Syahrir Ika
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki bagi penduduk suatu Negara.
Karena itu, sejak berdirinya Negara Republik Indonesia, UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa
Negara wajib menjalankan kedaulatan pangan (hak rakyat atas pangan1) dan mengupayakan
terpenuhinya kebutuhan pangan bagi penduduk. Kewajiban dimaksud mencakup kewajiban menjamin
ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan
bergizi seimbang2. Untuk bisa melaksanakan kewajiban tersebut secara efektif, maka Negara wajib
menguasai sumber daya alam untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat (UUD 1945
pasal 33 ayat 3).
Selain sebagai hak asasi manusia, pangan juga memiliki peran strategis bagi suatu Negara
karena dapat mempengaruhi kondisi sosial, ekonomi, dan politik Negara tersebut. Banyak negara yang
mampu berubah menjadi negara maju karena kemajuan sektor pertaniannya, sebut saja China,
Jerman, Australia, dan New Zealand. Tatkala ketersediaan pangan menjadi langka, maka rakyat bisa
bertindak anarkis dan menurunkan rezim pemerintahan yang sedang berkuasa sebagaimana yang
dialami di Mesir dan Aljazair3. Pertanyaannya, apakah Negara sudah berhasil menegakkan kedaulatan
pangan dan memenuhi kecukupan pangan bagi penduduk Indonesia?
1
Hak rakyat atas pangan diartikan sebagai hak untuk mendapatkan akses yang teratur, tetap dan bebas, baik secara langsung maupun
dengan cara membeli (Taufiqul Mujib, 2011:38). Lihat artikelnya berjudul “Hak Atas Pangan Sebagai Hak Konstutusional”. 2011.
Artikel ini merupakan bagian dari buku “Ekonomi Politik Pangan”, yang disunting oleh Francis dkk. Penerbit Bina Desa-Cindebooks.
Jakarta. Taufiqul Mujib adalah Direktur Program pada Indonesian Human Right Committee for Social Justice (IHCS), dan juga National
Rapporteur on the Right to Food.
2
Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan -yang sudah direvisi menjadi UU Nomor 18 tahun 2012
3
Krisis roti di mesir berakhir dengan jatuhnya Presiden Mesir, Hosni Mubarak. Tingginya harga pangan di Tunisia berakhir dengan
jatuhnya Presiden Zine al-Abidine Ben Ali. Sementara krisis pangan di Aljazair membuat rakyat Aljazair turun ke jalan-jalan meminta
Presiden Abdelaziz Bouteflika turun dari jabatannya.
dan berkembang dengan baik. Selain itu, setiap wilayah di Indonesia memiliki keunggulan sumber daya
masing-masing yang bisa menjadi penyangga pangan bagi semua penduduk Indonesia. Kebutuhan
daging sapi nasional bisa disuplai dari daerah Nusa Tenggara. Kebutuhan beras nasional bisa disuplai
oleh beberapa daerah di Jawa dan Sulawesi Selatan. Kebutuhan hortikultura dan gula nasional bisa
disuplai oleh beberapa daerah di Sulawesi, Jawa dan Sumatera. Sementara wilayah Sulawesi, Maluku
dan Papua sangat potensial menjadi penyangga stok ikan dan hasil-hasil laut nasional.
Kedua, lebih dari 50 persen penduduk Indonesia memilih usaha tani sebagai mata pencaharian
pokoknya. BPS melaporkan bahwa jumlah Rumah Tangga Usaha Tani (RTUT) pada tahun 2013
sebanyak 26,13 juta RT (Suryamin, Kepala BPS, DetikFinance, 2013)5. Artinya, apabila masing-masing
RTUT memiliki 3 anak saja, maka jumlah penduduk yang bekerja pada sektor usaha tani mencapai
sekitar 130,6 juta orang atau sekitar 56,8 persen (asumsi jumlah penduduk Indonesia sebanyak 230
juta orang).
Ketiga, dari sisi potensi SDM, Indonesia memiliki banyak sarjana pertanian yang dapat
diandalkan untuk meningkatkan produksi hasil-hasil pertanian sehingga masalah suplai pangan bisa
diatasi dengan baik. Data Ditjen Dikti Kementerian Pendidikan Nasional, yang dirilis PISPI
menunjukkan bahwa lulusan sarjana pertanian termasuk didalamnya sarjana peternakan dan
perikanan Indonesia mencapai sekitar 3,32 persen dari seluruh lulusan sarjana di Indonesia (Salman
Dianda Anwar, Wakil Ketua Umum 2012). Dengan demikian, jumlah sarjana pertanian di seluruh
Indonesia mencapai sekitar 300 ribu orang lebih. Ditjen Dikti juga melaporkan bahwa setiap tahun
kelulusan sarjana pertanian mencapai sekitar 34 ribu sarjana sehingga total sarjana pertanian akan
mendekati angka 400 ribu orang pada akhir tahun 2013. Bila negara memberikan perhatian yang
signifikan kepada para ahli pertanian ini, misalnya penciptaan kondisi atau iklim usaha yang
menjanjikan keuntungan dan memberikan insentif bagi para peneliti dan penyuluh pertanian, maka
produktivitas hasil-hasil pertanian akan meningkat dan Indonesia akan menjadi salah satu negara yang
tidak saja mampu memberi makan kepada semua rakyatnya, tetapi juga mampu memberi makan
kepada sebagian penduduk dunia.
Potensi sumber daya pangan dan SDM yang kita miliki ternyata belum mampu
ditransformasikan menjadi kemakmuran dan kesejahteraan bagi penduduk Indonesia. Data yang dirilis
pemerintah (BPS) maupun lembaga-lembaga internasional menyebutkan bahwa sebagian besar rumah
tangga petani Indonesia masih merupakan rumah tangga miskin bahkan tidak sedikit dari mereka yang
mengalami kelaparan dan kurang gizi. Selain itu, peranan sektor pertanian terhadap PDB juga masih
5
http://finance.detik.com/read/2013/09/02/151830/2347057/4/dalam-10-tahun-jumlah-petani-ri-berkurang-16-jadi-2613-juta-keluarga,
diakses tanggal 6 September 2013.
rendah, di mana pada tahun 2012 hanya mencapai sekitar 14,2 persen padahal sektor pertanian
menyerap sekitar 40% tenaga kerja10.
Impor pangan dalam jumlah yang besar juga telah memperburuk neraca perdangan dan
membuat Indonesia semakin bergantung pada pangan impor. Pada tahun 2011, nilai impor pangan
Indonesia sudah mencapai sekitar US$20,6 miliar, suatu jumlah yang tidak kecil untuk ukuran
Indonesia yang merupakan Negara agraris. Sementara dari sisi neraca perdagangan, kecuali neraca
pangan perkebunan yang masih surplus, neraca perdagangan pangan lainnya mengalami defisit.
Tanpa melakukan revitalisasi peran Negara di sektor pertanian dan pangan, masalah ini akan semakin
sulit diatasi.
1. Kendala produksi
Kementerian Pertanian sering merilis data bahwa setiap tahun terdapat sekitar 110.000 hektare
lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian. Jumlah sawah baru yang dicetak
pemerintah (dengan dukungan dana APBN) hanya mencapai 20.000 hingga 40.000 hektare per tahun,
tidak sebanding dengan lahan sawah yang terkonversi11. Akibatnya, produksi pangan semakin terbatas
dibandingkan dengan permintaan yang terus meningkat. Beberapa produk pangan strategis seperti
beras, kedelai, bawang merah, cabai, daging sapi, dan buah-buahan segar semakin langka di pasaran.
Di sisi lain, permintaan masyarakat terus bertambah seiring dengan penambahan jumlah
penduduk. Akibatnya, daerah-daerah yang semestinya menjadi penyangga pangan nasional, ternyata
kini mengalami defisit pangan sehingga harus mendatangkan pangan dari Daerah atau Negara lain.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, impor pangan dipakai sebagai solusi rutin untuk mengatasi defisit
pangan, yang tentunya menghabiskan banyak devisa negara. Langkah pemerintah untuk
membolehkan impor beberapa komoditas pangan strategis juga telah menurunkan motivasi para petani
untuk berproduksi karena harga jual pangan impor lebih rendah dari harga jual di tingkat petani. Biaya
produksi petani kian meningkat karena mahalnya sewa lahan dan benih pangan hibrida yang dihasilkan
oleh korporasi asing dari AS, Jepang, dan Thailand.
10
Didik J Rachbini, Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3I) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia,
www.republika.co.id, 03 September 2013.
11
Dirjen Prasarana dan Sarana Kementerian Pertanian Gatot Irianto, http://wartaekonomi.co.id/berita15795/imf-indonesia-mesti-
tingkatkan-produktivitas-sektor-pertanian.html, diakses tanggal 2 September 2013.
Program “satu desa-satu penyuluh” yang telah dicanangkan pemerintah merupakan program
yang kredibel. Namun, hingga saat ini program itu tidak berjalan efektif. Satu desa satu penyuluh masih
sulit sekali diwujudkan. Menurut Menteri Pertanian, Suswono (2013), saat ini jumlah penyuluh
pertanian hanya sebanyak 48 ribu orang, terdiri dari 27 ribu pegawai negeri sipil (PNS) dan 21 ribu
tenaga honorer lapangan (THL), sementara di seluruh Indonesia terdapat 70 ribu desa13.
Apakah pemerintah sulit mencari tenaga penyuluh yang hanya sebanyak 70 orang tersebut?
Mestinya tidak sulit karena jumlah sarjana pertanian yang dimiliki Indonesia mencapai lebih dari 300
ribu orang. Pertanyaannya, apakah para sarjana pertanian ini bergerak ke sektor pertanin ataukah ke
sektor non-pertanian. Sedikitnya sarjana pertanian yang masuk ke sektor pertanian mengindasikan
bahwa sektor pertanian kurang menarik atau tidak menjanjikan masa depan yang baik. Paling tidak
terdapat empat kemungkinan faktor yang menyebabkan masalah ini muncul.
Pertama, insentif yang disediakan pemerintah mungkin saja memadai tetapi salah sasaran.
Kedua, insentif yang disediakan pemerintah kurang memadai sehingga tidak menstimulasi para ahli
pertanian bekerja di sektor pertanian. Ketiga, potensi penghasilan tinggi ditawarkan oleh sektor
manufakturdan sektor lembaga keuangan seperti perbankan, asuransi dan pasar modal. Keempat,
para sarjana pertanian ini tidak diberi bekal ilmu-ilmu enterpreneurship yang memadai pada saat
mereka menduduki bangku kuliah.
Data pada Tabel 2 menunjukan bahwa dalam kurun waktu 2005-2010, produksi beras memang
meningkat, akan tetapi peningkatan tersebut masih berada di bawah tingkat konsumsinya, sehingga
kekurangannya terpaksa harus diimpor. Dengan demikian, sasaran kebijakan subsidi untuk
mengurangi impor beras dapat dinilai kurang efektif.
Tabel-2. Produksi dan Konsumsi Beras Nasional, 2005-2011
Tahun Produksi Beras Konsumsi Beras Impor
(Juta Ton) (Juta Ton)* (Juta Ton)
2005 34,96 35,74 0,54
2006 35,30 35,90 2,00
2007 37,00 36,35 0,35
2008 38,31 37,10 0,25
2009 36,37 38,00 1,15
2010 38,00 38,55 0,95
Sumber : BPS dan *USDA, 2011 (diolah)
16
Tony Kristanti, Dewan Jagung Indonesia, ipasar, 7 November 2012
utama, yaitu Gandum, Beras, Jagung Segar dan Kedelai Segar. Pada tahun 2011, masing-masing
komoditi tersebut mengalami defisit perdagangan sebesar US$2,2 miliar, US$1,5 miliar, US$1,0 miliar,
dan US$1,2 miliar.
Kedaulatan pangan (food sovereignty) diartikan sebagai “pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi
baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah
lingkungan” (Henry Saragih, 2011).
Kedaulatan pangan adalah “hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri
dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari
kekuatan pasar internasional” (SPI, 2013).
Kedaulatan pangan juga merupakan pemenuhan hak manusia untuk menentukan sistem pertanian dan
pangannya sendiri yang lebih menekankan pada pertanian berbasis agri-culture–berdasarkan pada prinsip
keluarga atau solidaritas- dan bukan pertanian berbasiskan agri-business –berdasarkan pada profit semata.
Negara mempunyai otoritas serta kapasitas untuk mengkonsolidasikan berbagai macam sumber daya
ekonomi dan politik yang tersedia demi kepentingan pemenuhan hak atas pangan (Taufiqul Mujib, 2011).
300
240
250
200 3x
150 30 x
9,75 x 80
100 78
50
50 19
8 8 9
0
Indonesia Vietnam Thailand Asutralia
Jadi, potensi sawah di Indonesia belum dapat dioptimalkan dengan baik. Bila tidak ada upaya
pencetakan sawah baru, maka Indonesia bisa mengalami defisit beras sepanjang tahun mengingat
jumlah penduduknya yang sangat banyak dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Bila menggunakan
Vietnam sebagai benchmark (8 juta hektar per 78 juta penduduk), maka kebutuhan areal sawah
minimal di Indonesia (agar menyamai kondisi di Vietnam) harus sebanyak 30 juta hektar. Artinya,
27
Gregori C.Chow. 2010. “Interpreting China’s Economy”. World Scientific Publishing Co.pte.Ltd.Singapore. Diterjemahkan oleh
Rahmani Astuti. PT Serankai Tiga Pustaka Mandiri-Solo. 2011. Halaman 195-197.
pemerintah harus menambah areal sawah baru seluas 22 juta hektar. Bila pemerintah berkomitmen
mencetak sawah baru seluas 1 juta hektere per tahun, maka untuk menyamakan Indonesia dengan
kondisi Vietnam hari ini, diperlukan waktu sekitar 22 tahun ke depan. Bila pemerintah ingin menyamai
Vietnam, perlu stimulus fiskal yang lebih besar lagi. Bila hari ini besarannya sekitar Rp40 triliun, maka
diperlukan stimulus fiskal sekitar tiga kalinya atau sekitar Rp120 triliun (ilustrasi lihat Grafik-1). Jika hal
itu tidak dilakukan pemerintah, maka pemerintah akan terus melakukan impor beras.
2. Membuka jalan agri-culture atau state subsidies bagi petani
Di negara-negara maju seperti USA, EU, Jepang, Australia, New Zealand dan Kanada,
pemerintah memproteksi perdagangannya dan memberikan subsidi yang cukup besar untuk produksi
pangan mereka. Jepang misalnya, menetapkan tarif impor beras hingga mencapai 400 persen,
sementara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) mensubsidi pertaniannya melalui research and
development. Begitu juga Asutralia masih mensubsidi gandum hingga 40 persen28. Negara-negara EU
mensubsidi petani gulanya sebesar 50 euro untuk setiap ton panen tanaman penghasil gula. EU juga
mensubsidi dana sebesar US$913 per kepala sapi kepada peternak sapi mereka. Begitu juga dengan
AS, di mana Presiden G.W.Bush pada Mei 2002 menandatangani “Farm of Bill” yang memuat subsidi
sebesar US$180 miliar, atau setara dengan Rp162 triliun dengan asumsi kurs Rp9.000/US$, jauh lebih
besar dibandingkan dengan anggaran untuk subsidi pupuk petani Indonesia tahun 2003 yang hanya
sebesar Rp1,3 triliun (Sabiq Carebesth dan Saiful Bahari, 201129).
Untuk meciptakan kedaulatan pangan, pemerintah harus memproteksi petaninya. Mendorong
petani untuk bertinju dengan korporasi pangan sama halnya dengan mematikan petani sendiri. Kalau
kita ingin berpihak kepada rakyat, maka tidak ada kata lain kecuali berpihak kepada petani. Untuk itu,
jalan yang harus dipilih adalah jalan agri-culture atau state subsidies.
28
Ibid halaman 28
29
Lihat artikel mereka berjudul “Petani Kecil di Tengah Kebijakan Industrial Pangan”. Artikel tersebut merupakan bagian dari buku
“Ekonomi Politik Pangan”, yang disunting oleh Francis dkk. Penerbit Bina Desa-Cindebooks. Jakarta, halaman 181.
bila sebuah negara memiliki kekuatan dalam SDA dan tidak ada bencana yang signifikan, maka
melebarkan jalan bagi impor pangan merupakan kebijakan yang tidak kredibel.
Negara-negara seperti AS, Kanada, dan Australia, adalah contoh negara yang memiliki
ketahanan pangan yang kuat karena mencapai swasembada pangan. Selain itu, ada juga Negara yang
memiliki ketahanan pangan tetapi tidak dicapai melalui strategi swasembada pangan sebagaimana
terjadi di Jepang, Norwegia, dan Singapura30. Tetapi hal ini disebabkan karena negara-negara ini
memang tidak memiliki daya dukung SDA karena keterbatasan lahan pertanian. Indonesia mungkin
ada pada kondisi di mana ketahanan pangan lemah akibat belum swasembada pangan. Karena itu,
pemerintah membolehkan impor beberapa komoditas pangan untuk memperkuat ketahanan pangan.
Sampai kapan kebijakan ini bertahan, tergantung pada sejauhmana pemerintah bisa meningkatkan
level swasembada pangan untuk sejumlah komoditas pangan strategis seperti beras, jagung, kedelai,
hortikultura, daging sapi, dan gula.
Penutup
Baik dari industry analysis maupun environment analysis, Indonesia memiliki potensi besar
untuk menjadikan sektor pertanian sebagai penyangga utama perekonomian nasional dan penentu
kesejehteraan masyarakat. Diakui peran korporasi pangan, terutama asing, memang dominan, akan
tetapi hal itu bisa diatasi dengan meningkatkan kualitas negosiasi pemerintah dalam pertemuan-
pertemuan internasional dan keberanian pemerintah dalam memproteksi perdagangan serta
memberikan subsidi yang memadai kepada petani dan para peneliti untuk melakukan research and
development. Harus ada komitmen pemerintah untuk mengalokasikan anggaran, di mana persentase
anggaran R&D dan subsidi pangan terhadap PDB harus lebih besar dari yang terjadi saat ini.
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan swasembada pangan, banyak kendala yang
sebenarnya merupakan kedala internal yang mestinya bisa diselesaikan oleh pemerintah. Lahan
pertanian yang terbatas adalah masalah internal kita, mestinya sangat mudah diatasi dengan
keberanian melakukan reformasi agraria secara bertahap. Meningkatkan peran BUMN atau Swasta
Nasional untuk mengambil pangsa pasar di bidang benih hibrida, juga merupakan masalah internal.
Bila pemerintah diam, maka pangsa pasar korporasi domestik semakin mengecil karena direbut oleh
korporasi asing. Oleh karena Pemerintah harus memberikan BUMN atau Swasta Nasional peran yang
lebih besar.
Persoalan Bulog juga merupakan persoalan internal, bagaimana pemerintah memiliki desain
besar untuk benahi peran Bulog. Urusan Bulog mestinya dikelola di domain fiscal tools, bukan di
30
Lihat Stevens et al. (2000) dalam Lassa (2006) dan Borton and Shoham (1991)
domain political tools. Bila pengelolaannya di domain yang salah, maka Bulog akan tetap seperti saat
ini, tidak mampu menjadi buffer stock pangan yang kredibel. Solusi yang tepat buat Bulog adalah
kembalikan statusnya dari BUMN menjadi bagian dari Dewan Ketahahan Pangan Nasional dengan
kewenangan yang lebih besar. Undang-undang Pangan yang baru telah memberi ruang untuk
revitalisasi Bulog, tinggal keberanian pemerintah untuk mengeksekusinya.
Swasembada pangan juga urusan internal kita. Sebaliknya soal ketahanan pangan, itu lebih
merupakan kombinasi antara urusan internal dan urusan internasional karena ada campur tangan
negara besar disitu. Ada pihak-pihak di dalam negeri juga melakukan peran free rider untuk mengambil
rente perdagangan. Kalau pemerintah konsisten memperkuat ketahanan pangan melalui jalan
swasembada pangan, maka segala sumber daya, termasuk fiskal, harus diarahkan ke upaya
peningkatan level swasembada pangan. Agri-business jangan mendapat tempat di barisan depan
kegiatan pertanian. Karpet merah harus ditempati oleh agri-culture atau state-subsidies. Agre-business
akan bergerak mengikuti perkembangan agri-culture. Jadi, strategi agri-culturelah yang me-lead agri-
business, tidak sebaliknya.
Berapa besar atau apa saja komoditas pangan yang akan kita impor, juga merupakan urusan
internal kita. Keputusan berada di tangan pemerintah kita. Tinggal bagaimana membuat kebijakan yang
tepat dan menjalankannya secara konsisten. Harus ada kebijakan politik dalam urusan kedelai.
Pemerintah perlu menetapkan batasan maksimum berapa kebutuhan kedelai dapat dipasok dari
produksi dalam negeri. Selisih itu merupakan ruang untuk impor. Pemerintah bisa membuat kebijakan
yang jelas, misalnya SK-50 atau Swasembada Kedelai 50 persen. Artinya, 50 persen kebutuhan
kedelai nasional bisa dipasok dari dalam negeri, sedangkan 50 persen sisanya boleh diimpor.
Kebijakan ini harus disosialisasikan dengan baik agar tidak menimbulkan multi tafsir yang tidak perlu.
Dalam hal beras, misalnya SB-90 atau Swasembada Beras 90 persen, yang juga berarti pemerintah
boleh mengimpor 10 persen. Untuk itu, pemerintah harus memperkuat R&D, menjamin ketersediaan
lahan bagi petani, dan menyediaakan anggaran yang cukup untuk subsidi pangan.
Kalau saja di era pemerintahan SBY, program swasembada pangan (beras, kedelai, daging
sapi, dan hortikulutra) belum bisa dicapai, maka apa yang sudah dijalankan Presiden SBY beserta
jajaran kabinetnya, hendaknya dijadikan fondasi bagi pemerintahan baru untuk melahirkan kebijakan
yang lebih baik lagi. Tentu rakyat menanti Presiden baru dengan gagasan terobosannya untuk
membawa sektor pertanian dan petani terbang meninggalkan landasan kemiskinan dan
ketidaksejahteraan. Beberapa calon Presiden tahun 2014 sudah mulai menawarkan gagasan besarnya
ke publik pemilih, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana komitmen itu bisa direalisasikan
menjadi kenyataan. Kita tunggu buktinya.