Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

SINUSITIS MAKSILARIS DENTOGEN

PEMBIMBING:
dr. Sutarno, Sp.THT-KL

Penyusun:
Izzati Saidah (030.13.234)

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT


TELINGA HIDUNG TENGGOROK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT TNI - AL Dr. MINTOHARDJO
PERIODE 19 FEBRUARI – 23 MARET 2018
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui oleh Dosen Pembimbing, referat dari:

Nama : Izzati Saidah

Fakultas : Kedokteran Umum

Universitas : Trisakti

Bagian : Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok

Judul : Sinusitis Maksilaris Dentogen

Ditujukan untuk memenuhi nilai referat kepanitraan Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di Rumah Sakit TNI-AL
Dr. Mintohardjo Jakarta.

Jakarta, Maret 2018

Mengetahui

dr. Sutarno, Sp.THT-KL

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa,
atas segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul “Sinusitis Maksilaris Dentogen” dengan baik dan tepat waktu.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di Rumah Sakit
TNI-AL Dr. Mintohardjo Jakarta periode 19 Februari – 23 Maret 2018. Di samping
itu, referat ini ditujukan untuk menambah pengetahuan bagi kita semua tentang
Sinusitis Maksilaris Dentogen.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.
Sutarno Sp.THT-KL selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini, serta kepada
dokter – dokter pembimbing lain yang telah membimbing penulis selama di
Kepaniteraan Klinik Rumah Sakit TNI-AL Dr. Mintohardjo. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada rekan – rekan anggota Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok serta berbagai pihak yang telah memberi
dukungan dan bantuan kepada penulis.

Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya kritik maupun saran yang
membangun. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih, semoga tugas ini dapat
memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Jakarta, Maret 2018

Izzati Saidah

26
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................................i

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii

DAFTAR ISI................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................2

2.1 Anatomi..........................................................................................................2
2.2 Definisi...........................................................................................................5
2.3 Epidemiologi..................................................................................................6
2.4 Etiologi...........................................................................................................6
2.5 Patofisiologi....................................................................................................8
2.6 Manifestasi Klinis.........................................................................................11
2.7 Penegakan Diagnosis....................................................................................12
2.8 Penatalaksanaan............................................................................................19
2.9 Komplikasi....................................................................................................23
2.10 Prognosis.....................................................................................................24

BAB III KESIMPULAN.............................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Sinusitis merupakan suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus
paranasal.(1,2) Penyakit sinusitis selalu dimulai dengan penyumbatan daerah kompleks
ostiomeatal (KOM) oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi, dan oleh karena penyebaran
infeksi gigi.(7) Sinusitis dibagi menjadi kelompok akut dan kronik. Secara anatomi, sinus
maksilaris, berada di pertengahan antara hidung dan rongga mulut dan merupakan lokasi yang
rentan terinvasi oleh organisme patogen lewat ostium sinus maupun lewat rongga mulut.(1)
Masalah gigi seperti penyakit pada periodontal dan lesi periapikal dilaporkan
menyebabkan 58% sampai 78% penebalan mukosa sinus maksilaris.(3) Data dari Departemen
Kesehatan RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada dalam urutan
ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di
rumah sakit.(4) Sinusitis dentogen dapat mencapai 10% hingga 12% dari seluruh kasus
sinusitis maksilaris.(9) Penelitian lain juga mendapatkan insiden sinusitis dentogen di
Departemen THT-KL/RSUP H. Adam Malik sebesar 13.67% dan yang terbanyak disebabkan
oleh abses apikal yaitu sebanyak 71.43%.(5)
Sinusitis maksilaris akut dapat disebabkan oleh rhinitis akut, infeksi faring seperti
faringitis, adenoiditis, tonsillitis akut, infeksi gigi rahang atas P1, P2, serta Ml, M2, M3
(dentogen).(6) Sinusitisd entogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronis.
Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga
sinus maksila hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang
tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi
jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah
dan limfe.(5)
Curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi
dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang
terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup bakteri
anaerob, serta sering juga dilakukan irigasi sinus maksila.(7,8)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi
karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal,
mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid
kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulag-tulang kepala,
sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke
dalam rongga hidung.( 9,10)
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus
frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal
berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-
superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia
antara 15-18 tahun.(9)
Sinusitis yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid,
sedangkan sinusitis frontal dan sinusuitis sfenoid jarang ditemukan. Sinus maksila disebut
juga antrum high more, merupakan sinus yang sering terinfeksi, oleh karena (1)
merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar,
sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia,
(3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi
dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus medius ,
disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.(9,10)

Hubungan anatomi antara gigi dan antrum Highmore: (10)


a. Sinus maksilaris dewasa merupakan suatu rongga berisi udara yang dibatasi oleh
bagian alveolar sinus maksilaris, lantai orbital, dinding lateral hidung dan dinding
lateral os maksila.

26
b. Pada sesetengah individu, pneumatisasi dan perluasan dapat terjadi sedemikian rupa
sehingga hanya sinus mukoperiosteum (membran Schneidarian) yang tersisa.
c. Bisa juga terjadi ekspansi terus sehingga hanya meninggalkan tulang alveolar antara
sinus dan rongga mulut.
d. Otot levator labial dan orbicularis oculi di dinding lateral dari maksila dapat langsung
menyebabkan penyebaran infeksi. Dinding lateral ini lemah dan mudah ditembus dari
lantai sinus. Akibatnya, infeksi odontogenik umumnya terjadi bersamaan dengan
infeksi jaringan lunak vestibular/fasia.

 SINUS MAKSILA
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai
ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.(7,9,10,11 )
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal
maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah
dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prossesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus
maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus
semilunaris melalui infundibulum etmoid.(9)

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan :

a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar
(P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi
molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga
infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.
a. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
b. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drenase hanya
tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui infundibulum yang
sempit.

27
c. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat
radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalang drenase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis.(9,10)

Gambar 1: Anatomi sinus paranasal

Kompleks Osteo-Meatal (KOM)


Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada muara-muara
saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan
sempit, dan dinamakan komples osteo-meatal (KOM) yang terdiri dari infundibulum etmoid
yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus fontalis, bula etmoid, dan sel-sel etmoid
anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.(7,9,10,11 )

26
Gambar 2: Kompleks osteomeatal

Sistem mukosiliar
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut
lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir
menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.(7,9)

Fungsi sinus paranasal :


Sampai saat ini belum ada penyesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal, tetapi
beberapa teori mengemukakan fungsinya sebagai berikut: (7,9)
1. Sebagai pengatur kondisi udara
2. Sebagai penahan suhu
3. Membantu keseimbangan kepala
4. Membantu resonansi suara
5. Peredam perubahan tekanan udara
6. Membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung

2.2 Definisi

Sinusitis adalah suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus
paranasal.(1,2) Sinusitis dibagi menjadi dua menurut waktunya, yaitu sinusitis akut dan

27
sinusitis kronik. Sinusitis akut bila keluhan terjadi kurang dari 12 minggu dan sinusitis
kronis bila keluhan terjadi 12 minggu atau lebih.(1)

2.3 Epidemiologi

Di Eropa sinusitis diperkirakan mengenai 10-30% populasi, sedangkan di Amerika


lebih dari 30 juta penduduk per tahun menderita sinusitis, 10-15% dari seluruh kasus
sinusitis tersebut berasal dari infeksi gigi pada orang dewasa.(12) Penelitian lain di
Amerika Serikat juga menunjukkan 10% kasus sinusitis maksila yang terjadi setelah
gangguan pada gigi.(13) Penelitian di India juga mendapatkan bahwa sinusitis maksila tipe
dentogen sebanyak 10% kasus yang disebabkan oleh abses gigi dan abses apikal.
Data dari sub bagian Rinologi THT FKUI RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
menunjukkan angka kejadian sinusitis yang tinggi yaitu 248 pasien (50%) dari 496 pasien
rawat jalan. Data lain menunjukkan sinusitis dentogen di Departemen THT-KL/RSUP H.
Adam Malik sebesar 13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal yaitu
sebanyak 71.43%. Hasil dari penelitian tersebut juga menunjukkan insiden sinusitis
dentogen lebih tinggi pada wanita dan angka kejadian tertinggi pada usia dekade ketiga
dan keempat.(8)

2.4 Etiologi

Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar, biasanya molar pertama, dimana
sepotong kecil tulang di antara akar gigi molar dan sinus maksilaris ikut terangkat.
Nathaniel Highmore yang mengemukakan tentang membran tulang tipis yang
memisahkan gigi geligi dari sinus pada tahun 1651, “Tulang yang membungkus antrum
maksilaris dan memisahkannya dengan soket geligi tebalnya tidak melebihi kertas
pembungkus.” (10,11)
Infeksi gigi lain seperti abses apikal atau penyakit periodontal dapat menimbulkan
kondisi serupa. Gambaran bakteriologik sinusitis dentogen ini didominasi terutama oleh
infeksi bakteri gram negatif. Karena itulah infeksi ini menyebabkan pus yang berbau

26
busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung. Prinsip terapi adalah pemberian
antibiotik, irigasi sinus, dan koreksi gangguan geligi.(13)

Etiologi sinusitis dentogen adalah: (10,12 )

a. Penjalaran infeksi gigi, infeksi periapikal gigi maksila dari kaninus sampai gigi
molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada kasus-kasus akar gigi
yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada
juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal.
b. Prosedur ekstraksi gigi, misalnya terdorong gigi ataupun akar gigi sewaktu akan
diusahakan mencabutnya, atau terbukanya dasar sinus sewaktu dilakukan
pencabutan gigi.
c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu adanya penjalaran infeksi dari membran
periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus.
d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan sinus
maksila.
e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan tambalan
akibat pengisian saluran akar yang berlebihan.
f. Osteomielitis akut dan kronis pada maksila.
g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler dan
folikuler.
h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat menyebabkan
obstruksi ostium yang memicu sinusitis.

27
Gambar 3: Faktor penyebab terjadinya sinusitis dentogen

Gambar 4: Tampilan abses periodontal dan abses periapikal

2.5 Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteomeatal. Sinus dilapisi oleh
sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua

26
yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan
oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta
mengandungi zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap
kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke
ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan.(14)
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu
apakah terjadi obstruksi dari ostium, jika terjadi obstruksi ostium sinus akan
menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan
epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia
ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus.(5) Kegagalan transpor
mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya sinusitis.

Patofisiologi sinusitis adalah sebagai berikut :

Inflamasi mukosa hidung menyebabkan pembengkakan (oedem) dan eksudasi, yang


mengakibatkan obstruksi ostium sinus. Obstruksi ini menyebabkan gangguan ventilasi
dan drainase, resorbsi oksigen yang ada di rongga sinus, kemudian terjadi hipoksia
(oksigen menurun, pH menurun, tekanan negatif), selanjutnya diikuti permeabilitas
kapiler meningkat, sekresi kelenjar meningkat kemudian transudasi, peningkatan eksudasi
serous, penurunan fungsi silia, akhirnya terjadi retensi sekresi di sinus ataupun
pertumbuhan kuman.(16)

Gambar 5 Pergerakan silia dalam drainase cairan sinus

27
Gambar 6 Perubahan silia pada sinusitis

Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya berhadapan akan
saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka
terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif
dan lendir yang di produksi mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media
yang baik untuk tumbuhnya bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan
terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob. Bakteri
yang sering ditemukan pada sinusitis kronik adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Streptococcus B hemoliticus,
Staphylococcus aureus, kuman anaerob jarang ditemukan.(9) Selanjutnya terjadi
perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.(7,8,9)

Gambar 7 Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi

26
Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas. Pelebaran
kapiler darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan mengeluarkan fibrin dan
eksudat serta migrasi leukosit menembus dinding pembuluh darah membentuk sel-sel
nanah dalam eksudat. Tetapi bilamana terjadi pada selaput lendir, maka pada saat
permulaan vasodilatasi terjadi peningkatan produksi mukus dari kelenjar mukus sehingga
nanah yang terjadi bukan murni sebagai nanah, tetapi mukopus.(5)

Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi
bakteri anaerob menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan
sekitarnya rusak. Pada pulpa yang terbuka, kuman akan masuk dan mengadakan
pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan
mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung
lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai
tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus
maksila sehingga memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus
dan abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga
terjadinya sinusitis maksila.(15)

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal. Gejala sistemik ialah
demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung terdapat ingus kental yang kadang-kadang
berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat, Seringkali
terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri di tempat lain karena
nyeri alih (referred pain). Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan
terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga seringkali ada nyeri alih
dirasakan di dahi dan di depan telinga. Penciuman terganggu dan ada perasaan penuh
dipipi waktu membungkuk ke depan. Terdapat perasaan sakit kepala waktu bangun tidur
dan dapat menghilang hanya bila peningkatan sumbatan hidung sewaktu berbaring sudah
ditiadakan.(1)

27
Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak pembengkakan
di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis
dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis etmoid anterior tampak
lendir atau nanah di meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di
nasofaring (post nasal drip).(5,9)

Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan dengan rinogen
karena terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada sinusitis maksilaris tipe
odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi serta pengeluaran pus yang berbau busuk. Di
samping itu, adanya kelainan apikal atau periodontal mempredisposisi kepada sinusitis
tipe dentogen. Gejala sinusitis dentogen menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe
rinogen.(10)

2.7 Penegakkan Diagnosis

Diagnosis sinusitis dentogen adalah berdasarkan pemeriksaan lengkap pada gigi serta
pemeriksaan fisik lainnya. Ini mencakup evaluasi gejala klinis pasien sesuai dengan
kriteria American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery (AAO-HNS),
yang mana diagnosis sinusitis membutuhkan setidaknya 2 faktor mayor atau setidaknya 1
faktor mayor dan 2 faktor minor dari serangkaian gejala dan tanda klinis, riwayat
penyakit gigi geligi, serta temuan radiologi sinus paranasal dan CT Scan. Selain itu,
kadang diperlukan konsultasi dengan departemen kedokteran gigi untuk mendukung dan
membuat diagnosis sinusitis dentogen serta penatalaksanaannya.(7,9)

a) Anamnesis
Riwayat rinore purulen yang berlangsung lebih dari 7 hari, merupakan keluhan yang
paling sering dan paling menonjol pada sinusitis akut. Keluhan ini dapat disertai
keluhan lain seperti sumbatan hidung, nyeri/rasa tekanan pada muka, nyeri kepala,
demam, ingus belakang hidung, batuk, anosmia/hiposmia, nyeri periorbital, nyeri gigi,
nyeri telinga dan serangan mengi (wheezing) yang meningkat pada penderita
asma.(9,10, 17)

26
Riwayat gejala sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2
kriteria minor dari kumpulan gejala dan tanda menurut International Consensus on
Sinus Disease, tahun 1993 dan 2004.(16) Kriteria mayor terdiri dari : sumbatan atau
kongesti hidung, sekret hidung purulen, sakit kepala, nyeri atau rasa tertekan pada
wajah dan gangguan penghidu. Kriteria minornya adalah demam dan halitosis.(17)

b) Pemeriksaan Fisik

INSPEKSI (10,17)

Ada 3 keadaan yang penting kita perhatikan saat melakukan inspeksi hidung & sinus
paranasalis, yaitu :

 Kerangka dorsum nasi (batang hidung).


 Adanya luka, warna, udem & ulkus nasolabial.
 Bibir atas.
Ada 4 bentuk kerangka dorsum nasi (batang hidung) yang dapat kita temukan pada
inspeksi hidung & sinus paranasalis, yaitu :

 Lorgnet pada abses septum nasi.


 Saddle nose pada lues.
 Miring pada fraktur.
 Lebar pada polip nasi.
Kulit pada ujung hidung yang terlihat mengkilap, menandakan adanya udem di tempat
tersebut.

Adanya maserasi pada bibir atas dapat kita temukan saat melakukan inspeksi hidung &
sinus paranalis. Maserasi disebabkan oleh sekresi yang berasal dari sinusitis dan
adenoiditis.

(17)
PALPASI

Ada 4 struktur yang penting kita perhatikan saat melakukan palpasi hidung & sinus
paranasalis, yaitu :

27
 Dorsum nasi (batang hidung).
 Ala nasi.
 Regio frontalis sinus frontalis.
 Fossa kanina.
Krepitasi dan deformitas dorsum nasi (batang hidung) dapat kita temukan pada palpasi
hidung. Deformitas dorsum nasi merupakan tanda terjadinya fraktur os nasalis. Ala
nasi penderita terasa sangat sakit pada saat kita melakukan palpasi. Tanda ini dapat
kita temukan pada furunkel vestibulum nasi.

Ada 2 cara kita melakukan palpasi pada regio frontalis sinus frontalis, yaitu : Kita
menekan lantai sinus frontalis ke arah mediosuperior dengan tenaga optimal dan
simetris (besar tekanan sama antara sinus frontalis kiri dan kanan). Palpasi kita beri
nilai bila kedua sinus frontalis tersebut memiliki reaksi yang berbeda. Sinus frontalis
yang lebih sakit berarti sinus tersebut patologis. Kita menekan dinding anterior sinus
frontalis ke arah medial dengan tenaga optimal dan simetris. Hindari menekan foramen
supraorbitalis. Foramen supraorbitalis mengandung nervus supraorbitalis sehingga
juga menimbulkan reaksi sakit pada penekanan. Penilaiannya sama dengan cara
pertama diatas. Palpasi fossa kanina kita peruntukkan buat interpretasi keadaan sinus
maksilaris. Syarat dan penilaiannya sama seperti palpasi regio frontalis sinus frontalis.
Hindari menekan foramen infraorbitalis karena terdapat nervus infraorbitalis.

(17)
PERKUSI

Perkusi pada regio frontalis sinus frontalis dan fossa kanina kita lakukan apabila
palpasi pada keduanya menimbulkan reaksi hebat. Syarat-syarat perkusi sama dengan
syarat-syarat palpasi.

26
Rinoskopi Anterior

Rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan rutin untuk melihat tanda patognomonis,


yaitu sekret purulen di meatus medius atau superior; atau pada rinoskopi posterior
tampak adanya sekret purulen di nasofaring (post nasal drip).(9,10,17)

Ada 3 alat yang biasa kita gunakan pada rinoskopia anterior, yaitu :

 Aplikator.
 Pinset (angulair) dan bayonet (lucae).
 Spekulum hidung Hartmann.

Spekulum hidung Hartmann bentuknya unik. Cara kita memakainya juga unik meliputi
cara memegang, memasukkan dan mengeluarkan. Cara kita memegang spekulum
hidung Hartmann sebaiknya menggunakan tangan kiri dalam posisi horisontal.
Tangkainya yang kita pegang berada di lateral sedangkan mulutnya di medial. Mulut
spekulum inilah yang kita masukkan ke dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien. Cara
kita memasukkan spekulum hidung Hartmann yaitu mulutnya yang tertutup kita
masukkan ke dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien. Setelah itu kita membukanya
pelan-pelan di dalam kavum nasi (lubang hidung) pasien. Cara kita mengeluarkan
spekulum hidung Hartmann yaitu masih dalam kavum nasi (lubang hidung), kita
menutup mulut spekulum kira-kira 90%. Jangan menutup mulut spekulum 100% karena
bulu hidung pasien dapat terjepit dan tercabut keluar).(9,10,17)

Ada 5 tahapan pemeriksaan hidung pada rinoskopia anterior yang akan kita lakukan,
yaitu :

 Pemeriksaan vestibulum nasi.


 Pemeriksaan kavum nasi bagian bawah.
 Fenomena palatum mole.
 Pemeriksaan kavum nasi bagian atas.
 Pemeriksaan septum nasi.

27
Rinoskopi Posterior

Prinsip kita dalam melakukan rinoskopia posterior adalah menyinari koane dan dinding
nasofaring dengan cahaya yang dipantulkan oleh cermin yang kita tempatkan dalam
nasofaring.

Ada 4 alat dan bahan yang kita gunakan pada rinoskopi posterior, yaitu : (9,10,17)

 Cermin kecil.
 Spatula.
 Lampu spritus.
 Solusio tetrakain (- efedrin 1%).

Teknik-teknik yang kita gunakan pada rinoskopia posterior, yaitu :

Cermin kecil kita pegang dengan tangan kanan. Sebelum memasukkan dan
menempatkannya ke dalam nasofaring pasien, kita terlebih dahulu memanaskan
punggung cermin pada lampu spritus yang telah kita nyalakan. Minta pasien membuka
mulutnya lebar-lebar. Lidahnya ditarik ke dalam mulut, jangan digerakkan dan
dikeraskan. Bernapas melalui hidung. Spatula kita pegang dengan tangan kiri. Ujung
spatula kita tempatkan pada punggung lidah pasien di depan uvula. Punggung lidah kita
tekan ke bawah di paramedian kanan lidah sehingga terbuka ruangan yang cukup luas
untuk menempatkan cermin kecil dalam nasofaring pasien. Masukkan cermin kedalam
faring dan kita tempatkan antara faring dan palatum mole kanan pasien. Cermin lalu kita
sinari dengan menggunakan cahaya lampu kepala. Khusus pasien yang sensitif, sebelum
kita masukkan spatula, kita berikan lebih dahulu tetrakain 1% 3-4 kali dan tunggu ± 5
menit.(9,10,17)

Pemeriksaan Transiluminasi

Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal dan maksila
yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena terbatas kegunaanya.(9,10,17)

26
Ada 2 cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus
maksilaris, yaitu :

 Cara I : Mulut pasien kita minta dibuka lebar-lebar. Lampu kita tekan pada margo
inferior orbita ke arah inferior. Cahaya yang memancar ke depan kita tutup dengan
tangan kiri. Hasilnya sinus maksilaris normal bilamana palatum durum homolateral
berwarnaterang.
 Cara II : Mulut pasien kita minta dibuka. Kita masukkan lampu yang telah
diselubungi dengan tabung gelas ke dalam mulut pasien. Mulut pasien kemudian kita
tutup. Cahaya yang memancar dari mulut dan bibir atas pasien, kita tutup dengan
tangan kiri. Hasilnya dinding depan dibawah orbita tampak bayangan terang
berbentuk bulan sabit. Penilaian pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia)
berdasarkan adanya perbedaan sinus kiri dan sinus kanan. Jika kedua sinus tampak
terang, menandakan keduanya normal. Namun khusus pasien wanita, hal itu bisa
menandakan adanya cairan karena tipisnya tulang mereka. Jika kedua sinus tampak
gelap, menandakan keduanya normal. Khusus pasien pria, kedua sinus yang gelap
bisa akibat pengaruh tebalnya tulang mereka.(9,10,17)

Nasoendoskopi

Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan untuk menilai kondisi kavum nasi


hingga ke nasofaring. Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan dengan jelas keadaan
dinding lateral hidung. Pemeriksaan ini sangat dianjurkan untuk menentukan
diagnosa yang lebih tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus media
(pada sinusitis maksilaris, etmoid anterior dan frontalis) atau di meatus superior
(pada sinusitis etmoidalis posterior dan sfenoid). (9,17)

Foto polos sinus paranasal

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos. Foto polos posisi Waters, PA
dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus – sinus besar seperti sinus

27
maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air
fluid level) atau penebalan mukosa. (9,17)

CT Scan

CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai
penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau
pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus. (9,10,17)

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi

Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus media atau
superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil
sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila. Kebanyakan sinusitis disebabkan
infeksi oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella
catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal dari gigi geligi
didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus berbau busuk dan
akibatnya timbul bau busuk dari hidung. (9,10,17)

Sinoskopi

Dapat dilakukan untuk melihat kondisi antrum sinus maksila. Pemeriksaan ini
menggunakan endoskop, yang dimasukkan melalui pungsi di meatus inferior atau
fosa kanina. Dilihat apakah ada sekret, jaringan polip, atau jamur di dalam rongga
sinus maksila, serta bagaimana keadaaan mukosanya apakah kemungkinan
kelainannya masih reversibel atau sudah ireversibel.(16)

26
2.8 Penatalaksanaan

(9,10 )
Prinsip penatalaksanan sinusitis dentogen :

a. Atasi masalah gigi


b. Penderita dengan sinusitis akut yang disertai demam dan kelemahan sebaiknya
beristirahat ditempat tidur. Diusahakan agar kamar tidur mempunyai suhu dan
kelembaban udara tetap.
c. Konservatif, diberikan obat-obatan: antibiotika, dekongestan, antihistamin,
kortikosteroid dan irigasi sinus.
d. Operatif. Beberapa macam tindakan bedah sinus yaitu antrostomi meatus inferior,
Caldwell-Luc, etmoidektomi intra dan ekstra nasal, trepanasi sinus frontal, dan bedah
sinus endoskopik fungsional.

 AKUT
Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang
diberikan lini I yakni golongan penisilin atau kotrimoksazol dan terapi tambahan yakni
obat dekongestan oral dan topikal, mukolitik untuk memperlancar drainase dan
analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan antihistamin
atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik diteruskan
sampai mencukupi 10-14 hari.(7-10) Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen
foto polos atau CT Scan dan atau nasoendoskopi. Bila dari pemeriksaan tersebut
ditemukan kelainan maka dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka
dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi
sinus.(8,9) Terapi pembedahaan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah
terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada
sekret tertahan oleh sumbatan.(7,8)

 KRONIK
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tatalaksana yang sesuai dan
diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-
14 hari.(9)

27
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II +
terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik
alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan diteruskan antibiotik mencukupi
10-14 hari, jika tidak ada perbaikan, evaluasi kembali dengan pemeriksaan
nasoendoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks
osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika
tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.(9,10)
c. Daerah sinus yang sakit bisa dilakukan diatermi gelombang pendek.
d. Jika ada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid,
frontal atau sfenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
Radikal:
- Sinus maksila dengan operasi Caldwell-luc.

Pengobatan ini dilakukan bila pengobatan koservatif gagal. Terapi radikal dilakukan
dengan mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drenase dari sinus yang
terkena. Untuk sinus maksila dilakukan operasi Caldwell-Luc. Pembedahan ini
dilaksanakan dengan anestesi umum atau lokal. Jika dengan anestesi lokal, analgesi
intranasal dicapai dengan menempatkan tampon kapas yang dibasahi kokain 4% atau
tetrakain 2% dengan efedrin 1% diatas dan dibawah konka media. Prokain atau
lidokain 2% dengan tambahan ephineprin disuntika di fosa kanina. Suntikan
dilanjutkan ke superior untuk saraf intraorbital. Incisi horizontal dibuat di sulkus
ginggivobukal, tepat diatas akar gigi. Incisi dilakukan di superior gigi taring dan molar
kedua. Incisi menembus mukosa dan periosteum. Periosteum diatas fosa kanina
dielevasi sampai kanalis infraorbitalis, tempat saraf orbita diidentifikasi dan secara
hati-hati dilindungi.(8,9,16)

26
Gambar 8 Prosedur Caldwell Luc

Pada dinding depan sinus dibuat fenestra, dengan pahat, osteatom atau alat bor. Lubang
diperlebar dengan cunam pemotong tulang kerison, sampai jari kelingking dapat masuk.
Isi antrum dapat dilihat dengan jelas. Dinding nasoantral meatus inferior selanjutnya
ditembus dengan trokar atau hemostat bengkok. Antrostomi intranasal ini dapat
diperlebar dengan cunam kerison dan cunam yang dapat memotong tulang kearah
depan. Lubang nasoantral ini sekurang-kurangnya 1,5 cm dan yang dipotong adalah
mukosa intra nasal, mukosa sinus dan dinding tulang. Telah diakui secara luas bahwa
berbagai jendela nasoantral tidak diperlukan. Setelah antrum diinspeksi dengan teliti
agar tidak ada tampon yang tertinggal, incisi ginggivobukal ditutup dengan benang plain
cat gut 00. biasanya tidak diperlukan pemasangan tampon intranasal atau intra sinus.
Jika terjadi perdarahan yang mengganggu, kateter balon yang dapat ditiup dimasukan
kedalam antrum melalui lubang nasoantral. Kateter dapat diangkat pada akhir hari ke-1
atau ke 2. kompres es di pipi selama 24 jam pasca bedah penting untuk mencegah
edema, hematoma dan perasaan tidak nyaman.(8,9)

27
Non Radikal:

- Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF)

Bedah sinus endoskopi fungsional merupakan perkembangan pesat dalam bedah sinus.
Teknik bedah ini pertama kali diajukan oleh Messerklinger dan dipopulerkan oleh
Stamm-berger dan Kennedy. BSEF adalah operasi pada hidung dan sinus yang
menggunakan endoskopi dengan tujuan menormalkan kembali ventilasi sinus dan
transpor mukosilier. Prinsip BSEF ialah membuka dan membersihkan KOM sehingga
drainase dan ventilasi sinus lancar secara alami.(12,16) Indikasi absolut tindakan BSEF
adalah rinosinusitis dengan komplikasi, mukosil yang luas, rinosinusitis jamur alergi
atau invasif dan kecurigaan neoplasma. Indikasi relatif tindakan ini meliputi polip nasi
simptomatik dan rinosinusitis kronis atau rekuren simptomatik yang tidak respon
dengan terapi medikamentosa. Sekitar 75-95% kasus rinosinusitis kronis telah
dilakukan tindakan BSEF.(9,10,16) Prinsip tindakan BSEF adalah membuang jaringan
yang menghambat KOM dan memfasilitasi drainase dengan tetap mempertahankan
struktur anatomi normal.

Gambar 9 Prinsip bedah sinus endoskopi fungsional

(BSEF): membuang jaringan yang menghambat KOM. Teknik bedah sinus endoskopi
fungsional meliputi unsinektomi, etmoidektomi, sfenoidektomi dengan etmoidektomi,
bedah resesus frontalis, antrostomi maksila, konkotomi dan septoplasti.(16) Komplikasi

26
pasca tindakan BSEF dapat dibedakan menjadi komplikasi awal dan lanjut.
Komplikasi awal meliputi hematoma orbita, penurunan penglihatan, diplopia,
kebocoran cairan serebrospinal, meningitis, abses otak, cedera arteri karotis dan
epifora. Komplikasi lanjut yang dapat terjadi adalah rekurensi, mukosil dan
miosferulosis akibat salep yang digunakan dan benda asing. Komplikasi orbita dan
intrakranial juga dapat terjadi sebagai komplikasi lanjut.(16)

2.9 Komplikasi

CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan derajat infeksi
di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini harus rutin
dilakukan pada sinusitis rekuren, kronis atau berkomplikasi.(7,9,17)

 Komplikasi Orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang tersering.
Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi dari ethmoidalis akut, namun sinus
frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat menimbulkan
infeksi isi orbita.(9-11)

Terdapat lima tahapan :


a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus
ethmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina
papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis seringkali merekah pada
kelompok umur ini.
b. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita
namun pus belum terbentuk.
c. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang orbita
menyebabkan proptosis dan kemosis.
d. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Tahap
ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius.

27
Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang tersering dan kemosis konjungtiva
merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran
vena ke dalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu tromboflebitis septik.

 Komplikasi Intra Kranial (9-11,16)


a. Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat yang mana infeksi dari
sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus
yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina
kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
b. Abses dural, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, seringkali
mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya
mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan
tekanan intrakranial.
c. Abses subdural, adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
d. Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat
terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
Terapi komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara
bedah pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.

2.10 Prognosis
Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan pengobatan yang
dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika drainase sinus membaik dengan terapi
antibiotik atau terapi operatif maka pasien mempunyai prognosis yang baik.(10)

26
BAB III
KESIMPULAN

Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari,
bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia.
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau
dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyakit utamanya adalah selesma
(common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi
bakteri. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua
sinus paranasal disebut pansinusitis.
Sinus paranasal yang sering terkena ialah sinus ethmoid dan maksila, sedangkan sinus
frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi. Sinus maksila disebut juga antrum
Highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus,
disebut sinusitis dentogen. Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena meyebabkan komplikasi
ke orbita dan intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Fokkens W., Lund V., Mullol J. European position paper on rhinosinusitis and nasal
polyps. Rhinology. 2007 (disitasi tanggal 23 Agustus 2016); 45(20):1-139. Tersedia
dari: www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17844873
2. Busquets JM., Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification, diagnosis and
treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head & Neck Surgery –
Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins; 2006.
3. Vallo JL., Suominen T., Huumonen S., Soikkonen K., Norblad A. Prevalence of
mucosal abnormalities of the maxillary sinus and their relationship to dental disease in
panoramic radiography: results from the health 2000 health examination survey. Oral
Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology and Endodontics. 2010;
109(3):80-87.
4. Departemen Kesehatan RI. Pola Penyakit 50 peringkat utama menurut DTD Pasien
Rawat Jalan di Rumah Sakit Indonesia Tahun 2003. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI; 2003.
5. Farhat. Peran Infeksi Gigi Rahang Atas pada Kejadian Sinusitis Maksila di RSUP
H.Adam Malik Medan Dept. Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala, dan Leher FK
USU/RSUP H.Adam Malik Medan; 2006.
6. Universitas Muhammadiyah Semarang. Sinusitis Maksilaris Odontogen. Universitas
Muhammadiyah Semarang; [disitasi tanggal 24 Agustus 2016]. Tersedia dari:
http://digilib.unimus.ac.id/dow n load.php?id=12241
7. Boies LR, Adams GL. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 1997
8. Mulyarjo, Soejak S. Sinusitis. Naskah Lengkap Perkembangan Terkini Diagnosis dan
Penatalaksanaan S. Sinusitis. Surabaya, 2006; 1-6
9. Soetjipto Damayanti, Endang Mangunkusumo. Sinus Paranasal. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok, Kepala Leher. Edisi VI. Jakarta, Balai Penerbit
FKUI, 2008; 145-53.

26
10. Universitas Sumatera Utara. Sinusitis Maksilaris Dentogen. Tersedia dari URL
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31193/4/Chapter%20II.pdf. Diunduh
tanggal 9 Februari 2013

11. Abdul Rachman Saragih. Rinosinusitis Dentogen. Diambil dari dentika Dental Journal,
Vol 12, No 1. 2007. Hal : 81 -84. Tersedia dari URL :
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/121078184.pdf. Diunduh tanggal 9 Februari
2013

12. Ramalinggam KK. Anatomy and physiology of nose and paranasal sinuses. A Short
Practice of Otolaryngology. All India Publishers; 214-31

13. Itzhak Brook, MD. Acute Sinusitis. Tersedia dari URL


http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm Edisi April 2012. Diunduh tanggal 9
Februari 2013
14. Mehra P., Murad H. Maxillary sinus disease of odontogenic origin. Otolaryngologic
Clinic of North America; 2004.
15. Universitas Sumatera Utara Instutitional Repository. Sinusitis Maksilaris Dentogen.
Universitas Sumatera Utara; [diakses tanggal 24 Agustus 2016]. Tersedia dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31193/4/Chapter%20II.pdf.
16. Bestary, Jaka Budiman. Rossy, Rosalinda. Bedah Endoskopi Fungsional Revisi Pada
Rinosinusitis Kronis. Diambil dari Jurnal FK Universitas Andalas/RSUP Dr. M Djamil
Padang, Bagian THT Bedah Kepala Leher. Tersedia dari URL
http://repository.unand.ac.id/17210/1/Bedah_Sinus_Endoskopi_Fungsional_Revisi_pa
da_Rinosinusitis_Kronis.pdf Diunduh tanggal 9 Februari 2013

17. Henny Kartika. Cara Pemeriksaan Hidung dan Sinus Paranasal. Tersedia dari URL
http://hennykartika.wordpress.com/2007/12/29/cara-pemeriksaan-hidung-dan-sinus-
paranasal/. Diunduh tanggal 9 Februari 2013

27

Anda mungkin juga menyukai