Anda di halaman 1dari 12

Rubrik Edukasi Fiskal

Syahrir Ika

Kedaulatan Pangan dan Kecukupan Pangan


Negara Wajib Mewujudkannya

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki bagi penduduk suatu Negara.
Karena itu, sejak berdirinya Negara Republik Indonesia, UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa
Negara wajib menjalankan kedaulatan pangan (hak rakyat atas pangan1) dan mengupayakan
terpenuhinya kebutuhan pangan bagi penduduk. Kewajiban dimaksud mencakup kewajiban menjamin
ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan
bergizi seimbang2. Untuk bisa melaksanakan kewajiban tersebut secara efektif, maka Negara wajib
menguasai sumber daya alam untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat (UUD 1945
pasal 33 ayat 3).
Selain sebagai hak asasi manusia, pangan juga memiliki peran strategis bagi suatu Negara
karena dapat mempengaruhi kondisi sosial, ekonomi, dan politik Negara tersebut. Banyak negara yang
mampu berubah menjadi negara maju karena kemajuan sektor pertaniannya, sebut saja China,
Jerman, Australia, dan New Zealand. Tatkala ketersediaan pangan menjadi langka, maka rakyat bisa
bertindak anarkis dan menurunkan rezim pemerintahan yang sedang berkuasa sebagaimana yang
dialami di Mesir dan Aljazair3. Pertanyaannya, apakah Negara sudah berhasil menegakkan kedaulatan
pangan dan memenuhi kecukupan pangan bagi penduduk Indonesia?

Ekonomi Pangan : Potensi Besar Tetapi Belum Dioptimalkan


Paling tidak, ada tiga argumen untuk mengatakan bahwa potensi di sektor pangan bisa
diandalkan menjadi penyangga utama kekuatan ekonomi Indonesia. Pertama, dari sisi sumber daya
alam (SDA), Indonesia memperoleh keberuntungan sebagai Negara agraris.Tata letak wilayah
Indonesia yang persis berada di garis katulistiwa memiliki iklim tropis dengan dua musim, yaitu di
wilayah bagian selatan banyak kemarau dan di wilayah bagian utara banyak hujan. Kondisi iklim dan
musim yang demikian memungkinkan sebagian besar jenis tanaman dan hewan ternak bisa tumbuh

1
Hak rakyat atas pangan diartikan sebagai hak untuk mendapatkan akses yang teratur, tetap dan bebas, baik secara langsung maupun
dengan cara membeli (Taufiqul Mujib, 2011:38). Lihat artikelnya berjudul “Hak Atas Pangan Sebagai Hak Konstutusional”. 2011.
Artikel ini merupakan bagian dari buku “Ekonomi Politik Pangan”, yang disunting oleh Francis dkk. Penerbit Bina Desa-Cindebooks.
Jakarta. Taufiqul Mujib adalah Direktur Program pada Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS), dan juga National
Rapporteur on the Right to Food.
2
Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan -yang sudah direvisi menjadi UU Nomor 18 tahun 2012
3
Krisis roti di mesir berakhir dengan jatuhnya Presiden Mesir, Hosni Mubarak. Tingginya harga pangan di Tunisia berakhir dengan
jatuhnya Presiden Zine al-Abidine Ben Ali. Sementara krisis pangan di Aljazair membuat rakyat Aljazair turun ke jalan-jalan meminta
Presiden Abdelaziz Bouteflika turun dari jabatannya.
dan berkembang dengan baik. Selain itu, setiap wilayah di Indonesia memiliki keunggulan sumber daya
masing-masing yang bisa menjadi penyangga pangan bagi semua penduduk Indonesia. Kebutuhan
daging sapi nasional bisa disuplai dari daerah Nusa Tenggara. Kebutuhan beras nasional bisa disuplai
oleh beberapa daerah di Jawa dan Sulawesi Selatan. Kebutuhan hortikultura dan gula nasional bisa
disuplai oleh beberapa daerah di Sulawesi, Jawa dan Sumatera. Sementara wilayah Sulawesi, Maluku
dan Papua sangat potensial menjadi penyangga stok ikan dan hasil-hasil laut nasional.
Kedua, lebih dari 50 persen penduduk Indonesia memilih usaha tani sebagai mata pencaharian
pokoknya. BPS melaporkan bahwa jumlah Rumah Tangga Usaha Tani (RTUT) pada tahun 2013
sebanyak 26,13 juta RT (Suryamin, Kepala BPS, DetikFinance, 2013)5. Artinya, apabila masing-masing
RTUT memiliki 3 anak saja, maka jumlah penduduk yang bekerja pada sektor usaha tani mencapai
sekitar 130,6 juta orang atau sekitar 56,8 persen (asumsi jumlah penduduk Indonesia sebanyak 230
juta orang).
Ketiga, dari sisi potensi SDM, Indonesia memiliki banyak sarjana pertanian yang dapat
diandalkan untuk meningkatkan produksi hasil-hasil pertanian sehingga masalah suplai pangan bisa
diatasi dengan baik. Data Ditjen Dikti Kementerian Pendidikan Nasional, yang dirilis PISPI
menunjukkan bahwa lulusan sarjana pertanian termasuk didalamnya sarjana peternakan dan
perikanan Indonesia mencapai sekitar 3,32 persen dari seluruh lulusan sarjana di Indonesia (Salman
Dianda Anwar, Wakil Ketua Umum 2012). Dengan demikian, jumlah sarjana pertanian di seluruh
Indonesia mencapai sekitar 300 ribu orang lebih. Ditjen Dikti juga melaporkan bahwa setiap tahun
kelulusan sarjana pertanian mencapai sekitar 34 ribu sarjana sehingga total sarjana pertanian akan
mendekati angka 400 ribu orang pada akhir tahun 2013. Bila negara memberikan perhatian yang
signifikan kepada para ahli pertanian ini, misalnya penciptaan kondisi atau iklim usaha yang
menjanjikan keuntungan dan memberikan insentif bagi para peneliti dan penyuluh pertanian, maka
produktivitas hasil-hasil pertanian akan meningkat dan Indonesia akan menjadi salah satu negara yang
tidak saja mampu memberi makan kepada semua rakyatnya, tetapi juga mampu memberi makan
kepada sebagian penduduk dunia.
Potensi sumber daya pangan dan SDM yang kita miliki ternyata belum mampu
ditransformasikan menjadi kemakmuran dan kesejahteraan bagi penduduk Indonesia. Data yang dirilis
pemerintah (BPS) maupun lembaga-lembaga internasional menyebutkan bahwa sebagian besar rumah
tangga petani Indonesia masih merupakan rumah tangga miskin bahkan tidak sedikit dari mereka yang
mengalami kelaparan dan kurang gizi. Selain itu, peranan sektor pertanian terhadap PDB juga masih

5
http://finance.detik.com/read/2013/09/02/151830/2347057/4/dalam-10-tahun-jumlah-petani-ri-berkurang-16-jadi-2613-juta-keluarga,
diakses tanggal 6 September 2013.
rendah, di mana pada tahun 2012 hanya mencapai sekitar 14,2 persen padahal sektor pertanian
menyerap sekitar 40% tenaga kerja10.
Impor pangan dalam jumlah yang besar juga telah memperburuk neraca perdangan dan
membuat Indonesia semakin bergantung pada pangan impor. Pada tahun 2011, nilai impor pangan
Indonesia sudah mencapai sekitar US$20,6 miliar, suatu jumlah yang tidak kecil untuk ukuran
Indonesia yang merupakan Negara agraris. Sementara dari sisi neraca perdagangan, kecuali neraca
pangan perkebunan yang masih surplus, neraca perdagangan pangan lainnya mengalami defisit.
Tanpa melakukan revitalisasi peran Negara di sektor pertanian dan pangan, masalah ini akan semakin
sulit diatasi.

Problematika Pangan Indonesia


Ada beberapa faktor yang terindikasi sebagai penyebab performa sektor pertanian di Indonesia
masih belum berkembang sesuai yang diharapkan, yaitu antara lain:

1. Kendala produksi
Kementerian Pertanian sering merilis data bahwa setiap tahun terdapat sekitar 110.000 hektare
lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian. Jumlah sawah baru yang dicetak
pemerintah (dengan dukungan dana APBN) hanya mencapai 20.000 hingga 40.000 hektare per tahun,
tidak sebanding dengan lahan sawah yang terkonversi11. Akibatnya, produksi pangan semakin terbatas
dibandingkan dengan permintaan yang terus meningkat. Beberapa produk pangan strategis seperti
beras, kedelai, bawang merah, cabai, daging sapi, dan buah-buahan segar semakin langka di pasaran.
Di sisi lain, permintaan masyarakat terus bertambah seiring dengan penambahan jumlah
penduduk. Akibatnya, daerah-daerah yang semestinya menjadi penyangga pangan nasional, ternyata
kini mengalami defisit pangan sehingga harus mendatangkan pangan dari Daerah atau Negara lain.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, impor pangan dipakai sebagai solusi rutin untuk mengatasi defisit
pangan, yang tentunya menghabiskan banyak devisa negara. Langkah pemerintah untuk
membolehkan impor beberapa komoditas pangan strategis juga telah menurunkan motivasi para petani
untuk berproduksi karena harga jual pangan impor lebih rendah dari harga jual di tingkat petani. Biaya
produksi petani kian meningkat karena mahalnya sewa lahan dan benih pangan hibrida yang dihasilkan
oleh korporasi asing dari AS, Jepang, dan Thailand.

2. Terbatasnya Tenaga Penyuluh Pertanian

10
Didik J Rachbini, Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3I) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia,
www.republika.co.id, 03 September 2013.
11
Dirjen Prasarana dan Sarana Kementerian Pertanian Gatot Irianto, http://wartaekonomi.co.id/berita15795/imf-indonesia-mesti-
tingkatkan-produktivitas-sektor-pertanian.html, diakses tanggal 2 September 2013.
Program “satu desa-satu penyuluh” yang telah dicanangkan pemerintah merupakan program
yang kredibel. Namun, hingga saat ini program itu tidak berjalan efektif. Satu desa satu penyuluh masih
sulit sekali diwujudkan. Menurut Menteri Pertanian, Suswono (2013), saat ini jumlah penyuluh
pertanian hanya sebanyak 48 ribu orang, terdiri dari 27 ribu pegawai negeri sipil (PNS) dan 21 ribu
tenaga honorer lapangan (THL), sementara di seluruh Indonesia terdapat 70 ribu desa13.
Apakah pemerintah sulit mencari tenaga penyuluh yang hanya sebanyak 70 orang tersebut?
Mestinya tidak sulit karena jumlah sarjana pertanian yang dimiliki Indonesia mencapai lebih dari 300
ribu orang. Pertanyaannya, apakah para sarjana pertanian ini bergerak ke sektor pertanin ataukah ke
sektor non-pertanian. Sedikitnya sarjana pertanian yang masuk ke sektor pertanian mengindasikan
bahwa sektor pertanian kurang menarik atau tidak menjanjikan masa depan yang baik. Paling tidak
terdapat empat kemungkinan faktor yang menyebabkan masalah ini muncul.
Pertama, insentif yang disediakan pemerintah mungkin saja memadai tetapi salah sasaran.
Kedua, insentif yang disediakan pemerintah kurang memadai sehingga tidak menstimulasi para ahli
pertanian bekerja di sektor pertanian. Ketiga, potensi penghasilan tinggi ditawarkan oleh sektor
manufakturdan sektor lembaga keuangan seperti perbankan, asuransi dan pasar modal. Keempat,
para sarjana pertanian ini tidak diberi bekal ilmu-ilmu enterpreneurship yang memadai pada saat
mereka menduduki bangku kuliah.

3. Mahalnya harga benih


Peran korporasi pangan semakin menguasai ekonomi pangan Indonesia semenjak pemerintah
membentang “karpet merah” bagi korporasi pangan, khususnya asing. Korporasi pangan milik asing,
sudah merambat dari produksi ke perbenihan. Benih, yang mestinya bisa dibuat sendiri oleh petani
Indonesia dan korporasi domestik, kini sudah dikuasai korporasi asing selama kurang lebih 10 tahun
terakhir. IGJ (International Global Jastice) melaporkan bahwa empat perusahaan asing, yaitu
Monsanto, Dupont, Syngenta, dan Charoen Pokphand, telah mengusai penjualan dan produksi
benih di Indonesia. Monsanto Indonesia misalnya, melaporkan bahwa pangsa pasar benih jagung
hibrida saat ini sebesar 15%. Ke depan, Monsanto Indonesia optimis mampu menaikkan porsi pasar
benih jagung hibrida menjadi 30% terutama ditujukan untuk pemenuhan pakan ternak nasional pada
tahun ini yang berkisar 6-7 juta ton (Chris J. Peterson, Country Lead Monsanto Indonesia,
kabarbisnis.com, 29 April 2013).
PT SHS (Sang Hyang Seri), sebuah BUMN yang bergerak dalam bidang perbenihan memiliki
peran yang relatif kecil dalam pasar benih hibrida. Benih padi hibrida yang dihasilkan BUMN ini hanya
mampu mensuplai sekitar 35 persen dari total kebutuhan benih hibrida nasional sekitar 10 ribu ton.
13
Mentan: jumlah penyuluh pertanian perlu ditingkatkan (http://www.antaranews.com/berita/376208/mentan-jumlah-penyuluh-pertanian-
perlu-ditingkatkan), diakses tanggal 6 September 2013.
Sementara benih jagung hibrida yang dihasilkan SHS juga kontribusinya sangat kecil, sekitar 10 persen
dari kebutuhan nasional sebesar 99 ribu ton. Kebutuhan benih hibrida sektor holtikultura malah tidak
mampu disuplai oleh SHS. BUMN ini hanya mampu memasok 2 persen dari kebutuhan nasional sekitar
7 ribu ton. Dengan kata lain, lebih dari 90 persen benih pangan hibrida dikuasai korporasi asing, baik
yang diproduksi di dalam negeri maupun didatangkan dari negara lain (impor). Peluang asing di bidang
perbenihan terbuka lebar setelah pemerintah mengeluarkan Undang-undang nomor 25 Tahun 2007
tentang Penaman Modal. Peranan perusahaan asing juga meningkat setelah pemerintah menerbitkan
UU No.12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budi Daya Tanaman, yang antara lain melarang petani
melakukan pembudidayaan benih.
Kehadiran dua UU ini jelas-jelas mengancam keberadaan para petani kecil yang semestinya
harus dilindungi oleh pemerintah. Petani harus membeli benih dari korporasi (BUMN dan Swasta asing)
yang harganya sangat mahal. Beruntung, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menetapkan bahwa
kalimat “perseorangan” pada pasal 9 UU No.12 Tahun 1992 tidak memiliki kekuatan hukum sehingga
petani boleh melakukan pemuliaan tanaman tanpa harus memperoleh izin dari pemerintah.

4. Subsidi pangan masih belum efektif


Setiap tahun Pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi (antara lain pangan, benih, pupuk,
dan kredit tani). Tujuannya untuk mendorong peningkatan produksi pangan, mengurangi impor pangan,
meringankan biaya produksi petani, serta mengupayakan terwujudnya swasembada pangan.
Pemerintah juga memberikan bantuan beras (subsidi) kepada golongan rakyat miskin untuk memenuhi
hak dan pemenuhan kebutuhan pangan rakyat (Tabel 1). Dalam periode 2006-2011, subsidi pertanian
(non-energi) meningkat tajam dari Rp12,8 triliun menjadi Rp41,9 triliun. Subsidi yang bersifat rutin
adalah pangan, pupuk, benih, bunga kredit pinjaman dan PSO. Sementara jenis subsidi lain seperti
kedelai dan minyak goreng, tidak bersifat rutin atau dialokasikan sesuai kondisi tertentu. Dari total
subsidi pertanian sekitar Rp41,9 triliun, sekitar Rp34,1 triliun diantaranya atau sekitar 81,31 persen
adalah subsidi pangan dan subsidi pupuk.
Tabel-1 : Perkembangan Subsidi 2006, 2008, dan 2011 (miliar rupiah)
Perkembangan Subsidi
Uraian Subsidi 2006 2008 2011 (APBN-P)
Energi (BBM+Listrik) 94.065,4 223.013,2 195.288,7
Non Energi (umumnya pertanian) 12.826,4 52.278,1 41.906,0
• Pangan 5.320,2 12.095,9 15.267,0
• Pupuk 3.165,7 15.181,5 18,803,0
• Benih 131,1 985,2 120,3
• PSO 1.795,0 1.729,1 1.849,4
• Bunga Kredit Program 286,2 939,3 1.866,2
• Minyak Goreng - 103,3 -
• Kedele*) - 225,7 -
1.863,8 21.018,2 4.000,0
• DTP
• Subsidi Lainnya 264,4 - -
Jumlah 107.431,8 275.291,4 237.194,7
Sumber : Nota Keuangan dan APBN 2012, Kementerian Keuangan RI
*) Selama tahun 2006 hingga 2011, Pemerintah hanya sekali mensubsidi kedelai, yaitu pada tahun 2008

Data pada Tabel 2 menunjukan bahwa dalam kurun waktu 2005-2010, produksi beras memang
meningkat, akan tetapi peningkatan tersebut masih berada di bawah tingkat konsumsinya, sehingga
kekurangannya terpaksa harus diimpor. Dengan demikian, sasaran kebijakan subsidi untuk
mengurangi impor beras dapat dinilai kurang efektif.
Tabel-2. Produksi dan Konsumsi Beras Nasional, 2005-2011
Tahun Produksi Beras Konsumsi Beras Impor
(Juta Ton) (Juta Ton)* (Juta Ton)
2005 34,96 35,74 0,54
2006 35,30 35,90 2,00
2007 37,00 36,35 0,35
2008 38,31 37,10 0,25
2009 36,37 38,00 1,15
2010 38,00 38,55 0,95
Sumber : BPS dan *USDA, 2011 (diolah)

5. Ketergantungan Pangan Impor kian Meningkat


Ada dugaan bahwa pengaruh globalisasi dengan ideologi neoliberalisme telah memaksakan
petani dan Negara membuat pilihan yang tidak nyaman dan saling bertentangan. Pakar ekonomi
pertanian, Francis Wahono (2011), menilai bahwa pilihan kebijakan dan praktik pemerintah banyak
yang melantarkan rakyat, termasuk petani. Praktik impor beras misalnya, kadang zero tariff. Contoh
lainnya misalnya persereoanisasi Bulog, izin masuk bibit transgenetik, sertifikasi tanah dan privatisasi
air, reformasi agraria dengan 40 persen tanah untuk korporasi, dan legalisasi illegal loging. Harga
pangan yang diserahkan kepada mekanisme pasar membuat Indonesia kurang giat mendorong
produksi dan sebaliknya semakin bergantung pada pangan impor. Walaupun kritik Francis Wahono ini
amat pedas di telinga pemerintah, tetapi pemerintah bisa menjadikan kritik ini untuk introspeksi.
Mungkin ada beberapa kebijakan perlu direvisi.
Fakta memang menunjukkan bahwa pada tahun 2011, pemerintah mengizinkan impor beras
sebanyak 1,57 juta ton dengan nilai Rp7,04 triliun. Pemerintah juga mengizinkan impor kedelai
sebanyak 2,08 juta ton untuk memenuhi 71 persen kebutuhan dalam negeri. Selain beras dan kedelai,
pemerintah juga memberi izin impor jagung sebanyak 3,5 juta ton dan sepanjang tahun 2012,
Indonesia juga mendatangkan singkong sebanyak 6.399 ton dengan nilai US$2,6 juta,16.
Meningkatnya trend impor pangan ini telah membuat neraca perdagangan “tanamam pangan”
mengalami defisit dan meningkat dari US$1,07 miliar pada tahun 2009 menjadi US$6,43 miliar pada
tahun 2011. Defisit neraca perdagangan sub sektor tanaman pangan dikontribusi oleh 4 komoditas

16
Tony Kristanti, Dewan Jagung Indonesia, ipasar, 7 November 2012
utama, yaitu Gandum, Beras, Jagung Segar dan Kedelai Segar. Pada tahun 2011, masing-masing
komoditi tersebut mengalami defisit perdagangan sebesar US$2,2 miliar, US$1,5 miliar, US$1,0 miliar,
dan US$1,2 miliar.

6. Petani sulit mengakses sumber-sumber pembiayaan murah


Salah satu persoalan yang dihadapi petani (terutama petani tanaman pangan, peternak dan
nelayan) adalah akses terhadap permodalan. Dari sisi prudential, tentu perbankan akan lebih nyaman
untuk memberikan pinjaman kepada usaha perkebunan, yang umumnya dikelola oleh perkebunan
besar di bawah manajemen korporasi, baik BUMN maupun swasta, baik nasional maupun asing dan
joint venture. Sementara sebagian besar petani memiliki usaha yang mungkin saja feasible, akan tetapi
non-bankable atau sebaliknya, sehingga pemerintah harus mencari cara untuk mengakseskan mereka
ke lembaga keuangan, baik perbankan maupun non-perbankan.
Untuk membantu permodalan para petani, pemerintahan SBY memperkenalkan dan
mengimplementasikan suatu skim pembiayaan yang disebut KUR (Kredit Usaha Rakyat). Salah satu
sasaran dari program KUR adalah para petani dan para nelayan. Namun, dalam praktiknya, dana KUR
sedikit sekali yang diserap oleh sektor pertanian. Dari total penyaluran KUR yang disalurkan sampai
dengan 30 Juni 2011 sebesar Rp24,8 triliun, sebagian besar (Rp14,86 triliun atau 59,9%) diserap oleh
sektor perdagangan besar dan eceran, dengan jumlah debitur mencapai 3.679.904 debitur (76,6%).
Sementara sektor pertanian hanya menyerap sekitar Rp4,62 triliun (18,6%) dengan debitur sebanyak
634.489 debitur (13,2%). Begitu juga sektor perikanan, hanya menyerap sekitar Rp44 miliar (0,18%)
dengan 1.060 debitur (0,02%).

7. Peran Bulog (Badan Urusan Logistik) masih lemah


Sejak IMF (International Monetary Fund), status Bulog diubah dari LKND (Lembaga
Kementerian Non-Departemen) menjadi BUMN dengan status badan hukum Perum (Perusahaan
Umum). Mulai saat itu, Bulog (atas permintaan IMF) dilarang mengendalikan harga pangan, kecuali
beras. Mulai saat itu juga, pemerintah melepas kontrol stok maupun harga sejumlah produk pangan
strategis, seperti daging, jagung, kedelai, susu, bawang merah, hortikultura, dll. Proteksi pemerintah
terhadap masuknya bahan-bahan pangan ini dari negara lain (impor) juga semakin berkurang. Selain
itu, beberapa korporasi pangan terindikasi melakukan praktik “kartel” yang dalam banyak hal sulit
dipangkas pemerintah. Dampaknya adalah sering terjadi kelangkaan pangan dan gejolak harga
pangan yang sering kali membuat panik masyarakat.

8. Strategi agri-culture dikalahkan oleh Strategi agri-business


Para peserta Konferensi Internasional Kedaulatan Pangan di Nyeleni-Mali pada tahun 2007
bersepakat dengan pandangan bahwa konsep pembangunan pertanian berbasis agri-business tidak
akan mampu menjawab permasalahan petani dunia dan bahkan mendorong terjadinya krisis pangan.
Francis Wahono (2011) mengatakan bahwa “suatu negara akan rapuh eksitensinya bila tidak dapat
menyelenggarakan dan menggerakan rakyat untuk mengadakan pangan”. Benar, bahwa membeli
pangan adalah salah satu bentuk usaha pengadaan, akan tetapi itu amat rapuh, selain karena Negara
akan sangat tergantung pada persediaan dan harga di tingkat perdagangan internasional, juga belum
tentu rakyat memiliki uang untuk membelinya26.
Pendekatan agri-business menuntut pemerintah untuk memenuhi permintaan investor,
termasuk permintaan pembebasan tanah dan penguasaan air untuk menjadi salah satu persyaratan
investasi di Indonesia. Padahal tanah dan air harus dikuasai Negara dan menjadi hak petani untuk
menciptakan kemakmuran sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Bila sebagian besar
tanah pertanian dikuasai korporasi besar, apalagi milik asing, maka “kedaulatan pangan menjadi
tergadai”. Pajak yang besar (dari manapun sumbernya), mestinya untuk rakyat, tidak menjadi cash-
back ke negara investor. Bila kondisi ini tidak segera dibenahi, maka suatu saat, bisa jadi muncul class
action dari rakyat untuk menggugat hak mereka memperoleh kedaulatan pangan.

Box-1 : Makna Kedaulatan Pangan

Kedaulatan pangan (food sovereignty) diartikan sebagai “pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi
baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah
lingkungan” (Henry Saragih, 2011).
Kedaulatan pangan adalah “hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri
dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari
kekuatan pasar internasional” (SPI, 2013).
Kedaulatan pangan juga merupakan pemenuhan hak manusia untuk menentukan sistem pertanian dan
pangannya sendiri yang lebih menekankan pada pertanian berbasis agri-culture–berdasarkan pada prinsip
keluarga atau solidaritas- dan bukan pertanian berbasiskan agri-business –berdasarkan pada profit semata.
Negara mempunyai otoritas serta kapasitas untuk mengkonsolidasikan berbagai macam sumber daya
ekonomi dan politik yang tersedia demi kepentingan pemenuhan hak atas pangan (Taufiqul Mujib, 2011).

Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah


1. Reformasi agraria
Pemerintah punya beberapa pilihan strategi untuk menjamin ketersediaan dan kecukupan
pangan bagi penduduk Indonesia. Pertama, strategi ketahanan pangan (food security). Kedua, strategi
swasembada pangan. Bila benchmark ke China, pemerintah China memilih strategi swasembada
pangan untuk membuat jalan menuju kemakmuran rakyat China. Pemerintah China (di bawah Perdana
26
Lihat artikelnya berjudul “Runtuhnya Kedaulatan Pangan, Lunturnya Budaya Tani, dan Rapuhnya Ketahanan Bangsa”. Artikel tersebut
merupakan bab Bab 1 dari buku berjudul “Ekonomi Politik Pangan”, yang disunting oleh Francis, Dwi Astuti, dan Sabic Caresbeth. 2011.
Penerbit Bina Desa-Cindebooks. Jakarta, halaman 1-2.
Menteri Zhao Jiang) melakukan reformasi pembangunan ekonomi yang dimulai dari sektor
pertaniannya. Salah satu kebijakan penting dalam reformasi pembangunan pertanian di China adalah
membagi-bagikan lahan pertanian (reformasi agraria) kepada para petani agar terjamin adanya
kapasitas usaha tani yang ekonomis27. Hasil dari reformasi di China adalah kemajuan ekonomi yang
sangat menakjubkan. China berhasil mencapai swasembada beberapa produk pangannya bahkan bisa
memberi makan penduduk di banyak negara, termasuk Indonesia.
Fakta yang ada saat ini menunjukan bahwa areal sawah di Indonesia tidak terlalu luas
dibandingkan dengan yang dimiliki negara lain, yaitu hanya seluas 8 juta hektar, kalah dibandingkan
dengan Thailand yang memiliki areal sawah sekitar 9 juta hektar. Rata-rata petani di Indonesia hanya
menguasai sekitar 0,3 ha sawah per kepala, kalah dari Thailand yang menguasai sekitar 3 ha sawah
per kepala. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk, luas lahan sawah yang dipunyai Indonesia
seluas yang dimiliki Vietnam, padahal penduduk Vietnam hanya sebanyak 78 juta orang atau 32,5%
dari penduduk Indonesia. Begitu juga dengan Thailand, negara gajah ini memiliki lahan sawah sekitar 9
juta hektar, akan tetapi penduduknya hanya sebanyak 80 juta orang atau 33% dari penduduk
Indonesia. Australia lebih fenomenal lagi karena memiliki lahan seluas 50 juta hektare padahal
penduduknya hanya sebanyak 19 juta atau sekitar 8% penduduk Indonesia (lihat Grafik-1).

300
240
250

200 3x

150 30 x

9,75 x 80
100 78
50
50 19
8 8 9
0
Indonesia Vietnam Thailand Asutralia

Penduduk (juta orang) Luas Areal Sawah (juta hektar)

Grafik-1 : Luas Areal Sawah di Indonesia, Vietnam, Thailand dan Asutralia

Jadi, potensi sawah di Indonesia belum dapat dioptimalkan dengan baik. Bila tidak ada upaya
pencetakan sawah baru, maka Indonesia bisa mengalami defisit beras sepanjang tahun mengingat
jumlah penduduknya yang sangat banyak dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Bila menggunakan
Vietnam sebagai benchmark (8 juta hektar per 78 juta penduduk), maka kebutuhan areal sawah
minimal di Indonesia (agar menyamai kondisi di Vietnam) harus sebanyak 30 juta hektar. Artinya,

27
Gregori C.Chow. 2010. “Interpreting China’s Economy”. World Scientific Publishing Co.pte.Ltd.Singapore. Diterjemahkan oleh
Rahmani Astuti. PT Serankai Tiga Pustaka Mandiri-Solo. 2011. Halaman 195-197.
pemerintah harus menambah areal sawah baru seluas 22 juta hektar. Bila pemerintah berkomitmen
mencetak sawah baru seluas 1 juta hektere per tahun, maka untuk menyamakan Indonesia dengan
kondisi Vietnam hari ini, diperlukan waktu sekitar 22 tahun ke depan. Bila pemerintah ingin menyamai
Vietnam, perlu stimulus fiskal yang lebih besar lagi. Bila hari ini besarannya sekitar Rp40 triliun, maka
diperlukan stimulus fiskal sekitar tiga kalinya atau sekitar Rp120 triliun (ilustrasi lihat Grafik-1). Jika hal
itu tidak dilakukan pemerintah, maka pemerintah akan terus melakukan impor beras.
2. Membuka jalan agri-culture atau state subsidies bagi petani
Di negara-negara maju seperti USA, EU, Jepang, Australia, New Zealand dan Kanada,
pemerintah memproteksi perdagangannya dan memberikan subsidi yang cukup besar untuk produksi
pangan mereka. Jepang misalnya, menetapkan tarif impor beras hingga mencapai 400 persen,
sementara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) mensubsidi pertaniannya melalui research and
development. Begitu juga Asutralia masih mensubsidi gandum hingga 40 persen28. Negara-negara EU
mensubsidi petani gulanya sebesar 50 euro untuk setiap ton panen tanaman penghasil gula. EU juga
mensubsidi dana sebesar US$913 per kepala sapi kepada peternak sapi mereka. Begitu juga dengan
AS, di mana Presiden G.W.Bush pada Mei 2002 menandatangani “Farm of Bill” yang memuat subsidi
sebesar US$180 miliar, atau setara dengan Rp162 triliun dengan asumsi kurs Rp9.000/US$, jauh lebih
besar dibandingkan dengan anggaran untuk subsidi pupuk petani Indonesia tahun 2003 yang hanya
sebesar Rp1,3 triliun (Sabiq Carebesth dan Saiful Bahari, 201129).
Untuk meciptakan kedaulatan pangan, pemerintah harus memproteksi petaninya. Mendorong
petani untuk bertinju dengan korporasi pangan sama halnya dengan mematikan petani sendiri. Kalau
kita ingin berpihak kepada rakyat, maka tidak ada kata lain kecuali berpihak kepada petani. Untuk itu,
jalan yang harus dipilih adalah jalan agri-culture atau state subsidies.

3. Utamakan strategi swasembada pangan


Misi ketahanan pangan (food security) dalam kebijakan pangan dunia yang dijalankan PBB tahun
1971 adalah untuk membebaskan penduduk dari krisis produksi atau supply makanan pokok. Konsep
ketahanan pangan (food security) ini tidak mensyaratkan pemerintah di suatu Negara untuk
mewujudkan swasembada pangan. Akibatnya, implementasi konsep ketahanan pangan membuka
jalan bagi impor pangan. Impor pangan menjadi kebijakan yang rasional bila suatu negara yang
memang tidak mampu memproduksi pangan sendiri, baik karena lemahnya daya dukung SDA maupun
karena bencana alam yang dalam waktu singkat sulit menghasilkan pangan sesuai kebutuhan. Namun,

28
Ibid halaman 28
29
Lihat artikel mereka berjudul “Petani Kecil di Tengah Kebijakan Industrial Pangan”. Artikel tersebut merupakan bagian dari buku
“Ekonomi Politik Pangan”, yang disunting oleh Francis dkk. Penerbit Bina Desa-Cindebooks. Jakarta, halaman 181.
bila sebuah negara memiliki kekuatan dalam SDA dan tidak ada bencana yang signifikan, maka
melebarkan jalan bagi impor pangan merupakan kebijakan yang tidak kredibel.
Negara-negara seperti AS, Kanada, dan Australia, adalah contoh negara yang memiliki
ketahanan pangan yang kuat karena mencapai swasembada pangan. Selain itu, ada juga Negara yang
memiliki ketahanan pangan tetapi tidak dicapai melalui strategi swasembada pangan sebagaimana
terjadi di Jepang, Norwegia, dan Singapura30. Tetapi hal ini disebabkan karena negara-negara ini
memang tidak memiliki daya dukung SDA karena keterbatasan lahan pertanian. Indonesia mungkin
ada pada kondisi di mana ketahanan pangan lemah akibat belum swasembada pangan. Karena itu,
pemerintah membolehkan impor beberapa komoditas pangan untuk memperkuat ketahanan pangan.
Sampai kapan kebijakan ini bertahan, tergantung pada sejauhmana pemerintah bisa meningkatkan
level swasembada pangan untuk sejumlah komoditas pangan strategis seperti beras, jagung, kedelai,
hortikultura, daging sapi, dan gula.

Penutup

Baik dari industry analysis maupun environment analysis, Indonesia memiliki potensi besar
untuk menjadikan sektor pertanian sebagai penyangga utama perekonomian nasional dan penentu
kesejehteraan masyarakat. Diakui peran korporasi pangan, terutama asing, memang dominan, akan
tetapi hal itu bisa diatasi dengan meningkatkan kualitas negosiasi pemerintah dalam pertemuan-
pertemuan internasional dan keberanian pemerintah dalam memproteksi perdagangan serta
memberikan subsidi yang memadai kepada petani dan para peneliti untuk melakukan research and
development. Harus ada komitmen pemerintah untuk mengalokasikan anggaran, di mana persentase
anggaran R&D dan subsidi pangan terhadap PDB harus lebih besar dari yang terjadi saat ini.
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan swasembada pangan, banyak kendala yang
sebenarnya merupakan kedala internal yang mestinya bisa diselesaikan oleh pemerintah. Lahan
pertanian yang terbatas adalah masalah internal kita, mestinya sangat mudah diatasi dengan
keberanian melakukan reformasi agraria secara bertahap. Meningkatkan peran BUMN atau Swasta
Nasional untuk mengambil pangsa pasar di bidang benih hibrida, juga merupakan masalah internal.
Bila pemerintah diam, maka pangsa pasar korporasi domestik semakin mengecil karena direbut oleh
korporasi asing. Oleh karena Pemerintah harus memberikan BUMN atau Swasta Nasional peran yang
lebih besar.
Persoalan Bulog juga merupakan persoalan internal, bagaimana pemerintah memiliki desain
besar untuk benahi peran Bulog. Urusan Bulog mestinya dikelola di domain fiscal tools, bukan di

30
Lihat Stevens et al. (2000) dalam Lassa (2006) dan Borton and Shoham (1991)
domain political tools. Bila pengelolaannya di domain yang salah, maka Bulog akan tetap seperti saat
ini, tidak mampu menjadi buffer stock pangan yang kredibel. Solusi yang tepat buat Bulog adalah
kembalikan statusnya dari BUMN menjadi bagian dari Dewan Ketahahan Pangan Nasional dengan
kewenangan yang lebih besar. Undang-undang Pangan yang baru telah memberi ruang untuk
revitalisasi Bulog, tinggal keberanian pemerintah untuk mengeksekusinya.
Swasembada pangan juga urusan internal kita. Sebaliknya soal ketahanan pangan, itu lebih
merupakan kombinasi antara urusan internal dan urusan internasional karena ada campur tangan
negara besar disitu. Ada pihak-pihak di dalam negeri juga melakukan peran free rider untuk mengambil
rente perdagangan. Kalau pemerintah konsisten memperkuat ketahanan pangan melalui jalan
swasembada pangan, maka segala sumber daya, termasuk fiskal, harus diarahkan ke upaya
peningkatan level swasembada pangan. Agri-business jangan mendapat tempat di barisan depan
kegiatan pertanian. Karpet merah harus ditempati oleh agri-culture atau state-subsidies. Agre-business
akan bergerak mengikuti perkembangan agri-culture. Jadi, strategi agri-culturelah yang me-lead agri-
business, tidak sebaliknya.
Berapa besar atau apa saja komoditas pangan yang akan kita impor, juga merupakan urusan
internal kita. Keputusan berada di tangan pemerintah kita. Tinggal bagaimana membuat kebijakan yang
tepat dan menjalankannya secara konsisten. Harus ada kebijakan politik dalam urusan kedelai.
Pemerintah perlu menetapkan batasan maksimum berapa kebutuhan kedelai dapat dipasok dari
produksi dalam negeri. Selisih itu merupakan ruang untuk impor. Pemerintah bisa membuat kebijakan
yang jelas, misalnya SK-50 atau Swasembada Kedelai 50 persen. Artinya, 50 persen kebutuhan
kedelai nasional bisa dipasok dari dalam negeri, sedangkan 50 persen sisanya boleh diimpor.
Kebijakan ini harus disosialisasikan dengan baik agar tidak menimbulkan multi tafsir yang tidak perlu.
Dalam hal beras, misalnya SB-90 atau Swasembada Beras 90 persen, yang juga berarti pemerintah
boleh mengimpor 10 persen. Untuk itu, pemerintah harus memperkuat R&D, menjamin ketersediaan
lahan bagi petani, dan menyediaakan anggaran yang cukup untuk subsidi pangan.
Kalau saja di era pemerintahan SBY, program swasembada pangan (beras, kedelai, daging
sapi, dan hortikulutra) belum bisa dicapai, maka apa yang sudah dijalankan Presiden SBY beserta
jajaran kabinetnya, hendaknya dijadikan fondasi bagi pemerintahan baru untuk melahirkan kebijakan
yang lebih baik lagi. Tentu rakyat menanti Presiden baru dengan gagasan terobosannya untuk
membawa sektor pertanian dan petani terbang meninggalkan landasan kemiskinan dan
ketidaksejahteraan. Beberapa calon Presiden tahun 2014 sudah mulai menawarkan gagasan besarnya
ke publik pemilih, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana komitmen itu bisa direalisasikan
menjadi kenyataan. Kita tunggu buktinya.

Anda mungkin juga menyukai