringkasan kondisi tidak normal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (2) huruf g.
c. hasil pemantauan secara manual dan ringkasan kondisi tidak normal sesuai
dengan format pelaporan sebagaimana tercantum dalam Lampiran V.a.

metodologi pelaksanaan
1. Metode analisa total partikulat
1.1 bahan
1.1.1

Anda mungkin juga menyukai