Anda di halaman 1dari 24

LBM 2 MODUL OBAT TRADISIONAL

UJI PREKLINIK OBAT TRADISIONAL

STEP 1

1. Tolerabilitas
 Kemampuan suatu obat untuk melakukan toleransi terhadap daya atau efeknya secara
farmakologi.
2. Uji preklinik
 Tahap penelitian yang terjadi sebelum uji klinik atau sebelum pengujian pada manusia.

Preclinical trial - a laboratory test of a new drug or a new medical device,
usually done on animal subjects, to see if the hoped-for treatment really
works and if it is safe to test on humans.

STEP 7

1. Apa saja tujuan dan manfaat dilakukannya uji preklinik?


Jawab:

Manfaat:
- Untuk mengetahui keamanan suatu bahan sebelum dilakukan uji klinik.
- Untuk mengetahui standar bahan (cukup kuat atau tidak efeknya untuk manusia).
- Untuk mengetahui standar ekstrak.
- Untuk mengetahui efekasi: dosis berapa memiliki efek untuk manusia
- Untuk mengetahui efek farmakokinetik (untuk mengetahui Absorbsi, Distribusi,
Metabolisme, Eksresi pada manusia).
- Untuk mengetahui toksisitas (seberapa toksik obat tersebut).
- Untuk menentukan letal dose dan effect dose.

Tujuan utama: untuk mengevaluasi keselamatan produk baru, apakah obat tersebut
menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau tetap aman dipakai.

2. Apa saja syarat untuk melakukan uji preklinik?


Jawab:
Uji preklinik dilakukan setelah bahan atau obat lolos dari uji seleksi, ditetapkan oleh BPOM
dan DEPKES RI.

- Memenuhi urutan teratas dari obat untuk penyakit dengan morbiditas tinggi.
- Untuk penyakit tertentu (tidak masuk ke morbiditas tinggi, tapi jarang ditemukan).
- Untuk penyakit yang pengobatannya jarang (seperti kanker).

3. Apa kriteria obat-obat yang diutamakan dalam uji preklinik?


Jawab:

4. Sebut dan jelaskan macam-macam uji preklinik? Dan bagaimana cara melakukannya?
Jawab:

a. Uji farmakodinamik: apakah bahan obat punya efek farmakologi/tidak.


b. Uji farmakokinetik: mengetahui ADME
c. Uji toksikologi: mengetahui seberapa toksik obat tradisional tersebut apabila digunakan
manusia.
d. Uji farmasetika: mengetahui data farmasetika tentang formulasi, standardisasi,
stabilitas, dan bentuk sediaan, serta cara penggunaan yang paling berkhasiat jika
dipakai manusia
5. Apa saja tahapan pada uji preklinik? JELASKAN!
6. uji preklinik?
7. Apa saja syarat hewan coba untuk uji preklinik?
Menggunakan hewan utuh
(Harmanto, Ning. Subroto, Ahkam. 2007. Pilih Jamu dan Herbal Tanpa Efek
Samping. Jakarta: Elex Media Komputindo)

Spesies yang ideal untuk uji toksisitas sebaiknya memenuhi criteria-kriteria


sebagai berikut:
 Berat badan lebih kecil dari 1 kg
 Mudah di ambil darahnya dan jumlah darah yang dapat diambil cukup
banyak
 Mudah dipegang dan dikendalikan
 Pemberian materi mudah dilakukan dengan berbagai rute (oral, subkutan)
 Mudah dikembangbiakan dan mudah dipelihara di laboratorium
 Lama hidup relative singkat
 Fisiologi diperkirakan sesuai/identik dengan manusia/hewan yang dituju
(Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba.Yogyakarta:Gadjah Mada
University Press)

Kesehatan hewan  bebas dari penyakit


Disesuaikan dengan tujuan penelitian
Kebutuhan bahan makanan di sesuaikan berat badan
BB disesuaikan dengan rancangan penelitian

(Bersahabat dengan hewan coba UGM)

Prosedur pengujian dapat dibagi menjadi 4 tahapan kegiatan, yaitu pemilihan


hewan uji, pemberian perlakuan, pengamatan dan pelaporan.
1. Pemilihan Hewan Uji.
Paling tidak hal yang harus diperhatikan dalam memilih hewan uji, yaitu :
a. species dan strain hewan yang akan digunakan,
b. usia,
c. jenis kelamin dan
d. jumlahnya.
 Species mamalia yang umum digunakan adalah tikus, mencit dan
kelinci. Untuk unggas digunakan embrio ayam (percobaan in ovo).
Kemajuan teknik laboratorium yang ada sekarang dan reaksi dari
pemerhati hak binatang telah membuka kemungkinan penggunaan
hanya organ, jaringan atau sel saja menggantikan hewan uji (kultur
organ atau kultur sel melalui percobaan in vitro). Teknik ini sangat
penting terutama dalam upaya mengungkap mekanisme teratogenesis
suatu agensia. Di Indonesa hewan uji yang populer digunakan adalah
mencit dan tikus, karena itu tulisan ini selanjutnya akan membicarakan
pengujian dengan menggunakan hewan uji tersebut.
 Hewan betina yang digunakan adalah betina dara sedangkan untuk
jantan dipilih pejantan yang sudah terbukti baik fertilitasnya. Hewan
dikawinkan di malam hari dengan cara mencampur 1 jantan dengan 3
betina dalam satu kandang. Jika keesokan harinya ditemukan adanya
sumbat vagina (vaginal plug) atau adanya sperma di vagina yang
dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis apusan vagina, maka itu
pertanda perkawinan sudah berlangsung dan hari tersebut dtentukan
sebagai hari ke nol kebuntingan.
 Jumlah hewan uji yang digunakan paling tidak sebanyak 20 ekor betina
bunting untuk tiap kelompok perlakuan. Karena kelompok perlakuan
biasanya terdiri atas paling tidak 3 taraf dan 1 kelompok kontrol, maka
jumlah hewan bunting yang dibutuhkan adalah 80 ekor.
2. Pemberian Perlakuan.
 Untuk agensia berupa senyawa kimia, dosis tertinggi perlakuan
sebaiknya tidak > 1000 mg/kg berat badan per hari dengan pemberian
per oral atau subkutan, sedangkan untuk agensia lain disesuaikan
dengan besaran paparan yang mungkin diterima dari lingkungan.
 Dosis tertinggi sebaiknya lebih kecil dari angka LD-50 dan 2 kelompok
dosis berikutnya ditata dengan interval sama di bawah dosis tertinggi
tadi (misalnya LD-50, 2/3 LD-50, 1/3 LD-50, dan kontrol).
 Kelompok kontrol disesuaikan dengan percobaan. Aturan yang umum
digunakan adalah apabila agensia dilarutkan dengan suatu pelarut maka
kepada kelompok kontrol diberikan pelarut saja dengan cara pemberian
yang persis sama dengan cara pemberian pada kelompok perlakuan.
Untuk kontrol positif dapat dipilih agensia-agensia yang sudah dikenali
memiliki efek teratogenik. Penggunaan kontrol positip adalah untuk
menilai kepekaan strain yang digunakan.
 Cara pemberian perlakuan yang paling umum adalah pemberian per oral
(pencekokan). Cara lain dapat dipilih dengan pertimbangan khusus,
seperti inhalasi, subkutan, intraperitoneal atau intramuskuler.
Pertimbangan utama dalam pemilihan cara-cara itu adalah
kemiripannya dengan cara masuk agensia toksis tadi ke dalam tubuh.
 Durasi perlakuan disesuaikan dengan tujuan pengujian. Untuk pengujian
toksisitas perkembangan umum perlakuan dapat diberikan selama masa
kebuntingan. Dapat juga diberikan perlakuan tunggal 1 kali saja pada
titik waktu spesifik jika yang akan diamati adalah efek suatu agensia
terhadap perkembangan organ tertentu.
 Yang paling umum dilakukan adalah pemberian perlakuan dalam
beberapa hari saja, yaitu selama masa organogenesis (hari ke 6 hingga
hari ke 15).
3. Pengamatan.
 Meskipun pengujian ini disebut uji tokskologi perkembangan ruang
lingkup pengamatan tidaklah terbatas pada embrio yang sedang
berkembang itu saja melainkan juga mencakup beberapa bagian
pengamatan terhadap induk.
 Induk hewan coba diamati kondisi kesehatannya setiap hari dan hal-hal
khusus seperti adanya gejala keracunan atau kematian dicatat. Berat
badan ditimbang paling tidak sekali 3 hari. Data berat badan selain
sebagai petunjuk efek toksik terhadap induk juga digunakan untuk
menentukan jumlah pemberian perlakuan (mg/kg berat badan). Hewan
coba dipelihara dengan baik selama kebuntingan dan selanjutnya
dikurbankan 1 hari sebelum melahirkan (tikus hari ke-20/21; mencit hari
ke-19). Betina tidak dibiarkan sampai melahirkan karena jika itu terjadi
ia akan memakan anak-anaknya yang cacat. Hewan uji dibedah caesar
dengan membuat irisan di garis tengah ventral tubuh mulai dari area
bukaan genitalia hingga ke leher. Rongga perut dan rongga dada dibuka
dan organ dalam tubuh diamati. Uterus diangkat dan ditimbang
bersama-sama dengan embrio di dalamnya. Selanjutnya uterus
ditempatkan di dalam cairan fisiologis, lalu dibelah dan embrionya
dilepas.
 Pada saat ini juga status implantasi dipastikan: fetus yang berkembang
penuh dan merespon sentuhan dikategorikan fetus hidup; fetus yang
berkembang penuh dan tidak ada tanda-tanda autolisis tetapi tidak
merespon sentuhan dikategorikan fetus mati; implantasi yang
menunjukkan adanya ciri-ciri fetus tetapi mengalami autolisis
digolongkan sebagai fetus yang diresorpsi pada tingkat lanjut (late
resorption); implantasi yang tidak menunjukkan adanya karakteristik
fetus digolongkan pada fetus yang mengalami resorpsi dini (early
resorption). Selanjutnya ovarium diamati dan jumlah corpora lutea
dihitung. Jumlah corpora lutea umumnya bersesuaian dengan jumlah
implantasi karena corpora lutea adalah petunjuk folikel yang berovulasi
dan berubah menjadi badan hormonal yang berperan dalam
mempertahankan kebuntingan. Kehilangan sebelum implantasi dapat
dihitung berdasarkan selisih antara jumlah corpora lutea dengan jumlah
implantasi.
 Tanda-tanda keracunan induk diamati pada organ-organ visceral.
Kelenjar timus diamati ukuran, warna dan adanya tanda-tanda
hemoragi. Pulmo diamati ukuran, warna dan jumlah lobusnya, demikian
juga hepar diamati ukuran, warna, tekstur dan jumlah lobusnya.
Lambung dibuka dengan sayatan sepanjang curvatura besar dan
permukaan mukosalnya diamati. Ginjal diamati bentuk, ukuran, warna
dan kelainan yang mungkin terlihat dari luar, dan selanjutnya dibelah
untuk mengamati struktur internalnya. Tiap-tiap kelainan dicatat dan
sedapat mungkin didokumentasikan dengan fotografi dan jaringan yang
mengalami kelainan tersebut difiksasi dengan formalin atau larutan
Bouin dan diproses melalui metode parafin untuk pembuatan sediaan
bagi pengamatan histologis.
 Pengamatan fetus dimulai dengan penimbangan berat badan.
Penimbangan hendaknya dilakukan ketika fetus masih segar (segera
setelah uterus dibuka, sebelum fetus difiksasi). Pengamatan malformasi
dimulai dari daerah kepala. Pertama-tama diperhatikan bentuk dan
ukuran kepala serta adanya tanda-tanda gangguan penutupan (closure
defect). Di kepala harus terdapat 2 tonjolan mata (masih tertutup), 2
nares, 5 papila fascialis,dan 2 pinnae. Mulut dan bibir diamati ukuran,
betuk dan adanya gangguan perkembangan. Mulut dibuka untuk
mengamati dan memastikan ada tidaknya celah di langit-langit mulut
(cleft palate). Kemudian aspek ventral dan dorsal tubuh diamati apakah
ada closure defect, dan dilanjutkan dengan pengamatan tungkai. Pada
tungkai diamati ukuran, kelengkapan ruas dan arah rotasi / fleksi bahu,
siku, telapak dan jemari. Jumlah jemari (masing-masing 5 depan dan 5
belakang) dihitung dan adanya kelainan pada jumlah ukuran, fusi atau
adanya selaput dicatat. Ekor juga diamati keberadaan, ukuran dan
pembengkokannya. Ekor selanjutnya diangkat dan jarak antara bukaan
anus dengan genitalia diperkirakan untuk penentuan jenis kelamin (jarak
tersebut sangat dekat pada betina dan jauh pada jantan). Selanjutnya
kira-kira setengah bagian dari jumlah fetus yang diperoleh difiksasi
dengan alkohol 95 % dan setelah beberapa hari dieviserasi dan dikuliti.
Fiksasi dipertahankan hingga 2 mnggu, kemudian fetus diwarnai dengan
Alcian blue dan Alizarin Red S dan selanjutnya dibuat transparan dalam
gliserin. Dengan teknik ini dapat diamati secara langsung komponen
tulang (merah) dan kartilago (biru) fetus dan kelainannya. Pengamatan
rangka meliputi adanya hambatan atau percepatan penulangan,
kelainan bentuk dan jumlah komponen rangka. Rangka diamati mulai
dari cranium, sternum, columna vertebralis, os pectoralis, os pelvis,
tulang-tulang tungkai dan terutama jemari. Jumlah komponen tulang
telapak dan jemari yang telah mengalami penulangan dihitung. Kelainan
struktur komponen rangka yang sering teramati adalah hambatan
osifikasi, penambahan atau pengurangan jumlah costae, centrum
vertebra berbentuk kupu-kupu, costae menggelombang, fusi rusuk, fusi
vertebra, tungkai pekuk dan lain-lain

- Efek herbal apa saja yang ditimbulkan pada hewan coba ?


LD50 : menyatakan dosis obat yang dapat menyebabkan kematian
pada 50% hewan percobaan
ED50 : menyatakan dosis obat yang dapat timbulkan efek (ex :kejang-
kejang) pada 50% hewan percobaan.

Cara pemilihan
Mencit
Bila dibutuhkan hewan coba dalam jumlah banyak, misalnya pada evaluasi
terhadap toksisitas akut dan kemampuan karsinogenik, maka hewan yang
paling sesuai untuk itu adalah mencit. Kekurangannya adalah kesulitan
memperoleh darah dalam jumlah yang cukup untuk rangkaian pemeriksaan
hematologi.
Tikus
Tikus tampaknya merupakan spesies ideal untuk uji toksikologi karena berat
badannya dapat mencapai 500 gram sehingga lebih mudah dipegang,
dikendalikan atau dapt diambil darahnya dalam jumlah yang relative besar.

Ciri-ciri morfologi Rattus norvegicus antara lain memiliki :


berat 150-600 gram, hidung tumpul dan badan besar dengan panjang 18-25
cm, kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga relatif kecil dan
tidak lebih dari 20-23 mm (Depkes 2011).

Menurut Besselsen (2004) dan Depkes (2011) taksonomi tikus adalah:


Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Subkelas : Theria
Ordo : Rodensia
Subordo : Sciurognathi
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus

Ada dua sifat utama yang membedakan tikus dengan hewan percobaan
lainnya, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak
lazim pada tempat bermuara esofagus ke dalam lambung sehingga
mempermudah proses pencekokan perlakuan menggunakan sonde lambung,
dan tidak mempunyai kandung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
Selain itu, tikus hanya mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki. Ekor tikus
menjadi bagian badan yang paling penting untuk mengurangi panas tubuh.
Mekanisme perlindungan lain adalah tikus akan mengeluarkan banyak ludah
dan menutupi bulunya dengan ludah tersebut (Sirois 2005).

Terdapat tiga galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu yang
biasa digunakan sebagai hewan percobaan yaitu (Malole dan Pramono 1989) :
- galur Sprague dawley berwarna albino putih, berkepala kecil dan ekornya
lebih panjang dari badannya,
- galur Wistar ditandai dengan kepala besar dan ekor yang lebih pendek, dan
- galur Long evans yang lebih kecil daripada tikus putih dan memiliki warna
hitam pada kepala dan tubuh bagian depan.

Tikus yang digunakan dalam penelitian adalah galur Sprague Dawley berjenis
kelamin jantan berumur kurang lebih 2 bulan. Tikus Sprague Dawley dengan
jenis kelamin betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang sangat
berfluktuasi pada saat mulai beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan akan
memberikan respon yang berbeda dan dapat mempengaruhi hasil penelitian
(Kesenja 2005). Tikus putih galur ini mempunyai daya tahan terhadap penyakit
dan cukup agresif dibandingkan dengan galur lainnya (Harkness dan Wagner
1983).

Anjing
Anjing dengan bulu pendek dan berat sekitar 12 kg paling sesuai untuk uji
toksikologi. Umur paling baik dipakai adalah 14-16 minggu, sementara
dibutuhkan 4 minggu untuk adaptasi dengan lingkungan yang baru.
Primata
Pengguanaan kera lebih menguntungkan dibandingkan pemakaian hewan-
hewan lain, terutama dalam hal berat badan dan postur tubuhnya yang
menyerupai manusia. Postur seperti ini memungkinkan untuk mencatat
observasi penting terutama bila neurophaty perifer merupakan manifestasi
toksik. Kerugiannya perlu banyak hewan yang dibutuhkan untuk uji fertilitas
karena produktivitasnya rendah.
(Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba.Yogyakarta:Gadjah Mada
University Press) dan
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56395/Bab%20II
%20Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=4

8. Bagaimana suatu obat dikatakan telah lolos uji preklinik?


Jawab:

- Jika LD tidak lebih dari 50%


o Margin of safety. ED > 50%, LD < 50%
- Tidak memiliki efek samping setelah dilakukan uji toksisitas.
o Toksisitas kronik: dilakukan uji > 6 bulan
- Tidak bersifat karsinogenik, mutagenik, dan teratogenik.
- Index terapi lebar (semakin besar index terapi, maka obat semakin aman)
- Memiliki efek setelah dilakukan uji farmakodinamik.

9. Apa saja kendala yang dapat terjadi pada uji preklinik?


Jawab:

- Diperlukan waktu 2 – 6 tahun untuk mengumpulkan data dan menentukan index terapi
(waktu lama)
- Diperlukan sejumlah besar hewan percobaan untuk mendapatkan data praklinis yang
shahih
- Sinkronisasi data sulit
- Dosis yang digunakan pada hewan coba belum tentu sesuai dengan dosis untuk manusia
- Efek samping pada tanaman kurang dapat dideteksi

10. Jelaskan tentang uji farmakologi!


Jawab:

Ingin mengetahui efek yang ditimbulkan suatu herbal.


Belum tahu efeknya  lakukan uji farmakologi
Tapi kalau sudah tahu efeknya dari bukti empiris  lakukan uji preklinis

o Uji invivo: dilakukan uji di dalam tubuh (pada hewan coba)


o Uji invitro: dilakukan uji di luar tubuh (misal: adakah efek antibakteri?)

11. Jelaskan tentang uji farmakodinamik!

In vitro :
Terletak di dalam suatu system tetapi di luar tubuh manusia
Kebutuhan sample yang digunakan lebih sedikit
Murah dan cepat

Yg dimaksud uji in vitro adalah uji pada mikroba jika antibiotic; pada sel kanker
dari hewan utk obat anti kanker; pada plasmodium utk obat anti malaria; pada
jamur missal candida pada obat anti keputihan/candidiasis; pada cacing utk obat
cacing; pada virus utk obat antivirus; pada bagian organ tertentu dari hewan
contoh obat asma bronkodilator diuji pada otot polos trachea marmot; pada
jantung hewan dalam chamber utk obat angina dan aritmia; dll.

In vivo :
Terletak di dalam tubuh manusia
Kebutuhan sample yang digunakan lebih banyak
Mahal dan lama
(kuliah bu atina)
Sedangkan uji in vivo digunakan hewan utuh dan kondisi hidup (baik sadar
atau teranestesi). Syarat hewan yg digunakan sangat banyak tgt jenis
obatnya, missal yang jelas harus dilakukan control terhadap galur/spesies,
jenis kelamin, umur, berat badan (mempengaruhi dosis), dan harus
dilakukan pada minimal 2 spesies yakni rodent/hewan mengerat dan non
rodent. Alasannya krn system fisiologi dan patologi pada manusia
merupakan perpaduan antara rodent dan non rodent.

12. Jelaskan tentang uji farmakokinetik!


Jawab:

o Absorbsi: bagaimana diserap oleh tubuh


o Distribusi: distribusi ke seluruh tubuh
o Metabolisme
o Eksresi: dieksresi oleh ginjal

Melihat dari sampling darah setelah diberikan obat herbalnya. Kalau sudah diketahui waktu
paruh obatnya, diambil sampling darah 5 – 10 kali dari waktu paruh obat. Kalau belum tahu
waktu paruhnya, dilakukan sesering mungkin sampai 12 jam.

13. Jelaskan tentang uji toksikologi!

Setelah diketahui khasiatnya, obat harus aman. Maka diuji


TOKSIKOLOGI. Minimal obat harus menunjukkan keamanan secara akut,
sub kronik dan kronik=uji toksisitas tak khas. Uji toksisitas kuncinya adalah
menemukan DOSIS TOKSIK, maka hanya bias dilakukan pada hewan utuh,
kecuali utk uji toksisitas spesifik spt mutagenic, kanker, kulit, dll
(KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992 TENTANG PEDOMAN FITOFARMAKA)

14. Apa yang dimaksud dengan uji farmakologi, tujuan, contoh!


15. Apa yang dimaksud dengan uji farmakokinetik, tujuan, contoh!
16. Apa yang dimaksud dengan uji toksisitas, tujuan, contoh!

17. Apa yang dimaksud dengan uji preklinik, tujuan, contoh!


STEP 4

SYARAT UJI UJI PREKLINIK OBAT


PREKLINIK TRADISIONAL

UJI UJI UJI TOKSISITAS UJI FARMAKOLOGI


FARMAKODINAMIK FARMAKOKINETIK

UMUM KHUSUS

Anda mungkin juga menyukai