1
BAB I
PENDAHULUAN
Usaha-usaha menurunkan angka kematian maternal dan angka kematian perinatal
masih menjadi prioritas utama program Departemen Kesehatan RI.1
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), angka kematian
maternal di Indonesia pada tahun 1998-2003 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup. Angka
tersebut masih cukup jauh dari tekad pemerintah yang menginginkan penurunan angka
kematian maternal menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup untuk tahun 2010. Angka
kematian maternal ini merupakan yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Angka
kematian maternal di Singapura dan Malaysia masing-masing 5 dan 70 orang per 100.000
kelahiran hidup.2
Langkah utama yang paling penting untuk menurunkan angka kematian ibu adalah
mengetahui penyebab utama kematian. Di Indonesia sampai saat ini ada tiga penyebab utama
kematian ibu yaitu perdarahan dalam kehamilan 40-60%, infeksi 20-30% dan keracunan
kehamilan 20-30%, sisanya sekitar 5% disebabkan penyakit lain yang memburuk saat
kehamilan atau persalinan.3 Perdarahan sebagai penyebab kematian ibu terdiri atas
perdarahan antepartum dan perdarahan postpartum.4
Perdarahan sebelum, sewaktu, dan sesudah bersalin adalah kelainan yang berbahaya
dan mengancam ibu. Perdarahan pada kehamilan harus selalu dianggap sebagai kelainan yang
berbahaya. Perdarahan pada kehamilan muda disebut keguguran atau abortus, sedangkan
pada kehamilan tua disebut perdarahan antepartum. Batas teoritis antara kehamilan muda dan
kehamilan tua ialah kehamilan 28 minggu (dengan berat janin 1000 gram), mengingat
kemungkinan hidup janin diluar uterus.5
Perdarahan antepartum merupakan kasus gawat darurat yang kejadiannya berkisar 3%
dari semua persalinan, penyebabnya antara lain plasenta previa, solusio plasenta, dan
perdarahan yang belum jelas sumbernya.1,4
Definisi perdarahan antepartum menurut WHO adalah perdarahan pervaginam setelah
29 minggu kehamilan atau lebih. Perdarahan yang terjadi umumnya lebih berbahaya
dibandingkan perdarahan pada umur kehamilan kurang dari 28 minggu karena biasanya hebat
dan mengganggu sirkulasi O2, CO2 dan nutrisi dari ibu ke janin. Penyebab tersering
perdarahan pada trimester III, yaitu : Solusio plasenta 30%, Plasenta previa 32%, Vasa previa
0,1%, Inpartu biasa 10%, Kelainan lokal 4%, Tidak diketahui sebabnya 23,9%. Penyebab
2
utama perdarahan antepartum yaitu plasenta previa dan solusio plasenta, penyebab lainnya
biasanya berasal dari lesi lokasi pada vagina/serviks.1
Perdarahan antepartum adalah perdarahan pada jalan lahir setelah kehamilan 22
minggu.6 Plasenta previa adalah suatu kesulitan kehamilan yang terjadi pada trimester kedua
dan ketiga kehamilan. Dapat meningkatkan kematian bagi ibu dan janin. Ini adalah salah satu
penyebab pendarahan vaginal yang paling banyak pada trimester kedua dan ketiga. Plasenta
previa biasanya digambarkan sebagai implantasi dari plasenta di dekat ostium interna uteri
(didekat serviks uteri).1,6
Di AS plasenta previa ditemukan kira-kira 5 dari 1.000 persalinan dan mempunyai
tingkat kematian 0,03%. Data terbaru merekam dari 1989-1997 plasenta previa tercatat
didapat pada 2,8 kelahiran dari 1.000 kelahiran hidup. Di indonesia, RSCM Jakarta mencatat
plasenta previa terjadi kira-kira 1 diantara 200 persalinan. Antara tahun 1971-1975 terjadi 37
kasus plasenta previa diantara 4781 persalinan yang terdaftar, atau kira-kira 1 dari 125
persalinan.7
Solusio plasenta atau disebut juga abruptio placenta atau ablatio placenta adalah
separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya di uterus (korpus uteri) dalam masa
kehamilan lebih dari 20 minggu dan sebelum janin lahir. Dalam plasenta terdapat banyak
pembuluh darah yang memungkinkan pengantaran zat nutrisi dari ibu ke janin, jika plasenta
ini terlepas dari implantasi normalnya dalam masa kehamilan maka akan mengakibatkan
perdarahan yang hebat. Hebatnya perdarahan tergantung pada luasnya area plasenta yang
terlepas.7,8
3
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Definisi
4
Gambar 1. Kelainan Plasenta.1
2. Solusio plasenta
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal di korpus uteri yang
terjadi setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum janin dilahirkan. Yang dapat
termanifestasikan dalam perdarahan pervagina, peningkatan kontraksi uterus dan distres
pada fetus yang dapat berakibat pada kematian ibu dan janin.9,12,13
3. Perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya, mungkin disebabkan : ruptura sinus
marginalis, atau vasa previa.
Vasa previa adalah keadaan dimana pembuluh darah umbilikalis janin berinsersi dengan
vilamentosa yakni pada selaput ketuban.9
b) Plasenta previa lateralis, bila sebagian pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta. 4,6,9
7
d) Plasenta letak rendah bila plasenta yang letaknya abnormal di segmen bawah uterus,
akan tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir. Pinggir plasenta kira-kira
3 atau 4 cm diatas pinggir pembukaan, sehingga tidak akan teraba pada pembukaan
jalan lahir. 4,6,9
Sedangkan berdasarkan luas terlepasnya plasenta dari uterus, solusio plasenta dapat dibagi
atas :
1. Solusio plasenta totalis
8
2. Solusio plasenta partialis. 12,13
2.3 Etiologi
2.3.1 Plasenta Previa
Beberapa faktor dan etiologi dari plsenta previa tidak diketahui. Tetapi diduga hal
tersebut berhubungan dengan abnormalitas dari vaskularisasi endometrium yang mungkin
disebabkan oleh timbulnya parut akibat trauma operasi/infeksi. Perdarahan berhubungan
dengan adanya perkembangan segmen bawah uterus pada trimester ketiga. Plasenta yang
melekat pada area ini akan rusak akibat ketidakmampuan segmen bawah rahim. Kemudian
perdarahan akan terjadi akibat ketidakmampuan segmen bawah rahim untuk berkonstruksi
secara adekuat. 14
Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya solusio plasenta, antara lain :
a) Usia ibu saat hamil
Dalam sebuah penelitian oleh Cleary dan Goldman (2007), menunjukan data bahwa pada
evaluasi di trimester pertama dan kedua kehamilan terdapat peningkatan insidensi
terjadinya soluiso plasenta sebesar 2-3 kali pada ibu hamil yang berusia ≥ 40 tahun
dibandingkan usia ≤ 35 tahun.9
b) Paritas
Sampai saat ini, masih menjadi kontroversi tentang pengaruh multiparitas sebagai faktor
predisposisi terjadinya solusio plasenta. Misalnya pada penelitian yang dilakukan
Pritchard dan Colleagues (1991) melaporkan insidensi terjadinya solusio plasenta lebih
tinggi pada multiparitas, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Toohey dan
Associates (1995) tidak menemukan pengaruh multiparitas dan insidensi terjadinya
solusio plasenta.9 Akan tetapi pada penelitian yang dilakukan oleh Iram Sarwer et al
(2003-2004), dilaporkan bahwa nulipara lebih cenderung terjadinya solusio plasenta
dibanding ibu multipara.13
Tabel 1 : Presentase Kasus Solusio Plasenta terhadap Paritas dan Umur Kehamilan.13
Vartables No. Of cases Percentage Mean ± S.D
10
Parity Groups
0 06 11.3 3.92 ±
4 26 49.1 2.56
>4 21 39.6
Gestational
Ages (Wks)
28 -32 24 45.3 33.81
33 – 36 15 28.3 ± 3.64
37 - 40 14 26.4
Lalu bagaimana dengan hubungan tingkat paritas dan frekuensi terjadinya solusio
plasenta di Indonesia? Pada penelitian yang dilakukan pada RSUD Dr. Moerwadi
Surakarta tahun 2001-2003, dilaporkan bahwa tingginya frekuensi solusio plasenta
terjadi pada multiparitas dibanding nulipara.
7 3 257 1,18
e) Riwayat trauma
Pada beberapa kasus trauma abdomen, seperti : kecelakaan kendaraan bermotor dan
trauma fisik lainnya yang berat sering diikuti dengan terlepasnya plasenta dari tempat
nidasinya.9 Pada penelitian yang dilakukan pada Rumah Sakit Parkland, sekitar 2%
penyebab terjadinya solusio plasenta yang menyebabkan kematian fetus disebabkan oleh
trauma kecelakaan di jalan raya.9
f) Merokok
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Ananth (1986-1993) didapatkan data bahwa
terdapat peningkatan risiko menjadi 2 kali lipat terjadinya solusio plasenta pada
kehamilan dengan riwayat ibu yang merokok bukan perokok (baik perokok pasif ataupun
aktif).17 Hal yang sama didapatkan penelitian yang dilakukan oleh Mortensen (2001),
Hogberg (2007), Kaminsky (2007).9
g) Kokain
Wanita yang pernah menggunakan kokain memiliki risiko yang tinggi terjadi solusio
plasenta pada kehamilan. Hal ini dapat dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh
Bingol (1987) dan Addis (2001).9 Mengapa hal ini dapat terjadi? Karena kokain dapat
menyebabkan peningkatan katekolamin dan hipertensi yang akhirnya akan menyebabkan
vasospasme pembuluh darah uterin sebagai penyebab solusio plasenta.9
h) Leiomyomas
12
Myoma uteri terutama yang berlokasi dibelakang sisi implantasi plasenta cenderung akan
menyebabkan terjadinya solusio plasenta. Rice pada penelitiannya tahun 1989
menemukan 8 dari 14 wanita dengan myoma uteri retroplasenta akan berkembang
menjadi solusio plasenta sedangkan 4 lainnya akan berakhir dengan kejadian 4 bayi lahir
mati. Sedangkan hanya 2 dari 79 wanita dengan kasus myoma uteri non retroplasenta
yang berkembang menjadi solusio plasenta.9
i) Thrombofilia
Pada dekade yang lalu. Trombofilia yang diturunkan ataupun didapatkan selalu
mempunyai korelasi langsung pada kasus thromboembolik dalam kehamilan yang
akhirnya akan berasosiasi sebagai penyebab terjadinya solusio plasenta dan
preeklampsia, hal ini ditemukan oleh Kenny (2009). Beberapa literatur menulis bahwa
mutasi pada faktor V Leiden, gen prothrombin, hiperhomocysteinemia, activated protein
C resistance, defisiensi antithrombin III dan terdapatnya antibodi anticardiolipin
immunoglobin G. Jika pada antenatal care ditemukan pasien positif terindikasi
thrombofilia maka seharusnya pasien mendapatkan terapi heparin ataupun aspirin dalam
kehamilannya.9
j) Riwayat solusio plasenta sebelumnya
Seorang wanita yang pernah menderita solusio plasenta terlebih yang menyebabkan
kematian janin memiliki risiko tinggi terjadinya rekurensi. Hal ini ditemukan pada
berbagai sumber dari laporan penelitian yang dilakukan. Pada penelitain yang terakhir
oleh Rasmusen dan Irgens (2009) dengan 767.000 kehamilan peningkatan ratio
terjadinya rekurensi hampir 3 kali dengan riwayat solusio plasenta pada kehamilan
sebelumnya.9
2.5 Patofisiologi
2.5.1 Plasenta Previa
Implantasi plasenta diprakarsai (initiate) oleh embrio (embryonic plate) menempel
diuterus (cauda) bagian bawah. Dengan pertumbuhan dan penambahan plasenta,
perkembangan plasenta dapat menutupi mulut rahim (cervical os). Bagaimanapun juga,
diperkirakan bahwa suatu vaskularisasi decidua (jaringan epitel endometrium) defective
terjadi di atas (over) serviks, mungkin ini sekunder terhadap inflamasi atau perubahan atrofik.
Sebagian plasenta yang sedang mengalami perubahan atrofik dapat berlanjut sebagai vasa
previa.
13
Sebagai penyebab penting perdarahan pada trimester ketiga, plasenta previa
memberikan gambaran sebagai perdarahan tanpa disetai rasa nyeri (painless bleeding).
Perdarahan ini dipercaya memiliki hubungan dengan perkembangan segmen bawah rahim
(the lower uterine segmen) pada trimester ketiga. Tambahan (attachment) plasenta terganggu
(distrupted) karena daerah ini (segmen bawah rahim) menipis secara bertahap dalam rangka
persiapan untuk permulaan kelahiran (the onset of labor). Saat ini berlangsung, maka
perdarahan terjadi pada daerah implantasi/nidasi darah dari pembuluh darah yang terbuka.
Thrombin yang dilepaskan dari area perdarahan memacu (promotes) kontraksi uterus dan
timbulnya lingkaran setan (vicious cycle) : perdarahan-kontraksi-pemisahan plasenta-
perdarahan. 7
Pada stadium awal, mungkin saja tidak ditemukan gejala dan separasi dapat
ditemukan ketika dilakukan pemeriksaan pada plasenta akibat penekanan pada permukaan
maternal plasenta. Yang dapat tergambar sebagai daerah berwarna gelap yang terbentuk dari
darah yang beku dengan diameter beberapa centimeter pada permukaan plasenta.9
14
Gambar 11. Foto Solusio Plasenta Partialis dengan Gambaran Darah Beku.9
Perdarahan dapat terjadi dari pembuluh darah plasenta atau uterus yang membentuk
hematoma di desidua sehingga plasenta terdesak dan akhirnya terlepas. Perdarahan
berlangsung terus-menerus karena otot uterus yang telah meregang oleh kehamilan tidak
mampu lebih berkontraksi untuk menghentikan perdarahan. Akibatnya, hematoma
retroplasenter akan bertambah besar, sehingga sebagian dan akhirnya seluruh plasenta
terlepas dari dinding uterus. Sebagian darah akan menyeludup di bawah selaput ketuban
keluar dari vagina, atau menembus selaput ketuban masuk ke dalam kantong ketuban atau
ekstravasasi diantara serabut-serabut otot uterus. Apabila ekstravasasinya berlangsung hebat
sehingga menembus lapisan myometrium bahkan serosa uterus maka seluruh permukaan
uterus akan berbecak biru atau ungu fan terasa sangat tegang serta nyeri. 15
Hal ini disebut uterus couvelaire.15 Yang akhirnya sebagai penyebab terjadinya atonia uteri
dan bukan sebagai indikasi dilakukannya histerektomi.9
15
Nasib janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus. Apabila
sebagian kecil yang terlepas, mungkin tidak berpengaruh sama sekali atau mengakibatkan
gawat janin.15
Waktu, sangat menentukan beratnya gangguan pembekuan darah, kelainan ginjal, dan
nasib janin. Makin lama selang waktu solusio plasenta sampai persalinan selesai, umumnya
makin hebat komplikasinya.15
16
Untuk mendapatkan diagnosis solusio plasenta secara tepat dan akurat maka perlu dilakukan
pemeriksaan yang komprehensif mulai dari anamnesa sampai pemeriksaan penunjang
lainnya. Dari anamnesa perlu ditanyakan beberapa hal seperti :
1. Identitas Ibu
2. Riwayat obstetri seperti :
a) Usia kehamilan ibu (abortus jika < 20 minggu, perdarahan antepartum > 20 minggu)
b) Perdarahan pervaginam ? (jumlah, intensitas dan frekuensi)
c) Apakah terdapat nyeri suprapubis ?
d) Riwayat obstetri terdahulu ? (jumlah gravida, jenis persalinan dan penyakit lainnya)
e) Tanda-tanda hipovolemia (mual,muntah dan kelemahan)
f) Ada tidaknya gerakan janin dalam kandungan ?
g) Urinaria
h) Riwayat hipertensi dan penggunaan obat-obatan (sebelum dan selama kehamilan)
i) Riwayat merokok
Riwayat trauma dan persalinan terdahulu ? 12
Pemeriksaan fisik :
a) Suatu generalis :
Menyangkut tanda-tanda vital seperti; tekanan darah (hipertensi), nadi (takikardi) dan
respirasi juga katerisasi urine (volume dan warna).
b) Status obstetrik :
Pada pemeriksaan luar seperti tinggi fundus uteri (cenderung lebih tinggi daripada usia
kehamilan yang dapat menunjukan adanya perdarahan retroplasenta), konsistensi dinding
perut yang meningkat disertai adanya nyeri, kesulitan melakukan palpasi untuk
menentukan bagian janin akibat kontraksi uterus, bunyi jantung anak (yang menunjukkan
kesajahteraan janin dalam uterus). Sedangkan pada pemeriksaan pervaginal seperti
inspekulo dan pemeriksan dalam bertujuan untuk melihat apakah perdarahan berasal dari
ostium uteri eksternum atau dari kelainan serviks dan vagina seperti erosi porsio uteri,
kanker serviks, varises vulva dan trauma. Apabila terdapat perdarahan yang berasal dari
ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa dan solusio plasenta harus dicurigai.
Akan tetapi pemeriksaan pervaginal ini harus dilalukan fasilitas seksio caesarea kamar
operasi. 12
17
Pemeriksaan penunjang :
a) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium secara definitif bukan untuk mendiagnosis kasus solusio
plasenta, akan tetapi berbagai rangkaian pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
dalam rangka manajemen terapi pada kasus solusio plasenta.
1) Pemeriksaan darah rutin (complete blood cell count)
Sangat membantu dalam menentukan status hemodinamik pasien dan nilainya
tidak terbukti dalam memperkirakan volume darah yang hilang secara akut.
Ketika terjadi perdarahan akut, penurunan nilai hematokrit terjadi beberapa jam
setelah terjadinya perdarahan akan tetapi hasilnya dapat kabur saat terjadi
pemberian cairan kristaloid dalam rangka resusitasi.
2) Pemeriksaan kadar fibrinogen
Pada saat kehamilan sangat berhubungan dengan keadaan hipofibronogenemia.
Oleh karena itu tertekannya level fibrinogen dapat menunjukkan adanya masalah
koagulasi darah. Jika level fibrinogen < 200 mg/dl, maka dapat diduga pada
pasien tersebut terjadi solusio yang berat. Tujuan manajemen terapi adalah
100 mg/dl yang dapat dicapai dengan transfusi fresh frozen plasma atau
cryoprecipitate ataupun transfusi darah segar.
3) Prothrombin Time/Activated Partial Thromboplastin Time (PTT/APTT)
Sekitar 20% wanita dengan Disseminated Intra Coagulopaty (DIC) akan
memiliki kecenderungan terjadinya solusio plasenta yang berat saat
kehamilannya.
Dan pada kasus solusio plasenta yang selalu akan ditangani dengan seksio
caesarea maka pemeriksaan PTT/APTT sangat diperlukan.
4) Blood urea nitrogen/serum kreatinin
Pada kondisi hipovolemik akibat perdarahan yang masif pada solusio plasenta,
tidak jarang akan berimbas pada terjadinya komplikasi gagal ginjal akut. Kondisi
ini dapat dicegah dengan resusitasi cairan yang tepat waktu dan adekuat agar
perfusi darah pada ginjal tetap berlangsung sebagaimana mestinya.
5) Kleihauer-Betke test
18
Untuk menemukan adanya sel darah merah fetus yang beredar pada sirkulasi
darah maternal pada kasus solusio plasenta, terutama pada wanita dengan Rhesus
negatif.
6) Golongan darah
Perlu dilakukan pemeriksaan ini setidaknya agar ketika diperlukan saat akan
dilakukan trasnfusi.
7) Rhesus darah
Wanita dengan rhesus darah negatif memerlikan Rh imunoglobulin untuk
mencegah isoimunisasi yang akan berdampak pada kehamilannya.
8) Pengelolaan thrombofilia, mencakup pemeriksaan :
Mutasi faktor v leiden, mutasi gen prothrombin (a20210), defisiensi antithrombin III,
protein c dan defisiensi protein s, level homocysteine puasa, antibodi anticardiolipin
antibodies, activated protein c resistance. 12
b) Ultrasonografi
Ultrasonosgrafi adalah pemeriksaan khusus yang digunakan dalam menimaginasikan
perdarahan dalam kehamilan dengan tingkat sensitivitas dan spesifitas yang tinggi.
Solusio plasenta terlihat sebagai perdarahan retroplasenta pada gambaran ultrasound,
akan tetapi tidak semua tipe solusio plasenta dapat terdeteksi. Pada fase akut,
perdarahan akan tampak secara umum sebagai gambaran hiperechoic atau bahkan
isoechoic seperti gambaran plasenta normal. Ultrasonografi dapat membantu
menyingkirkan penyebab lain pada perdarahan retroplasenta trimester ketiga. Pada
perdarahan akut solusio plasenta seperti perdarahan retroplasenta gambaran
hiperechoic akan berubah menjadi isoechoic dan kemudian akan menjadi hipoechoic
dalam 1 minggu.16
19
Gambar 14. Gambaran ultrasonografi solusio plasenta retroplasenta.16
Berdasarkan jumlah perdarahan yang terjadi maka solusio plasenta dapat dibedakan
menjadi :
a) Solusio plasenta ringan
Jika kehilangan darah sekitar 10-15% volume darah atau < 1000 cc darah dan
tekanan darah > 100/60, kesadaran baik akan tetapi mungkin terdapat postural
hipotensi.
b) Solusio plasenta moderat
Jika kehilangan darah sekitar 15-30% volume darah atau sekitar 1000-1500 cc
darah dan tekanan darah pada rentang nilai > 80/40 dan < 100/60, nadi >
120x/menit, pasien akan tampak lemah dan merasa kehausan.
c) Solusio plasenta mayor
Jika kehilangan sekitar 30-40% volume darah atau sekitar 1500-2000 cc darah
dan tekanan darah < 60/0, nadi > 120x/menit, pasien akan tampak pucat, sesak,
penurunan kesadaran bahkan koma, oligouria.
d) Solusio plasenta berat
Jika kehilangan > 40% volume darah atau > 2000 cc darah, tekanan darah dan
nadi tidak dapat terukur, koma dan anuria. 9
2.7 Diferensiasi Perdarahan Antepartum
2.8 Penatalaksanaan
21
2. Terapi Aktif (Tindakan segera)
Wanita hamil diatas 22 minggu dengan perdarahan pervagina yang aktif dan banyak,
harus segera ditatalaksanakan secara aktif tanpa memandang maturitas janin.
Lakukan PDMO jika :
- Infus I transfusi telah terpasang
- Kehamilan > 37 minggu (berat badan > 2500 gram) dan inpartu
- Janin telah meninggal atau terdapat anomali kongenital mayor, seperti anesefali.
- Perdarahan dengan bagian terbawah janin telah jauh melewati pintu atas panggul
(2/5 atau 3/5 pada palpasi luar). 9
3. Cara menyelesaikan persalinan dengan plasenta previa seksio caesarea
- Prinsip utama adalah menyelamatkan ibu, walaupun janin meninggal atau tidak
punya harapan untuk hidup, tindakan ini tetap dilakukan.
- Tujuan seksio caesarea : persalinan dengan segera sehingga uterus segera
berkontraksi dan menghentikan pendarahan, menghindarkan kemungkinan terjadi
robekan pada serviks, jika janin dilahirkan pervagina.
- Siapkan darah pengganti untuk stabilisasi dan pemulihan kondisi ibu.5
4. Perawatan post operasi seksio caesarea
- Analgesia
Wanita dengan ukuran tubuh rata-rata dapat disuntik 75 mg Meperidin
(intramuskuler) setiap 3 jam sekali, bila diperlukan untuk mengatasi rasa sakit atau
dapat disuntikan dengan cara serupa 10 mg morfin.
Wanita dengan ukuran tubuh kecil, dosis Meperidin yang diberikan adalah 50
mg.
Wanita dengan ukuran besar, dosis yang lebih tepat adalah 100 mg Meperidin
Obat-obatan antiemetik, misalnya protasin 25 mg biasanya diberikan bersama-
sama dengan pemberian preparat narkotik
- Tanda-tanda vital
Tanda-tanda vital harus diperiksa 4 jam sekali, perhatikan tekanan darah, nadi
jumlah urin serta jumlah darah yang hilang dan keadaan fundus harus diperiksa.
- Terapi cairan dan diet
Untuk pedoman umum, pemberian 3 liter larutan RL terbukti sudah cukup selama
pembedahan dan dalam 24 jam pertama berikutnya, meskipun demikian jika output
22
urin jauh dibawah 30 ml/jam, pasien harus segera dievaluasi kembali paling lambat
pada hari kedua.
- Vesika urinarius dan usus
Kateter dapat dilepaskan setelah 12 jam, post operasi atau pada keesokan paginya
setelah operasi. Biasanya bising usus belum terdengar pada hari pertama setelah
pembedahan, pada hari kedua bising usus masih lemah, dan usus baru aktif
kembali pada hari ketiga.
- Ambulasi
Pada hari pertama setelah pembedahan, pasien dengan bantuan perawatan dapat
bangun dari tempat sebentar, sekurang-kurang 2 kali pada hari kedua pasien dapat
berjalan dengan pertolongan.
- Perawatan luka
Luka insisi diinspeksi setiap hari, sehingga pembalut luka yang alternatif ringan
tanpa banyak plester sangat menguntungkan, secara normal jahitan kulit dapat
diangkat setelah hari keempat setelah pembedahan. Paling lambat hari ketiga post
partum, pasien dapat mandi tanpa membahayakan luka insisi.
- Laboratorium
Secara rutin hematokrit diukur pada pagi setelah operasi hematokrit tersebut harus
segera dicek kembali bila terdapat kehilangan darah yang tidak biasa atau keadaan
lain yang menunjukan hipovolemia.
- Perawatan payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan tidak
menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan payudara tanpa
banyak menimbulkan kompresi, biasanya mengurangi rasa nyeri.
- Memulangkan pasien dari Rumah Sakit
Seorang pasien yang baru melahirkan mungkin lebih aman bila diperbolehkan
pulang dari rumah sakit pada hari keempat dan kelima post operasi, aktivitas ibu
seminggunya harus dibatasi hanya untuk perawatan bayinya dengan bantuan orang
lain.9
A. Perdarahan masif
1. Evakuasi pasien ke rumah sakit untuk dilakukan tindakan resusitasi.
Jaga agar hemtokrit darah sekitar 30% dan keluaran urin sekitar 60 ml/jam dan cek
kadar hemoglobin tiap 4 jam.
2. Lakukan transfusi fresh frozen plasma atau darah segar.
3. Lakukan terminasi kehamilan baik persalinan pervaginal jika dilatasi serviks sudah
lengkap ataupun dengan seksio caesarea.
4. Jika terjadi perdarahan postpartum pasca terminasi kehamilan yang menyebabkan
atonia uteri dan tidak dapat teratasi, maka histerektomi adalah langkah yang harus
diambil untuk menyelamatkan nyawa ibu. 9
B. Perdarahan sedikit
Tindakan yang dilakukan sangat dipengaruhi dari status fetus dalam kandungan apakah
prematur, imatur ataupun sudah mati.
1. Penatalaksanaan ekspektatif
Dilakukan jika umur kehamilan < 36 minggu dan janin masih hidup serta tidak
adanya perdarahan yang hebat yang menyebabkan syok hipovolemia pada ibu.9
Hal ini dilakukan dengan harapan janin dapat seviable mungkin bila dilahirkan
nantinya. Observasi yang ketat terutama kondisi ibu (tekanan darah, nadi, kadar
hemoglobin dan urinaria) dan kondisi janin menggunakan cardiotocografi (CTG).9
2. Penatalaksanaan aktif
Adakah sebuah tindakan terminasi kehamilan pada kondisi janin yang matur
ataupun terjadi fetal distres.9
24
Hal-hal yang dilakukan dalam penatalaksanaan terapi diantaranya adalah :
a. Mengkoreksi keadaan umum pasien dengan tindakan resusitasi untuk mencegah
agar pasien tidak jatuh dalam kondisi syok.
b. Segera lakukan persalinan
1) Persalinan pervaginal
Persalinan pervaginal dengan solusio plasenta pada bayi hidup dapat dilakukan
dengan syarat perdarahan yang terjadi jumlahnya sedikit, multipara, serviks
lunak dan pembukaan telah lengkap, presentasi kepala dan tidak
didapatkannya disproporsi kepala bayi dan panggul ibu. Akan tetapi jika
terjadi separasi plasenta yang berat sehingga fetus didalamnya mati, persalinan
pervaginal lebih dipilih. Saat dilakukan persalinan pervaginal, dilakukan
amniotomi dan stimulasi kontraksi myometrium dengan pemberian oksitosin
secara intravena dengan melakukan monitor pada tekanan darah, urinaria dan
status koagulatif darah ibu. Akan tetapi persalinan pervaginal tidak dapat
dilakukan jika terjadi perdarahan hebat tanpa diikuti pergantian darah yang
cepat untuk menghindari komplikasi pada ibu sehingga persalinan harus
dilakukan secara seksio caesarea darurat.9
2) Seksio caesarea
Seksio caesarea dipilih sebagai teknik persalinan pada pasien dengan solusio
plasenta dan terjadi fetus distres.9 Kayani (2003) meneliti tentang kecepatan
persalinan dan outcome neonatal pada 33 ibu dengan solusio plasenta dan
kondisi fetal distres, didapatkan 22 bayi yang dilahirkan tidak memiliki
masalah neurologis, 11 bayi akan mati ataupun hidup dengan kondisi cerebral
palsy.9
2.9 Komplikasi
2.10. Prognosis
Ibu
Dengan adanya fasilitas diagnosa dini (USG), transfusi darah, teknik anestesi dan operasi
yang baik dengan indikasi SC yang lebih liberal, prognosis ibu cukup baik. Prognosis
kurang baik jika penolong melakukan VT di luar Rumah Sakit dan mengirim pasien
sangat terlambat dan tanpa infus. 9
Janin
Kematian janin umumnya disebabkan prematuritas. 9
27
2.3.2 Solusio Plasenta
Ibu
Tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus, banyaknya
perdarahan, derajat koagulasi, adanya hipertensi menahun atau preeklampsia,
tersembunyi tidaknya perdarahannya, dan jarak waktu antara terjadinya solusio plasenta
sampai pengosongan uterus. Angka kematian ibu 0,5%-5% di seluruh dunia.
Kebanyakan karena perdarahan (segera atau lambat) atau gagal jantung atau ginjal
Janin
Pada solusio plasenta berat sekitar 50%-80% mengalami kematian. 15% sudah tidak
terdengar denyut jantung janin saat tiba di Rumah Sakit, dan 50% dalam kondisi gawat
janin. Pada solusio plasenta ringan dan sedang kematian janin tergantung dari luas
plasenta yang terlepas dan usia kehamilan. 15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Perdarahan antepartum terjadi setelah kehamilan 22 minggu.
2. Perdarahan antepartum terdiri dari plasenta previa dan solusio plasenta.
3. Penyebab dari perdarahan antepartum sampai saat ini belum diketahui, namun ada
beberapa faktor risiko yang menunjang sampai terjadinya plasenta previa, solusio plasenta.
4. Diagnosis dari perdarahan antepartum saat ini yang lebih akurat adalah dengan
pemeriksaan ultrasonografi.
5. Penanganan perdarahan antepartum adalah dengan tindakan secara ekspektatif, aktif dan
operasi seksio caesarea.
6. Komplikasi yang paling berbahaya adalah syok oleh karena perdarahan sehingga harus
ditangani lebih awal/segera.
7. Prognosis pada perdarahan antepartum baik bila ada fasilitas yang cukup memadai.
3.2 Saran
Ibu hamil dengan riwayat abortus, umur > 35 tahun dan multipara perlu memeriksakan
kehamilannya lebih intensif karena risiko plasenta previa, dan untuk pengenalan lebih dini
28
sebaiknya dilakukan pemeriksaan USG pada umur kehamilan diatas 28 minggu pada ibu
hamil dengan faktor-faktor risiko tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Yoseph. Perdarahan Selama Masa Kehamilan. Dalam : Cermin Dunia Kedokteran.
EGC, Jakarta,1996:32-5.
2. Ariani DW, Astari MA, Anita H. Pengetahuan Sikap dan Perilaku tentang Kehamilan,
Persalinan, serta Komplikasinya pada Ibu Hamil Nonprimigravida di RSUPN Cipto
Mangunkusumo. Majalah Kedokteran Indonesia, vol 55, Jakarta,2005:637-48.
3. Chalik TMA. Plasenta Previa. Dalam : Hemoragi Utama Obstetri dan Ginekologi, Ed I.
Widya Medika, Jakara,2005:129-43.
4. Rachimhadi T, Wibowa B. Perdarahan Antepartum. Dalam: Ilmu Kebidanan
Prawirohardjo S., Winkjosastro H., Saifudin A B., Rachimhadi T., eds, edisi ketiga.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta,2005:362-76.
5. Winkjsosastro, Hanifa dkk. Perdarahan Antepartum. Dalam : Sinopsis Obstetri, Edisi 1.
EGC,Jakarta,2005:105-11.
6. Pengurus Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Perdarahan Antepartum.
Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi Bag.I,Jakarta,2006.
7. Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NF. Obstetri Williams, edisi 21.
Airlangga,Surabaya,2001:456-70.
8. Prawirohardjo S, Hanifa W. Kebidanan dalam Masa Lampau, Kini dan Kelak. Dalam:
Imu Kebidanan, edisi III. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, Jakarta,2006:3-
21.
9. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom, Hauth, Rouse, Spong. Obstetrical Hemorrhage. In
Williams Obstetrics, 23rd Ed. New York : Saunders, 2010. (CD rom)
10. Saifuddin AB, Adriaansz G, Wiknjosastro GH Waspodo D. Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. JNPKKR-YBPSP,Jakarta,2001.
11. Gasong MS, Hartono E, Moerniaeni N. Penatalaksanaan Perdarahan Antepartum.
Bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNHAS,1997:3-8.
29
12. Trijatmo R, Wibowo B. Perdarahan Antepartum. Dalam : Hanifah W, Saifudin AB,
Rachimhadhi T, penyunting. Ilmu Kebidanan, edisi ke-3. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo,Jakarta,2005:362-85.
13. Iram S, Azis NA, Ansa I. Abruptio Placentae and It’s Complications at Ayub Teaching
Hospital Abbottabad. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2006; 18(1). Hal : 1-5.
14. Winda. Asuhan Kebidanan Kepada Ibu Hamil dengan Plasenta Letak Rendah. Politeknik
Departemen Kesehatan Tanjung Karang Prodi Kebidanan Metro.2007
15. Suyono, Lulu, Gita, Harum, Endang. Hubungan Antara Umur Ibu Hamil dengan
Frekuensi Solusio Plasenta di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Cermin Dunia
Kedokteran vol.34 no.5/158 Dsep-Okt. 2007 : 233-8.
16. Jaffe MH, Schoen WC, Silver TM, Bowerman RA, Stuck KJ. Sonography of Abruptio
Placentae. American Journal Roentgen Ray.1981; 137(5). Hal : 1049-54.
30