Anda di halaman 1dari 22

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI

DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP


PENGALOKASIAN ANGGARAN BELANJA MODAL

Studi Kasus Pada Kabupaten Musi Rawas di Provinsi

Sumatera Selatan

Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Salah Satu Syarat


Dalam Menempuh Mata Kuliah Metedologi Penelitian
Program Studi Akuntansi
pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Musi Rawas

Disusun oleh :

NAMA : LUFI CHAIRIL ANWAR


NIM : 215020033

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Musi Rawas


A. Latar Belakang Masalah
Otonomi daerah berlaku di Indonesia berdasarkan UU 22/1999 (direvisi menjadi
UU 32/2004) tentang Pemerintahan Daerah memisahkan dengan tegas antara
fungsi Pemerintahan Daerah (Eksekutif) dengan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Legislatif). Berdasarkan pembedaan fungsi tersebut, menunjukkan bahwa
antara legislatif dan eksekutif terjadi hubungan keagenan (Halim, 2001; Halim
&Abdullah, 2006). Pada pemerintahan, peraturan perundang-undangan secara
implisit merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif, dan publik.

Kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang dilaksanakan


secara efektif mulai tanggal 1 Januari 2002, merupakan kebijakan yang dipandang
sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintahan yang
sesungguhnya. Seperti dikemukakan oleh Menteri Keuangan Budiono (Sidik, et
al 2002), tujuan otonomi adalah untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan
pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan,
pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta
antar daerah. Adapun yang mendorong diberlakukannya otonomi daerah adalah
dikarenakan tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga
menyebabkan ketimpangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Dengan ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999, pemerintah di daerah mendapat


kewenangan ”riil” yang lebih besar dalam mengatur dirinya sendiri. Hal ini
menimbulkan peningkatan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan
(penyediaan barang publik dan pembangunan ekonomi) di tingkat daerah yang
sangat besar, khususnya pada bidang pendidikan yang merupakan unsur esensial
dalam pembangunan daerah dan telah menjadi salah satu bagian utama kebutuhan
penduduk. Namun, kemampuan daerah untuk mempertahankan dan meningkatkan
penyelenggaraan pendidikan tersebut dapat dikatakan sangat terbatas, mengingat
peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih rendah dalam penerimaan APBD
daerah kota/kabupaten dan kesiapan sumber daya manusia (SDM) serta
kemampuan manajemen sektor pendidikan di tingkat daerah masih sangat terbatas.

Fenomena yang ada bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi pada Pendapatan


Asli Daerah dan Belanja Modal sangat kecil, sedangkan pada Dana Alokasi Umum
terjadi peningkatan yang besar. Hal ini mengakibatkan tidak ada peranan atas
Pendapatan Asli Daerah terhadap kegiatan daerah yang mana seharusnya PAD
menjadi sumber utama untuk membiayai kegiatan daerah, sehingga DAU menjadi
sumber utama untuk membiayai kegiatan daerah.

Pelaksanaan otonomi daerah yang menitik beratkan pada daerah kabupaten dan
kota ditandai dengan adanya penyerahan sejumlah kewenangan dari Pemerintah
pusat ke Pemerintah daerah yang bersangkutan. Hal tersebut menegaskan bahwa
Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menentukan alokasi sumberdaya
yang dimiliki untuk belanja-belanja daerah dengan menganut asas kepatuhan,
kebutuhan, dan kemampuan daerah yang tercantum dalam anggaran daerah.

Anggaran sektor publik berisi rencana kegiatan yang dipresentasikan dalam bentuk
rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan
Pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah daerah dan
DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD merupakan dasar
pengelolaan keuangan daerah yang merupakan pedoman bagi Pemerintah daerah
dalam memberikan pelayanan kepada publik dalam masa satu tahun anggaran.
APBD terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah.

Pemerintah daerah dapat terselanggara karena adanya dukungan berbagai faktor


sumber daya yang mampu menggerakkan jalannya roda organisasi pemerintahan
dalam rangka pencapaian tujuan. Faktor keuangan merupakan faktor utama yang
merupakan sumber daya finansial bagi pembiayaan penyelenggaraan roda
pemerintah daerah. Keuangan daerah adalah keseluruhan tatanan, perangkat,
kelembagaan, dan kebijakan penganggaran yang meliputi pendapatan dan belanja
daerah. Sumber-sumber penerimaan daerah terdiri atas sisa lebih perhitungan
anggaran tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan
pajak, sumbangan dan bantuan, serta penerimaan pembangunan.

Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam


pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk provinsi maupun
kabupaten dan kota.

Penyusunan APBD diawali dengan membuat kesepakatan antara eksekutif dan


legislatif tentang Kebijakan Umum APBD dan Prioritas & Plafon Anggaran yang
akan menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan anggaran
belanja. Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan Kebijakan Umum
APBD dan Prioritas & Plafon Anggaran yang kemudian diserahkan kepada
legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai
Peraturan Daerah (Perda). Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk
kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi
pelaksanaan anggaran oleh eksekutif.

Berlakunya Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan


Pusat dan Daerah, membawa perubahan mendasar pada sistem dan mekanisme
pengelolaan pemerintahan daerah. UU ini menegaskan bahwa untuk pelaksanaan
kewenangan Pemda (Pemerintah Daerah), Pempus (Pemerintah Pusat) akan
mentransferkan dana perimbangan kepada Pemda. Dana Perimbangan tersebut
terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian
daerah dari bagi hasil pajak pusat. Disamping itu, Pemerintah Daerah juga memiliki
sumber pendanaan sendiri berupa PAD, pinjaman daerah, maupun lain-lain
penerimaan daerah yang sah. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut
diserahkan kepada Pemda (Prakosa, 2004). Namun, pada praktiknya, transfer dari
Pempus merupakan sumber pendanaan utama Pemda untuk membiayai operasi
utamanya sehari-hari, yang oleh Pemda “dilaporkan” di perhitungan APBD. Tujuan
dari transfer ini adalah untuk mengurangi (kalau tidak mungkin menghilangkan)
kesenjangan fiskal antar pemerintah dan menjamin tercapainya standar pelayanan
publik minimum di seluruh negeri (Simanjuntak dalam Sidik et al, 2002).
Adanya transfer dana ini bagi Pemda merupakan sumber pendanaan dalam
melaksanakan kewenangannya, sedangkan kekurangan pendanaan diharapkan dapat
digali melalui sumber pendanaan sendiri yaitu PAD. Namun kenyatannya, transfer
dari pemerintah pusat merupakan sumber dana utama pemerintah daerah untuk
membiayai operasi utamanya sehari-hari atau belanja daerah, yang oleh pemerintah
daerah dilaporkan diperhitungkan dalam APBD. Harapan pemerintah pusat dana
transfer tersebut dapat digunakan secara efektif dan efisien oleh pemerintah daerah
untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Lingkup anggaran menjadi relevan dan penting di lingkungan pemerintah daerah.


Hal ini terkait dengan dampak anggaran terhadap kinerja pemerintah, sehubungan
dengan fungsi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Selanjutnya, DPRD akan mengawasi kinerja pemerintah melalui anggaran. Bentuk
pengawasan ini sesuai dengan agency theory yang mana pemerintah daerah sebagai
agen dan DPRD sebagai prinsipal. Hal ini menyebabkan penelitian di bidang
anggaran pada pemerintah daerah menjadi relevan dan penting. Anggaran sektor
publik pemerintah daerah dalam APBD sebenarnya merupakan output
pengalokasian sumberdaya. Adapun pengalokasian sumberdaya merupakan
permasalahan dasar dalam penganggaran sektor publik (Key 1940 dalam Fozzard,
2001).

Keterbatasan sumberdaya sebagai pangkal masalah utama dalam pengalokasian


anggaran sektor publik dapat diatasi dengan pendekatan ilmu ekonomi melalui
berbagai teori tentang teknik dan prinsip seperti yang dikenal dalam public
expenditure management (Fozzard, 2001). Tuntutan untuk mengubah struktur
belanja menjadi semakin kuat, khususnya pada daerah-daerah yang mengalami
kapasitas fiskal rendah (Halim, 2001). Pergeseran komposisi belanja merupakan
upaya logis yang dilakukan pemerintah daerah setempat dalam rangka
meningkatkan tingkat kepercayaan publik. Pergesaran ini ditujukan untuk
peningkatan investasi modal dalam bentuk aset tetap, yakni peralatan, bangunan,
infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi modal
diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik, karena aset tetap yang
dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal merupakan prasyarat utama dalam
memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah
mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal dalam APBD untuk
menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah
akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan
maupun untuk fasilitas publik. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan kualitas
pelayanan publik, pemerintah daerah seharusnya mengubah komposisi belanjanya.
Selama ini belanja daerah lebih banyak digunakan untuk belanja rutin yang relatif
kurang produktif. Saragih (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan belanja
hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misal untuk melakukan aktivitas
pembangunan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Stine (1994) menyatakan bahwa
penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program- program layanan
publik.

Kedua pendapat ini menyiratkan pentingnya mengaloksikan belanja untuk berbagai


kepentingan publik. Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti mengambil
judul “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD),Dan
Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal
(Studi Kasus Pada Kabupaten Musi Rawas di Provinsi Sumatera Selatan )”.
B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, bahwa Pemerintah Daerah dalam menyusun
APBD dan pelaksanaannya lebih banyak mengalokasikan anggaran ke sektor belanja
operasi dari pada Belanja Modal. Padahal Belanja Modal merupakan pengeluaran
Pemerintah yang sangat efektif dan efesien untuk meningkatkan pelayanan umum, dan
masalah lain yang di hadapai pemerintah yaitu sering kali adanya kepentingan politik dari
lembaga legislatif yang terlibat dalam penyusunan proses anggaran menyebabkan alokasi
Belanja Modal sering tidak efektif dalam memecahkan masalah di masyarakat. Untuk
meningkatkan pengalokasian anggaran ke sektor Belanja Modal diperlukan pengetahuan
mengenai komponen-komponen pendapatan apa saja yang berpengaruh positif untuk
dialokasikan ke Belanja Modal. Dari sektor PAD, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dapat
berpeluang untuk mempunyai pengaruh terhadap Belanja Modal. Dari sektor dana
perimbangan, yang berpotensi berpengaruh terhadap pengalokasian Belanja Modal adalah
Dana Alokasi Umum (DAU).
Dengan demikian, dapat mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Apakah pertumbuhan ekonomi berpengaruh terhadap anggaran belanja


modal.

2. Apakah pendapatan asli daerah (PAD) berpengaruh terhadap anggaran


belanja modal.
3. Apakah dana alokasi umum (DAU) berpengaruh terhadap anggaran
belanja modal.

C. Batasan Masalah

Agar permasalahan yang di kemukakan lebih jelas maka peneliti membatasi masalah hanya
pada pengaruh pertumbuhan ekonomi , pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum
terhadap pengalokasian anggaran belanja modal pada kantor Pemerintah Daerah Kabupaten
Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari identifikasi masalah di atas bahwa rumusan masalah dari penelitian ini
Bagaimanakah pengaruh pertumbuhan ekonomi , pendapatan asli daerah dan dana alokasi
umum terhadap pengalokasian anggaran belanja modal pada kabupaten musi rawas di
propinsi sumatera selatan ?

E. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini penulis mengharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Bagi penulis

Sebagai pembelajaran awal dalam melakukan penelitian, juga menambah


pengetahuan dan pemahaman tentang pertumbuhan ekonomi serta hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah beserta
pengelolaan keuangan daerah, dan kaitannya dengan pembangunan daerah
otonom sesuai dengan tujuan awal konsep desentralisasi dan sebagai salah
satu syarat dalam mata kuliah metedologi penelitian pada program studi
Akuntansi pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Musi Rawas .

2. Bagi pemerintah dan daerah kabupaten musi rawas

Diharapan pada penelitian ini penulis memberikan masukan atau saran


mengenai pengembangan atas pendapatan asli daerah (PAD), sehingga di
masa yang akan datang daerah otonom terkhusus di wilayah kabupaten musi
rawas dapat mengembangkan dan membangun daerahnya dengan sumber
pendanaan dan hasil kekayaan daerah yang ada di musi rawas .Sehingga
diharapkan konsep desentralisasi sesungguhnya dapat terwujud secepatnya.
Pemerintah daerah tidak menggantungkan diri kepada pemerintah pusat terus
menerus paling tidak dapat di minimalisirkan sehingga semakin mandiri di
kemudian hari .

3. Bagi peneliti melanjutkan

Penulis berharap penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai


informasi, bahan referensi bagi pengembangan dan pengkajian konsep tentang
bagaimana pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, DAU dan PAD terhadap
Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Penelitian ini juga bermanfaat untuk
kemungkinan penelitian baik yang bersifat lanjutan, melengkapi, maupun
menyempurnakan.

F. Tinjauan Pustaka

1. TEORI-TEORI YANG MENDUKUNG


1.1. Pengertian

1.1.1. Teori Keagenan

Teori keagenan menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah persetujuan


(kontrak) di antara dua pihak, yaitu prinsipal dan agen, dimana prinsipal memberi wewenang
kepada agen untuk mengambil keputusan atas nama prinsipal (Jensen dan Meckling, 1976).
Dalam teori keagenan terdapat perbedaan kepentingan antara agen dan prinsipal, sehingga
mungkin saja pihak agen tidak selalu melakukan tindakan terbaik bagi kepentingan prinsipal.
Scott (2000) dalam Bangun (2009) menjelaskan bahwa teori keagenan merupakan cabang
dari game theory yang mempelajari suatu model kontraktual yang mendorong agen untuk
bertindak bagi prinsipal saat kepentingan agen bisa saja bertentangan dengan kepentingan
prinsipal. Prinsipal pendelegasikan pertanggungjawaban atas pengambilan keputusan kepada
agen, dimana wewenang dan tanggung jawab agen maupun prinsipal diatur dalam kontrak
kerja atas persetujuan bersama.

Dalam kenyataannya, wewenang yang diberikan prinsipal kepada agen sering mendatangkan
masalah karena tujuan prinsipal berbenturan dengan tujuan pribadi agen. Dengan
kewenangan yang dimiliki, manajemen bisa bertindak dengan hanya menguntungkan dirinya
sendiri dan mengorbankan kepentingan prinsipal. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan
informasi yang dimiliki oleh keduanya, sehingga menimbulkan adanya asimetri informasi
(asymmetric information). Mursalim (2005) dalam Bangun (2009) menyatakan bahwa
informasi yang lebih banyak dimiliki oleh agen dapat memicu untuk melakukan tindakan-
tindakan sesuai dengan keinginan dan kepentingan untuk memaksimalkan utylitynya.
Sedangkan bagi prinsipal akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan
oleh manajemen karena hanya memiliki sedikit informasi yang ada.
1.1.2. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai proses kenaikan output per kapita dalam jangka
panjang. Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam definisi tersebut, yaitu : (1) proses, (2)
output per kapita, dan (3) jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses, bukan
suatu gambaran ekonomi pada suatu saat (Putra, 2009).

Pengertian yang lain, pertumbuhan ekonomi ialah proses kenaikan output perkapita yang
terus menerus dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan salah satu
indikator keberhasilan pembangunan. Dengan demikian makin tingginya pertumbuhan
ekonomi biasanya makin tinggi pula kesejahteraan masyarakat, meskipun terdapat indikator
yang lain yaitu distribusi pendapatan (Sadono Sukirno dalam Nelly, 2007).

1.1.3. Pendapatan Asli Daerah (PAD)


Yang dimaksud dengan Pendapatan Daerah sesuai Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Pasal
1 adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam
periode tahun bersangkutan. Sesuai dengan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah pasal 6 bahwa Sumber
Pendapatan Asli Daerah adalah sebagai berikut :
a. Pendapatan Asli Daerah Sendiri yang sah :
1. Hasil Pajak Daerah
2. Hasil Retribusi Daerah
3. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya
yang di pisahkan
4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah

b. Pendapatan berasal dari pemberian Pemerintah, yang terdiri dari :


1. Sumbangan dari pemerintah
2. Sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundangan
3. Pendapatan lain-lain yang sah
Peningkatan pendapatan daerah dapat dilaksanakan melalui langkah-langkah sebagai
berikut :
a. Intensifikasi, melalui upaya :
 Pendapatan dan peremajaan objek dan subjek pajak dan retribusi daerah.

 Mempelajari kembali pajak daerah yang dipangkas guna mencari kemungkinan untuk
dialihkan menjadi retribusi.

 Mengintensifikasi retribusi daerah yang ada.

 Memperbaiki sarana dan prasarana pungutan yang belum memadai.

b. Penggalian sumber-sumber penerimaan baru (ekstensifikasi)

Penggalian sumber-sumber pendapatan daerah tersebut harus ditekankan agar tidak


menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Sebab pada dasarnya tujuan meningkatkan pendapatan
daerah melalui upaya ekstensifikasi adalah untuk meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat.
Dengan demikian, upaya ekstensifikasi lebih diarahkan kepada upaya untuk mempertahankan
potensi daerah sehingga potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

c. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat

Peningkatan pelayanan kepada masyarakat ini merupakan unsur yang penting bahwa paradigma
yang berkembang dalam masyarakat saat ini adalah bahwa pembayaran pajak dan retribusi
sudah merupakan hak dari pada kewajiban masyarakat terhadap Negara, untuk itu perlu dikaji
kembali pengertian wujud layanan yang bagaimana yang dapat memberikan kepuasan kepada
masyarakat.

1.1.4. Dana Alokasi Umum (DAU)


Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan salah satu transfer dana Pemerintah kepada
pemerintah daerah yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU bersifat “Block Grant” yang berarti penggunaannya
diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Dasar Hukum
DAU :

1. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah; dan

2. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan. DAU dialokasikan untuk daerah propinsi
dan kabupaten/kota. Besaran DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam
Negeri (PDN) Netto yang ditetapkan dalam APBN. Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan
untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan sesuai dengan imbangan kewenangan antara propinsi
dan kabupaten/kota.

A. Tahapan Akademis Konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi formula DAU
dilakukan oleh Tim Independen dari berbagai universitas dengan tujuan untuk memperoleh
kebijakan penghitungan DAU yang sesuai dengan ketentuan UU dan karakteristik Otonomi
Daerah di Indonesia.

B. Tahapan Administratif Dalam tahapan ini Depkeu c.q. DJPK melakukan koordinasi dengan
instansi terkait untuk penyiapan data dasar penghitungan DAU termasuk didalamnya
kegiatan konsolidasi dan verifikasi data untuk mendapatkan validitas dan kemutakhiran data
yang akan digunakan.

C. Tahapan Teknis Merupakan tahap pembuatan simulasi penghitungan DAU yang akan
dikonsultasikan Pemerintah kepada DPR RI dan dilakukan berdasarkan formula DAU
sebagaimana diamanatkan UU dengan menggunakan data yang tersedia serta
memperhatikan hasil rekomendasi pihak akademis.

D. Tahapan Politis Merupakan tahap akhir, pembahasan penghitungan dan alokasi DAU antara
Pemerintah dengan Panja Belanja Daerah Panitia Anggaran DPR RI untuk konsultasi dan
mendapatkan persetujuan hasil penghitungan DAU.

1.1.5. Belanja Modal

Menurut Kementrian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Anggaran, Belanja


modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau
menambah aset tetap dam aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode
akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang
ditetapkan pemerintah.
Belanja Modal dapat diaktegorikan dalam 5 (lima) kategori utama (Syaiful, 2006) :
1. Belanja Modal Tanah

Belanja Modal Tanah adalah pengeluaran / biaya yang digunakan untuk


pengadaan/pembeliaan/pembebasan penyelesaian, balik nama dan sewa tanah,
pengosongan, pengurugan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat, dan
pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah
dimaksud dalam kondisi siap pakai.

2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin

Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk
pengadaan / penambahan / penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin
serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan dan
sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai.
3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan

Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran / biaya yang digunakan untuk
pengadaan / penambahan / penggantian, dan termasuk pengeluaran untuk
perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang
menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai.

4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan

Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk
pengadaan / penambahan / penggantian / peningkatan pembangunan/pembuatan serta
perawatan, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan
jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan
dimaksud dalam kondisi siap pakai.

5. Belanja Modal Fisik Lainnya

Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran / biaya yang digunakan untuk pengadaan
/ penambahan / penggantian pembangunan / pembuatan serta perawatan fisik lainnya yang
tidak dikategorikan kedalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan
bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan, termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal
kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk
museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah.

1.2. Prinsip prinsip Dasar


1.2.1. Pembangunan ekonomi

Pembangunan ekonomi daerah perlu memberikan solusi jangka pendek dan jangka panjang
terhadap isu-isu ekonomi daerah yang dihadapi, dan perlu mengkoreksi kebijakan yang keliru.
Pembangunan ekonomi daerah merupakan bagian dari pembangunan daerah secara
menyeluruh. Dua prinsip dasar pengembangan ekonomi daerah yang perlu diperhatikan
adalah :
(1) mengenali ekonomi wilayah dan
(2) merumuskan manajemen pembangunan daerah yang pro-bisnis.
(Budi Cahyono, 2002)

1.2.2. Pendapatan Asli Daerah


Berdasarkan penjelasan dari UU No. 33 Tahun 2004 Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah
salah satu sumber dana pembiayaan pembangunan daerah pada kenyataannya belum cukup
memberikan sumbangan bagi pertumbuhan daerah, hal ini mengharuskan pemerintah daerah
menggali dan meningkatkan pendapatan daerah terutama sumber pendapatan asli daerah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil
pajak daerah, hasil retribusi Daerah, basil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan,
dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan
keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah
sebagai mewujudan asas desentralisasi Sesuai dengan UU No.33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah pasal 6 bahwa Sumber
Pendapatan Asli Daerah adalah sebagai berikut :
1. Pendapatan Asli Daerah Sendiri yang sah :
a) Hasil Pajak Daerah
b) Hasil Retribusi Daerah
c) Hasil Perusahaan Milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang
dipisahkan.
d) Lain-lain pendapatan daerah yang sah .
2. Pendapatan berasal dari pemberian Pemerintah, yang terdiri dari :
a) Sumbangan dari pemerintah,
b) Sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundangan,
c) Pendapatan lain-lain yang sah. (Halim 2012;101)

1.2.3. Pendapatan Dana Alokasi Umum


Kecukupan (adequacy)
Prinsip mendasar yang pertama adalah prinsip kecukupan. Sebagai suatu bentuk
penerimaan, sistem DAU harus memberikan sejumlah dana yang cukup kepada daerah.
Dalam hal ini, perkataan cukup harus diartikan dalam kaitannya dengan beban fungsi.
Sebagaimana diketahui, beban finansial dalam menjalankan fungsi tidaklah statis,
melainkan cenderung meningkat karena satu atau berbagai faktor. Oleh karena itulah maka
penerimaan pun seharusnya naik sehingga pemerintah daerah mampu membiayai beban
anggarannya. Bila alokasi DAU mampu berespon terhadap kenaikan beban anggaran yang
relevan, maka sistem DAU dikatakan memenuhi prinsip kecukupan.

Netralitas dan efisiensi (neutrality and efficiency)

Desain dari sistem alokasi harus netral dan efisien. Netral artinya suatu sistem alokasi harus
diupayakan sedemikian rupa sehingga efeknya justru memperbaiki (bukannya
menimbulkan) distorsi dalam harga relatif dalam perekonomian daerah. Efisien artinya
sistem alokasi DAU tidak boleh menciptakan distorsi dalam struktur harga input. Untuk itu,
sistem alokasi harus memanfaatkan berbagai jenis instrumen finansial alternatif relevan
yang tersedia.

Akuntabilitas (accountability)
Sesuai dengan namanya yaitu Dana Alokasi Umum, maka penggunaan terhadap dana fiskal
ini sebaiknya dilepaskan ke daerah.Karena peran daerah akan sangat dominan dalam
penentuan arah alokasi, maka peran lembaga DPRD, pers dan masyarakat di daerah
bersangkutan amatlah penting dalam proses penentuan prioritas anggaran yang perlu
dibiayai DAU. Dalam format yang seperti ini, format akuntabilitas yang relevan adalah
akuntabilitas kepada elektoral (accountability to electorates) dan bukan akuntabilitas
finansial kepada pusat (financial accountability to the centre).Implikasi finansial dari format
akuntabilitas seperti ini adalah pada diperlukannya format anggaran yang baru, yang
memungkinkan rakyat di daerah dan DPRD bisa secara transparan memonitor langsung
implementasi program yang dibiayai oleh DAU. Hal ini akan mengurangi kebutuhan akan
proses pertanggung-jawaban administratif yang panjang dan tidak efisien yang pada
akhirnya akan membuka celah bagi terjadinya penyelewengan keuangan.

Relevansi dengan tujuan (relevance)


Sistem alokasi DAU sejauh mungkin harus mengacu pada tujuan pemberian alokasi
sebagaimana dimaksudkan dalam UU. Kami berpendapat sudah selayaknyalah alokasi DAU
ditujukan untuk membiayai sebagian dari: (1) beban fungsi yang dijalankan; (2) hal-hal
yang merupakan prioritas dan target-target nasional yang harus dicapai. Perlu diingat bahwa
kedua UU telah mencantumkan secara eksplisit beberapa hal yang menjadi tujuan yang
ingin dicapai lewat program desentralisasi.
Pertama, stimulasi ekonomi daerah.
Kedua, peningkatan demokrasi.
Ketiga, keadilan/pemerataan.
Keempat, kemampuan daerah dalam melayani masyarakat. Dengan demikian jelas terlihat
bahwa sistem alokasi DAU bukanlah semata-mata ditujukan untuk pembiayaan pelayanan
jasa publik.

Keadilan (equity)

Pertanyaan terpenting yang berkaitan dengan isu pemerataan ini adalah: apa yang ingin
diratakan lewat instrumen DAU? Umumnya orang berpendapat DAU harus bertujuan untuk
meratakan pendapatan antar daerah (entah dalam pengertian nominal ataupun dalam
pengertian perkapita). Walaupun ini adalah tujuan yang menarik, namun secara konseptual
dan praktis tujuan tersebut bukanlah tujuan yang secara langsung dapat dicapai oleh
instrumen DAU. Menurut hemat kami, tujuan pemerataan pendapatan antar daerah hanya
baik untuk dipakai sebagai referensi ideal (atau, tujuan pemerataan yang sifatnya primer)
tapi bukan tujuan yang bisa dicapai secara fungsional.

Objektivitas dan transparansi (objectivity dan transparancy)


Sebuah sistem alokasi DAU yang baik harus didasarkan pada upaya untuk meminimumkan
kemungkinan manipulasi. Untuk itulah maka sistem alokasi DAU harus dibuat sejelas
mungkin dan formulanya pun dibuat setransparan mungkin. Prinsip transparansi akan dapat
dipenuhi bila formula tersebut bisa dipahami oleh khalayak umum. Dalam kaitan itulah
maka indikator yang digunakan sedapat mungkin adalah indikator yang sifatnya obyektif
sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang ambivalen.

Kesederhanaan (simplicity)

Rumusan alokasi DAU harus sederhana (tidak kompleks). Rumusan tidak boleh terlampau
kompleks sehingga sulit dimengerti orang, namun tidak boleh pula terlalu sederhana
sehingga menimbulkan perdebatan dan kemungkinan ketidak-adilan. Rumusan sebaiknya
tidak memanfaatkan sejumlah besar variabel dimana jumlah variabel yang dipakai menjadi
relatif terlalu besar ketimbang jumlah dana yang ingin dialokasikan. Perlu diingat bahwa
untuk tahun anggaran 2000/2001, dana yang akan dialokasikan ke lebih dari 350 pemerintah
daerah, hanya sebesar Rp 45 triliun. Dengan perbandingan antara dana dan jumlah daerah
yang “hanya” sedemikian, adalah lebih bijaksana untuk tidak berusaha menggunakan
variabel yang jumlahnya puluhan.

1.2.4. Belanja Modal

Belanja Modal adalah pengeluaran untuk pembayaran perolehan aset tetap dan / atau
aset lainnya atau menambah nilai aset tetap dan/ atau aset lainnya yang memberi Jenis-
Jenis Belanja Negara Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan 8 manfaat lebih dari satu
periode akuntansi dan melebihi batas minimal kapitalisasi asset tetap / aset lainnya yang
ditetapkan pemerintah. Dalam pembukuan nilai perolehan aset dihitung semua
pendanaan yang dibutuhkan hingga aset tersebut tersedia dan siap digunakan. Aset
tetap/aset lainnya tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu
Satker atau dipergunakan oleh masyarakat/publik, tercatat sebagai aset K/L terkait dan
bukan dimaksudkan untuk dijual/diserahkan kepada masyarakat/Pemda. Belanja Modal
terdiri atas Belanja Modal Tanah, Belanja Modal Peralatan dan Mesin, Belanja Modal
Gedung dan Bangunan, Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan, Belanja Modal
Lainnya, Belanja Penambahan Nilai Aset Tetap/Aset Lainnya, serta Belanja Modal
BLU(https://klc.kemenkeu.go.id/wp-content/uploads/2016/10/BP_APBN-I-1.-Modul-
KB-1.pdf)

1.3. Fungsi dan Tujuan


1.4. Metode
1.5. Tahapan
1.6. Indicator
1.7. Factor-faktor yang mempengaruhi
1.8. Keterkatian sub-sub Variable

2. Hasil Penelitian Yang Relevan

G. Kerangka Pemikiran

Belanja Modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal
yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari
satu periode akuntansi, termasuk didalamnya adalah pengeluaran

untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa


manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset.

Belanja Modal pada umumnya dialokasikan untuk perolehan asset tetap yang dapat
digunakan sebagai sarana pembangunan daerah. Dengan berkembang pesatnya
pembangunan diharapkan terjadi peningkatan kemandirian daerah dalam membiayai
kegiatannya terutama dalam hal keuangan. Untuk dapat mengetahui terjadinya
peningkatan kemandirian daerah, pendapatan asli daerah bisa dijadikan sebagai tolak
ukurnya karena PAD ini sendiri merupakan komponen yang penting yang
mencerminkan bagaimana sebuah daerah dapat mendanai sendiri kegiatannya melalui
komponen pendapatan yang murni dihasilkan melalui daerah.

Anggaran daerah merupakan salah satu alat yang memegang peranan penting dalam
rangka meningkatkan pelayanan publik dan didalamnya tercermin kebutuhan
masyarakat dengan memperhatikan potensi dan sumber-sumber kekayaan daerah.
APBN merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah Negara yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat/DPR (UU Keuangan Negara, 2002).

Tujuan utama proses perumusan anggaran adalah menterjemahkan perencanaan


ekonomi pemerintah, yang terdiri dari perencanaan input dan output dalam satuan
keuangan. Oleh karena itu, proses perumusan anggaran harus dapat menggali dan
mengendalikan sumber-sumber dana publik. Proses pembuatan satu tahun anggaran
tersebut dikenal dengan istilah penganggaran.

Anggaran sektor publik pemerintah daerah dalam APBD sebenarnya merupakan


output pengalokasian sumber daya. Adapun pengalokasian sumber daya merupakan
permasalahan yang paling mendasar dalam penganggaran sektor publik.

Sebagaimana tujuan otonomi daerah, diharapkan terciptanya kemandirian daerah


yang ditandai dengan peningkatan PAD, maka diharapkan dana yang berasal dari
pemerintah itu yang kewenangan penggunaannya diserahkan penuh kepada
pemerintah daerah digunakan untuk hal-hal produktif yang bisa mendorong
peningkatan investasi dalam belanja daerah yang bisa berdampak pada peningkatan
layanan publik yang pada akhirnya dapat meningkatkan kontribusi publik.

Penerapan otonomi daerah di Indonesia tak terlepas dari perubahan paradigma dalam
pengelolaan dan penganggaran daerah. Penganggaran kinerja (performance
budgeting) merupakan konsep dalam penganggaran yang menjelaskan keterkaitan
antara pengalokasian sumber daya dengan pencapaian hasil yang dapat diukur.

Penganggaran setidaknya mempunyai tiga tahapan , yakni (1) perumusan proposal


angaran, (2) pengesahan proposal anggaran, (3) pengimplementasian anggaran yang
telah ditetapkan sebagai produk hukum (Samuels, 2002).

Pembangunan sarana dan prasarana oleh pemerintah daerah berpengaruh positif pada
pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2004). Syarat fundamental untuk pembangunan
ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan
pertambahan penduduk. Bertambahnya infrastruktur dan perbaikannya oleh
pemerintah daerah diharapkan akan memacu pertumbuhan ekonomi daerah.
Kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Skema Kerangka Pemikiran

Pertumbuhan Ekonomi

(X1)

Pendapatan Alokasi Belanja Modal


Daerah
(Y)
(X2)

Dana Alokasi Umum

(X3)
H. Hipotesis

Anda mungkin juga menyukai