Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Indonesia merupakan salah satu negara tropis terbesar di dunia. Iklim tropis menyebabkan

timbulnya berbagai penyakit tropis yang disebabkan oleh nyamuk dan sering berjangkit di

masyarakat bahkan menimbulkan endemi, salah satu diantaranya adalah malaria. Malaria masih

menjadi masalah global. Di dunia, sekitar 3 miliar penduduk berisiko terkena infeksi malaria,

terdapat sekitar 219 juta kasus dan mendekati 1 juta kematian setiap tahun.1 Malaria serebral

merupakan komplikasi infeksi P. falciparum yang mengancam nyawa dan merupakan salah satu

gambaran malaria berat.2,3

Malaria serebral merupakan komplikasi malaria yang sering menyebabkan kematian. World

Health Organization (WHO) mendefinisikan malaria serebral sebagai infeksi Plasmodium falciparum

yang disertai penurunan kesadaran/koma yang tidak disebabkan oleh penyakit lain atau lebih dari 30

menit setelah serangan kejang dan derajat penurunan kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow Coma

Scale (GCS).2,4

Malaria berat terjadi pada 5-10% dari seluruh penderita malaria dan sekitar 20% merupakan

kasus fatal dengan mortalitas 10-20%.2 Tingginya angka kematian akibat malaria menjadi alasan

bagi penulis untuk membahas malaria serebral dalam makalah ini.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Malaria serebral adalah suatu akut ensefalopati yang memenuhi 3 kriteria, yaitu koma yang

tidak dapat dibangunkan atau koma yang menetap > 30 menit setelah kejang (GCS < 11, Blantyre

coma scale < 3) disertai adanya P. falciparum yang ditunjukkan dengan hapusan darah dan

penyebab lain dari akut ensefalopati telah disingkirkan.9

2.2. ETIOLOGI
Lima spesies Plasmodium yang menginfeksi manusia adalah P. falciparum, P. vivax, P.

ovale, P. malariae, P. knowlesi. 6,9,10,11 Penyebab malaria serebral terutama P. falciparum,

sedangkan P. vivax dan P. knowlesi juga bisa, meskipun jarang.1


2.3. SIKLUS HIDUP MALARIA

Gambar 1. Siklus hidup malaria


(Sumber: http://www.cdc.gov/malaria/about/biology, 2016)
Siklus hidup parasit malaria melalui 2 host yaitu nyamuk dan manusia. Saat menghisap

darah, nyamuk anopheles betina yang terinfeksi malaria menginokulasikan sporozoit ke tubuh

manusia (1). Sporozoit menginfeksi sel hepar (2) kemudian menjadi dewasa sebagai skizon (3)

intrahepatik atau skizon pre/ekstraeritrosit (A). P. vivax and P. ovale memiliki stadium dorman,

yakni hipnozoit yang tetap tinggal di dalam hepar dan dapat menimbulkan relaps dengan

menginvasi aliran darah berminggu-minggu atau bahkan bertahun-tahun kemudian. Skizon yang

pecah (4) dapat melepaskan 10.000-30.000 merozoit ke sirkulasi darah. Merozoit yang dilepaskan

akan masuk ke dalam sistem retikuloendotelial di limpa dan mengalami fagositosis. Merozoit yang

lolos dari fagositosis di limpa akan menginvasi eritrosit (5) dan masuk melalui reseptor permukaan

eritrosit. Parasit akan mengalami multiplikasi seksual di dalam eritrosit. Dalam waktu kurang dari

12 jam parasit berubah menjadi bentuk trofozoit cincin. Setelah 36 jam di dalam eritrosit trofozoit

cincin mengalami pematangan menjadi skizon (skizogoni eritrosit) (B) yang kemudian pecah dan

melepaskan 6-36 merozoit (6) yang siap menginfeksi eritrosit lain. Siklus aseksual ini sekitar 48

jam pada P. falciparum, P. vivax dan P. ovale, sedangkan pada P. malariae adalah 72 jam. 1, 3, 6

Beberapa parasit akan berdiferensiasi menjadi stadium seksual eritositik (gametosit jantan

dan betina) (7). Gametosit jantan (mikrogametosit) dan gametosit betina (makrogametosit) ditelan

oleh nyamuk anopheles saat mengisap darah manusia (8), terjadi siklus seksual di dalam tubuh

nyamuk dan menghasilkan zigot (9). Multiplikasi parasit dalam tubuh nyamuk disebut siklus

sporogonik. Zigot kemudian menjadi motil dan ber-elongasi (ookinet) (10) yang kemudian

menginvasi dinding usus nyamuk dan berkembang menjadi bentuk oosit. Oosit akan menjadi

matang, pecah dan melepaskan sporozoit yang akan bermigrasi ke kelenjar liur nyamuk, siap

menginfeksi manusia. Inokulasi sporozoit ke manusia berikutnya mengulang siklus hidup malaria
(1). Dalam waktu 13 hari setelah inokulasi, jumlah parasit telah meningkat dari 10 menjadi 1010

parasit dan gejala klinis dapat menjadi parah dengan cepat.1, 3, 6

2.4. PATOGENESIS

Patogenesis malaria serebral masih belum sepenuhnya diketahui. Diduga pada malaria

serebral terjadi sumbatan kapiler pembuluh darah otak sehingga terjadi anoksia otak. Eritrosit yang

terinfeksi parasit menjadi lebih kaku, terjadi cytoadherence, rosetting serta sekuesterasi sehingga

sulit melalui pembuluh kapiler. P.falciparum merupakan satu-satunya spesies plasmodium yang

dapat menginduksi cytoadherence eritrosit. Dinding eritrosit yang terinfeksi P.falciparum matur

membentuk tonjolan yang disebut knob, dengan Histidine Rich-Protein-1 (HRP-1) sebagai

komponen utama, yang berperan penting dalam proses cytoadherence and rosetting.

Cytoadherence adalah perlekatan antara eritrosit yang terinfeksi parasit matur melalui

P.falciparum erythrocyte membrane protein-1 (PfEMP-1) dan permukaan endotel vaskular.

PfEMP1 merupakan reseptor adhesif yang diekspresikan di permukaan eritrosit terinfeksi

sedangkan molekul adhesif di permukaan sel endotel vaskular antara lain CD36, trombospondin

dan vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1).1, 7

Cytoadherence menyebabkan sekuesterasi eritrosit yang mengandung parasit dalam

sirkulasi mikro, terutama kapiler dan vena-vena kecil. Hasil otopsi menunjukkan bahwa

sekuestrasi terbesar terdapat di otak, namun dapat juga ditemukan di hepar, ginjal, usus dan

jaringan adiposa. Sekuesterasi dan kekakuan eritrosit menyebabkan penurunan aliran darah pada

sirkulasi mikro organ, terjadi dysoxya dengan akibat asidosis laktat, disfungsi organ dan kematian.

Bentuk rosette adalah sekelompok eritrosit yang tidak terinfeksi melekat dengan eritrosit yang

terinfeksi parasit matur. Rosetting dapat menyebabkan obstruksi aliran darah dalam jaringan. 2,3
2.5. DIAGNOSIS
2.5.1. GEJALA KLINIS

Gejala klinis utama malaria serebral adalah penurunan kesadaran, dengan manifestasi yang

paling berat yaitu koma. Sebagian penderita terjadi gangguan kesadaran yang ringan seperti apatis,

somnolen, delirium dan perubahan tingkah laku. Pada anak-anak, koma muncul tiba-tiba dan

seringkali disertai kejang, biasanya terjadi 1-3 hari setelah timbulnya demam. Koma dapat terjadi

setelah rasa lemah atau lesu. Kadang didapatkan hipertensi intrakranial, perdarahan retina, gejala

batang otak (abnormalitas postur, ukuran dan reaksi pupil, gerakan bola mata dan pola pernafasan

abnormal). Komplikasi sistemik lainnya berupa anemia, hemoglobinuria, ikterus, asidosis

metabolik, gagal ginjal, imbalans elektrolit, hiperpireksia, hipoglikemia, edema paru dan syok. 2, 4

2.5.2. LABORATORIUM

Diagnosis pasti adalah menemukan parasit malaria, dengan pemeriksaan mikroskopik

sebagai standar baku dan bila tidak memungkinkan dapat dengan tes diagnosis cepat (rapid

diagnosis test, Quantitative Buffy Coat (QBC), atau dengan polymerase chain reaction (PCR). 8

1. Pemeriksaan mikroskopik

Merupakan metode standar dalam penegakan diagnosis malaria dan sebaiknya dilakukan

oleh tenaga laboratorik yang berpengalaman. 1 Pemeriksaan mikroskopik terdiri dari dua bagian:

a. Preparat darah tebal merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria. Hitung parasit

dapat dilakukan dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit yang merupakan jumlah

parasit per mikro-liter darah. Limitasi deteksi parasit mencapai 10-50 trofozoit/μL.1, 8

b. Hapusan darah tipis

Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium (bila dengan preparat darah tebal sulit

ditentukan), menghitung parasitemia dan menilai stadium plasmodium. Pengecatan Giemsa yang
umum dipakai pada beberapa laboratorium dan merupakan pengecatan yang mudah dengan hasil

yang cukup baik.1, 8

2. Deteksi antigen atau antibodi plasmodium menggunakan Rapid Diagnostic Test (RDT) metode

Immunochromatography (ICT)

Tes ini dapat membedakan P. falciparum dan non falciparum tetapi tidak dapat

membedakan antara P. vivax, P. ovale dan P. malariae. Rapid Diagnostic Test (RDT) ini juga

tidak dapat dipakai untuk monitoring maupun mendeteksi adanya hiperparasitemia.1, 9

3. Tes Quantitative Buffy Coat (QBC)

4. Tes Polymerase chain reaction (PCR)

2.5.3. RADIOLOGI

Pemeriksaan foto thorax dan Computed Tomography (CT) Scan biasanya normal, adanya

edema serebri pada hasil CT scan hanya dijumpai pada kasus-kasus yang berat.2 Kelainan pada

foto thorax berupa nodul yang berkonfluent hingga ke basal paru dan atau infiltrat difus kedua

paru hanya didapat jika terdapat edema paru atau acute respiratory distress syndrome (ARDS).8

2.6. PENATALAKSANAAN

Penanganan pada malaria berat, mencakup:

1. Tindakan umum (suportif dan simptomatis)

Oksigenasi dipertahankan, pemberian antipiretik untuk mencegah hipertermia, misalnya

parasetamol disertai kompres hangat.

2. Pemberian obat anti malaria

Artesunat (2,4mg/kgBB/kali intravena), artemeter 80mg/intramuskular, kina HCl

10mg/kgBB dalam cairan infus Dekstrose 5% 500cc selama 8 jam terus menerus sampai penderita

sadar kemudian diganti kina oral.


3. Pengobatan komplikasi

Kejang merupakan komplikasi malaria serebral. Obat yang dapat digunakan penanganan

kejang adalah diazepam, fenitoin, fenobarbital.1

2.7. PROGNOSIS

Malaria serebral biasanya dapat disertai gangguan fungsi organ lain seperti ikterik, gagal

ginjal, hipoglikemia, asidosis metabolik dan edema paru.5 Bila terjadi lebih dari 3 komplikasi

organ, maka prognosis kematian > 75%.2. Mortalitas malaria serebral sangat tinggi, bila dapat

bertahan hidup pasien memiliki kemungkinan mengalami kerusakan otak dengan manifestasi

gangguan neuro-kognitif jangka panjang. 2, 4


BAB III
KESIMPULAN
Malaria serebral adalah suatu akut ensefalopati akibat dari infeksi Plasmodium falciparum

yang disertai penurunan kesadaran/koma yang tidak disebabkan oleh penyakit lain atau lebih dari

30 menit setelah serangan kejang dan derajat penurunan kesadaran dinilai berdasarkan Glasgow

Coma Scale (GCS) .2-4


DAFTAR PUSTAKA

1. Harijanto PN. Malaria. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors.
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014. p. 595-611.
2. Zulkarnain I, Setiawan B, Harijanto PN. Malaria Berat. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editors. Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2014. p. 613-623.
3. Dondorp AM. Pathophysiology, Clinical Presentation and Treatment of Cerebral Malaria.
Neurology Asia.2005;10:67-77.
4. Idro R, Marsh K, John CC, Newton CR. Cerebral Malaria; Mechanisms of Brain Injury and
Strategies For Improved Neuro-Cognitive Outcome. International Pediatric Research
Foundation.2011;68(4):267-274.
5. Newton CR, Hien TT, White N. Cerebral Malaria. Journal Neurology Neurosurgery
Psychiatry.2000;69:433-441.
6. Anonym.Centers For Disease Control and Prevention. Malaria Biology. Available at: URL:
http://www.cdc.gov/malaria/about/biology/. Accessed June 15th, 2016, 2016. Last Update:
March 1st, 2016
7. HaiboWeng, Guo X, Papoin J, Wang J, Coppel R, Mohandas N, et al. Interaction of
Plasmodium falciparum Knob Associated Histidine-Rich Protein (KAHRP) With Erythrocyte
Ankyrin R is Required For Its Attachment To the Erythrocyte Membrane. Biochimica et
Biophysica Acta.2013:1-9.
8. Trampuz A, Jereb M, Muzlovic I, Prabhu RM. Clinical Review: Severe malaria. Critical
Care.2003;7(4):315-323.
9. Desrinawati. Rapid Manual Test sebagai Alat Diagnostik Malaria Falciparum. Sari
Pediatri.2002;4(3):147 - 151.

Anda mungkin juga menyukai