PENDAHULUAN
timbulnya berbagai penyakit tropis yang disebabkan oleh nyamuk dan sering berjangkit di
masyarakat bahkan menimbulkan endemi, salah satu diantaranya adalah malaria. Malaria masih
menjadi masalah global. Di dunia, sekitar 3 miliar penduduk berisiko terkena infeksi malaria,
terdapat sekitar 219 juta kasus dan mendekati 1 juta kematian setiap tahun.1 Malaria serebral
merupakan komplikasi infeksi P. falciparum yang mengancam nyawa dan merupakan salah satu
Malaria serebral merupakan komplikasi malaria yang sering menyebabkan kematian. World
Health Organization (WHO) mendefinisikan malaria serebral sebagai infeksi Plasmodium falciparum
yang disertai penurunan kesadaran/koma yang tidak disebabkan oleh penyakit lain atau lebih dari 30
menit setelah serangan kejang dan derajat penurunan kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow Coma
Scale (GCS).2,4
Malaria berat terjadi pada 5-10% dari seluruh penderita malaria dan sekitar 20% merupakan
kasus fatal dengan mortalitas 10-20%.2 Tingginya angka kematian akibat malaria menjadi alasan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Malaria serebral adalah suatu akut ensefalopati yang memenuhi 3 kriteria, yaitu koma yang
tidak dapat dibangunkan atau koma yang menetap > 30 menit setelah kejang (GCS < 11, Blantyre
coma scale < 3) disertai adanya P. falciparum yang ditunjukkan dengan hapusan darah dan
2.2. ETIOLOGI
Lima spesies Plasmodium yang menginfeksi manusia adalah P. falciparum, P. vivax, P.
darah, nyamuk anopheles betina yang terinfeksi malaria menginokulasikan sporozoit ke tubuh
manusia (1). Sporozoit menginfeksi sel hepar (2) kemudian menjadi dewasa sebagai skizon (3)
intrahepatik atau skizon pre/ekstraeritrosit (A). P. vivax and P. ovale memiliki stadium dorman,
yakni hipnozoit yang tetap tinggal di dalam hepar dan dapat menimbulkan relaps dengan
menginvasi aliran darah berminggu-minggu atau bahkan bertahun-tahun kemudian. Skizon yang
pecah (4) dapat melepaskan 10.000-30.000 merozoit ke sirkulasi darah. Merozoit yang dilepaskan
akan masuk ke dalam sistem retikuloendotelial di limpa dan mengalami fagositosis. Merozoit yang
lolos dari fagositosis di limpa akan menginvasi eritrosit (5) dan masuk melalui reseptor permukaan
eritrosit. Parasit akan mengalami multiplikasi seksual di dalam eritrosit. Dalam waktu kurang dari
12 jam parasit berubah menjadi bentuk trofozoit cincin. Setelah 36 jam di dalam eritrosit trofozoit
cincin mengalami pematangan menjadi skizon (skizogoni eritrosit) (B) yang kemudian pecah dan
melepaskan 6-36 merozoit (6) yang siap menginfeksi eritrosit lain. Siklus aseksual ini sekitar 48
jam pada P. falciparum, P. vivax dan P. ovale, sedangkan pada P. malariae adalah 72 jam. 1, 3, 6
Beberapa parasit akan berdiferensiasi menjadi stadium seksual eritositik (gametosit jantan
dan betina) (7). Gametosit jantan (mikrogametosit) dan gametosit betina (makrogametosit) ditelan
oleh nyamuk anopheles saat mengisap darah manusia (8), terjadi siklus seksual di dalam tubuh
nyamuk dan menghasilkan zigot (9). Multiplikasi parasit dalam tubuh nyamuk disebut siklus
sporogonik. Zigot kemudian menjadi motil dan ber-elongasi (ookinet) (10) yang kemudian
menginvasi dinding usus nyamuk dan berkembang menjadi bentuk oosit. Oosit akan menjadi
matang, pecah dan melepaskan sporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar liur nyamuk, siap
menginfeksi manusia. Inokulasi sporozoit ke manusia berikutnya mengulang siklus hidup malaria
(1). Dalam waktu 13 hari setelah inokulasi, jumlah parasit telah meningkat dari 10 menjadi 1010
2.4. PATOGENESIS
Patogenesis malaria serebral masih belum sepenuhnya diketahui. Diduga pada malaria
serebral terjadi sumbatan kapiler pembuluh darah otak sehingga terjadi anoksia otak. Eritrosit yang
terinfeksi parasit menjadi lebih kaku, terjadi cytoadherence, rosetting serta sekuesterasi sehingga
sulit melalui pembuluh kapiler. P.falciparum merupakan satu-satunya spesies plasmodium yang
dapat menginduksi cytoadherence eritrosit. Dinding eritrosit yang terinfeksi P.falciparum matur
membentuk tonjolan yang disebut knob, dengan Histidine Rich-Protein-1 (HRP-1) sebagai
komponen utama, yang berperan penting dalam proses cytoadherence and rosetting.
Cytoadherence adalah perlekatan antara eritrosit yang terinfeksi parasit matur melalui
sedangkan molekul adhesif di permukaan sel endotel vaskular antara lain CD36, trombospondin
sirkulasi mikro, terutama kapiler dan vena-vena kecil. Hasil otopsi menunjukkan bahwa
sekuestrasi terbesar terdapat di otak, namun dapat juga ditemukan di hepar, ginjal, usus dan
jaringan adiposa. Sekuesterasi dan kekakuan eritrosit menyebabkan penurunan aliran darah pada
sirkulasi mikro organ, terjadi dysoxya dengan akibat asidosis laktat, disfungsi organ dan kematian.
Bentuk rosette adalah sekelompok eritrosit yang tidak terinfeksi melekat dengan eritrosit yang
terinfeksi parasit matur. Rosetting dapat menyebabkan obstruksi aliran darah dalam jaringan. 2,3
2.5. DIAGNOSIS
2.5.1. GEJALA KLINIS
Gejala klinis utama malaria serebral adalah penurunan kesadaran, dengan manifestasi yang
paling berat yaitu koma. Sebagian penderita terjadi gangguan kesadaran yang ringan seperti apatis,
somnolen, delirium dan perubahan tingkah laku. Pada anak-anak, koma muncul tiba-tiba dan
seringkali disertai kejang, biasanya terjadi 1-3 hari setelah timbulnya demam. Koma dapat terjadi
setelah rasa lemah atau lesu. Kadang didapatkan hipertensi intrakranial, perdarahan retina, gejala
batang otak (abnormalitas postur, ukuran dan reaksi pupil, gerakan bola mata dan pola pernafasan
metabolik, gagal ginjal, imbalans elektrolit, hiperpireksia, hipoglikemia, edema paru dan syok. 2, 4
2.5.2. LABORATORIUM
sebagai standar baku dan bila tidak memungkinkan dapat dengan tes diagnosis cepat (rapid
diagnosis test, Quantitative Buffy Coat (QBC), atau dengan polymerase chain reaction (PCR). 8
1. Pemeriksaan mikroskopik
Merupakan metode standar dalam penegakan diagnosis malaria dan sebaiknya dilakukan
oleh tenaga laboratorik yang berpengalaman. 1 Pemeriksaan mikroskopik terdiri dari dua bagian:
a. Preparat darah tebal merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria. Hitung parasit
dapat dilakukan dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit yang merupakan jumlah
parasit per mikro-liter darah. Limitasi deteksi parasit mencapai 10-50 trofozoit/μL.1, 8
Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium (bila dengan preparat darah tebal sulit
ditentukan), menghitung parasitemia dan menilai stadium plasmodium. Pengecatan Giemsa yang
umum dipakai pada beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah dengan hasil
2. Deteksi antigen atau antibodi plasmodium menggunakan Rapid Diagnostic Test (RDT) metode
Immunochromatography (ICT)
Tes ini dapat membedakan P. falciparum dan non falciparum tetapi tidak dapat
membedakan antara P. vivax, P. ovale dan P. malariae. Rapid Diagnostic Test (RDT) ini juga
2.5.3. RADIOLOGI
Pemeriksaan foto thorax dan Computed Tomography (CT) Scan biasanya normal, adanya
edema serebri pada hasil CT scan hanya dijumpai pada kasus-kasus yang berat.2 Kelainan pada
foto thorax berupa nodul yang berkonfluent hingga ke basal paru dan atau infiltrat difus kedua
paru hanya didapat jika terdapat edema paru atau acute respiratory distress syndrome (ARDS).8
2.6. PENATALAKSANAAN
10mg/kgBB dalam cairan infus Dekstrose 5% 500cc selama 8 jam terus menerus sampai penderita
Kejang merupakan komplikasi malaria serebral. Obat yang dapat digunakan penanganan
2.7. PROGNOSIS
Malaria serebral biasanya dapat disertai gangguan fungsi organ lain seperti ikterik, gagal
ginjal, hipoglikemia, asidosis metabolik dan edema paru.5 Bila terjadi lebih dari 3 komplikasi
organ, maka prognosis kematian > 75%.2. Mortalitas malaria serebral sangat tinggi, bila dapat
bertahan hidup pasien memiliki kemungkinan mengalami kerusakan otak dengan manifestasi
yang disertai penurunan kesadaran/koma yang tidak disebabkan oleh penyakit lain atau lebih dari
30 menit setelah serangan kejang dan derajat penurunan kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow
1. Harijanto PN. Malaria. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors.
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014. p. 595-611.
2. Zulkarnain I, Setiawan B, Harijanto PN. Malaria Berat. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2014. p. 613-623.
3. Dondorp AM. Pathophysiology, Clinical Presentation and Treatment of Cerebral Malaria.
Neurology Asia.2005;10:67-77.
4. Idro R, Marsh K, John CC, Newton CR. Cerebral Malaria; Mechanisms of Brain Injury and
Strategies For Improved Neuro-Cognitive Outcome. International Pediatric Research
Foundation.2011;68(4):267-274.
5. Newton CR, Hien TT, White N. Cerebral Malaria. Journal Neurology Neurosurgery
Psychiatry.2000;69:433-441.
6. Anonym.Centers For Disease Control and Prevention. Malaria Biology. Available at: URL:
http://www.cdc.gov/malaria/about/biology/. Accessed June 15th, 2016, 2016. Last Update:
March 1st, 2016
7. HaiboWeng, Guo X, Papoin J, Wang J, Coppel R, Mohandas N, et al. Interaction of
Plasmodium falciparum Knob Associated Histidine-Rich Protein (KAHRP) With Erythrocyte
Ankyrin R is Required For Its Attachment To the Erythrocyte Membrane. Biochimica et
Biophysica Acta.2013:1-9.
8. Trampuz A, Jereb M, Muzlovic I, Prabhu RM. Clinical Review: Severe malaria. Critical
Care.2003;7(4):315-323.
9. Desrinawati. Rapid Manual Test sebagai Alat Diagnostik Malaria Falciparum. Sari
Pediatri.2002;4(3):147 - 151.