Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Laringofaringeal refluks (LPR) adalah suatu keadaan adanya refluks asam
lambung ke ruang laringofaring, di mana laringofaring merupakan bagian yang
berdekatan dengan jaringan di traktus aerodigestive atas. Beberapa penulis
mempertimbangkan bahwa pada dasarnya LPR merupakan manifestasi
ekstraesofageal dari gastroesofageal refluks (GERD). Meskipun gejala ini
sebelumnya dianggap merupakan spektrum dari GERD, LPR sekarang sebagai
sebuah entitas yang berbeda dari GERD. Patofisiologi dan gejalanya berbeda
sehingga perlu pengelolaan secara berbeda. Pada GERD kejadian refluks terjadi
pada malam hari, adanya nyeri pada epigastrium, periode terpapar cairan asam
lambung lebih lama, serta adanya gangguan dismotilitas esophagus, juga terdapat
defek terdapat di LES (lower esophageal spinchter). Pada pasien LPR kejadian
refluks terjadi siang hari, tidak terdapat nyeri epigastrium, periode terpapar cairan
asam lambung lebih singkat serta tidak adanya gangguan dismotilitas esophagus,
defek terdapat di LES (lower esophageal spinchter).1,2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
2.1.1 Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari
dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6.
Ke atas faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan
laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan
dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang
lebih 14 cm, bagian ini merupakan bagian dinding faring terpanjang. Dinding
faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir, fasia faringobasiler,
pembungkus otot, dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas
nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring).2
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
anterior adalah laring, batas inferior adalah esofagus, serta batas posterior adalah
vertebra servikal.2 Dinding anterior dibentuk oleh aditus laringis dan membran
mukosa yang meliputi permukaan posterior faring. Dinding posterior disokong
oleh korpus vertebra servikalis ketiga, keempat, kelima, dan keenam. Dinding
lateral disokong oleh kartilago tiroid dan membran tiroidea. Sebuah alur kecil,
tetapi penting pada membrana, disebut fosa piriformis, terletak di kanan dan kiri
aditus laringis. Fossa ini berjalan miring ke bawah dan belakang dari dorsum
lingua menuju ke esofagus. Fosa piriformis dibatasi di medial oleh plika
aryepiglotika dan di lateral oleh lamina kartilago tiroidea dan membran tiroidea.3
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan
laring tidak langsung, atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung,
maka struktur pertama yang tampak di dasar lidah adalah valekula. Bagian ini
merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika

2
medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut
juga kantong pil, sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil
akan tersangkut di situ.
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk
omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang
bentuk infantil ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini
dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan
laringoskopi tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga
untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat
bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.2
Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap
sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia lokal
di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.
Fungsi faring yang terutama adalah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara dan artikulasi.

Gambar 2.1 Faring

3
2.1.2 Laring
Laring merupkan suatu pipa fibrokartilaginea, membentang dari trakea
hingga radix linguae. Laring terletak di bagian anterior leher setinggi korpus
vertebra servikalis III-VI, menghubungkan antara bagian inferior faring dengan
trakea. Laring berfungsi sebagai katup untuk melindungi jalan napas dan menjaga
supaya jalan napas selalu terbuka, terutama sewaktu menelan. Laring juga
berfungsi sebagai mekanisme fonasi yang dirancang untuk pembentukan suara.
Laring terdiri atas beberapa kartilago yang dihubungkan oleh beberapa
ligamentum, digerakan oleh otot dan dilingkupi oleh membran mukosa dari faring
sampai trachea.3,4
Kerangka laring terdiri dari sembilan kartilago. Sembilan kartilago ini
terdiri atas tiga tulang rawan tunggal yaitu: cartilago thyroidea, cartilago
cricoidea, dan cartilago epiglottica dan tiga tulang rawan berpasangan yaitu:
cartilago arytenoidea, cartilago corniculata, dan cartilago cuneiformis.

Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi
krikoaritenoid.3,4

Gambar 2.2 Laring

4
2.2 Laringofaringeal Refluks
2.2.1 Definisi
Laringofaringeal refluks (LPR) adalah suatu keadaan adanya refluks asam
lambung ke ruang laringofaring, di mana laringofaring merupakan bagian yang
berdekatan dengan jaringan di traktus aerodigestive atas.1
Beberapa sinonim untuk LPR dari beberapa literature kedokteran: Reflux
Laryngitis, Laryngeal Reflux, Gastropharyngeal Reflux, Pharyngoesophageal
Reflux, Supraesophageal Reflux, Extraesophageal Reflux, Atypical Reflux. Dan
yang paling diterima dari beberapa sinonim tersebut adalah Extraesophageal
Reflux.5
2.2.2 Etiologi
Etiologi LPR dapat disebabkan karena faktor fisik yaitu adanya gangguan
fungsional dari sphincter esophagus, hiatal hernia, abnormalitas kontraksi
esophagus, lambatnya pengosongan dari lambung, sedangkan dapat juga
disebabkan karena infeksi, vocal abuse, alergi, merokok, iritasi dari polusi udara,
alkohol dan gaya hidup, misalnya, diet makanan berlemak, kopi, coklat, NSAID,
makanan pedas, merokok, minuman beralkohol.6
2.2.3 Patofisiologi
Patofisiologi LPR masih menjadi kajian banyak ilmuan. Sampai saat ini
ada dua hipotesis yang diterima dikalangan ilmuan untuk proses terjadinya LPR.
Hipotesis yang pertama yaitu asam lambung secara langsung mencederai laring
dan jaringan sekitarnya. Hipotesis yang kedua menyatakan bahwa asam lambung
dalam esofagus distal merangsang refleks vagal yang mengakibatkan
bronkokontriksi dan gerakan mendehem dan batuk kronis, yang pada akhirnya
menimbulkan lesi pada mukosa saluran napas atas.
Terdapat 4 jenis pertahanan fisiologis yang melindungi traktus aerodigestif
dari cedera refluks yaitu, LES (Lower Esophageal Spinchter), fungsi motorik
esofageal dengan pembersihan asam lambung, resistensi jaringan mukosa
esofageal, dan spingter esofageal atas.7-9

5
a.) LES (Lower Esophageal Spinchter)

Mekanisme pertama pada pertahanan anti refluks adalah gastroesophageal


junction. Pertahanan ini terdiri dari sphincter dengan elemen otot dari lower
esophageal sphincter (LES) dan otot lurik dari diafragma bagian bawah, yang
berkombinasi untuk menjaga tekanan GEJ, hal ini penting untuk menahan tekanan
intraabdominal, dan mencegah isi lambung melewati esofagus. Secara fisiologis
LES merupakan sphincter dengan panjang 3-4 cm dengan otot yang dapat
berkontraksi di distal esofagus. Sphincter akan relaksasi setelah terjadi proses
menelan makanan dan memasukkan ke dalam lambung, secara anatomi daerah ini
mempunyai ketebalan 2-3 kali lebih tebal dibanding bagian dinding proksimal
esofagus.

b.) Fungsi motorik esofageal dengan pembersihan asam lambung

Pertahanan anti refluks kedua adalah fungsi motorik normal dari esofagus.
bolus makanan dan minuman akan didorong oleh kekuatan dari gerak peristaltik
dari pharyngoesophageal junction turun kebawah sampai ke gastroesophageal
junction dan ke dalam lambung. Gerak peristaltik secara primer dirangsang oleh
proses menelan di faring atau secara sekunder dengan stimulasi langsung pada
mukosa esofagus. Gerakan peristaltik ini penting untuk membersihkan refluks ke
dalam lambung. Adanya gangguan gerakan esofagus akan meningkatkan refluk
dengan melewati esofagus sampai ke laringofaring. Dengan pengukuran
manometric, pada pasien LPR didapatkan 75% mengalami kelainan motilitas.

c.) Resistensi jaringan mukosa esofageal

Pada saat refluks yang melewati UES dan mencapai daerah laringofaring
akan menyebar di sepanjang mukosa yang berbatasan di daerah kepala leher. Pada
keadaan ini hanya ada satu pertahanan untuk mencegah inflamasi dan kerusakan
dari komponen korosif refluks yaitu resistensi dari mukosa faring dan laring.

d.) Spingter esofageal atas

Pertahanan antirefluks yang ketiga adalah Upper Esophageal sphincter


(UES). Terjadinya kelemahan pada mekanisme ini yang membedakan antara

6
GERD dan LPR. UES didefinisikan sebagai daerah yang dapat berkonstriksi
secara tonik di pharyngoesofageal junction. Seperti pada LES, UES akan
berelaksasi pada saat makanan atau minuman akan masuk pada proses menelan.
Secara anatomi UES merupakan serabut distal dari otot cricopharyngeus dan
bagian proksimal dari esofagus. Dimana otot cricopharyngeus memegang peranan
penting pada tekanan di UES. Fungsi utama dari UES adalah menjaga masuknya
udara masuk kedalam esofagus selama respirasi dan menjaga sekresi gaster masuk
ke faring sewaktu refluks. Adanya penyimpangan pada fungsi yang kedua tersebut
diyakini sebagai penyebab kerusakan primer pada LPR, yang bermanifestasi
terjadinya refluks yang mencapai laryngopharyng.
2.2.4 Gejala Klinis
Pasien LPR biasanya memiliki gejala seperti halitosis, suara serak, batuk,
disfagia, post nasal drip, sakit tenggorokan. Gejala lain yang menyertai adalah:
eksaserbasi asma, sakit leher, odinofagia, otalgia, lendir tenggorok berlebih.1,10
2.2.5 Diagnosis
Refluks laringofaringeal dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis.
Riwayat penyakit penting untuk menilai potensi dari suara serak dan adanya
laringitis non spesifik. Laringitis secara non spesifik ditandai oleh adanya
inflamasi dari laring, seringkali keluhan ini ringan dan dapat sembuh secara
spontan. Apabila keluhan ini menetap, laringitis harus dicari penyebabnya yang
bisa disebabkan infeksi virus atau bakteri, alergi, trauma vokal, postnasal
discharge atau LPR.
Pada suara serak yang persisten atau progresif lebih dari 2-3 minggu,
perlu pemeriksaan laryngopharyng untuk menyingkirkan adanya kanker dan
kondisi serius lainnya. Adanya dugaan LPR ketika didapatkan kecurigaan riwayat
klinis dan penemuan yang mengarah ke LPR.
Survey internasional oleh American Bronchoesophagological
Association memaparkan gejala yang tersering dari LPR, yaitu mendehem (98%),
batuk lama (97%), globus faringeus (95%) dan suara serak (95%). Belafsky dkk,
telah mengenalkan Indeks Gejala Refluks yang dapat membantu klinisi untuk
menilai derajat gejala LPR pada awal evaluasi dan setelah pengobatan. Pasien

7
dianamnesis menggunakan skala 0-5 untuk derajat gejala-gejala dalam tabel di
bawah. Skor indeks gejala refluks lebih dari 13, adalah abnormal.11

Tabel 2.1 Skor Indeks Gejala Refluks


Refluks Symptom Index (RSI)
0 = tidak ada masalah
Dalam 1 bulan terakhir, apakah kamu menderita 5= sangat berat
1 Hoarseness / Suara serak/ problem suara 0 1 2 3 4 5
2 Clearing your throat (sering mengeluarkan 0 1 2 3 4 5
lendir tenggorok/ mendehem)
3 Berlebihnya mukosa tenggorokan/ Mukus 0 1 2 3 4 5
berlebih / PND (Post Nasal Drip)
4 Kesukaran menelan 0 1 2 3 4 5
5 Batuk setelah makan/ berbaring 0 1 2 3 4 5
6 Sulit bernafas / tersedak (chocking) 0 1 2 3 4 5
7 Batuk yang mengganggu 0 1 2 3 4 5
8 Rasa yang lengket/ Rasa mengganjal di 0 1 2 3 4 5
tenggorokan
9 Heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan 0 1 2 3 4 5
pencernaan, regurgitasi asam
Sumber : Belafsky et al. (2002)

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laringoskopi adalah prosedur utama dalam mendiagnosis
LPR. Pada pemeriksaan laringoskopi tidak ada tanda yang spesifik dari iritasi
laring dan inflamasi yang dapat dilihat, tetapi beberapa penemuan dapat
meningkatkan dugaan ke LPR. Meskipun tidak khas, adanya penebalan,
kemerahan dan edema terutama di posterior laring (laringitis posterior) paling
sering ditemukan.

8
Gambar 2.3 Penampakan laringoskopi pada pasien LPR

Tanda klinis yang sering ditemukan pada penyakit refluks laringofaring


adalah laringitis posterior dengan eritema, edema dan penebalan dinding
posterior dari glottis. Tanda-tanda lain adalah granuloma pita suara, contact
ulcer, stenosis subglottis.
Untuk memeriksa keadaan patologis laring setelah terjadinya refluks
laringofaring. Belafsky juga memperkenalkan skor refluks seperti yang dikutip
oleh Tamin (2008), yaitu Reflux Finding Score (RFS) yang merupakan delapan
skala penilaian dalam menentukan beratnya gambaran kelainan laring yang dilihat

9
dari pemeriksaan nasofaringolaringoskopi serat optik lentur. Skala ini bervariasi
dari nilai 0 (tidak ada kelainan) sampai dengan nilai maksimum 26 ( nilai
yangterburuk) dan RFS > 7 yang dianggap tidak normal. RFS merupakan
penilaian kelainan yang mudah dilakukan dan mempunyai inter and intraobserver
reproducibility yang baik. Walaupun setiap komponen bersifat subyektif tetapi
skor secara keseluruhan merupakan penilaian yang dapat dipercaya dalam melihat
perbaikan dengan terapi anti refluks12,13
Tabel 2.2. Skor Refluks (RFS)

Reflux Finding Score (RFS)

Edema Subglotik / pseudosulcus vokalis 0 = tidak ada


2= ada
Ventrikular obliterasi 2 = parsial
4= komplit
Eritema / hyperemia 2 = hanya aritenoid
4= difus
Edema pita suara 1 = ringan
2= moderat
3= berat
Edema laring difus 1 = ringan
2= moderat
3= berat
4= obstructing
Hipertrofi komisura posterior 1 = ringan
2= moderat
3= berat
4= obstructing
Granula / jaringan granulasi 0 = tidak ada
2= ada
Mukus kental endolaring 0 = tidak ada
2= ada
Sumber : Belafsky et al. ( 2001)

10
2.2.7 Diagnosis Banding
 Larinigtis akut dan laryngitis kronik yang dapat disebabkan infeksi
bakteri,virus, dan jamur
 Tumor dapat berupa tumor jinak yaitu laring papiloma, hemangioma,
tumor ganas berupa squamous cel carcinoma, tiroid carcinoma,
 Trauma dapat berupa vokal abuse, tercekik, inhalasi, intubasi,
radioterapi
 Granulomatous diseases
 Autoimmune diseases.13

2.2.8 Penatalaksanaan
a.) Nonmedikamentosa
Pasien dengan LPR diberikan edukasi dan disarankan untuk merubah
kebiasaan-kebiasaan, meliputi berhenti merokok, penurunan berat badan dan
menghindari alkohol. Perubahan ideal dari makanan meliputi, pembatasan coklat,
makanan berlemak, buah-buahan yang asam, minuman berkarbonasi, anggur
merah, kafein, dan tidak makan 2-3 jam sebelum tidur malam. Hal ini untuk
mengurangi jumlah lemak yang ada dalam perut ketika berbaring. Dimana untuk
mencegah aliran balik asam ke esofagus dan tenggorok akibat kelemahan sfingter.
Menaikan posisi kepala lebih tinggi dari badan dengan dengan benda keras
seperti batu, kayu yang disusun. Dengan meninggikan posisi kepala membantu
menurunkan terpaparnya asam pada daerah tenggorok. Untuk edukasi pasien
termasuk tentang jadwal pemberian obat PPI (omeperazole, esomeprazole,
rabeprazole, lansoprazole, dan pantoprazole) yang bekerja optimal bila diberikan
30-60 menit sebelum makan.
b.) Medikamentosa
Obat-obatan yang digunakan untuk LPR terdiri dari 4 kategori yaitu : PPI,
antagonis reseptor H2, agent prokinetik, dan mucosal cytoprotectans.
Proton pump inhibitor (PPI) merupakan obat utama dari pengobatan LPR,
diberikan dua kali sehari selama 3 bulan. Antogonis reseptor H2 yaitu ranitidin
telah terbukti lebih poten untuk menghambat sekresi gaster dibanding simetidin,

11
meskipun ini masih mempunyai keterbatasan dalam terapi LPR. Agen prokinetik
mempunyai efek mempercepat klirens esofagus dan meningkatkan tekanan LES,
akan tetapi mempunyai efek samping yang aritmia ventrikuler dan diare,
penggunaan cisapride sudah tidak direkomendasikan, karena efek sampingnya.
Tegaserod merupakan agen prokinetik yang saat ini dapat digunakan untuk
menurunkan refluks. Obat tambahan lain yang dapat melindungi mukosa dari
iritasi pepsin dan asam adalah sukralfat, sedangkan penggunaan antasida (sodium
bicarbonat-aluminum dan magnesium) mungkin dapat mengurangi gejala pada
GERD tetapi untuk LPR kurang bermanfaat.
c.) Pembedahan
Apabila manajemen dengan obat-obatan gagal, maka pasien dengan
refluks cairan dengan volume yang tinggi dan adanya inkompetensi dari LES
perlu dilakukan intervensi pembedahan. Dan hasil yang diharapkan dari
pembedahan adalah mengembalikan kompetensi dari LES yang pada akhirnya
berkurangnya episode refluks ke faring.16
2.2.9 Komplikasi
Pada anak – anak LPR dapat menyebabkan :
1. penyempitan daerah di bawah pita suara
2. ulkus kontak
3. infeksi telinga rekuren
4. penumpukan cairan di telinga tengah yang persisten
pada orang dewasa, LPR dapat menimbulkan komplikasi berupa skar di
tenggorokan dan pita suara, ia juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker
di daerah tersebut, LPR juga dapat mempengaruhi paru – paru dan dapat
menginduksi timbulnya kondisi asma, emfisema, atau bronkitis.
LPR dapat merupakan faktor pencetus munculnya penyakit seperti
faringitis, sinusitis, asma, pneumonia, batuk di malam hari, penyakit gigi dan
keganasan laring.14 Salah satu komplikasi yang patut diwaspadai dan mengancam
nyawa adalah stenosis laring. Riwayat LPR ditemukan pada 75% pasien stenosis
laring dan trakea.15

12
2.2.10 Pencegahan

Beberapa cara untuk mencegah terjadinya refluks antara lain:

 Dilarang merokok. Merokok dapat menyebabkan refluks


 Hindari menggunakan baju yang kerahnya melekat ketat dileher.
 Hindari makan minimal 3 jam sebelum tidur.
 Menurunkan berat badan. Bagi pasien dengan peningkatan berat badan
dalam masa yang singkat. Kurangi beberapa pon dapat mengurangi refluks
 Makanan yang perlu dihindari: cafein, cola, citrus dan mint, alcohol,
terutama saat malam hari hindari keju, gorengan, telur dan coklat.
 Pada pasien dengan gejala yang berat, sangat membantu jika pasien tidur
dengan bagian kepala tempat tidur diangkat lebih tinggi. Dengan
ketinggian sekitar 6 inci akan mengurangi refluks secara signifikan.17

2.2.11 Prognosis
Angka keberhasilan terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan
catatan terapi harus diikuti dengan modifikasi diet dan gaya hidup yang tepat. Dari
salah satu kepustakaan menyebutkan angka keberhasilan pada pasien dengan
laryngitis posterior berat sekitar 83% setelah diberikan terapi selama 6 minggu
dengan Omemprazole, dan sekitar 79% kasus mengalami kekambuhan setelah
berhenti berobat. Sedangkan prognosis keberhasilan dengan menggunakan
Lansoprazole selama 8 minggu memberikan angka keberhasilan 86%.17

13
BAB III
KESIMPULAN

Laringofaringeal refluks (LPR) adalah suatu keadaan adanya refluks asam


lambung ke ruang laringofaring, di mana laringofaring merupakan bagian yang
berdekatan dengan jaringan di traktus aerodigestive atas.
Laringofaringeal refluks (LPR) dapat disebabkan karena faktor fisik yaitu
adanya gangguan fungsional dari sphincter esophagus, hiatal hernia, abnormalitas
kontraksi esophagus, lambatnya pengosongan dari lambung, sedangkan dapat juga
disebabkan karena infeksi, vocal abuse, alergi, merokok, iritasi dari polusi udara,
alkohol dan gaya hidup, misalnya, diet makanan berlemak, kopi, coklat, NSAID,
makanan pedas, merokok, minuman beralkohol.
Refluks laringofaringeal dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Pada
suara serak yang persisten atau progresif lebih dari 2-3 minggu, perlu pemeriksaan
laryngopharyng untuk menyingkirkan adanya kanker dan kondisi serius lainnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Mitrovic SM. Terminology, Diagnostic and Therapy of Laringopharingeal


Reflux: 71(6): 608-10.
2. Rusmarjono, Hermani B. Odinofagi. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, dan Restutu RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2009. H. 212-6.
3. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi ke-
6. Richard S. Snell; alih bahasa, Liliana Sugiharto; editor edisi bahasa
Indonesia, Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC , 2006
4. Snell, Richard S. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi
ke-5. Richard S. Snell ; alih bahasa, Liliana Sugiharto ; editor edisi bahasa
Indonesia, Alifa Dimanti. Jakarta : EGC, 2006
5. Rees LE, Pazmany L, Gutowska-Owsiak D, Inman CF, Phillips A, Stokes
CR. The Mucosal Immune Response to Laryngopharingeal Reflux.
American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine: Vol 177(1):
1187-93. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/
6. Zulka E. Laryngopharyngeal Reflux. Simposium & Demo Sulit Telan
(Dysphagia). Semarang. 2008.
7. Lipan MJ. Anatomy of Reflux: A Growing Health Problem Affecting
Structures of the Head and Neck. The Anatomical Record (part B: New
Anat, 2006 vol 289B: 261-70
8. Ahuja V, MD. Head and Neck Manifestations of Gastroesophageal Reflux
disease. American Family Physician. 1999 vol 60.
9. Clouse RE, Diamant NE. Eshopageal Motor and Sensory Function and
Motor Disorders of the Esophagus, In:Feldman:Sleisenger & Fordtran’s
Gastrointestinal and Liver Disease, 7th ed. Elsevier.2002

15
10. Pham V. Laryngopharyngeal Reflux with an Emphasis on Diagnostic and
Therapeutic Considerations http://www.utmb.edu/otoref/grnds/laryng-
reflux-090825/laryng-reflux-090825.doc
11. Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA. The validity and reliability if the
Reflux Finding Score (RFS). Laryngoscope. 2001;111:1313-1317
12. Amirlak B. Reflux Laryngitis. Medscape.
http://emedicine.medscape.com/article/864864-overview#showall.
13. Cummings CW, Flint PW, Haughe BH, Robbins KT, Thomas JR.
Cummings Otolaryngology: Head and Neck Surgery, 4th ed. 2007.
Philadelphia: Elsevier.
14. Tauber S, Gross M, Issing W. Association of Laryngopharyngeal
symptoms with Gastroesophageal reflux disease. Laryngoscope. 2002.
112: 879-886.
15. Diamond L, Laryngopharyngeal reflux-It’s not GERD. JAAPA. 2005; 18
(8): 50-53.
16. Karkos PD, Wilson JA. Empiric treatment of Laryngopharyngeal Reflux
with Proton Pump Inhibitors: A systematic review. Laryngoscope. 2006.
116: 144- 48.
17. Center for Voice and Swallowing. Laryngopharyngeal reflux. Last Update:
August 2011. Available at:http://www.ucdvoice.org/lpr. html.

16

Anda mungkin juga menyukai